Advance in The Management of Cancer Pain (Fokus On Oros Hydromorphone)
Advance in The Management of Cancer Pain (Fokus On Oros Hydromorphone)
Wiwiek Indriyani M.
Pusat Pengembangan Paliatif & Bebas Nyeri
RSUD Dr. Soetomo – FK Unair
Surabaya
PENDAHULUAN
Saat ini kanker masih merupakan masalah yang serius dengan jumlah
penderita yang terus meningkat. Belum ada data pasti tentang penderita kanker
di Indonesia. Namun data WHO menyatakan bahwa prevalensi penderita
kanker baru adalah 0,1% dari jumlah penduduk pertahunnya. Jika di
implementasikan di Indonesia yang jumlah penduduknya adalah 202 454 994
(Profil Kesehatan Masyarakat 2001, Ditjen Bimkesmas Dep Kes RI, 2001),
maka jumlah penderita baru adalah 202.000 orang pertahun, di Surabaya
jumlah penduduknya adalah sekitar 3 juta, maka jumlah penderita baru adalah
3000 pertahun. Penyakit kanker saat ini menjadi penyebab kematian kedua
setelah penyakit kardiovaskuler. Berbagai keluhan yang dirasakan sebagai
penderitaan yang sangat berat bagi penderita kanker baik akibat penyakit
kankernya maupun berhubungan dengan pengobatannya, sehingga dapat
menurunkan kualitas hidup penderita maupun keluarganya. Diantara berbagai
keluhan tersebut, nyeri merupakan keluhan yang paling sering ditemukan.
Berdasarkan data dari WHO 55 – 100% penderita kanker mengalami nyeri.
Para peneliti di Negara maju melaporkan bahwa 30 – 40% penderita kanker
mengalami nyeri derajat sedang-berat saat diagnosis, 60-100% mengalami
nyeri derajad sedang - berat pada kanker stadium lanjut. Hal ini menunjukkan
bahwa prevalensi nyeri meningkat dengan makin progresifnya penyakitnya.
Sarjana lain melaporkan nyeri kanker antara 14 – 100% diantara pasien kanker
dan terdapat pada 50-70% pasien kanker yang menjalani terapi. Beberapa
penelitian melaporkan lebih dari 20% pasien kanker mengalami nyeri berat.
Di Instalasi Paliatif & Bebas Nyerid RSUD Dr. Soetomo dalam kurun tahun
2011 terdapat 920 pasien baru, 898 (97,6%) menderita nyeri kanker, 380
(41,3%) mengalami nyeri berat. Dua per tiga dari nyeri pada kanker adalah
akibat infiltrasi tumor dan hampir seper empatnya akibat terapi kanker. Nyeri
merupakan salah satu penyebab total suffering disamping problem psikologis,
sosial, kultural dan spiritual. Pemahaman tentang patofisiologi, klasifikasi,
derajat nyeri dan implementasi the WHO three step analgesic ladder yang
kemudian dikembangkan oleh WHO menjadi the WHO four step anlgesic
ladder, yang merupakan perawatan interdisiplinier dan multiprofesional
(multimodalitas) secara komprehensif dan holistik dibidang biologis,
psikologis, sosial dan spiritual akan memberikan hasil terapi yang dapat
meningkatkan kualitas hidup pasien. Data WHO menyatakan bahwa dengan
penanganan tersebut dapat mengurangi nyeri sampai 80 - 90%.
Penatalaksanaan nyeri kanker dibagi menjadi tiga kelompok : 1. Terapi
1
spesifik anti kanker yang bertujuan untuk menghilangkan atau mengurangi
ukuran tumor penyebab yang terdiri dari tindakan bedah, radioterapi,
kemoterapi dan terapi hormon; 2. Merupakan prosedur non invasif termasuk
analgesik sistemik dan obat-obat adjuvant, psychologic techniques (e.g,
progressive relaxation, biofeedback, behavior modification, hypnosis, and
other cognitive behavioral interventions), neurostimulation techniques dan
terapi fisik; 3. Interventional, Blocks (somatic, sympathetic), Spinal
medication, Spinal cords stimulator, Surgical
2
Pemahaman yang keliru tentang penyakit, nyeri dan kematian, faktor emosional
sesuai kulturnya, hal-hal yang berhubungan dengan ras, kendala bahasa,
kepercayaan religious atau non religious, kebiasaan atau tradisi, struktur keluarga
misalnya wanita tidak mempunyai hak untuk menentukan pengobatan atas dirinya
E. Faktor spiritual
Berhubungan dengan eksistensi diri seperti perasaan bahwa kehidupannya sudah
tidak berarti (kehilangan harapan), kehilangan integritas personal seperti
perubahan fisik, psikologis dan sosial dan peningkatan ketergantungan diri
terhadap orang lain; penyesalan dan merasa bersalah terhadap hal-hal yang terjadi
pada masa lampau; perasaan atau marah terhadap ketidakadilan didalam hidup;
keinginan untuk mencabut atau menguatkan kembali kepercayaan keagamaannya
(sehubungan kepercayaan bahwa penyakit itu adalah suatu hukuman).
KOMPONEN NYERI
Nyeri kanker, seperti nyeri nonkanker, adalah suatu proses subyektif yang
kompleks dan dipengaruhi oleh tiga komponen utama yaitu komponen dari sensory
discrimination berperan terhadap pengenalan (penghayatan), lokalisasi dan durasi,
intensitas dan kualitas nyeri, komponen afektif berperan pada rasa cemas, takut dan
menderita akibat nyeri, komponen kognitif berperan dalam interpretasi terhadap
nyeri berbahaya atau tidak berbahaya. Selain itu nyeri kanker juga bersifat
mutidemensional yang disebut sebagai Total Pain dimana faktor biologis, psikologis
sosial, kultural/ budaya dan spiritual saling terkait berpengaruh terhadap persepsi dan
respon terhadap nyeri yang timbul pada seseorang.
Nyeri Nyeri
Penderitaan Penderitaan
Spiritual fisik Spiritual fisik
Sosial
Sosial
3
STIMULUS
Unique patient aspects
eg previous, multiple or other physical symptoms
progressive pains from cancer
eg fatigue, adverse effects
from treatment
Spiritual concerns
Physical sympyoms
From noncancer pathology
Psychological symptoms
eg anxiety, uncertainty
anger, guilt, sadness Social difficulties
eg relationship
difficulties
Cultural issues loss of income
eg communications change of family role
difficulties health system difficulties
(such as clinic waiting time)
PERCEIVED PAIN
What the patient says it is
what must be treated
KLASIFIKASI NYERI
I. BERDASARKAN WAKTU :
1. Nyeri transient (sementara)
Berlangsung hitungan menit, misalnya nyeri akibat cubitan atau pukulan ringan
2. Nyeri akut
Berlangsung hitungan jam – hari (kurang dari 1 bulan), bersifat terlokalisasi,
tajam, nyeri dengan intensitas tinggi disertai tanda respon fisiologis dari berbagai
organ dan aktivasi saraf simpatis (berkeringat, palpitasi dan peningkatan tekanan
darah), disertai anxietas dan rasa takut. Nyeri akut pada penderita kanker dapat
terjadi sebagai berikut : nyeri yang berhubungan dengan tindakan diagnostik
(bone marrow aspiration, lumbal pungsi, biopsy, sampling darah vena atau
arterial, melografi, endoskopi / kolonoskopi dll); nyeri akut pasca bedah; akibat
intervensi terapi (embolisasi, pleurodesis, nefrostomi, kateterisasi suprapubik dll).
