Korelasi antara sastra dan sosiologi tentunya seringkali menjadi pertanyaan di benak orang-orang awam. Masih relevankah pengunaan ilmu sosiologi dalam membedah karya-karya sastra? Mengapa dalam mempelajari bahasa dan sastra, kita masih memerlukan ilmu bantu berupa sosiologi? Lantas di manakah peran sosiologi dalam sastra itu sendiri? Menurut C. Wright Mills untuk memahami apa yang terjadi di dunia, perlu adanya imajinasi sosiologi. Dengan begitu, kita dapat memahami sejarah hidup masyarakat, riwayat pribadi, hingga hubungan keduanya. Ada lagi seorang ahli bernama Erving Goffman yang berpendapat bahwa sosiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang interaksi sosial dalam kehidupan sehari- hari. Kendati demikian, tentu ada garis perbedaan antara sastra dan sosiologi. Menurut Donny Syofyan dalam artikelnya di The Jakarta Post, ilmu sosiologi bertujuan untuk membantu manusia membuat analisis objektif dari masyarakat yang dikajinya, sedangkan sastra merasuk ke dalam sendi-sendi terdalam stratifikasi sosial dan mengekspresikan cara-cara manusia memahami kelompoknya dengan menggunakan perasaan. Berangkat dari definisi-definisi tersebut, jelaslah bahwa sosiologi berkaitan erat dengan kehidupan masyarakat sehari-hari dan sifatnya menyeluruh, dalam artian segala aspek kehidupan bermasyarakat dari norma, tata krama, interaksi manusia, dampak sosial, maupun bahasa baik lisan maupun tertulis, dibahas di dalamnya. Sedangkan sastra—yang menggunakan bahasa sebagai instrumennya—diciptakan oleh seorang penulis. Penulis sendiri adalah bagian dari masyarakat, ia terikat oleh kelompok sosial tertentu yang menyangkut pendidikan, agama, adat istiadat, dan segenap lembaga sosial yang ada di sekitarnya. Maka daripada itu, sebuah karya sastra tidak bisa lepas dari jangkauan ilmu sosiologi sebab penulisnya pun merupakan bagian dari sebuah lembaga sosial. Dalam konteks ini, sosiologi bisa diumpamakan sebagai pisau bedah untuk meneliti sebuah karya sastra melalui perspektif-perspektif berbeda. Karya sastra, tentunya mengandung fenomena-fenomena sosial yang menarik untuk dibahas. Contohlah saja novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata. Dengan menggunakan ilmu sastra, kita bisa mempelajari gaya bahasa dan penceritaan penulisnya dan membedah buku tersebut secara gramatikal. Namun, dengan ilmu sosiologi, kita mampu mengetahui dan mempelajari potret sosial penuh kemiskinan dan keterbelakangan di Pulau Belitung waktu itu lewat narasi dan dialog tokoh-tokohnya. Lewat kacamata sosiologi, kita juga bisa mengidentifikasi dampak status sosial terhadap interaksi sehari-hari pada latar waktu dalam novel tersebut. Hal ini menunjukkan, karya sastra melalui kacamata sosiologi dapat dipandang sebagai cermin masyarakat tertentu pada waktu tertentu pula. Hal ini sekaligus membuktikan signifikansi dan dependensi sastra terhadap ilmu bantu sosiologi.