Anda di halaman 1dari 20

19

BAB II

TINJAUAN UMUM ISTILAH TABAYYUN

A. Pengertian Tabayyun

Istilah tabayyun sering dikaitkan erat dengan penyebaran berita yang

belum jelas kebenarannya ataupun sumbernya, meski pada dasarnya tabayyun

tidak hanya berhubungan dengan berita. Istilah tabayyun ini kemudian

menjadi semakin ramai didengungkan terlebih di tengah kondisi lingkungan

masyarakat yang tak pernah sepi dari arus penyebaran berita dari berbagai

kalangan. Tabayyun merupakan salah satu etika komunikasi massa yang

sesuai dengan ajaran Islam dan secara tegas juga diatur dalam Kode Etik

Jurnalistik di Indoenesia.1 Tabayyun dalam etika tersebut diistilahkan dengan

Accuracy (Ketepatan/ketelitian). Tabayyun juga bias diartikan sebagai

verifikasi kebenaran informasi.

Sebagaimana yang diketahui, bidang komunikasi mempunyai ruang

lingkup sangat luas. Dilihat dari segi bentuknya, komunikasi meliputi bentuk;

Komunikasi Persona, Komunikasi Kelompok, Komunikasi Massa dan

Komunikasi Media. Namun keseluruhan bentuk komunikasi tersebut

membutuhkan unsur tabayyun guna mendapatkan informasi yang benar.

1
Dalam Bab I Kode Etik Jurnalistik sudah ditegaskan antara lain, wartawan Indonesia beriman
dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berjiwa pancasila dan taat kepada UUD 1945. Di
situ telahtelah dijelaskan tentang tanggung jawab wartawan Indonesia yang beriman dan bertaqwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa akan mempertanggungjawabkan apa yang disiarkannya tidak saja
kepada manusia di dunia tetapi kjuga di akhirat kelak. Lihat Mafri Amir, Etika komunikasi Massa
dalam pandangan Islam (Jakarta: Logos, 1999), vii.
20

Sebagaimana yang diungkapkan oleh Rasulullah, “Kehati-hatian itu

bersumber dari Allah dan tergesa-gesa itu bersumber dari setan.”2

Ajaran Islam yang mengakomodasikan tabayyun (etika akurasi

Informasi) diungkapkan dalam al-Qur’an melalui kata “tabayyun” yang

disebutkan sebanyak 3 kali dalam 2 surah, yakni 2 kali dalam surah al-Nisa>’

[4]: 94 dan 1 kali pada surah al-Hujura>t [49]:6.3

ِ ُ ‫َٰيَأَيُّ َها ٱلَّذِينَ َءا َمنُوا ِإن َجا َء ُكم فَا ِسق ِب َنبَإ فَت َ َبيَّنُوا أَن ت‬
‫صيبُوا قَو ًما ِب َج َٰ َهلَة‬

َ‫علَ َٰى َما فَ َعلتُم َٰ َند ِِمين‬


َ ‫فَتُص ِب ُحوا‬
Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang
kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu
tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang
akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu.4

Ayat 6 surah al-Hujura>t mencerminkan sisi komunikasi Islam. Ia

berkaitan dengan narasumber, sikap pendengar (penerima berita) dan akibat

kesalahan informasi.5 Ayat tersebut turun untuk mengingtkan Nabi supaya

ekstra hati-hati menerima informasi dari seseorang sebelum mengambil

keputusan, sebab akibat yang ditimbulkan dari putusan tersebut tidak tangung-

tanggung. Seandainya, Nabi hanya percaya pada informasi al-Wali>d, yang

sumbernya tak jelas itu, mungkin Nabi akan menghukum al-Ha>rith dan

kaumnya (Bani al-Must{aliq) yang enggan membayar zakat. Karena tidak

2
Thorik Gunara, Komunikasi Rasulullah: Indahnya Berkomunikasi ala Rasulullah ( Bandung:
Simbiosa Rekatama Media, 2009), 91.
3
Amir, Etika Komunikasi Massa., 97.
4
QS. al-Hujurat [49]:6.
5
M. Tata Taufik, Etika Komunikasi Islam : Komparasi Komunikasi Islam dan Barat (Bandung:
CV. Pustaka Setia, 2012), 185.
21

mengetahui apa faktor penyebabnya, tentu tindakan Nabi akan menimbulkan

penyesalan.6

Secara etimologi tabayyun merupakan mas{dar dari fi’il mad{i ‫تبيّن‬-

‫يتبيّن‬-‫تبيّنا‬. Sedangkan lafaz ‫ تبيَّن‬merupakan derivasi dari lafaz ‫بَيَن‬, kemudian