3. Nyeri kronis
4
Berlangsung lebih dari satu bulan – tahun, onsetnya insidious, akibat kerusakan
jaringan yang terus menerus (berkepanjangan) dan progresif, bersifat nyeri difus,
gnawing (sakit yang perih sekali) disertai adaptasi aktivitas saraf simpatis dan
tanda vegatatif kronis termasuk penurunan nafsu makan, malaise, gangguan tidur,
dan iritabilitas, misalnya : nyeri pada penyakit kronis (rheumatoid arthritis,
osteoarthritis), penyakit kanker. Nyeri kronis kadang disertai episode nyeri akut
akibat tindakan bedah atau trauma.
4. Breakthrough pain : yaitu nyeri yang terjadi / timbul pada saat pasien sedang
dalam jangka waktu pemberian obat analgesik (diantara dua jadwal pemberian
obat). Nyeri tersebut antara lain :
4.1. Incident pain
Nyeri yang timbul hanya pada kondisi tertentu, misalnya nyeri timbul saat atau
setelah melakukan pergerakan, batuk, defikasi dan lainnya.
4.2. End-of-dose failure yaitu nyeri timbul beberapa saat sebelum atau mendekati
jadwal permberian obat analgesik berikutnya
PATOFISIOLOGI NYERI
Bagian saraf diseluruh jaringan tubuh yang menerima impuls dinamakan
reseptor yang merupakan kelompok ujung saraf aferen. Kepadatan reseptor dijaringan
5
tubuh berbeda-beda misalnya jaringan yang peka nyeri seperti kornea dan pulpa gigi
menunjukkan kepadatan reseptor sangat tinggi dibanding dengan jaringan yang
kurang peka nyeri seperti otot dan organ-organ visera. Jenis reseptor cukup banyak,
ada yang peka terhadap peregangan, temperatur, zat-zat kimia, ada yang peka
terhadap berbagai stimuli sehingga disebut reseptor polimodal. Reseptor polimodal ini
disebut nosiseptor yang kebanyakan berupa akhiran serabut saraf C dan sebagian
serabut saraf Aδ dan Aβ (terutama diartikuler).
Stimulus (akibat trauma atau injury, akibat inflamasi) ditangkap oleh bagian
bebas (ujung) saraf aferen (nosiseptor) kemudian stimulus termal, mekanikal /
mediator inflamasi (MI) dan kemikal dirubah menjadi arus listrik dan dihantarkan
melalui serabut saraf Aδ yang merupakan saraf aferen myelinated fiber diameter besar
yang mengkonduksikan stimulus dengan cepat, juga saraf C unmyelinated fiber
dengan diameter kecil yang mengkonduksikan stimulus dengan lambat. Proses
penghantaran rangsangan ini disebut transduksi. Kedua saraf ini mempunyai cell
bodies di dorsal root ganglia dan keduanya berakhir di lamina II dari dorsal horn =
cornu dorsalis di corda spinalis kemudian membuat sinaps menyeberang melalui
commisure anterior menanjak naik (ascending) melalui traktus spinotalamukus
menuju brainstem dan akhirnya mencapai Talamus (T). Darisana sinaps berikutnya
menanjak naik ke cortex somatosensori (SS) dan association area (AA). Proses
penghantaran dari sinaps di cornu dorsalis sampai cortex cerebri disebut transmisi.
Secara keseluruhan jalur penghantaran rangsang ini disebut jalur excitatory =
ascending pathway (lihat pada gambar) yaitu mulai diterima implus nyeri sampai
timbul persepsi nyeri yang dihayati. Sinaps yang terbentuk diantara neuron-neuron
ini mempunyai neurotransmitter kemis yang membawa pesan dari satu neuron ke
neuron lain. neurotransmitter tersebut meliputi, Substance P, neurokinin A,
Vasoactive Intestinal (VIP), beberapa asam amino seperti glutamate, aspartate dan
homocystein. Transmisi pada sinaps-sinaps ini dapat dihambat oleh beberapa zat
kimia yang paling utama adalah opioid peptides yaitu endorphin, dinorphin dan
enkephalins yang secara alamiah ada dalam tubuh dan mempunyai reseptor opioid
yaitu mu (μ), kappa dan delta (δ). Reseptor μ adalah yang paling penting karena
merupakan reseptor dimana opioid eksogen bekerja.
Sensitisasi sentral di dorsa horn = cornu dorsalis dari spinal cord atau susunan
saraf pusat melibatkan calcium channels dan reseptor AMPA ( α-amino-3-hydroxy-5-
methyl-4-isoxazole propionic acid) juga NMDA (N-methyl-D-Asparate). Pelepasan
dari exitary neurotransmitters dan neurotransmitter termasuk glutamat dan substance
P dapat memproduksi sensitisasi sentral dari neuron-neuron di kornu dorsalis.
Sensitisasi sentral dimediasi oleh calcium channels dan peningkatan transport calcium
menyebabkan impuls-impuls spontan (action potentials) membawa pesan nyeri ke
otak (alodynia adalah suatu indikasi bahwa sensitisasi sentral terjadi di kornu
dorsalis).
Terdapat juga proses modulasi yang mengurangi proses transmisi melalui
jalur inhibisi (descending pathway). Jalur turun dari brainstem dimulai dari Peri
Aquductal Gray (PAG) turun ke cornu dorsalis Corda Spinalis menghambat transmisi
sinaptik sehingga mengurangi masuknya rangsang nyeri sehingga rangsangan nyeri
yang naik jadi kurang dan persepsi intensitas nyeri turun (garis biru) .
Neurotransmitter pada mekanisme ini adalah serotonin (5-hydroxitriptamin).
6
Jalur inhibisi lainnya menurun dari midbrain ke cordaspinalis dan neurotransmitternya
adalah noradrenalin. Tricyclic antidepressant seperti amitriptillin menghambat
reuptake serotonin dan noradrenalin ditingkat presinaptik, sehingga meningkatkan
efek inhibisi. Neurotransmitter lainnya yang berperan dalam jalur inhibitori adalah
GABA (mempertahankan potensial membran mendekati potensial istirahat), glycine,
adenosine, acetylaholine dan somatostatin. Pengaruh rasa takut, stress pada persepsi
nyeri, dimulai dari pusat stress Amygdala turun menghambat kerja Peri Aquaductal
Gray sehingga terjadi disinhibisi jalur modulasi yang menghambat transmisi nyeri
sehingga persepsi nyeri menjadi lebih besar. Pendekatan psikologi, penyuluhan,
informasi yang diberikan mempengaruhi pusat kognitif, association area dan akan
turun rangsang yang memperkuat Peri Aquaductal Gray, sehingga inhibisi, modulasi
meningkat juga kemudian mempengaruhi amygdale sehingga rangsang disinhibisi
turun dan hasil akhirnya persepsi nyeri turun. Penghayatan rasa nyeri terdiri dari 3
komponen yaitu sensory discrimination (I pada gambar) yaitu penghayatan tempat,
intensitas dan kwalitas nyeri, affective (II pada gambar) yaitu perasaan yang timbul :
cemas, takut dan menderita akibat nyeri, cognitive (III pada gambar) yaitu interpretasi
terhadap nyeri berbahaya atau tidak berbahaya.
