Anda di halaman 1dari 6

Jurnal Poetika Vol. I No.

2, Desember 2013

MEMBACA(-ULANG) SEBUAH PUISI PAMPLET RENDRA:


“SAJAK SEBATANG LISONG”

Kris Budiman
Pascasarjana Kajian Budaya dan Media UGM
Gedung Lengkung Bulaksumur, Yogyakarta

Abstrak
Esai berikut ini merupakan hasil pembacaan yang diusahakan cukup ketat atas sebuah teks
puisi, “Sajak Sebatang Lisong” karya Rendra. Tidak ingin mengikuti pembahasan yang sudah-sudah
perihal puisi pamplet, di dalam esai ini puisi Rendra tersebut diletakkan pada posisinya yang lebih
pantas, yakni sebagai teks literer—bukan sebagai dokumen sosial atau historis.
Kata Kunci: rendra, puisi, pamflet, membaca ulang
Abstract
The following essay is the result of strict close reading of a text poem, “Sajak Sebatang Lisong”, written by
Rendra. Different with previous study about his poetry pamphlets, this essay will sit Renda on a more appropriate
position, that is a literary text –not as a social or historical document.
Keywords: Rendra, poems, pamphlets, rereading

Pendahuluan relevansi sosiologis atau politis, namun kurang


Membaca dan memikirkan kembali memiliki kualifikasi kesastraan. Nyaris tidak
Rendra berarti menoleh cukup jauh ke belakang, ada kajian atau kritik sastra akademis perihal
kepada suatu masa ketika saya masih berusia puisi-puisi Rendra pasca-Blues untuk Bonnie.
belasan tahun, sebuah periode formatif bagi Setahu saya, sepanjang lebih dari dua puluh
preferensi selera saya. Tak terelakkan, yang lima tahun terakhir ini, hanya Prof. Teeuw
teringat segera adalah serpih-serpih puisi yang pernah menganalisis dengan serius
dari Ballada Orang-orang Tercinta (1957), Empat sebuah puisi pamplet Rendra, yakni “Sajak
Kumpulan Sajak (1961), Blues untuk Bonnie Lisong”. Di dalam kupasannya, Teeuw (1983:
(1971), dan Sajak-sajak Sepatu Tua (1972). 120) tetap konsisten dengan asumsi dasar yang
Rasanya sulit menghindar. Sementara puisi- dikemukakan: bahwa, biar bagaimanapun, puisi
puisi pamplet Rendra, Potret Pembangunan dalam pamplet Rendra adalah dunia rekaan yang dapat
Puisi (1980), yang pertama kali saya baca ketika dan harus dikupas, ditafsirkan, serta dinilai
sudah menginjak masa sekolah menengah atas, dengan peralatan dan teknik ilmu sastra, bukan
tidak masuk dalam hitungan lantaran kurang yang lain.
mengesan di dalam ruang ingatan saya sebagai Padahal saya sendiri pun sudah terlalu
pembaca. Saya tidak menyimpan kenangan lama terbelenggu oleh anggapan bahwa puisi-
manis tentang puisi-puisi pamplet itu. Dengan puisi Rendra yang menarik secara kesastraan
pertimbangan yang mungkin lebih “literer” hanyalah dari Blues untuk Bonnie atau dari
atau apapun, agaknya, kritikus-kritikus sastra periode sebelumnya. Beberapa analisis yang
kita juga kurang menaruh perhatian terhadap pernah saya kerjakan sejauh ini hanya sebatas
keberadaan puisi-puisi pamplet, kecuali pada “Nyanyian Angsa” (1994 & 2005),
disinggung sekadar sebagai contoh puisi selain “Kupanggili Namamu” dan “Kepada
kritik sosial atau puisi protes—artinya: tidak MG” (2005). Tiada lebih! Maka dari itu, tidak
memiliki nilai sastra yang “tinggi”. Barangkali mengherankan bila saya, ketika bertemu
dalam anggapan para kritikus dan pengamat dengan penyair Binhad beberapa waktu yang
sastra ini, puisi-puisi pamplet hanya memiliki lalu, mengeluh kepadanya: bahwa saya hanya

