Menurut Dowling Manajemen Sumber Daya Manusia Internasional adalah penggunaan sumber daya Internasional untuk mencapai tujuan organisasi tanpa memandang batasan geografis.
B. Peran Budaya dalam Manajemen SDM
Kita perlu mengidentifikasi karakteristik lingkungan sosial budaya dan budaya kerja organisasi, baik di negara sedang berkembang maupun negara maju. Untuk ini, kita perlu melihat hasil penelitian berkaitan dengan perbedaan budaya antara negara maju dan negara sedang berkembang. Hofstede (Robbins, 2003; Gibson, Ivancevich, Donnelly, & Konopaske, 2003) telah melakukan survei terhadap lebih dari 116.000 karyawan IBM yang berlokasi di 40 negara mengenai nilai yang berkaitan dengan kerja. Dari hasil analisisnya, Hofstede menemukan lima dimensi dasar yang diukur menurut skala ordinal. Dengan mengukur tingginya kelima dimensi tersebut Hofstede dapat membandingkan budaya nasional masing-masing negara. Kelima dimensi tersebut adalah: 1. Power Distance (Jarak Kekuasaan). Sejauhmana suatu masyarakat menerima kenyataan bahwa kekuasaan dalam suatu institusi dan organisasi didistribusikan secara tidak seimbang. Rentang dimensinya mulai dari relatif seimbang (low power distance) hingga sangat tidak seimbang (high power distance). Kalau suatu masyarakat menerima bahwa kekuasaan dalam suatu organisasi didistribusikan secara relatif seimbang maka masuk kategori memiliki jarak kekuasaan rendah (low power distance). Sedangkan jika suatu masyarakat menerima bahwa kekuasaan dalam suatu organisasi didistribusikan secara sangat tidak seimbang maka masuk kategori memiliki jarak kekuasaan tinggi (high power distance). 2. Uncertainty Avoidance (Penghindaran Ketidakpastian). Sejauhmana suatu masyarakat di suatu negara lebih menyenangi situasi yang terstruktur daripada tidak terstruktur. Atau dapat juga dikatakan, sejauhmana suatu masyarakat merasa terancam oleh ketidakpastian dan situasi yang ambigius melalui penyediaan stabilitas karier, mengadakan aturan-aturan yang lebih formal, tidak mentoleransi ide dan perilaku yang berbeda, dan percaya pada kebenaran serta karya para ahli secara absolut. Negara yang memiliki nilai tinggi pada penghindaran ketidakpastian maka masyarakatnya memiliki suatu tingkat kegelisahan/kekhawatiran yang tinggi yang termanifestasikan pada nervous, stres, dan agresifitas yang tinggi. 3. Individualism versus Collectivism (Individualisme lawan Kolektivisme). Individualisme menunjukkan suatu ikatan kerangka sosial yang longgar di mana seseorang dianggap hanya perhatian terhadap diri mereka sendiri dan keluarga terdekat mereka, sedangkan kolektivisme (berkelompok) dicirikan oleh kerangka sosial yang kuat di mana seseorang dibedakan antara di dalam dan di luar kelompok; mereka berharap bahwa orang-orang yang berada di dalam kelompoknya memelihara/memperhatikan mereka dan sebagai gantinya mereka akan loyal secara absolut. Kolektivisme ekuivalen dengan individualisme yang rendah (low individualism). 4. Masculinity versus Feminity (Maskulin lawan Feminin) atau Quantity of Life versus Quality of Life (Kuantitas Hidup lawan Kualitas Hidup). Jika nilai yang dominan di dalam suatu masyarakat adalah maskulin maka menunjukkan ketegasan, semangat memiliki uang dan barang, dan tidak peduli pada pihak lain, kualitas hidup atau masyarakat. Sebaliknya, Kualitas Hidup menunjukkan masyarakat yang memberikan nilai terhadap hubungan (relationships), menunjukkan kesensitifannya, dan perhatian terhadap kesejahteraan pihak lain. 5. Long-Term versus Short-Term Orientation (Orientasi Jangka Panjang lawan Orientasi Jangka Pendek). Masyarakat dengan budaya Orientasi Jangka Panjang melihat ke masa depan dan memiliki nilai berhemat serta ketekunan. Sebaliknya, masyarakat yang memiliki budaya Orientasi Jangka Pendek melihat masa lalu dan saat ini. Menghargai hal-hal yang bersifat tradisi dan melaksanakan tanggung jawab sosial.