mendapat imbuhan ta’ dan tasydid pada huruf sebelum akhir (jika berupa

huruf hidup) sebagaimana pola fi’il mad{i khumasi>y. Sehingga dari kata

bayana yang berarti jelas, menjadi tabayyana yang memiliki 2 arti , yakni

menjadi jelas, serta bisa juga berarti usaha untuk menyingkap penghalang

hingga sesuatu menjadi nampak jelas.7 Menurut kamus Lisa>nul ‘arab

tabayyana bermakna z{ahara yakni jelas. Imam Shaukani dalam kitab Fathul

Qadi>r mengartikan tabayyun sebagai al-ta’arruf wa al-tafah{h{us{ yakni

mengenali dan menyelidiki. Sedangkan Ibnu ‘Ashu>r dalam kitab Tahri>r

dan Tanwi>r menyatakan bahwa yang dikehendaki dengan tabayyun adalah

kesungguhan dalam mencari kejelasan. Menurut Musthafa al-Maraghi dalam

Tafsir al-Maraghi, at-tabayyun berarti mencari kejelasan.8 Menurt M.Quraish

6
Amir, Etika Komunikasi Massa., 98.
7
Fi’il tsulatsi mujarrad diikutkan wazan ‫ تفعّل‬dengan menambahkan ta’ di awlnya dan mendobel
‘ain fi’ilnya berfaidah: a.) ‫[ لمطاوعة فعّل المضعَف‬muthowa’ahnya fi’il yang mengikuti wazan ‫] فعّل‬.
b.) ‫[ تكلّف‬berusahanya fa’il dengan keras agar perbuatan itu dapat berhasil]. c.) ‫التّخاذالفاعل اصل الفعل‬
‫[ مفعوال‬olehnya menjadikan fa’il pada maf’ul sebagai asal fi’il. d.) ‫[ للداللة على مجانفة الفعل‬untuk
menunjukkan bahwa fa’il menjauhi perbuatan itu. e.) ‫[ للصيرورة‬berubahnya fa’il menjadi
asal/pokok fi’il]. f.) ‫[ للداللة على حصول اصل الفعل مرة بعد أخرى‬menunjukkan keberhasilan
perbuatan/asal fi’il berkali-kali. g.) ‫[ للطلب‬berusaha mendapatkan asal fi’il dari maf’ulnya. Lihat
Syeikh Ma’shum bin ‘Ali, Al-Amtsilah At-Tashrifiyyah terj. Abdul Kholiq (Nganjuk: Darussalam,
2007), 49.
8
Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi terj. (Semarang: Toha Putra, 1986) , 209.
22

Shihab dalam Tafsir Al-Misbah, at-tabayyun artinya telitilah dengan sungguh-

sungguh.9

Berdasarkan pengertian tersebut, tabayyun juga bisa diartikan dengan

penyelidikan atau penelitian, yakni penyaluran rasa ingin tahu manusia

terhadap sesuatu/masalah dengan perlakuan tertentu (seperti memeriksa,

mengusut, menelaah dan mempelajari secara cermat dan sunguh-sungguh)

sehingga memperoleh hasil (seperti mencapai kebenaran, memperoleh

jawaban atas masalah pengembangan ilmu pengetahuan dan sebagainya).10

Dalam hal ini terlihat bahwa penelitian memilki beberapa komponen:

1. Ada rasa ingin tahu dari manusia

2. Ada suatu objek/masalah yang patut diteliti

3. Ada proses atau usaha untuk menyelesaikan masalah

4. Ada hasilnya, seperti mencapai kebenaran.11

Jadi, dapat disimpulkan bahwa tabayyun adalah suatu upaya dengan

penuh kesungguhan untuk memperoleh kejelasan informasi yang masih

diragukan kebenarannya guna menghindari bahaya yang ditimbulkan akibat

tidak selektif dalam menerima informasi.

Dalam melakukan tabayyun sebagai etika dalam merespon penyebaran

informasi ini, tidak hanya terfokus pada kandungan informasi yang

disampaikan semata. Bahkan sangat perlu pula meneliti integritas dan

kredibilitas sumber yang memberikan informasi.

