Anda di halaman 1dari 6

Nama : Sang Ayu Putu Tiara

NPM : 1832121082

Kelas : C10

Matkul : Manajemen SDM Internasional

PERAN BUDAYA DALAM MANAJEMEN MSDM

A. Definisi MSDM Internasional (IHRM)


Menurut Dowling Manajemen Sumber Daya Manusia Internasional
adalah penggunaan sumber daya Internasional untuk mencapai tujuan
organisasi tanpa memandang batasan geografis.

B. Peran Budaya dalam Manajemen SDM


Kita perlu mengidentifikasi karakteristik lingkungan sosial budaya
dan budaya kerja organisasi, baik di negara sedang berkembang maupun
negara maju. Untuk ini, kita perlu melihat hasil penelitian berkaitan
dengan perbedaan budaya antara negara maju dan negara sedang
berkembang. Hofstede (Robbins, 2003; Gibson, Ivancevich, Donnelly, &
Konopaske, 2003) telah melakukan survei terhadap lebih dari 116.000
karyawan IBM yang berlokasi di 40 negara mengenai nilai yang berkaitan
dengan kerja. Dari hasil analisisnya, Hofstede menemukan lima dimensi
dasar yang diukur menurut skala ordinal. Dengan mengukur tingginya
kelima dimensi tersebut Hofstede dapat membandingkan budaya nasional
masing-masing negara. Kelima dimensi tersebut adalah:
1. Power Distance (Jarak Kekuasaan). Sejauhmana suatu
masyarakat menerima kenyataan bahwa kekuasaan dalam suatu
institusi dan organisasi didistribusikan secara tidak seimbang.
Rentang dimensinya mulai dari relatif seimbang (low power
distance) hingga sangat tidak seimbang (high power distance).
Kalau suatu masyarakat menerima bahwa kekuasaan dalam suatu
organisasi didistribusikan secara relatif seimbang maka masuk
kategori memiliki jarak kekuasaan rendah (low power distance).
Sedangkan jika suatu masyarakat menerima bahwa kekuasaan
dalam suatu organisasi didistribusikan secara sangat tidak
seimbang maka masuk kategori memiliki jarak kekuasaan tinggi
(high power distance).
2. Uncertainty Avoidance (Penghindaran Ketidakpastian).
Sejauhmana suatu masyarakat di suatu negara lebih menyenangi
situasi yang terstruktur daripada tidak terstruktur. Atau dapat juga
dikatakan, sejauhmana suatu masyarakat merasa terancam oleh
ketidakpastian dan situasi yang ambigius melalui penyediaan
stabilitas karier, mengadakan aturan-aturan yang lebih formal,
tidak mentoleransi ide dan perilaku yang berbeda, dan percaya
pada kebenaran serta karya para ahli secara absolut. Negara
yang memiliki nilai tinggi pada penghindaran ketidakpastian maka
masyarakatnya memiliki suatu tingkat kegelisahan/kekhawatiran
yang tinggi yang termanifestasikan pada nervous, stres, dan
agresifitas yang tinggi.
3. Individualism versus Collectivism (Individualisme lawan
Kolektivisme). Individualisme menunjukkan suatu ikatan kerangka
sosial yang longgar di mana seseorang dianggap hanya perhatian
terhadap diri mereka sendiri dan keluarga terdekat mereka,
sedangkan kolektivisme (berkelompok) dicirikan oleh kerangka
sosial yang kuat di mana seseorang dibedakan antara di dalam
dan di luar kelompok; mereka berharap bahwa orang-orang yang
berada di dalam kelompoknya memelihara/memperhatikan
mereka dan sebagai gantinya mereka akan loyal secara absolut.
Kolektivisme ekuivalen dengan individualisme yang rendah (low
individualism).
4. Masculinity versus Feminity (Maskulin lawan Feminin) atau
Quantity of Life versus Quality of Life (Kuantitas Hidup lawan
Kualitas Hidup). Jika nilai yang dominan di dalam suatu
masyarakat adalah maskulin maka menunjukkan ketegasan,
semangat memiliki uang dan barang, dan tidak peduli pada pihak
lain, kualitas hidup atau masyarakat. Sebaliknya, Kualitas Hidup
menunjukkan masyarakat yang memberikan nilai terhadap
hubungan (relationships), menunjukkan kesensitifannya, dan
perhatian terhadap kesejahteraan pihak lain.
5. Long-Term versus Short-Term Orientation (Orientasi Jangka
Panjang lawan Orientasi Jangka Pendek). Masyarakat dengan
budaya Orientasi Jangka Panjang melihat ke masa depan dan
memiliki nilai berhemat serta ketekunan. Sebaliknya, masyarakat
yang memiliki budaya Orientasi Jangka Pendek melihat masa lalu
dan saat ini. Menghargai hal-hal yang bersifat tradisi dan
melaksanakan tanggung jawab sosial.