Berdasarkan dimensi tersebut maka ciri-ciri lingkungan sosial
budaya negara berkembang dibandingkan dengan negara maju dapat dikatakan bahwa budaya negara berkembang relatif tinggi pada penghindaran ketidakpastian dan jarak kekuasaan. Relatif rendah pada individualisme dan maskulin serta berorientasi jangka pendek. Relatif tinggi penghindaran ketidakpastian menandakan ketidakbersediaan untuk mengambil risiko dan menerima perubahan organisasional yang dimanisfestasikan pada keengganan yang ada dalam diri seseorang untuk mengambil inisiatif personal di luar yang telah digariskan. Masing- masing anggota masyarakat telah memperoleh peran khusus. Penyimpangan dari peran yang telah ditentukan tersebut tidak dianjurkan bahkan akan kena sanksi. Akibatnya, individu cenderung tergantung pada kekuatan dari luar. Bersikap pasrah merupakan pendekatan hidup mereka. Untuk itu, penting bagi pimpinan organisasi mengembangkan strategi manajemen SDM guna mengelola kinerja bawahan melalui pelibatan mereka dalam penyusunan tujuan organisasi yang lebih menantang. Tingkat individualisme yang rendah menunjukkan perhatian terhadap keberhasilan kelompok lebih menjadi perhatian dibandingkan dengan keberhasilan kerja individu. Identitas individu berasal dari keanggotaan keluarga, kasta atau kaum dan komunitas. Individu harus menerima norma dan nilai keluarga, kasta, kaum, atau komunitas tersebut tanpa reserve. Masing-masing individu bekerja dalam arti untuk memelihara keluarga, memberikan kesejahteraan pada orang tua, pasangan hidup dan anak. Dalam budaya kerja yang dicirikan oleh individualisme yang rendah, cenderung tidak mencari kepuasan dari mengerjakan pekerjaan dengan baik tetapi sebaliknya dari menemukan pekerjaan yang baik. Dalam masyarakat dengan budaya individualisme yang rendah maka pimpinan organisasi harus berusaha mendorong setiap pengambilan keputusan secara konsensus dengan memperhatikan nilai-nilai kekeluargaan. Relatif tingginya jarak kekuasaan mengisyaratkan bahwa manajer dan bawahan menerima masingmasing posisi dalam hirarki organisasi dan beroperasi dari posisi yang tetap dan pasti tersebut. Manajer tidak melihat bawahan sebagai manusia seperti dirinya, demikian pula sebaliknya, bawahan juga tidak melihat atasan seperti diri mereka. Pada budaya jarak kekuasaan tinggi, kepemimpinan lebih bersifat paternalis. Dalam budaya seperti ini, seorang pemimpin lebih dituntut sebagai manusia bijaksana yang dapat dijadikan suri tauladan bagi bawahannya, tidak hanya dalam kehidupan organisasi tetapi juga dalam kehidupan pribadi. Dengan kata lain, bawahan memiliki ketergantungan yang tinggi kepada atasan dan mempunyai harapan atasan akan bertindak otokratis. Atasan akan membuat aturan-aturan untuk bawahan yang berbeda dengan aturan-aturan untuk atasan dan setiap orang mempunyai perkiraan bahwa atasan akan mendapat perlakuan yang lebih istimewa. Sebaliknya, pada masyarakat dengan jarak kekuasaan relatif rendah bawahan tidak terlalu tergantung kepada atasan. Mereka berharap atasan akan selalu berkonsultasi dengan bawahan.