9
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah (Jakarta: Lentera Hati, 2002), 678.
10
Iqbal Hasan, Analisis Data Penelitian dengan Statistik (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), 3.
11
Ibid., 4.
23

1. Informan

Al-Qur’an menghendaki agar informasi, apa pun bentuknya,

mengandung ide yang benar, bermanfaat lagi sesuai dan diterima oleh

sasaran. Untuk maksud itulah al-Qur’an memberikan perhatian bagi

pribadi informan, ide yang disampaikan serta cara-cara penyampaiannya.12

Nabi Muhammad Saw. yang bertugas menyampaikan berita

(informasi dari Allah), sejak dini (sebelum beliau menjadi rasul yang

bertugas menyampaikan wahyu Illahi) diperintah terlebih dahulu untuk

mempersiapkan diri, bukan hanya dengan perintah “membaca” pada

wahyu pertama itu, tetapi juga pada wahyu-wahyu berikutnya. Hal

tersebut terlihat pada petunjuk Allah pada surah al-Muzammil dan al-

Mudaththir, yang merupakan wahyu ketiga dan keempat. Dalam surah al-

Muzammil beliau diperintahkan bangun malam untuk mempersiapkan

mental agar lebih kukuh lagi guna menghadapi masa sulit dan wahyu yang

berat.13

Dalam ayat lain Allah Swt. menekankan perlunya kelemahlembutan

dan kasih sayang para informan. Untuk menanamkan kepercayaan orang

lain, al-Qur’an memberikan berbagai tuntunannya, misalnya melarang

memperbanyak sumpah dengan nama Allah Swt. Dalam rangka

meyakinkan orang. Sebab, yang demikian itu justru menghasilkan dampak

negative.

12
M.Quraish. Shihab, Secercah Cahaya Illahi: Hidup Bersama Al-Qur’an ( Bandung: Mizan,
2007), 360.
13
Ibid., 362.
24

ُ‫ٱّلل‬ ِ َّ‫ضةً ِّّلَي َٰ َمنِ ُكم أَن تَبَ ُّروا َوتَتَّقُوا َوتُص ِل ُحوا َبينَ ٱلن‬
َّ ‫اس َو‬ َ ‫عر‬ َّ ‫َو َال تَجعَلُوا‬
ُ َ‫ٱّلل‬

‫ع ِليم‬
َ ‫س ِميع‬
َ

Dan janganlah kamu jadikan (nama) Allah dalam sumpahmu sebagai


penghalang untuk berbuat kebajikan, bertakwa dan menciptakan
kedamaian di antara manusia. Allah Maha Mendengar, Maha
Mengetahui.14

Menjadikan nama Allah untuk bersumpah dapat menjadi

penghalang, karena orang yang sering bersumpah untuk meyakinkan orang

lain adalah pertanda ketidakpercayaan orang lain kepadanya. Jika itu

terjadi, maka ini adalah indikasi kelemahannya, sehingga ia tidak akan

mampu melakukan is{la>h antar orang yang bertikai.15

Allah Swt. Juga melarang informan mengemukakan dalam bentuk

pasti terhadap sesuatu yang masih merupakan sangkaan.

َّ ‫ٱلظ َّن َوإِ َّن‬


َ‫ٱلظ َّن َال يُغنِى ِمن‬ َّ ‫َو َما لَ ُهم بِ ِهۦ ِمن ِعلم إِن يَتَّبِعُونَ إِ َّال‬

ِ ّ ‫ٱل َح‬
‫ق شَيـًٔا‬

Dan mereka tidak mempunyai ilmu tentang itu. Mereka tidak lain
hanyalah mengikuti dugaan, dan sesungguhnya dugaan itu tidak
berfaedah sedikit pun terhadap kebenaran.16

14
QS. al-Baqarah [2]: 224
15
Shihab, Secercah Cahaya Illah.,364.
16
QS. an-Najm [53]: 8
25

Sangkaan atau dugaan yang dibenarkan untuk dikemukakan dalam

kondisi tertentu adalah dugaan yang beralasan. Oleh karena itu, al-Qur’an

mengingatkan untuk menjauhi prasangka, karena kebanyakan dari

prasangka adalah dosa (QS. Al-Hujura>t [49]: 12).17 Kalau prasangka saja

dilarang menginformasikannya, maka lebih-lebih informasi bohong.

Kebohongan adalah sesuatu yang amat tercela. Nabi bersabda, ”Empat

hal, siapa yang menyandangnya maka dia adalah munafik yang

sesungguhnya, dan siapa yang memiliki salah satu diantaranya, maka ia

menyandang kemunafikan sampai dia meninggalkannya. (Yaitu) kalau

diberi amanat dia khianat, kalau berbicara (menyampaikan informasi) dia

berbohong, kalau dia berjanji dia ingkar dan apabila menuntut ia dia

durhaka” (HR. al-Bukhari dan Muslim, melalui ‘Abdullah bin ‘Amr bin

‘Ash).