114
Jurnal Poetika Vol. I No. 2, Desember 2013

bisa terpikat pada Rendra muda, pada puisi- puisi tindakan tersebut? Teeuw cenderung
cinta romantiknya. Penyair Binhad yang cerdik memilih kemungkinan yang terakhir, dengan
itu kemudian menggiring saya untuk berdiskusi pertimbangan bahwa lisong pada larik 01 adalah
tentang sebuah topik yang sebelumnya tak sebuah metafora yang merujuk kepada makna
pernah terpikirkan, yaitu tentang penguasaan ‘kenikmatan’. “Yang menghisap lisong, melihat
Rendra atas “bentuk”. Bahwa Rendra, sebagai dan mendengar jelas bukan si aku,” simpul
seorang penyair, sangatlah menguasai “bentuk” Teeuw (1983: 121). Mengikuti pertimbangan
yang telah menjadi pilihannya, entah itu balada, stereotipikal tertentu, agaknya, memang lebih
lirik, puisi naratif, atau puisi protes sosial. berterima bila pihak yang menghisap lisong,
Singkatnya, Rendra adalah penyair yang bernikmat-nikmat, adalah cukong, meskipun
sangat berdisiplin dan tidak tergolong sebagai menurut saya masuk-akal juga bila aku yang
penyair yang malas untuk mempelajari teknik melakukannya. Mengapa tidak? Kemudian,
berpuisi. metafora langit pada larik 04 merujuk kepada
Saya agak terpesona. Saya tertantang. ‘suatu tempat yang tinggi, tak terjangkau’;
Betul juga amatan penyair Binhad ini. Maka sebuah lokasi yang terlepas dari dunia bawah,
dari itu, sesudah pertemuan tadi, saya mulai dunia rakyat jelata. Dengan begitu, metafora
berpikir-pikir tentang “bentuk” puisi pamplet terakhir ini sudah memberikan semacam citra
Rendra. Mampukah saya menganalisis puisi keruangan yang secara grafis beroposisi
pamplet semata-mata sebagai puisi, sebagai (signed graph), yang merepresentasikan relasi
produk literer, tanpa terlalu terpukau oleh “isi” antitetik: atas-bawah, atau sebuah ikonisasi atas
kritik sosialnya? Saya pun bersiap-siap untuk citra dunia sosial melalui citra kebahasaan
meletakkan puisi pamplet Rendra, setidak- (Irvine, 2000:37-38). Pun kalau kita perhatikan
tidaknya sebuah saja, pada tempatnya yang rangkaian tindakan yang dilakukan oleh subjek-
lebih pantas sebagai karya sastra, sebagai teks subjeknya, baik aku maupun cukong, akan terbaca
literer. Hal ini saya maksudkan sekaligus sebagai suatu pola diagramatik: melihat-mendengar yang
suatu cara untuk sedikit membayar kelalaian beroposisi dengan mengangkang-berak.
saya karena selama ini telah mengabaikan
keberadaan puisi pamplet. (07) Matahari terbit.
(08) Fajar tiba.
Sajak Sebatang Lisong (09) Dan aku melihat delapan juta kanak-
kanak
(01) Menghisap sebatang lisong (10) tanpa pendidikan.
(02) melihat Indonesia Raya,
(03) mendengar 130 juta rakyat, Paralelisme semantik di dalam larik 07 dan
(04) dan di langit 08, yang mendeskripsikan latar temporal (pagi
(05) dua tiga cukong mengangkang, hari) bagi peristiwa ini, diikuti oleh pengulangan
(06) berak di atas kepala mereka.
leksikal (melihat) dengan subjek yang mulai
Secara langsung larik 01 menyodorkan eksplisit sejak larik 09. Pengeksplisitan subjek
sebuah problem yang diakibatkan oleh ini membuat saya semakin yakin bahwa memang
pelesapan subjek: siapakah agen yang aku-lah, bukannya cukong, yang melakukan
melakukan tindakan menghisap itu? Konvensi tindakan melihat dan, dengan demikian,
puisi lirik mendorong kita untuk mengisi ruang menghisap lisong di dalam bait pertama tadi.
kosong ini dengan aku sebagai subjek, meskipun
bukannya tidak mungkin setelah tiba di larik 05 (11) Aku bertanya,
kita akan mengalami keraguan: mungkin saja (12) tetapi pertanyaan-pertanyaanku
cukong-lah yang merupakan subjeknya. Jadi, (13) membentur meja kekuasaan yang
sebetulnya siapakah subjek yang melakukan macet,
(14) dan papantulis-papantulis para

