Anda di halaman 1dari 31

ADVANCE IN THE MANAGEMENT OF CANCER PAIN

(FOKUS ON OROS HYDROMORPHONE)

Wiwiek Indriyani M.
Pusat Pengembangan Paliatif & Bebas Nyeri
RSUD Dr. Soetomo – FK Unair
Surabaya

PENDAHULUAN
Saat ini kanker masih merupakan masalah yang serius dengan jumlah
penderita yang terus meningkat. Belum ada data pasti tentang penderita kanker
di Indonesia. Namun data WHO menyatakan bahwa prevalensi penderita
kanker baru adalah 0,1% dari jumlah penduduk pertahunnya. Jika di
implementasikan di Indonesia yang jumlah penduduknya adalah 202 454 994
(Profil Kesehatan Masyarakat 2001, Ditjen Bimkesmas Dep Kes RI, 2001),
maka jumlah penderita baru adalah 202.000 orang pertahun, di Surabaya
jumlah penduduknya adalah sekitar 3 juta, maka jumlah penderita baru adalah
3000 pertahun. Penyakit kanker saat ini menjadi penyebab kematian kedua
setelah penyakit kardiovaskuler. Berbagai keluhan yang dirasakan sebagai
penderitaan yang sangat berat bagi penderita kanker baik akibat penyakit
kankernya maupun berhubungan dengan pengobatannya, sehingga dapat
menurunkan kualitas hidup penderita maupun keluarganya. Diantara berbagai
keluhan tersebut, nyeri merupakan keluhan yang paling sering ditemukan.
Berdasarkan data dari WHO 55 – 100% penderita kanker mengalami nyeri.
Para peneliti di Negara maju melaporkan bahwa 30 – 40% penderita kanker
mengalami nyeri derajat sedang-berat saat diagnosis, 60-100% mengalami
nyeri derajad sedang - berat pada kanker stadium lanjut. Hal ini menunjukkan
bahwa prevalensi nyeri meningkat dengan makin progresifnya penyakitnya.
Sarjana lain melaporkan nyeri kanker antara 14 – 100% diantara pasien kanker
dan terdapat pada 50-70% pasien kanker yang menjalani terapi. Beberapa
penelitian melaporkan lebih dari 20% pasien kanker mengalami nyeri berat.
Di Instalasi Paliatif & Bebas Nyerid RSUD Dr. Soetomo dalam kurun tahun
2011 terdapat 920 pasien baru, 898 (97,6%) menderita nyeri kanker, 380
(41,3%) mengalami nyeri berat. Dua per tiga dari nyeri pada kanker adalah
akibat infiltrasi tumor dan hampir seper empatnya akibat terapi kanker. Nyeri
merupakan salah satu penyebab total suffering disamping problem psikologis,
sosial, kultural dan spiritual. Pemahaman tentang patofisiologi, klasifikasi,
derajat nyeri dan implementasi the WHO three step analgesic ladder yang
kemudian dikembangkan oleh WHO menjadi the WHO four step anlgesic
ladder, yang merupakan perawatan interdisiplinier dan multiprofesional
(multimodalitas) secara komprehensif dan holistik dibidang biologis,
psikologis, sosial dan spiritual akan memberikan hasil terapi yang dapat
meningkatkan kualitas hidup pasien. Data WHO menyatakan bahwa dengan
penanganan tersebut dapat mengurangi nyeri sampai 80 - 90%.
Penatalaksanaan nyeri kanker dibagi menjadi tiga kelompok : 1. Terapi

1
spesifik anti kanker yang bertujuan untuk menghilangkan atau mengurangi
ukuran tumor penyebab yang terdiri dari tindakan bedah, radioterapi,
kemoterapi dan terapi hormon; 2. Merupakan prosedur non invasif termasuk
analgesik sistemik dan obat-obat adjuvant, psychologic techniques (e.g,
progressive relaxation, biofeedback, behavior modification, hypnosis, and
other cognitive behavioral interventions), neurostimulation techniques dan
terapi fisik; 3. Interventional, Blocks (somatic, sympathetic), Spinal
medication, Spinal cords stimulator, Surgical

DEFINISI NYERI KANKER


Pain : an unpleasant sensory and emotional experience associated with actual or
potential tissue damage, or described in terms of such damage (IASP =
International Association The Study of Pain 1994).
Nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan yang
berhubungan dengan jaringan yang rusak atau cenderung terjadi kerusakan
jaringan atau segala keadaan yang menunjukkan adanya kerusakan jaringan.

PENYEBAB NYERI KANKER


A. Faktor Fisik (Jasmani) (1). Akibat tumor : terjadi pada 70% penderita
kanker, pengaruh langsung pada jaringan atau organ yang terkena, infiltrasi atau
penekanan pada tulang, jaringan lemak, jaringan saraf, obstruksi organ berongga,
peningkatan tekanan intrakranial, peregangan kapsul organ, ulserasi jaringan,
limfoedema, trombosis vena dalam. (2). Akibat pengobatan kanker (20%), akibat
pembedahan : pasca bedah leher radikal, pasca mastektomi, torakotomi,
nefrektomi dll, pasca amputasi anggota gerak, akibat radiasi : pleksopati (fibrosis
pleksus brokhialis atau lumbosakralis), mielopati radiasi, tumor saraf perifer
akibat radiasi; akibat kemoterapi: neuropati perifer, pseudorematik steroid. (3)
Akibat dari penyebab yang tidak berhubungan langsung dengan tumor maupun
terapinya (10%): artritis, neuropati diabetikum, nyeri akibat kelainan
kardiovaskuler, sakit kepala atau migrain akibat ketegangan otot.
B. Faktor Psikologis
Dapat diterangkan melalui keadaan berikut : (1). Marah : marah pada sistem
birokrasi yang menghambat, marah pada teman yang tidak mau menjenguk, marah
pada prosedur diagnosis yang lama, dokter tak ada ditempat, pengobatan yang
dirasakan gagal. (2). Cemas : takut pada rumah sakit, dokter dan perawat,
khawatir nasib keluarga, takut sakit dan mati, khawatir masalah finansial, takut
kehilangan masadepan. (3). Depresi : kehilangan kedudukan sosial, kehilangan
pekerjaan, penghasilan dan harga diri, kehilangan peran dalam keluarga, lelah
yang berkepanjangan dan insomnia, tidak punya harapan, bentuk badan abnormal.
C. Faktor sosial
Dapat berupa kesulitan dibidang finansial (kehilangan incame terutama bila
pasien adalah yang mencari nafkah) keterbatasan atau kehilangan aktifitas sosial
baik terhadap keluarga, teman maupun lingkungan kerja (karena bau yang tidak
sedap)
D. Faktor kultural

2
Pemahaman yang keliru tentang penyakit, nyeri dan kematian, faktor emosional
sesuai kulturnya, hal-hal yang berhubungan dengan ras, kendala bahasa,
kepercayaan religious atau non religious, kebiasaan atau tradisi, struktur keluarga
misalnya wanita tidak mempunyai hak untuk menentukan pengobatan atas dirinya
E. Faktor spiritual
Berhubungan dengan eksistensi diri seperti perasaan bahwa kehidupannya sudah
tidak berarti (kehilangan harapan), kehilangan integritas personal seperti
perubahan fisik, psikologis dan sosial dan peningkatan ketergantungan diri
terhadap orang lain; penyesalan dan merasa bersalah terhadap hal-hal yang terjadi
pada masa lampau; perasaan atau marah terhadap ketidakadilan didalam hidup;
keinginan untuk mencabut atau menguatkan kembali kepercayaan keagamaannya
(sehubungan kepercayaan bahwa penyakit itu adalah suatu hukuman).
KOMPONEN NYERI
Nyeri kanker, seperti nyeri nonkanker, adalah suatu proses subyektif yang
kompleks dan dipengaruhi oleh tiga komponen utama yaitu komponen dari sensory
discrimination berperan terhadap pengenalan (penghayatan), lokalisasi dan durasi,
intensitas dan kualitas nyeri, komponen afektif berperan pada rasa cemas, takut dan
menderita akibat nyeri, komponen kognitif berperan dalam interpretasi terhadap
nyeri berbahaya atau tidak berbahaya. Selain itu nyeri kanker juga bersifat
mutidemensional yang disebut sebagai Total Pain dimana faktor biologis, psikologis
sosial, kultural/ budaya dan spiritual saling terkait berpengaruh terhadap persepsi dan
respon terhadap nyeri yang timbul pada seseorang.

Nyeri Nyeri

Penderitaan Penderitaan
Spiritual fisik Spiritual fisik

Kultural Psikologis Kultural Psikologis

Sosial
Sosial

3
STIMULUS
Unique patient aspects
eg previous, multiple or other physical symptoms
progressive pains from cancer
eg fatigue, adverse effects
from treatment
Spiritual concerns
Physical sympyoms
From noncancer pathology
Psychological symptoms
eg anxiety, uncertainty
anger, guilt, sadness Social difficulties
eg relationship
difficulties
Cultural issues loss of income
eg communications change of family role
difficulties health system difficulties
(such as clinic waiting time)

PERCEIVED PAIN
What the patient says it is
what must be treated

KLASIFIKASI NYERI
I. BERDASARKAN WAKTU :
1. Nyeri transient (sementara)
Berlangsung hitungan menit, misalnya nyeri akibat cubitan atau pukulan ringan
2. Nyeri akut
Berlangsung hitungan jam – hari (kurang dari 1 bulan), bersifat terlokalisasi,
tajam, nyeri dengan intensitas tinggi disertai tanda respon fisiologis dari berbagai
organ dan aktivasi saraf simpatis (berkeringat, palpitasi dan peningkatan tekanan
darah), disertai anxietas dan rasa takut. Nyeri akut pada penderita kanker dapat
terjadi sebagai berikut : nyeri yang berhubungan dengan tindakan diagnostik
(bone marrow aspiration, lumbal pungsi, biopsy, sampling darah vena atau
arterial, melografi, endoskopi / kolonoskopi dll); nyeri akut pasca bedah; akibat
intervensi terapi (embolisasi, pleurodesis, nefrostomi, kateterisasi suprapubik dll).