7
Psikoterapi Association area ( AA)
(Cognitive)
I Tempat, intensitas
Kualitas nyeri
II Affective
Amygda, Rasa Association area ( AA)
takut, Stres, III (Cognitive)
Anxietas
Nyeri berbahaya /
tidak
T T
N
serotonin
Transduksi S
(5-hydroxitriptamin)
M
GABA
Glycine I
Adenosine
Acetylaholin
e
S
Somatostatin
I
Neurotransmitter
Substance P, neurokinin A
Vasoactive Intestinal (VIP),
Glutamate,
Aspartate dan homocystein
8
MANIFESTASI KLINIS
I. NYERI NONSISEPTIF
I.1. Nyeri Nosiseptif Somatik
Nyeri berasal dari kulit, soft tissue, facia, tendon, otot dan tulang.
Disebut nyeri nosiseptif somatik tulang (berasal dari tulang), disebut nyeri
nosiseptif bukan tulang (berasal dari kulit, soft tissue, facia, tendon, otot).
Nyeri terlokalisir dengan jelas, dirasakan sebagai nyeri yang tajam = sharp,
aching = sakit, throbbing = berdenyut, pressure like = seperti ditekan,
gnawing = perih sekali.
I.2. Nyeri Nosiseptif viseral
Berasal dari dalam, nyeri sulit ditentukan lokasinya dan terasa
menyebar (area nyerinya lebih luas), sering menjalar kekulit jauh dari lesinya
(nyeri daerah bahu pada hepatoma) nyeri terasa sakit yang dalam = deep
aching, throbbing = berdenyut, mungkin juga tajam = Sharp bila terjadi
peregangan kapsul organ, rasa tertarik = dragging, rasa terjepit =
squeezing = rasa seperti diremas, bila terjadi obstruksi organ berongga
dapat dirasakan perih sekali = gnawing dan nyeri kolik = colicky pain.
Dapat juga disertai tanda-tanda keterlibatan saraf autonom seperti mual-
mual, berkeringat, takhikardi
10
Kerusakan saraf simpatik menyebabkan nyeri tipe simpatetik, ditandai
dengan nyeri seperti deaferentasi ditambah tanda-tanda disfungsi saraf
simpatik berupa instabilitas vasomotor (eritema, pallor, oedema),
abnormalitas sudomotor (berkeringat), perubahan tropik penipisan kulit
dan atropi jaringan subkutan.
TERAPI NYERI
I. Assesment Nyeri :
1. Anamnesis :
Nyeri merupakan keluhan subyektif karenanya petugas kesehatan harus
meluangkan waktu dan mendengarkan dengan sepenuh hati serta mempercayai
keluhan yang disampaikan penderita. Pada umumnya penderita kanker menderita
lebih dari satu nyeri. Hal yang perlu ditanyakan meliputi : Lokasi nyeri,
penyebab nyeri, lamanya nyeri diderita, beratnya nyeri, progresifitasnya
(apakah makin memberat), frekuensi (kadang-kadang atau terus menerus), durasi
(lamanya timbul nyeri), kualitas nyeri (rasa panas, seperti tertusuk, seperti
tertekan), faktor pencetus (precipitating factor), faktor yang memperberat
nyeri (aggravating factor), pengaruh nyeri terhadap aktivitas, gangguan tidur,
mengganggu perasaan (apakah menyebabkan perasaan sedih atau depresi),
obat-obat atau terapi lain yang digunakan sebelumnya (jenis obat, dosis, cara
pemberian, frekuensi, berupa lama sudah dikonsumsi, efek obat dan efek
sampingnya), faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pemahaman/
persepsi nyeri pada seorang penderita (faktor psikologis misalnya anxietas,
marah = anger, atau depresi; faktor sosial misalnya problem hubungan yang tidak
harmonis antara anggota keluarga atau diluar keluarga, kehilangan income
terutama bila penerita adalah yang mencari nafkah dll; faktor kultural misalnya
berhubungan dengan ras, bahasa, kepercayaan religius atau non religius, kebiasaan
atau tradisi, struktur keluarga, misalnya penindasan terhadap wanita; faktor
spiritual misalnya kehilangan integritas personal seperti perubahan fisik,
psikologis dan sosial dan peningkatan ketergantungan diri terhadap orang lain,
makna / arti kehidupan, makna / arti penderitaan, kehilangan harapan, pengertian
tentang kematian, pengertian bahwa penyakit adalah sebuah hukuman.
Untuk mendapatkan informasi yang lengkap, anamnesis dilakukan kepada
penderita maupun anggota keluarga atau yang merawat penderita.
11
Penilaian nyeri alat bantu pengukuran derajat / intensitas nyeri
(paduan antara numerical rating scale dengan Wong-Baker face scale)
2. Pemeriksaan fisik
Umum
Keadaan umum tanda vital, fungsi mental (psikologik), adanya kelainan
sistem organ atau kelainan yang terkait dengan nyerinya misalnya, adanya
massa tumor, deformitas, adanya luka, nyeri tekan, nyeri gerak, dan
sebagainya.
Neurologik
Gangguan sensorik nyeri radikuler, nyeri rasa terbakar, kesemutan dan
lain-lain, fungsi motorik, postur, gerakan, cara jalan, atrofi otot; fungsi
otonom (berkeringat, edema , pucat).
Pemeriksaan khusus nyeri neuropatik :
Untuk hiperalgesia : a. rangsangan mekanik : tusukan jarum ringan pada kulit
menimbulkan nyeri yang tajam dan sangat nyeri, b. rangsangan dingin : kontak
kulit dengan aceton, kulit terasa terbakar, c. rangsangan panas : kontak kulit
dengan obyek 46oC terasa terbakar.
12
Untuk alodynia : a. rangsangan mekanis statis : tekanan ringan pada kulit
menimbulkan nyeri tumpul, b. rangsangan mekanis dinamis : rabaan kulit dengan
sikat / cotton bud menimbulkan rasa nyeri tajam superficial, c. rangsangan
mekanis somatis dalam : tekanan ringan pada persendian menimbulkan nyeri
dalam persendian, d. rangsangan dingin : kontak kulit dengan obyek 20oC
menimbulkan rasa terbakar,e. rangsangan panas : kontak kulit dengan obyek 40oC
menimbulkan rasa terbakar.
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik digunakan pictorial record untuk
membantu penderita maupun petugas kesehatan dalam mencatat bagian tubuh
yang dirasakan nyeri oleh penderita. Bila memungkinkan penderita diminta untuk
menunjukkan / menandai bagian tubuh yang dirasa nyeri dan petugas kesehatan
juga akan menandainya sesuai hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik, mencatat
intensitas / derajat nyeri digrafik intensitas nyeri. Disamping itu juga dinilai
performance status berdasarkan karnofsky rating scale ( skala status penampilan
karnofsky ).