115
Jurnal Poetika Vol. I No. 2, Desember 2013

pendidik sebagaimana akan terbukti nanti pada dua larik


(15) yang terlepas dari persoalan sesudahnya, yaitu larik 24. Dengan demikian,
kehidupan. jika sebelumnya aku-lah yang menghisap sebatang
lisong, sekarang aku pula yang menghisap udara
Bait ini, khususnya pada larik 11 dan / yang disemprot deodorant, entah oleh siapa.
larik 12, menghadirkan sebuah tindakan Deodorant, sebagai sebuah metonimi, boleh
(bertanya) yang secara grafis juga bertentangan, jadi menggantikan deskripsi keadaan tertentu,
yang ditandai lewat konjungsi tetapi, yakni yakni ‘situasi yang mewah dan semerbak
pertentangan di antara suatu tindakan dan wangi, namun artifisial’. Artifisialitas inilah
hasil yang tidak diharapkan (membentur). Objek- yang tampaknya hendak ditekankan sebagai
objek dari tindakan membentur ini adalah sebuah karakteristik udara—sebuah metafora bagi
metafora (meja kekuasaan) pada larik 13 dan ‘kehidupan‘, sebuah kehidupan yang artifisial.
sebuah metonimi (papantulis-papantulis) pada Masih seperti sebelumnya, tindakan subjek di
larik 14 yang secara diagramatik atau paralel sini (larik 24 dan 26) bergeser dalam pola yang
diikuti pula oleh dua buah predikasi: macet dan direksional: setelah menghisap, dia melihat dan
terlepas (dari persoalan kehidupan). melihat lagi. Objek-objeknya saja yang berganti:
(16) Delapan juta kanak-kanak kali ini sarjana-sarjana menganggur dan wanita
(17) menghadapi satu jalan panjang, bunting. Mereka berpeluh di jalan raya dan antri
(18) tanpa pilihan, uang pensiun, dua buah metonimi bagi kondisi-
(19) tanpa pepohonan, kondisi sosial yang mengenaskan.
(20) tanpa dangau persinggahan,
(21) tanpa ada bayangan ujungnya. (28) Dan di langit,
…………………. (29) para teknokrat berkata:
(30) bahwa bangsa kita adalah malas,
Subjek di dalam bait ini disubstitusi oleh (31) bahwa bangsa mesti dibangun;
kanak-kanak yang menghadapi satu jalan panjang. (32) mesti di-up-grade
Metafora pada larik 17 ini secara langusng (33) disesuaikan dengan teknologi yang
diimpor.
diikuti oleh rangkaian atribut negatif yang
berpola grafis terarah (digraph): tanpa pilihan Kecuali para cukong tadi, di langit, sebuah
(larik 18) dan kemudian, dalam tatanan yang metafora yang merujuk kepada ‘posisi yang
berturutan, metafora tanpa pepohonan (larik 19), tinggi dan tak terjangkau (oleh rakyat)‘, juga
tanpa danau persinggahan (larik 20), dan tanpa berdiam para teknokrat. Bedanya: bila para
bayangan ujungnya (larik 21). Selesailah sudah cukong telah melakukan tindak pelecehan
bagian pertama dari puisi ini. Tanda baca titik- dan penghinaan luar biasa (berak) atas
titik mengakhirinya, untuk selanjutnya beralih martabat (kepala) rakyat, para teknokrat justru
ke bagian kedua yang diawali dengan sebuah melanggengkan asumsi-asumsi kolonial tentang
bait yang paralel dengan bait pertama. bangsa yang malas dan, sebagai konsekuensinya,
mesti dibangun, dibina, dientaskan, apapun!
(22) Menghisap udara Bangsa yang mesti di-up- grade dan disesuaikan
(23) yang disemprot deodorant,
(24) aku melihat sarjana-sarjana dengan teknologi yang didatangkan dari luar.
menganggur Maka, sebuah ironi langsung mencuat di
(25) berpeluh di jalan raya; sini karena, sebagai implikasi dari asumsi
(26) aku melihat wanita bunting kolonial tersebut, ternyata bukannya teknologi
(27) antri uang pensiun.
yang mesti disesuaikan dengan (kepentingan)
Subjek dilesapkan lagi pada larik 22, rakyat, melainkan justru sebaliknya. Nalar
meskipun untuk sekali ini terlalu mudah bagi kita para teknokrat yang jungkir-balik begini tentu
untuk memunculkannya kembali sebagai aku disebabkan oleh kesenjangan oposisional yang