Bukan hanya informasi bohong, yang keliru pun dikecam dan

dicegah-Nya (QS. Ali Imran [3]: 66)18. Dalam QS. al-An’am (6) ayat

14319, Allah Swt. berfirman, sebagai pengajaran bagi siapa pun yang

memberi informasi agar memberi hanya pada informasi yang benar. Orang

17
ُّ‫ض ُكم بَعضًا أَيُحِ ب‬
ُ ‫سوا َو َال يَغت َب بَّع‬ َّ ‫ض‬
َّ ‫ٱلظ ِّن ِإثم َو َال ت َ َج‬
ُ ‫س‬ َّ َ‫ِيرا ِّمن‬
َ ‫ٱلظ ِّن ِإ َّن بَع‬ ً ‫َٰيَأَيُّ َها ٱلَّذِينَ َءا َمنُوا ٱجتَنِبُوا َكث‬
﴾١٢﴿ ‫ٱّللَ ت ََّواب َّرحِ يم‬ َّ ‫أ َ َحدُ ُكم أَن يَأ ُك َل لَح َم أَخِ ي ِه َميتًا فَك َِرهت ُ ُموهُ َوٱتَّقُوا‬
َّ ‫ٱّللَ ِإ َّن‬
18
Artinya:
Begitulah kamu! Kamu berbantah-bantahan tentang apa yang kamu ketahui, tetapi mengapa
kamu berbantah-bantahan juga tentang apa yang tidak kamu ketahui? Allah mengetahui sedang
kamu tidak mengetahui.

19
Artinya:
ada delapan hewan ternak yang berpasangan (empat pasang); sepasang domba dan sepasang
kambing. Katakanlah, "Apakah yang diharamkan Allah dua yang jantan atau dua yang betina
atau yang ada dalam kandungan kedua betinanya? Terangkanlah kepadaku berdasar
pengetahuan jika kamu orang yang benar."
26

yang tidak mengetahui tidak dibenarkan memberi informasi apa pun walau

ia ditanya. Nabi Muhammad Saw. ketika beliau diajukan pertanyaan

menyangkut masalah pertanian, menyatakan bahwa beliau tidak

mengetahuinya bahkan mengatakan bahwa yang bertanya, beliau anggap

lebih mengetahui urusannya sendiri.

Tradisi keilmuan Islam menjadikan salah satu jawaban yang paling

tepat adalah “Saya tidak tahu.” Sekali waktu ada seseorang yang diutus

dari Maroko ke Madinah untuk menemui Imam Malik guna menanyakan

suatu persoalan. Perjalanan yang ditempunya, waktu itu, selama enam

bulan. Dan ketika ia menemui Imam Malik, beliau menjawab,

“Beritahukanlah kepada yang mengutusmu bahwa aku tidak mempunyai

pengetahuan menyangkut apa yang ditanyakan itu.” Ini adalah realisasi

dari tuntunan al-Qur’an untuk tidak member informasi menyangkut hal

yang tidak diketahui.

Akan tetapi, disisi lain perlu dicatat bahwa dalam konteks memberi

informasi tentang kekeliruan atau kebohongan suatu berita penting, al-

Qur’an menuntut setiap orang yang mengetahui untuk memberi informasi

(kesaksian). Bila keengganan memberi informasi (kesaksian) itu

mengakibatkan kaburnya kebenaran atau berdampak negative terhadap


27

seseorang atau masyarakat maka orang tersebut memikul dosa yang sangat

besar ( QS. al-Baqarah [2]: 283).20

Dari penjelasan tersebut, terlihat jelas bahwa seorang informan

hendaknya memiliki pribadi yang patut untuk dipercaya, tidak menyatakan

kepastian pada sesuatu yang masih diragukan, hanya memberi informasi

yang sudah jelas kebenarannya serta tidak menyembunyikan

kebenarannya.

2. Kandungan Informasi

Informasi yang kita terima tidak pernah netral, informasi selalu

merupakan perumusan realitas dari perspektif tertentu. Sehingga perlu

adanya pengembangan kemampuan khalayak dalam menerima,

menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi.21

Ali bin Abi Thalib r.a. berkata:

‫ت‬ َ ‫َاس أَعدَاء َما َجهلُوا إي‬


َ ‫ّاك اَن تَذ ُك َر منَ ال َك ََلم َما َكانَ ُمضح ًكا َوإن َح َكي‬ ُ ‫الن‬
‫عن غَيرك‬ َ َ‫ذ‬
َ ‫لك‬

