Anda di halaman 1dari 502

SERIES

#1
FAISAL ODDANG DAN SAHABAT INNA
Tentang
Rindu

Faisal Oddang
dan
Sahabat Inna

CV Salam Solutions, 2020

i|Tentang Rindu
Inspirasi Pena | ii

Tentang Rindu
Copyright © CV Salam Solutions, 2020.
Penulis :Faisal Oddang dan Sahabat
Inna
Editor :Febry Nugroho
Desain sampul :Wisnu Manggala Putra
Tata letak : Dwi Ambarsari
Penyelaras akhir : Dwi Ambarsari

Penerbit : CV Salam Solutions


Redaksi :
Jl. Plawangan-Bongas. Rt/Rw 01/01 Kecamatan Bongas
Kabupaten Indramayu. Kode Pos 45255
E-mail : muslimahkece35@gmail.com
Telepon : +62 838 24731014

Didistribusikan oleh: Inspirasi Pena ID

Jl. Riyanto No. 52 Sumampir, Purwokerto Utara

Email: sahabatliterasi@inspirasipena.org

Facebook: Inspirasi Pena ID

Cetakan pertama, 2020

ISBN 978-623-93978-8-3
Hak Cipta dilindungi Undang-undang. All right reserved
Menabung dan Membelanjakan Kata-Kata

Membaca lima puluh cerita dari lima puluh


penulis yang berbeda—berarti dihadapkan pada
lima puluh proses menabung yang berbeda.Untuk
istilah menabung yang saya gunakan pada kalimat
sebelumnya, akan saya jelaskan selanjutnya:
Seorang pemuda, mantan reporter The
Kansas City Star memutuskan untuk mengikuti
seleksi masuk angkatan darat Amerika Serikat.
Namun, dia ditolak karena penglihatannya yang
bermasalah. Pemuda itu tidak menyerah dan terus
mengusahakan agar ia terlibat dalam Perang Dunia
I yang berlangsung waktu itu. Keinginannya
terjawab, dia menjadi tim medis sekaligus supir
ambulan dan terlibat langsung dalam peperangan.
Kurang lebih sepuluh tahun kemudian, sebuah
novel berjudul A Farewell to Arms (1929) terbit—
dan terus dibaca hingga saat ini. Dalam bahasa
Indonesia, novel tersebut diterjemahan dengan
judul Pertempuran Penghabisan, tokohnya yang
terkenal bernama Henry Frederich .Penulis novel
tersebut kemudian menerima penghargaan nobel
di bidang kesusastraan pada 10 Desember 1954.
Lewat pidatonya yang dibacakan oleh John C.
Cabot, duta besar Amerika Serikat untuk Swedia,
penulis novel tersebut mengatakan ―seorang
penulis seharusnya menuliskan apa yang ia

iii | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | iv

pikirkan, bukan membicarakannya‖.Mantan


reporter yang saya maksud di kalimat pertama
paragraf ini, dan penerima nobel yang baru saja
Anda baca,merupakan orang yang sama. Namanya,
jika Anda ketik di mesin pencarian(seperti
Google), akan memunculkan jutaan lebih rujukan.
Jika tidak percaya, carilah sendiri dengan
mengetik kata kunci; Ernest Hemingway.
Menabung
Masyarakat, karya sastra, dan pengarang,
merupakan segitiga sama sisi yang saling
menopang. Hal tersebut sebenarnya sudah
terlampau sering dibahas di kelas-kelas sosiologi
sastra dengan merujuk pernyataan Ian Watt (yang
sungguhbanyak di internet) atau merujuk buku—
(misalnya); Sosiologi Sastra; Sebuah Pengantar
Ringkas karya Sapardi Djoko Damono. Kalimat
yang paling terkenal dari buku ituialah ―sastra
menampilkan gambaran kehidupan, dan kehidupan
itu sendiri adalah kenyataan sosial‖.
Paragraf di atas jika ingin diringkas ke
dalam dua kata kunci maka kita akan mengambil
kata ―sastra‖ dan ―kehidupan/kenyataan sosial‖.
Kata kunci tersebut sangat sejalan dengan
ungkapan De Bonald bahwa literature is an
expression of society—sastra merupakan
ungkapan perasaan masyarakat. Pertanyaan
selanjutnya, ―masyarakat‖ yang dimaksud apakah
―pengarang sebagai masyarakat‖ atau ―masyarakat
dalam karangan‖?Menjawab persoalan tersebut,
kita bisa melihat klasifikasi yang dilakukan Rene
Wellekdan Austin Warren di buku Theory of
Literature (diterjemahkan dengan judul Teori
Kesusastraan oleh Gramedia Pustaka Utama sejak
tahun 1989). Klasifikasi tersebut, seperti berikut:
Pertama adalah sosiologi pengarang,
profesi pengarang dan institusi sastra.
Masalah yang berkaitan di sini adalah dasar
ekonomi produksi sastra, latar belakang
sosial, status pengarang, dan ideology
pengarang yang terlihat dari berbagai
kegiatan pengarang di luar karya sastra.
Yang kedua adalah isi karya sastra, tujuan
serta hal-hal yang tersirat dalam karya
sastra itu sendiri dan yang berkaitan
dengan masalah sosial. Yang terakhir
adalah permasalahan pembaca dan dampak
sosial karya sastra
Pada klasifikasi di atas, yang akan dibahas
lebih lanjut—tentu saja—sosiologi pengarang, jika
yang ingin dikedepankan dalam tulisan singkat ini
ialah mengenai proses kreatif kepengarangan.
Buku-buku yang dibaca, musik yang didengar, film
yang ditonton dan interaksi sosial lain yang
dilakukan seorang pengarang adalah proses
menabung. Sederhananya, jika ada seorang
pengarang yang berusia 30 tahun, dan sejak lahir
dia tinggal di sebuah kamar yang hanya berisi;

v|Tentang Rindu
Inspirasi Pena | vi

kipas angin, kasur, sejumlah pakaian, makanan,


minuman dan kamar mandi—dan selama 30 tahun,
dia hanya dikenalkan pada kata-kata yang berupa
nama-nama benda yang ada di kamarnya (taruhlah
sepuluh kata). Dari ilustrasi yang baru saja Anda
baca, jika pengarang tersebut menulis sebuah
karya sastra—maka karangannya hanya akan
menyoal kamar dan isinya—dan kata yang ia
kombinasikan untuk menyusun kalimat tidak akan
lebih dari sepuluh kata. Dengan kata lain, dia akan
kebingungan ketika harus mendeskripsikan senja
atau pepohonan, atau masjid, atau jalan raya, atau
mal—sebab tabungan pengetahuannya hanya hal-
hal mengenai kamarnya—dan tabungan kata-
katanya tidak lebih dari sepuluh kata.
Menulis tentu saja merupakan proses
terakhir sebelum lahirnya sebuah tulisan. Dan hal
itu berarti, ada proses sebelumnya.Seringkali yang
menjadi fokus utama hanyalah proses menulisnya
saja—dan menganggap proses menabung yang
terjadi sebelumnya, bukan perkara penting,
padahal di sanalah proses yang utama. Mengapa?
Tentu saja jawabannya bisa kita kutip dari
pernyataan Teeuw di bukunya, Sastra dan Ilmu
Sastra, bahwa sastra tidak pernah lahir dari
kekosongan (budaya).
Menanggapi paragraf di atas, sering muncul
pertanyaan; lalu bagaimana dengan karakter
antropomorfisme dalam karya fiksi? Hal tersebut
memang besar kemungkinannya untuk ditanyakan,
mengingat tidak adanya batasan imajinasi yang
diberlakukan. Karakter antropomorfisme, kita bisa
temukan pada Lightning McQueen, Sally Carrera,
atau Doc Hundson--tokoh-tokoh di film garapan
John Lasseter, berjudul Cars. Apakah ada mobil
yang bisa berkata-kata, memiliki mulut, dan mata?
Kenyataan sosial macam apa itu? Atau itukah yang
dimaksud ―bukan kekosongan‖ budaya?
Jawabannya tentu saja akan membuat tulisan ini
menyokong dan disokong kutipan-kutipan tentang
sastra dan masyarakat dan tentang sosiologi
sastra yang telah dijelaskan di awal. Bahwa
kenyataannya tidak ada mobil yang bisa berkata-
kata, bermulut dan bermata, memang benar.
Namun, hal itu bukan serta merta bisa dijadikan
alasan untuk mengatakan bahwa karakter
antropomorfisme bukan bagian dari kenyataan
sosial. Tokoh Lightning McQueen si mobil merah
dalam Cars, sesungguhnya ia tersusun dari
kenyataan sosial: ia mobil, dan di kenyataan
memang ada mobil, dia berwarna merah dan
nyatanya memang ada warna merah, dia bisa
berbicara karena kenyataan memiliki kata-kata,
dia melihat dan punya mata karena pada kenyataan
juga memang ada dua hal tersebut. Jadi dia adalah
kenyataan yang terbentuk dari kenyataan-
kenyataan lain.

vii | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | viii

Membelanjakan
Setelah menyadari bahwa seluruh
pengetahuan dan diri sendiri adalah tabungan,
maka kesadaran lain yang seharusnya muncul
adalah kesadaran bahwa setiap orang ternyata
memiliki potensi cerita, memiliki potensi karya di
dalam diri mereka. Kualitas dan kuantitas karya
yang lahir berbanding lurus dengan tabungan yang
dimiliki.
Jika proses mengumpulkan pengetahuan
adalah menabung maka menulis merupakan proses
membelanjakan tabungan. Ernest Hemingway
ketika menjadi supir ambulan di Perang Dunia I,
secara tidak langsung sedang menabung untuk
kemudian berbelanja di A Farewell to Arms. Atau
ketika Hemingway mampu memiliki sepasang tokoh
menarik; seorang lelaki tua bernama Santiago dan
pemuda tanggung bernama Manolin di The Old Man
and the Sea, dengan mudah bisa ditebak bahwa
hal itu berasal dari kegemaran memancingnya
sejak kecil..
Menyoal apa yang Hemingway katakan di
pidato nobelnya, memang telah diketahui bersama
bahwa jauh lebih mudah berbicara disbanding
menulis. Manusia rata-rata berbicara 7000-
20.000 kata per hari, dan lewat hasil penelitian
tersebut kita bisa berandai-andai, misalnya; andai
selama satu hari kita mengurung diri dan tidak
berbicara kepada siapa pun, lantas jatah kata-
kata yang setiap hari digunakan, dialihkan
kebentuk tulisan—tentu, satu novel tebal bisa
ditulis dengan waktu yang tidak cukup satu
minggu.Hanya saja, lagi-lagi harus menyadari
kenyataan bahwa, bagi kebanyakan orang, jauh
lebih mudah berbicara disbanding menulis.
Pada akhirnya, tulisan lahir setelah melalui
proses-proses yang sering kali tidak disadari.
Tulisan terbentuk dari hasil interaksi sosial dan
proses menabung pengetahuan. Tulisan yang kaya
tentu saja bersumber dari tabungan yang banyak.
Tabungan dalam hal ini bukan semata buku yang
dibaca—tetapi jauh lebih luas, karena itu, kisah
Hemingway menjadi pembuka di tulisan ini.

Faisal Oddang

ix | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena |x

Daftar Isi

Kata Pengantar ............................................................. iii


DAFTAR ISI .................................................................. x
Di Atas Geladak ............................................................. 1
Gajah Terakhir .............................................................. 12
Andam Karam ............................................................... 33
Phantasmagoria............................................................ 56
Benito Rindu Semilir Di Pastel Town, Positano ..... 79
Rona Jingga Angkasa Den Haag ............................. 100
Bumi Cinta Pribumi. ................................................... 121
Cahaya Si Kribo dari Timur ..................................... 144
Dari Mars untuk Pertiwi .......................................... 150
Rose dan Merahnya ................................................... 176
Saudade....................................................................... 199
Epiphany ...................................................................... 219
Seruling Kerinduan.................................................... 242
Assalamualaikum, Aku Pulang.................................. 262
Labuhan Rindu Klandestin........................................ 280
Hantu Rindu ............................................................... 300
Anak Ini Ingin Terbang Mengitari Bulan............. 320
Yang Mati Tanpa Nyali, Tak Pantas Dirindui ...... 331
Sungguh, Aku Ingin Merindukanmu ...................... 349
Surat Berwarna Merah Muda ................................ 373
Paragraf Kopi ............................................................. 393
Jamuan Dini Hari ...................................................... 406
Secangkir Kopi Dan Segenggam Rindu ................. 427
Sepucuk Rindu untuk Amiq ..................................... 445
Pengorbanan Terakhir ............................................. 466

xi | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | xii
Di Atas Geladak

Karya : Faisal Oddang

Kabar hukuman mati yang dijatuhkan

untuknya tiba dan mengusik pelarianku. Itu adalah


kabarnya yang pertama sejak menghilang cukup lama
setelah kami berdua kedapatan bergumul oleh Abeltje.
Aku mengatakan cukup lama, karena aku benar-benar
tersiksa merindukannya. Aku tidak tahu hitungan yang
tepat untuk menggambarkan hal itu. Kini, ia berdiri
terikat di atas geladak kapal—berpijak pada bangku
kecil yang sebentar lagi membuatnya mati tercekik.
Orang-orang memenuhi pelabuhan. Barangkali, ada yang
akan mendoakannya, ada yang ingin mengucapkan
selamat tinggal. Namun, pasti jauh lebih banyak yang
ingin menyaksikan bagaimana hidup seorang pencuri
diakhiri oleh pemerintah Hindia Belanda. Tentu sambil
menyumpahi. Dan kini, aku kembali ke pelabuhan ini
demi dia.
***

Menjelang akhir 1895, kami bertemu di pelabuhan


dan aku sama sekali tidak berpikir akan jatuh cinta
padanya. Pikiran itu muncul ketika ia mengenalkan diri.
Maksudku, gara- gara ia mengenalkan diri, alih-alih

1|Tentang Rindu
Inspirasi Pena |2

untuk mendekatkanku, ia justru telah membangun


tembok besar di antara kami.
"Saya mengawal kapal dagang Belanda."
Ia tampak bangga mengatakan itu dan sungguh
aku jijik mendengarnya. Aku mengangguk, tersenyum,
lalu berusaha tidak mengacuhkannya lagi.
"Ada lagi, ada lagi," ia menggantung, tangannya
merogoh sesuatu, yang entah apa, di dalam sakunya,
"ini, selalu saya bawa." Demi sopan santun aku meraih
kertas lusuh berbungkus plastik bening yang ia
sodorkan. Tentu saja, aku juga tidak ingin kehilangan
pelanggan untuk warung makanku yang sepi pengunjung.
Sekali lagi, demi sopan santun aku membuka kertas
yang ternyata surat itu. Kopnya bertuliskan Vereenigde
Oostindische Compagnie. Aku tidak melanjutkan. Aku
diam lalu menatapnya dan dia seperti menduga bahwa
tatapanku itu berarti ini maksudnya apa?
"Buyut saya pernah kerja di kapal VOC yang
berlayar dari Tanah Bugis ke Batavia dan seringkali
singgah di pelabuhan ini," terangnya dengan nada
bangga, "tapi itu hanya beberapa saat sebelum mereka
bubar menjelang tahun seribu delapan ratus. Itu satu-
satunya warisan keluarga saya. Hampir semua keluarga
saya mati disiksa karena dituduh menggelapkan barang
bawaan kapal. Kau bertanya kenapa saya bisa di sini?
Ya, karena dendam yang turun temurun. Awalnya saya
jadi perompak di laut, kemudian orang Belanda kenal
nama saya. Saya dibayar bersama anak buah saya buat
kawal kapal mereka, dan saya bisa sekalian berlayar ke
kota ini. Sebenarnya jalur pelayaran kami dari Batavia,
Semarang, lalu menuju Tamasek."
Aku mengangguki saja.
"Jasa kawalan saya dibutuhkan begitu mau masuk
Tamasek, di sana banyak perompak, dan ternyata
perompak itu sebagian besar orang Bugis, jadi saya
selalu bisa lewat dengan mudah."
Aku lega karena ia berhenti bercerita dengan
menyeruput kopi hitamnya. Itu pertemuan pertama
kami, dan apa yang ia bicarakan terbilang banyak untuk
orang yang baru bertemu.
"Kau pikir saya suka Belanda? Saya tahu kau, dan
kau salah. Ayah saya ditawan dan jadi budak dan itu
harus mereka tebus. Buyut saya pun demikian, disiksa
semua"
Aku terkejut dan hampir menjatuhkan gelas
kopinya yang sedang kuisi ulang. Aku tidak berselera
menanggapi meski sebenarnya aku penasaran. Dan
seperti keyakinanku, ia menjelaskan tanpa kuminta.
"Kalau bisa, saya ingin bunuh semua orang hidung
besar itu pakai tangan saya sendiri. Kau juga, kan?
Saya tahu, ibu kau nyai Belanda, dan ayah sialan kau itu
membuang kau karena dia pikir kau menderita penyakit
yang sama dengan ibu kau. Penyakit yang membuatnya
mati."
Dadaku sesak tiba-tiba. Aku mengenang Ibu dan
juga masa kecil yang tidak pernah bahagia di bawah

3|Tentang Rindu
Inspirasi Pena |4

bayang-bayang garis keturunan seorang gundik. Aku


mengenang semuanya, mengenang ketika seminggu
setelah ibu wafat, suami sialannya itu memerkosaku.
Memerkosa gadis empat belas tahun.
"Saya tahu kau penasaran," sial, dia tahu. "Dan
hanya orang baru yang tidak tahu kau di pelabuhan ini,"
ia meraih kopinya dari tanganku, "Nona Arimbi, dara
pujaan banyak lelaki. Kau terlalu sering jadi pusat
pembicaraan, Nona. Tapi tidak ada yang berani ganggu
kau karena mereka tahu kau punya garis keturunan
dengan Willem yang sialan itu."
Semua yang dikatakannya benar. Dan sejak saat
itu, aku mulai terseret arus pembicaraannya. Aku dan
dia punya satu tujuan; balas dendam. Aku dan dia punya
satu masalah; kami sama-sama tidak tahu cara
mencapai tujuan kami.

***

Namanya Beddu. Aku memanggilnya Daeng Beddu


sebagaimana orang Bugis sering dipanggil. Nama itu
disebutkannya pada pertemuan kami yang ketiga. Di
pertemuan itu pula kutahu umurnya hampir kepala tiga-
-tidak jauh beda dariku yang lebih muda satu atau dua
tahun. Kami bertemu untuk kedua kalinya di galangan
kapal ketika aku menyambut tamu- tamu yang tiba dan
menawari mereka untuk makan atau sekadar rehat di
warungku. Ia ada di sana dan dari kedipan matanya
kutahu ia bermaksud melarangku bertingkah seakan-
akan kami sudah saling mengenal.

"Maaf, waktu itu saya pura-pura tidak kenal, saya


tidak mau rencana kita berantakan."

"Rencana kita?"
"Ah iya, maksud saya, saya sudah punya rencana,"
nada suaranya memelan, ia awas ke sekeliling kami
sebelum ia mengatakan rencananya dan aku tidak punya
alasan untuk menolak apalagi mengatakan itu rencana
yang buruk.
Aku mengatakan akan segera kembali ke Daeng
Beddu lalu meninggalkannya. Aku pergi sebentar, untuk
rencana kita, begitu kuyakinkannya ketika kutemukan
sorot matanya seperti tidak menghendaki dirinya
ditinggal.
"Bantu jaga warung, ya." Ia tertawa menimpali
sambil terangguk-angguk. Tidak jauh dari warung
makanku, aku menemui Abeltje. Dia teman kecilku.
Ayah Belanda kami bersaudara jauh dan nasibnya
sebagai anak gundik jauh lebih beruntung dariku. Ia
bertugas di mercusuar pelabuhan dan ia sangat bangga.
Tidak salah jika kukatakan itu, sebab setiap ketemu, ia
akan mengulang-ulang cerita yang sama: Arimbi, kau
tahu, vuurtoren Pelabuhan Semarang ini satu-satunya
yang paling bagus dan tinggi di pulau ini. Arimbi kau
tahu, sejak dibangun 1884, keluargakulah yang turun-

5|Tentang Rindu
Inspirasi Pena |6

temurun menjaganya. Tingginya lebih dari tiga puluh


depa, warna putihnya dari pupur kapur terbaik, Arimbi.
Coba sebut namanya, Arimbi tahu, kan? Ingat, kan? Ya,
betul Arimbi, namanya Vuurtoren Willem III. Kupikir
ini buat penghormatan kepada Herman Willem Deandels
yang kami muliakan, moyang kita, Arimbi.
Aku ingin muntah.

Aku akan mengiyakan dan mengangguk malas saja


jika Abeltje menceritakan itu, dan ketika datang
padanya untuk melancarkan rencanaku, aku membawa
tawaran yang tidak mungkin ditolaknya.

"Kamu masih mencintaiku, Abeltje?"

Ia berseri-seri mendengarnya, dan aku tahu ia


sangat bahagia.

"Aku pernah mengatakan akan melakukan apa pun


buatmu, Arimbi. Dan kau tahu, kau tahu, kan? Itu hanya
mungkin dikatakan oleh orang yang mencintaimu."
Langkah pertama mulus, pikirku.
"Aku sangat suka senja, suka menikmati bintang-
bintang dan udara malam. Abeltje, aku tidak meminta
yang macam-macam, aku hanya meminta kamu
membolehkanku naik ke puncak mercusuar ini."
"Aku bisa digantung, Arimbi."

Matahari sore tiba-tiba terasa sangat terik,


keringat melelehi jidatku dan aku merasa
tenggorokanku kering. Aroma asin laut juga amis ikan
menguar oleh tiupan angin yang justru terasa panas.
Sial, langkah kedua tidak mulus.

"Jangan mengatakan akan melakukan apa pun jika


demikian."

Aku berbalik badan dan tentu itu sebuah


perjudian; aku bisa menang dan membuat lelaki separuh
Belanda itu menahanku dan bisa kalah ketika rasa takut
Abeltje lebih besar dari cintanya padaku. Tunggu,
pergelanganku digenggamnya dan aku tersenyum
menang.

"Tapi, jangan bilang siapa-siapa, sembunyi-


sembunyi, setuju?"

Aku mengecup pipinya, aku mengucap terima


kasih, aku menciumnya sekali lagi, aku kembali ke Daeng
Beddu lalu mengabarkan rencana kami yang berhasil.

***

Lampu mercusuar ini bisa menjangkau dua puluhan


mil dan sangat berguna memandu kapal-kapal yang ingin
memasuki Semarang lewat pelabuhan. Semakin ramai
yang datang dari hari ke hari karena Semarang jadi
salah satu kota pusat perdagangan. Itu kata Abeltje.
Awalnya tidak kupedulikan betul informasi itu. Aku
hampir menyesal dan mengutuk diri jika saja ingatanku

7|Tentang Rindu
Inspirasi Pena |8

tidak bagus. Kapal Daeng Beddu selalu tiba malam hari.


Biasanya, di saat seperti itu aku menemani Abeltje di
mercusuar. Meski sembunyi-sembunyi, sebagai lelaki
normal, Abeltje senang bukan main. Jika ada obor yang
menyala dari geladak dan bunyi peluitnya melengking
panjang dan susul menyusul, itu artinya aku harus
memberi tanda. Sebelumnya tentu Abeltje kugoda lebih
awal dengan ayolah, Sayang, aku juga ingin tahu
pekerjaanmu, caranya, biarlah aku yang kasih tanda,
kamu sisa arahkan, ya, Sayang. Itu selalu berhasil
apalagi setelah kususulkan ciuman. Ada dua tanda yang
harus kuberikan: pertama, jika lampu kukedapkedipkan
itu artinya bahaya. Namun jika menyala saja seperti
biasanya, itu berarti Daeng Beddu bisa beraksi. Penjaga
sedang tidak banyak, atau lengah, atau pokoknya, itu
berarti dia aman menurunkan sebagian bawaan
kapalnya. Ia akan membawa barang curian itu ke
gudang yang kami buat di belakang warungku.
Mencuri dari penjajah adalah salah satu tindakan
seorang manusia sejati. Itu pernah diucapkan Daeng
Beddu. Ketika kutanyakan kenapa, ia mengatakan bahwa
sebuah kehormatan bisa merebut hak yang dirampas
orang lain. Lagi-lagi aku hanya bisa sepakat.
Dia mencuri bukan untuk menumpuk kekayaan,
melainkan untuk membiayai perlawanan. Untuk
membalaskan dendam kami.
"Kenapa tidak melakukannya sendiri, Daeng?"
"Kau keberatan membantu saya?"
"Aku ingin balas dendam sejak lama."
"Saya jatuh cinta sejak pertama mengenal kau."
"Sembilan dari sepuluh lelaki yang mendekatiku
mengatakan itu."
"Saya tidak minta kau cintai balik, dan saya jamin
sembilan lelaki itu mengemis cinta kau, bukan? Saya
katakan itu ketika kau tanya alasan saya merencanakan
ini, ya karena memang saya cintai kau dan saya yakin
bisa lebih semangat berjuang sama kau."
"Itu saja?"

"Berjuang sama kau berarti sewaktu-waktu saya


bisa makan atau ngopi tanpa bayar, bukan?"
Kami tertawa. Malam itu cuaca sangat buruk dan
karena itu lalu lintas kapal di pelabuhan nyaris tidak
ada. Aku menaruh perhatian pada lelaki yang kini
tengah kusandari pundaknya sejak kali pertama dia
mengatakan ingin membalas dendam. Hujan turun dan
tempias yang tak mampu dihalau kubah mercusuar
melembapkan tubuh kami. Dia tidak menungguku
mengatakan aku dingin untuk menyampirkan lengannya.
Awalnya hanya pelukan hingga akhirnya kami lemas
dengan tubuh berdekapan. Kami mengulang berkali-kali
percintaan kami hingga pada suatu malam musibah itu
terjadi.
Aku masih diam gemetar melihat tubuh Abeltje
bersimbah darah dengan badik yang menancap di

9|Tentang Rindu
Inspirasi Pena | 10

dadanya. Daeng Beddu lari entah ke mana setelah ia


gagal membujukku kabur bersamanya.
"Lacur kau!"

Aku terkesiap, Abeltje dan seorang temannya


memergoki dan bersiap menyerang sebelum akhirnya
mereka kalah sigap oleh badik Daeng Beddu. Abeltje
tersungkur dan temannya lari ketakutan. Sejak malam
itu, kekasihku hilang tanpa kabar. Aku diusir, dituduh
pelacur dan belakangan disebut pengkhianat setelah
warungku dijarah dan orang Belanda sialan itu
menemukan apa yang kami sembunyikan di gudang.

***

Di atas mercusuar ini, tidak dapat kulihat


apakah ia sedang tersenyum atau meringis di saat-saat
terakhirnya. Galangan kapal lebih sepelemparan batu
dari tempatku berdiri gemetar. Keputusanku bulat, aku
menuju kerumunan dan jika bisa ingin kupeluk dia
dengan sangat erat. Eksekutor tampak bersiap
menjatuhkan pijakan Daeng Beddu sebelum ia mati
tercekik di geladak. Dari jarak yang sangat dekat
kulihat ia tersenyum, matanya menaut ke arahku, dan
kurasakan air mataku jatuh melihat darah segar dan
luka-luka di tubuhnya.
"Maafkan saya, Arimbi. Saya mencintai kau!"
Orang-orang yang sedari tadi diam tiba-tiba riuh
dan menuding ke arahku. Suara- suara yang semula
hanya bisikan kini berubah teriakan riuh dan sumpah
serapah untukku.

"Pelacur! Pembunuh, pencuri, gantung, gantung!"

Aku bergeming. Aku masih menatap Daeng Beddu


dan kini kami bertukar senyuman seperti yang biasa
kami lakukan selepas bercinta. Aku keliru, ternyata
setelah menghilang cukup lama, orang-orang masih
mengingat kesalahan yang kami lakukan. Aku merasakan
seseorang mendesak ke arahku yang kemudian disusul
puluhan orang. Kurasakan tanganku dikekang dan
kepalaku seperti dihunjam sesuatu. Penglihatanku
gelap, telingaku berdengung, aku tidak peduli dan masih
mencoba tersenyum karena berhasil menunda kematian
Daeng Beddu. Paling tidak menundanya untuk beberapa
saat. Beberapa saat, sebelum kami dihukum mati
bersama.