Berdasarkan dimensi tersebut maka ciri-ciri lingkungan sosial


budaya negara berkembang dibandingkan dengan negara maju dapat
dikatakan bahwa budaya negara berkembang relatif tinggi pada
penghindaran ketidakpastian dan jarak kekuasaan. Relatif rendah pada
individualisme dan maskulin serta berorientasi jangka pendek. Relatif
tinggi penghindaran ketidakpastian menandakan ketidakbersediaan untuk
mengambil risiko dan menerima perubahan organisasional yang
dimanisfestasikan pada keengganan yang ada dalam diri seseorang
untuk mengambil inisiatif personal di luar yang telah digariskan. Masing-
masing anggota masyarakat telah memperoleh peran khusus.
Penyimpangan dari peran yang telah ditentukan tersebut tidak dianjurkan
bahkan akan kena sanksi. Akibatnya, individu cenderung tergantung pada
kekuatan dari luar. Bersikap pasrah merupakan pendekatan hidup
mereka. Untuk itu, penting bagi pimpinan organisasi mengembangkan
strategi manajemen SDM guna mengelola kinerja bawahan melalui
pelibatan mereka dalam penyusunan tujuan organisasi yang lebih
menantang. Tingkat individualisme yang rendah menunjukkan perhatian
terhadap keberhasilan kelompok lebih menjadi perhatian dibandingkan
dengan keberhasilan kerja individu. Identitas individu berasal dari
keanggotaan keluarga, kasta atau kaum dan komunitas. Individu harus
menerima norma dan nilai keluarga, kasta, kaum, atau komunitas
tersebut tanpa reserve. Masing-masing individu bekerja dalam arti untuk
memelihara keluarga, memberikan kesejahteraan pada orang tua,
pasangan hidup dan anak. Dalam budaya kerja yang dicirikan oleh
individualisme yang rendah, cenderung tidak mencari kepuasan dari
mengerjakan pekerjaan dengan baik tetapi sebaliknya dari menemukan
pekerjaan yang baik. Dalam masyarakat dengan budaya individualisme
yang rendah maka pimpinan organisasi harus berusaha mendorong
setiap pengambilan keputusan secara konsensus dengan memperhatikan
nilai-nilai kekeluargaan. Relatif tingginya jarak kekuasaan mengisyaratkan
bahwa manajer dan bawahan menerima masingmasing posisi dalam
hirarki organisasi dan beroperasi dari posisi yang tetap dan pasti tersebut.
Manajer tidak melihat bawahan sebagai manusia seperti dirinya, demikian
pula sebaliknya, bawahan juga tidak melihat atasan seperti diri mereka.
Pada budaya jarak kekuasaan tinggi, kepemimpinan lebih bersifat
paternalis. Dalam budaya seperti ini, seorang pemimpin lebih dituntut
sebagai manusia bijaksana yang dapat dijadikan suri tauladan bagi
bawahannya, tidak hanya dalam kehidupan organisasi tetapi juga dalam
kehidupan pribadi. Dengan kata lain, bawahan memiliki ketergantungan
yang tinggi kepada atasan dan mempunyai harapan atasan akan
bertindak otokratis. Atasan akan membuat aturan-aturan untuk bawahan
yang berbeda dengan aturan-aturan untuk atasan dan setiap orang
mempunyai perkiraan bahwa atasan akan mendapat perlakuan yang lebih
istimewa. Sebaliknya, pada masyarakat dengan jarak kekuasaan relatif
rendah bawahan tidak terlalu tergantung kepada atasan. Mereka
berharap atasan akan selalu berkonsultasi dengan bawahan.

