Anda di halaman 1dari 9

Makalah Filsafat Ilmu

KONSEP SAKIT

“TUBERCULOSIS”

DISUSUN OLEH:

NURFADHILAH

K1A1 19 059

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HALU OLEO

2021
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Penyakit Tuberkulosis (TB) merupakan masalah yang serius bagi
dunia, karena menjadi penyebab kematian terbanyak dibanding dengan
penyakit infeksi lain. Diperkirakan 95% dari kasus TB, terbanyak di negara
berkembang. Indonesia merupakan penyumbang penyakit TB terbesar ketiga
di dunia setelah India dan China.
Tuberkulosis adalah penyakit menular yang masih menjadi perhatian
dunia. Hingga saat ini, belum ada satu negara pun yang bebas TB. Sepertiga
dari populasi dunia sudah tertular dengan TB di mana sebagian besar
penderita TB adalah usia produktif 15-55 tahun.Hal ini secara langsung juga
berkaitan dengan economic lost yaitu kehilangan pendapatan rumah tangga.
Menurut World Health Organization (WHO), seseorang yang menderita TB
diperkirakan akan kehilangan pendapatan rumah tangganya sekitar 3–4
bulan. Bila meninggal akan kehilangan pendapatan rumah tangganya sekitar
15 tahun.
Berdasarkan laporan WHO dalam Global Report 2009, pada tahun
2008 Indonesia berada pada peringkat 5 dunia penderita TB terbanyak
setelah India, China, Afrika Selatan, dan Nigeria. Peringkat ini turun
dibandingkan tahun 2007 yang menempatkan Indonesia pada posisi ke-3
kasus TB terbanyak setelah India dan China.
Menurut Prof. Tjandra Yoga, sedikitnya ada 3 faktor yang
menyebabkan tingginya kasus TB di Indonesia. Waktu pengobatan TB yang
relatif lama 6–8 bulan menjadi penyebab penderita TB sulit sembuh karena
pasien TB berhenti berobat setelah merasa sehat meski proses pengobatan
belum selesai. Selain itu, masalah TB diperberat dengan adanya peningkatan
infeksi human immunodeficiency virus/acquired human immunodeficiency
syndrome (HIV/AIDS) yang berkembang cepat dan munculnya permasalahan
multi drugs resistant (MDR). Masalah lain adalah adanya penderita TB laten,
di mana penderita tidak sakit namun akibat daya tahan tubuh menurun,
penyakit TB akan muncul.
Dunia telah menempatkan TB sebagai salah satu indikator
keberhasilan pencapaian Milenium Development Goals (MDGs). Secara
umum ada 4 indikator yang diukur, yaitu prevalensi, mortalitas, penemuan
kasus, dan keberhasilan pengobatan. Dari ke-4 indikator tersebut 3 indikator
sudah dicapai oleh Indonesia, angka kematian yang harus turun separuhnya
pada tahun 2015 dibandingkan dengan data dasar tahun 1990, dari
92/100.000 penduduk menjadi 46/100.000 penduduk. Indonesia telah
mencapai angka 39/100.000 penduduk pada tahun 2009. Angka Penemuan
kasus TB basil tahan asam (BTA) positif mencapai lebih 70%. Indonesia telah
mencapai angka 73,1% pada tahun 2009 dan mencapai 77,3% pada tahun
2010. Angka ini akan terus ditingkatkan agar mencapai 90% pada tahun 2015
sesuai target rencana pembangunan jangka menengah nasional (RJPMN).
Angka keberhasilan pengobatan telah mencapai lebih dari 85%, yaitu 91%
pada tahun 2009.
Penyakit tuberculosis adalah penyakit menular langsung yang
disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. Sumber penularan
adalah penderita TB BTA positif. Pada waktu batuk atau bersin, penderita
menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet. Orang dapat terinfeksi
kalau droplet terhirup ke dalam saluran pernafasan. Meskipun secara
nasional menunjukkan perkembangan yang meningkat dalam penemuan
kasus dan tingkat kesembuhan, pencapaian di tingkat provinsi masih
menunjukkan disparitas antar wilayah. Dari data pencapaian target
pengendalian TB per provinsi tahun 2009, diketahui bahwa sebanyak 28
provinsi di Indonesia belum dapat mencapai angka penemuan kasus 70%
dan hanya 5 provinsi menunjukkan pencapaian 70% dan 85% kesembuhan.
Penularan kuman TB dipengaruhi oleh perilaku penderita, keluarga
serta masyarakat dalam mencegah penularan penyakit TB. Perilaku dalam
mencegah penularan penyakit TB antara lain, menutup mulut pada waktu
batuk dan bersin, meludah pada tempat tertentu yang sudah diberi
desinfektan, imunisasi Bacille Calmette Guerin (BCG) pada bayi, menghindari
udara dingin, mengusahakan sinar matahari masuk ke tempat tidur, serta
makan makanan yang tinggi karbohidrat dan tinggi protein. Mengingat
penyakit TB dapat berakibat fatal dan kematian, sudah seharusnya
masyarakat mengetahui dan memahami berbagai masalah dan dampak dari
penyakit ini, sehingga mereka dapat melindungi diri, keluarga, dan
lingkungannya dari penyebaran penyakit ini. Dengan kata lain bahwa perilaku
keluarga dalam pencegahan sangat berperan penting dalam mengurangi
risiko penularan kuman TB.
Dalam upaya penanggulangan penyakit TB peran serta keluarga
dalam kegiatan pencegahan merupakan faktor yang sangat penting. Peran
serta keluarga dalam penanggulangan TB harus diimbangi dengan
pengetahuan yang baik. Pengetahuan adalah hal apa yang diketahui oleh
orang terkait dengan sehat dan sakit atau kesehatan, misal pengertian,
penyebab, cara penularan serta cara pencegahan suatu penyakit.
Pengetahuan merupakan domain terbentuknya suatu perilaku. Untuk dapat
menghindari terjadinya TB, maka pemahaman tentang penyakit dan cara
mencegah TB menjadi dasar yang sangat penting. Oleh karena itu penting
untuk memberikan edukasi pada pasien TB agar mengetahui dan memahami
hingga mengaplikasikan cara pencegahan dan kekambuhan TB untuk
meningkatkan kualitas hidup.