11 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 12

Gajah Terakhir

Karya : Ade Indriyani

― Nek, apakah gajah pernah ada?‖


Pertanyaan singkat terlontar dari bibir mungil milik
seorang gadis kecil berusia lima tahun. Bola matanya yang
bulat dengan pupil hitam pekat, senada dengan warna
rambutnya yang lurus menjuntai menutupi lekuk bahunya.
Kaki kecilnya berusaha menaiki kasur yang telah di balut
dengan seprai berwarna abu-abu. Tangannya yang
pendek meraih pinggiran ranjang kayu dengan ukiran
hewan yang memiliki belalai.

Pertanyaan yang mengagetkan sekaligus


menggetarkan hati seorang wanita tua. Kulit keriputnya
telah menutupi seluruh tubuhnya, penglihatannya sudah
buram dan terkadang tidak terlihat jelas. Ingatannya
pun sebagian sudah menghilang, menjauhi kepalanya yang
telah dipenuhi rambut yang putih. Namun, ingatannya
tentang seekor gajah akan tetap abadi bersemayam di
dalam hati, tidak sedikitpun jejak kenangannya bersama
Rosi terbuang. Gajah yang selalu menjadi teman hidupnya.
Wanita tua itu adalah Rena. Kini pikirannya melayang-
layang mencoba memutar kembali kenangannya bersama
Rosi.
***

―Rena, sudah siapkan makanan untuk Rosi?‖ tanya


seorang laki-laki yang biasa di sapa Pak Rasy.

―Siap sudah pak, ini saya mau antarkan ke


kandang Rosi,‖ Rena menjawab singkat dan berlalu
begitu saja.

"Samsul tolong bantu Rena membawa rumput untuk


Rosi," titah Pak Rasy. Samsul mengangguk saja dan
langsung membantu Rena.
Rutinitasnya bersama Rosi adalah suatu kebahagiaan
yang selalu hadir menghinggapi dirinya. Semacam sebuah
ikatan yang tidak terlihat hadir di antara Rena dan Rosi.
Sebuah ikatan yang tidak bisa dipahami oleh semua orang
selain dirinya dan Pak Rasyid, manajer dari sebuah kebun
binatang bernama ‗Rimba Zoo‘.

―Hai Rosi, saatnya kita makan,‖ sapa Rena setelah


memasuki kandang Rosi yang terbuat dari beton setinggi
satu setengah meter dengan tambahan empat buah pipa
besi panjang diatasnya yang ikut mengelilingi kandang
Rosi untuk memudahkan pengunjung melihat Rosi.
Rosi memang tidak menjawab sapaan dari Rena,
tetapi dia mengangkat belalainya dan meletakkannya di
atas bahu Rena sebagai tanda ucapan terima kasih
telah membawakannya serumpun ‗rumput gajah‘ dan seikat
besar batang tebu.

13 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 14

―Sepertinya kondisimu sudah lebih baik dari empat


bulan yang lalu, saat aku temukan di antara puing-puing
pepohonan,‖

Lagi-lagi pikiran Rena terbang menuju masa di


mana, pertemuan pertama kalinya dengan Rosi. Saat itu
Rosi terlihat sangat mengenaskan, tubuhnya kurus dan
dipenuhi lumpur tidak beranjak sesenti pun dari sisi sang
Ibu. Tubuh yang terbujur kaku dengan kedua gading
yang telah hilang. Menyisakan luka dan darah yang
mengucur deras hingga titik penghabisan tidak ada lagi
yang tersisa. Namun, luka tersebut ikut membekas di
hati gajah kecil yang belum memahami apa yang
sebenarnya terjadi. Rosi kecil sangat merasa kehilangan
atas kepergian sang ibu, bahkan setelah dirinya dibawa
oleh Rena air mata itu masih terus membanjiri pelupuk mata,
dan mulutnya yang seolah- olah memanggil sang ibu.

―Aku bersyukur bisa bertemu kamu, gajah terbaik


dalam hidupku,‖ gumam Rena sambil terus memandang Rosi
yang masih asyik memasukkan beberapa helai rumput ke
dalam mulut dengan belalainya.

Rosi mungkin tidak tahu bahwa setelah kematian


ibunya, dia menjadi satu-satunya gajah terakhir yang
ada di muka bumi. Sejak pertemuannya, Rena membawa
Rosi ke tempat rehabilitasi. Namun, kedaan Rosi tidak
mungkin dilepas liarkan, maka Rosi akan di rawat di kebun
binatang. Rena yang telah bekerja cukup lama di kebun
binatang tersebut merasa sangat bahagia dengan
kedatangan Rosi. Hubungan mereka semakin erat seiring
berjalannya waktu.

Dengan segala perhatian dan kebersamaan yang


dirajut oleh anak manusia dan anak gajah itu, menjadikan
mereka terikat sebuah tautan perasaan yang sulit
dipahami. Jika Rena tidak datang ke kandangnya sehari
saja, maka Rosi tidak akan mau makan apa pun yang
diberikan oleh orang selain Rena. Rosi telah menganggap
Rena sebagai ibunya sendiri.

***

―Tentu saja Vienna sayang, gajah itu pernah ada


dan hidup di bumi ini,‖ jawab Rena dengan lembut.

Dengan sabar dan lemah lembut, Rena


mendeskripsikan tentang gajah, perilakunya dan
habitatnya. Diambilnya album foto yang tersimpan rapi di
sebuah lemari, meski sudah cukup lama album itu
bersemayam, tidak ada debu yang berani
menghinggapinya. Karena Rena selalu membersihkannya.
Ketika rindu yang tidak tahu malu itu selalu membelenggu,
hanya melihat foto dirinya dan Rosi yang mampu
mengobatinya. Karena temu sudah tidak mungkin lagi
terjadi.

―Gajah itu merupakan hewan terbesar yang ada


di darat, telinganya yang besar menjadikannya

15 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 16

pendengar yang baik, belalainya juga panjang dan kuat.


Gajah menggunakan belalainya untuk minum, makan dan
mengangkat pohon,‖ ucap Rena sambil meletakkan kedua
tangannya di telinganya, yang terlihat seolah-oleh seperti
kuping gajah yang besar, dan meletakkan tongkatnya di
depan hidung, yang seperti belalai gajah yang panjang.

Mata bulat Vienna sangat antusias mendengar


cerita dari sang nenek. Selama ini dia hanya melihat
gajah dari hologram yang hanya menampilkan bentuk
fisiknya saja tidak menjelaskan kebiasaan unik gajah.
Seperti telah melupakan keberadaannya yang pernah
tinggal dibumi. Dahulu kehidupan gajah sebagai
penyeimbang ekosistem agar terjaga dan terus lestari.
Namun bumi telah berubah semenjak punahnya
beberapa habitat dan satwa di alam.

Terkadang Rena heran dengan sistem yang ada


sekarang ini. Manusia dibuat lupa akan sejarah, lupa
dengan asal-usulnya. Bahkan beberapa hal yang pernah ada
di bumi sudah dilenyapkan. Hanya menyisakan sedikit
informasi yang digunakan sebagai pengenal saja, seperti
foto gajah yang dibuat tiga dimensi pada hologram.
Namun, tidak memiliki penjelasan apa pun tentang
sejarahnya, kebiasaannya, keunikan, serta apa-apa saja
yang menyangkut gajah.

Manusia sekarang dibuat lupa dengan sejarah


kelamnya, dikungkung dalam sebuah kubah transparan
yang sangat kuat dan tidak mampu ditembus apa pun selain
sinar matahari. Mereka tidak pernah tahu apa yang
terjadi di luar sana dan apa yang menyebabkan mereka
berada di dalam kubah tersebut.

―Trus kenapa sekarang sudah tidak ada lagi nek?‖


pertanyaan cucunya itu terus memburu Rena, berusaha
mencari jawaban sebagai pemenuhan rasa penasarannya.

Lutut Rena tiba-tiba terasa lemas, bulir bening yang


bersemayam dipelupuk mata mendobrak pertahanan
perasaan. Setiap pertanyaan yang terlontar dari mulut
Vienna selalu mampu mencungkil sebuah kerinduan yang
sudah dipendam oleh Rena di tempat paling dalam. Kini
perasaannya membuncah ingin di luapkan. Namun, Rena
menyadari bahwa dirinya tidak akan menampilkan sisi
lemahnya dihadapan cucu yang sangat ia cintai. Dia harus
bisa menjadi contoh wanita yang tangguh, meski sejatinya
jauh di tempat paling dalam, Rena tidak pernah mengakui
dirinya sebagai wanita tangguh, hanya pengecut yang
terus mencambuk diri dan berlindung dibalik kata ‗semua
akan baik- baik saja.

***

―Hai Rosi, sudah siap untuk mandi hari ini?‖ tanya


Rena, meski ia tahu Rosi tidak akan bisa menjawabnya
selain dengan lambaian belalainya.
Rena dengan sigap menunggangi Rosi yang telah
berumur dua belas tahun. Setelah dua tahun kenangan
buruk menimpa Rosi, Rena selalu ada disisi Rosi untuk

17 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 18

membantunya melupakan kenangan buruk di masa lalunya.


Serta berusaha menjadikan hari-hari Rosi lebih berwarna
agar dia tidak merasakan kesepian. Karena insting
seekor gajah terutama gajah betina yang selalu hidup
berkelompok membuat Rosi sangat kesepian.
―Baiklah ayo Rosi, kita akan menggunakan lulur dari
lumpur terbaik,‖ kata Rena dengan gaya bicara seperti
seseorang yang sedang menawarkan produk berkualitas.
Rosi memang suka sekali membaluri seluruh tubuhnya
dengan lumpur, sebagai cara alami dalam melindungi
kulitnya dari sengatan sinar matahari. Rena akan
membantu Rosi untuk membalurkan lumpur agar lebih
merata ke seluruh tubuh.
―Ayo Rosi kita pulang, aku harus memberikan makanan
beberapa hewan lainnya,‖ ajak Rena kepada Rosi.

Rosi menurut saja ajakan dari Rena. Mereka berdua


beranjak dari tepi sungai menuju kebun binatang.
Jaraknya tidak terlalu jauh hanya 50 meter dari
belakang kandang Rosi. Sungai tersebut memang dijaga
agar para hewan bisa mandi di sana dan untuk keperluan
minum para hewan agar mereka tidak merasa kehausan
bahkan dimusim kemarau.

Setibanya di kandang, Rosi lebih sering


bersembunyi di balik dua buah pohon Asam yang memiliki
tinggi sekitar 20 meter dengan dahannya yang rindang
bertemu satu sama lainnya, mampu menyejukkan siapa saja
yang berteduh di bawahnya. Terkadang Rosi juga sering
berbaring di bawah rumah-rumahan yang dibangun
untuknya. Beberapa pohon sengaja dirawat di dalam
kandang agar Rosi memilik tempat untuk berteduh dan
dedaunannya bisa digunakan sebagai camilan jika Rosi
masih merasa kelaparan setelah pemberian makanan oleh
petugas. Parit berisi air dan lumpur yang mengelilingi
kandang Rosi selalu diganti setiap dua kali dalam
seminggu agar Rosi tetap merasa nyaman dan tetap bisa
berkubang jika Rena sedang sibuk tidak bisa
menemaninya berkubang.

Meski sikap Rosi yang pemalu, para pengunjung selalu


berantusias menyaksikan kehidupan seekor gajah terakhir
yang bersemayam di kebun binatang ini. Apa pun tingkah
Rosi akan selalu mencuri perhatian dan membuat para
pengunjung senang terlebih lagi anak-anak yang sangat
bergembira menyaksikan tingkah lucu Rosi. Manusia yang
berbahagia melihat Rosi tidak tahu jika Rosi tidak turut
bahagia seperti mereka. Kebahagiannya telah direnggut
oleh manusia lainnya. Masa lalunya yang kelam masih terus
menghantuinya, membayangi disetiap malam-malam yang
kelam, menyusup dari balik mimpi-mimpi singkatnya,
ditambah angin malam yang bergerak membalut seluruh
tubuh Rosi. Suasana yang selalu mampu membangkitkan
kerinduan di hati Rosi terhadap peluk hangat sang Ibu.

***

19 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 20

Tidak terasa kebersamaan Rena dan Rosi telah


menginjak tujuh tahun lamanya. Untuk merayakan hari
jadi pertemuan mereka yang ke tujuh, Rena mengajak
mengajak Rosi berjalan-jalan mencari udara segar di
sekitar pinggiran Sungai. Terkhusus untuk hari ini Rena
akan menghabiskan waktu seharian berada di luar
kandang. Pak Rasy pun tidak keberatan mereka berada
diluar kebun binatang seharian.

Diperjalanan Rena mendapati beberapa pohon telah


tumbang, hanya menyisakan sebatang pohon asem yang
selalu dijadikan tempat berteduh dirinya dan Rosi. Air
sungai pun terlihat keruh sudah tidak sejernih dahulu. Hal
itu baru ia sadari setelah beberapa hari tidak mengajak
Rosi keluar kandang.

Setibanya mereka di pinggir Sungai, Rosi


membungkukkan badan agar Rena bisa turun dari
punggungnya. Kebiasaan yang tidak pernah dilatih oleh
Rena, Rosi selalu melakukannya dengan senang hati dan
sukarela. Rena mengambil beberapa rumput gajah di
sekitar sungai dan empat buah pepaya yang telah ranum.
Sedangkan Rosi tengah asyik menyemburkan air ke
seluruh tubuhnya hingga terkadang percikkan air
tersebut mengenai tubuh Rena.

―Rosi ayo kita makan dulu,‖ ajak Rena sambil


meletakkan makanan di depan tubuh Rosi.
Rena yang juga telah selesai melahap buah
pepayanya melihat gading Rosi yang telah tumbuh cukup
panjang, sangat berbeda jika dibandingkan dengan gajah
betina lainnya yang memiliki gading tidak terlalu panjang.
Gading yang panjang dan melengkung biasanya dimiliki
oleh gajah jantan, namun sekarang juga dimiliki oleh Rosi
gajah betina. Hal itu menimbulkan kecemasan dihati Rena.
Mengingat banyak sekali orang yang mengincar gading gajah
untuk diperjual belikan. Terlebih lagi masa lalu Rosi, yaitu
sang ibunya yang mati karena pembunuhan oleh manusia
biadab yang mengambil gadingnya secara paksa.
―Hei Rosi, kenapa gadingmu indah sekali, bisa
membuat para pemburu tergoda untuk memotong
gadingmu,‖ gumam Rena sambil mengelus gading Rosi.
Rosi hanya asik mencari dedaunan segar yang
tumbuh rimbun disekitar mereka. Perutnya masih
membutuhkan asupan energi dibandingkan ucapan Rena
yang tidak dipahaminya.

―Tidak-tidak. Aku tidak akan membiarkan siapapun


mengambil gadingmu. Bahkan diriku sendiri,‖ tekad Rena
telah bulat untuk melindungi Rosi, sebulat tekadnya di
awal pertemuan untuk selalu bersama Rosi.

Selain persoalan gading Rosi yang mengundang para


pemburu untuk memilikinya, pikiran Rena melayang jauh
terhadap suatu hal. Pikiran yang selalu mengusiknya di
setiap jengkal waktu yang terus berlalu.

―Hei Rosi menurutmu apa yang akan terjadi dengan


Bumi jika semua spesies sudah tidak ada lagi?‖

21 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 22

pertanyaan itu akhirnya terlontar dari mulut Rena


setelah sekian lama terpendam dalam diam.

Beberapa hewan sudah terancam punah, bahkan


spesies gajah hanya tersisa satu saja di muka bumi.
Lantas apa yang akan terjadi jika semuanya tiada, apakah
kehidupan manusia akan terus berlangsung tanpa adanya
tumbuhan dan hewan?.

―Maafkan aku Rosi, hari ini pikiran ku sungguh tidak


bersahabat, sepertinya kita harus segera kembali,‖ ujar
Rena.

Di perjalanan pulang hati Rena semakin teriris


menyaksikan pohon-pohon tidak lagi kokoh berdiri,
tergantikan dengan tanah yang telah rata. Sekelebat
kabar didengar Rosi, bahwa daerah pinggir sungai
tersebut akan dijadikan sebagai perumahan elit para
bangsawan yang memiliki harta berlebih. Menggusur
secara paksa para warga yang telah lama bersemayam di
sana.

Setelah tiba di kandang, Rena menyiapkan


beberapa makanan untuk Rosi dan izin pamit kepada Rosi
untuk menyelesaikan beberapa pekerjaannya.

―Akhirnya kamu pulang juga Rena. Ada beberapa


masalah serius yang telah dan akan terjadi,‖ ucap Rasy
yang mengagetkannya.

―Ada masalah apa ya Mas?‖ tanya Rena


kebingungan.
Rasy mengajak Rena untuk membicarakan
permasalahan di dalam ruangannya saja.

―Kau sudah melihat apa yang terjadi dengan para


satwa liar dan habitat mereka?‖ tanya Rasy.
Rena mengangguk saja, tidak ingin banyak bicara
hanya mendengarkan penjelasan Rasy dengan khusuk.

―Dikarenakan keseimbangan alam yang telah


terganggu dengan telah ditebangnya seluruh pohon yang
ada di muka bumi, maka hari ini Tuhan mengirimkan pasukan
kecilnya yang sangat ganas untuk mengembalikan
keseimbangan alam,‖ ujar Rasy.

―Maksudnya apa?‖ tanya Rena kebingungan.

―Saya baru saja mendengar berita bahwa ada virus


yang menginfeksi manusia dan virus itu sangat mematikan,
belum ada vaksin untuk memberantas virus itu. Dunia
sekarang sedang dilanda kebingungan dan kepanikan,
semua orang berusaha bersembunyi. Sebaiknya kita
segera bersembunyi,‖ ujar Rasy dengan tatapan yang
sangat serius.
Laki-laki yang hanya berjarak dua tahun dari umur
Rena, berperawakan kekar dengan garis wajah yang tegas,
menampilkan keseriusan yang memang sangat genting.
Keseriusan yang sama saat Rasy mengucapkan ijab qabul
di depan penghulu dua bulan yang lalu. Namun, saat ini
dengan penambahan rasa ketakutan dan kengerian
terhadap virus tersebut. Rasy menjelaskan bahwa

23 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 24

sebenarnya rumah yang mereka temati memiliki ruangan


bawah tanah yang bisa digunakan sebagai tempat
persembunyian.

―Lantas bagaimana nasib para hewan yang ada di


kebun binatang ini? Bagaimana nasib Rosi? Dia akan
kesepian. Mereka semua akan kelaparan,‖ seluruh
pertanyaan memburu Rasy.

―Itu diluar kuasa kita Rena, kita hanya bisa berdoa


semoga semua akan bak-baik saja,‖

Setelah berpikir cukup lama, Rena akhirnya


menyetujui ajakan Rasy untuk segera berlindung ke
tempat yang aman. Sebelum pergi untuk meninggalkan
kebun binatang, Rena untuk terakhir kalinya memeluk
dan memberikan salam perpisahan kepada Rosi yang
telah menjadi sahabatnya selama ini.

―Maafkan aku Rosi, mungkin beberapa tumpuk


makanan ini tidak sebanding dengan dosa besar yang akan
aku lakukan karena meninggalkanmu,‖ ucap Rena sambil
menahan air mata keluar dari pelupuk matanya.

Tabiat Rena yang menyakitkan adalah selalu menahan


air mata untuk membasahi pipinya, terutama di depan
orang ataupun gajah yang ia sayangi. Rena tidak ingin
menimbulkan kesedihan pada siapa saja yang melihatnya
menangis.

Namun air mata itu tetap memaksa keluar, hingga


akhirnya tumpah ruah di balik pelukan Pak
Rasy. Bersembunyi di balik dada yang bidang agar
tidak seorang pun dapat melihat air mata Rena.

***

Dua bulan sudah berlalu, menyisakan perasaan


sesal telah meninggalkan Rosi sendirian.

Rena segera berlari mendengar dering telepon


yang tidak henti-hentinya berbunyi.
―Rena tolong kemari, Rosi membutuhkanmu.
Keadaannya sungguh mengenaskan sekarang,‖
―Apa yang terjadi dengan Rosi? Ini Samsul kan?‖
pertanyaan Rena terus memburu orang di seberang sana.
―Iya Rena, aku tidak bisa menjelaskannya,
segera kesini saja,‖ ujar Samsul.
Tanpa basa-basi lagi, Rena mengajak Rasy untuk
segera pergi ke kebun binatang. Dengan menggunakan
masker dan facial sebagai perlindungan wajah. Mobil
mereka melintasi jalanan yang lengang. Orang-orang sibuk
berlindung di rumahnya tidak ada satu pun yang berani
keluar setelah beberapa korban dari virus ini berubah
menjadi zombie dan kemudian mati.
Sesampainya di sana Rena bergegas menuju
kandang Rosi, tidak ada pikiran lain selain bertemu Rosi.
Sementara Rasy harus memeriksa beberapa dokumen di
ruangannya. Langkah Rena melambat setelah melihat dua
orang laki-laki berpakaian serba hitam berdiri di ujung

25 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 26

kandang. Muka mereka tertutupi oleh masker sehingga sulit


untuk dikenali. Namun, salah satunya bererawakan kurus
dengan sorot mata yang sayu, seperti tidak asing bagi
Rena. Jarak Rena dengan orang tersebut hanya
beberapa Langkah saja.
―Halo Rena,‖ sapa laki-laki bermata sayu.
―Samsul, apa yang terjadi dengan Rosi?
Bagaimana keadaannya sekarang?‖ Rena tidak sabaran
beberapa pertanyaan terus keluar dari mulutnya.
―Sepertinya virus itu berhasil menginfeksi kaki
Rosi. Sudah seminggu Rosi tidak mau makan, pun kebeteluan
kita sudah tidak punya stok makanan lagi. Kini Rosi sangat
sulit untuk berjalan,‖ ujar Samsul.
Benar saja, tubuh Rosi hanya mampu meringkuk di
bawah rumah miliknya. Badannya sangat kurus hanya
menampilkan ruas-ruas tulang rusuk dan tulang lainnya.
Kakinya pun terlihat lebam dan membusuk dihinggapi lalat.
Namun, air mata tidak mengalir dari kedua matanya. Meski
dengan keadaan yang mengenaskan Rosi masih terlihat
kuat menghadapinya.
Rena yang masih sibuk memperhatikan Rosi,
matanya tidak beranjak sejengkal pun. Hingga tidak
menyadari seseorang telah mendekat dan mengacungkan
sebuah pistol ke kepalanya. Rena baru menyadari setelah
ujung pistol menyentuh kepalanya mengalirkan aura
kedinginan yang menjalar ke seluruh tubuh.
―Ada apa ini Samsul?‖ suaranya tercekat, kaki
dan tangannya bergetar seirama dengan degub jantung
yang kian cepat.
―Kamu tembak Rosi sekarang juga!‖ perintah laki-
laki tersebut setelah menyerahkan sebuah pistol ke
tangan Rosi.
―Maaf Rena aku harus menjual gading Rosi. Namun,
sulit sekali memancing Rosi untuk keluar, jika aku
mendekat Rosi akan melemparkan apa saja yang ada di
dekatnya. Itulah mengapa aku memanggilmu kemari,‖
penjelasan Samsul yang semakin membuat Rena
tertekan.
Mata Rena semakin berkaca-kaca, menatap
nanar keadaan Rosi. Sulit bagi Rena untuk memutuskan.
Rosi sangat penting bagi dirinya, tetapi ia tidak tega
melihat kondisi Rosi yang hanya menunggu ajal
menjemput. Mungkin akan indah jika mereka mati
bersama.
―Beri aku waktu untuk bertemu Rosi,‖ dengan
tatapan memelas dan mata yang berkaca- kaca, Rena
berusaha meyakinkan Samsul agar mengizinkannya
bertemu Rosi.

―Baiklah aku akan beri kamu waktu lima menit untuk


bertemu, setelah itu kembali dan bunuh Rosi,‖ ujar Samsul
yang sedikit luluh dengan tatapan memelas Rena dan
mengambil kembali pistol yang telah diberikan.

27 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 28

Rena tidak akan menyia-nyiakan waktu. Perlahan


kakinya mulai mendekati Rosi, matanya awas mengamati
sekitar membaca keadaan dan mencari kemungkinan.
Lembut tangannya menyentuh pipi Rosi, membelainya
dengan penuh kasih sayang. Membuat Rosi terjaga dari
tidurnya. Matanya dan mata Rosi bertemu seolah
menyatukan rindu. Bulir-bulir bening tidak mampu lagi ia
tahan, membanjiri pipinya dan juga hatinya. Belalai Rosi
mengusap lembut air mata yang mengalir, memberikan
energi positif agar Rena mampu melalui semuanya dengan
kuat. Pelukan hangat ia berikan untuk tubuh yang
kedinginan sejak lama. Tidak akan ia lepaskan meski
waktu berusaha memisahkan.

―Rena waktumu sudah habis, segera kembali!‖


perintah Samsul.

Diam, tubuh Rena tidak beranjak dari pelukan.


Perintah Samsul tidak ia hiraukan. Biar saja aku mati dari
pada aku harus membunuhmu Rosi.
Keputusan telah ia ambil dan tekad telah ia bulatkan.
Tidak akan ia biarkan siapa pun mengambil gading Rosi.
Apalagi sampai merenggut nyawa Rosi. Mulutnya hanya
mampu merapal doa agar Tuhan memberikan keajaiban,
membalikkan keadaan sehingga Rosi bisa hidup di bumi
lebih lama lagi.

―Kesini Rena!‖ suara Samsul semaki keras


meneriaki Rena.

Tangan laki-laki yang menodongkan pistol menarik


lengan Rena dengan paksa. Menyeretnya hingga ke titik
yang sesuai untuk melakukan penembakan. Mulut pistol
kembali teracung ke kening Rena tanpa menyisakan
rongga. Gemetar tangan Rena menerima pistol dari
Samsul. Hanya ia pegang tanpa berniat untuk
menggunakannya. Sementara telinganya terus menerus
mendengar teriakan yang memekakkan.

Rena memejamkan matanya berharap Tuhan


mengabulkan doa-doanya. Sementara itu telinganya
mendengar derap Langkah yang mengendap-endap,
hidungnya pun mencium aroma tubuh yang sangat ia kenali.

Kumohon Tuhan selamatkan Rosi, aku dan Mas


Rasy.

Seperti tanpa penghalang, doa tersebut melesat


cepat dikabulkan Tuhan. Suara tembakan pistol
terdengar semakin memekakkan telinga, dua kali berturut-

29 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 30

turut. Rena tidak mampu membuka mata, takut jika


dirinya tidak lagi di dunia. Namun sebuah suara yang
tidak asing memanggil namanya. Membuat Rena berubah
pikiran untuk membuka mata.

―Rena ambil pistol mereka,‖ ternyata benar itu


adalah suara Rasy.
Rena segera menyadari apa yang terjadi. Ia melihat
dua laki-laki tergeletak di tanah. Mereka meringis
kesakitan dengan tangan memegang betis yang
bersimbah darah. Dengan sigap Rena mengambil pistol
mereka, kini tangannya tidak gemetaran lagi meski
jantungnya tetap berdegu kencang.

―Kamu tahu apa yang terjadi Mas?‖ tanya Rena


setelah berhasil berdiri di sebelah Rasy.
―Aku tahu setelah memeriksa berkas di ruangan tadi.
Samsul sudah lama mengincar gading Rosi, hingga
menyuntikkan virus itu sendiri ke tubuh Rosi. Tetapi
mereka salah duga, Rosi masih mampu bertahan meski
keadannya sangat memprihatinkan,‖ ujar Rasy.
Di belakang mereka tiga orang laki-laki berseragam
polisi segera berlari ke arah Samsul dan temannya,
memborgol mereka dan membawanya ke kantor polisi.
Sementara satu orang lagi menghampiri Rasy dan Rena.
―Terima kasih Pak Rasy atas laporannya. Laki-laki
itu sudah lama menjadi buronan kami karena telah
membunuh ratusan gajah. Namun, selalu berhasil
melarikan diri. Kini ia berkomplot dengan Samsul untuk
membunuh gajah terakhir. Kalian tenang saja mereka
akan mendapatkan hukuman yang setimpal karena
perbuatan mereka yang sengaja membunuh,‖ ujar polisi
tersebut.
―Terima kasih kembali Pak,‖ ujar Rasy.
Mereka pergi membawa Samsul dan temannya yang
terus meringis kesakitan. Menyisakan Rena dan Rasy yang
segera melihat keadaan Rosi. Tubuh Rosi masih di
tempat semula dengan jantung yang masih berdetak
menandakan Rosi masih ingin hidup. Rena memeluk Rosi
yang sudah lemas dan tidak berdaya. Memberikan
kekuatan agar Rosi mampu melawan virus itu.