3. Nyeri kronis

4
Berlangsung lebih dari satu bulan – tahun, onsetnya insidious, akibat kerusakan
jaringan yang terus menerus (berkepanjangan) dan progresif, bersifat nyeri difus,
gnawing (sakit yang perih sekali) disertai adaptasi aktivitas saraf simpatis dan
tanda vegatatif kronis termasuk penurunan nafsu makan, malaise, gangguan tidur,
dan iritabilitas, misalnya : nyeri pada penyakit kronis (rheumatoid arthritis,
osteoarthritis), penyakit kanker. Nyeri kronis kadang disertai episode nyeri akut
akibat tindakan bedah atau trauma.
4. Breakthrough pain : yaitu nyeri yang terjadi / timbul pada saat pasien sedang
dalam jangka waktu pemberian obat analgesik (diantara dua jadwal pemberian
obat). Nyeri tersebut antara lain :
4.1. Incident pain
Nyeri yang timbul hanya pada kondisi tertentu, misalnya nyeri timbul saat atau
setelah melakukan pergerakan, batuk, defikasi dan lainnya.
4.2. End-of-dose failure yaitu nyeri timbul beberapa saat sebelum atau mendekati
jadwal permberian obat analgesik berikutnya

II. BERDASARKAN PATOFISIOLOGI


1. Nyeri fisiologik : nyeri yang timbul akibat berbagai stimuli yang tidak
menimbulkan kerusakan jaringan, misalnya pukulan, cubitan, aliran listrik yang
mengenai reseptor pada bagian tubuh tertentu kemudian reseptor mengeluarkan
potensial aksi yang dijalankan ke kornu dorsalis, kemudian diteruskan ke otak,
sehingga timbul persepsi nyeri.
2. Nyeri Nonsiseptif (akibat injuri atau nyeri inflamasi). Yaitu nyeri
nosiseptif somatik tulang dan bukan tulang, nyeri nosiseftif visceral) : nyeri
yang timbul akibat berbagai stimuli yang menimbulkan kerusakan jaringan dan
dilepaskannya mediator inflamasi (MI) seperti bradikinin, serotonin, glutamat, ion
hydrogen, prostaglandin, adenosine, nitric oxide (NO), Nerve Growth Factor
(NGF), vasoactive amines, chemokines, reactive oxygen species (ROS), purin,
cytokine (IL-1-α, IL-1-β, IL-6), TNF-α, Lipids, ATP, acid dan faktor-faktor
yang dilepaskan oleh infiltrating leukocytes, vascular endothelial cells, tissue
resident mast cells menimbulkan rangsangan serabut saraf aferen normal (tidak
ada kerusakan saraf).
3. Nyeri Neuropatik (perifer dan sentral) : nyeri yang disebabkan oleh injuri
atau keradangan yang menyebabkan disfungsi atau kerusakan saraf.
4. Nyeri psikogenik : nyeri dimana faktor psikogen merupakan faktor yang
berpengaruh terhadap persepsi nyeri dan tanpa adanya kerusakan jaringan atau
kelainan patofisiologik sebagai penyebab.

III. BERDASARKAN INTENSITAS / DERAJAT NYERI (berdasarkan the


WHO three step analgesic ladder) :
1. Nyeri ringan : VAS 1 – 3
2. Nyeri sedang : VAS 1 – 6
3. Nyeri berat : VAS 1 – 10

PATOFISIOLOGI NYERI
Bagian saraf diseluruh jaringan tubuh yang menerima impuls dinamakan
reseptor yang merupakan kelompok ujung saraf aferen. Kepadatan reseptor dijaringan
5
tubuh berbeda-beda misalnya jaringan yang peka nyeri seperti kornea dan pulpa gigi
menunjukkan kepadatan reseptor sangat tinggi dibanding dengan jaringan yang
kurang peka nyeri seperti otot dan organ-organ visera. Jenis reseptor cukup banyak,
ada yang peka terhadap peregangan, temperatur, zat-zat kimia, ada yang peka
terhadap berbagai stimuli sehingga disebut reseptor polimodal. Reseptor polimodal ini
disebut nosiseptor yang kebanyakan berupa akhiran serabut saraf C dan sebagian
serabut saraf Aδ dan Aβ (terutama diartikuler).
Stimulus (akibat trauma atau injury, akibat inflamasi) ditangkap oleh bagian
bebas (ujung) saraf aferen (nosiseptor) kemudian stimulus termal, mekanikal /
mediator inflamasi (MI) dan kemikal dirubah menjadi arus listrik dan dihantarkan
melalui serabut saraf Aδ yang merupakan saraf aferen myelinated fiber diameter besar
yang mengkonduksikan stimulus dengan cepat, juga saraf C unmyelinated fiber
dengan diameter kecil yang mengkonduksikan stimulus dengan lambat. Proses
penghantaran rangsangan ini disebut transduksi. Kedua saraf ini mempunyai cell
bodies di dorsal root ganglia dan keduanya berakhir di lamina II dari dorsal horn =
cornu dorsalis di corda spinalis kemudian membuat sinaps menyeberang melalui
commisure anterior menanjak naik (ascending) melalui traktus spinotalamukus
menuju brainstem dan akhirnya mencapai Talamus (T). Darisana sinaps berikutnya
menanjak naik ke cortex somatosensori (SS) dan association area (AA). Proses
penghantaran dari sinaps di cornu dorsalis sampai cortex cerebri disebut transmisi.
Secara keseluruhan jalur penghantaran rangsang ini disebut jalur excitatory =
ascending pathway (lihat pada gambar) yaitu mulai diterima implus nyeri sampai
timbul persepsi nyeri yang dihayati. Sinaps yang terbentuk diantara neuron-neuron
ini mempunyai neurotransmitter kemis yang membawa pesan dari satu neuron ke
neuron lain. neurotransmitter tersebut meliputi, Substance P, neurokinin A,
Vasoactive Intestinal (VIP), beberapa asam amino seperti glutamate, aspartate dan
homocystein. Transmisi pada sinaps-sinaps ini dapat dihambat oleh beberapa zat
kimia yang paling utama adalah opioid peptides yaitu endorphin, dinorphin dan
enkephalins yang secara alamiah ada dalam tubuh dan mempunyai reseptor opioid
yaitu mu (μ), kappa dan delta (δ). Reseptor μ adalah yang paling penting karena
merupakan reseptor dimana opioid eksogen bekerja.
Sensitisasi sentral di dorsa horn = cornu dorsalis dari spinal cord atau susunan
saraf pusat melibatkan calcium channels dan reseptor AMPA ( α-amino-3-hydroxy-5-
methyl-4-isoxazole propionic acid) juga NMDA (N-methyl-D-Asparate). Pelepasan
dari exitary neurotransmitters dan neurotransmitter termasuk glutamat dan substance
P dapat memproduksi sensitisasi sentral dari neuron-neuron di kornu dorsalis.
Sensitisasi sentral dimediasi oleh calcium channels dan peningkatan transport calcium
menyebabkan impuls-impuls spontan (action potentials) membawa pesan nyeri ke
otak (alodynia adalah suatu indikasi bahwa sensitisasi sentral terjadi di kornu
dorsalis).
Terdapat juga proses modulasi yang mengurangi proses transmisi melalui
jalur inhibisi (descending pathway). Jalur turun dari brainstem dimulai dari Peri
Aquductal Gray (PAG) turun ke cornu dorsalis Corda Spinalis menghambat transmisi
sinaptik sehingga mengurangi masuknya rangsang nyeri sehingga rangsangan nyeri
yang naik jadi kurang dan persepsi intensitas nyeri turun (garis biru) .
Neurotransmitter pada mekanisme ini adalah serotonin (5-hydroxitriptamin).

6
Jalur inhibisi lainnya menurun dari midbrain ke cordaspinalis dan neurotransmitternya
adalah noradrenalin. Tricyclic antidepressant seperti amitriptillin menghambat
reuptake serotonin dan noradrenalin ditingkat presinaptik, sehingga meningkatkan
efek inhibisi. Neurotransmitter lainnya yang berperan dalam jalur inhibitori adalah
GABA (mempertahankan potensial membran mendekati potensial istirahat), glycine,
adenosine, acetylaholine dan somatostatin. Pengaruh rasa takut, stress pada persepsi
nyeri, dimulai dari pusat stress Amygdala turun menghambat kerja Peri Aquaductal
Gray sehingga terjadi disinhibisi jalur modulasi yang menghambat transmisi nyeri
sehingga persepsi nyeri menjadi lebih besar. Pendekatan psikologi, penyuluhan,
informasi yang diberikan mempengaruhi pusat kognitif, association area dan akan
turun rangsang yang memperkuat Peri Aquaductal Gray, sehingga inhibisi, modulasi
meningkat juga kemudian mempengaruhi amygdale sehingga rangsang disinhibisi
turun dan hasil akhirnya persepsi nyeri turun. Penghayatan rasa nyeri terdiri dari 3
komponen yaitu sensory discrimination (I pada gambar) yaitu penghayatan tempat,
intensitas dan kwalitas nyeri, affective (II pada gambar) yaitu perasaan yang timbul :
cemas, takut dan menderita akibat nyeri, cognitive (III pada gambar) yaitu interpretasi
terhadap nyeri berbahaya atau tidak berbahaya.

7
Psikoterapi Association area ( AA)
(Cognitive)
I Tempat, intensitas
Kualitas nyeri
II Affective
Amygda, Rasa Association area ( AA)
takut, Stres, III (Cognitive)
Anxietas
Nyeri berbahaya /
tidak

T T

N
serotonin
Transduksi S
(5-hydroxitriptamin)

M
GABA
Glycine I
Adenosine
Acetylaholin
e
S
Somatostatin
I

Neurotransmitter
Substance P, neurokinin A
Vasoactive Intestinal (VIP),
Glutamate,
Aspartate dan homocystein

8
MANIFESTASI KLINIS
I. NYERI NONSISEPTIF
I.1. Nyeri Nosiseptif Somatik
Nyeri berasal dari kulit, soft tissue, facia, tendon, otot dan tulang.
Disebut nyeri nosiseptif somatik tulang (berasal dari tulang), disebut nyeri
nosiseptif bukan tulang (berasal dari kulit, soft tissue, facia, tendon, otot).
Nyeri terlokalisir dengan jelas, dirasakan sebagai nyeri yang tajam = sharp,
aching = sakit, throbbing = berdenyut, pressure like = seperti ditekan,
gnawing = perih sekali.
I.2. Nyeri Nosiseptif viseral
Berasal dari dalam, nyeri sulit ditentukan lokasinya dan terasa
menyebar (area nyerinya lebih luas), sering menjalar kekulit jauh dari lesinya
(nyeri daerah bahu pada hepatoma) nyeri terasa sakit yang dalam = deep
aching, throbbing = berdenyut, mungkin juga tajam = Sharp bila terjadi
peregangan kapsul organ, rasa tertarik = dragging, rasa terjepit =
squeezing = rasa seperti diremas, bila terjadi obstruksi organ berongga
dapat dirasakan perih sekali = gnawing dan nyeri kolik = colicky pain.
Dapat juga disertai tanda-tanda keterlibatan saraf autonom seperti mual-
mual, berkeringat, takhikardi