1.2. Rumusan Masalah


Bagaimana hubungan penyakit tuberculosis dalam dimensi biologis,
psikologis dan sosiologis?
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Penyakit Tuberculosis dalam dimensi biologis


Penyakit Tuberkulosis paru merupakan salah satu penyakit yang sangat
mempengaruhi kehidupan individu. Dampak Tuberkulosis paru dalam dimensi
biologis yakni adanya kelemahan fisik secara umum, batuk yang terus
menerus, sesak napas, nyeri dada, nafsu makan menurun, berat badan
menurun, keringat pada malam hari dan kadang-kadang panas yang tinggi.

2.2. Penyakit Tuberculosis dalam dimensi psikologis


TB paru merupakan salah satu penyakit kronik yang memerlukan
pengobatan jangka panjang dengan menggunakan banyak obat-obatan dan
menimbulkan dampak fisik seperti batuk produktif yang berkepanjangan lebih
dari 3 minggu, sesak nafas, nyeri dada, mudah lelah, dan nafsu makan
menurun. Perubahan fisik tersebut dapat membuat pasien kesulitan dalam
melakukan pekerjaan, aktivitas sehari-hari, dan menjalankan peran serta
tanggung jawabnya terhadap keluarga maupun masyarakat. Perubahan
psikologis timbul biasanya karena pikiran pasien tentang kesembuhan yang
relatif kecil, ancaman kematian, aturan minum obat, maupun komplikasi yang
dapat terjadi. Keadaan psikologis yang semakin tidak stabil dapat
memperparah kondisi pasien TB paru. TB paru juga dapat mengakibatkan
masalah psikososial, dampak psikososial antara lain adalah adanya masalah
psikologis berhubungan dengan penyakitnya seperti merasa bosan, kurang
motivasi, sampai kepada gangguan jiwa yang cukup serius seperti depresi
berat.
Masalah psikososial lainnya adalah adanya stigma di masyarakat,
merasa takut akan penyakitnya yang tidak dapat disembuhkan, merasa
dikucilkan, dan tidak percaya diri, serta masalah ekonomi .Hal-hal tersebut
tentunya membuat pasien TB paru mengalami stres yang disebabkan tekanan
baik dari dalam maupun luar. Stres yang tidak diatasi akan merangsang
hipotalamus untuk mensekresi corticotropin releasing factor (CRF) yang
menyebabkan kelenjar hipofisis mensekresikan adrenocorticotropin releasing
hormone (ACTH) yang merangsang korteks adrenal untuk mensekresikan
kortisol. Peningkatan sekresi kortisol yang berlebihan pada psien TB paru
dapat menyebabkan timbulnya komplikasi, menurunnya sistem kekebalan
tubuh, dan metabolisme yang berlebihan. Selain itu Biasanya pasien menjadi
mudah tersinggung, marah, putus asa oleh karena batuk yang terus menerus
sehingga keadaan sehari-hari yang kurang menyenangkan serta adanya
perasaan rendah diri oleh karena malu dengan keadaan penyakitnya sehingga
klien selalu mengisolasi dirinya.

2.3. Penyakit Tuberculosis dalam dimensi sosiologis


Pengobatan tuberkulosis (Tb) yang makan waktu berbulan-bulan tidak
hanya berdampak pada psikis pasien. Penyakit yang disebabkan bakteri
Mycobacterium tuberculosis itu juga menimbulkan dampak sosial. Yang paling
sering terjadi, penderita kehilangan pekerjaan. sebagian besar infeksi Tb
terjadi pada usia produktif, 15-54 tahun. Meskipun diagnosis dan pengobatan
tuberkulosis gratis, pasien Tb harus mengeluarkan biaya transportasi,
akomodasi, dan perbaikan gizi dalam penyembuhan. Namun, banyak di antara