Manusia menjadi musuh atas apa yang ia tidak ketahui. Inilah kaidah

informasi yang ditawarkan Ali, betapa pentingnya informasi supaya tidak

memusuhi apa yang tidak seharusnya dimusuhi. Dalam kesempatan lain,

20
َ َ‫ٱّللُ بِ َما ت َع َملُون‬
‫علِيم‬ َّ ‫ش َٰ َهدَة َ َو َمن يَكتُم َها فَإِنَّهُۥٓ َءاثِم قَلبُهُۥ َو‬
َّ ‫َو َال ت َكت ُ ُموا ٱل‬

Artinya:
Dan janganlah kamu menyembunyikan kesaksian, karena barangsiapa menyembunyikannya,
sungguh, hatinya kotor (berdosa). Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
21
M. Tata Taufik, Etika Komunikasi Islam : Komparasi Komunikasi Islam dan Barat (Bandung:
CV. Pustaka Setia, 2012), 118.
28

beliau juga menasehati, “Hindarilah mengucapkan kata-kata lucu,

walaupun kamu menceritakannya dari teman kamu.” Melalui ungkapan

ini, tampaknya beliau hendak menghindari “lawak” yang kadang dapat

mengakibatkan dampak yang kurang baik.22

Ima>m al-Shat{ibi>y menyatakan, “Tidak semua apa yang

diketahui itu termasuk yang boleh disebarluaskan, walaupun hal

(Informasi) itu merupakan bagian dari ilmu syari’at dan bagian dari

informasi tentang pengetahuan hukum. Informasi terbagi menjadi dua, ada

yang dituntut untuk disebarluaskan atau baru diharapkan untuk

disebarluaskan setelah mempertimbangkan keadaan, waktu atau pribadi.”

Suatu etika Rasul Saw. menyampaikan kepada Abu> Hurairah,

bahwa, “Siapa yang mengucapakan ‘La> ila>ha illa Allah’ dengan penuh

keyakinan, dia masuk surga.” Mendengar ini sahabat yang paling banyak

meriwayatkan hadits Nabi itu bergegas ke pasar untuk menyampaikan

informasi Rasul tersebut. Akan tetapi di tengah jalan dia dicegat oleh

Umar r.a. yang mengetahui maksudnya itu, dan membawa Abu Hurairah

kembali kepada Rasulullah. Umar bertanya kepada Rasul perihal

pengutusan Abu> Hurairah untuk menyampaikan kabar itu dan beliau pun

membenarkannya. Kemudian Umar berkata, “Jangan lakukan (wahai

Rasulullah), saya kuatir orang (hanya) mengandalkan (ucapan) itu.

22
Ibid., 165.
29

Biarkan saja mereka beramal.” Maka Rasulullah Saw. Bersabda “Kalau

begitu, biar saja mereka beramal” (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Umar r.a. khawatir jika informasi ini disampaikan di pasar, ia akan

disalahpahami orang, apalagi tingkat pengetahuan orang-orang yang ada

di sana sangat heterogen. Nabi Saw. menyetujui usulan Umar, boleh jadi

karena memang beliau tidak memerintahkan Abu> Hurairah

menyampaikannya kepada orang-orang yang dikuatirkan tidak mengerti,

tetapi juga karena informasi ini dalam situasi saat itu tidak tepat sasaran,

walaupun informasinya benar.

Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan tidak selalu harus dijawab.

Karena ada pertanyaan yang sifatnya omong kosong, sehingga tidak dapat

atau tidak perlu dijawab. Ada pula pertanyaan, yang apabila dijawab,

justru tidak dapat dimengerti oleh si penanya. Dari sini pula dapat

dipahami mengapa dalam al-Qur’an ditemukan jawaban pertanyaan yang

diajukan oleh kaum muslimin dan selain mereka, yang dijawab oleh al-

Qur’an tidak sesuai atau tidak sepenuhnya menjawab apa yang ditanyakan.

Hal ini karena mengetahui jawaban terhadap apa yang ditanyakan itu tidak

banyak manfaatnya, atau mengetahui yang lain lebih bermanfaat

dibandingkan dengan menerima jawaban dari pertanyaan yang diajukan.

Ada ayat yang memberi jawaban ala kadarnya sesuai dengan yang

ditanyakan, kemudian memberi jawaban rinci menyangkut hal yang lebih

penting/bermanfaat, seperti yang diungkap dalam QS. Al-Baqarah [2]:


30

215.23 Ada juga jawaban yang mengabaikan pertanyaan yang diajukan dan

memberi jawaban yang (ketika itu) lebih penting untuk mereka ketahui,

seperti yang dijelaskan dalam QS. Al-Baqarah [2]: 189.24

Dalam segi isi atau materi komunikasi menurut pandangan islam,

yakni harus tetap ada pemilihan perkataan atau kalimat-kalimat yang pas,

tidak mengandung hinaan dan dapat menyenangkan bahkan memuaskan

lawan bicara. Dengan singkat, materi ucapan yang terlontar dari

komunikator hendaknya tepat sasaran, bertujuan dan beretika. Suatu

gambaran yang mencerminkan derajat luhur dan dapat melahirkan

kepercayaan lingkungannyaakan kebenaran pesan dan kebaikan yang akan

ditimbulkan dari efek komunikasi bersama seorang muslim.25

Menurut Yu>suf Qard{awi>y, kalau komunikasi massa Islam ingin

sukses dalam menjalankan tugasnya, ada beberapa catatan syar’i>y yang

berkenaan dengan aktivitas komunikasi, audiens atau kelompok sasaran.