Lokasi nyeri
Pictorial Record. The patient may be requested to mark or indicate the site of the
pain or it may be completed by the examining doctor or nurse
13
Mencatat intensitas / derajat nyeri pasien pada grafik intensitas nyeri
10
9
8
V
7
A 6
5
S 4
3
2
1
0
7 14 21
Tanggal evaluasi
Jaringan lunak
Nyeri Nosiseptif Somatik Kulit bukan
Otot tulang
15
mengurangi ukuran tumor penyebab nyeri yang terdiri dari tindakan bedah,
radioterapi, kemoterapi dan terapi hormone ; B. Merupakan prosedur non
invasif termasuk analgesik sistemik dan obat-obat adjuvant (terapi
farmakologik), terapi non farmakologik : psychologic techniques (e.g,
progressive relaxation, biofeedback, behavior modification, hypnosis, and
other cognitive behavioral interventions); neurostimulation techniques
(TENS : transcutaneous electrical nerve stimulation, PNS : peripheral nerve
stimulation, DCS : dorsal column stimulation, Deep Brain Stimulation); terapi
fisik dan terapi komplementer (terapi herbal, hipnosis, Homeopathy : di
China disebut external gigong, meditasi); C. Interventional, Blocks (somatic,
sympathetic), Spinal medication, Spinal cords stimulator, Surgical.
17
Review dan Reassess (evaluasi dan simpulkan hasil terapi)
Terdapat 4 tahap
Step 1.
Penderita dengan nyeri kanker ringan (Vas 1-3) diterapi dengan analgesik non
opioid yaitu paracetamol atau NSAID, dapat dikombinasi dengan obat ajuvan
analgesik bila diperlukan
Step 2
Bila mengalami nyeri sedang (Vas 4-6), atau nyeri tetap atau meningkat setelah
pemberian obat step 1, diterapi dengan opioid yang digunakan untuk nyeri
ringan-sedang adalah codein, hydrocodon, dihydrocodein atau propoxipene. Dan
opioid ini dikombinasi dengan obat nonopioid +/- ajuvan analgesik.
Step 3
Penderita dengan nyeri berat (Vas 7 – 10) atau nyeri tetap atau meningkat
setelah pemberian obat step 2, diberikan opioid untuk nyeri sedang-berat yaitu
morphine diamorphine, fentanyl, oxycodone, phenazocine, hydromorphine,
18
methadone, levorphanol, oxymorphine, yang dikombinasi dengan obat non
opioid +/- ajuvand analgesik.
Step 4
Merupakan tindakkan intervensional, Blocks (somatic, sympathetic), Spinal
medication, Spinal cords stimulation, Surgical.
Sebelum memulai memilih obat analgesik perlu diingat bahwa pada seorang penderita
dapat mengalami beberapa jenis nyeri dengan berbagai derajad nyeri secara
bersamaan misalnya penderita menderita nyeri nosiseptik visceral dan somatik tulang
dan bukan tulang, atau nyeri nonsiseptik somatik tulang dan nyeri neuropatik perifer
kronis derajad ringan atau sedang atau berat.
ADJUVANT ANALGESIC
Adjuvant analgesic adalah obat-obat yang secara farmakologis bukan analgesik murni
tetapi dapat menambah kuat efek pengurangan nyeri. Adjuvant analgesic juga disebut
co-analgesic karena obat-obat ini digunakan bersama-sama dengan analgesik utama.
1. Corticosteroid
Mekanisme kerjanya menghambat produksi prostaglandin, mengurangi inflamasi
dan peritumoral oedema, dan terjadi steroid responsive neoplasm menyebabkan
terjadinya penyusutan massa tumor sehingga mengurangi kompresi dan
peregangan jaringan sekitar tumor, mengurangi implus ektopik pada saraf tepi.
Corticosteroid juga mempunyai efek sentral yaitu memperbaiki appetite, mood,
nausea, malaise dan perbaikan kualitas hidup secara keseluruhan.
Corticosteroid untuk terapi peningkatan tekanan intracranial dan kompresi
spinal cord, digunakan dexametason 16-24 mg/hari p.o/iv, do anak 0,05 – 0,2
mg/kg BB atau methylprednisolon 5,4 mg/kg / hari iv. Efek akan terjadi pada
24 jam pertama dengan efek maksimal setelah 2-3 hari. Setelah terjadi perbaikan
klinis dosis diturunkan ke dosis paling rendah yang masih efektif atau bila tidak
terdapat perbaikan dalam 7 hari dosis diturunkan (tappering of); untuk bowel
obstruction digunakan dexametason 8-16 mg/hari p.o, iv; untuk peregangan
kapsul organ, bone pain, limphoedema digunakan dexametason 2-4 mg/hari
20
p.o, predinisolon 15-30 mg/hari p.o, triamcinolone 4-48 mg/hari p.o dan
methylpredmisolone 4-48 mg/hari p.o. Efek samping penggunaan Corticosteroid
adalah cushingoid facies dan body habitus, GIT (erosi gaster, ulserasi,
perdarahan, peningkatan appetite, peningkatan berat badan), metabolik
(hiperglikemia, retensi natrium dan cairan, penurunan kadar kalium dan muscle
weakness),kardiovaskuler (oedema, hipertensi, trombosis), muskuloskeletal
(miopati proksimal, atralgia bila dosis diturunkan mendadak, osteroporosis,
nekrosis aseptik, infeksi (predisposisi infeksi, kandidiasis, acneiform rash),
psikologi (perbaikan perasaan = sense of wellbeing, euforia, emosional yang labil,
agitasi, disforia, hepomania, depresi psikosis steroid), dermatologi (gangguan
penyembuhan luka, atrofi dan penipisan kulit, mudah luka, purpura, striae,
hirsutisme).
2. Atidepressant
Menghambat reuptake serotonin (5HT), noradrenalin oleh reseptor presinaptik
serta menurunkan jumlah resptor 5HT (antireseptor) sehingga meningkatkan
transmisi kedua zat tersebut, meningkatkan inhibisi dan bekerja sebagai anti
nosiseptif, disamping itu juga menghambat aktivitas voltage sensitive sodium
chanel pada daerah ectopic discharge di saraf perifer. Obat jenis ini digunakan
untuk terapi nyeri neuropatik dan nosiseptif. Golongan Tricyclic
antidepressant yang sering digunakan adalah amitriptillin, dosis awal 12,5-25
mg/hari dan dosis dapat ditingkatkan sampai 50-75 mg/hari, do anak 0,2 – 0,5
mg/ kg BB dapat dinaikkan tiap 2-3 hari sampai 1-2 mg/kg BB, golongan
selective serotonergic reuptake inhibitor (SSRI) yaitu fluoksetin, setralin,
paroksetin dapat digunakan, tetapi banyak penelitian melaporkan bahwa efeknya
kurang memuaskan. Efek samping sedasi, mulut kering, konstipasi, gangguan
kognitif (konsentrasi), hipotensi ortostatik, aritmia jantung, berkeringat, retensi
urine.
3. Anticonvulsant
Gabapentin mempunyai struktur analog GABA, mempunyai kemampuan masuk
kedalam sel untuk berinteraksi dengan reseptor a 2 d yang merupakan subunit
saluran calcium, juga merubah aktivitas glutamic acid decarboxylase sehingga
meningkatkan GABA (inhibisi dan mengantagonis induksi nyeri sentral).