Rosi melepas pelukan Rena, menatap matanya seolah


ingin ia kenang dalam ingatannya. Sebutir bening air
mengalir dari mata Rosi, belalainya ia letakkan di bahu Rena.
Dengan senyum yang mengembang Rosi ingin memberikan
kesan bahagia bagi Rena. Perlahan kelopak matanya mulai
menutup disusul jatuhnya belalai Rosi ke tanah.

Rena tidak percaya apa yang dilihatnya hingga


tangannya memastikan degub jantung dan napas Rena.
Namun, sayangnya tidak ada satupun detak dan
hembusan napas. Kini Rosi benar- benar pergi dengan
luka dan segores senyum. air mata Rena tumpah ruah,
mulutnya memanggil nama Rosi. Tangannya membelai pipi
Rosi berharap Tuhan memberikan waktu lebih lama lagi
untuk Rosi. Semuanya sia-sia, teriakan Rena tidak ada
lagi, yang tersisa hanya hening di dada masing- masing.

31 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 32

***

―Halo sayang, lagi ngapain nih kayak nya ada cerita


seru,‖ ucap kakek yang tiba-tiba muncul dari balik pintu
dan langsung mencuil hidung mungil Vienna.

―Ini Kek, tadi Nenek bercerita tentang gajah,‖


ucap Vienna bersungut-sungut.

―Cerita ini membuat aku semakin rindu dan


merasa bersalah terhadap Rosi, Rasy,‖ ucap Rena dengan
mata yang berkaca-kaca.

―Baiklah kita usaikan saja rindu yang mengharu biru


ini dengan pelukan hangat,‖ tangan Rasy merangkul sang
istri tercinta dan cucu tersayangnya.

Semoga kau baik-baik saja disana. Maafkan aku Rosi.


Andam Karam
Karya : Ahdra Tsaqofa Hidayat

―Semua sudah lenyap bahkan sebelum


ingatannya mulai berkarat.‖
Sukma mengelap peluh di dahinya. Membetulkan
posisi Bagus yang ia gendong di punggungnya.
Tatapannya lurus ke depan, namun pikirannya berkelana.
Langkah Sukma yang tertatih tak kuasa membiarkan
Bagus kepanasan. Dia harus kuat, dia harus membawa
Bagus pulang. Seperti yang anak bungsunya itu inginkan.
Siang itu, matahari bersinar terang. Terik. Sedikit
demi sedikit menghanguskan semangatnya yang susah
payah ia pompa pagi tadi. Tapi Sukma percaya, terik
matahari tak dapat menghanguskan keinginannya untuk
membawa putra bungsunya pulang.

***

Wanita paruh baya itu baru menyesali


keputusannya untuk mengadu nasib di ranah Ibu Kota
bermodalkan ijazah SMP. Nekat membawa putra
bungsunya bersamanya. Pergi pagi buta, hanya
meninggalkan sebakul nasi dan sepiring lauk untuk dua
putrinya. Juga secarik surat dan uang. Berharap kedua

33 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 34

gadis itu dapat menggunakan uang dengan baik dan


tidak khawatir lagi soal biaya hidup.

Ibu percaya kalian bisa jaga diri baik-baik.


Ketidakhadiran bapak menuntut ibu melakukan ini. Ibu
tidak mungkin meninggalkan Bagus, karena itu akan
memberatkan kalian. Jadilah anak baik. Ibu hanya
berharap kalian datang ke sekolah untuk belajar dan
menggunakan waktu kalian untuk menjadi sukses. Maaf
ibu hanya meninggalkan sedikit uang untuk kalian.
Pakailah untuk makan dan kebutuhan sekolah kalian. Ibu
akan mengirim uang lewat wesel pos dan kalian bisa
mengambilnya. Kalian sudah cukup dewasa untuk
mengerti keadaan ini. Jadi ibu harap, kalian bisa
menerima keputusan ibu.

Sayangnya realita tidak sedang berbaik hati pada


ekspetasi. Sesampainya di Jakarta- setelah perjalanan
melelahkan yang ditempuh menggunakan bis- Sukma tak
langsung mendapatkan pekerjaan. Bahkan mereka
berdua sempat menggelandang di suatu sudut di Ibu
Kota. Barulah empat hari kemudian, Sukma resmi
menjadi buruh di salah satu pabrik kosmetik. Ia
memutuskan untuk menyewa kontrakan kecil- yang
sangat kecil untuk ukuran sebuah kontrakan- di dekat
kawasan pabrik. Bulan pertama berjalan dengan sangat
lancar.
Juga bulan kedua. Sebagian uang yang ia
dapatkan ia kirimkan melalui wesel pos untuk dua
putrinya di rumah. Walau kedua putrinya sama sekali
tak memberi kabar seperti yang ia harapkan. Kadang ia
menyesal mengapa dia tidak membeli ponsel genggam
sejak dulu.

Semua akan baik-baik saja. Sukma menguatkan


dalam hati.
Namun lagi-lagi takdir berkata tak sejalan dengan
keinginan. Di paruh pertama bulan ketiga, pabrik
digrebek secara tiba-tiba. Terjadi investigasi dadakan-
dengan surat perintah resmi atas tuduhan produksi
kosmetik oplosan. Para buruh yang tidak tahu apa-apa
dibuat bingung. Keadaan menjadi tak terkendali.
Apalagi ketika investigasi itu berlanjut dengan
penutupan pabrik- likuidasi.

Para buruh berdemo. Menuntut keadilan. Menuntut


hak mereka atas kewajiban yang sudah mereka
tunaikan. Para buruh tak kunjung pergi dari pabrik
bahkan setelah tiga hari tiga malam. Rela tidak makan,
mandi, dan pulang. Toh, mereka tak punya cukup uang
untuk itu. Juga tak punya cukup keberanian untuk
menjelaskan kepada keluarga yang setia menunggu
kepulangan mereka di rumah.

Sukma tak tega melihat Bagus menderita


bersamanya.
Lantas, Sukma memutuskan untuk mencari
pekerjaan lain. Kerja serabutan. Mulai dari kerja di
rumah makan hingga di toko bangunan. Apa saja, demi

35 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 36

Bagus. Hatinya sudah berteriak berputus asa. Tubuh


rapuhnya mulai letih. Ia jadi sering jatuh sakit, demam,
batuk tak berkesudahan hingga batuk berdarah. Tapi
apalah daya ketika takdir memaksanya untuk bekerja.

―Bagus mau pulang, Bu. Bagus mau pulang,‖ rengek


Bagus. Anak lima tahun yang dulu amat ceria itu mulai
lusuh, dengan tubuh yang makin ringkih.

Permintaan Bagus membawa pikiran Sukma


melintasi waktu. Dua putrinya- bagaimana keadaan
mereka sekarang? Rindu kesumat menghentak di dalam
hatinya. Dia harus pulang.

―Iya, Nak. Ayo kita pulang,‖ Sukma menggenggam


tangan Bagus. ―tunggu Ibu dapat uang cukup, nanti kita
pulang,‖ lirihnya. Membulatkan tekad dalam hati.

***

Pagi berikutnya, Sukma berangkat ke rumah


makan tempat ia bekerja di pagi hari.

Sebeneranya ia tak enak hati untuk terus


bekrja di sana. Ia tahu bahwa pemilik rumah makan itu
hanya tidak tega melihat Sukma, sehingga
memberikannya pekerjaan yang sederhana.
Andai kata pemiliknya tega, Sukma mungkin
sudah ditolak mentah-mentah untuk bekerja.
Toh, di sana pegawainya banyak. Tidak perlu
ada tambahan pegawai pun semuanya bisa berjalan
dengan baik.

Sukma mulai tenggelam dalam pekerjaannya


bersama piring-piring kotor dan air.

Dinginnya air mendadak begitu menusuk


tulangnya. Sukma terdiam. Dinginnya air seakan
menguasai tubuhnya. Menggigil sejenak sebelum
terbatuk perlahan. Dia harus kuat. Dia meyakinkan diri
sendiri. Sayangnya, sepanjang tangannya sibuk bergulat
dengan piring dan air, batuknya kian mengusik.
Membuatnya merutuki penyakitnya.

Napasnya memendek.

―Bu?‖ suara seorang pegawai membuat Sukma


sontak menoleh. ―ibu gak apa-apa?‖ tanya pegawai itu.
Suaranya bergetar, khawatir.

Sukma justru bertanya dalam hatinya. Apa yang


perlu dikhawatirkan? Lantas Sukma tersenyum.
Meyakinkan bahwa keadannya baik-baik saja.

―Gak apa-apa,‖ lirih Sukma. Sayangnya suaranya


hanya tertahan di tenggorokan- sebelum tubunya
ambruk bersama piring di tangannya.

***

37 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 38

―Kenapa ibu telat pergi ke rumah sakit?‖ dokter


dengan jasnya yang keren sudah mulai merutuk. ―ini
terlalu terlambat. Mungkin kalau ibu baru datang nanti
sore, akibatnya sudah sangat fatal,‖
Sukma tak bergeming.
―Maaf Dok, saya juga baru keadaan ibu ini sudah
parah,‖ Ningtyas- pegawai berhati malaikat yang
mengkhawatirkannya- ikut menunduk meminta maaf.

Dokter itu bungkam untuk beberapa saat.


Menulis sesuatu di secarik kertas. Resep obat.
―Ya, mau bagaimana lagi. Semuanya terlanjur
terjadi,‖ dokter itu menyodorkan kertas resep yang
baru saja dibuatnya. ―semoga lekas sembuh,‖ katanya.
―Terimakasih, Dok,‖ lirih Ningtyas.
Pegawai usia dua puluhan itu menuntun Sukma
keluar dari ruang periksa. Hening sejenak. Ningtyas
tidak tahu harus mengatakan apa. Dia yakin Sukma
sudah tahu bahwa dia
memiliki penyakit serius, namun memilih bungkam
dengan keadaan. Dan Sukma pasti sudah tahu bahwa
TBC bukan penyakit yang main-main.

―Obatnya enggak usah dibeli,‖ suara kecil Sukma


memecah keheningan. Ningtyas bergeming.

―Tapi mau bagaimana lagi, bu? Keadaan ibu sudah


enggak baik-baik saja, lho,‖ balas Ningtyas. Agak tidak
enak mengatakannya.
―Aduh, Nak,‖ Sukma tertawa pelan. ―kamu
mengingatkan ibu sama anak-anak ibu di rumah. Ya
ampun, kamu pasti seumuran putri sulung ibu,‖ Sukma
tertawa lirih. Tangan kanannya sudah menepuk-nepuk
pundak Ningtyas tanpa ia sadari.

Gadis itu kaget, namun membiarkan Sukma


menepuk pundaknya. Ia tahu betapa rindunya seorang
ibu pada anaknya yang tinggal di lokasi yang berjauhan.

―Padahal baru tiga bulan tidak melihat mereka.


Rasanya... sudah lama sekali, ya?‖ Sukma menarik napas
dalam. ―bagaimana ibumu? Sehat?‖ tanya Sukma tiba-
tiba. Ningtyas terdiam cukup lama. Ia sebisa mungkin
menarik bibirnya ke samping. Tersenyum.

―Ah, iya. Alhamdulillah beliau sehat,‖


Dada Sukma mendadak sesak. Bukan, bukan
sesak karena sakit yang ia derita.

Mendadak semua bayangan mengenai dua


putrinya melintas di benaknya. Sikap gadis di
hadapannya mengingatkan ia dengan perlakuan manis
putri sulungnya. Raut wajah cerah gadis di hadapannya
mengingatkannya pada wajah cerah putri keduanya yang
tak pernah luntur, walaupun harus menyembunyikan
sakit di balik senyumnya.

Dia mengerti mengapa Bagus ingin sekali kembali ke


rumah mereka di kampung. Dia ingin kedua kakaknya
ikut menyaksikan bagaimana Bagus tumbuh menjadi

39 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 40

anak lelaki yang tangguh. Mungkin Bagus juga ingin


mengutip contoh yang baik dari kedewasaan kedua
kakaknya. Toh, kebaikan tak memandang gender.

―Ah, melihatmu benar-benar membuat saya


ingin bertemu putri saya,‖ Sukma terkekeh. Ningtyas
merasa bersalah dengan kehadirannya sendiri.

―Tapi ibu enggak mungkin bertemu dengan


keadaan seperti ini. Bayangkan bagaimana sedihnya
anak ibu ketika melihat ibunya sakit? Justru ibu harus
sembuh dahulu sebelum bertemu anak ibu,‖ Ningtyas
menggenggam tangan Sukma.

Sukma bungkam.
―Sekarang kita pesan dulu obatnya, ya, Bu,‖
Ningtyas tidak menyerah membujuk Sukma. Pada
akhirnya, Sukma mengangguk setuju.

***

―Ibu udah punya uang?‖ Bagus- dengan senyum yang


menghiasi pipinya yang tidak lagi chubby- menarik-narik
baju ibunya.

―Kenapa? Kamu mau beli makanan?‖ tanya


Sukma. Bagus menggeleng.
―Ayo kita pulang! Kata ibu kalau ibu sudah punya
uang, kita bisa pulang ke rumah?‖ rengeknya. Sukma
berusaha tersenyum.
―Tapi, kan, uangnya buat beli makan dulu. Nanti
kalau ada uang lebih, kita pulang, ya, ke rumah.
Sekarang Bagus mau apa? Sini kasih tahu ibu,‖ jelas
Sukma.

―Gak mau! Bagus maunya pulang! Ibu, Bagus mau


pulang! Pokoknya mau pulang!‖ rengekan Bagus berulang
tak berhenti. Masih dalam posisi menarik-narik baju
ibunya. Sukma mendengus.

―Ayo kita beli makanan aja, ya. Pulangnya nanti,‖


bujuknya.

―Gakkkk! Pokoknya mau pulang!‖ Bagus


menggeleng kencang.
―BAGUS!‖ kesabaran Sukma sudah di ambang
batas. Dia sudah cukup stress dengan semua kejadian
yang menimpanya- ditambah Bagus yang akhir-akhir ini
terus merajuk. ―Ayo kita beli makanan! Dengar tidak?‖

Sukma merasa bersalah. Sikapnya kasarnya


barusan seharusnya tidak dilakukan seorang ibu pada
anaknya. Tapi apalah daya, dia sudah begitu lelah juga
merasa bersalah. Andaikata uang gaji yang ia kumpulkan
untuk pulang tak ia gunakan untuk membeli obat,
mungkin sebentar lagi keinginan Bagus terwujud.
Seharusnya ia tidak mengikuti nafsunya sendiri. Dia
masih memiliki tanggungan di hidupnya.
Bagus terdiam. Menatap wajah marah ibunya
lekat. Lalu beringsut dari posisinya.

41 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 42

Menenggelamkan wajah di kasur tipis yang


menjadi tempatnya melepas letih. Suara tangis
sesenggukan layaknya bocah terdengar lebih sendu di
telinga Sukma. Penyesalannya kian mengental.

Sukma menyadari, rindu Bagus pada rumah sama


besar dengan rindunya kepada dua putrinya yang hingga
kini tak ada kabar.

Ah, mengapa perasaan ini datang begitu


terlambat? Batinnya.

***

Ruangan bercat krem yang sudah mulai terkelupas


itu hening. Hanya ada suara kipas meja yang berdecit-
decit minta pensiun. Juga ketukan jari bos pemilik
rumah makan yang tak henti bergerak. Pagi-pagi tadi,
Sukma dipanggil ke ruangan bosnya. Ada hal yang perlu
diperbincangkan katanya.

―Seharunya Bu Sukma istirahat saja,‖ katanya.


―Maaf, Pak. Tapi ini memang kewajiban saya.
Jadi...‖ kalimat Sukma terputus.
―Bukan begitu maksud saya,‖ potong lelaki itu.
―saya sudah mendengar cerita dari pegawai
yang kemarin nganterin ibu ke rumah sakit. Penyakit
yang ibu derita itu bukan penyakit main-main. Dilain
sisi.... TBC juga bisa menular,‖ jelas Pak Wanto. Bosnya
yang telah berbaik hati pada Sukma selama ini untuk
pertama kalinya membuat Sukma putus asa.
―Saya mengerti, Pak,‖ lirih Sukma. Perkataan
Pak Wanto barusan sekan mengusirnya dengan cara
yang amat-sangat halus.
―Maaf, bukannya apa-apa. Tapi. ‖ Pak Wanto tak
enak hati untuk melanjutkannya.

Sukma mengangguk mengerti. Dia mencuci


piring untuk konsumen. Membiarkan dirinya mencuci
piring konsumen bisa sama saja dengan membunuh
konsumen perlahan. ―saya hanya mengantisipasi
kejadian yang tidak diinginkan. Jadi. ‖

Pak Wanto mengeluarkan sebuah amplop berwarna


putih. ―saya memutuskan untuk memberi ini kepada Ibu.

Sukma menangis dibuatnya. Rasa sedihnya buncah.
Betapa baiknya pria yang bahkan jauh lebih muda
darinya itu. Bahkan di hari terakhirnya bekerja, dia
tetap menunjukkan sisi baiknya kepada seorang wanita
paruh baya seperti dirinya.

―Bu Sukma seumuran dengan ibu saya. Melihat Bu


Sukma seperti ini mengingatkan saya dengan ibu di
kampung,‖ katanya. Sukma lagi-lagi tak bisa berkata-
kata. ―saya mendengar cerita tentang ibu dari Nintyas.
Saya harap dengan uang ini, ibu bisa pulang ke rumah
dan bertemu putri-putri ibu,‖

43 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 44

Pernyataan Pak Wanto itu sukses membuat Sukma


terkesiap. Betapa mulianya orang ini, batinnya.

―Saya akan pulang... saya akan pulang... ― lirih


Sukma.

***

Siapa sangka, pada akhirnya harapan Sukma


terwujud karena secarik amplop.
Masih ada sekitar dua puluh menit sebelum bis
yang akan mereka naiki datang. Mereka akan pulang.
Sukma sedikit mendnegus lega. Putra bungsunya sudah
terlelap sejak tadi, setelah semalaman tidak bisa tidur.
Tak sabaran menunggu hari esok. Sukma hanya dapat
tertawa melihat tingkah lucu anaknya tersebut sembari
membereskan barang yang akan dibawa pulang. Dia
lantas merelakan sisa uang pengobatannya untuk
membayar uang kontrakan malam itu. Dia berniat untuk
tidak kembali ke Jakarta.

Beberapa anak kecil yang berlarian di sekitar


mereka membuat debu berterbangan.

Sukma terbatuk. Berusaha menarik napas


perlahan seperti yang diajarkan dokter.

―Bagus, ayo bangun. Bisnya sudah datang,‖ bisik


Sukma lembut. Bagus menggeliat di punggungnya
sebelum akhirnya menurut.
Mereka berjalan beriringan menuju bis yang
sudah sesak oleh penumpang.

Bagi Sukma, perjalanan kali ini bukan perjalanan


yang nyaman. Toh, bis yang mereka tumpangi bukan bis
bagus. Tapi setidaknya mereka akan pulang. Itu yang
patut Sukma syukuri.

Sukma terbatuk, lagi. Berdarah.

Ah, saking senangnya ia sampai lupa meminum


obat. Sukma merogoh sakunya dan menemukan sisa
obat yang ia punya. Ini sudah hari kesekian setelah
meminum obat tersebut. Tapi keadaannya tidak
membaik, pun justru malah memburuk. Mungkin karena
tekanan batin dan banyaknya pikiran yang malah
memperburuk keadaan.

Sukma memilih tidur. Memeluk Bagus erat


dalam dekapannya.

***

―Ibu pulang!‖ Ayu memekik dari dalam rumah.


Sukma tersenyum melihat putri keduanya sembari
menurunkan barang-barang bawaan. Juga plastik hitam
berisi kue cubit yang ia beli di jalan tadi.
Bagus sudah asyik berkeliaran. Berlarian
menuju dapur. Ah, anak kecil memang selalu punya
dunianya sendiri.

45 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 46

―Ibu lama banget, sih, perginya!‖ Ayu bersila.


Membantu ibunya mengeluarkan barang dari dalam tas.
Sukma tersenyum. Merasa bersalah. ―rasanya aku
sudah menua gara-gara ibu pergi kelamaan,‖
―Maafkan ibu, ya,‖ Sukma mengelus putri
keduanya itu.
―Ish, satu tahun bukan waktu yang sebentar,
tahu, Bu!‖ Ayu nyengir. Pura-pura kesal. Sukma
tertegun dengan perkataan putri keduanya. Satu
tahun? Bukankah hanya empat bulan ia meninggalkan
rumah? Ah, putri keduanya memang suka melebih-
lebihkan.
―Iya, maafkan ibu, ya,‖ sekali lagi Sukma
meminta maaf. Ayu hanya terkekeh.
―kakakmu mana?‖ tanya Sukma.
―Hm, mana, ya?‖ Ayu melihat sekeliling. Lalu
berlarian menuju kamarnya. Sukma bisa mendengar Ayu
berusaha membangunkan kakaknya.
―KAKAK BANGUN! Ibu pulang!‖ suara Ayu
memenuhi langit-langit. Ibunya tertawa mendengar
tingkah anak keduanya. Sifatnya tidak pernah berubah
bahkan ketika usianya menginjak usia remaja.
Sosok tinggi anak sulungnya muncul dari balik
pintu kamar. Muka khas baru bangun tidur dan
rambutnya yang berantakan membuat senyum Sukma
merekah. Bahkan gadisnya yang sudah berusia 20-an
tak berubah di matanya.
―Ibu pulang?‖ tanya Dinda. Sukma tersenyum.
Putri sulungnya hanya berdiri diam. Memandang
barang-barang ibunya yang sudah sepenuhnya
dikeluarkan dari dalam tas. Sepertinya dia masih
berusaha mengumpulkan nyawanya.
―Kenapa ibu pulang?‖
Sukma menatap wajah anaknya. Bingung.
―ke-kenapa? Ada yang salah?‖
―Ibu tahu berapa lama ibu pergi?‖ tanya Dinda
ketus. Posisi duduk Sukma menegak. Seorang ibu sudah
pantasnya memperingatkan anaknya kalu tingkahnya
seperti ini. Tapi suara Sukma sempurna tercekat di
tenggorokan.
―Ibu tahu betapa menderitanya kita selama ibu
pergi?‖ tanyanya lagi- sedikit membentak. Ayu di
sebelahnya tak bergeming. Seakan diam-diam
mengiyakan perkataan kakaknya.
―Kita sudah berputus asa mengharapkan ibu
kembali,‖ suara Dinda mengeras. ―cukup segini saja kami
menderita, Bu. Jangan membuatnya terlalu sakit lagi,‖

Sukma merasa terperangkap dalam mimpinya


sendiri.

***

47 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 48

Sukma terbangun, mendadak. Sayup-sayup suara


beberapa orang yang tengah berbincang menyusup ke
telinganya. Wanita paruh baya itu mengerjap. Itu mimpi
yang terlalu nyata.

―Eh, ini ibunya sudah bangun,‖ salah satu dari


mereka tergopoh-gopoh membawakan secangkir teh
hangat untuk Sukma.

―Diminum dulu bu,‖ katanya. Sukma memperbaiki


posisi. Dia sudah tidak di bis lagi. Tubuhnya tertidur di
atas dipan rotan di depan sebuah warung kopi di
terminal bis. Matanya menatap sekitar dengan
kebingungan.

―Ini bisnya udah di pemberhentian terakhir, Bu.


Tadi si ibu enggak bangun-bangun. Anak ibu nangis-
nangis. Eh, ternyata ibunya pingsan,‖ jelasnya. Sukma
mendapati Bagus tengah menikmati pisang goreng di
sebelahnya. Matanya bengkak. Mungkin dia terlalu
banyak menangis.

―Oh, makasi, Mbak,‖


Sukma mengutuk dirinya sendiri. Untuk kedua
kalinya dia tidak sadarkan diri dan untuk kedua kalinya
pula dia merepotkan orang lain.

―Ibu ayo pulang...‖ Bagus menarik baju Sukma.


Sukma tersenyum, mengangguk. Kemudian ia
menggendong Bagus di punggungnya. Siang ini terlalu
terik untuk sebuah perjalanan yang melelahkan.

―Bu, bayar dulu atuh tehnya,‖ ibu-ibu yang tadi


memberinya teh tersenyum geli. Sukma mengangguk.
―sekalian gorengan yang dimakan anaknya, Bu,‖

―Oh, berapa totalnya?‖ tanya Sukma.


―32.000, Bu,‖ jawaban ibu itu membuat Sukma
terperanjat. ―sekalian biaya numpang tidur tadi, Bu,‖
katanya. Sukma mendengus pasrah. Bahkan sekarang ini
ada saja orang yang memanfaatkan kejadian tidak
mengenakkan seperti tadi sebagai bisnis. Ya, tapi mau
bagaimana lagi? Semuanya sudah terlalu terlanjur
untuk diprotes.

Sukma berdiri mematung di pinggir jalan. Lima


belas menit belum satupun angkot yang lewat. Uang di
sakunya menipis. Hanya tinggal selembar uang sepuluh
ribuan untuk sekali naik angkot. Udara rumah sudah
tercium. Membuat semangat Sukma sedikit bangkit, di
tengah letih tubuhnya.

Sebuah angkot berhenti di depannya. Sukma


memastikan tarif angkot sebelum masuk ke dalamnya.

―Duh, Bu, saya mah gak sampai situ. Dari pertigaan


nanti naik angkot lagi, nanjak,‖ kata supir angkot.
Bahkan empat bulan di Jakarta membuatnya lupa jalur

49 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 50

angkutan umum di daerah rumahnya. Sukma harus mulai


memaklumi bahwa dirinya ini semakin tua.

―Ya, sudah, deh, Pak,‖ Sukma pun masuk ke dalam


angkot setelah sebelumnya menurunkan Bagus dari
punggungnya.

Mimpi Sukma tadi membuatnya berekspetasi


tentang banyak hal. Di satu sisi adalah sebuah
kebahagiaan yang buncah karena ia benar-benar akan
pulang, dan di sisi lain terbersit kekhawatiran tentang
bagaimana kedua putrinya saat ini. Apakah uang yang ia
kirimkan cukup untuk kebutuhan sehari-hari? Apakah
mereka ada pungutan sekolah yang membebani?

Ah, seharusnya ia melebihkan uang untuk mereka


berdua. Lagi-lagi ia mengutuk dirinya yang
berpenyakitan.

Sukma terbatuk.

―Dari sini naik angkot yang itu, tuh, Bu,‖ supir


angkut menunjuk sebuah angkot berwarna merah yang
„berteduh‟ di bawah pohon besar.

Sukma berterimakasih dan menyerahkan ongkos


angkot kepada supir.
Seharusnya semua sesederhana yang supir angkot
tadi bilang. Sayangnya, ia benar- benar tidak punya
biaya untuk itu. Tidak ada waktu lagi untuk
mendapatkan uang. Ia memilih berjalan untuk pulang.
Sukma mengelap peluh di dahinya. Membetulkan
posisi Bagus yang ia gendong di punggungnya.
Tatapannya lurus ke depan, namun pikirannya berkelana.
Langkah Sukma yang tertatih tak kuasa membiarkan
Bagus kepanasan. Dia harus kuat, dia harus membawa
Bagus pulang. Seperti yang anak bungsunya itu inginkan.

―Ibu enggak apa-apa?‖ suara Bagus terdengar lirih.


Walaupun usianya yang bahkan belum menginjak enam
tahun, dia tahu batuk ibunya yang terus-menerus bukan
pertanda baik. Ibunya hanya membalas pertanyaan si
bungsu dengan anggukan.