Example of Refered pain

Organ Innervation Location of pain


Oesophagus T2 – T8 retrosternal, interscapular, neck: occasionally left or both arms
Disphragma C3 – C4 root of neck and shoulder
Stomach and T6 – T9 epigastrium, right or left upper quadrant; many have referred
duodenum back pain
Liver and T6 – T9 right upper quadrant and right scapular or shoulder pain
biliary tree
Pancreas T6 – 10 upper abdominal pain with radiation to lower thoracic region
Small intestine T8 – 12 periumbilical pain; occasionally suprapublic
Colon T10 – L2 periumbilical, right or left abdominal pain
Kidney’s T10 – L1 back and flank pain
Ureters T10 – S4 perlvi-ureteric junction; loin, flank pain; may have pain in
ipsilateral testicle or ovary
terminal ureter; pain ion loin and suprapubic region and radiation
to scrotal or labial skin
bladder T12 – L2 male: lower abdominal pain with referral to urethra and penis
female: lower abdominal pain with referral to urethra and
perimeatal skin

II. NYERI NEUROPATIK


Akibat kerusakan (injury) saraf perifer (saraf sensorik perifer, radiks dan
ganglion dorsalis) atau system saraf sentral (medulla spinalis, batang otak,
thalamus sampai cortex cerebri). Nyeri akibat lesi saraf perifer dikenal sebagai
nyeri neuropatik perifer atau nyeri deaferentasi yang mana distribusi nyerinya
secara dermatomal. Nyeri akibat lesi saraf sentral dikenal sebagai nyeri
neuropatik sentral.
Manifestasinya dapat berupa :
9
A. Nyeri spontan (tanpa rangsangan) = stimulus independent, nyeri bersifat
kontinyu maupun paroksismal. Karakter nyeri: burning = rasa terbakar,
stinging = sengatan listrik, seperti di tikam/ ditusuk = lancinating, numb
= matirasa / kebas/ kaku, parestesi = menggelenyar / geli / gatal /
kesemutan
B. Nyeri timbul dengan rangsangan (stimulus dependent = stimulus evoked
pain)
B.1. Hiperalgesia : Respon yang berlebihan terhadap stimulus yang secara
normal menimbulkan nyeri
B.2. Alodynia : Nyeri timbul akibat rangsangan yang secara normal
tidak menimbulkan nyeri

10
Kerusakan saraf simpatik menyebabkan nyeri tipe simpatetik, ditandai
dengan nyeri seperti deaferentasi ditambah tanda-tanda disfungsi saraf
simpatik berupa instabilitas vasomotor (eritema, pallor, oedema),
abnormalitas sudomotor (berkeringat), perubahan tropik penipisan kulit
dan atropi jaringan subkutan.

TERAPI NYERI
I. Assesment Nyeri :
1. Anamnesis :
Nyeri merupakan keluhan subyektif karenanya petugas kesehatan harus
meluangkan waktu dan mendengarkan dengan sepenuh hati serta mempercayai
keluhan yang disampaikan penderita. Pada umumnya penderita kanker menderita
lebih dari satu nyeri. Hal yang perlu ditanyakan meliputi : Lokasi nyeri,
penyebab nyeri, lamanya nyeri diderita, beratnya nyeri, progresifitasnya
(apakah makin memberat), frekuensi (kadang-kadang atau terus menerus), durasi
(lamanya timbul nyeri), kualitas nyeri (rasa panas, seperti tertusuk, seperti
tertekan), faktor pencetus (precipitating factor), faktor yang memperberat
nyeri (aggravating factor), pengaruh nyeri terhadap aktivitas, gangguan tidur,
mengganggu perasaan (apakah menyebabkan perasaan sedih atau depresi),
obat-obat atau terapi lain yang digunakan sebelumnya (jenis obat, dosis, cara
pemberian, frekuensi, berupa lama sudah dikonsumsi, efek obat dan efek
sampingnya), faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pemahaman/
persepsi nyeri pada seorang penderita (faktor psikologis misalnya anxietas,
marah = anger, atau depresi; faktor sosial misalnya problem hubungan yang tidak
harmonis antara anggota keluarga atau diluar keluarga, kehilangan income
terutama bila penerita adalah yang mencari nafkah dll; faktor kultural misalnya
berhubungan dengan ras, bahasa, kepercayaan religius atau non religius, kebiasaan
atau tradisi, struktur keluarga, misalnya penindasan terhadap wanita; faktor
spiritual misalnya kehilangan integritas personal seperti perubahan fisik,
psikologis dan sosial dan peningkatan ketergantungan diri terhadap orang lain,
makna / arti kehidupan, makna / arti penderitaan, kehilangan harapan, pengertian
tentang kematian, pengertian bahwa penyakit adalah sebuah hukuman.
Untuk mendapatkan informasi yang lengkap, anamnesis dilakukan kepada
penderita maupun anggota keluarga atau yang merawat penderita.

Penilaian nyeri : Intensitas / derajat nyeri kanker dapat diukur dengan


menggunakan alat bantu sebagai berikut :
I. Untuk penilaian nyeri secara subyektif (pasien sadar dan dapat berkomunikasi)

11
Penilaian nyeri alat bantu pengukuran derajat / intensitas nyeri
(paduan antara numerical rating scale dengan Wong-Baker face scale)

INTENSITAS / DERAJAT NYERI


Derajat nyeri kanker dapat digolongkan menjadi tiga ialah :
a. Ringan (VAS 1-3) : Tidak menggangu kegiatan sehari-hari dan penderita
dapat tidur
b. Sedang (VAS 4-6) : Menggangu kegiatan sehari-hari tetapi penderita dapat
tidur
c. Berat (VAS 7-10) : Menggangu kegiatan sehari-hari dan penderita tidak
dapat tidur

II. Penilian nyeri secara objektif antara lain :


A. FLACC Behavioral pain assessment scale
B. COMFORT scale
C. Functional activity score (FAS)

Pemeriksaan psikologis pasien berdasarkan


HDRS Hamilton Depression Rating Scale:

2. Pemeriksaan fisik
Umum
Keadaan umum tanda vital, fungsi mental (psikologik), adanya kelainan
sistem organ atau kelainan yang terkait dengan nyerinya misalnya, adanya
massa tumor, deformitas, adanya luka, nyeri tekan, nyeri gerak, dan
sebagainya.
Neurologik
Gangguan sensorik nyeri radikuler, nyeri rasa terbakar, kesemutan dan
lain-lain, fungsi motorik, postur, gerakan, cara jalan, atrofi otot; fungsi
otonom (berkeringat, edema , pucat).
Pemeriksaan khusus nyeri neuropatik :
Untuk hiperalgesia : a. rangsangan mekanik : tusukan jarum ringan pada kulit
menimbulkan nyeri yang tajam dan sangat nyeri, b. rangsangan dingin : kontak
kulit dengan aceton, kulit terasa terbakar, c. rangsangan panas : kontak kulit
dengan obyek 46oC terasa terbakar.

12
Untuk alodynia : a. rangsangan mekanis statis : tekanan ringan pada kulit
menimbulkan nyeri tumpul, b. rangsangan mekanis dinamis : rabaan kulit dengan
sikat / cotton bud menimbulkan rasa nyeri tajam superficial, c. rangsangan
mekanis somatis dalam : tekanan ringan pada persendian menimbulkan nyeri
dalam persendian, d. rangsangan dingin : kontak kulit dengan obyek 20oC
menimbulkan rasa terbakar,e. rangsangan panas : kontak kulit dengan obyek 40oC
menimbulkan rasa terbakar.
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik digunakan pictorial record untuk
membantu penderita maupun petugas kesehatan dalam mencatat bagian tubuh
yang dirasakan nyeri oleh penderita. Bila memungkinkan penderita diminta untuk
menunjukkan / menandai bagian tubuh yang dirasa nyeri dan petugas kesehatan
juga akan menandainya sesuai hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik, mencatat
intensitas / derajat nyeri digrafik intensitas nyeri. Disamping itu juga dinilai
performance status berdasarkan karnofsky rating scale ( skala status penampilan
karnofsky ).

Lokasi nyeri

Pictorial Record. The patient may be requested to mark or indicate the site of the
pain or it may be completed by the examining doctor or nurse

13
Mencatat intensitas / derajat nyeri pasien pada grafik intensitas nyeri

10
9
8
V
7
A 6
5
S 4
3
2
1
0
7 14 21
Tanggal evaluasi

Skala status penampilan karnofsky


3. Pemeriksaan penunjang :
Pemeriksaan penunjang dilakukan secara selektif (sesuai kebutuhan) dengan
mempertimbangkan pentingnya hasil pemeriksaan untuk menunjang diagnostik
sehingga dapat memberikan terapi yang tepat akan tetapi sekecil mungkin
memberikan dampak yang memperberat penderitaan fisik, psikologis maupun
sosial. Pemeriksaan penunjang dapat berupa : x-foto, USG, CT Scan, MRI,
EKG, EMG, laboratorium, patologi anatomi, endoscopy, colonoscopy,
MRCP, ERCP dan lain-lain.
Berdasarkan anamnesis, penentuan jenis nyeri (berdasarkan waktu dan
patofisiologinya), penilaian intensitas / derajad nyeri, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang, maka assessment nyeri (diagnosis nyeri) adalah sebagai
berikut :
- Nyeri nosiseptik visceral atau somatik tulang/ bukan
tulang kronis derajad ringan/ sedang / berat.
- Nyeri neuropatik (perifer/ sentral) kronis derajad ringan /
sedang / berat.

Jaringan lunak
Nyeri Nosiseptif Somatik Kulit bukan
Otot tulang

Neuropati Viseral Tulang 14


k
Seorang pasien dapat mengalami semua jenis nyeri secara bersama misalnya : Nyeri
nosiseptik visceral atau somatik tulang / bukan tulang dan nyeri neuropatik
Psikogenik
(perifer / sentral) akut / kronis derajat ringan/ sedang / berat.

