Anda di halaman 1dari 7

MANAJEMEN RESIKO

“RISIKO OPERASIONAL”

OLEH

Kelompok 11 :

1. Ni Kadek Intan Maryani (1832121067)


2. I Gusti Agung Mirah Prananingrum (1832121068)
3. Sang Ayu Putu Tiara (1832121082)
4. Ida Ayu Putu Meiga Oka Yanti (1832121712)

Fakultas Ekonomi dan Bisnis


Universitas Warmadewa Denpasar
Tahun Ajaran 2021/2022
A. Definisi Risiko Operasional
Risiko operasional adalah risiko yang berhubungan dengan kegiatan
operasional dalam perusahaan, termasuk di dalamnya risiko dalam menjalankan lini
perakitan, pengelolaan kantor, dan pengoperasian fasilitas komputer. Risiko timbul
ketika terjadinya kejadian yang mengancam kegiatan operasional.
Risiko operasional meliputi lima hal yaitu kegagalan proses internal
perusahaan, kesalahan sumber daya manusia, kegagalan sistem, kerugian yang
disebabkan kejadian dari luar perusahaan, dan kerugian karena pelanggaran peraturan
dan hukum yang berlaku. Kerugian risiko operasional terjadi tidak saja
pada lembaga keuangan bank dan bukan bank saja, tetapi juga terjadi pada perusahaan
industri, perdagangan, pertambangan, dan semua perusahaan dalam sektor ekonomi
lainnya.
Risiko operasional concern pada risiko kebijakan dan organisasi, risiko sistem,
risiko bisnis, risiko manusia, risiko proses, transfer risiko dan keuangan, dan
pemantauan. Sebagaimana yang dikemukakan Chitakornkijsil (2009) bahwa
perusahaan harus menentukan kebijakan manajemen risiko operasional yang
mendefiniskan kebutuhan perusahaan yang diperlukan meliputi :
- Manajemen risiko operasional yang menjamin suatu rancangan kerangka
menyeluruh untuk mengukur dan mengelola risiko operasional.
- Perencanaan strategis untuk menjamin bahwa risiko perusahaan yang
dipertimbangkan dalam rencana bisnis dan direvisi dalam
rencana akuisisi strategi dan produk baru dan strategi.
- Akuntansi keuangan untuk menjamin akurasi, ketepatan waktu, kualitas catatan
rekening dan profitabilitas perusahaan serta proyeksi capital.
- Pemeriksaan untuk memastikan unit perusahaan berkoordinasi dengan prosedur
dan kebijakan perusahaan.
- Memperoleh jaminan hukum bahwa kegiatan perusahaan mematuhi semua
peraturan dan hukum.
- Teknologi Informasi (TI) menjadi dasar jaminan bahwa rencana pemulihan
perusahaan sudah ada dan teruji, dan adanya perlindungan informasi keamanan.
- Jaminan keamanan perusahaan sehingga aset perusahaan yang dilindungi dan
dipelihara.
B. Peraturan Modal
Modal adalah suatu hal yang sangat penting dalam suatu perusahaan atau
bisnis. Tanpa adanya modal, maka bisnis tidak bisa bergerak seperti seharusnya.
Modal diperlukan dalam berbagai skala bisnis, mulai dari bisnis berskala besar
ataupun berskala kecil. Jadi, pengertian modal adalah suatu aset utama perusahaan
dalam menjalankan bisnis yang umumnya berbentuk dana, aset, atau utang. Dengan
begitu, maka proses produksi hingga pemasaran perusahaan bisa berjalan dengan
lancar. Setiap bentuk perusahaan pasti memerlukan modal, baik itu dalam bentuk
uang, sarana dan prasarana, pengetahuan dan keterampilan, legalitas, dan modal
lainnya untuk bisa menjalankan operasional perusahaannya dengan baik.
Untuk menjalankan bisnis, modal merupakan unsur yang wajib ada dan harus
dimiliki. Sama halnya dalam mendirikan suatu Perseroan Terbatas (PT atau
perusahaan) yang sejatinya adalah persekutuan modal. Pasal 41 Undang-Undang No.
40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT) megenal 3 jenis modal
perusahaan, yaitu modal dasar, modal ditempatkan, dan modal disetor. Ketiga jenis
modal tersebut harus tercantum di dalam Anggaran Dasar (AD) perusahaan meskipun
berbeda satu sama lain.
1. Modal Dasar
Modal dasar adalah seluruh nilai nominal saham dari perusahaan
(Pasal 31 Ayat 1 UU PT). Pada prinsipnya, modal dasar adalah jumlah
nilai nominal saham yang dapat dikeluarkan oleh perusahaan. Penentuan
jumlah saham yang menjadi modal dasar ditentukan di dalam Anggaran
Dasar (AD) perusahaan yang bersangkutan. Selanjutnya, Pasal 32 Ayat 1
UU PT menentukan bahwa modal dasar perusahaan paling sedikit
Rp50.000.000,- (lima puluh juta). Akan tetapi, ketentuan ini tidak berlaku
lagi karena telah diubah di dalam Pasal 109 Angka 3 Undang-Undang No.
11 Tahun 2020 tetang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) yang menyebutkan
bahwa besaran modal dasar PT ditentukan berdasarkan kesepakatan para
pendiri perusahaan. Ketentuan tersebut juga sejalan dengan yang diatur
dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 2021 tentang Modal
Dasar Perseroan Serta Pendaftaran Pendirian, Perubahan, dan Pembubaran
Perseroan yang Memenuhi Kriteria Untuk Usaha Mikro Dan Kecil (PP
8/2021).
Namun, hal di atas tidak berlaku bagi perusahaan yang melaksanakan
kegiatan usaha tertentu yang mana besaran minimum modal dasar harus
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Contohnya,
perusahaan asuransi yang menentukan modal disetor saat pendirian
berjumlah minimal Rp150 miliar. Oleh karena itu, modal dasar perusahaan
asuransi tidak boleh kurang daripada jumlah tersebut.
2. Modal Ditempatkan
Modal ditempatkan adalah jumlah saham yang diambil oleh para
pendiri atau pemegang saham dan saham tersebut ada yang sudah
dibayarkan dan ada juga yang belum dibayar. Jadi, modal ditempatkan
adalah modal yang disanggupi pendiri atau pemegang saham untuk
dilunasi olehnya, dan saham tersebut diserahkan kepada pemegang saham
untuk dimiliki. Berdasarkan Pasal 33 Ayat 1 UU PT dan Pasal 4 PP
8/2021, minimal 25% dari modal dasar harus ditempatkan dan disetor
penuh dengan bukti penyetoran yang sah. Bukti penyetoran yang sah wajib
disampaikan secara elektronik kepada Menteri Hukum dan HAM dalam
waktu paling lama 60 hari terhitung sejak tanggal akta pendirian
perusahaan atau pengisian pernyataan pendirian untuk perusahaan
perorangan.
3. Modal Disetor
Modal disetor adalah modal yang sudah dimasukkan pemegang saham
sebagai pelunasan pembayaran saham yang diambilnya sebagai modal
yang ditempatkan dari modal dasar perusahaan. Mudahnya, modal disetor
adalah saham yang telah dibayar lunas oleh pemegang saham. Sama
seperti modal ditempatkan, ketentuan modal disetor ini merujuk kepada
Pasal 33 Ayat 1, sehingga minimal 25% dari modal dasar harus telah
ditempatkan dan telah disetor penuh saat mendirikan PT.