Bagus terlihat tidak nyaman dengan batuk


ibunya yang membabi-buta.
Sesekali ibunya berhenti. Menurunkannya dari
punggungnya. Menegak minum yang tersisa- sedikit-
demi-sedikit. Melihatnya membuat Bagus sungkan untuk
meminta minum walaupun tenggorokannya sudah kering.
Tenggorokan ibu pasti sakit sekali. Bagus ingat, dulu dia
pernah sakit radang tenggorokan. Pasti rasanya seperti
itu.

―Ibu beneran enggak apa-apa?‖ Bagus bertanya


lagi. Kali ini Sukma tak menggendongnya lagi. Tangan
lemah ibunya hanya menggandengnya erat, menuntunnya
berjalan.

―Iya, Sayang,‖ ibunya membelai rambut Bagus.


Bagus tidak begitu yakin soal itu.

51 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 52

Layaknya hubungan batin seorang anak dan ibu,


Bagus bisa merasakan betapa letih ibunya. Sejak ibunya
tak kunjung bangun di bis tadi, dia mulai merasa tak
enak hati. Cemas.
Dia terus menatap wajah ibunya yang bahkan
sudah sangat keriput di usianya yang terbilang tidak
tua-tua amat.

―Lihat, Bagus, sebentar lagi kita sampai!‖ Sukma


berseru. Menunjukkan suatu wilayah yang tak asing bagi
mereka.

Wilayah perkampungan kecil yang amat-sangat


mereka rindukan. Langkah manis Bagus terlihat lebih
bersemangat. Dasar anak kecil, kecemasannya barusan
sirna dengan kebahagiaan yang buncah. Ah, dia
mengenal wilayah ini dengan baik. Bahkan ia sudah lebih
dulu melepas gandengan ibunya dan berlari kecil
menyusuri jalan berbatu.

―Hati-hati, Sayang,‖ teriak Sukma serak. Bagus


sudah tidak peduli dan berjalan mendahului ibunya.

Rasa rindu dan kelegaan yang bercampur di dalam


hati Sukma sayangnya tak selaras dengan tubuhnya
yang ringkih. Langkahnya makin melambat seiring
batuknya yang makin menjadi. Ia terus-terusan
mencoba menarik napas perlahan-seperti yang
diajarkan dokter. Tapi napasya memendek seiring
perjalanan panjang mereka.
―Ibu! Rumah!‖
Rumah kecil yang berdiri di pinggiran sawah yang
mereka rindukan bukan lagi menjadi angan. Mereka
sampai. Perjalanan mereka tidak sia-sia.

Namun, entah kenapa, perasaan Sukma menjadi


tidak enak. Sebelum beranjak menyusul Bagus masuk ke
dalam rumah, ia mendapati hal- hal yang janggal. Rumah
ini... kenapa? Bahkan bunga mawar kesayangan Ayu yang
dia rawat dengan penuh kasih sayang sudah layu. Potnya
teronggok bersama sampah-sampah yang dibuang
sembarangan di samping pintu. Juga kursi rotan di
depan rumah yang berdebu.

Ada yang tidak beres.

Deru napas tertatih Sukma menghirup udara sunyi.


Langkahnya tercekat ketika memasuki rumah. Bahkan
keadaannya jauh lebih buruk dari yang ia dapatkan
dalam mimpi.

Ruang kecil di tengah rumah yang seharusnya


penuh keharmonisan dengan tikar yang menutupi
sebagian lantai kini benar-benar seperti tak terpakai.
Hanya ada tikar tergulung dan onggokan makanan yang
kemungkinan sudah basi di pojok ruangan. Tidak ada
figura foto yang tertata rapi di atas meja. Semuanya
lenyap. Hilang.

Sukma terdiam.

53 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 54

Lantas, di mana kedua putrinya sekarang?

―Ibu? Rumah kita kenapa? Kakak mana? Ibu...‖


suara lirih Bagus memenuhi otaknya.

Tapi lisannya terlanjur kelu. Rindu yang tak


berbalas temu yang ia harapkan.

Tubuh tuanya lemas seketika. Jatuh menimpa lantai


berdebu. Semua sudah lenyap bahkan sebelum
ingatannya mulai berkarat. Hatinya menangis, tapi
matanya tak sanggup lagi menangis. Rasanya Sukma
ingin berhenti menderita seperti ini.

Bagus terdiam cukup lama. Menatap ibunya yang


terjatuh ke atas lantai. Suaranya yang sesak dan
batuknya yang berkelanjutan tak bertoleransi dengan
sakit hati yang ibunya rasakan. Bagus hening dalam
hatinya yang bertanya-tanya.

Mengapa ibunya bisa setangguh ini?


Kapan rasa tersiksa yang ibunya rasakan hilang? Seakan
sebuah jawaban, perlahan tapi pasti, suara sesak dan
batuk Sukma memudar. Bagus bergidik ngeri.
Merasakan kehadiran sesuatu yang lain. Membuatnya
mundur beberapa langkah.
Lantas, ketika tubuh ibunya sempurna
manyentuh debu, ia mendekat perlahan. Rasa kehilangan
tiba-tiba mengusiknya. Bagus mulai menangis tanpa
alasan.
Ah, bahkan rindu langit terhadap jiwa Sukma
lebih dulu terbalaskan.
Dan pada akhirnya, semua alasan untuk pulang
andam karam bersama tangis Bagus yang tak beralasan.

55 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 56

Phantasmagoria
Karya : Ayu Auralia Safira

Pria berkulit sawo matang yang sedang

mengenakan pakaian pengantin adat Jawa itu terlihat


gugup. Bagaimana tidak jika sebentar lagi prosesi ijab
kabul akan segera berlangsung. Pria itu tiba-tiba saja
tersenyum teringat kejadian lima tahun yang lalu dengan
penuh keberanian memutuskan untuk mengajak seorang
gadis cantik bermata hazel berkenalan di sebuah
seminar yang baru saja berakhir.
―Hai,‖ Sapanya lembut dibalas dengan senyuman
ramah gadis bermata hazel itu. ―Anak Akuntansi juga?‖
basa-basi.
―Eh, bukan, saya jurusan Hubungan Internasional.‖
Jawab gadis itu seramah mungkin lalu kembali
bergabung dengan obrolan teman-temannya.
―Oh pantes saya ga pernah lihat,‖ Dia tersenyum
rikuh seraya menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dia
sudah bertekat mengajak gadis disampingnya
berkenalan dan tidak mau kehilangan kesempatan
berharga itu begitu saja.
―Boleh kenalan?‖ Pertanyaan itu membuat obrolan
sekumpulan gadis disampingnya terhenti diikuti tatapan
aneh mereka yang membuatnya semakin gugup. ―hng, ga
boleh ya?‖ Tersenyum canggung.
―Fat, kita duluan aja ya.‖ Teman-teman gadis itu
dengan senyuman mengejek kemudian berjalan cepat
meninggalkan temannya bersama seorang pria asing yang
terlihat salah tingkah. ―Boleh kok.‖ Gadis itu menjawab
mantap sambil tersenyum ramah seperti sudah sering
menerima ajakan pria untuk berkenalan.

―Ahdan,‖ Segera menyodorkan tangannya


memperkenalkan diri. ―Akuntansi 10‖

Sambungnya mantap.

Gadis itu membelakan matanya.

―Eh maaf kak, saya ga tahu kalau kakak itu


ternyata senior.‖ Bukannya menyebut nama, gadis itu
malah menjawab dengan gugup ketika tahu bahwa yang
mengajaknya berkenalan adalah seorang senior.
―Ga apa-apa, santai aja.‖ Ahdan terlihat lebih
percaya diri ketika tahu bahwa yang sedang dia ajak
berkenalan adalah juniornya.
―Fatma, kak. Hubungan international 12‖ Ujar
Fatma sopan membalas juluran tangannya. Ahdan
bahkan tidak percaya bahwa mereka terpaut dua
angkatan karena Fatma terlihat lebih dewasa dari
umurnya, dia malah mengira seangkatan dengan Fatma.
Sayangnya perkenalan mereka berakhir sebatas
itu saja. Ahdan kehilangan keberanian untuk meminta
nomor telepon Fatma saat tangan lembut Fatma
menyentuhnya, membuat seluruh tubuhnya bagai

57 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 58

kesetrum listrik. Setelah tiba di rumah dia mengutuk


dirinya sendiri seakan menyesali kenapa perkenalan itu
tidak membuahkan hasil yang baik.
Keesokan harinya hingga hari-hari berikutnya,
setiap ada kesempatan Ahdan selalu mencari alasan
untuk ke Gedung jurusan Fatma, mencuri kesempatan
untuk memandangi Fatma dari kejahuan, lalu ketika
Fatma tidak sengaja menangkap tatapan itu, merekapun
sama- sama saling tersenyum tersipu malu. Berkali-kali
pula dia merencanakan akan menemui Fatma sekali lagi,
meminta nomor telepon gadis itu. Tapi sayang sekali
karena dia selalu kalah dengan kegugupan yang
menggerogoti tubuhnya ketika Fatma mulai mendekat
ditambah rasa risi dengan tatapan aneh dari teman-
teman Fatma.
Hanya saja kalimat ‗jodoh tidak akan kemana‘
memang betul adanya. Tiga bulan kemudian ketika
Ahdan mengunjungi rumah temannya untuk memenuhi
undangan syukuran wisuda, dia sungguh tidak percaya
ketika di ruang tamu rumah itu ada sebuah foto
keluarga terpajang dimana Fatma sedang tersenyum
duduk di samping teman yang mengundangnya kesana.
―Oi, Ahdan,‖ Teman yang ada di foto itu
menepuk pundaknya kencang membuatnya seketika
tersadar. ―Lo kayak abis liat hantu aja!‖ Kemudian
tertawa mengejek.
―Cewek yang di foto ini, siapa hat?‖ Tanya
Ahdan penasaran.

―Adik gue. Kenapa? Naksir?‖ Jawaban


mengejutkan dari temannya itu membuat Ahdan
terbelak tidak percaya, ―Kayaknya emang beneran
naksir deh. Haduh. Baik-baik lo sama gue, entar ga gue
restuin.‖ Lalu sekali lagi tertawa mengejek.
―Oi, Farhat, Congrats ya bro!‖ Seorang tamu
datang menyapa tuan ramah, Farhat, teman jurusannya
yang juga ternyata kakak Fatma.
Farhat lalu pergi meninggalkan Ahdan yang masih
diam mematung di depan foto keluarganya.
―Hai, Kak Ahdan.‖ Suara gadis yang sangat Ahdan
kenali itu membuyarkan lamunannya. Tepat
disampingnya telah berdiri Fatma yang sedang
tersenyum ramah menyapa, membuat jantungnya
berdetak tak karuan.
Setelah kejadian itu, Ahdan akhirnya menemukan
kesempatan untuk meminta nomor telepon Fatma, gadis
pujaannya. Setelah tiga bulan kenal dan menjadi dekat,
mereka akhirnya berpacaran. Hingga empat tahun
kemudian, dengan gagah berani, Ahdan akhirnya
melamar Fatma.
Hari ini akan menjadi hari bersejarah untuk
Ahdan. Dia akan merayakan keberhasilan atas
keberaniannya mengajak Fatma berkenalan lima tahun
yang lalu. Perkenalan itulah yang kini membawanya

59 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 60

disini, mengucapkan sebuah janji sakral, yang akan


membawanya pada ibadah terpanjang sepanjang hidup,
yaitu menikah bersama wanita pujaannya.

***

Setelah dua bulan menikah, kebahagian Fatma dan


Ahdan seperti dilipatgandakan oleh Tuhan. Setelah
Fatma mengaku selalu merasakan mual dan tak enak
badan, mereka memutuskan ke Dokter untuk
memeriksakan kesehatan Fatma. Bukannya kabar buruk
yang mereka terima melainkan kabar baik bahwa Fatma
dinyatakan hamil oleh dokter. Bagi mereka itu adalah
hadiah besar dari Tuhan.
Namun sayang sekali, mereka terlalu bahagia
hingga sebulan kemudian Tuhan merampas hadiah
tersebut. Ketika usia kandungan Fatma menginjak tiga
bulan, dia keguguran. Kejadian itu merupakan tamparan
yang begitu hebat untuk mereka. Setiap malam Fatma
menangis, merindukan bayinya, merasa bersalah karena
tidak menjaga bayinya dengan baik. Bahkan Fatma
menjadi malas beribadah, seperti sedang marah kepada
Tuhan. Sedangkan Ahdan hanya bisa memberi dukungan
untuk menguatkan disaat diapun merasa begitu
terpuruk. Ahdan selalu menyembunyikan kesedihannya,
dia hanya akan menangis di mobil saat menuju kantor
dan sepulang dari kantor. Dia harus tetap terlihat kuat
didepan istrinya.
―Ahdan,‖ Fatma memanggil lirih suaminya dalam
tidur. Ahdan yang belum terjaga segera memeluk
istirnya, mencoba menenangkan.
―Ahdan, aku merindukannya,‖ seruan lirih itu
membuat air mata Ahdan terjatuh. ―Dia pasti kesepian,
Ahdan.‖ Lalu setelah itu Fatma terbangun dan
membrontak, memaksa melepas pelukan Ahdan.
―Fatma, igstifar,‖ Ahdan mencoba menenangkan
istrinya namun kembali berteriak dan menangis
histeris.
―Tuhan jahat sudah ambil dia, Ahdan.‖ Fatma
mencoba melepas pelukan erat suaminya tapi tidak
pernah berhasil.
―Fatma, kamu harus percaya ini. Tuhan tidak hadir
disaat kita merasa bahagia saja, justru ketika Ia
memberikan rasa sakit, itulah tanda bahwa Ia sungguh
menyayangi kita.‖ Itulah sepenggal kalimat yang selalu
Ahdan bisikan ketelinga istrinya ketika dia
memberontak menangis ketika terbangun dari mimpi
buruknya ditengah malam.
Setelah kejadian menyakitkan itu, ibu Fatma
memilih tinggal di rumah mereka atas permintaan
Ahdan untuk menjaga sekaligus menguatkan Fatma
karena Ahdan terlalu sibuk dengan pekerjaanya di
kantor dari pagi hingga sore.
Sebulan kemudian akhirnya Fatma kembali
menjadi Fatma yang dulu. Mimpi buruknya setiap malam

61 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 62

kini tak lagi datang mengganggunya. Berkat Ibu dan


dukungan dari suami, dia akhirnya memahami banyak
hal. Kini Fatma percaya akan janji Tuhan, percaya
dengan sepenggal kalimat yang selalu suaminya bisikan
‗Tuhan tidak hadir disaat kita merasa bahagia saja,
justru ketika Ia memberikan rasa sakit, itulah tanda
bahwa Ia sungguh menyayangi kita.‘

***

―Bagaimana pekerjaanmu, Ahdan?‖ Tanya Ayah


Fatma seraya menarik kursi. Malam itu keluarga besar
Fatma berkumpul di meja makan yang terbilang cukup
besar. Di sana telah duduk Ayah Fatma, Ibu Fatma,
Farhat dan istrinya, Ahdan dan Fatma serta Adik bungsu
Fatma, Fadhil. Ibu Fatma sengaja mengadakan makan
malam bersama dalam rangka syukuran atas pulihnya
anak perempuan semata wayangnya itu.
―Alhamdulillah, lancar, yah.‖ Jawab Ahdan
membuat Ayah Fatma mengangguk. Mereka lalu
melanjutkan acara makan malam itu dengan khidmat.
―Fatma, tolong ambilin Puding Roti di kulkas buat
cuci mulut dong,‖ Pinta ibu Fatma kepada Fatma yang
lebih dulu menyelesaikan makannya.
―Aku bantu ya,‖ Istri Farhat yang juga baru saja
menyelesaikan makannya segera berdiri menghampiri
Fatma, lalu ke dapur bersama.
―Bisakah kamu mengambil cuti seminggu, Ahdan?‖
Pertanyaan tiba-tiba dari Ayah Fatma itu membuat
Ahdan menghentikan aktivitas menyendoknya. ―Ayah
ingin kamu membawa Fatma ke Istanbul, bertemu
sepupunya, sekalian bulan madu, kalian belum bulan
madu, bukan?‖ Ahdan terdiam, tidak tahu harus
menjawab apa. Disaat pekerjaan yang semakin
menumpuk sulit sekali untuk meminta cuti di kantornya.
―Nanti coba aku tanyakan ke Kepala, Yah.‖ Ahdan
menjawab optimis, berharap semoga atasannya berbaik
hati.
―Kepala di kantor lo namanya Jordi, bukan? Jordi
Simatupang?‖ Ahdan mengangguk tidak mengerti
kenapa iparnya sekaligus temannya itu tiba-tiba tahu
nama atasannya.
―Doi itu kakak teman baik gue waktu SMA. Untuk
urusan cuti nanti gue coba bantu deh.‖ Ahdan
mengangguk tersenyum sedangkan Fatma yang sedang
sibuk menyiapkan Puding Roti mendengar jelas
pembicaraan itu dari dapur seraya tersenyum memeluk
iparnya dengan erat.

***

Seminggu setelah Ahdan mengurus passport,


karena ini pertama kali dia keluar negeri, akhirnya dia
dan istrinya terbang menuju Istanbul, kota kelahiran

63 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 64

Fatma. Terhitung ini adalah perjalanan keempat kalinya


Fatma ke Istanbul. Walau masih agak asing dengan
negara ini, dia masih mengingat beberapa hal. Terakhir
dia kesini adalah enam tahun yang lalu ketika kakak
sepupunya, Emin, menikah.
―Fatmaaaa,‖ seorang wanita bermata hazel seperti
Fatma dengan pakaian serba hitamnya serta hijab
berwarna abu-abu muda segera berlari memeluk Fatma
yang baru saja turun dari mobil.
―Aku rindu sekali,‖ Ahdan terbelak ketika
mendengar wanita itu bisa berbahasa Indonesia.
―Maafkan aku karena tidak bisa datang waktu
kamu menikah, Fatma,‖ Elif, sepupu Fatma itu kini
mungkin menjadi wanita paling sibuk di Istanbul. Dia
adalah manajer salah satu hotel terbaik di Istanbul,
bahkan di Turki. Sulit sekali mendapat izin bahkan
untuk menghadiri pernikahan sepupunya sendiri. Elif kini
sedang meminta libur, dia akan mengontrol pekerjannya
melalui telepon saja.
―Halo, Ahdan,‖ Elif menyapa Ahdan yang masih
terdiam dengan air muka kebinggungan,
―Kamu pasti kaget melihat aku bisa berbahasa
Indonesia. For your information, aku satu-satunya
dikeluargaku yang fasih berbahasa Indonesia.‖ Ahdan
mendengarkan sambil berjalan masuk mendorong koper
memasuki rumah Elif.
―Merhaba, Ahdan.1‖ Ayah Elif menyapa lembut
Ahdan yang sudah dia temui lima bulan yang lalu ketika
dia menikah.
―Merhaba, amca dayı2.‖ Ahdan sempat
mempelajari beberapa Bahasa Turki untuk sapaan dan
itu sangat membantunya sekarang.
―Wah, sekarang kamu bisa berbahasa Turki,‖
Ayah Elif menepuk pundak Ahdan. ―Naik lah
berisirahat, nak.‖ Ucap ayah Elif yang telah
diterjemahkan oleh Elif karena ayahnya sama sekali
tidak bisa bekomunikasi dengan Bahasa Indonesia. Dia
hanya tahu beberapa kalimat seperti, halo, selamat
pagi, apa kabar dan kalimat-kalimat umum yang orang
asing kebanyakan tahu.
―Kau tahu Ahdan kenapa aku mempelajari
Bahasa Indonesia?‖ Tanya Elif ketika mereka tiba di
sebuah kamar. Ahdan menggeleng menyimpan koper
mereka kesamping ranjang. Elif menatap jail ke arah
Fatma, ―Karena aku ingin bercerita banyak hal dengan
istrimu ini, dia punya banyak imajinasi dalam otaknya
dan akan lebih hebat jika kita sama- sama menguasai
banyak Bahasa.‖ Elif menyenggol Fatma yang sedang
tersenyum menatap Ahdan.

***

65 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 66

Mereka banyak menghabiskan waktu dengan


mencoba berbagai macam makanan khas Turki yang
dibuat sendiri oleh Elif sambil berkumpul bersama
sepupu yang lain, salah satunya Emin kakak Elif yang
kini sudah memiliki dua anak. Aslan yang kini berumur 5
tahun dan adiknya Zehra berumur 2 tahun.
Tiga hari di rumah Elif, Fatma dan Ahdan
akhirnya memilih pindah menginap di hotel terbaik
Istanbul yang merupakan tempat Elif bekerja, untuk
merayakan bulan madu yang dibacarakan oleh Ayah
Fatma waktu itu. Empat hari yang tersisa, mereka
habiskan untuk berjalan-jalan menikmati kota Istanbul,
mengunjungi Princes‘ Islands, mencoba kebab yang kata
Elif adalah kebab terenak di seluruh dunia, mencoba
Turkish Delight yang tidak sempat Elif buat dan
makanan lain yang disarankan oleh Elif . Elif selalu
menemani mereka, walau kadang harus menghilang tiba-
tiba dan kembali lagi setelah kurang lebih satu jam
kemudian.
―Ahdan, terima kasih.‖ Ucap Fatma lembut ketika
dia dan suaminya sedang memandangi senja di atas
Yacht3 yang Elif pinjam dari teman baiknya.
―Untuk apa?‖ Tanya Ahdan seraya memperbaiki
kerudung istrinya yang kini berubah bentuk karena
tertiup angin laut.
―Untuk segalanya, Ahdan. Terima kasih telah
membuatku merasa menjadi wanita paling bahagia di
dunia.‖ Ahdan memeluk tubuh istrinya, berterimakasih
kepada Tuhan telah memberikan Fatma dalam hidupnya.
―Begitu pula aku, Fatma. Terima kasih karena
telah membuatku menjadi pria paling beruntung di
dunia karena bisa memilikimu.‖ Fatma hanya bisa
tersenyum tersipu malu mendengar hal itu keluar dari
mulut suaminya.
―Aku merindukan Khadijah.‖ Fatma berbisik lirih.
Khadijah adalah nama yang akan mereka berikan kepada
anak pertama mereka yang sayangnya tidak sempat
lahir di dunia.
―Khadijah sedang bermain di surga.‖ Ujar
Ahdan lirih.

―Dan sedang menungguku.‖ Seruan Fatma itu


terdengar lebih lirih, diikuti dengan air mata yang
menetes perlahan di pipinya.
Ketika tiba waktunya untuk kembali ke Indonesia,
Elif begitu berat melepaskan Fatma, sepupu yang paling
dia sukai. Dia bahkan menangis cengeng sambil memeluk
Fatma ketika Fatma dan Ahdan harus memasuki ruang
tunggu. Fatma mecoba lebih tegar dan menguatkan Elif
dan berjanji akan bertemu lagi secepatnya.

***

Dua bulan kemudian, kabar baik kembali datang.


Kini akhirnya Fatma mengandung dan membuat Ahdan
lebih ekstra memperhatikan istrinya. Ibu Fatma

67 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 68

kembali tinggal di rumah mereka untuk memperhatikan


kesehatan anaknya. Bulan demi bulan berlalu hingga
akhirnya Fatma berhasil mengandung bayi itu selama
sembilan bulan. Menghitung hari, bayi itu akan lahir di
dunia.
Lima hari lebih cepat dari prediksi dokter, tepat
tanggal 22 akhirnya bayi Fatma lahir ke dunia. Bayi
perempuan itu begitu cantic, memiliki mata dan senyum
ibunya serta hidung milik ayahnya. Kelahiran bayi itu
disambut tangis semua orang.

***

Tiga bulan berlalu begitu saja, kini Ahdan sedang


sibuk mengurusi bayinya bahkan kadang harus
terlambat ke kantor.
―Sepertinya aku akan dimarahi Jordi karena selalu
terlambat,‖ Ahdan mengelus lembut kepala istrinya
yang sedang menggendong bayi mereka sambil
tersenyum ramah. ―Aku pergi dulu, Fatma.‖ Lalu Ahdan
memasuki mobil dan melambaikan tangannya ke istri dan
anaknya seraya menjalankan mobil itu menuju
kantornya.
Ketika sedang sibuk di kantor, Ahdan mendapat
sebuah kejutan luar biasa karena tiba- tiba saja
mendapat pesan bahwa Elif baru saja tiba di Indonesia
dan akan berkunjung ke rumahnya. Dia sudah tidak
sabar untuk melihat istrinya bertemu dan bercerita
dengan Elif, karena saat itu mata istrinya akan
berbinar dan senyumnya akan terasa begitu manis.
Imajinasi liar yang dimiliki Elif dan Fatma membuat
Ahdan melihat sisi lain dari istrinya.
―Halo Ahdan, apa kabar?‖ Elif memeluk Ahdan
ketika Ahdan membukakan pintu rumahnya. Empat jam
setelah mendapat kabar itu, Elif akhirnya datang
mengunjungi rumah mereka.
―Baik, Elif. Ayo masuk, aku sedang membuatkan
Aisyah susu.‖ Ahdan terlihat sibuk dengan baju kantor
lengkap yang masih melekat ditubuhnya, ―Kamu mau aku
buatkan apa? Ada kopi, teh, jus, susu.‖ Tanyanya sambil
menutup botol dot Aisyah yang telah penuh dengan
susu.
―Tidak perlu repot-repot, Ahdan, jika haus aku
akan mengambil semua minuman itu sendiri.‖ Ahdan
tertawa lalu menyodorkan sebuah dot kepada bayinya
yang sedang rewel karena kehausan.
―Fatma lagi tidur, mungkin sebentar lagi bangun.‖
Elif tersenyum mengangguk lalu menggambil Aisyah
dalam gendongan Ahdan.
―Sudah berapa bulan umurnya?‖ Tanya Elif sambil
mengelus lembut pipi Aisyah.

―Tiga bulan.‖ Jawab Ahdan singkat karena sedang


sibuk memeriksa ponselnya. ―Elif, sepertinya aku harus
ke kantor sekarang, ada meeting mendadak, aku titip
Aisyah sebentar.‖ Elif mengangguk lalu Ahdan berlari

69 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 70

menuju mobilnya dan melaju menuju kantor, sedangkan


Elif menangis terisak sambil memeluk Aisyah begitu
erat.
***

Pulang dari meeting Ahdan mendapati rumahnya


sudah kosong karena Elif memutuskan untuk pulang
karena sudah hampir magrib sedangkan dia ingin
membawa Aisyah ikut bersamanya kerumah orang tua
Fatma.
―Aku titip Fatma dan Aisyah ya, Elif. Akhir-akhir
ini Fatma banyak diam, tolong hibur dia, kamu orang
paling jago dalam hal itu.‖ Pinta Ahdan dengan suara
paraunya tertunduk sedih.
Elif menggigit bibir, ―Iya Ahdan, kamu
sebaiknya istirahat yang banyak.‖ ―Makasih, Elif.‖
Ahdan kemudian memutuskan sambungan telepon.
Setiap hari Ahdan tidak pernah luput menelepon
Elif untuk menanyakan kabar Fatma dan Aisyah. Hingga
tiga hari kemudian, sesuai janji Elif, Ahdan akan
menjemput istri dan anaknya karena dia sudah begitu
merindukan dua perempuan kesayangannya itu.
―Aku jemput mereka sekarang ya, bu.‖ Kini Ahdan
menelepon ibu Fatma karena Elif tidak kunjung
mengangkat teleponnya.
―Elif masih ingin bersama keponakannya, besok
saja ya, Ahdan.‖ Jawaban ibu Fatma ternyata berhasil
meluluhkan hati Ahdan. Ahdan akhirnya mengangguk dan
memutuskan untuk bersabar sehari lagi.
Esoknya, bertepatan libur kantor karena hari
minggu, tanpa perlu menghubungi siapapun Ahdan sudah
datang kerumah orang tua Fatma untuk mejemput kedua
pujaan hatinya, Fatma dan Aisyah.
―Bu, aku mau jemput Fatma sama Aisyah.‖ Tanpa
mengetuk Ahdan langsung masuk dan mendapati
mertuanya sedang menggendong Aisyah.
―Loh, kok ga bilang kalau mau datang, Dan?‖ Ibu
Fatma terlihat terkejut ketika melihat Ahdan
memasuki rumahnya. Ahdan lalu mengambil Aisyah dari
mertuanya dan tersenyum seraya mengajak Aisyah
bermain.
―Fatma mana bu?‖ Tanya Ahdan pelan menatap
Ibu Fatma yang hanya diam tidak menjawab. ―Bu, Fatma
di mana?‖ Ahdan mengulang pertanyaan itu tapi Ibu
Fatma hanya bisa tertunduk enggan menjawab.
Tiba-tiba Aisyah menangis, membuat Ahdan
kembali fokus ke Aisyah dan melupakan pertanyaannya
yang tak terjawab.
―Ahdan, sini biar aku yang gendong Aisyah.‖ Istri
Farhat mencoba mengambil Aisyah yang tidak kunjung
diam.
―Fatma mana?‖ Pertanyaan ketiga itu tidak
kunjung mendapat jawaban membuat Ahdan menjadi
gelisah. Dia lalu berlari memasuki kamar Fatma tapi
tidak menemukan siapapun disana.