Disamping itu juga mampu mengurangi pelepasan substance P dan calcitonin gane
related peptide dari medulla spinalis pada kondisi inflamasi, Gabapentin
digunakan untuk nyeri neuropatik, dosis 300 – 3600 mg/ hari, efek samping
dizzines dan sedasi. Pregabalin suatu anticonvulshant, carakerjanya seperti
gabapentin, dosis dimulai dengan 2 x 75 mg dapat ditingkankan menjadi 2 x
150 sampai 2 x 300 mg selama 3 sampai 7 hari. Untuk menghentikan sebaiknya
diturunkan pelan-pelan minimal dalam waktu 1 minggu. Carbamazepin memblok
voltage sensitive sodium chanel (VSSC) sehingga mengurangi cetusan aliran
listrik dengan frekuensi tinggi dari neuron, blokade saluran calcium, reseptor
NMDA dan reseptor acethylcholine dan meningkatkan serotonin, digunakan
untuk nyeri neuropatik, dosis 100 – 1000 mg/hari, dosis anak 2 mg /kg BB/ 12
jam, efek samping dizzines, gangguan kognitif, sedasi, rash dan efek samping
kronis adalah hepatic impairment, gangguan perdarahan leukopeni dan atau
21
trombositopenia. Karenanya leukosit dibawah 4000/mm3 merupakan
kontraindikasi penggunaan carbamazepin. Oxcarbazepin membl;okade
saluran natrium yang menyebabkan stabilisasi, menghambat cetusan listrik
berulang dan menghambat implus, memodulasi saluran Ca (L-type) menghambat
aksi glutamat post simpatik, sebagai agonis reseptor adenosine A menyebabkan
efek antinosiseptik dan dapat digunakan untuk nyeri inflamasi dan nyeri
neuropatik, dosis 900-1800 mg/hari, efek samping lebih sedikit dibanding
Carbamazepin karena dimetabolisir secara cepat dengan sempurna melalui proses
reduksi, kurang mempunyai efek terhadap metabolisme hepar, tidak menginduksi
sitokrom p 450. Phenytoin mensupresi paroxysmal discharge (implus nyeri) dan
penyebarannya serta mengurangi hiperksitabilitas neuronal. Dosis 300 mg/hari,
do anak 2,5-3mg/kg BB/12 jam, efek samping adalah sedasi, mental clouding,
dizzines, unsteadiness, diplopia.
4. Beberapa obat lain yang juga digunakan sebagai adjuvant analgesic antara
lain Bensodiazepines seperti diazepam kususnya untuk penderita dengan
spasme otot atau nyeri musculoskeletal, dosis 2-5 mg, 3 x /hari, dosis anak
0,05-0,1 mg/kg BB/4-6 jam, midazolam untuk nyeri neuropatik dosis 0,070 –
0,10 mg/kg BB (dosis lazim 5 mg); baclofen adalah suatu agonis reseptor gamma
aminobutric acid type B (GABA B) dosis 5 mg 2 sampai 3 x perhari pelan-
pelan dinaikan sampai 30 sampai 90 mg/hari, efek samping baclofen dizziness,
somnolens dan gastrointestinal distress; N-methyl-D-aspartate receptor blocker
yaitu ketamin untuk nyeri neuropatik dosis 0,1 sampai 0,15 mg/kg BB/hari
dengan continous infusion; topical analgesic seperti capsaicin untuk nyeri
neuropatik dan nyeri nosiseptik somatik, kerjanya mengurangi konsentrasi
small peptide (substance P) di primary afferen neuron sehingga menurunkan input
perifer dan transmisi sentral dari informasi nyeri, preparat capsaicin 0,025 dan
0,075 %, oleskan 3-4 kali perhari minimum 4 minggu, preparat topikal lain
mengandung obat antiinflamasi seperti aspirin, indomethacin, diclofenac,
benzydamin, preparat anaestesi tipokal campuran prilocaine dan lignocaine
atau lignocain gel 5% dapat menembus kulit dan menghasilkan anestesi lokal;
adjuvant analgesic untuk nyeri tulang antaralain bisphosphanates adalah suatu
analog dari anorganic phiprophosphat yang menghambat aktivitas osteoclast
yaitu pamidronate 60 mg tiap 2 smpai 4 minggu, zoledronate 4 mg iv tiap 3 –
4 minggu diberikan bersama dengan calcium tab 500 mg/hari dan vit D 400
IU/hari, radiopharmaceuticals adalah radioniclides yang diabsorbsi pada area
dari high bone turnover yaitu strontium 89, obat lain untuk nyeri tulang adalah
gallium nitrate; adjuvant analgesic untuk obstruksi usus antara lain adalah obat
anticholinergic yang mengurangi motilitas usus baik propulsive dan non
propulsive dan mengurangi sekresi intramural seperti hyocin N-
butylbronmide 1-2 tablet (10 mg) 3-5 x perhari atau 1 amp = 10 mg im/iv
dapat diulang setelah ½ jam, octreotide adalah analog somatostatin
menghambat sekresi gaster, pancreas dan intestinal dan mengurangi
motilitas gastrointestinal juga digunakan untuk diare berat akibat fistula
enterocolic, high output jejenostomes or ileostomes dan secretory tumors dari
saluran gastrointestinal, dosis 0,05 mg sc dapat ditingkatkan bertahap
sampai 0,1 – 0,2 mg sc 3 x perhari atau 25 mcq/jam infus kontinyu; beberapa
22
peneliti melaporkan bahwa sucralfat 1 gram 6x perhari selama 6 minggu yang
dimulai pemberiannya pada 2 minggu setelah dimulainya radioterapi dapat
mengurangi keluhan pada pelvic irradiation disamping itu juga dapat mengurangi
problem diare berkepanjangan akibat radiasi sehingga secara keseluruhan dapat
mencegah suatu uncomfortable chronic toxiciety associated radiotherapy.
Opioid Analgesic
Opioid bekerja agonist terhadap reseptor opioid (mu = µ, kappa = κ, delta = δ),
yaitu mengikat reseptor sel yang menyebabkan perubahan dalam sel yang merangsang
aktivitas fisiologis yaitu menghambat transmisi pada sinaps-sinaps neuron
menimbulkan efek analgesia. Reseptor opioid terdapat diotak terutama
diperiaquaductal grey matter dan sepanjang spinal cord. Reseptor µ, κ 3, δ2 berada di
sistem supraspinal dan reseptor µ2, κ, dan δ, berada disistem spinal. Reseptor tersebut
juga terdapat diperifer. Reseptor yang paling berperan dalam analgesia adalah reseptor
µ. Respon terhadap aktivasi reseptor opioid: reseptor µ, analgesia, depresi respiratori,
mosis, euforea, penurunan motilitas gastrointestinal; reseptor κ, analgesia, disforia
efek psikotomimetik, mosis, depresi respirasi, δ analgesia.Efek samping penggunaan
opioid adalah sentral : sedasi, drowsiness, confusion, narcosis, koma, disforia dan
efek psikotomimetik (takut, agitasi, panic, perasaan tak menentu, depersonalisasi,
vivid day dream, mimpi buruk, halusinasi, disorientasi, delusi, psikosis, mioklonus,
miosis; gastrointestinal : nausea, vomiting, delayed gastric empyting, konstipasi, dry
mouth, kolik biliar; respitarori : depresi pernapasan, supresi reflek batuk;
kardiovaskuler: hipotensi postural; urinary: urgensi, retensi; kulit : flushing,
berkeringat, pruritus; tolerance; ketergantungan fisik dan psikologis. Penggunaan
opioid dalam the WHO analgesic ladder dibagi dalam opioid analgesic untuk
nyeri ringan – sedang (weak opioid) dan untuk nyeri sedang – berat (strong
opioid).