C. Kategori Risiko Operasional


1. Risiko Internal
Risiko internal terkait dengan kegagalan prosedur dan proses. Hal ini
dikarenakan karyawan lembaga keuangan tidak melaksanakan pekerjaan
sesuai dengan ketentuan. Secara umum, risiko internal terdiri dari kesalahan
transaksi, kelalaian pemasaran, dan pencucian uang. Risiko internal bisa
terjadi di sebuah lembaga keuangan karena beberapa sebab, misalnya praktik
bisnis yang tidak efisien, perusahaan kurang terorganisir, dan mudahnya
melakukan manipulasi.
2. Risiko Sumber Daya Manusia
Risiko SDM berhubungan langsung dengan karyawan lembaga keuangan yang
bersangkutan, baik disengaja maupun tidak disengaja. Permasalahan di sektor
SDM bisa disebabkan oleh beragam hal, misalnya pelatihan yang kurang
berkualitas, tingginya pergantian (turnover) karyawan, praktik manajemen
yang buruk, dan terlalu mengandalkan karyawan kunci (one man show).
3. Risiko Sistem dan Teknologi
Risiko ini datang karena permasalahan sistem dan teknologi. Penyebab adanya
risiko sistem dan teknologi adalah kerusakan sistem, kesalahan data entry,
kesalahan program, keamanan sistem (virus dan hacking), dan kurangnya
pengawasan terhadap perubahan. Mitigasi risiko ini bisa berupa penggunaan
sistem yang ter-updated dan pelatihan SDM yang kredibel.
4. Risiko Hukum
Ketidakpastian hukum bisa menjadi salah satu faktor risiko operasional yang
bisa terjadi. Adanya perubahan aturan negara mengenai lembaga keuangan,
jika ada, membuat lembaga keuangan perlu melakukan adaptasi cepat.
5. Risiko Eksternal
Risiko eksternal berasal dari hal-hal di luar kuasa lembaga keuangan yang
turut mempengaruhi kinerja operasional perusahaan. Jika lambat memberi
respons, risiko yang ditimbulkan bisa cukup fatal. Contoh dari risiko eksternal
seperti kebakaran, bencana alam, demonstrasi massa, dan gangguan pada
layanan publik seperti transportasi dan komunikasi.

