Anda di halaman 1dari 7

Memahami arsitektur yang tidak selesai

Cipta Hadi – 1906321231


Program Magister Kekhususan Perancangan Perkotaan
Departemen Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Indonesia

Poin yang hilang?

Dalam kesempatan ini saya ingin menyampaikan sebuah pemahaman


mendasar yang saya lihat telah luput dari praktik arsitek hari ini. Pemahaman ini
merupakan satu langkah sederhana di satu sisi akan berdampak pada praktik
berarsitektur saya kedepannya, dan di sisi lain seharusnya dapat berpengaruh pada
pandangan awam publik terhadap arsitektur. Di era informasi ini, siapapun dapat
berbicara/menyampaikan apapun (tulisan dan/atau gambar) dan disimak oleh
siapapun. Arsitektur sering disajikan hanya dalam gambar cantik semata baik foto,
hasil visualisasi komputer (rendering), maupun sketsa. Akibatnya, arsitektur hanya
dilihat dari apa yang tampak diluar saja. Masih ada poin yang hilang yang seharusnya
tersampaikan. Poin yang hilang ini merupakan pemahaman mendasar yang sangat
penting bagi arsitek, khususnya bagi praktik arsitektur yang ingin saya kembangkan. Di
kesimpulan saya akan kembali menjelaskan mengenai pemahaman ini.

“The everyday was always there, and we, like everyone else, were always immersed
in it. To some extent is this immersion which prevents us from seeing the everyday
or acknowledging it. But it is also from this immersion that specialised disciplines,
among them architecture, attempt to escape. These disciplines require a distance
from the ordinary in order to define themselves as something set apart and
(crucially) thereby place themselves in a position to exert control and power.”

(Wigglesworth & Till, 1998)

Wigglesworth dan Till memberikan gambaran dengan analogi yang cukup


lugas bagi pemahaman ini lewat ulasannya mengenai meja makan (The Everyday and
Architecture, 1998). Dua kondisi di dua waktu berbeda yang menggambarkan yang
saya lihat sebagai sesuatu yang “mati” dan yang “hidup”. Kondisi saat meja makan
tertata rapih sebelum digunakan dan ilustrasi kondisi meja saat digunakan untuk
makan. Jika dilihat dari segi arsitektur, foto bangunan menangkap sebuah momen
yang statis, namun nyatanya dalam bangunan tersebut terjadi berbagai aktivitas
manusia yang dinamis, pengalaman serta perasaannya. Seperti kutipan diatas,
Wigglesworth dan Till mengatakan bahwa hal tersebut sebagai sesuatu yang sering
terlupakan, yaitu keseharian. Keseharian selalu ada, hanya kita, arsitek, selalu abai
terhadapnya. Arsitek cenderung melihat arsitektur sebagai sesuatu yang statis
dibanding sesuatu yang dinamis yang terjadi didalamnya. Sesuatu yang statis tersebut
terlihat lebih teratur/tertata (ordered) dibanding yang dinamis, yang dilihat sebagai
“kekacauan” (chaos). Dari analogi tersebut, Wigglesworth dan Till ingin
mengungkapkan bahwa dengan “kekacauan” itulah arsitektur menjadi utuh. Ruang
sebagai sesuatu yang statis diisi oleh aktivitas/penggunaan/event oleh penggunanya.
Setidaknya itu yang saya lihat dari apa yang disampaikan oleh mereka.

Gambar 1 ilustrasi meja makan oleh Wigglesworth dan Till (1998)

Arsitektur dan “ketidak-selesai-an”

Sebelumnya, mungkin sudah ada arsitek maupun peneliti yang


menungkapkan apa yang ingin saya sampaikan ini. Namun, pemahaman ini sangat
personal bagi saya. Saya menyadarinya melalui pengalaman pribadi dan merefleksi
praktik arsitektur baik sendiri maupun mengamati arsitek lain. Bahwa, manusia selalu
beradaptasi dengan linkungannya. Sedetil apapun arsitek merancang bangunannya,
penggunanya selalu menemukan celah selama menggunakan ruang tersebut. Selalu
terdapat hal yang tidak terduga sebelumnya oleh arsitek. Namun belum tentu hal
tersebut buruk. Kasus ini yang saya alami sewaktu melakukan perjalanan karya arsitek
ternama di kota Ho Chi Minh, Vietnam di tahun 2018. Saya melihat beberapa karya
studio arsitek VTN, yaitu Binh Duong School dan Farming Kindergarten yang keduanya
mendapatkan penghargaan kelas dunia. Berdasarkan testimoni juri yang saya baca,
memang hal yang saya bahas ini tidak menjadi sorotan dalam penilaian juri, akan
tetapi sangat menarik perhatian saya.