II. Terapi nyeri kanker


A. Dasar-dasar terapi nyeri kanker
– Tujuan terapi adalah hilangnya nyeri dan
mencegah timbulnya nyeri
Prinsip umum :
 Assessment nyeri merupakan dasar dari keberhasilan terapi.
Assessment jenis nyeri (neuropatik, bone dll) dan derajad nyeri
menentukan pemilihan obat analgesik yang sesuai dan assessment
stadium penyakit dapat memberikan informasi tentang penyebab
nyeri dan juga membantu pemilihan modalitas terapi yang sesuai
 Komunikasi yang baik penting untuk mengendalikan nyeri dengan
baik. Dokter / petugas kesehatan harus meluangkan waktu untuk
mendengarkan dengan sepenuh hati penjelasan penderita dan
keluarga dan kemudian menjelaskan penyebab nyeri, pilihan terapi
dan kegunaannya serta efek sampingnya. Dokter juga harus menjalin
komunikasi yang baik dengan anggota tim medis yang merawat
penderita agar dapat menyatukan tindakan terapi nyeri pada
penderita. Ikut sertanya penderita dalam manajemen nyeri,
membangun kepercayaan dan memperbaiki kerjasama dan kepatuhan
penderita terhadap terapi.
Prinsip terapi :
 Terapi nyeri harus merupakan bagian yang tergabung dalam suatu
rencana keseluruhan perawatan. Untuk itu gunakan modalitas terapi
yang sesuai dengan stadium penyakit dan berbagai modalitas terapi
untuk mengatasi nyeri digunakan secara bersama-sama dengan
pendekatan multidisipliner
 Assess problem psikososial dan spiritual dan segera diatasi.
 Terapi harus konsisten dan tidak berubah-ubah, jika tidak diperlukan
dan terapi harus kontinyu
 Reassessment perlu dilakukan untuk memonitor kasiat dan efek
samping pengobatan dilakukan setiap hari dan membuat perubahan
yang sesuai dengan progresifitas penyakitnya dan mencegah timbulnya
efek samping
 Menentukan hasil / pencapaian pengobatan sehingga dapat mengurangi
nyeri yang diderita ditandai dengan perbaikan fungsi fisik, perbaikan
keadaan psikologis, perbaikan kwalitas tidur sehingga dapat
meingkatkan kualitas hidup penderita.
B. Terapi
Penatalaksanaan nyeri kanker dibagi menjadi tiga kelompok :
A. Terapi spesifik anti kanker yang bertujuan untuk menghilangkan atau

15
mengurangi ukuran tumor penyebab nyeri yang terdiri dari tindakan bedah,
radioterapi, kemoterapi dan terapi hormone ; B. Merupakan prosedur non
invasif termasuk analgesik sistemik dan obat-obat adjuvant (terapi
farmakologik), terapi non farmakologik : psychologic techniques (e.g,
progressive relaxation, biofeedback, behavior modification, hypnosis, and
other cognitive behavioral interventions); neurostimulation techniques
(TENS : transcutaneous electrical nerve stimulation, PNS : peripheral nerve
stimulation, DCS : dorsal column stimulation, Deep Brain Stimulation); terapi
fisik dan terapi komplementer (terapi herbal, hipnosis, Homeopathy : di
China disebut external gigong, meditasi); C. Interventional, Blocks (somatic,
sympathetic), Spinal medication, Spinal cords stimulator, Surgical.

A. terapi spesifik anti kanker yang bertujuan untuk menghilangkan atau


mengurangi tumor penyebab nyeri antara lain :
Bedah : walaupun reseksi radikal diindikasikan untuk tujuan
membersihkan tumor yang masih memungkinkan untuk diangkat secara
keseluruhan, namun beberapa situasi kilinis hanya dapat dilakukan bedah
paliatif dengan tujuan untuk mengurangi ukuran tumor sehingga dapat
mengurangi nyeri. Berikut ini merupakan indikasi untuk dilakukannya
bedah paliatif : urgent palliative surgery (conspicuous bleeding; closed
stenosis; intestinal perforation; spinal cord compression); reductive surgery
of primary tumors (kanker intestinal dengan metastasis liver; rapidly
growing soft tissue dan bone sarcoma dengan metastasis paru; keterlibatan
abdominal dari limfoma maligna stadum lanjut, tumor-tumor ulseratif dan
nekrotik dengan metastasis jauh seperti kanker payudara, melanoma,
kanker kulit; kanker ovarium dan ginjal stadium lanjut); tindakan bedah
untuk metastasis (metastasis osteolitik atau fraktur tulang akibat relatively
slowly progressing tumors seperti kanker payudara, tiroid atau ginjal);
ablative surgery (ovariectomy, adrenalectomy atau hypophysectomy untuk
kanker payudara metastatik dengan reseptor estrogen dan progesterone
yang positif; castration untuk kanker prostat metastatik). Bedah ortopedi
juga penting untuk penanganan pasien yang mengalami nyeri kanker berat
akibat tumor-tumor tulang primer maupun metastatik bila reseksi radikal
tumor masih memungkinkan untuk kemudian diberikan prosthetic
replacement pada sendi panggul, lutut atau bahu sehingga akan
meningkatkan kualitas hidup pasien. Bedah ortopedi juga diperlukan untuk
memperbaiki fraktur tulang-tulang panjang khususnya ekstrinitas bawah,
bracing dan fixation bukan hanya untuk membuat tulang menjadi stabil
tetapi juga menghilangkan nyeri.
Radioterapi : radioterapi merupakan metode efektif untuk penanganan
nyeri tulang, kurang efektif untuk tumor yang menginvasi saraf, paling
sedikit efektivitasnya pada soft tissue mass. Kemungkinan hilangnya nyeri
juga di tentukan oleh dosis radiasi efektif, radiosensitivitas dari tumor dan
vaskularisasi jaringan. Highly Radiosensitive (HR) tumor termasuk
seminoma, leukemia, lymphoma dan myeloma; small cell carcinoma pada
bronchus dan undifferentiated microcynoma atau neuroblastoma.
Moderately radiosensitive (MR) tumor-tumor metastasis tulang dari
16
adenocarcinoma ; squamous carcinoma; nonsemimembranous germ cell
tumor; adenocarcinoma mammae. Poorly radiosensitive (PR) tumor :
adenocarcinomia; melanoma dan mesothelima maligna; undifferentiated
testicular carcinoma; thyroid carcinoma dan sarcoma dari tulang dan
jaringan lunak.
Tujuan radioterapi : pengurangan massa tumor sehingga mengurangi
nyeri akibat kompresi atau infiltrasi; mengurangi atau menhilangkan reaksi
radang pada tumor dan jaringan sekitarnya; mengeliminasi ulserasi;
mengurangi kompresi organ berongga. Namun harus juga
dipertimbangkan akan terjadinya komplikasi pasca radioterapi : komplikasi
jangka pendek ( terjadi selama radioterapi dalam 2 -3 minggu meliputi
reaksi kulit, reaksi inflamasi membrane mukosa, infeksi, nausea, vomiting
dan diare), komplikasi jangka panjang (myelopathy dan plexsopathy pasca
radiasi).
Khemoterapi dan terapi hormone : khemoterapi dan terapi
hormondapat mengurangi ukuran tumor atau menghilangkan massa tumor
sehingga dapat mengurangi dan bahkan menghilangkan nyeri, tetapi disisi
lain obat-obat ini mempunyai toksisitas tinggi yang juga dapat
menimbulkan beberapa hal yang menyebabkan nyeri karenanya perlu
dipertimbangkan untuk menyeimbangkan antara stadium penyakit
kankernya, efek dan efek samping khemoterapi dan terapi hormonal
dengan tujuan menghilangnya nyeri kanker.
B. Presedur non invasif
Yang termasuk dalam prosedur non invasif adalah penggunaan
a. analgesik sistemik ( farmakologik ) yaitu analgesik non opioid,
analgesik opioid dan obat-obat adjuvant. Dokter harus mengenali dan
mengerti efek obat yaitu titik tangkap kerja obat, onsetnya, lama kerja
obat, efek samping, indikasi, dan dosis untuk terapi nyeri (famakodinamik
dan farmakokinetiknya) sehingga dapat digunakan sebagai dasar
pemilihan penggunaan obat yang sesuai.
Prinsip penggunaan analgesik pada nyeri kanker adalah :
 Pemilihan obat : gunakan obat yang sesuai untuk jenis nyeri, dan
derajad nyeri, gunakan kombinasi beberapa obat, gunakan obat sesuai
the WHO three step analgesic ladder (by the ladder), tidak
dibenarkan menggunakan placebo.
 Cara pemberian : berikan dosis yang adekuat, berikan dosis secara
titrasi pada setiap individu dimulai dari dosis rendah, dinaikkan pelan-
pelan sampai tercapai dosis yang dapat menghilangkan nyeri, berikan
jadwal pemberian obat berdasarkan farmakologi obat, jadwal yang
tepat untuk mencegah nyeri, bukan bila perlu atau prn (by the clock),
gunakan peroral bila memungkinkan (by mouth), berikan jadwal /
instruksi pelaksanaan penggunaan obat secara tertulis, berikan
petunjuk terapi untuk breakthrough pain (nyeri timbul atau memberat
saat interval masa kerja obat hampir berakhir dan sebelum pemberian
obat berikutnya sesuai jadwal), perhatian dan cegah efek samping,
pertahankan program penggunaan analgesik sesimpel mungkin.

17
 Review dan Reassess (evaluasi dan simpulkan hasil terapi)

Terdapat 4 tahap
Step 1.
Penderita dengan nyeri kanker ringan (Vas 1-3) diterapi dengan analgesik non
opioid yaitu paracetamol atau NSAID, dapat dikombinasi dengan obat ajuvan
analgesik bila diperlukan
Step 2
Bila mengalami nyeri sedang (Vas 4-6), atau nyeri tetap atau meningkat setelah
pemberian obat step 1, diterapi dengan opioid yang digunakan untuk nyeri
ringan-sedang adalah codein, hydrocodon, dihydrocodein atau propoxipene. Dan
opioid ini dikombinasi dengan obat nonopioid +/- ajuvan analgesik.
Step 3
Penderita dengan nyeri berat (Vas 7 – 10) atau nyeri tetap atau meningkat
setelah pemberian obat step 2, diberikan opioid untuk nyeri sedang-berat yaitu
morphine diamorphine, fentanyl, oxycodone, phenazocine, hydromorphine,

18
methadone, levorphanol, oxymorphine, yang dikombinasi dengan obat non
opioid +/- ajuvand analgesik.

Step 4
Merupakan tindakkan intervensional, Blocks (somatic, sympathetic), Spinal
medication, Spinal cords stimulation, Surgical.

Sebelum memulai memilih obat analgesik perlu diingat bahwa pada seorang penderita
dapat mengalami beberapa jenis nyeri dengan berbagai derajad nyeri secara
bersamaan misalnya penderita menderita nyeri nosiseptik visceral dan somatik tulang
dan bukan tulang, atau nyeri nonsiseptik somatik tulang dan nyeri neuropatik perifer
kronis derajad ringan atau sedang atau berat.

OBAT-OBAT ANALGESIK NON OPIOID


1. Paracetamol (Acetaminophen)
Paracetamol mempunyai efek analgesik dan antipiretik tapi tidak mempunyai
efek antiinflamasi. Kerjanya menghambat pembentukan prostaglandin terutama
di susunan saraf pusat daripada diperifer. Dosis : 500 – 1000 mg tiap 4-6 jam, do
anak 10-15 mg/kg/BB/4-6 jam, ESO. Allergic rash (jarang), konstipasi (ringan)
penggunaan kronis dengan dosis 4-6 gram/hari dapat menyebabkan peningkatan
ringan dari kadar enzim hepatik yang reversible.