D. Dampak Kerugian dan Frekuensi Kerugian


Terdapat empat jenis kejadian risiko operasional berdasarkan frekuensi dan dampak,
yaitu :
1. Low Frequency/Low Impact (LF/LI) : jarang terjadi dan dampaknya rendah.
2. Low Frequency/High Impact (LF/HI) : jarang terjadi namun dampaknya sangat
besar. Sangat sulit untuk diantisipasi dan diprediksi serta memiliki potensi untuk
menyebabkan kerugian yang besar.
3. High Frequency/Low Impact (HF/LI) : sering terjadi namun dampaknya rendah.
Jenis risiko ini dikelola untuk meningkatkan efisiensi kegiatan usaha yang pada
umumnya sudah diantisipasi dan dianggap sebagai biaya pelaksanaan kegiatan
usaha.
4. High Frequency/High Impact (HF/HI) : sering terjadi dan dampaknya sangat
besar.
Secara umum pengelolaan risiko operasional memfokuskan pada dua jenis
kejadian, yaitu Low Frequency/High Impact (LFHI) dan High Frequency/Low
Impact (HFLI). LFHI sangat sulit untuk dipahami dan sangat sulit untuk
diantisipasi serta LFHI menimbulkan kerugian yang sangat besar bahkan dapat
menyebabkan kejatuhan suatu bank. Sedangkan HFLI dikelola untuk
meningkatkan efisiensi kegiatan usaha.
Perusahaan mengabaikan suatu kejadian yang memiliki low frequency/low
impact karena membutuhkan biaya yang lebih besar untuk mengelolah dan
memantau dibandingkan kerugian yang timbul bila terjadi. High frequency/high
impact events tidak relevan karena bila kejadian ini terjadi perusahaan (khususnya
perusahaan yang bergerak dalam bidang keuangan) secara cepat akan menderita
kerugian yang besar dan harus menghentikan usahanya. Kerugian ini juga tidak
berkelanjutan dan pengawas akan mengambil langkah-langkah untuk
menyelesaikan praktek-praktek bisnis yang buruk. High frequency/low impact
events dikelola dengan meningkatkan efisiensi usaha. Kejadian ini umumnya
sudah dipahami dan dianggap sebagai ‘the cost of doing business’.

E. Implementasi AMA
Advanced Measurement Approach (AMA) adalah suatu kumpulan teknik
pengukuran risiko operasional yang diajukan oleh aturan kecukupan modal Basel
II untuk lembaga perbankan. Pendekatan ini mengizinkan bank untuk
mengembangkan sendiri model empiris mereka untuk mengkuantifikasikan
kebutuhan modal untuk risiko operasional, dengan persetujuan dari regulator lokal.
Menurut Basel, untuk layak menggunakan AMA, suatu bank harus memenuhi
persyaratan minimum berikut:
- Dewan direksi dan manajemen senior, jika diperlukan, terlibat aktif dalam
pemantauan pelaksanaan kerangka manajemen risiko operasional.
- Memiliki sistem manajemen risiko operasional yang memiliki konsep yang baik
dan diimplementasikan dengan integritas.
- Memiliki sumber daya yang cukup untuk penggunaan pendekatan tersebut pada
lini bisnis utamanya, serta pada wilayah-wilayah pengendalian dan audit.

Anda mungkin juga menyukai