Diantaranya:

23
Artinya:
Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang apa yang harus mereka infakkan.
Katakanlah, "Harta apa saja yang kamu infakkan, hendaknya diperuntukkan bagi kedua orang
tua, kerabat, anak yatim, orang miskin dan orang yang dalam perjalanan." Dan kebaikan apa
saja yang kamu kerjakan, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui.
24
Artinya:
Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang bulan sabit. Katakanlah, "Itu adalah
(penunjuk) waktu bagi manusia dan (ibadah) haji." Dan bukanlah suatu kebajikan memasuki
rumah dari atasnya, tetapi kebajikan adalah (kebajikan) orang yang bertakwa. Masukilah
rumah-rumah dari pintu-pintunya, dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.

25
M. Tata Taufik, Etika Komunikasi Islam : Komparasi Komunikasi Islam dan Barat (Bandung:
CV. Pustaka Setia, 2012), 170.
31

- Berkenaan dengan kegiatan komunikasi, seorang yang berkecimpung

dalam aktivitas tersebut harus jujur, memahami arti pentingnya bahasa dan

pesan yang akan disampaikannya serta professional.

- Sedangkan dari sudut audiens, ia harus selektif dan jujur terhadap dirinya

sendiri dan keluarganya, tidak menerima berbagai pesan yang bertolak

belakang dengan nuraninya, bahkan harus menghindari berbagai “pesan”

yang dapat menghancurkan akhlak dan tingkah laku diri dan keluarganya,

serta dapat merusak kehidupan duniawi dan agamanya.26

Informan dan kandungan informasi merupakan objek utama dalam

tabayyun terkait penerimaan atau penyebaran informasi. Penjelasan mengenai

dua objek tabayyun di atas merupakan gambaran singkat tentang komunikasi

yang efektif, sebagai tolak ukur dalam ber-tabayyun, apakah suatu informasi

patut untuk diterima atau dibiarkan saja guna menghindari informasi palsu

yang rentan membawa bencana. Atau sebagai tolak ukur apakah seorang

informan atau suatu informasi membutuhkan sikap tabayyun atau tidak. Sebab

komunikasi yang sukses dan efektif tidak lagi membutuhkan usaha check and

recheck (tabayyun).

B. Sebab-sebab Melakukan Tabayyun

Dalam kegiatan komunikasi, kebenaran kandungan informasi yang

disampaikan merupakan hal yang sangat penting. Namun, adakalanya

26
Ibid., 206-207.
32

informasi yang dikehendaki oleh sumber utama tidak sesuai dengan informasi

yang dipahami oleh pihak penerima. Komunikasi yang tidak efektif seperti

ini, menyebabkan kesalahpahaman dan bahkan berakibat fatal apabila

informasi tersebut tergolong penting dan melibatkan banyak pihak. Dalam

kondisi demikian, tabayyun perlu dilakukan agar tidak mudah menerima suatu

informasi yang beredar sehingga tidak mudah terpengaruh oleh informasi

yang menjebak.

Timbulnya kesalahpahaman tersebut merupakan akibat adanya gangguan

dan rintangan27 yang dialami pelaku komunikasi, yang rentan terjadi dalam

kegiatan komunikasi, yang pada akhirnya menuntut kita untuk tabayyun. Jika

kita melihat hakikat komunikasi sebagai suatu sistem, gangguan komunikasi

bisa terjadi pada semua elemen atau unsur-unsur yang mendukungnya,

termasuk factor lingkungan dimana komunikasi itu terjadi. Gangguan atau

rintangan komunikasi pada dasarnya dapat dibedakan atas tujuh macam, yakni

sebagai berikut.

1. Gangguan Teknis

Gangguan teknis terjadi jika salah satu alat yang digunakan dalam

berkomunikasi mengalami gangguan, sehingga informasi yang ditransmisi

melalui saluran mengalami kerusakan (channel noise). Misalnya gangguan

pada stasiun radio atau TV, gangguan jaringan telepon, rusaknya pesawat

radio sehingga terjadi suara bising dan gangguan teknis lainnya.