2. Aspirin (Acetylsalicylic acid)


Mempunyai efek antiinflamasi, analgesik, antipiretik, menghambat
pembentukan prostaglandin dari asam arachidonat yang dihasilkan oleh jaringan
inflamasi. Mempunyai efek antipiretik sentral, indikasi untuk nyeri jaringan
lunak dan nyeri tulang (aspirin dan NSAID lain lebih efektif untuk
mengatasi nyeri tulang daripada opipoid analgesik) dosis : 10 – 15 mg/ kkg
BB tiap 4-6 jam, pada umumnya 600 – 900 mg tiap 4 jam digunakan dengan
perhatian/ hati-hati pada penderita dengan riwayat peptic ulcer, trombositopenia
atau bleeding diathesis, ESO : Tipe A (predictable dose dependent) :
gastrointestinal : iritasi upper GI, dispepsia, erosi, ulserasi, perdarahan,
konstipasi, haemostasis : menghambat agregasi platelet, renal : retensi cairan,
hepatik : peningkatan kadar enzim, salicylism : nausea vomiting, dizziness, nyeri
kepala, tinitus, deafness; Tipe B (unpredictable, not dose dependent)
hipersensitifitas : rhinorhoe, pruritus, urtikaria, angioneurotic oedema,
bronkhospasme, anafilaksis.

3. NSAID (Non Steroid anti Inflamatory Drugs)


Yang sering digunakan adalah golongan acetate, propionate, oxicam dan
fenamates. NSAID mempunyai efek analgesik, atiinflamasi dan antipiretik.
Kerjanya menghambat sintesis prostaglandin disentral maupun di perifer dan efek
antipiretiknya sentral. Digunakan untuk nyeri pada soft-tissue dan nyeri tulang
dan febris, gunakan secara hati-hati pada penderita dengan riwayat peptic ulcer,
gastric erosion, trombositopenia atau diathesis haemorhargic, ESO. Tipe A
(predictable, dose dependent), gastrointestinal : upper GI irritation : dyspepsia,
19
perdarahan, erosi, ulserasi, konstipasi; haemostasis: menghambat agregasi platelet
(reversible); renal : retensi cairan, gangguan renal, nefritis interstitialis;
hepatik : peningkatan kadar enzim, tipe B (unpredictable, not dose dependent),
hipersensitivitas : reaksi alergi; neurologis : nyeri kepala, drowsiness, confusion,
dizziness, nervousness; skin : rash; haematologik: trombositopenia,
agranulasitosis, aplasia.

NSAID yang sering digunakan


Golongan acetat Diclofenac p.o pr 75 – 150 mg/hari indevided doses
Im Sc Tiap 8 – 12 mg
Indomethacin p.o pr 50 – 200 mg/hari indevided doses
Tiap 6 – 12 jam
Golongan proprionat Ibuprofen p.o 400 mg tiap 6 – 8 jam
anak 10 mg/kg / 6-8 jam
Ketoprofen p.o pr 100 – 200 mg/hari indevided
doses
Tiap 6 – 12 jam
Ketorolac p.o 10 – 200 mg Sr tiap 24 jam
Im, Sc, 10 mg tiap 4 – 6 jam
iv do anak 0,5 mg/kg BB
10 mg tiap 4 – 6 jam
Golongan axicam Piroxicam p.o 20 mg tiap/hari 24 jam
Meloxicam p.o 7,5 – 15 mg/hari tiap 12 jam
Golongan Fenamat Asam p.o 500 mg/hari tiap 8 jam
mefenamat
Ketorolac : lama penggunaan p.o maksimum 1 minggu, dan bila secara parenteral
maksimum 2 hari, pada penggunaan im dosis perhari tidak boleh lebih dari 120 mg.

ADJUVANT ANALGESIC
Adjuvant analgesic adalah obat-obat yang secara farmakologis bukan analgesik murni
tetapi dapat menambah kuat efek pengurangan nyeri. Adjuvant analgesic juga disebut
co-analgesic karena obat-obat ini digunakan bersama-sama dengan analgesik utama.
1. Corticosteroid
Mekanisme kerjanya menghambat produksi prostaglandin, mengurangi inflamasi
dan peritumoral oedema, dan terjadi steroid responsive neoplasm menyebabkan
terjadinya penyusutan massa tumor sehingga mengurangi kompresi dan
peregangan jaringan sekitar tumor, mengurangi implus ektopik pada saraf tepi.
Corticosteroid juga mempunyai efek sentral yaitu memperbaiki appetite, mood,
nausea, malaise dan perbaikan kualitas hidup secara keseluruhan.
Corticosteroid untuk terapi peningkatan tekanan intracranial dan kompresi
spinal cord, digunakan dexametason 16-24 mg/hari p.o/iv, do anak 0,05 – 0,2
mg/kg BB atau methylprednisolon 5,4 mg/kg / hari iv. Efek akan terjadi pada
24 jam pertama dengan efek maksimal setelah 2-3 hari. Setelah terjadi perbaikan
klinis dosis diturunkan ke dosis paling rendah yang masih efektif atau bila tidak
terdapat perbaikan dalam 7 hari dosis diturunkan (tappering of); untuk bowel
obstruction digunakan dexametason 8-16 mg/hari p.o, iv; untuk peregangan
kapsul organ, bone pain, limphoedema digunakan dexametason 2-4 mg/hari
20
p.o, predinisolon 15-30 mg/hari p.o, triamcinolone 4-48 mg/hari p.o dan
methylpredmisolone 4-48 mg/hari p.o. Efek samping penggunaan Corticosteroid
adalah cushingoid facies dan body habitus, GIT (erosi gaster, ulserasi,
perdarahan, peningkatan appetite, peningkatan berat badan), metabolik
(hiperglikemia, retensi natrium dan cairan, penurunan kadar kalium dan muscle
weakness),kardiovaskuler (oedema, hipertensi, trombosis), muskuloskeletal
(miopati proksimal, atralgia bila dosis diturunkan mendadak, osteroporosis,
nekrosis aseptik, infeksi (predisposisi infeksi, kandidiasis, acneiform rash),
psikologi (perbaikan perasaan = sense of wellbeing, euforia, emosional yang labil,
agitasi, disforia, hepomania, depresi psikosis steroid), dermatologi (gangguan
penyembuhan luka, atrofi dan penipisan kulit, mudah luka, purpura, striae,
hirsutisme).

2. Atidepressant
Menghambat reuptake serotonin (5HT), noradrenalin oleh reseptor presinaptik
serta menurunkan jumlah resptor 5HT (antireseptor) sehingga meningkatkan
transmisi kedua zat tersebut, meningkatkan inhibisi dan bekerja sebagai anti
nosiseptif, disamping itu juga menghambat aktivitas voltage sensitive sodium
chanel pada daerah ectopic discharge di saraf perifer. Obat jenis ini digunakan
untuk terapi nyeri neuropatik dan nosiseptif. Golongan Tricyclic
antidepressant yang sering digunakan adalah amitriptillin, dosis awal 12,5-25
mg/hari dan dosis dapat ditingkatkan sampai 50-75 mg/hari, do anak 0,2 – 0,5
mg/ kg BB dapat dinaikkan tiap 2-3 hari sampai 1-2 mg/kg BB, golongan
selective serotonergic reuptake inhibitor (SSRI) yaitu fluoksetin, setralin,
paroksetin dapat digunakan, tetapi banyak penelitian melaporkan bahwa efeknya
kurang memuaskan. Efek samping sedasi, mulut kering, konstipasi, gangguan
kognitif (konsentrasi), hipotensi ortostatik, aritmia jantung, berkeringat, retensi
urine.

3. Anticonvulsant
Gabapentin mempunyai struktur analog GABA, mempunyai kemampuan masuk
kedalam sel untuk berinteraksi dengan reseptor a 2 d yang merupakan subunit
saluran calcium, juga merubah aktivitas glutamic acid decarboxylase sehingga
meningkatkan GABA (inhibisi dan mengantagonis induksi nyeri sentral).
Disamping itu juga mampu mengurangi pelepasan substance P dan calcitonin gane
related peptide dari medulla spinalis pada kondisi inflamasi, Gabapentin
digunakan untuk nyeri neuropatik, dosis 300 – 3600 mg/ hari, efek samping
dizzines dan sedasi. Pregabalin suatu anticonvulshant, carakerjanya seperti
gabapentin, dosis dimulai dengan 2 x 75 mg dapat ditingkankan menjadi 2 x
150 sampai 2 x 300 mg selama 3 sampai 7 hari. Untuk menghentikan sebaiknya
diturunkan pelan-pelan minimal dalam waktu 1 minggu. Carbamazepin memblok
voltage sensitive sodium chanel (VSSC) sehingga mengurangi cetusan aliran
listrik dengan frekuensi tinggi dari neuron, blokade saluran calcium, reseptor
NMDA dan reseptor acethylcholine dan meningkatkan serotonin, digunakan
untuk nyeri neuropatik, dosis 100 – 1000 mg/hari, dosis anak 2 mg /kg BB/ 12
jam, efek samping dizzines, gangguan kognitif, sedasi, rash dan efek samping
kronis adalah hepatic impairment, gangguan perdarahan leukopeni dan atau
21
trombositopenia. Karenanya leukosit dibawah 4000/mm3 merupakan
kontraindikasi penggunaan carbamazepin. Oxcarbazepin membl;okade
saluran natrium yang menyebabkan stabilisasi, menghambat cetusan listrik
berulang dan menghambat implus, memodulasi saluran Ca (L-type) menghambat
aksi glutamat post simpatik, sebagai agonis reseptor adenosine A menyebabkan
efek antinosiseptik dan dapat digunakan untuk nyeri inflamasi dan nyeri
neuropatik, dosis 900-1800 mg/hari, efek samping lebih sedikit dibanding
Carbamazepin karena dimetabolisir secara cepat dengan sempurna melalui proses
reduksi, kurang mempunyai efek terhadap metabolisme hepar, tidak menginduksi
sitokrom p 450. Phenytoin mensupresi paroxysmal discharge (implus nyeri) dan
penyebarannya serta mengurangi hiperksitabilitas neuronal. Dosis 300 mg/hari,
do anak 2,5-3mg/kg BB/12 jam, efek samping adalah sedasi, mental clouding,
dizzines, unsteadiness, diplopia.