116
Jurnal Poetika Vol. I No. 2, Desember 2013

terlalu jauh dengan rakyat (mereka berada di yang membentur itu, terjadi pula ketidakadilan.
langit, tidak berpijak pada realitas di bumi). Bersamaan dengan itu juga, pada larik 44, ada
delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan.
(34) Gunung-gunung menjulang. Apa yang dilakukan oleh anak-anak itu? Mereka
(35) Langit pesta warna di dalam senjakala. hanya termangu-mangu, bengong dan linglung,
(36) Dan aku melihat
(37) protes-protes yang terpendam, di kaki dewi kesenian (larik 45). Frasa metonimik
(38) terhimpit di bawah tilam. yang terakhir ini pasti bernada ironik pula:
betapa (dewi) kesenian tidak mampu berbuat
Pergeseran diagramatik dalam konteks apa-apa ketika dihadapkan pada problem-
temporal terjadi mulai dari bait ini, dari pagi dan problem sosial konkret di sekitarnya!
fajar pada larik 07-08 ke senjakala pada larik 35
di atas. Sang waktu boleh bergeser, namun sang (46) Bunga-bunga bangsa tahun depan
subjek masih tetap saja melakukan tindakan (47) berkunang-kunang pandang matanya,
(48) di bawah iklan berlampu neon.
yang sama: melihat. Untuk sekali ini, hal yang (49) Berjuta-juta harapan ibu dan bapak
menjadi objek dari tindakan melihat adalah (50) menjadi gebalau suara yang kacau,
protes-protes yang terpendam dan terhimpit di bawah (51) menjadi karang di bawah muka
tilam, sebuah metafora predikatif ganda yang samodra.
tersusun berturutan, sebagai grafik yang
terarah. Tentu saja bunga-bunga bangsa yang
merujuk kepada ‘generasi muda’ pada larik 46
(39) Aku bertanya, ini adalah sebuah metafora, yang bahkan bisa
(40) tetapi pertanyaanku dibilang sebagai metafora mati (dead metaphor),
(41) membentur jidat penyair-penyair yang tidak lagi terasa segar lantaran sudah
salon, menjadi klise (cf. Teeuw, 1983: 125). Demikian
(42) yang bersajak tentang anggur dan
rembulan, pula pandang mata yang berkunang-kunang pada
(43) sementara ketidakadilan terjadi di larik berikutnya. Sementara iklan berlampu neon,
sampingnya sebagai sebuah metonimi, pada larik 48 jelas-
(44) dan delapan juta kanak-kanak tanpa jelas mewakili sebuah ‘dunia konsumsi’ yang
pendidikan
(45) termangu-mangu di kaki dewi jor-joran, gemerlap “conspicuous consumption”,
kesenian. pinjam istilah dari Veblen. Tiada beda dengan
anak-anak yang berkunang-kunang pandang mata-
Sejajar dengan larik 11 dan 12 sebelumnya, nya itu, para orang tua (ibu dan bapak, larik 49
larik 39 dan 40 menyodorkan pengulangan dan 50) pun pupus harapannya, berubah
leksikal: subjek bertanya, yang kemudian diikuti menjadi gebalau suara yang kacau. Metafora
oleh konjungsi yang menyatakan makna tentang ‘harapan’ sebagai gebalau suara ini
‘pertentangan’ (tetapi). Kembali pula muncul diikuti oleh sebuah metafora lain (karang)
metafora predikatif (membentur), meskipun setelah pengulangan kata menjadi pada larik 51:
kali ini objek yang mengikutinya mengalami harapan itu tenggelam bagaikan karang di bawah
substitusi: bukan lagi metafora meja kekuasaan muka samodra. Coba bandingkan dengan Teeuw
dan papantulis-papan tulis, melainkan jidat (1983: 124) yang memberi interpretasi begini:
peyair-penyair salon. Sebagai sebuah metonimi, “[...] mereka juga bahaya yang laten: merupakan
jidat pada larik 41 mewakili ‘pikiran’ dan gebalau suara yang kacau, chaos suara, dan
‘imajinasi’ para penyair yang kebi(a)saannya karang di bawah muka samodra: bahaya di mana
tiada lebih dari bersajak tentang anggur dan kapal negeri nanti mungkin akan kandas dan
rembulan. Larik 43 menghadirkan konjungsi lain karam”. Metafora-metafora ini, bila kita baca
yang bermakna ‘keberbarengan’ (sementara), secara beruntun, membayangkan sebuah grafik
jadi, berbarengan dengan pertanyaan subjek yang linear: dari anak ke orang tua; dari cahaya