Tingkat maskulinitas rendah dalam konteks kerja mengisyaratkan
bahwa orientasi karyawan lebih ke arah hubungan manusia atau person daripada ke arah hubungan kinerja. Hubungan interpersonal banyak terlibat dalam pengelolaan kinerja karyawan. Termasuk dalam budaya maskulin adalah masyarakat Amerika, yang menitikberatkan pada penampilan, uang dan kebendaan, ambisi serta pencapaian. Sebaliknya, masyarakat Asia, termasuk Indonesia dapat dikategorikan sebagai masyarakat feminin yang memiliki orientasi pada kualitas hidup, hubungan manusia dan lingkungan. Pada masyarakat dengan budaya maskulin rendah, kepuasan kerja tidak diperoleh dari pencapaian sasaran pekerjaan, tetapi diperoleh dari kebutuhan afiliatif. Manifestasi lain dari budaya maskulin rendah adalah bahwa kinerja pekerjaan dapat dengan mudah dirancang dalam rangka melaksanakan tugas-tugas sosial yang telah disepakati bersama dalam konteks hubungan antarpribadi. Oleh karena itu, banyak hubungan antarpribadi terlibat dalam pengelolaan kinerja karyawan. Dimensi budaya kelima, adalah budaya orientasi jangka panjang lawan orientasi jangka pendek. Masyarakat dengan budaya orientasi jangka panjang senantiasa memberikan dorongan dan memberikan penghargaan terhadap perilaku yang berorientasi pada masa depan, seperti perencanaan dan investasi untuk masa depan serta menunda kesenangan. Ini berbeda dengan masyarakat dengan budaya orientasi jangka pendek yang lebih menekankan pada pemenuhan kesenangan jangka pendek, kurang menghargai perencanaan, dan investasi untuk masa mendatang. Dalam kaitannya dengan dimensi budaya, orientasi jangka panjang dan jangka pendek tersebut menurut Kadia & Bhagat (dalam Mendonca & Kanungo, 1996) menunjukkan dimensi Berpikir Abstraktif dan Asosiatif (abstractive vs associative thinking). Pada budaya asosiatif, masyarakat menggunakan asosiasi di antara peristiwa yang mungkin tidak banyak memiliki basis logika; sebaliknya pada budaya abstraktif, masyarakat lebih dominan menggunakan hubungan sebabakibat. Dalam menjelaskan dimensi ini, Ramanujan (dalam Mendonca & Kanungo) menggunakan istilah kecenderungan berfikir jenis konteks sensitif atau konteks bebas terhadap peraturan (contextsensitive or context-free kinds of rules). Pada budaya asosiatif, sebagian besar masyarakat menggunakan konteks sensitif, sedangkan pada budaya abstraktif masyarakat cenderung menggunakan konteks bebas. Berdasarkan hasil temuan studi pada negara-negara maju, ditemukan relatif tinggi pada berpikir abstraktif (context-free) dan relatif rendah pada berpikir asosiatif (contextsensitive). Budaya tinggi pada berpikir asosiatif (context-sensitive) telah mengarahkan perilaku para anggota organisasi di negara-negara berkembang kepada berpikir dengan konteks yang telah ditentukan daripada berpikir dengan prinsip yang dominan. Pola semacam itu menunjukkan bagaimana pendekatan mereka terhadap pekerjaan. Pekerja pada negara-negara berkembang tidak dipandu oleh norma etika kerja yang relevan dan layak untuk bekerja atau oleh prinsip-prinsip penyelenggaraan perilaku kerja yang abstrak tetapi kebanyakan ditentukan oleh konteks sekarang (the immediate context) yang dianggap penting oleh mereka. Oleh karena itu, perilaku mereka mencerminkan suatu perasaan selalu berada pada waktu kini/kekinian (a sense of always living in the present). Sedangkan “kini” secara tetap akan berubah. Artinya, karyawan yang memiliki budaya tinggi pada berpikir asosiatif akan terbukti sulit diprediksi dalam rangka penyelenggaraan perilaku kerja yang dituntut secara bersama-sama. Penetapan sasaran spesifik dengan target waktu dan pengembangan rencana tindakan yang spesifik bertentangan dengan gaya hidup dan pola pikir pada budaya berpikir asosiatif yang tidak menekankan pada perencanaan masa depan. Pola pikir tersebut sangat cocok untuk pendekatan management by crisis, namun tidak cocok untuk manajemen kinerja yang efektif.