Dapat dilihat di gambar di bawah, foto di sebelah kiri merupakan foto yang
dipublikasikan secara resmi oleh arsiteknya melalui situs www.archdaily.com. Terlihat
desain yang sederhana, bersih, dan begitu terancang dengan baik. namun, foto di
tengah menunjukkan kondisi yang sangat berbeda. Banyak elemen dekoratif dan
perubahan yang terjadi. Mungkin hal tersebut dilihat sebagai gangguan dan bahkan
jelek. Begitu juga foto di sebelah kanan, area di bawah tangga yang dijadikan tempat
penyimpanan barang tidak terpakai. Perilaku tersebut tak tampak pada gambar
ataupun foto yang menggambarkan desain. Namun, begitu lah perilaku dan sifat
manusia sebagai pengguna. Seiring waktu muncul kebutuhan-kebutuhan baru yang
belum diduga sebelumnya. Pertanyaannya, apakah arsitektur bisa merespon segala
kemungkinan tersebut? Sejauh mana arsitektur harus atau dapat merespon perilaku
pengguna?

Gambar 2 taman dalam Farming Kindergarten publikasi asli arsitek (archdaily.com) (kiri); taman dalam foto
hasil kunjungan pribadi (tengah); area bawah tangga Binh Duong School foto hasil kujungan pribadi
(kanan)

Konsep “rumah setengah” dari Alejandro Aravena, arsitek penerima


penghargaan Pritzker Prize 2016, merupakan salah satu konsep yang merespon sifat
alami manusia ini. Dalam kasus proyek ini, dilihat dari sisi sosio-ekonomi, dimana
manusia/penghuni selalu bertumbuh bersama rumahnya seiring perkembangan
kemampuan ekonominya. Pertumbuhan rumah yang secara gambar “tidak ada” dalam
rencana, namun ada dalam skema konsep secara keseluruhan dari proyek tersebut.
Pertumbuhan yang berbeda-beda dari sisi bentuk, tampak, dan keindahan, tidak dilihat
sebagai pengganggu estetika keseluruhan. Alhasil, proyek ini tidak dilihat dari sisi
estetika semata, melainkan juga berbagai dimensi (dampak sosial, ekonomi, dan
budaya) yang ada di dalamnya. Sebagaimana konsep ini menjadi salah satu hal yang
menjadi sorotan utama (dampak sosial-ekonomi masyarakat) hingga mendapatkan
penghargaan tertinggi di bidang arsitektur ini (Jury Citation, 2017).

“The programming of the project is based on an open brief, allowing the community
to fill in the space with any possibilities depending on their needs and visions. The
project triggers various further actions by the community in relation to their local
situation and social structure. Aesthetics are built upon local aesthetics, through
refi ned design that is sensitive to local contexts, in terms of both physical and non-
physical contexts.”

(Yandi Andri Atmo dkk., 2011)

Contoh lain dipraktekan oleh arsitek Yandi Andri Atmo dan kawan-kawan
melalui pembangunan pusat komunitas di tiga desa Cepogo, Ngargorejo, dan
Bongkok. Seperti yang disampaikan oleh mereka yang saya kutip di atas, bahwa
program ruang dari proyek ini sangat terbuka, membiarkan masyarakatnya mengisi
ruangnya dengan berbagai kemungkinan sesuai kebutuhan dan keinginannya.
Keterbukaan ini memicu tindakan lanjut dari masyarakat akan ruangnya berdasarkan
kondisi sosialnya. Sebagaimana testimoni juri dari penghargaan yang mereka
dapatkan bahwa proyek ini menjadi media pembelajaran dan konsolidasi bagi
masyarakat lokal dari sekedar realisasi bangunan semata (2011). Dari dua proyek
tersebut, memberi ruang akan keterbukaan kemungkinan menjadi sangat penting
dalam arsitektur. Hal ini sejalan dengan yang disampaikan oleh Berke bahwa sebuah
arsitektur keseharian mengakui kehidupan domestik. Kehidupan domestik dalam arti
sebuah event tidak seharusnya didikte dan diprogram oleh arsitek, arsitektur
keseharian membiarkan kreativitas individu (dalam konteks menggunakan ruangnya)
(Berke, 1997).