Tingkat maskulinitas rendah dalam konteks kerja mengisyaratkan


bahwa orientasi karyawan lebih ke arah hubungan manusia atau person
daripada ke arah hubungan kinerja. Hubungan interpersonal banyak
terlibat dalam pengelolaan kinerja karyawan. Termasuk dalam budaya
maskulin adalah masyarakat Amerika, yang menitikberatkan pada
penampilan, uang dan kebendaan, ambisi serta pencapaian. Sebaliknya,
masyarakat Asia, termasuk Indonesia dapat dikategorikan sebagai
masyarakat feminin yang memiliki orientasi pada kualitas hidup,
hubungan manusia dan lingkungan. Pada masyarakat dengan budaya
maskulin rendah, kepuasan kerja tidak diperoleh dari pencapaian sasaran
pekerjaan, tetapi diperoleh dari kebutuhan afiliatif. Manifestasi lain dari
budaya maskulin rendah adalah bahwa kinerja pekerjaan dapat dengan
mudah dirancang dalam rangka melaksanakan tugas-tugas sosial yang
telah disepakati bersama dalam konteks hubungan antarpribadi. Oleh
karena itu, banyak hubungan antarpribadi terlibat dalam pengelolaan
kinerja karyawan. Dimensi budaya kelima, adalah budaya orientasi jangka
panjang lawan orientasi jangka pendek. Masyarakat dengan budaya
orientasi jangka panjang senantiasa memberikan dorongan dan
memberikan penghargaan terhadap perilaku yang berorientasi pada
masa depan, seperti perencanaan dan investasi untuk masa depan serta
menunda kesenangan. Ini berbeda dengan masyarakat dengan budaya
orientasi jangka pendek yang lebih menekankan pada pemenuhan
kesenangan jangka pendek, kurang menghargai perencanaan, dan
investasi untuk masa mendatang. Dalam kaitannya dengan dimensi
budaya, orientasi jangka panjang dan jangka pendek tersebut menurut
Kadia & Bhagat (dalam Mendonca & Kanungo, 1996) menunjukkan
dimensi Berpikir Abstraktif dan Asosiatif (abstractive vs associative
thinking). Pada budaya asosiatif, masyarakat menggunakan asosiasi di
antara peristiwa yang mungkin tidak banyak memiliki basis logika;
sebaliknya pada budaya abstraktif, masyarakat lebih dominan
menggunakan hubungan sebabakibat. Dalam menjelaskan dimensi ini,
Ramanujan (dalam Mendonca & Kanungo) menggunakan istilah
kecenderungan berfikir jenis konteks sensitif atau konteks bebas terhadap
peraturan (contextsensitive or context-free kinds of rules). Pada budaya
asosiatif, sebagian besar masyarakat menggunakan konteks sensitif,
sedangkan pada budaya abstraktif masyarakat cenderung menggunakan
konteks bebas. Berdasarkan hasil temuan studi pada negara-negara
maju, ditemukan relatif tinggi pada berpikir abstraktif (context-free) dan
relatif rendah pada berpikir asosiatif (contextsensitive). Budaya tinggi
pada berpikir asosiatif (context-sensitive) telah mengarahkan perilaku
para anggota organisasi di negara-negara berkembang kepada berpikir
dengan konteks yang telah ditentukan daripada berpikir dengan prinsip
yang dominan. Pola semacam itu menunjukkan bagaimana pendekatan
mereka terhadap pekerjaan. Pekerja pada negara-negara berkembang
tidak dipandu oleh norma etika kerja yang relevan dan layak untuk
bekerja atau oleh prinsip-prinsip penyelenggaraan perilaku kerja yang
abstrak tetapi kebanyakan ditentukan oleh konteks sekarang (the
immediate context) yang dianggap penting oleh mereka. Oleh karena itu,
perilaku mereka mencerminkan suatu perasaan selalu berada pada waktu
kini/kekinian (a sense of always living in the present). Sedangkan “kini”
secara tetap akan berubah. Artinya, karyawan yang memiliki budaya
tinggi pada berpikir asosiatif akan terbukti sulit diprediksi dalam rangka
penyelenggaraan perilaku kerja yang dituntut secara bersama-sama.
Penetapan sasaran spesifik dengan target waktu dan pengembangan
rencana tindakan yang spesifik bertentangan dengan gaya hidup dan pola
pikir pada budaya berpikir asosiatif yang tidak menekankan pada
perencanaan masa depan. Pola pikir tersebut sangat cocok untuk
pendekatan management by crisis, namun tidak cocok untuk manajemen
kinerja yang efektif.

Anda mungkin juga menyukai