Opioid untuk nyeri ringan-sedang (weak opioid) adalah codein phosphate
(methylmorphine), peroral diserap baik, dimetabolisir di liver, diekskresi diurine,
tidak terdapat akumulasi, lama kerja 4-6 jam dosis awal 30-60 mg/hari dosis dapat
ditingkatkan sampai 60 mg tiap 4 jam akan tetapi pada umumnya digunakan 6 x
40 mg/hari (lebih dari itu efek samping yang timbul lebih berat), bila terjadi
breakthrough pain (BP) diberikan codein 50-100% dari dosis perkali minum
(misal codein 10 mg perkali minum maka dosis BP adalah 5-10 mg), kemudian
untuk menentukan kebutuhan dosis codein hari berikutnya adalah jumlah dosis
untuk BP perhari ditambah dosis codein perhari (misal codein dibutuhkan
untuk BP = 30 mg/hari + dosis codein perhari= 60 mg, naka kebutuhan codein
hari berikutnya adalah = 90 mg yaitu 6 x 15 mg/hari). Untuk Incident pain (IP)
bila dapat diprediksi, terapi dapat diberikan 30-60 menit sebelum melakukan
aktivitas untuk mencegah IP (dosis equivalent p.o : codein 240 mg = morphine 30
mg), do anak 0,5 – 1 mg/kg BB/4 jam maksimuk 3 mg/kg BB/hari, efek samping
secara kualitatif seperti morphine, pada umumnya ringan, yang sering adalah mual,
muntah, konstipasi dan sedasi; dihydrocodein secara farmakologi seperti codein,
lama kerja 4-6 jam, efek samping seperti codein tetapi kurang menyebabkan
kosntipasi, dosis 20 – 30 mg; dextropropoxyphene (propoxyphene) dosis
dextropropoxyphene Hcl 65 mg tiap 4-6 jam, dextropropoxyphene apsylate 100
mg tiap 4-6 jam, efek samping seperti opioid lainnya pada umumnya ringan, kadang-
23
kadang light headedness, disforia, confusion; tramadol adalah suatu synthetic
analogue dari codein yang efek analgesiknya sentral yaitu sebagai agonist opioid,
mengaktivasi inhibisi monoaminergik spinal terhadap nyeri, juga menghambat uptake
noradrenaline dan serotonin presinaptik sehingga mengaktivasi descending inhibition
pathway, dosis 50-100 mg/ tiap 4-6 jam (dosis ekuivalen= tramodal 80 mg i.m =
morphine 10 mg i.m, tramodal 120 mg p.o = 30 mg morphine p.o), efek samping
serupa dengan codein tetapi kurang menyebabkan konstipasi dan depresi pernafasan.
Opioid untuk nyeri sedang-berat (strong opioid) adalah morphine,
mekanisme kerjanya pada reseptor opioid adalah memodulasi (merubah dan
mengurangi) input nonsiseptif perifer di spinal cord, mengaktivasi descending
inhibitory system dari brain stem dan basal ganglia, bekerja pada system limbic dan
senter yang lebih tinggi dan merubah respon emosional terhadap nyeri, cara
pemberian dapat p.o, sc, I.m, i.v, pr, dosis : tidak ada standard, dosis diberikan
secara titrasi setiap individu, terdapat sediaan oral yaitu : immediate release tablet
dan elixir serta controlled release tablet dan suspension di Indinesia terdapat
immediate release morphine tablet (mo) dan controled release morphine tablet
yaitu MST continus. Puncak konsentrasi plasma dari mo adalah 1 jam setelah
pemberian kemudian menurun dan elimination helf life 2-4 jam, untuk MST continus
puncak konsentrasi plasma 3-6 jam setelah pemberian dan elimination helf life-nya 12
jam. untuk mo tablet atau elixir dosis awal adalah 2 sampai 5 mg, untuk
penderita yang muda dapat digunakan 5-10 mg, tiap 4 jam atau bila sebelumnya
digunakan codein dengan dosis 240 mg/hari maka dosis mo adalah 30 mg /hari
(6 x 5 mg) adalah dosis equivalent, untuk penderita drug abuse diperlukan dosis
opioid yang lebih tinggi (perlu dibicarakan dengan penderita, keluarga dan
konselornya), do anak 6 bln – 1 thn : 0,08 mg/kg BB/ 6 jam, 1 – 2 thn : 0,2 – 0,4
mg/kg BB/ 4 jam, 2-12 thn : 0,5 mg/kg BB/4 jam. MST continus terdapat tiga
sediaan 10mg (kuning), 15 mg ( hijau), 30 mg (ungu) yang diberikan bila dosis
secara titrasi dari mo tablet sudah tercapai (misalnya mo 6 x 5 mg maka MST 2
x 15 mg). Bila penderita tidak dapat diberikan peroral, misalnya gangguan menelan
dan gangguan penyerapan gastrointestinal, maka dapat diberikan morphine injeksi
sc, im atau iv, dengan dosis kebutuhan mo perhari dibagi tiga. Untuk
breakthrough pain (BP) digunakan 25-50% dari dosis yang digunakan tiap 4 jam
(regular) dan diberikan saat timbulnya nyeri, sedangkan jadual pemberian obat
tiap 4 jam tetap diberikan. Kemudian jumlah kebutuhan yang diperlukan untuk
mengatasi BP perhari dijumlah dan ditambahkan pada kebutuhan mo perhari
sebelumnya (mo 6 x 5 mg = 30 mg/hari, terjadi BP 2 x/hari digunakan mo 2,5 mg
tiap kali BP = 5 mg/hari; maka kebutuhan mo untuk hari berikutnya 35 mg/hari
= 6 x 6 mg/hari); Methadon adalah opioid sintetik diserap baik dengan pemberian
to, dimetabolisir di liver, disekresi terutama diurine dan empedu, plasma half life pada
awalnya 15 mg dan duration of action 4-6 jam dan setelah 1-3 hari plasma half life-
nya 2-3 hari dan duration of action-nya 8-12 jam, dosis ekuivalen mo 30 mg =
methadone 20 mg, dapat digunakan pada penderita yang intoleran terhadap mo.
Pethidin adalah opioid sintetik yang mempunyai efek agonis serupa dengan morphin
tetapi sangat berpotensi timbul adverse effect karena mempunyai puncak batas
terapeutik sehubungan dengan toksisitas cns, karenanya tidak digunakan untuk
manajemen nyeri kronik akibat kanker dosis mo 30 mg = Pethidin 300 mg. Fentanyl
adalah semisynthetic opioid yang bekerja agonist pada reseptor µ di otak, spinal cord
24
dan jaringan lain, potensinya 75-100kali latur dalam lemak. Fentanyl transdermal
system adalah suatu sistem trandermal yang melepaskan fentanil secara terus menerus
dan sistemik. Setelah penempelan pada kulit, serum konsentrasi fentanyl
meningkat perlahan dalam 13 sampai 17 jam setelah penempelan dan kadar
puncak tercapai setelah 24-72 jam, karenanya penggunaan opioid sebelum
penempelan harus tetap diberikan dan dihentikan setelah 17 jam penempelan,
penempelan fetanyl transdermal (path) berikutnya dilakukan setelah 72 jam
penempelan sebelumnya. Bila patch dilepas kadar dalam serum akan turun sampai
50% dalam 17 jam (range 13-22 jam), sediaan fentanyl transdermal (durogesic
patch) adalah 25, 50, 75 dan 100 Mg/jam. Saat ini terdapat preparat baru yaitu Oros
Hydromorphone yang bekarja 24 jam.