71 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 72

―Fatma lagi keluar sama Elif.‖ Jawaban tiba-tiba


dari Farhat itu membuat semua mata tertuju pada
Farhat. Ahdan membelakkan matanya, kepalanya terasa
pusing lalu seketika terjatuh pingsan.
Setelah kurang lebih sepuluh menit tak sadarkan
diri, Ahdan akhirnya terbangun dengan gelisah
mengelilingi rumah mencari istrinya.
―Fatma membawa Elif jalan-jalan, Ahdan.‖ Farhat
mencoba menenangkan. Ahdan berteriak mencoba
memberontak.
―Jangan coba-coba bawa Fatma ke Istanbul!‖
Ahdan membentak Farhat menunjuk galak temannya
sekaligus iparnya itu.
―Tidak, Ahdan, mereka hanya jalan-jalan
sebentar.‖ Ibu Fatma mencoba menjelaskan dengan
tenang.
―Tidak, bu, Elif membawa Fatma ke Istanbul!
Tidak boleh, bu!‖ Ahdan kembali berteriak lalu
menangis. Farhat kembali mencoba menenangkan Ahdan
hingga akhirnya Ahdan pingsan lagi.
Sepuluh menit setelah pingsan yang kedua
kalinya, Ahdan kembali terbangun tapi kini berada
dalam pelukan Uminya. ―Umi, Elif membawa Fatma pergi
jauh, Tidak boleh, Umi, Elif tidak boleh melakukan itu.‖
Kemudian menangis histeris memeluk Uminya sedengkan
uminya hanya bisa menangis mengelus pelan rambut
anaknya.
―Tidak boleh, Umi! Aku harus menghalangi Elif
membawa Fatma pergi, aku sudah begitu
merindukannya, aku mungkin bisa gila jika hidup tanpa
Fatma. Umi, Ahdan rindu sekali dengan Fatma. Umi,
tolong Ahdan.‖ Ahdan kembali berteriak menangis lalu
kemudian memberontak mendorong Uminya. Farhat dan
Ayah Fatma dengan sigap menahan tubuh Ahdan yang
sedang memberontak.
―Ahdan, sadar Ahdan, istigfar.‖ Farhat berhasil
menenangkan Ahdan yang tiba-tiba saja mengangkat
tubuhnya berdiri kemudian berlari keluar rumah.
Farhat dan Ayah Fatma segera berlari menyusul Ahdan.
―Gue mau ke bandara, Hat, mau jemput Fatma.‖
Ahdan terlihat frustasi ketika Farhat memeluknya
begitu erat. Ahdan kalah postur badan dengan Farhat
yang terbilang cukup kekar. ―Nanti gue aja yang nganter
lo ke Bandara ya, Dan.‖ Ucap Farhat lembut mencoba
menenangkan Ahdan yang sudah seperti orang kalang
kabut.

Farhat dan orang tua Fatma bersama Umi Ahdan


mengantar Ahdan untuk bertemu dengan Fatma.
Sepanjang perjalanan tatapan mata Ahdan kosong,
uminya hanya busa memeluk anaknya sambil terisak
menangis, begitu pula Ibu Fatma yang duduk di sisi kiri
Ahdan.

Lagu rindu~ Ini kuciptakan~


Hanya untuk bidadari hatiku tercinta~

73 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 74

Walau hanya nada sederhana~


Izinkan ku ungkap segenap rasa dan kerinduan~
Ahdan menyanyi dalam tatapan kosong membuat
seisi mobil terisak, tidak terkecuali ayah Fatma yang
duduk disamping anaknya, Farhat, yang sedang
mengemudi.
―Kemana? Harusnya belok kanan! Kenapa terus?‖
Ahdan memerhatikan sekitarnya dengan gelisah. ―Hat,
kenapa terus?‖ Ahdan mulai terlihat ingin memberontak
ketika sadar bahwa Farhat sedang membawa mobil itu
di jalan yang salah.
―Kita lewat jalan tikus, Dan. Lebih cepat sampai
kalau lewat sini.‖ Suara Farhat mulai bergetar tak
kuasa menahan tangisnya.
―Ayah, Fatma lagi tunggu Ahdan kan?‖ Ahdan
mulai menatap kosong sekitarnya.
―Iya Ahdan, iya.‖ Ayah Fatma mencoba menjawab
sebisanya dengan suara serak menahan tangisnya.
―Bu, Fatma lagi tunggu Ahdan kan?‖ Ahdan lalu
bertanya pada Ibu Fatma yang sedang terisak di
sampingnya.
―Pasti, Ahdan.‖ Ibu Fatma menggenggam erat
tangan Ahdan.
Kurang lebih setelah dua puluh menit akhirnya
mereka sampai tujuan. Ahdan yang terlihat bingung lalu
turun paksa dari mobil dengan cepat ketika melihat Elif
mendekat.
―Mana istriku, Elif? Kamu bawa dia kemana?‖
Ahdan menarik dan mencengkram kerah Elif kasar
seperti siap meninju Elif.
―Ahdan!‖ Farhat menarik Ahdan agar melepas
cengkaramannya pada kerah Elif.
―Dia ngambil istri gue, Farhat!‖ Ahdan mencoba
membela, menatap galak Farhat seakan siap menerjang
siapapun yang menghalanginya untuk menemukan istri
yang begitu dia cintai.
―Ga, Ahdan. Elif ga pernah ngambil Fatma.‖ Untuk
kesekian kalinya Farhat mencoba menenangkan Ahdan
yang sudah bertingkah seperti orang kehilangan akal.

―Kenapa kita kesini? Ini pemakaman bukan


bandara! Istri gue dimana, Hat?‖ Ketika sadar berada
dimana, Ahdan kembali memberontak namun sekali lagi
Farhat kembali memeluk Ahdan lebih erat agar dia
tetap tenang.
―Igstifar Ahdan, istigfar. Kamu itu lagi
4
phantasmagoria.
Ahdan kembali menangis terisak sambil memeluk
iparnya erat-erat.
Kurang lebih sepuluh lagkah dari tempat mereka
berdiri, bidadari Ahdan sedang terbaring penuh damai
di sana. Diatasnya terdapat sebuah nisan bertuliskan
Fatma Ayuningtyas Husyein, dimana tanggal
kematiannya sama persis dengan tanggal kelahiran
putrinya, Aisyah.

75 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 76

Tiga bulan yang lalu pasca melahirkan putrinya,


Fatma ternyata mengalami pendaharan yang hebat dan
tidak berhasil diselamatkan. Hari itu Fatma meninggal
dunia, meninggalkan Ahdan dan seorang putri cantik
yang telah mereka sepakati akan diberi nama Aisyah.
Selama sebulan setelah kepergian sosok yang
sangat dicintainya, Ahdan begitu terpukul, dia begitu
merasakan kehilangan yang mendalam. Awalnya semua
terasa normal hingga seminggu setelah hari ke-40
Fatma, Ahdan menunjukkan sikap aneh, dia seperti
menganggap Fatma masih ada dirumahnya, tidur
bersamanya, ikut makan bersamanya. Ahdan
berhalusinasi bahwa Fatma masih hidup dan
menemaninya selama ini mengurus anak mereka. Ini
sudah yang ketiga kalinya Ahdan berteriak
memberontak mencari Fatma yang menurutnya tiba-
tiba hilang dari kamarnya. Dia bahkan tidak pernah
sadar jika Uminya telah ikut hidup bersamanya persis
setelah Fatma meninggal. Bahkan terkadang saat
bekerja di kantor, tiba-tiba sikapnya berubah membuat
teman-temannya merasa kalau dia sudah gila.
Setelah dipaksa berkali-kali dengan keluarga
Fatma dan setelah bermimpi Fatma datang
menemuinya, Ahdan akhirnya setuju untuk bertemu
Psikiater. Dalam mimpi itu Ahdan melihat istrinya
sedang memakan kebab di atas Yatch yang pernah
mereka naiki di Istanbul. Fatma tersenyum melambai
kearah Ahdan yang sedang berlari untuk segera
memeluk istrinya yang begitu dia rindukan.
―Sayang, jangan pergi.‖ Kata pertama yang keluar
dari mulut Ahdan itu membuat Fatma melepaskan
pelukan suaminya.
―Aku tidak pernah pergi, Ahdan.‖ Fatma mengusap
lembut pipi Ahdan sambil tersenyum membuat hati
Ahdan semakin sakit. Fatma kemudian memeluk erat
Ahdan lalu mengusap lembut kepala Ahdan seraya
berbisik, ―Ahdan, Tuhan tidak hadir disaat kita merasa
bahagia saja, justru ketika Ia memberikan rasa sakit,
itulah tanda bahwa Ia sungguh menyayangi kita.‖
Setelah itu Ahdan terbangun lalu menangis
histeris memeluk lututnya. Setelah bertemu psikiater,
akhirnya Ahdan didiagnosis menderita Skizofrenia yang
merupakan gangguan kesehatan mental jangka panjang
yang menyebabkan halusinasi, delusi, kekacauan pikiran,
dan perubahan perilaku atau sederhananya penderita
kesulitan membedakan kenyataan dengan pikirannya
sendiri.

***
Setahun kemudian, Ahdan kini menjalani hidupnya
secara normal setelah meminum banyak obat dan
mengikuti berbagai terapi. Setiap bulan, setiap tanggal
22 Ahdan selalu ke makam istrinya, menceritakan
segala hal terutama tentang perkembangan anak
mereka. Gigi Aisyah mulai tumbuh, Aisyah sudah bisa

77 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 78

mengucapkan kata ‗ma, ba, pa‘, Aisyah sudah bisa jalan,


Aisyah akhir-akhir ini menjadi lebih rewel, Aisyah habis
terkena diare dan banyak cerita lainnya. Lalu setelah
habis cerita itu, ketika ingin berpisah, Ahdan kemudian
mencium lama nisan istrinya kemudian berbisik
―Aku begitu merindukanmu.‖

1 Halo, Ahdan

2 Halo, Paman

3 Kapal Pesiar

4 Tipuan pengelihatan yang membuat kita susah membedakan mana nyata dan mana

tidak nyata
Benito Rindu Semilir Di Pastel Town,
Positano
Karya : Audrey G.H.Joris

‖ Positano mencekam dalam. Bagaikan tempat

impian yang seolah tidak nyata ketika Anda di sana dan


menjadi amat nyata sesudah Anda meninggalkannya.‖ ~
John Steinbeck 1953
Sejak pagi, turis tak henti-hentinya lalu lalang.
Ada yang belanja pernak- pernik khas Positano, kota di
pesisir pantai Amalfi – Italia.
Kota dengan julukan Mahkota pantai Amalfi begitu
terkenal di mata turis dunia.

Jajaran rumah yang seakan menempel


diperbukitan curam, berwarna pastel yang cerah
dengan ribuan anak tangga serta jalan sempit yang
menghubungkan satu tempat dengan tempat yang lain.
Seperti pelukis yang menyapukan kuasnya di
kanvas, berhati-hati dalam pemilihan warna. Tidak
semudah itu untuk memadukan berbagai warna yang
ada. Harus jeli, supaya ada kesatuan warna yang indah
dipandang mata. Penuh cita rasa dengan warna pastel
untuk padu padan warna-warni yang tetap lembut
terlihat.

79 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 80

Pemandangan laut Mediterania yang membentang


luas sejauh mata memandang.

Bangunan tua berjejer dipinggiran tebing terjaga


dengan baik. Benteng-benteng yang masih kokoh
peninggalan jaman dahulu, seperti benteng Gallo1,
dahulu berfungsi menjaga kota dari serangan bajak
laut.
Kota yang tak pernah sepi, dengan lampu
memukau di malam hari.

Pantai selalu penuh dengan pemalas-pemalas


berbaring sambil menikmati mentari yang
meninabobokan.
Kios-kios suvenir khas Kota Positano berlomba-
lomba membereskan dagangannya supaya terlihat
cantik dan menarik perhatian para pembeli. Harus
sudah siap menjual dagangan primadonanya. Ada sandal
kulit handmade yang terkenal, dan banyak pakaian
katun di setiap kios. Hanya sebuah ―kain katun‖
dibentuk menjadi berbagai model pakaian. Sebegitu
terkenalnya. Dibuat dengan kualitas tinggi. Menarik
perhatian para turis untuk datang ke Positano,
berlomba-lomba untuk memakai ―Moda Positano2‖ itu.

***

―Scusa papà3, hari ini aku tidak bisa datang! Kantorku


ikut pameran di Ravello.4 Papà 5
datang saja kemari,
sambil melihat pameranku di Terrazza dell‘infinito6!
Kita menginap di dekat sini ada Villa Cimbrone7‖, sahut
Maurice agak berteriak di telpon genggamnya bersaing
dengan suara deru mobil.
Sambil berjalan cepat terlihat raut wajah Maurice
lebih tegang dari biasanya. Sesekali menghela nafas
dan menyentuh lehernya terasa seperti ada keringat
yang menetes. Sambil melihat dengan hati-hati jalan
raya yang akan diseberangi.
―Kenapa aku bisa lupa semua janjiku dengan Papà!‖

***

Akhirnya Benito bisa menikmati udara kota


kelahirannya Positano. Sambil berjalan perlahan
berhati-hati menyusuri pinggiran pemukiman. Meniti
tangga perlahan melewati lorong-lorong. Benito
8
membawa Gambretto jualannya. Melalui pemukiman
dengan bangunan menjulang langsing ke atas dengan
pertokoan yang ada dibawahnya. Sambil memandang dan
meraba tembok yang sedikit terkelupas, benito
berpikir ―apa yang ingin kau ceritakan? Peristiwa apa
saja yang sudah kau alami? Berikan kekuatanmu untuk
kakiku yang lemah ini!
Lorong pemukiman di sini berkelok-kelok. Tapi apa
boleh buat hanya jalan pintas ini yang Benito dapat lalui
untuk membawa dagangan nya ke area penjualan suvenir

81 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 82

di Spaggia Grande 9yang berjarak beberapa meter dari


pinggiran pantai.
Sepanjang jalan raya sempit dan berkelok
tajam, Benito menyeberangi beberapa kedai kopi yang
masih berberes untuk menyambut para tamu. Selalu
memberikan penampilan terbaik, dengan pagar-pagar
cantik berwarna putih. Saling berlomba antara kedai
satu dengan kedai yang lain. Memanggil para tamu untuk
datang masuk mencicipi menu khas yang ada di masing-
masing kedai. ―Aku tertarik!‖ pikir Benito.

Pemandangan biasa, melihat banyak turis datang


sambil menyeret koper menuju tempat penginapan.
Banyak bertebaran di lereng bukit dengan logo masing-
masing memancing keinginan para turis untuk datang
menginap.
Karena jalan raya sempit dan curam, tidak banyak
lalu lintas yang lalu-lalang karena jalan terlalu berkelok
tajam, sehingga sering terjadi kecelakaan. Kendaraan
yang melewati harus berjalan lambat. Kemacetan sering
terjadi apabila ada bis turis lewat, berjalan lebih
lambat karena banyak kendaraan parkir di sepanjang
jalan. Pilihan berjalan kaki banyak dipilih turis, karena
pemandangan indah dapat dilihat sambil menyusuri
pinggiran bahu jalan raya.

Banyak biro travel mengajak para turis menyusuri


lorong-lorong pemukiman, karena jalur ini adalah jalan
pintas menuju tempat keramaian di pinggir pantai.
Sambil tak lupa berkunjung ketempat bersejarah
10
seperti Gereja Santa Maria Assunta yang menjadi ciri
khas Positano. Gereja dengan kubah berwarna hijau
kekuningan ini terkenal sebagai patokan untuk para
turis kalau mereka sudah sampai di Kota Positano.
Dilorong sempit ini, tidak seorangpun saling
mengenal satu sama lain tetapi semua saling menyapa,
tersenyum ramah. Benito harus selalu tersenyum
dengan riang sambil menawarkan dagangannya.
Benito selalu takjub dengan kota kelahirannya.
Kota kecil dengan penduduk lebih dari 4000 jiwa
sampai sekarang masih bertahan. Menyimpan kekayaan
warisan budaya dari kekaisaran Romawi

***

Mengenang kembali perjalanan hidup Benito,


sebelum kembali ke Positano tempat kelahirannya,
tidaklah mudah! Perjuangan berat dilaluinya untuk
sampai di titik ini. Teringat pengalaman pertama Benito
mulai mencari kerja di kota Amalfi, juga tempat Benito
―membuang‖ masa muda … percintaan ...
keterpurukkannya….
Kehidupan yang lebih nyaman dibandingkan dengan
tempat Benito sekarang ini di Positano. Karena di usia
rentan harus menyesuaikan diri dengan perbedaan yang
ada. Baik lingkungan perumahan, teman-teman baru,
juga tempat usaha Benito dan Marriana yang baru.

83 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 84

Mulai dari titik awal lagi untuk Benito berusaha


didalam bisnis keluarga. Bisnis katering Marriana yang
tadinya maju dan berhasil di Amalfi, sekarang mulai
dari nol lagi.
Tubuh Benito yang tadinya sudah terbiasa dengan
udara Amalfi, sekarang harus menyesuaikan dengan
semilir di Positano. Walaupun dengan iklim Mediterania
yang hangat tidak terlalu banyak perbedaan antara
kedua kota tesebut. Kehangatan musim panas dan
musim dingin yang ringan dan tidak terlalu ekstrem.
Udara memang lebih dingin, karena angin lebih bertiup
kencang dipinggiran pantai tempat Benito menjajakan
Gambretto.
Masa muda dengan tubuh yang masih kuat, apa
saja Benito kerjakan untuk menopang kehidupan
keluarga. Mulai dari awal bekerja sebagai loper Koran.
Supir taksi argo atau supir taksi panggilan! Benito
lakukan di malam hari, karena pelanggannya kebanyakan
orang yang mabuk di bar-bar. Semua pekerjaan
dilakukan dengan semangat, tidak mudah berputus asa.
Walaupun gagal, bangun … berdiri … mencoba lagi.
Sampai akhirnya Benito mendapat pekerjaan lebih baik
lagi dari yang terahir di kerjakan.
Sebagai tenaga administrasi penjualan di
perusahaan kertas, Benito tidak hanya menulis
dokumen, tapi juga sebagai tenaga penjual. Perusahaan
ini adalah perusahaan yang memproduksi kertas tebal,
semua produk pembuatannya memakai tangan. Produk
11
kertas tebal ini terkenal dengan nama Bambagina.
Benito sebagai pemandu wisata harus hapal dan
mengetahui tempat-tempat pariwisata yang terkenal di
Amalfi. Setelah selama ini hanya duduk dibelakang meja
sebagai tenaga administrasi penjual, mau tidak mau
Benito harus belajar mengejar ketinggalannya.
Menambah wawasan ilmu pariwisata, dengan belajar
secara informal. Benito banyak belajar dari teman-
teman baru di dunia pariwisata. Yang paling
mengasikkan ditempat kerja ini adalah membawa
rombongan pembuat film untuk mengetahui lokasi-
lokasi yang bagus seperti kebun bunga dengan balkon
yang luas seperti Terrazza dell‗infinito, teras yang
menghadap lauta Mediterania. Banyak tempat indah
bisa Benito tawarkan kepada turis mancanegara.

Karena umur mulai beranjak tua seiring


perkembangan yang ada, Benito mulai mencari
pekerjaan yang bisa dilakukan dengan keterbatasan
fisiknya. Dengan upah yang di pikir cukup untuk Benito
dan Marriana, akhirnya pekerjaan sebagai pekerja di
kebun diambilnya.

Pekerjaan ini tidak banyak menuntut kehadirannya.


Pekerjaan yang dilakukan selalu sama pada saat panen
raya. Yang dilakukan hanya memilih dan memetik lemon
yang terbaik di kebun bertingkat sepanjang pantai.
Perkebunan Lemon yang memproduksi buah lemon

85 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 86

menjadi minuman beralkohol merk Limon Cello Liqueur12,


minuman tradisional khas Italia. Pekerjaan ini hanya
dilakukan di bulan Februari dan bulan Oktober di
masa-masa panen lemon yang terbaik.
Sampai batas titik jenuh, akhirnya Benito
mengundurkan diri. Rasanya cukup sudah!
Badan ini sudah tak mau diajak ―kompromi‖, tak
bertenaga. Hampir sepuluh tahun menghabiskan waktu
disini di perkebunan tercinta. Menjelang umur 60 tahun
ketika mulai berpikir untuk kembali kekota asal
Positano. Benito ingin menghabiskan masa tua dan sisa
hidupnya di kota kelahirannya.
Sambil mempersiapkan ―keberangkatan‖ nya.
Terkadang kelucuan terjadi antara Benito dan
13
Marriana, ―Mio Marito ! Jangan tinggalkan aku sendiri,
bawa aku bersamamu ―, rajuknya.
Rencana Benito ingin kembali kekota kecilnya
tidaklah mudah. Benito takut terjadi penolakan,
terutama dari Marriana, istrinya yang sudah terbiasa
dengan kehidupan di Amalfi. ―Kamu terlalu banyak
menuntut‖, kadangkala kalimat ini diucapkannya.
Dengan kehidupan Benito sekarang ini memang
sudah termasuk cukup. Hanya dengan hasil katering
keluarga yang dikelola Marriana, kebutuhan sekeluarga
tidak pernah kekurangan. Hanya satu yang menjadi
permasalahan, biaya untuk putri Benito dan Marriana,
Lisbeth. Lisbeth mahasiswi semester lima sekarang
masih berkuliah di fakultas kedokteran Universitas
Sapienza14 Roma. Walaupun Maurice sudah berjanji
akan membantu membiayai adiknya, tapi Benito dan
Marriana sebagai orang tua tidak mau melepaskan
tanggung jawab itu. ―Anakku Maurice yang baik‖,
Arsitek yang handal!
Marriana sesekali melihat jam di dinding,
menggiti bibir sambil tanggannya tak pernah berhenti
mengetukan meja, serasa tak percaya kalau waktu
sudah berlalu dengan cepat. Benito memperhatikan
kelakuannya karena sedikit mengganggu ―acara‖ minum
kopinya. Sambil membalikkan Koran keluaran hari ini,
Benito menatap Marriana dengan mesra dan bertanya
kenapa ―Mia Moglie15?‖
―Tidak apa-apa Papà!‖

―Selama ini, biasanya tiap minggu selalu menerima


telpon dari anak-anak kesayangannya tepat waktu,
minggu ini sepertinya terlupakan. Apa mereka ada
masalah di kantor dan tempat kuliah? sehingga tidak
ada waktu untuk menghubungiku,‖ gumamnya.
Sudah sejak pagi Marriana mondar-mandir antara
dapur dan ruang tamu. Berlari tiba- tiba serasa seperti
mendengar dering telpon. Tak berapa lama kemudian
kembali lagi kedapur dengan jalan sedikit gontai. ―Ah,
hanya pesanan katering untuk minggu depan!‖ Sedikit
kekecewaan terlihat di wajah tirusnya. Rasanya tidak
cocok dengan mata bulatnya. Marriana seorang
perempuang tegar terlihat dari sosok tubuh

87 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 88

langsingnya. Dengan kekuatan yang masih ―menempel‖


di badannya.
―Marriana ibu dari anak-anaku,‖ gumam Benito.
Sejak muda sudah terbiasa bekerja keras, karena
tuntutan keluarga mengharuskan anak perempuan bisa
melakukan apa saja. Mulai dari memotong kayu.
Memasak didapur. Harus bisa menjadi istri yang serba
bisa.
Apalagi di saat keluarga mengalami masa sulit.
Dengan keahliannya di dapur menolong masa-masa itu.
Banyak yang datang memesan katering dari Marriana.
Resep keluarga yang dikuasainya, membuat usaha
katering keluarga menjadi terkenal. Salah satu
andalannya adalah Gambretto, masakan udang dicampur
dengan Szucchini 16terong Italia dan keju yang
dipanaskan. Hampir setiap hari ada saja
pesanan masuk, sedikit kewalahan sebetulnya! Tapi
karena tidak mau mengecewakan pelanggan setia,
Benito dan Marriana selalu menerima setiap pesanan
mereka. Sebagai pegusaha katering, selalu makanan
terbaik diberikan.
Berinovasi terus dengan menu-menu keluarga
yang ada disesuaikan dengan cita rasa Internasional.
―Beruntung, aku bisa menjadi seperti sekarang ini!
Bisa menghadapi masalah apapun didalam perjalanan
hidupku‖, ujar Marriana! Mengingat jasa-jasa orang
tuanya dulu begitu keras mendidiknya.
***
Pertama kali Benito bertemu dengan Marriana
dipabrik kertas tebal, tempatnya bekerja. Gadis
tercantik yang Benito temui, idaman setiap pria.
Pertemuan yang tidak disengaja sebetulnya. Katering
keluarga Marriana terpilih untuk mengisi lowongan
kantin yang terbengkalai di perusahaan. Katering yang
terpilih harus bisa mempersiapkan menu makan siang
untuk para pegawai yang bekerja. Waktu itu sebagai
pemuda yang baru tumbuh dan baru mengenal artinya
cinta, tak pernah terbayangkan kalau Benito akan
bertemu kekasih hati diperusahaan tempatnya bekerja.
Sebetulnya tidak ada yang berkesan pada saat itu.
Hanya perkenalan biasa layaknya muda-mudi
pada jaman itu. Pada saat itu banyak pemuda yang
mengejar Marriana, karena kecantikkannya. Jadi Benito
tidak terlalu menjadi perhatiannya.
Seiring waktu, pertemuan cinta Benito dan
Marriana dilakukan ditempat bekerja. Marriana dengan
berbagai alasan meminta ijin keluarganya untuk
mengantar katering, dan datang menemui Benito di
pabrik.
Pernah Benito bertanya kepada Marriana,
―mengapa Engkau jatuh cinta kepada Aku?‖
―Aku jatuh cinta karena Kamu pemuda yang
sopan dan memiliki kesederhanaan,‖ jawab Marriana.
Membina rumah-tangga dengan Benito bertahun-
tahun, hanya dengan tatapan mata Marriana sudah

89 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 90

mengerti apa yang Benito mau. Sebagai istri yang taat


tak pernah mencari konflik yang berat. Moto yang
sering Marriana katakan yaitu sebagai perempuan yang
sudah bersuami harus menurut perkataan suami sebagai
kepala dan imam di dalam keluarga. Itu sudah tertulis
didalam ajaran agama yang dianutnya.
Sebagai istri, asisten rumah tangga, juru bicara
keluarga tugas Marriana memang begitu berat. Tetapi
semua tidak pernah dikeluhkannya.

***

―Lisbeth jangan lupa besok pulang kerumah,


ada yang mau papà bicarakan!‖ ―Baik Mamma17, besok
aku pulang!‖ Sambil menahan kantuk Lisbeth menerima
telpon, sesekali menguap lebar. Membuat wajahnya
yang kecil mungil menjadi tak beraturan.
Menyeringai kecil, sambil sesekali menyentuh hidungnya
takkala mendengar teriakan mamma di telpon.

Kebiasaan mamma menghubunginya selalu


dilakukan sejak Lisbeth dan Maurice tinggal jauh di
kota Roma.

Kecemasan yang tak beralasan pikir Lisbeth.


Hanya terlambat memberi kabar, mamma seperti
kebakaran ―jenggot‖ saja, sambil menguap Lisbeth
mengiyakan pertanyaan yang ada, ―Iya aku sudah
sarapan … mandi sebentar lagi… tadi malam banyak
tugas yang harus kuselesakan sehingga larut tidurku,
Maa!‖

***

Anak-anak tadi malam sudah sampai dirumah.