4. Beberapa obat lain yang juga digunakan sebagai adjuvant analgesic antara
lain Bensodiazepines seperti diazepam kususnya untuk penderita dengan
spasme otot atau nyeri musculoskeletal, dosis 2-5 mg, 3 x /hari, dosis anak
0,05-0,1 mg/kg BB/4-6 jam, midazolam untuk nyeri neuropatik dosis 0,070 –
0,10 mg/kg BB (dosis lazim 5 mg); baclofen adalah suatu agonis reseptor gamma
aminobutric acid type B (GABA B) dosis 5 mg 2 sampai 3 x perhari pelan-
pelan dinaikan sampai 30 sampai 90 mg/hari, efek samping baclofen dizziness,
somnolens dan gastrointestinal distress; N-methyl-D-aspartate receptor blocker
yaitu ketamin untuk nyeri neuropatik dosis 0,1 sampai 0,15 mg/kg BB/hari
dengan continous infusion; topical analgesic seperti capsaicin untuk nyeri
neuropatik dan nyeri nosiseptik somatik, kerjanya mengurangi konsentrasi
small peptide (substance P) di primary afferen neuron sehingga menurunkan input
perifer dan transmisi sentral dari informasi nyeri, preparat capsaicin 0,025 dan
0,075 %, oleskan 3-4 kali perhari minimum 4 minggu, preparat topikal lain
mengandung obat antiinflamasi seperti aspirin, indomethacin, diclofenac,
benzydamin, preparat anaestesi tipokal campuran prilocaine dan lignocaine
atau lignocain gel 5% dapat menembus kulit dan menghasilkan anestesi lokal;
adjuvant analgesic untuk nyeri tulang antaralain bisphosphanates adalah suatu
analog dari anorganic phiprophosphat yang menghambat aktivitas osteoclast
yaitu pamidronate 60 mg tiap 2 smpai 4 minggu, zoledronate 4 mg iv tiap 3 –
4 minggu diberikan bersama dengan calcium tab 500 mg/hari dan vit D 400
IU/hari, radiopharmaceuticals adalah radioniclides yang diabsorbsi pada area
dari high bone turnover yaitu strontium 89, obat lain untuk nyeri tulang adalah
gallium nitrate; adjuvant analgesic untuk obstruksi usus antara lain adalah obat
anticholinergic yang mengurangi motilitas usus baik propulsive dan non
propulsive dan mengurangi sekresi intramural seperti hyocin N-
butylbronmide 1-2 tablet (10 mg) 3-5 x perhari atau 1 amp = 10 mg im/iv
dapat diulang setelah ½ jam, octreotide adalah analog somatostatin
menghambat sekresi gaster, pancreas dan intestinal dan mengurangi
motilitas gastrointestinal juga digunakan untuk diare berat akibat fistula
enterocolic, high output jejenostomes or ileostomes dan secretory tumors dari
saluran gastrointestinal, dosis 0,05 mg sc dapat ditingkatkan bertahap
sampai 0,1 – 0,2 mg sc 3 x perhari atau 25 mcq/jam infus kontinyu; beberapa
22
peneliti melaporkan bahwa sucralfat 1 gram 6x perhari selama 6 minggu yang
dimulai pemberiannya pada 2 minggu setelah dimulainya radioterapi dapat
mengurangi keluhan pada pelvic irradiation disamping itu juga dapat mengurangi
problem diare berkepanjangan akibat radiasi sehingga secara keseluruhan dapat
mencegah suatu uncomfortable chronic toxiciety associated radiotherapy.

Opioid Analgesic
Opioid bekerja agonist terhadap reseptor opioid (mu = µ, kappa = κ, delta = δ),
yaitu mengikat reseptor sel yang menyebabkan perubahan dalam sel yang merangsang
aktivitas fisiologis yaitu menghambat transmisi pada sinaps-sinaps neuron
menimbulkan efek analgesia. Reseptor opioid terdapat diotak terutama
diperiaquaductal grey matter dan sepanjang spinal cord. Reseptor µ, κ 3, δ2 berada di
sistem supraspinal dan reseptor µ2, κ, dan δ, berada disistem spinal. Reseptor tersebut
juga terdapat diperifer. Reseptor yang paling berperan dalam analgesia adalah reseptor
µ. Respon terhadap aktivasi reseptor opioid: reseptor µ, analgesia, depresi respiratori,
mosis, euforea, penurunan motilitas gastrointestinal; reseptor κ, analgesia, disforia
efek psikotomimetik, mosis, depresi respirasi, δ analgesia.Efek samping penggunaan
opioid adalah sentral : sedasi, drowsiness, confusion, narcosis, koma, disforia dan
efek psikotomimetik (takut, agitasi, panic, perasaan tak menentu, depersonalisasi,
vivid day dream, mimpi buruk, halusinasi, disorientasi, delusi, psikosis, mioklonus,
miosis; gastrointestinal : nausea, vomiting, delayed gastric empyting, konstipasi, dry
mouth, kolik biliar; respitarori : depresi pernapasan, supresi reflek batuk;
kardiovaskuler: hipotensi postural; urinary: urgensi, retensi; kulit : flushing,
berkeringat, pruritus; tolerance; ketergantungan fisik dan psikologis. Penggunaan
opioid dalam the WHO analgesic ladder dibagi dalam opioid analgesic untuk
nyeri ringan – sedang (weak opioid) dan untuk nyeri sedang – berat (strong
opioid).
Opioid untuk nyeri ringan-sedang (weak opioid) adalah codein phosphate
(methylmorphine), peroral diserap baik, dimetabolisir di liver, diekskresi diurine,
tidak terdapat akumulasi, lama kerja 4-6 jam dosis awal 30-60 mg/hari dosis dapat
ditingkatkan sampai 60 mg tiap 4 jam akan tetapi pada umumnya digunakan 6 x
40 mg/hari (lebih dari itu efek samping yang timbul lebih berat), bila terjadi
breakthrough pain (BP) diberikan codein 50-100% dari dosis perkali minum
(misal codein 10 mg perkali minum maka dosis BP adalah 5-10 mg), kemudian
untuk menentukan kebutuhan dosis codein hari berikutnya adalah jumlah dosis
untuk BP perhari ditambah dosis codein perhari (misal codein dibutuhkan
untuk BP = 30 mg/hari + dosis codein perhari= 60 mg, naka kebutuhan codein
hari berikutnya adalah = 90 mg yaitu 6 x 15 mg/hari). Untuk Incident pain (IP)
bila dapat diprediksi, terapi dapat diberikan 30-60 menit sebelum melakukan
aktivitas untuk mencegah IP (dosis equivalent p.o : codein 240 mg = morphine 30
mg), do anak 0,5 – 1 mg/kg BB/4 jam maksimuk 3 mg/kg BB/hari, efek samping
secara kualitatif seperti morphine, pada umumnya ringan, yang sering adalah mual,
muntah, konstipasi dan sedasi; dihydrocodein secara farmakologi seperti codein,
lama kerja 4-6 jam, efek samping seperti codein tetapi kurang menyebabkan
kosntipasi, dosis 20 – 30 mg; dextropropoxyphene (propoxyphene) dosis
dextropropoxyphene Hcl 65 mg tiap 4-6 jam, dextropropoxyphene apsylate 100
mg tiap 4-6 jam, efek samping seperti opioid lainnya pada umumnya ringan, kadang-
23
kadang light headedness, disforia, confusion; tramadol adalah suatu synthetic
analogue dari codein yang efek analgesiknya sentral yaitu sebagai agonist opioid,
mengaktivasi inhibisi monoaminergik spinal terhadap nyeri, juga menghambat uptake
noradrenaline dan serotonin presinaptik sehingga mengaktivasi descending inhibition
pathway, dosis 50-100 mg/ tiap 4-6 jam (dosis ekuivalen= tramodal 80 mg i.m =
morphine 10 mg i.m, tramodal 120 mg p.o = 30 mg morphine p.o), efek samping
serupa dengan codein tetapi kurang menyebabkan konstipasi dan depresi pernafasan.
Opioid untuk nyeri sedang-berat (strong opioid) adalah morphine,
mekanisme kerjanya pada reseptor opioid adalah memodulasi (merubah dan
mengurangi) input nonsiseptif perifer di spinal cord, mengaktivasi descending
inhibitory system dari brain stem dan basal ganglia, bekerja pada system limbic dan
senter yang lebih tinggi dan merubah respon emosional terhadap nyeri, cara
pemberian dapat p.o, sc, I.m, i.v, pr, dosis : tidak ada standard, dosis diberikan
secara titrasi setiap individu, terdapat sediaan oral yaitu : immediate release tablet
dan elixir serta controlled release tablet dan suspension di Indinesia terdapat
immediate release morphine tablet (mo) dan controled release morphine tablet
yaitu MST continus. Puncak konsentrasi plasma dari mo adalah 1 jam setelah
pemberian kemudian menurun dan elimination helf life 2-4 jam, untuk MST continus
puncak konsentrasi plasma 3-6 jam setelah pemberian dan elimination helf life-nya 12
jam. untuk mo tablet atau elixir dosis awal adalah 2 sampai 5 mg, untuk
penderita yang muda dapat digunakan 5-10 mg, tiap 4 jam atau bila sebelumnya
digunakan codein dengan dosis 240 mg/hari maka dosis mo adalah 30 mg /hari
(6 x 5 mg) adalah dosis equivalent, untuk penderita drug abuse diperlukan dosis
opioid yang lebih tinggi (perlu dibicarakan dengan penderita, keluarga dan
konselornya), do anak 6 bln – 1 thn : 0,08 mg/kg BB/ 6 jam, 1 – 2 thn : 0,2 – 0,4
mg/kg BB/ 4 jam, 2-12 thn : 0,5 mg/kg BB/4 jam. MST continus terdapat tiga
sediaan 10mg (kuning), 15 mg ( hijau), 30 mg (ungu) yang diberikan bila dosis
secara titrasi dari mo tablet sudah tercapai (misalnya mo 6 x 5 mg maka MST 2
x 15 mg). Bila penderita tidak dapat diberikan peroral, misalnya gangguan menelan
dan gangguan penyerapan gastrointestinal, maka dapat diberikan morphine injeksi
sc, im atau iv, dengan dosis kebutuhan mo perhari dibagi tiga. Untuk
breakthrough pain (BP) digunakan 25-50% dari dosis yang digunakan tiap 4 jam
(regular) dan diberikan saat timbulnya nyeri, sedangkan jadual pemberian obat
tiap 4 jam tetap diberikan. Kemudian jumlah kebutuhan yang diperlukan untuk
mengatasi BP perhari dijumlah dan ditambahkan pada kebutuhan mo perhari
sebelumnya (mo 6 x 5 mg = 30 mg/hari, terjadi BP 2 x/hari digunakan mo 2,5 mg
tiap kali BP = 5 mg/hari; maka kebutuhan mo untuk hari berikutnya 35 mg/hari
= 6 x 6 mg/hari); Methadon adalah opioid sintetik diserap baik dengan pemberian
to, dimetabolisir di liver, disekresi terutama diurine dan empedu, plasma half life pada
awalnya 15 mg dan duration of action 4-6 jam dan setelah 1-3 hari plasma half life-
nya 2-3 hari dan duration of action-nya 8-12 jam, dosis ekuivalen mo 30 mg =
methadone 20 mg, dapat digunakan pada penderita yang intoleran terhadap mo.
Pethidin adalah opioid sintetik yang mempunyai efek agonis serupa dengan morphin
tetapi sangat berpotensi timbul adverse effect karena mempunyai puncak batas
terapeutik sehubungan dengan toksisitas cns, karenanya tidak digunakan untuk
manajemen nyeri kronik akibat kanker dosis mo 30 mg = Pethidin 300 mg. Fentanyl
adalah semisynthetic opioid yang bekerja agonist pada reseptor µ di otak, spinal cord
24
dan jaringan lain, potensinya 75-100kali latur dalam lemak. Fentanyl transdermal
system adalah suatu sistem trandermal yang melepaskan fentanil secara terus menerus
dan sistemik. Setelah penempelan pada kulit, serum konsentrasi fentanyl
meningkat perlahan dalam 13 sampai 17 jam setelah penempelan dan kadar
puncak tercapai setelah 24-72 jam, karenanya penggunaan opioid sebelum
penempelan harus tetap diberikan dan dihentikan setelah 17 jam penempelan,
penempelan fetanyl transdermal (path) berikutnya dilakukan setelah 72 jam
penempelan sebelumnya. Bila patch dilepas kadar dalam serum akan turun sampai
50% dalam 17 jam (range 13-22 jam), sediaan fentanyl transdermal (durogesic
patch) adalah 25, 50, 75 dan 100 Mg/jam. Saat ini terdapat preparat baru yaitu Oros
Hydromorphone yang bekarja 24 jam.