Hydromorphone
Hydromorphone is a more potent opioid analgesic than morphine and is used for
moderate to severe pain, On a milligram basis hydromorphone is five times as potent
as morphine when given by the oral route, and 8.5 times as potent as morphine when
given intravenously, The kidney excretes hydromorphone and its metabolites. Some
metabolites may have greater analgesic activity than hydromorphone itself but are
unlikely to contribute to the pharmacological activity of hydromorphone, With the
exception of pruritus, sedation and nausea and vomiting, which may occur less after
hydromorphone than after morphine, the side-effects of these drugs are simila
Hydromorphone Pharmacokinetics
Adalah hydrogenated ketone of morphine, IR hydromorphone diabsorpsi di upper
small intestine, secara cepat memasuki sirkulasi sistemik, Analgesia terukur dalam 30
menit setelah pemberian per oral dan berlangsung sampai ±4 jam, Peak plasma
consentration tercapai dalam 1 jam setelah pemberian
Hydromorphone Pharmacokinetics
Moderately lipid soluble, sangat larut dalam air didistribusikan secara cepat kedalam
otot skeletal, ginjal, liver, intestin, paru, lien dan otak, Dimetabolisir di hati, Mean
effective elimination half-life adalah 2,6 jam, High volume of distribution
(1,22 L / kg), Duration of action : 3 – 4 jam
OROS Hydromorphone
Peneliti lain (Gupta, Sathyan 2007) menyimpulkan bahwa OROS hydromorphone
pada semua dosis mempunyai elemination half-life serupa yaitu rata-rata 10,6-11 jam
dan menghasilkan konsentrasi plasma yang tetap pada kadar maximum ± 30 jam
Steady-state concentrations achieved after 2 days of dosing with no significant affect
from food or alcohol
Dose-proportional pharmacokinetics over all doses, onset of action : 6 jam
25
Overview of jurnista ( “OROS” hydromorphone)
Trade name Jurnista
8 mg Cammon name OROS hydromorphone
16 mg Generic name Hydromorphone HCL extended -release
32 mg Active ingredient Hydromorphone HCL
Drug class Opioid analgesic
64 mg Indication Treatment of severe chronic pain
Tablet strengths 8 mg, 16mg, 32mg and 64mg
Konversi rasio dari beberapa opioid terhadap hydromorphone pemberian oral (mg)
Morphine 5 - 7, 5 : 1
Oxycodone 4:1
Codein 27 : 1
Meperidine 40 : 1
26
Jurnista has less nausea, vomiting, somnolence and dizziness compared to oral
morphine
Penggunaan opioid harus diawasi secara ketat karena dapat terjadi toleransi dan efek
samping yang merugikan
Bila terjadi toleransi : pasien merasakan penurunan efektivitas analgesik morfin
perlu tindakan rotasi opioid (morphine dihentikan diganti dengan preparat opioid
lain), pasien sedang menggunakan MOIR 6 x 15 mg / hari setelah terjadi toleransi
dapat diganti dengan methadon dosis ekuivalen, MOIR 15 mg = methadon 10 mg
(do awal methadon 20% do morphine harian ) 2 mg
Bila dosis harus diturunkan / dihentikan
Contoh : pada pasien yang dilakukan terapi bedah, kemoterapi dan radioterapi paliatif
tumor hilang atau mengecil dosis opioid harus diturunkan kemudian dihentikan,
Cara penurunan dosis opioid, Diturunkan menjadi setengah
( 50% ) dari dosis per hari, hari berikutnya diturunkan 25% kemudian setiap dua hari
sampai dosis optimal tercapai
Seorang pasien menderita ca mamae intraductal stadium 4 dengan nyeri nosiseptif
somatik bukan tulang kronis derajat berat mendapat terapi
MOIR 6 x 20 mg + paracetamol 6 x 500 mg + amitriptilin 1 x 25 mg , dilakukan
tindakan bedah paliatif (debulking) + kemoterapi paliatif tumor penyebab nyeri
menjadi berkurang derajat nyeri menjadi ringan
Dosis MOIR perlu diturunkan menjadi setengahnya ( 50% ) yaitu 6 x 10 mg
evaluasi 2 hari nyeri tidak timbul / tidak memberat dosis diturunkan 25% lagi jadi
6 x 7,5mg evaluasi 2 hari
nyeri tidak timbul / tak memberat
dosis turunkan 25% lagi jadi 6 x 5,62 mg dijadikan 6 x 5 mg demikian seterusnya
bila tidak diperlukan penggunaan MOIR dapat dihentikan
Seorang pasien menderita ca mamae intraductal stadium 4 dengan nyeri nosiseptif
somatik bukan tulang kronis derajat berat mendapat terapi
27
Jurnista 16 mg + paracetamol 6 x 500 mg + amitriptilin 1 x 25 mg , dilakukan
tindakan bedah paliatif (debulking) + kemoterapi paliatif tumor penyebab nyeri
menjadi berkurang derajat nyeri menjadi ringan
Dosis MOIR perlu diturunkan menjadi setengahnya ( 50% ) yaitu 6 x 6,75 mg
evaluasi 2 hari nyeri tidak timbul / tidak memberat dosis diturunkan 25% lagi jadi
6 x 5mg evaluasi 2 hari, nyeri tidak timbul / tak memberat
dosis turunkan 25% lagi jadi 6 x 4,75 mg demikian seterusnya bila tidak diperlukan
penggunaan MOIR dapat dihentikan
Cara penghentian penggunaan jurnista, Dosis jurnista sehari dikonversikan dulu ke
MOIR / hr, Jurnista 16 mg di konversikan ke MOIR, 16 mg x 5 = 80 mg MOIR
80 mg : 6 = 13,5 mg (MOIR 6 x 13,5mg)
Dosis MOIR perlu diturunkan menjadi setengahnya ( 50% ) yaitu 6 x 6,75 mg
evaluasi 2 hari nyeri tidak timbul / tidak memberat dosis diturunkan 25% lagi jadi
6 x 5mg evaluasi 2 hari, nyeri tidak timbul / tak memberat, dosis turunkan 25%
lagi jadi 6 x 4,75 mg demikian seterusnya bila tidak diperlukan penggunaan MOIR
dapat dihentikan
Obat-obat untuk mengatasi ESO penggunaan opioid, Terapi depresi pernafasan &
overdosis morphine : naloxone, Mengatasi efek psikotomimetik ( halusinasi,
confusion, mimpi buruk)Haloperidol, Intoleransi terhadap morphine akibat
pelepasan histamin diberikan anti histamin / pilih analgesic lain, Mencegah efek GIT
Mual muntah : metoclopramide / domperidone, konstipasi : laxant ( senna, bisacodyl,
penophthalen) dikombinasi dengan pelunak faeces ( ducosate) atau osmotic laxative
( laktulosa, magnesium sulfat), biliary colic akibat spasme sphincter of oddie :
naloxone dosis rendah
Pada nyeri neuropatik (adanya lesi saraf), mekanisme inhibisi menurun yang
disebabkan oleh penurunan GABA/ glycin juga terjadi penurunan fungsi opioid
endogen (β endorphin, enkephalin dan dynorphin) yang disebabkan penurunan
reseptor opioid di cornu dorsalis terutama dipresinaps serabut saraf C dan
kolesistokhin meningkat sehingga menurunkan efek analgesik opioid. Hal ini
menunjukkan bahwa penggunaan opioid pada nyeri neuropatik bukan kurang efektif
tapi kurang sensitif sehingga perlu dosis yang lebih tinggi.