Bangun pagi ini bisa melihat wajah kesayangan
berkumpul di ruangan keluarga. Sambil sarapan pagi,
Benito memutuskan hanya ingin membicarakan hal yang
ringan saja … seperti kegiatan apa yang anak-anak
lakukan selama ini.
Sudah lama tidak berkumpul seperti ada ―benang
merah‖ yang hilang dari kehidupan keluarga. Sejak
Maurice dan Lisbet dewasa, mereka mempunyai gaya
kehidupan tersendiri. Jarang berkumpul… banyak waktu
pertemuan yang bisa dihitung dengan jari. Kecuali
datang pada waktu ada acara besar keluarga di tanggal
merah , seperti Natal dan Paskah.
Tidak seperti waktu mereka kecil, kebersamaan
itu dirasakan hampir setiap hari.

―Bagaimana kabarmu, Nak! Benito bertanya


kepada Maurice.

―Baik Papà!‖

―Perumahan apa yang sedang di bangun saat


ini?‖

91 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 92

Maurice mengambil nafas panjang sambil


menjawab pertanyaan, ―Tidak ada yang luar biasa,
sekarang kantor sedang mengikuti pameran saja.‖
―Tim kantor sudah dibentuk, jadi aku bisa mampir
kemari meninggalkan pameran, tanpa takut pameranku
terbengkalai.‖
―Kapan papà mau melihat-lihat?‖Tanya Maurice.

―Kita menginap saja dekat tempat pameran.‖

―Ada apa papà, sepertinya ada yang serius?‖


Maurice mulai bertanya dengan serius.

―Tidak apa-apa tidak ada yang serius, Nak!‖

―Papà hanya ingin meminta pendapat kalian saja.‖


Benito menjawab Maurice dengan hati-hati.
―Sepertinya serius sekali, sampai aku dan Lisbeth
disuruh pulang kerumah?‖ jawab Maurice.
Lisbeth memperhatikan Benito dan Maurice yang
lagi berbicara, sesekali mengambil rambut yang
menempel di bajunya. ―apa masalah mengenai pilihan
kuliahku lagi ya,‖ gumamnya. Terlalu berat kata mereka.
Benito melihat Lisbeth sepertinya cemas dengan
pertemuan ini, karena terahir pertemuan yang
dilakukan ketika Benito dan Marriana adalah menentang
pilihannya mengambil kuliah di Kedokteran. Tetapi
pilihan sudah diambil. Lisbeth harus bertahan sampai
selesai.
Kadang Benito dan Marriana terlalu keras dalam
mendidik Lisbeth. Apa saja yang ingin dilakukannya
harus selalu dengan ijin mereka. Terlalu takut, kalau
anak perempuan mereka mengambil jalan kehidupan
yang salah. Walaupun dalam kenyataannya, Lisbeth
mempunyai semangat dan tekad yang kuat dalam
menghadapi persoalan. Apalagi persoalan mencari calon
pendamping hidup yang sering Marriana teriakkan,
―Umurmu sudah tidak muda lagi, Nak!‖
―Bukan hal yang mengkhawatirkan sayang!! Benito
menegaskan kembali jawabannya, karena melihat
kecemasan di wajah Istri dan Anak-anaknya.
―Hanya ingin meminta pendapat kalian saja.‖

―Papà ingin pulang ke Positano, dan berhenti


dari perkebunan.‖

―Sekarang perkebunan memerlukan banyak tenaga


muda! Usia papà sudah tidak muda lagi, sudah tidak ada
―tenaga‖ untuk memetik lemon!‖
―Walaupun perusahaan masih membutuhkan tenaga
pengawas tetapi papà sudah mengambil keputusan untuk
beristirahat saja. Ingin menikmati masa pensiun!‖
―Bagaimana menurut Kalian?‖ Benito memberikan
penjelasan panjang lebar untuk pertemuan ini.
Terasa seperti sidang kecil penuh argumen yang
cukup mengejutkan.

―Pulang ke Kota Positano, Mau ngapain papà


disana? Kita hanya bisa menjual ikan atau udang!‖
Marriana sedikit berteriak tak percaya dengan apa
yang didengarnya.

93 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 94

Benito tidak merasa terkejut dengan jawaban


Marriana. Karena sudah Benito perhitungkan,
penolakkan pertama biasanya dari orang terdekatnya.
―Marriana, istriku pasti sedang memikirkan usaha
kateringnya. Sudah bertahun-tahun dijalaninya. Tidak
begitu mudah untuk menutup usahanya. Apalagi dengan
keberhasilannya di Kota Amalfi, berapa banyak
pelanggan yang bisa hilang, kalau dia pindah ke Kota
Positano.
Benito melihat Marriana perempuan berwajah
mungil kecil belahan jiwanya sedikit terperangah,
alisnya sedikit terangkat. Mata bulatnya terbelalak,
dengan nafas sedikit tertahan. Sesekali menggigit
bibirnya seperti tak percaya melihat kearahnya.
―Apa yang harus kulakukan?‖
―Bagaimana dengan usaha kateringku.‖
―Berapa pelanggan yang harus aku tinggalkan?‖
Banyak pertanyaan yang ingin disampaikan oleh
Marriana. Tapi semua hanya bisa tertahan di bibirnya.
Tak berani diucapkannya. Marriana harus menurut
apakata Benito. Lebih baik mengikuti saja
keputusannya. Tentu hal ini sudah dipikirkan matang-
matang sebelum mengambil keputusan.
Sambil menghampiri dan memeluknya Benito
berkata dengan lembut,‖Mia Mogle, sudah cukup
tabungan kita, untuk membuka kedai makan kecil di
Spiaggia Grande!‖
―Jangan takut, banyak turis disana. Aku sudah
mencari kedai untuk dirimu!‖
―Dengan keahlianmu, aku percaya dalam waktu
yang tidak terlalu lama, bisa mempunyai pelanggan
baru.‖

―Pelanggan lama yang kangen dan rindu dengan


masakkanmu pasti akan datang berkunjung ke kedai
kita!‖
―Tempat yang aku pilih lebih dekat ke pantai.
Kalaupun turis mau ke pantai Farnillo18, mereka juga
harus melewati kedai kita‖, Benito tak berhenti untuk
meyakini Marriana, bahwa keputusan yang di buat pasti
berhasil.
―Baiklah Mio Marito‖, lirihnya sedikit sendu.
Tak ada lagi perlawanan.

Benito menatap Maurice dan Lisbeth, mereka


tertunduk lesu. Seperti banyak yang ingin mereka
ungkapkan.
Benito bertanya, ―Bagaimana anak-anak? Apa ada
yang mau kalian sampaikan? Serasa ‗hakim‘ yang ingin
menjatuhkan palu, supaya keputusan cepat diambil.
―Boleh ya papà pulang ke kampung halaman?‖
Sekilas dia teringat sewaktu musim lemon
dibulan Februari dan Oktober. Biasanya Maurice pulang
kerumah, membantu memetik lemon dikebun. Kadang
jawabannya, ―Kalau ada waktu luang ya, papà!‖

95 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 96

―Baiklah tidak apa-apa hanya pekerjaan biasa yang


papa lakukan,‖ jawab Benito dengan sedih. Berharap
supaya mereka tidak merasa terbebani dengan
permintaannya. Benito tidak mau terlalu bergantung
dengan anak-anaknya. Cukup, hanya kasih sayang saja
yang dapat dia berikan untuk Maurice dan Lisbeth.
Benito bersyukur untuk keberhasilan Maurice dan
Lisbeth , betapa cepat pencapaian cita-cita mereka di
usia muda. Untuk masa sekarang keinginan dia dan
Marriana melihat Anak-anak berbahagia, berhasil dalam
pekerjaan dan kuliahnya.
Juga menunggu mereka berumah tangga adalah hal
yang terutama yang mereka inginkan, sudah tak sabar
ingin menimang cucu. Ingin memaksakan kehendak
rasanya tak mungkin. Masing-masing punya keinginan
yang berbeda. Benito tak ingin melepaskan lagi ―benang
merah‖ diantara mereka berempat. Apalagi kepindahan
ke Positano, menjadikan jarak mereka menjadi lebih
jauh. Walaupun bisa ditempuh dengan transportasi yang
ada, seperti bis, atau kendaraan kecil seperti taksi.
Sebagai kepala keluarga, dia memberikan sedikit
―perintah‖, agar anak-anak bisa mengambil waktu luang
untuk datang ke Positano bertemu mereka. Jangan
hanya memperdulikan diri mereka sendiri.
Akhirnya keluar juga jawaban dari Maurice dan
Lisbeth,―Kami menurut saja papa!‖ Perlahan mengiyakan
untuk keputusan yang diambil. Tidak bisa berkata
banyak karena kehidupan mereka sekarang ada di
Amalfi dan Kota Roma. Kalau naik bis dari Kota Amalfi
ke Positano hanya menempuh waktu 3jam. Dengan
berbagai kesibukan di kantor dan tempat kuliah, hanya
sedikit waktu yang bisa mereka berikan untuk pulang
bertemu Papà dan Mamma panggilan kesayangan untuk
Benito dan Marriana.

***

Sudah dua minggu sejak kepindahan Benito dan


Marriana ke Positano.Tak henti- hentinya saudara dari
Benito datang menjamu mereka, baik saudara dari pihak
ayah maupun pihak ibu. Pesta penyambutan diadakan
supaya keluarga saling mengenal lebih dekat lagi.

Kedai yang dijanjikan untuk istrinya pun sudah


―lunas‖ kedai tercantik yang pernah Benito temui. Tak
sengaja menemukannya. Tersembunyi dibelakang
gantungan pakaian jualan dari kedai disebelahnya.
Kedai itu sudah lama dijual karena pemiliknya pindah
kekota lain. Dengan ciri khas perpaduan arsitektur
oriental dan barat dengan gaya ―Arab-Norman19‖nya,
dari jauh terlihat begitu cantik dengan pagar putih dan
keranjang pot bunga yang Benito gantungkan.
Banyak yang datang sepertinya penasaran
20
dengan ciri khas kedai Mamma Mar .

Setiap hari kedai ramai terus, tidak pernah sepi


dari pengunjung. Kebanyakan memang turis

97 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 98

mancanegara yang datang ingin mencicipi masakan khas


Italia.

―Amore mio, Marriana21.‖ Masakkannya membuat


lidah bergoyang, dengan masakan spesialnya
Gamberetto yang merupakan kombinasi udang, zucchini
22
dan keju Fior de latte sekarang sangat terkenal di
Positano.

Begitu gembira terpancar di wajah Mio Amore


23
karena tak pernah membayangkan waktu mengambil
keputusan untuk kembali ke Positano mengubah seluruh
hidupnya. Lebih berkecukupan dengan adanya rumah
―pastel‖nya, taman luas dan balkon dengan pemandangan
laut lepas.
―Tesoro Mio Grazie24‖, telisik Benito. Kekasih
hatinya, tersenyum kecil tersipu malu. Sedikit merajuk
menggeliat geli sambil mengusap telinganya.
―Sei il benvenuto, amore mio25‖ ~ fin

1 Nama menara penjaga kota dari serangan bajak laut.

2 Model atau ciri khas dari positano

3 Maaf Papa

4 Nama kota di Italia.

5 Ayah

6 Nama Teras yang luas dengan pemandangan laut Mediterania

7 Villa Cimbrone: Penginapan.


8 Makanan kombinasi udang, terong dan keju mozzarella yang menggunakan susu

sapi segar.

9 Pantai di Positano, dengan bermacam kios souvenir.

10 Nama Gereja yang terkenal di Positano dengan kubah warna hijau kekuningan.

11 Kertas tebal yang dibuat dengan tangan.

12 Minuman tradisional Italia yang beralkohol

13 Suamiku

14 Kebijaksanaan atau pengetahuan.

15 Istriku

16 Terung Italia

17 Ibu

18
Farnillo: Nama pantai di Positano bersebelahan dengan pantai Spiaggia Grande
19 Arab-Norman : Sebutan ciri arsitektur Oriental dan barat.

20 Ibu Mar

21 Cintaku , Marriana

22 susu cream terbuat dari susu sapi segar.

23 Cintaku

24 Sayangku, terimakasih.

25 Sama-sama, Sayangku.

99 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 100

Rona Jingga Angkasa Den Haag


Karya : Brilianti Ananda Prasetyo

― Sebentar lagi kita akan berpisah,‖ ucapku

sambil tertunduk lesu.


Alois terdiam mendengarnya. Ia menatapku
dengan tajam, bagai menyelidik.
―Berpisah? Kau hendak pergi kemana, Leona?‖
Aku hanya menghela nafas dengan panjang.
Pertanyaan Alois rasanya tidak mampu kujawab.
―Leona?‖ Alois memegang bahuku sambil
menatapku dengan tajam. Aku tetap tertunduk, tak
berani memandang wajah Alois. Di atas sana, langit mulai
kelabu. Angin bertiup cukup kencang dan guntur sesekali
terdengar di kejauhan.
Alois kini terdiam. Ia duduk di sebelahku sambil
menundukkan kepalanya. Sesekali ia menghela nafas
dengan panjang. Aku tetap diam, tak sekalipun menatap
Alois. Aku tahu Alois pasti sangat menantikan jawaban
dariku. Tapi apa daya. Aku belum ingin menceritakannya
sekarang.
―Baiklah,‖ ucap Alois setelah terdiam cukup
lama. Aku mengangkat wajahku sebentar. Sebuah
taman bunga yang asri dan indah terhampar dengan luas
di hadapanku. Beberapa kumbang dan kupu-kupu
terlihat terbang dengan bebasnya. Bunga-bunga banyak
yang bermekaran, meskipun tampak beberapa
diantaranya masih ada yang malu-malu di balik
kuncupnya. Masih enggan untuk menunjukkan
kecantikannya. Masih belum saatnya, mungkin itu yang
dikatakan oleh kuncup-kuncup bunga itu.
Aku menatap hamparan taman bunga itu dengan
wajah sendu. Sudah puluhan kali aku mengunjungi
tempat indah ini. Wangi aroma bunga yang
menyegarkan, puluhan kupu-kupu yang menawan, dan
sebuah kolam ikan kecil di tengah taman selalu berhasil
mengembalikan kejernihan otakku, memulihkan rasa
penatku. Aku selalu merasa senang setiap mengunjungi
taman yang asri ini. Apalagi, jika ditemani oleh Alois,
sahabat laki-lakiku sedari kecil.
―Tak apa jika kau masih belum ingin bercerita,‖
lanjut Alois. Aku kembali menunduk sambil menatap
kedua kakiku yang memakai sneakers berwarna ungu.
Aku ingat sekali, sneakers ini merupakan hadiah dari
Alois saat hari ulang tahunku yang ke-17. Satu tahun
yang lalu.
***

Saat itu, aku yang baru saja terbangun dari


tidur merasa sangat kaget ketika mendengar ketukan
di pintu depan. Kutengok jam mungil berbentuk kucing
yang ada di sudut meja belajarku. Pukul 04.30.
―Siapa yang bertamu pagi-pagi sekali?‖ tanyaku
pada diriku sendiri.

101 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 102

Perlahan, aku turun dari atas kasur dengan


mata yang masih menyipit. Semalam, aku mengerjakan
tugas-tugas dari sekolah hingga dini hari. Begitu banyak
tugas yang harus kuselesaikan dengan segera. Maka, tak
heran jika akhir-akhir ini aku merasa sangat kurang
tidur.
Aku berjalan menuju ke pintu depan dengan
langkah perlahan dan penuh waspada. Suara ketukan
masih terdengar dengan jelas, bahkan semakin kerap.
Jantungku berdegup dengan kencang. Rasa kantukku
perlahan melenyap. Aku merasa ketakutan. Tidak
biasanya ada yang bertamu sepagi ini di rumahku.
Kuraih gagang pintu berwarna keemasan yang
terasa dingin. Hanya kuraih saja, tanpa membukanya.
Tok tok tok!
Aku terlonjak kaget. Suara ketukan itu semakin
keras. Gagang pintu kupegang erat-erat tanpa ada
keinginan untuk membukanya.
―Siapa?‖ Aku memberanikan diri untuk
bertanya. Nihil. Tidak ada jawaban. Aku semakin
merasa ketakutan.
―Siapa?‖ ulangku.
―Ehem!‖
Ada yang berdeham di balik pintu. Aku
tertegun. Rasa-rasanya, aku kenal betul dengan pemilik
suara dehaman ini. Perlahan, kusibak kelambu berwarna
putih yang menutupi jendela. Kulihat, seorang laki-laki
dengan kaos putih dan celana hitam sedang berdiri di
depan pintu. Dia tersenyum sambil menatap pintu yang
tak kunjung terbuka. Aku tertawa melihatnya.
―Alois!‖
Laki-laki itu menoleh ke arahku. Senyumnya
berubah menjadi tawa tatkala melihatku yang tengah
memandanginya dari balik jendela.

―Hai, Leona! Cepat bukakan pintu untukku!‖


Aku mengangguk lalu membuka pintu dengan
cepat. Tawa renyah Alois langsung terdengar saat
melihatku muncul dari balik pintu.

―Hai, Alois!‖ Aku langsung memeluknya dengan


erat. Alois membalasnya
―Mengapa datang pagi-pagi sekali?‖ tanyaku
sambil melepas pelukan.
Alois tersenyum.
―Karena aku ingin memberikan kejutan
untukmu!‖ Mataku berbinar mendengar kata
‗kejutan‘. Aku tahu Alois tidak pernah main-main.
Kejutan untukku pastilah sangat spesial.
Alois mengambil kotak berwarna pink dan
berpita ungu yang ia letakkan di kursi teras. Tak
ketinggalan buket mawar biru dengan ukuran yang
cukup besar.
―Selamat ulang tahun, putri cantik! Do‘aku selalu
yang terbaik untuk dirimu.‖ Alois menyerahkan kotak
dan buket bunga yang dibawanya kepadaku. Aku

103 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 104

terkejut. Sangat tidak menyangka! Alois terlihat begitu


romantis. Biasanya, Alois tidak pernah seperti ini.
Dulu, setiap hari ulang tahunku tiba, ia akan
datang ke rumahku dengan sebuah hadiah di tangannya.
Alois tidak pernah mau membungkusnya. Dia
akan langsung memberikannya padaku setelah
mengucapkan selamat ulang tahun. Sesudah itu, dia
akan langsung pulang dengan alasan ingin bermain game.

Jika sudah seperti itu, aku merasa kecewa. Aku


sangat ingin Alois membantuku membuat kue ulang
tahun untuk dimakan bersama. Tapi, apalah daya.
Akhirnya, aku membuat kue ulang tahun hanya bersama
dengan mama. Ketika kuenya sudah jadi, aku langsung
mengantarnya ke rumah Alois.

Saat itu pun, selalu mama Alois yang menyambut


dan menerima kue dari ku. Mama Alois bilang, jika Alois
sedang bermain game di kamarnya. Mendengar
penjelasan dari mama Alois, aku hanya menganguk,
tersenyum tipis, lalu segera berpamitan pulang.

Di hari ulang tahunku, selalu ada dua perasaan di


dalam hati. Pertama, perasaan senang karena hadiah
dari Alois selalu istimewa. Ya meskipun dia tidak pernah
mau repot- repot membungkusnya. Kedua, perasaan
sedih karena Alois seakan acuh dengan diriku dan hanya
mementingkan game kesukaannya. Tapi, aku hanya
memendam rasa kecewa itu di dalam hati saja. Aku tidak
pernah mau mengungkapkannya pada Alois atau siapa
pun itu.

Kini, Alois berubah! Entah bagaimana dia bisa


bersikap romantis seperti ini. Aku menutup wajahku
dengan kedua telapak tangan. Rasanya tak sanggup
untuk membendung rasa haru dan bahagia ini.

Melihatku menutup wajah, Alois kembali memeluku


dengan hangat. Sepertinya, dia bisa mengerti atas rasa
terkejutku ini.

―Sudahlah, jangan malu-malu seperti itu!


Tingkahmu justru membuatku ingin tertawa keras-
keras,‖ ucap Alois sambil tertawa. Aku ikut tertawa.

―Ini, terimalah hadiah dariku! Semoga suka.‖


Alois melepaskan pelukannya dan memberikan hadiah
manisnya itu padaku. Aku menerimanya dengan hati
berbunga-bunga.

―Terima kasih, Alois. Aku sangat senang! Kau


orang pertama yang mengucapkan selamat ulang tahun
padaku,‖ ucapku pada Alois yang disambut dengan
senyuman hangatnya.

―Hari ini, kau akan membuat ke ulang tahun atau


tidak?‖ tanya Alois. Aku menatap Alois dengan heran.

―Iya, kenapa?‖ tanyaku. Alois terlihat sangat


gembira.

105 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 106

―Aku akan membantumu!‖ ucapnya dengan nada


yang begitu girang. Aku kembali terkaget- kaget. Alois
sudah tidak secuek dulu lagi. Tentu saja aku menyambut
baik perubahan sikap Alois yang menurutku sangat
drastis ini. Segera kugandeng tangannya menuju dapur.
Kulihat mama sudah mulai menata bahan-bahan untuk
membuat kue. Melihat aku datang bersama Alois, mama
sedikit terkejut. Setelah Alois menjelaskan maksud
kedatangannya, barulah mama mengerti dan kami
bertiga mulai membuat kue bersama.

***

Langit semakin gelap. Angin berhembus kencang.


Kilat menyambar-nyambar, disusul suara guntur yang
terdengar sangat mengerikan. Burung-burung terbang
dengan cepat kembali ke sarangnya. Hawa menjadi
dingin, membuatku sesekali bergidik.
―Kau merasa kedinginan, Leona?‖
Aku terkejut. Lamunan masa lalu membuatku
terhanyut begitu dalam hingga tak menyadari jika aku
masih berada di taman bunga bersama Alois. Sebagai
jawaban atas pertanyaannya barusan, aku hanya
mengangguk pelan.

―Ini, pakailah jaketku!‖ Alois memberikan


jaketnya yang berwarna biru tua itu. Aku segera
memakainya. Tubuhku menjadi lebih hangat ketika
jaket tebal itu telah kukenakan.
―Aku akan mengantarmu pulang sekarang.
Sebentar lagi, hujan pasti akan turun dengan deras.‖
Alois beranjak dari tempat duduknya. Tangannya
memegang lenganku, mengajakku bangkit dari bangku
taman yang nyaman ini. Aku menurut, berjalan perlahan
meninggalkan taman bunga dengan Alois yang kini
tengah merangkulku. Tak ada sepatah kata pun yang
terucap dariku maupun Alois. Kami berdua sama-sama
tenggelam dalam pikiran masing- masing.

***

Hujan turun dengan sangat deras bertepatan


ketika aku masuk ke dalam kamar. Aku menghembuskan
nafas sambil memejamkan mata.
Apakah Alois sudah sampai di rumahnya ya,
batinku. Aku duduk di tempat tidurku dengan kondisi
hati yang amat kacau. Aku bingung dalam menentukan
langkah. Di satu sisi, aku sangat berat jika harus
berpisah dengan Alois, sahabatku yang begitu
kusayangi. Tapi di sisi lain, aku tidak bisa berpisah
dengan keluargaku. Ya, tiga bulan lagi, papa akan
berpindah kerja ke Den Haag, Belanda. Aku dan mama
diajak serta karena papa akan sangat lama tinggal di
Belanda, bahkan mungkin tak akan kembali lagi ke
Indonesia.

Jujur aku merasa sangat bingung ketika papa


membicarakan tentang hal itu di suatu sore yang cerah.

107 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 108

Pada saat itu, papa menanyakan kesanggupanku untuk


ikut serta dengannya ke Belanda. Aku hanya
mengangguk sambil tersenyum. Senyuman palsu tentu
saja. Aku bilang bahwa aku menyetujui rencana papa
yang akan menyekolahkanku di Belanda sana. Lagi- lagi
aku hanya bohong belaka ketika mengatakannya. Jujur
pada saat itu aku tidak bisa menolak.

Badanku terasa dingin. Jaket yang kupakai juga


sedikit basah. Sebenarnya, sewaktu perjalanan pulang
dari taman bunga menuju rumah, gerimis mulai turun.
Alois menawarkanku untuk memakai jas hujannya, tapi
aku menolak. Aku lebih nyaman mengenakan jaket tebal
miliknya.

Kepalaku terasa pusing dan suhu badanku


meningkat. Aku memutuskan untuk segera
membersihkan badan dan tidur. Aku menolak ketika
mama mengajakku makan malam bersama. Aku beralasan
jika perutku sudah kenyang dan ingin segera tidur.

Tapi, kenyataannya itu tidak mudah. Aku kesulitan


untuk tidur. Aku hanya memejamkan mata, sementara
pikiranku selalu tertuju pada Alois. Senyum Alois
seakan selalu tampak di mataku. Senyumnya yang begitu
manis dan meneduhkan hati. Aku tak sampai hati jika
harus menghapus senyuman itu dari wajah tampannya.
Entah mengapa aku begitu yakin jika kabar
kepindahanku ini pastilah akan mampu menghapuskan
senyum hangatnya itu. Aku membuka mata. Perlahan,
aku bangkit dari tempat tidur lalu berjalan menuju
meja belajar. Kubuka laci meja belajarku yang
berhiaskan beberapa stiker.

Ada berbagai macam benda di laci itu, dan


semuanya pemberian Alois. Mulai dari buku harian,
hiasan rambut, gantungan kunci, boneka tangan, hingga
stiker-stiker lucu yang dibuat oleh Alois sendiri. Aku
memandang semua benda itu dengan air mata yang
perlahan menetes. Semuanya terasa sangat berharga
bagiku, membuatku teringat akan kebaikan hati Alois
selama ini. Walaupun terkadang sikapnya begitu
menyebalkan, dia tetaplah sahabat terbaikku, sahabat
tersayangku.

Pandanganku teralih pada sebuah benda unik yang


terdapat di atas meja belajarku. Sebuah kotak musik
berwarna merah dengan bentuk yang sangat menarik.
Empat tahun lalu Alois memberikannya padaku sebagai
hadiah juara kelas. Langsung saja benda itu menjadi
kesayanganku. Alois terlihat gembira tatkala
mengetahui aku sangat menyukai hadiah pemberiannya.

Aku membuka kotak musik itu dengan tangan yang


sedikit gemetar. Sebuah boneka ballerina di dalamnya
terlihat berputar-putar ketika musik mengalun. Aku
terduduk di kursi belajarku. Kutatap kotak musik itu
lekat-lekat. Perlahan, aku mulai merasa mengantuk.

109 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 110

Musik masih mengalun dengan nada-nada indahnya, dan


boneka ballerina masih terus berputar tatkala mataku
mulai terpejam, tak mampu lagi menahan kantuk. Aku
tidur dengan kepala yang kuletakkan di atas kedua
tangan yang terlipat, ditemani kotak musik yang penuh
kenangan akan Alois.

***

―Leona, bangun sayang!‖


Sayup-sayup kudengar suara mama
membangunkanku. Aku mengedipkan mataku dan
mengernyit. Kepalaku masih terasa pusing.
―Kenapa tidur di meja belajar?‖ tanya mama.
Aku terdiam sebentar, kemudian menggeleng.
―Tidak apa-apa kok, ma,‖ jawabku sambil
tertawa kecil. Aku harus meyakinkan mama jika aku
baik-baik saja. Tanpa menunggu tanggapan dari mama,
aku segera berlari menuju kamar mandi.
Selesai mandi, badanku tetap terasa tidak enak
seperti kemarin. Bahkan, kini hidungku tersumbat dan
tenggorokanku sakit. Namun, aku harus tetap pergi ke
sekolah walaupun rasanya tak sanggup. Aku sangat ingin
bertemu dengan Alois dan menceritakan semuanya.
Rasanya, aku sudah tak sanggup menyembunyikan cerita
ini darinya.
Pagi ini, walau badanku tak sehat, aku tetap pergi
ke sekolah seperti biasa. Mama dan papa tak tahu jika
aku sakit karena aku tidak bilang pada mereka berdua.
Tetapi, mama sempat curiga ketika melihatku tak
nafsu makan. Papa juga sempat bertanya mengapa
wajahku terlihat pucat. Aku menjawab pertanyaan papa
dan kecurigaan mama dengan mengatakan bahwa aku
merasa kurang istirahat. Setelah itu, aku buru-buru
berpamitan pada mama dan segera pergi ke sekolah
dengan diantar papa.