Sou fujimoto memiliki visi yang lebih jauh lagi melalui idenya Primitive Future
(Fujimoto, 2008). Visi jauh kedepan yang notabene berakar pada nilai yang berada
jauh di belakang, era manusia primitif. Menurut saya gagasan ini merupakan jenjang
berikutnya dari sebuah pemahaman arsitektur dan “ke-tidak-selesaian”. Arsitektur
dirancang tanpa memiliki fungsi ruang yang terdefinisi jelas dan membiarkan
penggunanya berkreasi dengan ruangnya dan menyesuaikan diri dan lingkungannya
selayaknya manusia hidup di goa. Disini arsitektur tidak bisa lepas dari peran
penggunaan manusianya. Walau dinamai “House” tanpa penggunaan manusianya,
karya Sou Fujimoto ini tidak seperti “rumah” pada umumnya dan tidak dapat benar
benar dikatakan sebagai “rumah”.
Gambar 3 Final Wooden House oleh So Fujimoto (archdaily.com)

Arsitektur yang tidak “selesai”

“…it is only a search. Search for that unknown which I have not known, neither I
know how it will manifest. That is actually the essence of my work.” – B.V. Doshi

Sebagai kesimpulan, saya mengutip kalimat dari B.V. Doshi (2020) yang
meyakinkan saya mengenai pemahaman yang ingin saya sampaikan ini. Doshi
mengungkapkan bahwa arsitektur adalah sebuah pencarian. Menurutnya, arsitektur
bertumbuh dan begitu pula dirinya, tumbuh bersama. Di kesempatan yang sama pula,
Doshi mengatakan, arsitektur itu tidak lain adalah tentang transformasi, transformasi
dari segala situasi kita menjadi sebuah kondisi yang diinginkan. Pandangan ini pula
yang tercermin pada beberapa kasus proyek yang telah saya bahas diatas. Manusia
sebagai pengguna selalu menyesuaikan diri dengan lingkungannya juga sebaliknya,
menyesuaikan lingkungan agar sesuai dengan kebutuhannya. Dengan kata lain,
arsitektur (bersama manusianya) selalu bertumbuh dan bertransformasi. Manusia
sebagai pengguna akan selalu ada dalam proses bertumbuhnya arsitektur.

Jika begitu adanya, arsitektur tidak pernah “selesai” walaupun secara


konstruksi dikatakan “selesai” dibangun. Sebagaimana sekolah TK di Vietnam karya
Vo Trong Nghia, arsitekturnya tumbuh dengan dekorasi/hiasan tambahan oleh
penggunanya, di proyek SMP, pengguna memanfaatkan ruang-ruang sisa menjadi
tempat penyimpanan barang tidak terpakai. Hal-hal tersebut luput dari perencanaan
dan kerap dianggap sesuatu yang tidak seharusnya terjadi/dilakukan (tidak sesuai
rencana desain) karena akan mengurangi nilai keindahan (menurut arsitek). Tiga
proyek selanjutnya (half a house, ELEMENTAL; pusat komunitas, Yandi Andri Atmo
dkk.; future primitive, Sou Fujimoto) menggambarkan bagaimana “ketidak-selesaian”
tersebut direspon oleh arsitektur dan menghasilkan produk akhir yang beragam.
Pemahaman arsitektur yang “tidak selesai” ini begitu mendasar bagi saya.
Pemahaman ini dapat mengarahkan praktik arsitektur dari berbagai aspek, dari metode
mendesain hingga publikasi desain. Dengan kesadaran bahwa arsitektur itu tidak
selesai, kita dapat membuka kemungkinan yang sebesar-besarnya pada ruang-ruang
yang akan kita ciptakan tanpa mendiskreditkan apa yang akan dilakukan oleh
pengguna. Cara publikasi proyek arsitektur juga semestinya berubah dari hanya
sekedar menampilkan gambar cantik tanpa penjelasan yang jelas dan jujur. Melihat
arsitektur bukan sebagai momen beku dan benda mati, melainkan dengan kehidupan
yang terjadi di dalamnya. Publikasi arsitektur akan disajikan dan dibaca sebagaimana
mestinya. Hingga akhirnya, arsitektur akan melekat dengan manusianya sebagai
pengguna dan kembali utuh.
Bibliography

Berke, D. (1997). Thoughts on the everyday. In S. Harris, & D. Berke, Architecture of


The Everyday (pp. 222-227). Princeton Architectural Press.

Fujimoto, S. (2008). Primitive Architecture. Inax.

Regional Holcim Awards Competition 2011. (2011). Community structure to encourage


social cohesion and development, Indonesia. Lafarge Holcim Foundation.
Retrieved from Lafarge-Holcim Foundation: https://www.lafargeholcim-
foundation.org/projects/community-structure-to-encourage-social-cohesion-and-
development

STIR World. (2020, August 24). Doshi: Chapter 2 - "I am not an architect, for me it’s a
search". Retrieved January 10, 2020, from
https://www.youtube.com/watch?v=7pLAxLzQQk4&t

The Pritzker Price. (2017). Jury Citation. Retrieved January 10, 2020, from The Pritzker
Prize Architecture: https://www.pritzkerprize.com/announcement-ale-jan-dro-
ara-ve-na

Wigglesworth, S., & Till, J. (1998). The Everyday and Architecture. New York: Wiley.

Anda mungkin juga menyukai