117
Jurnal Poetika Vol. I No. 2, Desember 2013

iklan yang menyilaukan ke suara yang chaotic. sebagai “kesimpulan” induktif karena itu,
pemakaian tanda tanya di sini tidak lagi
(52) Kita harus berhenti membeli rumus- diperlukan. Kedua pertanyaan ini diajukan
rumus asing. mengikuti pola yang direksional: bermula
(53) Diktat-diktat hanya boleh memberi
metode, tentang arti kesenian, kemudian diikuti
(54) tetapi kita sendiri mesti merumuskan pertanyaan tentang arti kecendekiaan (berpikir,
keadaan. olah-intelektual). Pertanyaan retoris, apalagi
(55) Kita mesti keluar ke jalan raya, jika telah menjadi kesimpulan, pastilah tak
(56) keluar ke desa-desa,
(57) mencatat sendiri semua gejala, membutuhkan jawaban.
(58) dan menghayati persoalan yang Titik-pijak dari telaah di atas sebetulnya
nyata. saya pinjam dari sebuah pernyataan singkat
Rendra sendiri tentang “bentuk” yang
Mulai dari larik 52 terjadi penggantian menjadi preferensi bagi puisi-puisi pamplet.
deiksis personal, dari aku ke kita. Substitusi Saat merefleksikan proses-proses kreatifnya
subjek ini pun merupakan suatu peralihan yang sebagai seorang penyair, Rendra (1984: 69)
diagramatik, tentunya, yakni dari subjek yang mengatakan bahwa untuk puisi-puisi pamplet
tunggal dan eksklusif ke subjek yang jamak ini dia secara sadar sudah memilih “struktur
dan inklusif. Empati dan keterlibatan subjek sajak yang mengandung skema dan metafora
ditandai dengan pilihan kata kita, bukan lagi yang mempunyai kekuatan grafis” (italiks sesuai
aku yang berjarak dari engkau atau mereka. dengan aslinya) (Becker, 2000: 350). Memang
Celakanya, bersamaan dengan hadirnya empati tidak banyak penyair Indonesia yang mampu
ini, subjek mulai mempertontonkan sikap merumuskan konsep kreatifnya sebagai sebuah
normatif yang cenderung memutlakkan: harus penyataan metodologis. Di samping Rendra,
(mesti) begini, hanya boleh begitu. Solusi yang paling- paling cuma ada Chairil Anwar, Subagyo
ditawarkan pun berupa larangan (harus berhenti, Sastrowardoyo, dan Sutardji Calzoum Bachri.
larik 52) dan pembatasan (hanya boleh, larik 53), Berkaitan dengan paruh pertama dari
yang biasanya diikuti pula dengan perintah. pernyataan Rendra tersebut, yakni tentang
Oleh karena itu, setelah konjungsi tetapi, larik 54 struktur puisi pamplet yang skematik, telah
pun menyodorkan afirmasi tindakan yang juga secara cermat dikupas oleh Teeuw (1983: 120)