mereka justru kehilangan pekerjaan karena stigma terhadap pasien Tb yang
masih kuat di masyarakat. Itu juga disebabkan ketidakmampuan melakukan
kerja akibat sakit. Karena itulah, penanganan Tb harus dilakukan lintas sektor.
Selain itu, salah satu faktor yang mempengaruhi penyakit Tuberkulosis
adalah status gizi. Status gizi merupakan salah faktor risiko yang berperan
terhadap timbulnya penyakit Tuberkulosis. Status gizi adalah salah satu faktor
terpenting dalam pertahanan tubuh terhadap infeksi. Pada keadaan gizi yang
buruk, maka reaksi kekebalan tubuh akan melemah sehingga kemampuan
dalam mempertahankan diri terhadap infeksi menjadi menurun. Oleh sebab itu,
peningkatan status gizi menjadi salah satu program penanggulangan
Tuberkulosis di Indonesia
Faktor yang berpengaruh dalam penyebaran Tuberkulosis Paru dan
kegagalan dalam pengobatan secara tuntas adalah perilaku masyarakat,
sehingga setiap tahun selalu ada kasus baru yang tercatat. Salah satu yang
mempengaruhi kesehatan adalah perilaku hidup, sehingga jika seseorang
memiliki perilaku hidup yang tidak sehat maka dapat terkena penyakit infeksi
dan terjadi penurunan status gizi. Sebagian besar para penderita Tuberkulosis
Paru mempunyai kebiasaan atau perilaku yang tidak sehat, seperti membuang
dahak di sembarangan tempat dan tidak menutup mulut saat batuk. Hasil
penelitian juga menunjukkan bahwa perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS)
dalam lingkungan keluarga berkorelasi positif dengan status gizi.
Faktor lain yang mempengaruhi status gizi seseorang adalah status
sosial ekonomi. Pendapatan per kapita pasien Tuberkulosis Paru menjadi
salah faktor yang berhubungan dengan status gizi pada pasien Tuberkulosis
Paru. Pendapatan keluarga dipengaruhi oleh jenis pekerjaan seseorang yang
akan mempunyai dampak terhadap pola hidup sehari-hari diantaranya
konsumsi makanan, pemeliharaan kesehatan selain itu juga akan
mempengaruhi terhadap kepemilikan rumah (kontruksi rumah). Berdasarkan
hasil penelitian menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara
pekerjaan dengan status gizi. Tingkat pendidikan juga mempunyai hubungan
yang eksponensial dengan tingkat kesehatan. Semakin tinggi tingkat
pendidikan semakin mudah menerima konsep hidup sehat secara mandiri,
kreatif, dan berkesinambungan. Latar belakang pendidikan seseorang
berhubungan dengan tingkat pengetahuan, jika tingkat pengetahuan gizi
seseorang baik maka diharapkan asupan makan baik sehingga status gizinya
juga menjadi baik.
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Penyakit Tuberkulosis merupakan salah satu penyakit yang sangat
mempengaruhi kehidupan individu. Dampak Tuberkulosis antara lain:
- Segi Biologis, seperti adanya kelemahan fisik secara umum, batuk yang
terus menerus, sesak napas, nyeri dada, nafsu makan menurun, berat
badan menurun, keringat pada malam hari dan kadang-kadang panas
yang tinggi
- Segi Psikologis, seperti biasanya klien mudah tersinggung , marah, putus
asa oleh karena batuk yang terus menerus sehingga keadaan sehari-hari
yang kurang menyenangkan.
- Segi Sosial, seperti adanya perasaan rendah diri oleh karena malu
dengan keadaan penyakitnya sehingga klien selalu mengisolasi dirinya.