27
Rintangan komunikasi yang dimaksud ialah adanya hambatan yang membuat proses komunikasi
tidak dapat berlangsung sebagaimana harapan komunikator dan penerima.
33

2. Gangguan Semantik

Gangguan semantik adalah gangguan komunikasi yang disebabkan

karena kesalahanpada bahasa yang digunakan (Blake, 1979). Gangguan

semantic sering terjadi karena:

a. Kata-kata yang digunakan terlalu banyak memakai jargon bahasa asing

sehingga sulit dimengerti oleh khalayak tertentu.

b. Bahasa yang digunakan pembicara berbeda dengan bahasa yang

digunakan oleh penerima.

c. Struktur bahasa yang digunakan tidak sebagaimana mestinya, sehingga

membingungkan penerima.

d. Latar belakang budaya yang menyebabkan salah persepsi terhadap

symbol-simbol bahasa yang digunakan.28

3. Gangguan Psikologis

Selain rintangan semantik, juga terdapat rintangan psikologis.

Rintangan psikologis terjadi karena adanya gangguan yang disebabkan oleh

persoalan-persoalan dalam diri individu. Misalnya rasa curiga penerima

kepada sumber, situasi berduka atau karena gangguan kejiwaan sehingga

dalam penerimaan dan pemberian informasi tidak sempurna.

4. Rintangan Fisik

Rintangan fisik ialah rintangan yang disebabkan karena kondisi

geografis misalnya jarak jauh sehingga sulit dicapai. Rintangan fisik bisa

28
Hafied Cangara, Pengantar Ilmu Komunikasi (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2011), 156.
34

juga diartikan karena adanya gangguan organic, yakni tidak berfungsinya

salah satu pancaindra pada penerima.

5. Rintangan Status

Rintangan status ialah rintangan yang disebakan karena jarak social

di antara pelaku komunikasi, misalnya perbedaan status antara senior dan

yunior atau atasan dan bawahan. Perbedaan seperti ini biasanya menuntut

perilaku komunikasi yang selalu memperhitungkan kondisi dan etika yang

sudah membudaya dalam masyarakat, yakni bawahan cenderung hormat

pada atasannya, atau rakyat pada raja yang memimpinnya.

6. Rintangan Kerangka Berpikir

Rintangan kerangka berpikir ialah rintangan yang disebabkan adanya

perbedaan persepsi antara komunikator dan khalayak terhadap pesan yang

digunakan dalam berkomunikasi. Ini disebabkan karena latar belakang

pengalaman dan pendidikan yang berbeda.

7. Rintangan Budaya

Rintangan Budaya ialah rintangan yang terjadi disebabkan karena

adanya perbedaan norma, kebiasaan dan nilai-nilai yang dianut oleh pihak-

pihak yang terlibat dalam komunikasi. Di Negara-negara sedang

berkembang masyarakat cenderung menerima informasi dari sumber yang

banyak memiliki kesamaan dengan dirinya, seperti bahasa, agama dan

kebiasaan-kebiasaan lainnya.29

29
Ibid., 157-158.
35

C. Metode Tabayyun

Berdasarkan penjelasan sebelumnya, dapat dipahami bahwa tabayyun

merupakan suatu sikap/usaha untuk memperoleh kejelasan atau kebenaran

suatu hal yang masih tertutupi atau diragukan. Secara etimologi kata “benar”

mempunyai arti tidak salah, lurus dan adil atau berarti sungguh-sungguh, tidak

bohong.30 Sedangkan secara epistemology, pengertian kebenaran dapat dilihat

dari berbagai teori mengenai kebenaran, yang antara lain:

1.) Teori Koherensi

Menurut teori ini suatu pengetahuan, teori, pernyataan, proposisi atau

hipotesis dianggap benar bila ia sejalan dengan pengetahuan, teori,

preposisi atau hipotesis lainnya, yakni kalau proposisi itu meneguhkan dan

konsisten dengan sebelumnya. Contoh: Jika “semua manusia pasti akan

mati” adalah benar, maka “si A akan mati” adalah benar juga.

2.) Teori korespondensi

Suatu pernyataan adalah benar jika ia berhubungan dengan objek yang

dituju oleh pernyataan itu. Contoh: “Jakarta adalah Ibu Kota Indonesia”

adalah benar karena sesuai dengan fakta.