***

Suasana sekolah masih terlihat lengang. Aku


berjalan menyusuri koridor dengan langkah pelan.
Kepalaku menunduk menahan pusing. Rasa sakit pada
tenggorokanku tidak berkurang sedikit pun. Hidung pun
masih terus tersumbat, membuatku tidak leluasa
bernapas. Aku yakin jika hari ini aku akan lesu dan tak
bersemangat.
Aku terus berjalan sambil sesekali
menengadahkan wajah, berusaha menghirup udara
segar walaupun hasilnya nihil. Sebentar lagi aku akan
melewati kelas Alois. Biasanya dia juga datang pagi,
sama sepertiku. Benar saja! Aku melihat Alois sedang
asyik membaca buku di bangkunya. Aku berniat
menyapanya. Namun, sebelum aku membuka mulut, Alois
telah melihatku. Aku agak terkejut namun masih bisa

111 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 112

mengendalikan sikap. Aku tersenyum menatapnya.


Biasanya Alois akan membalas senyumku dengan segera.
Tapi, apa ini? Apa yang terjadi sekarang? Alois justru
menatapku dengan datar. Tak ada senyuman manis yang
terukir indah untukku. Benar-benar datar!
―Selamat pagi, Alois,‖ sapaku canggung sambil
tersenyum kaku. Alois tetap menatapku dengan datar.
Tanpa ekspresi sedikitpun!
Aku masih tetap menatapnya ketika Alois
memalingkan wajahnya. Ia kembali asyik membaca
bukunya. Sapaanku tidak mendapat balasan apapun
darinya. Bahkan, senyumku pun telah diacuhkan
olehnya. Ada apa ini? Apakah Alois berubah lagi?
Aku menunduk. Kuputuskan untuk kembali berjalan
menuju kelasku yang terletak di ujung. Kepalaku
dipenuhi oleh berbagai pertanyaan yang tak bisa
kujawab.
Ada apa dengan Alois? Mengapa dia berubah?
Mengapa dia mengacuhkan senyumku? Mengapa dia tak
membalas sapaanku? Apakah aku telah berbuat
kesalahan? Apakah dia kecewa padaku? Apakah dia
marah padaku?
Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di
kepalaku. Aku bingung sendiri memikirkan jawabannya.
Aku benar-benar tidak mengerti mengapa Alois
berubah seperti ini. Alois membuatku sangat
kebingungan. Memikirkan hal ini membuat kepalaku
berdenyut sakit. Hatiku kacau dan perasaanku kecewa.
Rasa kecewaku semakin berat tatkala di hari-hari
berikutnya, Alois tetap mengacuhkanku. Dia bahkan
terkesan menjaga jarak denganku. Jika tak sengaja
berpapasan di sekolah, Alois akan segera menghindar
dariku. Dia tak lagi menyapaku dan tak lagi tersenyum
padaku. Wajahnya berubah menjadi kaku dan datar.
Ketika berangkat dan pulang sekolah pun aku
tidak pernah bertemu dengannya, walaupun jarak
rumahku dan rumahnya terbilang cukup dekat. Aku
menebak, pasti Alois kembali asyik dengan game-nya
sehingga tak sekalipun dia keluar rumah, kecuali untuk
sekolah atau les. Keadaan ini membuatku semakin sedih.
Sementara waktu kepindahanku ke Den Haag semakin
dekat.

***

Sore itu, aku sedang membaca majalah di teras


rumah. Langit terlihat begitu cerah dengan beberapa
serabut awan tipis yang menghiasinya. Sesekali
terdengar kicau burung yang saling bersahutan. Dua
ekor kupu-kupu terlihat terbang dengan riang diantara
tanaman bunga milik mama yang sedang bermekaran.
Aku membalik lembar demi lembar majalahku.
Saat tiba di sebuah halaman, aku memekik. Di halaman
itu tertulis artikel mengenai taman bunga di kotaku. Ya,
taman bunga yang sering kukunjungi, baik sendirian
maupun bersama Alois. Aku membaca artikel itu dengan

113 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 114

seksama. Hingga tiba-tiba, ingatanku kembali tertuju


pada Alois. Sudah hampir satu bulan Alois menjaga
jarak denganku. Kami tidak lagi saling bertegur sapa.
Kututup majalahku dengan perasaan yang tiba-
tiba menjadi begitu kacau. Aku menunduk. Mulutku
tetap diam tetapi bibirku bergetar menahan tangis.
Kini, setiap mengingat Alois, aku merasa begitu rapuh.
Aku selalu menangis jika teringat Alois. Ada satu
perasaan yang hadir di dalam hatiku. Rindu. Ya, rasa
rindu! Aku merindukan Alois. Benar- benar sangat
merindukannya!
Sebelum air mataku tumpah, aku segera berlari
menuju kamar dan menguncinya dari dalam. Aku
menangis dalam diam sambil mendekap sebuah pigura
berisikan fotoku dan Alois yang tengah berangkulan
akrab. Foto itu diambil ketika kami sedang berlibur
bersama keluarga di Pantai Klayar. Momen itu begitu
membekas dalam ingatanku. Dengan sikap acuh Alois
yang sekarang, aku tidak yakin jika momen
membahagiakan seperti itu dapat terulang kembali. Aku
terus menangis dan menangis sambil memendam rasa
rindu yang begitu kuat tertancap di dalam hati.

***

Dua bulan terlewati sudah. Hari kepindahanku


semakin dekat. Sementara, sikap Alois tak melunak
sedikitpun. Ia masih tetap acuh. Hingga pada suatu
sore, aku dikejutkan oleh ketukan mama di pintu
kamarku.
―Leona, Alois mencarimu.‖

Aku yang sedang menulis buku harian sangat


terkejut mendengarnya. Bolpoin yang kugunakan untuk
menulis sampai terjatuh. Aku terdiam. Tak beranjak
sedikit pun dari kursi belajarku.
―Leona.‖
Mama kembali memanggilku. Aku segera bangkit
dari kursi dan membuka pintu kamar. Mama
menyambutku dengan penuh senyuman.
―Alois mencarimu. Katanya dia akan mengajakmu
ke taman bunga. Lekas mandi dan pergilah berjalan-
jalan bersamanya,‖ ucap mama lalu berbalik
meninggalkanku yang masih bengong di depan kamar.
Sikap Alois berubah lagi. Aku benar-benar dibuat
bingung olehnya. Kuputuskan untuk segera mandi dan
menemui Alois yang sudah menungguku.

***

―Halo, Alois.‖
Aku menyapanya penuh kecanggungan. Alois
yang tengah duduk di kursi ruang tamu menatapku. Ada
yang berbeda dengannya. Kali ini ia menatapku dengan
hangat. Tak lupa senyumnya yang manis pun juga dia
tunjukkan.

115 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 116

―Hai, Leona,‖ jawabnya dengan ramah. Hanya itu


saja yang dia katakan. Setelah itu, kami berjalan
menuju motor Alois yang terparkir di depan rumah.
Alois menggenggam tanganku dengan lembut. Berdua,
kami berboncengan menuju taman bunga yang berada di
tengah kota.
Alois tetap menggenggam tanganku ketika telah
tiba di taman bunga. Dia mengajakku duduk di bangku
taman yang terletak di dekat kolam ikan. Aku menurut.
―Maaf jika kau merasa aku telah berubah,
Leona,‖ ucap Alois ketika aku dan dirinya sudah duduk
dengan manis di atas bangku. Kali ini, aku tidak
menunduk seperti kemarin. Kutatap wajah Alois lekat-
lekat.
―Aku sengaja melakukan itu,‖ lanjut Alois.
Mataku terbelalak. Tidak kusangka jika hal ini memang
disengaja olehnya.
―Kenapa kau melakukan itu?‖ tanyaku dengan
nada suara yang pelan. Alois menghela nafas, menunduk
sebentar, kemudian menatapku.
―Aku sengaja menjauh dari dirimu karena aku
ingin memberimu waktu, Leona. Terkadang, kita butuh
waktu untuk sendiri. Kita butuh waktu untuk
memikirkan atau merenungkan tentang suatu hal.‖ Aku
mengangguk-angguk mendengar penjelasan Alois.
―Ketika waktu itu kau tidak mau bercerita
denganku, aku yakin kau sedang menghadapi suatu
permasalahan yang serius. Tetapi, kau lebih memilih
untuk memendamnya sendirian. Kau masih belum ingin
membaginya denganku. Maka dari itu, aku memutuskan
untuk menjauh sejenak darimu, agar kau memiliki waktu
untuk menentukan langkah selanjutnya, tanpa ada diriku
yang mungkin saja dapat mengganggumu,‖ lanjut Alois.
Lagi-lagi aku hanya mengangguk mendengarnya.
―Kurasa, kini waktu yang tepat. Bagaimana? Apa
kau sudah menentukan langkahmu selanjutnya?‖ tanya
Alois.
Aku menatapnya bingung.
―Langkah selanjutnya? Maksudnya apa, Alois?
Aku kurang mengerti,‖ jawabku. Aku benar- benar tak
paham. Alois tersenyum.
―Langkah selanjutnya yang kumaksud adalah,
kau akan tetap diam dan memendamnya sendirian, atau
berbagi cerita denganku?‖ tanya Alois. Aku tersenyum
dan paham akan maksud Alois.
―Aku ingin berbagi cerita denganmu, Alois,‖
jawabku. Alois mengangguk-angguk.
―Baik, mulailah bercerita!‖ Aku terdiam sejenak.
Senyum di bibirku perlahan memudar. Aku ingat jika
ceritaku ini bukanlah cerita yang menyenangkan. Aku
merasa tak siap melihat wajah sedih Alois. Tetapi, aku
sudah tak sanggup memendamnya sendirian. Semua
harus kuceritakan pada Alois.
―Ini kabar yang buruk, Alois,‖ aku mulai
bercerita. Alois memandangku dengan seksama.
Bibirnya masih tetap tersenyum hangat.

117 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 118

―Mengenai kepindahanku ke Den Haag.‖


Wajahku tertunduk. Air mata mulai menetes.
―Aku sudah tahu tentang hal itu, Leona,‖ ucap
Alois lembut. Aku mengangkat wajahku dan menatap
Alois.
―Kau tahu dari siapa?‖ tanyaku menyelidik.
―Mamaku,‖ jawabnya singkat. Aku kembali
tertunduk. Air mataku kian menderas.
―Jujur aku merasa sangat sedih mendengarnya.
Aku menangis seharian dan mengurung diriku di kamar.
Rasanya, aku tak sanggup untuk berpisah dengan
dirimu,‖ ucap Alois. Kedua tangannya mengangkat
wajahku, menyeka air mata yang membasahi pipi.
―Walaupun berat rasanya melepas kepergianmu,
aku tak bisa mencegahnya, Leona. Pergilah dan
belajarlah dengan rajin disana. Aku akan selalu
mendo‘akanmu.‖ Alois berucap dengan tulus.
Mendengarnya, air mataku kembali tumpah. Kupeluk
Alois erat-erat. Dia membalasnya dengan hangat.
―Aku minta maaf, Alois. Maaf jika aku terlalu
sering mengecewakanmu. Maaf jika aku sering
menyakiti hatimu,‖ ucapku di sela isak tangis.
―Tidak, Leona! Aku lah yang harusnya meminta
maaf. Aku sadar jika banyak sikapku yang telah
membuatmu sakit hati,‖ ucapnya. Alois melepas
pelukannya, lalu kembali mengusap air mataku.
―Tetapi sebelum kepergianmu, aku ingin kau
mengerti satu hal, Leona.‖ Alois menatapku dengan
serius. Aku kembali bingung.
―Aku mencintaimu, Leona. Lebih dari seorang
sahabat,‖ Alois tersenyum ketika mengatakannya.
Aku terkejut. Jantungku berdegup kencang.
Aku tidak percaya dengan apa yang dikatakan Alois
barusan.
―Maksudmu?‖ tanyaku tak percaya. Alois
menunduk malu.
Dibawah langit sore yang cerah, di taman bunga
tengah kota, Alois mengungkap perasaannya selama ini.
Perasaan yang dia simpan rapat-rapat. Perasaan yang
sempat membuatnya tak berani mengatakannya.
Perasaan yang menjadi salah satu alasannya untuk
menjaga jarak dariku. Tetapi, lihatlah sekarang! Alois
dengan begitu yakin mengungkapkan semuanya. Tepat
sebelum keberangkatanku menuju Den Haag.

***

Dua bulan sudah aku menetap di Den Haag.


Perlahan, aku mulai terbiasa dengan rutinitasku yang
baru, yang sedikit agak berbeda dengan ketika masih
tinggal di Indonesia. Salah satu rutinitasku adalah,
menatap langit senja Den Haag yang begitu mempesona.
Setiap sore, aku selalu menyempatkan waktu untuk
bercengkerama dengan senja dari atas balkon rumah.

119 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 120

Mendiskusikan apa saja. Tetapi, aku dan senja


lebih sering membicarakan Alois, sahabatku yang kini
menjadi teman cintaku. Seperti sore ini, saat langit Den
Haag tengah merona jingga.
―Ada suatu rasa yang hadir di hatiku. Klandestin,‖
ucapku pada senja.
―Klandestin? Secara diam-diam?‖ tanya senja.
―Ya,‖ jawabku singkat.
―Lalu, risak kah bagimu?‖ tanya senja.
Aku hanya diam menanggapi pertanyaan senja.
―Bagaimana?‖ tanya senja lagi.
―Tidak risak sebenarnya, tidak mengganggu.
Hanya saja membuatku selalu teringat padanya,‖
jawabku.
―Lalu, apa perasaan yang hadir di hatimu secara
diam-diam itu?‖ senja kembali bertanya.
―Terdiri dari lima huruf. Diawali dengan R,
pertengahan N, dan diakhiri U,‖ jawabku.
―Huruf kedua I dan huruf kempat D,‖ senja
menambahkan.
Aku mengangguk sambil tersenyum menatap langit
senja yang kian memancarkan rona jingganya. Ya,
seperti itulah caraku bercengkerama dengan senja. Aku
bercerita dan seolah senja menanggapi ceritaku.
Petang menjelang. Langit pun tak lagi jingga. Aku
tersenyum teringat Alois. Kubuka ponselku lalu
kukirimkan sebuah pesan untuknya.
Alois aku rindu…
Bumi Cinta Pribumi.
Karya : Nur Rama Data Kapentas

Jakarta, 1943, satu tahun masa kependudukan


jepang setelah mereka berhasil mengusir tentara
militan belanda terakhir yang bertahan di sana, tahun
lahirnya para pahlawan nasional dari rahim PETA
(Pasukan Pembela Tanah Air), dari rahim itu pula, lahir
seorang pria yang mengorbankan segalanya demi bangsa
yang dicintainya dan demi wanita yang selalu
dirindukannya.
Cakra Pranatagama, anak bungsu lima bersaudara
dari bapak seorang adipati yang memimpin kadipaten
kecil di utara Jawa, sebagai anak terakhir, haknya
tidak lebih dari orang biasa, karena ia tidak mungkin
mewarisi wilayah ayahnya yang sudah pasti akan
diturunkan pada saudara laki-laki tertuanya, hal itu
juga yang membuat ia menjadi pribadi dengan perangai
yang rendah hati dan tidak gila akan kekuasaan, karena
tau dirinya tidak bisa melawan trah yang ada, untuk itu
dia lebih memilih belajar dengan giat di sekolah khusus
pejabat pada saat itu.
Dia adalah orang yang cerdas, mampu memahami
segala sesuatu dalam waktu singkat, hal itu juga
berlaku di luar materi pembelajaran, seperti contohnya
ketika ia belajar berpedang ,berkuda,menembak, dan

121 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 122

banyak lagi, hal itu juga yang membuat dirinya selalu


dielu-elukan seisi pendopo pada saat itu, hingga suatu
ketika...
Di ruangan yang cukup besar itu hanya ada dua
orang, Cakra dan Romonya, sementara sang Romo duduk
di singgasana yang terlihat mewah, Cakra terlihat
berlutut sambil menundukkan kepala dihadapan Romo.
―Maksud kedatangan Cakra kemari, Cakra ingin
meninggalkan pendopo untuk mencari pengalaman dan
ingin bermanfaat bagi banyak orang secara langsung‖
Bagai tersambar petir di siang bolong, ekspresi
Romo menunjukkan ketidak senangan dengan
permintaan Cakra, bagaimana tidak, Romo sudah
menyiapkan segala sesuatu untuk Cakra agar menjadi
penasehat pendopo membantu sang kakak kedepannya,
tapi ia malah memilih keluar dari pendopo dengan
ketidak pastiaan nasib di luar sana. Melihat mimik di
wajah Romonya, ia langsung paham apa yang dirasakan
ayahandanya itu sehingga ia melanjutkan penjelasannya.
―Baiklah Romo ijinkan, tapi dengan satu syarat‖
tegas Romo yang membuat ruangan sebesar itu dengan
hanya diisi oleh dua orang terasa begitu sesak dan
sempit.
―apa itu Romo?‖ tanya Cakra penasaran.
―jangan berharap kau bisa kembali lagi kesini‖
Keesokan harinya, tepat di usia ke 20 tahunnya,
Cakra meninggalkan pendopo bersama dengan abdi yang
sekaligus merupakan sahabat dan teman berlatihnya,
Karno, mereka berkelana bukan tanpa tujuan, mereka
berniat mendaftarkan diri di kemiliteran yang ada di
Jakarta, dan itu akan diselenggarakan 5 hari lagi,
sementara jarak dari wilayahnya menuju Jakarta
sekitar 4 hari waktu normal jika menunggang kuda.
Ketika Cakra dan Karno melewati daerah
pegunugan, mereka melihat deretan karavan yang
berhenti di tengah jalan sempit, sehingga menghambat
perjalan mereka.
―Karno, coba kau periksa ada apa di depan sana‖
perintah Cakra yang di balas anggukkan mantap dari
Karno. Setelah beberapa saat, karno kembali dengan
ekspresi cemas yang membuat Cakra mulai menduga-
duga.
―Lapor bos, rupanya di depan sana ada sekelompok
bandit yang memblokir jalan dan mencoba merampas isi
karavan berupa bahan pokok untuk dijual di Ibu kota‖
jelas Karno pada Cakra yang menggaruk kepala karena
memikirkan sesuatu apa yang harus ia lakukan.
―Kiranya ada sekitar 50 orang bos, mereka bandit
gunung yang sering membuat ulah disini‖ jelas Karno.
‗hemm 50 orang, itu belum termasuk orang-orang
yang bersembunyi di semak-semak, mungkin ini akan
sedikit melelahkan‘ batin Cakra
―Aku akan menangani ini, kau tunggu di sini
menjaga kudaku‖ kata Cakra
―Eh bos? Apa yang akan kau lakukan?‖ tanya
Karno.

123 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 124

―Diam, Kau tunggu saja di sini, dan jangan panggil


aku bos!‖ Cakra mengatakan itu sambil berjalan menuju
para bandit, ketika ia sampai di depan rombongan
karavan, ia mendapati seorang pria bertubuh gempal
yang nampak seperti pemilik karavan dan seorang
wanita memakai kimono dengan sanggul yang ditusuk
menggunakan ukiran giok yang indah.
―Permisi tuan, apa anda pemilik karavan ini?‖ tanya
cakra dari belakang pria dan wanita itu, mendengar ada
suara dari belakang punggung mereka, mereka
membalikkan badan, dan betapa terkejutnya Cakra
melihat pria bertubuh gempal itu ternyata adalah orang
jepang, Cakra secara pribadi tidak memiliki dendam
dengan orang jepang, namun ia bukanlah orang bodoh
yang menutup mata atas perbuatan orang-orang jepang
pada rakyatnya, hal itu membuat Cakra kurang
berempati pada mereka, tapi dia pun tidak sepandir itu
dengan menganggap semua orang nippon sama, ia yakin
pasti ada orang-orang baik di antaranya.
―haik,saya olangnya‖ jawab pria gempal itu dengan
bahasa yang kaku.
―jika anda tidak bisa berbahasa dengan lancar,
saya yakin dengan kemampuan bahasa jepang saya‖
Cakra menjelaskan dengan menggunakan bahasa jepang.
―Ahh anda pastilah seorang tuan mud—― belum
sempat menyelesaikan kalimatnya, seorang bandit
memotong percakapan mereka.
―Saudaraku, jika kau tidak ingin terluka maka
pergilah, kami akan mempersilakanmu lewat‖ dengan
nada sopan bandit itu mengusir Cakra, bandit itu sopan
bukan tanpa alasan, alasan pertama karena melihat
Cakra adalah pribumi, kedua, melihat pakaian yang
Cakra kenakan menandakan ia berasal dari kalangan
pejabat.
―Maafkan aku saudaraku, aku rasa tidak seperti
itu caranya, siapa pemimpin diantara kalian?‖ tanya
Cakra dengan meninggikan suaranya. Merasa terpanggil,
seseorang berbadan kekar keluar dari semak-semak.
―Ho, aku mendengar seseorang mencariku?‖ pria
berbadan kekar bicara.
―Rupanya kau pemimpin di sini, aku ingin
menantangmu berduel secara ksatria! Jika kau kalah
bubarkan anak buahmu dari sini‖ tantang Cakra pada
pria besar di hadapannya.
―Baiklah,tapi jika kau kalah, aku ingin meminta
sesuatu darimu, dilihat dari penampilanmu yang seperti
tuan muda, rasanya kau memiliki banyak uang‖ ucap pria
kekar dengan senyuman menyebalkan di wajahnya.
Para bandit memberi ruang untuk pertarungan
tersebut, dan tanpa dikomandoi mereka memulai
pertarungan, pertarungan memang tangan kosong, tapi
Cakra telah menyiapkan senjata rahasia di balik
bajunya itu untuk berjaga-jaga ketika bos bandit
berlaku curang, lagi pula siapa yang akan percaya pada
bandit?

125 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 126

Mereka bertarung seimbang, 5 menit, 10 menit,


15 menit terlihat bos bandit mulai tertekan, benar
sekali, stamina Cakra lebih besar dibanding miliknya,
melihat hal itu Cakra menyerang membabi buta dengan
teknik-tekniknya memberikan kerusakan pada tubuh
bos bandit, hingga akhirnya bos bandit itu tak mampu
berdiri lagi, Cakra menang, segera para bandit
membawa bos mereka dan pergi meninggalkan karavan.
―Terima kasih tuan muda, tidak tidak, terima
kasih pahlawan‖ kata pria gempal pada Cakra sambil
membungkuk, namun ia tak terlalu menghiraukan,
karena ia masih mengatur nafasnya yang terengah
akibat pertarungan tadi, namun perhatiannya berubah
ketika ia mendengar suara wanita yang halus nan lembut
membelai telinganya, seolah-olah ia sedang
mendengarkan syair dari dewa-dewi agung.
―Terima kasih pahlawan‖ kata yang
dikumandangkan suara halus nan lembut itu, seketika ia
memalingkan wajahnya ke sumber suara, dan benar
saja, matanya melihat perwujudan dari keindahan itu
sendiri, ia benar-benar terpesona akan kecantikan
wanita itu, rambut hitamnya tersanggul anggun bagai
awan yang menari di langit malam, terlihat sangat
kontras dengan kulitnya yang seputih salju, tidak itu
seputih mawar, ‗memangnya ada mawar putih? Ada,
pasti ada! Buktinya adalah wanita di hadapanku ini, ia
putih,wangi, namun berduri! Ya aku bisa merasakan
kengeriannya, kengerian yang mampu membuat pria
terpesona sampai gila‘ pikir Cakra.
Hingga tanpa sadar ia bergumam ―bidadari?‖
―Maaf apa yang anda katakan?‖ kata sang dewi
―Tidak ada, aku hanya baru pertama kali melihat
wanita secantik dirimu‖ kata Cakra pelan yang membuat
wajah sang dewi memerah dan menundukkannya.
―Eehheemm ekhem‖ pria gempal mencoba
menyadarkan Cakra dan mencairkan suasana yang
canggung, saat itu Cakra tersadar lalu menggelengkan
kepalanya cepat, kemudian menepuk pipinya keras
hingga merah.
―Ah. maafkan aku nona, maksudku, aku baru
pertama kali melihat geisha seperti dirimu‖ ucap Cakra.
―Perkenalkan pahlawan, nama saya Matshushita
Kobi, anda bisa memanggil saya Kobi, dan wanita ini
adalah geisha yang menjadi asisten saya, Fuyumi Eiga‖
kobi memperkenalkan diri
―Tuan pahlawan bisa memanggilku fuyumi‖ tutur
fuyumi dengan membungkukkan badannya
―Tidak perlu memanggilku pahlawan, Kobi-san,
Fuyumi-san, nama saya Cakra Pranatagama, kalian bisa
memanggilku Cakra.‖
―Oh Ca ke ra – kun‖ ucap Kobi, setelah
berbicara dengan mereka, Cakra menilai bahwa Kobi
masih lemah dalam berbicara menggunakan bahasa,
sementara fuyumi dinilai sebaliknya.

127 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 128

―Baiklah Cakra-kun‖ kata fuyumi lembut.


―Heh? Kun?‖ Cakra kaget hingga tersedak
ludahnya sendiri, sementara Fuyumi hanya tersenyum
manis sambil menutupinya menggunakan lengan kimono.
Bagaimana Cakra tidak kaget! Gelar panggilan –
kun adalah gelar yang biasanya digunakan Senior pada
Juniornya, yang berarti Fuyumi lebih tua dari
dirinya,itulah yang membuat Cakra kaget, karena
menurutnya paras Fuyumi seperti gadis yang
menunjukkan senyum polos ketika uang jajannya habis,
keheningan beberapa saat terpecah ketika Kobi
bertanya pada Cakra kemana tujuannya?
―Wah wah wah kebetulan sekali, kami juga akan
pergi ke jakarta, bagaimana jika kita melakukan
perjalanan bersama?‖ Kobi menawarkan pada Cakra,
yang diam memikirkan sejenak.
―Sementara kita melakukan perjalanan
bersama, kau dan temanmu menjaga karavan kami, dan
kami akan memberi kompensasi yang layak untuk kalian‖
Kobi membujuk Cakra yang terlihat ragu.
―Tidak Kobi-san, bukan itu, aku hanya berpikir
perjalananku akan terlambat jika membawa karavan
sebesar ini, kalo boleh saya tau, dengan kecepatan
kalian, berapa lama untuk sampai di Ibu Kota?‖ tanya
Cakra.
―Akan sampai kira-kira lusa siang‖ jawab Kobi
yakin.
―ahh baiklah, kami akan ikut kalian‖ kaya Cakra
sambil menganguukan kepalanya. Akhirnya, mereka
melakukan perjalanan bersama,terlepas dari
kecantikkan Fuyumi, ada sesuatu yang menggetarkan
hati Cakra ketika pertama kali melihatnya, ‗Cinta?
Apakah memang ada cinta pada pandangan pertama?
Itu mungkin saja, tapi mungkin juga bukan, lalu apa?
Aku merasa ada kesedihan dibalik senyumnya, simpati?
Aku bersimpati pada orang yang tidak aku tau kisah
hidupnya?‘ berbagai gejolak muncul di benak Cakra yang
dari tadi memandangi Fuyumi dari atas kudanya.
Tak terasa langit menyingkap tirainya, senja
menyapa memijak orang-orang yang bergelut dengan
dunia, termasuk rombongan Cakra yang memutuskan
untuk membangun tenda peristirahatan setelah turun
dari gunung, mereka berencana bermalam sebelum
melanjutkan perjalanan, mereka membangun tenda juga
karena jarak dari tempat mereka berdiri menuju desa
cukup jauh jadi akan keburu larut malam, terlebih lagi
kuda mereka juga terlalu lelah untuk melanjutkan
perjalanan setelah berjalan hampir seharian.
Mereka makan malam bersama sambil berbincang
tentang perjalanan mereka, dari situ Cakra mengetahui
jika Fuyumi baru sebulan di tanah pertiwi ini, dan hal
itu juga yang membuat Cakra hampir tersedak
makanannya, ‗baru sebulan tapi sudah bisa berbicara
bahasa dengan lancar melebihi Kobi yang sudah satu

129 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 130

tahun disini, wanita ini sungguh tak pernah berhenti


membuatku terkejut‘ batin Cakra.
Dalam perbincangan dijamuan malam itu, Cakra
dan Karno makan dengan sangat lahap, karena Kobi
menyuguhkan makanan dari jepang yang belum pernah
mereka lihat sebelumnya, tentu saja Karno yang makan
lebih lahap dari semuanya, bahkan matanya terlihat-
lihat berkaca-kaca menahan rasa syukur pada bosnya,
‗aku bisa makan makanan seperti karena bos menolong
mereka,bos aku akan mengikutimu sampai kapanpun‘
batin Karno
Ya begitulah Karno, dia adalah pria yang ulet
apalagi ketika itu menyangkut tuannya, dia begitu setia
pada Cakra karena pada awalnya, Karno adalah anak
sebatang kara hingga ia bertemu Cakra, bapaknya
meninggal di medan pertempuran, dan ibunya meninggal
akibat kelelahan bekerja. Karena seumuran dengan
Cakra, Karno juga sangat akrab dengannya, selain
mengurusi kebutuhan harian bosnya, ia juga menjadi
pengawal setianya walaupun ia tak bisa berbuat banyak
jika misal ada sesuatu yang terjadi pada bosnya, karena
bosnya lebih kuat dan lebih cerdas dari pada dirinya
yang membuat ia berpikir ‗kalo bos saja tidak bisa apa
lagi aku?‘
Terkadang Cakra mengajak Karno untuk
berlatih, dan kadang ia juga mengajak sahabatnya itu
untuk belajar bersama, sungguh beruntung bagi Karno
untuk mengikuti bosnya, jelas saja! karena bosnya itu,
ia bisa belajar membaca dan menulis, juga beberapa
pengetahuan umum lainnya yang hanya akan diajarkan
pada keluarga bangsawan. Karno bukan orang yang
cerdas, tapi bukan juga orang yang bisa dikatakan
bodoh, semua tertutupi oleh keuletan dan semangat
belajarnya yang tinggi. Setelah Cakra mengganti baju
dan Karno sudah ada di tenda setelah menyiapkan
perbekalan untuk besok, mereka mulai berbicara
mengenai rencana mereka besok.
―menurutmu bagaimana no? apakah ada yang
aneh?‖
―aneh? Apa maksud bos rombongan karavan
ini?‖
―iya, apa ada yang aneh?
―aku tidak berbikir seperti itu bos, hanya
saja...‖
―ada apa no? apa karena mereka orang jepang?‖
tanya Cakra yang hanya dibalas anggukan oleh Karno,
sementara Cakra hanya bisa menghela nafas panjang
melihat itu.
Karena Cakra tau apa yang sedang dirasakan
oleh sahabat sekaligus pengawalnya itu, perasaan
kebencian terahadap orang jepang, tidak tidak, lebih
tepatnya pada penjajaha. Bukan tanpa alasan, dirinya
seperti itu karena ayahnya meninggal saat berjuang
dalam pertempuran melawan penjajah akibat perlakuan
para penjajah terhadap pribumi yang dipandang bagai
binatang.