Hydromorphone
Hydromorphone is a more potent opioid analgesic than morphine and is used for
moderate to severe pain, On a milligram basis hydromorphone is five times as potent
as morphine when given by the oral route, and 8.5 times as potent as morphine when
given intravenously, The kidney excretes hydromorphone and its metabolites. Some
metabolites may have greater analgesic activity than hydromorphone itself but are
unlikely to contribute to the pharmacological activity of hydromorphone, With the
exception of pruritus, sedation and nausea and vomiting, which may occur less after
hydromorphone than after morphine, the side-effects of these drugs are simila

Hydromorphone Pharmacokinetics
Adalah hydrogenated ketone of morphine, IR hydromorphone diabsorpsi di upper
small intestine, secara cepat memasuki sirkulasi sistemik, Analgesia terukur dalam 30
menit setelah pemberian per oral dan berlangsung sampai ±4 jam, Peak plasma
consentration tercapai dalam 1 jam setelah pemberian

Hydromorphone Pharmacokinetics
Moderately lipid soluble, sangat larut dalam air didistribusikan secara cepat kedalam
otot skeletal, ginjal, liver, intestin, paru, lien dan otak, Dimetabolisir di hati, Mean
effective elimination half-life adalah 2,6 jam, High volume of distribution
(1,22 L / kg), Duration of action : 3 – 4 jam

Penyerapan OROS hydromorphone


Tidak dipengaruhi makanan, Tidak dipengaruhi PH, Tidak dipengaruhi alkohol, Tidak
dipengaruhi motilitas usus

OROS Hydromorphone
Peneliti lain (Gupta, Sathyan 2007) menyimpulkan bahwa OROS hydromorphone
pada semua dosis mempunyai elemination half-life serupa yaitu rata-rata 10,6-11 jam
dan menghasilkan konsentrasi plasma yang tetap pada kadar maximum ± 30 jam
Steady-state concentrations achieved after 2 days of dosing with no significant affect
from food or alcohol
Dose-proportional pharmacokinetics over all doses, onset of action : 6 jam

25
Overview of jurnista ( “OROS” hydromorphone)
Trade name Jurnista
8 mg Cammon name OROS hydromorphone
16 mg Generic name Hydromorphone HCL extended -release
32 mg Active ingredient Hydromorphone HCL
Drug class Opioid analgesic
64 mg Indication Treatment of severe chronic pain
Tablet strengths 8 mg, 16mg, 32mg and 64mg

Penggunaan jurnista pada nyeri kanker derajat berat:


dimulai dengan titrasi menggunakan MOIR , setelah mencapai dosis optimal dapat di
konversi ke jurnista dengan dosis ekuivalennya, tablet jurnista harus diberikan dengan
1 gelas air dan ditelah seluruhnya secara utuh, Jurnista diberikan pada waktu yang
sama setiap harinya

Konversi rasio dari beberapa opioid terhadap hydromorphone pemberian oral (mg)
Morphine 5 - 7, 5 : 1
Oxycodone 4:1
Codein 27 : 1
Meperidine 40 : 1

MOIR =MO 6 x 15 mg = 90 mg, Jurnista 16 mg, 90 mg : 5 = 18 mg), Onset of action


6 jam, Jurnista diberikan dosis MOIR terakhir masih diberikan, Jurnista 16 mg MOIR
BP  rescue dengan MOIR = Jurnista 16mg x 5 = 90 mg MOIR / hr : 6 = 15 mg
Anjuran : jika terjadi BP diberikan formulasi opioid imediate release tidak lebih dari
10% - 25% dosis jurnista / hr

26
Jurnista has less nausea, vomiting, somnolence and dizziness compared to oral
morphine

Penggunaan opioid harus diawasi secara ketat karena dapat terjadi toleransi dan efek
samping yang merugikan
Bila terjadi toleransi : pasien merasakan penurunan efektivitas analgesik morfin 
perlu tindakan rotasi opioid (morphine dihentikan diganti dengan preparat opioid
lain), pasien sedang menggunakan MOIR 6 x 15 mg / hari setelah terjadi toleransi
dapat diganti dengan methadon dosis ekuivalen, MOIR 15 mg = methadon 10 mg
(do awal methadon 20% do morphine harian ) 2 mg
Bila dosis harus diturunkan / dihentikan
Contoh : pada pasien yang dilakukan terapi bedah, kemoterapi dan radioterapi paliatif
 tumor hilang atau mengecil  dosis opioid harus diturunkan kemudian dihentikan,
Cara penurunan dosis opioid, Diturunkan menjadi setengah
( 50% ) dari dosis per hari, hari berikutnya diturunkan 25% kemudian setiap dua hari
sampai dosis optimal tercapai
Seorang pasien menderita ca mamae intraductal stadium 4 dengan nyeri nosiseptif
somatik bukan tulang kronis derajat berat mendapat terapi
MOIR 6 x 20 mg + paracetamol 6 x 500 mg + amitriptilin 1 x 25 mg , dilakukan
tindakan bedah paliatif (debulking) + kemoterapi paliatif  tumor penyebab nyeri
menjadi berkurang  derajat nyeri menjadi ringan
Dosis MOIR perlu diturunkan menjadi setengahnya ( 50% ) yaitu 6 x 10 mg 
evaluasi 2 hari nyeri tidak timbul / tidak memberat  dosis diturunkan 25% lagi jadi
6 x 7,5mg  evaluasi 2 hari
nyeri tidak timbul / tak memberat
dosis turunkan 25% lagi jadi 6 x 5,62 mg dijadikan 6 x 5 mg demikian seterusnya
bila tidak diperlukan penggunaan MOIR  dapat dihentikan
Seorang pasien menderita ca mamae intraductal stadium 4 dengan nyeri nosiseptif
somatik bukan tulang kronis derajat berat mendapat terapi
27
Jurnista 16 mg + paracetamol 6 x 500 mg + amitriptilin 1 x 25 mg , dilakukan
tindakan bedah paliatif (debulking) + kemoterapi paliatif  tumor penyebab nyeri
menjadi berkurang  derajat nyeri menjadi ringan
Dosis MOIR perlu diturunkan menjadi setengahnya ( 50% ) yaitu 6 x 6,75 mg 
evaluasi 2 hari nyeri tidak timbul / tidak memberat  dosis diturunkan 25% lagi jadi
6 x 5mg  evaluasi 2 hari, nyeri tidak timbul / tak memberat
dosis turunkan 25% lagi jadi 6 x 4,75 mg demikian seterusnya bila tidak diperlukan
penggunaan MOIR  dapat dihentikan
Cara penghentian penggunaan jurnista, Dosis jurnista sehari dikonversikan dulu ke
MOIR / hr, Jurnista 16 mg di konversikan ke MOIR, 16 mg x 5 = 80 mg MOIR
80 mg : 6 = 13,5 mg (MOIR 6 x 13,5mg)
Dosis MOIR perlu diturunkan menjadi setengahnya ( 50% ) yaitu 6 x 6,75 mg 
evaluasi 2 hari nyeri tidak timbul / tidak memberat  dosis diturunkan 25% lagi jadi
6 x 5mg  evaluasi 2 hari, nyeri tidak timbul / tak memberat, dosis turunkan 25%
lagi jadi 6 x 4,75 mg demikian seterusnya bila tidak diperlukan penggunaan MOIR
 dapat dihentikan
Obat-obat untuk mengatasi ESO penggunaan opioid, Terapi depresi pernafasan &
overdosis morphine : naloxone, Mengatasi efek psikotomimetik ( halusinasi,
confusion, mimpi buruk)Haloperidol, Intoleransi terhadap morphine akibat
pelepasan histamin diberikan anti histamin / pilih analgesic lain, Mencegah efek GIT
Mual muntah : metoclopramide / domperidone, konstipasi : laxant ( senna, bisacodyl,
penophthalen) dikombinasi dengan pelunak faeces ( ducosate) atau osmotic laxative
( laktulosa, magnesium sulfat), biliary colic akibat spasme sphincter of oddie :
naloxone dosis rendah
Pada nyeri neuropatik (adanya lesi saraf), mekanisme inhibisi menurun yang
disebabkan oleh penurunan GABA/ glycin juga terjadi penurunan fungsi opioid
endogen (β endorphin, enkephalin dan dynorphin) yang disebabkan penurunan
reseptor opioid di cornu dorsalis terutama dipresinaps serabut saraf C dan
kolesistokhin meningkat sehingga menurunkan efek analgesik opioid. Hal ini
menunjukkan bahwa penggunaan opioid pada nyeri neuropatik bukan kurang efektif
tapi kurang sensitif sehingga perlu dosis yang lebih tinggi.
Obat-obat yang digunakan untuk mengatasi efek samping penggunaan obat-obat
analgesik non opioid maupun opioid :
Mencegah timbulnya ulkus peptikum akibat penggunaan NSAID dapat digunakan
: eradikasi kuman helicobacter pylori dengan clarithromisin 500 mg 2 x 1/ hari
selama 7-12 hari (dapat menurunkan angka kejadian ulkus peptikum akibat NSAID
dari 26 – 34% menjadi 7-12%; Cox-2 selective agent; Proton pump inhibitor
(PPI) : Omeprazol/ rabeprazole 20 mg 1 x /hari, Lanzoprazol 30 mg/hari,
Pantoprazole/ Esomeprazole 40 mg/hari; Misoprostol adalah analog
prostaglandin dosis 100 – 200 µg/ hari. Mencegah efek sedative opioid dengan
cara pemberian opioid bersama-sama dengan dextroamfetamin po dosis 2,5 – 5
mg 2 x /hari. Terapi efek edepresi pernapasan dengan naloxone dosis 0,1 – 0,2
mg iv tiap 3 menit sampai 5 dosis, untuk mengatasi overdosis 0,4 – 2,0 mg iv tiap

