Anda di halaman 1dari 2

NAMA : CINTIYA NUR ANISA

NIM : A1012191101
MAKUL : HUKUM KELUARGA DAN WARIS ADAT

1. Bagaimana kedudukan harta perkawinan terhadap perkawinan yang putus karena


kematian dan perkawinan tersebut tidak memiliki keturunan (anak).

a. Untuk yang beragama Islam, ada ketentuan mengenai pembagian harta


bersama dalam Kompilasi Hukum Islam (“KHI”).
Pasal 97 KHI mengatur “janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak
seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian
perkawinan.”. Selengkapnya simak Warisan Dan Harta Gono Gini.

b. Lalu, dijelaskan Hilman (hlm. 193)


bagi umat Katolik pada dasarnya tidak ada perceraian dalam agama Katolik,
karena agama Katolik menolak adanya perceraian. Namun dalam praktiknya,
pasangan Katolik tetap dapat bercerai secara perdata, walaupun secara
Katolik perceraian tersebut dianggap tidak sah. Lebih jauh simak
artikel Perceraian Agama Katolik dan Perceraian Agama Katolik (2). Dalam
hal yang demikian, perceraian dan pembagian harta bersama berpedoman
pada ketentuan-ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (“KUHPer”).

Berdasarkan Pasal 126 KUHPer


harta bersama bubar demi hukum salah satunya karena perceraian.
Lalu, setelah bubarnya harta bersama, kekayaan bersama mereka dibagi dua
antara suami dan isteri, atau antara para ahli waris mereka, tanpa
mempersoalkan dan pihak mana asal barang-barang itu (Lihat Pasal 128
KUHPer).

Jadi, berdasarkan Pasal 37 UUP jo Pasal 126 dan 128 KUHPer,


perceraian mengakibatkan bubarnya harta bersama sehingga harta bersama
tersebut harus dibagi diantara pasangan suami-istri. Lebih lanjut mengenai
pembagian harta bersama simak artikel Pembagian Harta dan Pembagian
Harta Gono Gini.
c. Selain itu, akibat perceraian terhadap harta bersama juga dapat ditentukan
oleh hukum adat yang digunakan para pihak, apabila para pihak
menggunakan hukum adat untuk mengatur akibat perceraian. Sehingga,
segala sesuatu mengenai harta bersama diatur berdasarkan hukum adat yang
berlaku masing-masing, dan tidak ada kesamaan antara masyarakat adat yang
satu dan yang lainnya.

Misalnya pada masyarakat matrilineal seperti masyarakat Minang, umumnya


berlaku hukum adat yang menentukan akibat hukum perceraian terhadap harta
bersama yaitu harus dibagi antara suami dan istri (Hilman, hlm 189-190).

2. Kedudukan harta perkawinan terhadap harta bersama atau harta yang diperoleh
karena hibah, warisan dan sebagainya.
Jika sebelum perkawinan telah dibuat perjanjian kawin yang intinya memisahkan
seluruh harta bawaan dan harta perolehan antara suami istri tersebut, maka ketika
perceraian terjadi, masing-masing suami/istri tersebut hanya memperoleh harta yang
terdaftar atas nama mereka. Karena tidak dikenal istilah harta bersama atau istilah
awamnya “harta gono gini”. Dengan demikian, dalam kasus tersebut, sang suami
tidak berhak terhadap deviden dari usaha tersebut, juga terhadap harta lainnya yang
menjadi milik istri, begitu juga sebaliknya.
Namun, apabila di antara suami istri tersebut tidak pernah dibuat Perjanjian Kawin,
maka berdasarkan Pasal 119 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, terhitung sejak
perkawinan terjadi, demi hukum terjadilah percampuran harta di antara keduanya
(jika perkawinan dilakukan sebelum berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan - “UU Perkawinan”). Akibatnya harta istri menjadi harta suami,
demikian pula sebaliknya. Inilah yang disebut sebagai harta bersama. Terhadap harta
bersama, jika terjadi perceraian, maka harus dibagi sama rata antara suami dan istri.
Pembagian terhadap harta bersama tersebut meliputi segala keuntungan dan kerugian
yang didapatkan dari usaha maupun upaya yang dilakukan oleh pasangan suami/istri
tersebut selama mereka masih terikat dalam perkawinan.

Anda mungkin juga menyukai