3.) Teori Pragmatis

Suatu pernyataan dinilai benar jika konsekuensi dari pernyataan itu

mempunyai kegunaan praktis bagi kehidupan manusia. Contoh: “Memakai

30
Muhammad Mufid, Etika dan Filsafat Komunikasi (Jakarta: Kencana, 2009), 67.
36

helm wajib bagi pengendara sepeda motor”, adalah benar karena

pernyataan tersebut berguna bagi kehidupan praktis.31

4.) Teori Koherensi

Menurut teori ini sesuatu dianggap benar bila ia berkaitan dengan

pernyataan sebelumnya yang sudah pasti benar. Misalnya pernyataan

bahwa “Presiden di Indonesia tidak dapat dijatuhkan oleh parlemen”

adalah benar karena bertalian dengan pernyataan sebelumnya, yakni

“Indonesia menganut system pemerintahan presidensial”.

Secara umum, kebenaran diklasifikan menjadi kebenaran ilmiah dan

kebenaran non ilmiah. Kebenaran ilmiah merupakan kebenaran yang

diperoleh secara mendalam berdasarkan proses penelitian dan penalaran

logika ilmiah. Kebenaran ilmiah ini dapat ditemukan dan diuji dengan

pendekatan pragmatis, koresponden dan koheren. Berbeda dengan kebenaran

ilmiah yang diperoleh berdasarkan penalaran logika ilmiah, ada juga

kebenaran karena faktor-faktor non ilmiah.

Diantaranya kebenaran non ilmiah adalah:

1.) Kebenaran karena kebetulan

Kebenaran yang didapat dari kebetulan dan tidak ditemukan secara ilmiah.

Tidak dapat diandalkan karena kadang kita sering tertipu dengan kebetulan

yang tidak bisa dibuktikan. Namun satu atau dua kebetulan bisa juga

31
Ibid., 68.
37

menjadi perantara kebenaran ilmiah, misalnya penemuan Kristal Urease

oleh Dr. J.S. Summers.

2.) Kebenaran karena akal sehat (common sense)

Akal sehat adalah serangkaian konsep yang dipercayai dapat memecahkan

masalah secara praktis. Kepercayaan bahwa hukuman fisik merupakan alat

utama untuk pendidikan adalah termasuk kebenaran akal sehat ini.

Penelitian psikologi kemudian membuktikan hal itu tidak benar.

3.) Kebenaran agama dan wahyu

Kebenaran mutlak dan asasi dari Tuhan. Beberapa hal masih bisa dinalar

dengan panca indera manusia, tapi sebagian hal lain tidak dan karenanya

membutuhkan keyakinan (keimanan).

4.) Kebenaran Intuitif

Kebenaran yang didapat dari proses luar sadar tanpa menggunakan

penalaran dan proses berpikir. Kebenaran intuitif sukar dipercaya dan

tidak bisa dibuktikan, hanya sering dimiliki oleh orang yang

berpengalaman lama dan mendarah daging di suatu bidang. Contohnya

Mbah Marijan, ketika menjelang gunung Merapi meletus, tidak mau

diungsikan dengan alasan menurutnya (intuisinya) merapi tidak akan

meletus.

5.) Kebenaran karena trial dan error

Kebenaran yang diperoleh karena mengulang-ulang pekerjaan, baik

metode, teknik, materi dan parameter-parameter sampai akhirnya

menemukan sesuatu.
38

6.) Kebenaran Spekulasi

Kebenaran karena pertimbangan meskipun kurang dipikirkan secara

matang. Dikerjakan dengan penuh resiko, relative lebih cepat daripada

trial dan error.

7.) Kebenaran karena kewibawaan

Kebenaran yang diterima karena pengaruh kewibawaan seseorang.

Seseorang tersebut bisa ilmuan, pakar atau ahli yang memiliki kompetensi

dan otoritas dalam suatu bidang ilmu. Kadang kebenaran yang keluar

darinya diterima begitu saja tanpa perlu diuji. Kebenaran ini bisa benar

tapi bisa juga salah karena tanpa prosedur ilmiah.

8.) Kebenaran karena kekuasaan

Yaitu sesuatu menjadi benar atau salah karena adanya intervensi

kekuasaan. Contohnya adalah invasi Amerika Serikat ke Irak, yang

menjadi benar karena Amerika Serikat memiliki kekuasaan (power)32

Perbedaan definisi kebenaran di atas bertolak pada perbedaan

objek/aspek yang perlu dicari kebenarannya, yang mana secara tidak langsung

juga menunjukkan perbedaan metode pembuktian kebenaran tersebut. Model

pembuktian atau penelitian kebenaran yang dijelaskan di atas juga

memperlihatkan cara ber-tabayyun baik dalam konteks ilmiah ataupun non

ilmiah.

32
Ibid., 69-71.

Anda mungkin juga menyukai