mutlak (mesti), yakni merumuskan. Untuk dapat lewat kasus “Sajak Lisong”: bahwa struktur
merumuskan keadaan, kita mesti keluar, langsung tersebut dibina atas dasar prinsip kesejajaran,
berhadapan dengan kenyataan, lalu mencatat dan pengulangan secara sejajar, yang dikembangkan
menghayati-nya. Inilah tindakan-tindakan yang dalam sebuah perspektif waktu. Paruh kedua
harus kita kerjakan, yang oleh Rendra sengaja dari penyataan Rendra merujuk secara khusus
disusun secara berturutan, skematik, dengan kepada soal metafora yang berkekuatan grafis,
mengikuti logika metodologis ilmu-ilmu sosial. yang mampu menghadirkan relasi-relasi
simetris (Per Hage, 1979 :116). Teeuw rupanya
(59) Inilah sajakku. tidak terlalu tertarik mengupas masalah ini.
(60) Pamplet masa darurat.
(61) Apakah artinya kesenian, Dia sekadar mengatakan secara singkat, dalam
(62) bila terpisah dari derita lingkungan. nada minor pula, bahwa dari segi perkiasan
(63) Apakah artinya berpikir, puisi pamplet tidak banyak menyodorkan
(64) bila terpisah dari masalah kehidupan. metafora dan perumpamaan. Seandainya ada
kiasan di sana, yang terbatas pula jumlahnya,
“Sajak Sebatang Lisong” ini, pada nyaris seluruhnya bersifat konvensional, tidak
akhirnya, dituntaskan oleh Rendra dengan mengejutkan, tidak membawa inovasi yang
sebuah definisi-diri sebagai sebuah pamplet merombak konvensi puisi (Teeuw, 1983:
(larik 59-60) dan dua buah pertanyaan retoris 125). Saya pribadi tidak bersepakat dengan

118
Jurnal Poetika Vol. I No. 2, Desember 2013

penilaiannya. Ini pula yang menjadi salah satu


alasan kenapa saya melakukan pembacaan(-
ulang) atas puisi Rendra, “Sajak Sebatang
Lisong”, dengan terutama berfokus kepada
kekuatan grafis metafora dan figur-figur retorik
lain yang mungkin terdapat di dalamnya.

Daftar Pustaka
Becker, Cf. A.L.. 2000. Beyond Translation: Essays
toward a Modern Philology. Ann Arbor:The
University of Michigan Press.
Judith T. Irvine & Susan Gal. 2000. “Language
Ideology and Linguistic Differentiation,”
dalam Paul V. Kroskrity (ed.), Regimes of
Language: Ideologies, Polities, and Identities
(Santa fe). New Mexico: School of
American Research Press.
Per Hage. 1979. “Graph Theory as a Structural
Model in Cultural Anthropology,” Annual
Review of Anthropology (Vol. 8).
Rendra. 1984. Mempertimbangkan Tradisi.
Jakarta: Gramedia.
Teeuw, A. 1983. Tergantung pada Kata. Jakarta:
Pustaka Jaya.

119

Anda mungkin juga menyukai