3.2. Saran
Bagi lnstansi pemerintah yang membidangi masalah penyakit menular
khususnya TB berdasarkan pengaruh faktkor lingkungan fisik dan biologi.
Maka disarankan agar instansi terkait yaitu Dinas Kesehatan agar melakukan
upaya promosi kesehatan untuk meminimalkan risiko terjadinya TB terutama
keadaan lingkungan fisik dan lingkungan biologi.
DAFTAR PUSTAKA

Hanik, E. N., Haris, A., Rr Dian, T., & Yunita, F. C. (2019). An Effect of Breath
Dhikr on the Stress Level of Patients with Pulmonary
Tuberculosis. Indian Journal of Public Health Research&
Defelopment, 10(8), 96-101.
Indarwati, R. D. (2014). Hubungan Antara Kondisi Sosial Ekonomi dan
Perilaku Hidup Sehat dengan Status Gizi Pasien Tuberkulosis Paru di
Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Surakarta. Skripsi. Surakarta:
Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Indriyani, Astuti. 2018. Tuberkulosis juga Berdampak Sosial.
https://mediaindonesia.com/humaniora/199673/tuberkulosis-juga-
berdampak-sosial. Diakses pada 23 Juni 2021.
Syakti, R. S. (2014). Management Of Pulmonary Tuberculosis In Relapse
Patient. Jurnal Agromedicine, 1(3), 207-210.
Zainita, A. P., & Ekwantini, R. D. (2019). Penerapan Batuk Efektif dalam
Mengeluarkan Sekret Pada Pasien Tuberkulosis Dalam Pemenuhan
Kebutuhan Oksigenasi di Keluarga (Doctoral dissertation, Poltekkes
Kemenkes Yogyakarta).

Anda mungkin juga menyukai