Obat-obat yang digunakan untuk mengatasi efek samping penggunaan obat-obat
analgesik non opioid maupun opioid :
Mencegah timbulnya ulkus peptikum akibat penggunaan NSAID dapat digunakan
: eradikasi kuman helicobacter pylori dengan clarithromisin 500 mg 2 x 1/ hari
selama 7-12 hari (dapat menurunkan angka kejadian ulkus peptikum akibat NSAID
dari 26 – 34% menjadi 7-12%; Cox-2 selective agent; Proton pump inhibitor
(PPI) : Omeprazol/ rabeprazole 20 mg 1 x /hari, Lanzoprazol 30 mg/hari,
Pantoprazole/ Esomeprazole 40 mg/hari; Misoprostol adalah analog
prostaglandin dosis 100 – 200 µg/ hari. Mencegah efek sedative opioid dengan
cara pemberian opioid bersama-sama dengan dextroamfetamin po dosis 2,5 – 5
mg 2 x /hari. Terapi efek edepresi pernapasan dengan naloxone dosis 0,1 – 0,2
mg iv tiap 3 menit sampai 5 dosis, untuk mengatasi overdosis 0,4 – 2,0 mg iv tiap
28
3 menit sampai 5 dosis. Mengatasi efek psikotomimetik seperti halusinasi
confusion dan mimpi buruk digunakan haloperidol 0,5 – 2 mg 2 x/hari. Mencegah
efek samping gastrointestinal : mual, muntah dengan antiemetik khususnya
dopamine D2 antagonis yaitu golongan prokinetik antara lain metoclopramide/
domperidon 10 mg 3 x/hari; konstipasi dengan pemberian laxant untuk yang lebih
bersifat stimulan peristaltic dibanding pelunak faeses antara lain Senna, bisacodyl,
phenolphthalein dikombinasi dengan pelunak faeses seperti ducosate atau
osmotic laxative seperti lakctulosa, magnesium sulfat. Terapi billiary colic akibat
spasme sphincter of oddi dengan naloxone dosis rendah. Bila terjadi intoleransi
terhadap morphine (opioid) akibat pelepasan histamin dapat diberikan anti histamin
atau dipilih terapi analgesik lain selain opioid.
b. Terapi non farmakologik : psychologic techniques (General
psychological and psychosocial support, Relaxation therapy = Deep
breathing, progressive muscular relaxation, autogenic relaxation,
imagery,Meditation, Hypnosis, Biofeedback, Operant techniques,
Cognitive - behavioural therapy, Psychotherapy); neurostimulation
techniques (TENS : transcutaneous electrical nerve stimulation, PNS :
peripheral nerve stimulation, DCS : dorsal column stimulation, Deep
Brain Stimulation); terapi fisik (Bedah, Terapi panas, Terapi dingin,
Terapi elektrik (TENS, neurostimulatory treatment), Topical counter-
irritants, Acupuncture, Mekanical therapies) dan terapi komplementer
(terapi herbal = jamu, herbal terstandart, fitofarmaka, hipnosis,
Homeopathy : di China disebut external gigong juga berkembang terapi
energi = prana, chi dan reiki, meditasi)
29
Daftar pustaka
30
17. Rawlins MD (2003). Non opioid analgesics. In: Oxford textbook of palliative medicine
2rd ed. Editors: Doyle J, Hank GWC, Mac Donald N. Oxford University Press Butler &
Tanner Ltd. Great Britain, pp. 355 – 361.
18. Tierney LM, McPhee SJ, Pappadakis MA (2005). Disease of the Stomach & Duodenum.
In: Current Medicine Diagnosis & Treatment. 44td ed. Editors: Tierney LM, McPhee SJ,
Pappadakis MA Lange Medicine Books/ McGraw-Hill New York, pp 564 – 573.
19. Waller A, Caroline NL (1996). Pain control general consideration. In: Handbook of
Palliative Care in Cancer 2rd ed. Editors: Waller A, Caroline NL, Butterworth-
Heinemenn USA, pp. 3 – 23.
20. Waller A, Caroline NL (1996). Principles and techniques of pharmacologic management.
In: Handbook of Palliative Care in Cancer 2rd ed. Editor: Waller A, Caroline NL,
Butterworth Heinemenn USA, pp. 25 – 41.
21. WHO (1996). Causes of Pain. In: Cancer Pain Relief 2rd ed. : WHO Geneva, pp. 5-7.
22. Wooddruff R (1993). Pain In: Palliative Medicine Symptomatic and Supportive Care for
Patients with advance Cancer and AIDS 2rd ed. Editor: Woodruff R, Asperula PTY Ltd
Melbourne, pp. 39 – 49.
23. Woodruff R (1993). Assessment of Pain. In: Palliative Medicine Symptomatic and
Supportive Case for Patients with advance Cancer and AIDS 2rd ed. Editors: Woodruff R,
Aspirula Pty. Ltd. Melbourne, pp. 54 – 58.
24. Woodruff R (1993). Factors wich modify the perception of pain. In: Palliative Medicine
Symptomatic and Supportive Care for Patients with Advance Cancer and AIDS 2rd ed.
Editors: Woodruff R, Asperula Pty Ltd. Melbourne, pp. 50 – 53.
25. Woodruff R (1993). Principles of treatment. In: Palliative Medicine Symtomatic and
Suportive Care for Patients with Advance Cancer and AIDS 2rd ed. Editors: Woodruff R,
Asperula Pty Ltd. Melbourne, pp. 59 – 64.
26. Woodruff R (1993). The non opioid analgesics. In: Palliative Medicine Symptomatic and
Supportive Care for Patients with Advance Cancer and IDS 2rd ed. Editors: Woodruff R,
Asperula Pty Ltd. Melbourne, pp. 65 – 70.
27. Woodruff R (1993). Morphine. In: Palliative Medicine Symptomatic and Supportive Care
for Patients with Advance Cancer and AIDS 2rd ed. Editors: Woodruff R, Asperula Pty
Ltd. Melbourne, pp. 71 – 91.
28. Woodruff R (1993). Other opioid analgesics. In: Palliative Medicine Symptomatic and
Supprotive Case for Patients with Advance Cancer and AIDS 2rd ed. Editors: Woodruff
R. Asperula Pty Ltd. Melbourne, pp. 92 – 100.
29. Woodruff R (1993). Adjuvant analgesics. In: Palliative Medicine Symptomatic and
Supprotive Case for Patients with Advance Cancer and AIDS 2rd ed. Editors: Woodruff
R. Asperula Pty Ltd. Melbourne, pp. 101 – 107.
30. Woodruff R (1993). Physical therapies. In: Palliative Medicine Symptomatic and
Supprotive Case for Patients with Advance Cancer and AIDS 2rd ed. Editors: Woodruff
R. Asperula Pty Ltd. Melbourne, pp. 113 – 115.
31. Woodruff R (1993). Psycholigical and psychosocial aspects of pain control. In: Palliative
Medicine Symptomatic and Supprotive Case for Patients with Advance Cancer and
AIDS 2rd ed. Editors: Woodruff R. Asperula Pty Ltd. Melbourne, pp. 116 – 118.
31