28
3 menit sampai 5 dosis. Mengatasi efek psikotomimetik seperti halusinasi
confusion dan mimpi buruk digunakan haloperidol 0,5 – 2 mg 2 x/hari. Mencegah
efek samping gastrointestinal : mual, muntah dengan antiemetik khususnya
dopamine D2 antagonis yaitu golongan prokinetik antara lain metoclopramide/
domperidon 10 mg 3 x/hari; konstipasi dengan pemberian laxant untuk yang lebih
bersifat stimulan peristaltic dibanding pelunak faeses antara lain Senna, bisacodyl,
phenolphthalein dikombinasi dengan pelunak faeses seperti ducosate atau
osmotic laxative seperti lakctulosa, magnesium sulfat. Terapi billiary colic akibat
spasme sphincter of oddi dengan naloxone dosis rendah. Bila terjadi intoleransi
terhadap morphine (opioid) akibat pelepasan histamin dapat diberikan anti histamin
atau dipilih terapi analgesik lain selain opioid.
b. Terapi non farmakologik : psychologic techniques (General
psychological and psychosocial support, Relaxation therapy = Deep
breathing, progressive muscular relaxation, autogenic relaxation,
imagery,Meditation, Hypnosis, Biofeedback, Operant techniques,
Cognitive - behavioural therapy, Psychotherapy); neurostimulation
techniques (TENS : transcutaneous electrical nerve stimulation, PNS :
peripheral nerve stimulation, DCS : dorsal column stimulation, Deep
Brain Stimulation); terapi fisik (Bedah, Terapi panas, Terapi dingin,
Terapi elektrik (TENS, neurostimulatory treatment), Topical counter-
irritants, Acupuncture, Mekanical therapies) dan terapi komplementer
(terapi herbal = jamu, herbal terstandart, fitofarmaka, hipnosis,
Homeopathy : di China disebut external gigong juga berkembang terapi
energi = prana, chi dan reiki, meditasi)

C. Interventional, Blocks (somatic, sympathetic), Spinal medication, Spinal


cords stimulator, Surgical

29
Daftar pustaka

1. Andradi S (2004). Penatalaksanaan praktis nyeri Neuropatik. Dalam: Toward


Mechanisme Based Pain Treatment the Recent Trands and Current Endeness. Editor :
Makala L, Rusdi I, Gofir A, Pinzon R, Pohdi. Nyeri Perdosi IPS, IRA, Perosi, Bagian
Ilmu Saraf UGM, hlm. 59 – 64.
2. Asnawi C (2001). Analgetik ajuvan. Dalam : Nyeri Neuropatik Patofisiologi dan
Penatalaksanaan. Editor: Mekala L, Andradi S, Puba JS, Sadek HA, Kelompok Studi
Nyeri Perdosi, hlm 1-22.
3. Chapman CR, Surjadi KL (2001). Measurement of Pain. In: Bonica”s Management of
Pain 3rd ed. Editors: Hosea JD, Lippincott, William and Wilkins, Philadelphia, pp 310 –
328.
4. Foley KM (2003). Pain assessment and cancer pain syndrome. In: Oxford textbook of
palliative medicine 2rd ed. Editors: Doyle J, Hanks GWC, Mac Donald N, Oxford
University Press Butler & Tanner Ltd, Great Britain, pp. 310 – 331.
5. Grossman A (2003). Pain Controle in patient with cancer. In: Supportive Care in Cancer
Handbook of Oncologist, Pp. 329 – 344.
6. Hanks G, Cherny N (2003). Opioid analgesic therapy. In: Oxford textbook of palliative
medicine 2rd ed. Editors: Doyle J, Hanks GWC, Mac Donald N. Oxford University Press
Buther & Tanner Ltd. Great Britain, pp. 331-354.
7. Hough SW; Portenoy RK (2004). Medical Management of Cancer Pain In: Principle &
Practice of Pain Medicine 2rd Editors: Warfield CA, Bajwa ZH. McGraw-Hill New York,
pp 465-476.
8. Jensen TS, Gothrup H (2003). Assessment of Neuropathic Pain. In: Clinical pain
management chronic pain. Editor: Jensen TS, Wilsin PK, Bice AS, Arnoddd London, pp.
113-124
9. Lipman AG, Jackson KC (2004). Opioid Pharmacolotherapy. In: Principles & Practice of
Pain Medicine 2rd Editors: Warfield Ca, Bajwa ZH., McGraw-Hill New York, pp 583 –
600.
10. Manning DC (2000). Adjuvant analgesics. In: The pain clinic manual 2rd ed. Editors:
Abram SE, Haddor JD, Lippincott William & Wilkins, pp. 151 – 154.
11. Meliala L (2001). Patofisiologi nyeri. Dalam: Nyeri Neuropatik Patofisiologi dan
Penatalaksanaan. Editor: Mekala L, Andradi S, Purba JS, Sadeli HA, Kelompok Studi
Nyeri Perdosi, hlm. 1-22.
12. Meliala L (2004). Mekanisme dasar nyeri. Dalam : Pain Update. Editor: Handokalim,
Putu Moda Arsana, BP Putra Suryana. Ikatan Reumatologi Indonesia Cabang Malang dan
Surabaya, hlm. 91-104.
13. Meliala L (2005). Changing the caurse of neuropathic pain. In: New insight in the
pathogenesis. Diagnosis and management of pain 2rd National Congress of Indonesian
Pain Society. Editors: Kalim H, Handono K, Suryana BPP, pp. 111.1-1-111.1-8.
14. Palliative expert Group (2005). Pain In: Therapeutic Guidelines Palliative Care 2rd ed
Editors: Palliative Expert Group. Therapeutic Guideline Limited, Melbourne, pp. 167 –
198.
15. Payne R, Gonzales G (2003). Pathophysiology of pain in cancer and other terminal
disease. In: Oxfprd textbook of palliative medicine 2rd ed. Editors: Doyle J, Hanks GWC,
Mac Donald N, Oxford University Press Buther & Tanner Ltd. Great Britain, pp. 299 –
310.
16. Portenoy RK (2003). Adjuvant analgesic in pain management. In: Oxford textbook of
palliative medicine 2rd ed. Editors: Doyle J, Hanks GWC, Mac Donald N. Oxford
University Press Butler & Tanner Ltd. Great Britain, pp. 361 – 390.

30
17. Rawlins MD (2003). Non opioid analgesics. In: Oxford textbook of palliative medicine
2rd ed. Editors: Doyle J, Hank GWC, Mac Donald N. Oxford University Press Butler &
Tanner Ltd. Great Britain, pp. 355 – 361.
18. Tierney LM, McPhee SJ, Pappadakis MA (2005). Disease of the Stomach & Duodenum.
In: Current Medicine Diagnosis & Treatment. 44td ed. Editors: Tierney LM, McPhee SJ,
Pappadakis MA Lange Medicine Books/ McGraw-Hill New York, pp 564 – 573.
19. Waller A, Caroline NL (1996). Pain control general consideration. In: Handbook of
Palliative Care in Cancer 2rd ed. Editors: Waller A, Caroline NL, Butterworth-
Heinemenn USA, pp. 3 – 23.
20. Waller A, Caroline NL (1996). Principles and techniques of pharmacologic management.
In: Handbook of Palliative Care in Cancer 2rd ed. Editor: Waller A, Caroline NL,
Butterworth Heinemenn USA, pp. 25 – 41.
21. WHO (1996). Causes of Pain. In: Cancer Pain Relief 2rd ed. : WHO Geneva, pp. 5-7.
22. Wooddruff R (1993). Pain In: Palliative Medicine Symptomatic and Supportive Care for
Patients with advance Cancer and AIDS 2rd ed. Editor: Woodruff R, Asperula PTY Ltd
Melbourne, pp. 39 – 49.
23. Woodruff R (1993). Assessment of Pain. In: Palliative Medicine Symptomatic and
Supportive Case for Patients with advance Cancer and AIDS 2rd ed. Editors: Woodruff R,
Aspirula Pty. Ltd. Melbourne, pp. 54 – 58.
24. Woodruff R (1993). Factors wich modify the perception of pain. In: Palliative Medicine
Symptomatic and Supportive Care for Patients with Advance Cancer and AIDS 2rd ed.
Editors: Woodruff R, Asperula Pty Ltd. Melbourne, pp. 50 – 53.
25. Woodruff R (1993). Principles of treatment. In: Palliative Medicine Symtomatic and
Suportive Care for Patients with Advance Cancer and AIDS 2rd ed. Editors: Woodruff R,
Asperula Pty Ltd. Melbourne, pp. 59 – 64.
26. Woodruff R (1993). The non opioid analgesics. In: Palliative Medicine Symptomatic and
Supportive Care for Patients with Advance Cancer and IDS 2rd ed. Editors: Woodruff R,
Asperula Pty Ltd. Melbourne, pp. 65 – 70.
27. Woodruff R (1993). Morphine. In: Palliative Medicine Symptomatic and Supportive Care
for Patients with Advance Cancer and AIDS 2rd ed. Editors: Woodruff R, Asperula Pty
Ltd. Melbourne, pp. 71 – 91.
28. Woodruff R (1993). Other opioid analgesics. In: Palliative Medicine Symptomatic and
Supprotive Case for Patients with Advance Cancer and AIDS 2rd ed. Editors: Woodruff
R. Asperula Pty Ltd. Melbourne, pp. 92 – 100.
29. Woodruff R (1993). Adjuvant analgesics. In: Palliative Medicine Symptomatic and
Supprotive Case for Patients with Advance Cancer and AIDS 2rd ed. Editors: Woodruff
R. Asperula Pty Ltd. Melbourne, pp. 101 – 107.
30. Woodruff R (1993). Physical therapies. In: Palliative Medicine Symptomatic and
Supprotive Case for Patients with Advance Cancer and AIDS 2rd ed. Editors: Woodruff
R. Asperula Pty Ltd. Melbourne, pp. 113 – 115.
31. Woodruff R (1993). Psycholigical and psychosocial aspects of pain control. In: Palliative
Medicine Symptomatic and Supprotive Case for Patients with Advance Cancer and
AIDS 2rd ed. Editors: Woodruff R. Asperula Pty Ltd. Melbourne, pp. 116 – 118.

31

Anda mungkin juga menyukai