131 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 132

‗No, aku paham apa yang kau rasakan, akupun


merasakannya, ketika pertama kali melihat mereka aku
ragu untuk menolong atau tidak, ditambah lagi pasukan
bandit sudah membiarkan kita untuk lewat, tapi aku
tidak berpikir semua orang jepang sama saja, aku juga
tidak munafik jika ada kemungkinan bahan pokok di
karavan mereka tumbuh dari mata bangsa kita, namun
aku melihat wajah-wajah pribumi yang khawatir pada
tuannya, itu menandakan Kido –san dan Fuyumi-san
memperlakukan mereka dengan baik‖ jelas Cakra pada
Karno.
―bos, kau sungguh luar biasa sampai
memperhatikan hal sekecil itu, aku bangga padamu dan
akan terus mengikutimu bos‖ kata Karno yang merasa
hatiinya tersentuh oleh kebaikan bosnya itu.
―aku berpikir, bagaimana nasib mereka setelah
ini ya bos?‖ lanjut Karno bertanya pada Cakra.
―nasib mereka akan baik-baik saja‖ jawab Cakra
santai.
―bagaimana bos bisa seyakin itu?‖
―karena aku telah memberikan mereka
sekantong emas‖ jawab Cakra sambil menyeruput teh
buatan Karno yang sudah mulai dingin.
―apa?!‖ Karno berteriak sangat keras, hingga
membuat Cakra kaget dan menyemburkan teh yang
belum sempat ia telan, teriakan itu membuat kuda di
luar menjadi panik dan burung- burung terbang dari
pohon yang dihinggapinya, Cakra lupa bahwa sahabatnya
ini adalah seekor rubah, iya rubah.
―hey tenanglah, lagi pula ini tidak seperti aku
berniat memberi mereka sekantong emas
―apa maksudnya bos?‖ Karno bertanya sambil
menatap bosnya dengan curiga.
―ya sebenarnya, ketika aku hendak memberi
mereka sekantong uang, aku salah mengambil kantong
dan malah melemparkan kantong yang berisi koin emas
pada mereka‖ jawab Cakra sambil menggaruk rambutya
yang tak gatal.
Mendengar hal itu, Karno hanya bisa menepuk
jidatnya yang lebar, setelah itu Cakra menjelaskan jika
ia akan keluar untuk berjaga-jaga jika terjadi sesuatu
dan menyuruh Karno untuk beristirahat terlebih dahulu
sebelum Cakra membangunkannya untuk pergantian
giliran jaga.
Malam itu mereka lewati dengan damai, orang-
orang tidur dengan nyenyak melepas lelah setelah
seharian ‗berjalan‘ secara harfiah, karena mereka tidak
benar-benar berjalan melainkan menunggang kuda, tapi
tetap saja terasa lelah. Seperti Cakra dan karno yang
telah melakukan penjagaan, kini mereka telah bangun
dengan tubuh segar saat matahari masih malu-malu
untuk tersenyum.
―Ohaiyo gozaimasu, Cakla-kun, Kalno-kun‖ sapa
Kobi.

133 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 134

―Ohaiyo gozaimasu Kobi-san‖ jawab Cakra.


―bos, dia bicara apa?‖ tanya Karno penasaran.
―oh dia hanya menyapa kita, ‗selamat pagi cakra
dan karno‘ begitu katanya‖ Cakra menjawab rasa
pesaran Karno, sementara Kobi hanya tersenyum
lembut yang dinilai aneh oleh Cakra dan Karno karena
senyuman itu membuat pipi Kobi terangkat dan kelopak
matanya yang kecil itu menurun, sehingga matanya
hanya terlihat seperti garis lurus.
―mari kita sarapan terlebih dahulu‖ ajak Kobi
dan dibalas anggukan oleh mereka berdua.
Saat waktu sarapan berlangsung, Kobi, Cakra,
dan Karno duduk di meja khusus dikelilingi empat kursi
yang saling berhadapan dengan rapih, kali ini hanya
mereka bertiga yang duduk di kursi tersebut
menyisakan satu kursi kosong yang biasanya ditempati
oleh Fuyumi, namun kali ini ia tidak bersama Kobi hingga
membuat penasaran Cakra dan akhirnya ia bertanya.
―Kobi-san, kemana fuyumi-san?‖
―ahh ketika waktu tiba, ia hanya akan
memasakan makan bersama yang lain, lalu ia akan pergi
mandi setelahnya,dan akan sarapan setelah mandi‖ jelas
Kobi.
Tak lama setelah Kobi menjelaskan, terdengar
suara teriakan wanita minta tolong, Cakra mencoba
memekakan telinganya dan berhasil mengenali suara
teriakan tersebut ‗Fuyumi-san‘, Cakra langsung
meninggalkan mangkok makannya dan berlari dengan
cepat menuju sumber suara yang tak jauh dari
lokasinya saat ini, di pinggir sungai ia melihat Fuyumi-
san yang hanya mengenakan gaun mandinya jatuh
tersungkur, ia menyeret badannya seolah menjauhi
sesuatu.
―ular berbisa?!‖ Cakra kaget melihat ular
seukuran ranting cemara yanga menganga seolah ingin
melahap Fuyumi, namun tidak mungkin mengingat ukuran
badannya.
Cakra segera melemparkan batu beberapa kali
ke arah ular tersebut dan berhasil mengenainya, namun
ular itu tidak berlari menjauh melainkan kian agrefsif
mendekati Fuyumi, tau hal itu, Cakra segera berlari
sambil membawa ranting lancip yang dipungutnya ketika
berlari menuju pingir sungai lalu menusukkan ranting
tersebut tepat di kepala ular dan langsung membuatnya
mati dalam sekejap.
―Cakra-kun, tolong, kakiku tegigit olehnya!‖ kata
Fuyumi merintih.
Cakra langsung melihat luka yang dialami
Fuyumi, ia melihat ada dua lubang seukuran duri di atas
mata kakinya yang kini mulai membengkak dan membiru,
Cakra tak diam saja ia bergegas menghisap darah dari
luka gigitan ular tersebut kemudian meludahkannya, ia
terus melakukan hal itu sampai yang ia ludahkan bukan
lagi darah melainkan cairan hitam yang menurutnya
adalah bisa dari ular yang telah mati tersebut.

135 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 136

Tak sampai di situ, Cakra juga mulai berlari


mengumpulkan herbal yang bisa menetralisir bisa yang
masuk kedalam tubuh Fuyumi melalui luka tersebut, tak
lama ia mengumpulkan herbal lalu menumbuknya dengan
dua batu besar yang banyak ditemukan di sekitar
sungai.
―cairan yang dihasilkan oleh herbal itu akan
menetralisir racun dalam tubuhmu, dan sisanya aku
tempelkan pada lukamu untuk membuatnya cepat kering
agar tidak terlalu meninggalkan bekas‖ Cakra
menerangkan pada Fuyumi yang terlihat menahan sakit.
―terima kasih Cakra-kun, aku berhutang nyawa
padamu‖ kata fuyumi sambil menundukkan kepala, Cakra
hanya menghela nafas panjang dan berkata.
―fiiuuuh, untung saja, tapi Fuyumi-san tak perlu
sungkan, karena aku tidak mungkin membiarkan ada luka
yang berada di tubuh cantikmu itu‖
Fuyumi hanya tertunduk malu dan wajahnya
memerah.
―ahh sepertinya mereka sudah datang‖ Cakra
melihat rombongan Kobi dan Karno, kemudian
menggendong Fuyumi.
‗ini seperti kisah putri yang diselamatkan oleh
pangeran‘ batin Fuyumi sambil matanya terus
memperhatikan wajah Cakra.
Mereka segera bergegas merapihkan tenda
untuk melanjutkan perjalanan, selama perjalanan tidak
ada sesuatu yang menghambat sehingga diprediksi akan
lebih cepat sampai di Jakarta, namun selama perjalan
sikap Fuyumi terhadap Cakra sangat berbeda, ia
terlihat sangat manja! Tentu saja tak masalah jika
Fuyumi lebih tua dari Cakra, namun ini sebaliknya!.
Fuyumi menjadi seperti seorang bayi yang ingin disuapi
oleh Cakra, dan menangis ketika Cakra menjauh dari
sisinya, hal itu membuat Kobi menggeleng dan
menggaruk rambutnya yang tak gatal, terlebih lagi hal
itu juga membuat Karno hanya bsia menelan ludahnya iri
ketika melihat perlakuan Fuyumi pada Cakra.
Perjalanan mereka berhenti di sebuah desa yang
cukup besar dan mereka memutuskan untuk singgah
semalaman, padahal hanya beberapa jam lagi untuk
sampai di Ibu Kota, namun Kobi memutuskan untuk
singgah di desa dengan dalih membuat pesta perpisahan
untuk Cakra dan Karno, selain itu perayaan tersebut
sekaligus sebagai ucapan terima kasih dari Kobi karena
telah menyelamatkan Fuyumi.
Malam semakin larut – perayaan saemakin
meriah, perayaan diadakan di dalam penginapan
langganan Kobi jika ia menuju ibu kota, Kobi menyewa
seluruh penginapan tersebut selama satu malam,
seluruh kamar untuk seluruh kelompok anggota
kelompoknya yang beberapa terakhir tidur beratapkan
tenda, orang-orang semakin larut dalam pesta seperti
Karrno, yang siuk menari bersama para penari yang
disediakan oleh pihak penginapan.

137 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 138

Namun tidak termasuk Cakra, ia lebih


menikmati makanan yang di sediakan lalu berjalan
menuju kamarnya di lantai dua yang terdapat balkon
tepat menghadap pusat desa, ia menatap langit malam
yang tersinari rembulan, angin malam yang datang
menerpa jiwa-jiwa lapar akan dunia yang bergerak di
sekitarnya, tanpa sadar lamunan Cakra berubah
menjadi rencana masa depannya, apa yang akan ia
lakukan setelah mendaftar militer, jika diterima – jika
ditolak.
Ia melamun hingga terdengar suara ketukan
pintu yang diarahkan pada kamarnya.
―siapa?‖
―ini aku fuyumi‖
Malam itu percakapan keduanya terjalin dengan
sangat tenang, hingga Fuyumi menceritakan masa
lalunya yang pernah disiksa oleh majikan sebelumnya, ia
menithkan air matanya yang mana air mata wanita
adalah kelemahan Cakra, saat itu juga Cakra tanpa
sadar memeluk Fuyumi dan menenangkannya – setelah
cukup tenang, fuyumi duduk membelakangi Cakra dan
membuka piyama tidurnya, perlahan-lahan menyingkap
punggung Fuyumi, dan betapa kagetnya Cakra melihat
punggung Fuyumi yang penuh goresan bekas luka, lalu ia
membantu Fuyumi menutupi punggungnya kembali,
memeluknya dari belakang dan berkata,
―kau cantik, kau sangat indah‖ bisik Cakra
―kau bohong‖
―tidak, menurutmu apa yang bisa kita gunakan
untuk menilai keindahan seseorang? Apakah ada
standar umum? Apakah ada konsensus yang harus kita
patuhi? Lalu apakah itu berarti pendapat dari sedikit
orang yang tidak mengikuti mereka, tidak ada artinya?
Jika kecantikan dan keindahan seseorang tidak
bergantung pada penampilan luar mereka sendiri, maka
sementara aku yang tidak memiliki riwayat bersamamu
dan tidak tau perasaanmu dari dalam, mengingat
apayang aku rasakan tentang beberapa waktu yang
telah aku habiskan bersamamu, kau adalah hal
terindahan yang bisa aku bayangkan‖
Mendengar hal itu, Fuyumi menangis sejadi-
jadinya, karena baginya itu adalah kata- kata terindah
yang pernah diucapkan seseorang untuknya, Fuyumi
yang dipeluk Cakra dari belakang, kini memutar
tubuhnya saling berhadapan kemudian mengecup bibir
Cakra, dan berkata.
―Terima kasih‖ sebelum ia berlari kecil
meninggalkan kamar Cakra.
Singkat cerita, mereka sampai di jakarta dan
berpisah, tak lupa Cakra menyakan alamat yang bisa
dikunjungi atau dikirimi pesan, setelah itu Cakra dan
Karno mendaftar bagian kemiliteran PETA ― Pasukan
Pembela Tanah Air‖, tanpa perlu dipertanyakan
kemampuan mereka, mereka lolos dengan nilai
memuaskan, segera mereka mendapat pelatihan di

139 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 140

Bogor, selama melaksanakan pelatihan yang kurang


lebih satu tahun, Cakra selalu berbalas pesan pada
Fuyumi tiap minggunya atau lebih tepatnya tiap ada hari
libur.
Setiap saat ia menghiasi hari dengan rindu,
menuliskan puisi tentang rindu, menyanyikan syair-syair
kerinduan, ‗Tuhan, kau ciptakan kerinduan yang
membahagiakan namun menyesakkan‘ salah satu bait
dalam puisinya, hingga pada akhirnya.
1944, selesai pelatihan mereka kemudian
dtempatkanlah pada distrik kecil di Jakarta, Cakra dan
Karno berada dalam pasukan yang sama, dengan Cakra
sebagai pemimpin pasukan teersebut, ya pasukan
Intelejen. Cakra tak membuang kesempatan itu untuk
bertemu dengan Fuyumi, akhirnya setelah penantian
lama mereka bertemu di taman itu, ketika camar-camar
berlarian, surya menyingsing senja, jingga menembus
cakrawala, hati yang penuh rindu kini meluluh.
Pertemuan keduanya terus berlanjut, mereka
tertawa bahagia, melewati waktu yang seolah membeku
merangkai rajut-rajut asa sambil sembunyi-sembunyi
bertemu ‗oh tuhanku, jika saat ini engkau mencabut
nyawaku, asalkan aku mati di sisinya, maka aku akan
pergi dengan senyuman‘ batin Cakra
―terima kasih Tuhan, telah membawamu dalam
hidupku‖ ucap Cakra pada Fuyumi
―ya kau memang harus bersyukur bsa
mendapatkan hatiku‖ kata Fuyumi saling menggoda.
Kesenangan mereka terus berlanjut, namun
suatu hari, Cakra dipanggil oleh atasannya dan saat itu
juga di terapkannya siadang militer pertama pada
kesatuan PETA, tentu saja mereka menyidang Cakra,
karena dituduh menjual informasi pada pihak jepang
jepang melalui geisha yang selalu ditemuinya, tidak lain
adalah fuyumi. Untuk itu ia mendapat tegutan keras
dan dihukum dengan pemindahan tugas ke Surabaya.
Kini, hidup Cakra terasa hampa, ia bagaikan
jasad tanpa jiwa, tentu saja karena terpisah dari
belahan jiwanya, selain hukuman untuk ditempatkan di
Surabaya yang jauh dari sahabatnya Karno di Jakarta,
dan jauh dengan kekasih hatinya, ia juga dihukum
dengan pemutusan segala bentuk komunikasi dengan
Fuyumi, bahkan Karno yang mencoba membantu bosnya
itu juga dihukum dengan penundaan kenaikan pangkat,
meski begitu Cakra terus mencoba menghubungi
Fuyumi.
―aku mencintaimu Fuyumi Eiga, sebagaimana aku
mencintai Indonesia, meski berat meninggalkanmu, tak
pernah sekalipun berpikir mengkhianatimu, selagi
merpati belum mati, sejauh apapun jarak, rindu adalah
pemaaf yang tak kenal batas waktu, apa kau tau hal
itu?‖ ucap Cakra membacakan surat yang akan
dikirimnya pada Fuyumi.

141 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 142

‗Merpati terbang kian tinggi, rindu menjulang


menembus hati, namun rasamu tak kunjung kemari, aku
bertanya-tanya kabarmu di sana? Apakah kau baik-baik
saja? Maafkan aku yang harus banyak membunuh
bangsamu, tapi satu hal yang perlu ku beri tahu, tak ada
yang mampu membunuh cintaku padamu‘ tulis Cakra
pada suratnya.
14 Agustus 1945, berita menyerah jepang pada
sekutu berkumandang, melepas penderitaan,
menerbitkan babak baru perjuangan, namun meluluh
lantakkan hatinya yang penuh cinta pada Fuyumi, ia
tahu dengan kekalahan jepang, fuyumi akan kembali ke
negaranya dan meninggalkannya, kini gelap kembali
lekat bak disayat-sayat ia mencoba kuat, kini ia tentara
tanpa senjata, pujangga tanpa pena, dan Rama tanpa
Shinta.
―Saya seorang perwira PETA, dengan ini
menyatakan pengunduran diri saya, untuk
membersihkan nama baik, atas apa yang dituduhkan
kepada saya sebagai penghianat bangsa, hanya karena
saya mencintai wanita berdarah jepang bernama Fuyumi
Eiga.
Untuk itu, saya memohon pertimbangan para
petinggi sekalian. Saya akan mundur dari tentara,
asalkan jangan pisahkan saya dari negara yang saya
cintai, dan jangan pisahkan saya dari wanita yang saya
sayangi.‖
Pernyataan Cakra Pranatagama berkumandang,
membuat seisi ruangan gentar, bahkan Karno hingga
menangis tersedu-sedu, ia tahu dengan bosnya mundur
dari ketentaraan hidupnya akan terombang-ambing
mengingat ia sudah diusir oleh ayahnya.
―itulah ayahmu yang telah mencari-cari selama
satu tahun di jepang‖ aku mencoba menjelaskan pada
Hana Prantagama anak perempuanku yang lucu.
―lalu bagaimana akhirnya kalian bisa bertemu?‖
―ayahmu sampai di jepang, kemudian bertemu
salah satu anggota karavan paman Kobi, lalu diantarlah
ayahmu itu menuju ibu‖ jawabku singkat.
―benar-benar cerita yang berakhir bahagia yah
bu‖ ―iya benar-benar bahagia.

143 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 144

Cahaya Si Kribo dari Timur


Karya : Nurrezeki Amaliah Dulfi

― Priiitt..Priiittt...‖
Kencang sekali suara peluit dari seorang pelatih
untuk memanggil semua para atlet renang. Malam ini
waktunya briefing yang pertama sejak tadi sore kami
tiba di wisma khusus atlet renang ibu kota. Semua para
atlet renang berlari-lari kecil menuju lobby lantai satu,
termasuk si bocah kribo itu. Sesampainya di lobby
sudah ada enam pelatih nasional atlet renang –dibagai
berdasarkan macam-macam usia kami mulai dari U-9
tahun yang junior hingga U-23 yang senior, dan sepuluh
menit kemudian bapak menteri olahraga tiba di wisma
atlet renang.
Briefing pertama, setelah dibuka dengan kata
sambutan dari bapak menteri olahraga, kini waktunya
para atlet memperkenalkan diri secara singkat. Tidak
banyak, hanya berjumlah dua belas orang. Namun ada
yang unik. Si Bocah Kribo. Iya, bocah kribo itu terlihat
sedikit nervous ketika dia mendengar kata
―memperkenalkan diri‖.
Lihat saja, dia menggerak-gerakkan jari kakinya
sembari jari tangannya memainkan ujung bajunya. Tidak
ada yang menyadarinya memang, karena dia duduk
dipaling ujung.
―…dan saya berasal dari Bali.‖ Ucap atlet itu
yang duduknya persis di samping Si Kribo.

―Baik, silahkan kamu yang terakhir.‖ Kata salah


satu pelatih itu. Si Kribo celingukan kanan kiri, semua
mata tertuju padanya. ―Iya, kamu yang kribo!‖ Tunjuk
pelatih itu lagi.

―Ehh..‖ ucap Si Kribo nyengir sambil menggaruk-


garuk tengkuknya yang tidak gatal. ―Mmm.. Beta..‖ Kali
ini Si Kribo mengatur napasnya. Semua orang masih
menunggu kelanjutannya, lalu ― Beta punya nama Sore,
beta punya umur sembilan tahun, dan beta punya asal
dari Kampung Rinca, NTT punya.‖ Sambungnya dalam
aksen timur sana. Satu kali napas dan cepat sekali. Hei,
semua orang bertepuk tangan sambil tertawa terhibur
melihat tingkah Si Kribo barusan. Untuk kedua kalinya,
Si Kribo itu nyengir menunjukkan dua gigi ompongnya di
sebelah kanan atas.

Cungkring, hitam, pendek, ompong, dan kribo


ialah Si Sore yang merupakan salah satu harapan
pelatih renang khusus junior untuk membawa pulang
emas pada olimpiade olahraga renang ditingkat junior
U-9. Si Kribo memang berbakat, ia seperti menyatu
dengan air jika sudah berada didalamnya dan bahkan
dia mungkin yang dapat mengendalikan air jika sudah
berada didalamnya. Jangan tanyakan soal kecepatan
renang padanya, ular laut bahkan kalah dengannya. Kuat

145 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 146

sekali naluri Si Kribo dengan air. Kau tidak percaya?


Mari kau simak cerita ini baik-baik!

Briefing pertama selesai setelah satu setengah


jam berikutnya dan para atlet renang di persilahkan
kembali ke kamar masing-masing karena besok hingga
dua bulan lebih kedepan mereka akan berlatih lebih
maksimal lagi untuk mencapai target limit-A pada
olimpiade olahraga renang pada bulan ketiga. Terutama
Si Kribo. Dia harus bisa mencapai waktu 1 menit 23,99
detik dalam batas limit-A gaya punggung 200 meter.

***

Tak terasa dua bulan lebih terlewati. Latihan


pernapasan, latihan waktu untuk mengejar target limit-
A hingga pola kesehatan telah di jalankan dengan
maksimal oleh Si Kribo dan yang lainnya. Kini semua para
atlet beserta pelatih-pelatih nasional sedang menuju
hotel setelah sampai di bandara internasional ibu kota
Jepang sekitar setengah jam yang lalu. Lucu kali
tingkah Si Kribo. Ngomong-ngomong masalah gugup kini
Si Kribo malah antusias melihat city light pada malam
hari di ibu kota Jepang dari balik jendela bis. Lupa
kalau esok siang jadwal Si Kribo bertanding. –Maklum,
belum pernah Si Kribo melihat pemandangan seperti ini
di kampungnya.
***
―Baik, Kribo. Ingat Pesanku! Aku tahu kau memang
baru pertama kali mengikuti perlombaan renang
ditingkat internasional, tapi aku tahu kau telah
bersahabat dengan air dari kau masih di dalam
kandungan, bukan?‖ gurau pelatihnya ketika di dalam
ruang ganti. Sepuluh menit lagi jadwalku dimulai.
―Maka lakukanlah yang terbaik! Selesaikan
perlombaanmu dengan baik apapun yang terjadi!
Banggakan Kampung Rinca! Banggakan Indonesia!‖
sambung pelatihnya sambil memegang pundak Si Kribo.
Dengan cepat Si Kribo langsung menggangguk
sambil mengepalkan tangannya dan berteriak ―Beta
banggakan Kampung Rinca! Beta banggakan Indonesia!‖.
Pelatih Si Kribo pun tertawa sambil meninju pelan
lengan Si Kribo.
Berjalan menuju tepi kolam, Si Kribo dengan
percaya dirinya menguncir rambutnya dan memakai
penutup kepala khusus atlet renang. Terlihat sekali dia
lebih tenang dibandingkan perkenalan briefing pertama
kali itu. Setelah merapihkan kacamata renangnya,
kini Si Kribo menatap air yang berada di kolam
beberapa saat. Tenang. Tersenyum. Sepertinya dia
sudah mulai bersahabat dengan ―si air‖ itu.
―PRIIIITTTTT...‖
Panjang sekali suara peluit itu. Aba-aba untuk
para perenang gaya punggung berjajar didalam air
menghadap dinding tempat start, dengan kedua tangan
berpegang pada pegangan start.

147 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 148

―DOOORRRR ‖ suara pistol ditembakkan ke udara.


Pertanda perlombaan renang gaya punggung 200 meter
telah dimulai. Cepat sekali Si Kribo menggerakan kaki
dan tanggannya. Tiga puluh detik berlalu, Si Kribo
berada di posisi kedua berusaha mengejar Vietnam
yang didepannya.
Lima belas detik berikutnya, Si Kribo telah
memimpin perlombaan. Tujuh meter lagi, Si Kribo
bersiap-siap untuk membalikkan tubuhnya untuk
mencapai garis finish. Hei, apa yang di lakukan Si
Kribo? Si Kribo justru berbalik arah menuju tengah
kolam. Pelatihnya berteriak. Namun Si Kribo terus
berenang cepat menuju tengah kolam, tidak lagi
menggunakan teknik gaya punggungnya. Ada apa dengan
Si Kribo? Lupakah Si Kribo dengan janjinya? Lupakah Si
Kribo untuk membanggakan Kampung Rinca? Lupakah Si
Kribo untuk membanggakan Indonesia?
Tidak. Si Kribo tidak lupa dengan janjinya. Lihat!
Ternyata dia menyelamatkan perenang asal Russia yang
keram diposisi paling akhir dan hampir tenggelam. Si
Kribo tiba terlebih dahulu dibandingkan tim penyelamat
dan langsung meraih perenang asal Russia itu menuju
tepi kolam. Bagaimana Si Kribo bisa tahu? Hei, Sudah
ku katakan bukan? Jangan lupakan kekuatan naluri Si
Kribo dengan air. Bahkan setelah membawa perenang
Russia itu menuju tepi kolam, Si Kribo berbalik arah
lagi memasuki tempat perlombaan dan melanjutkannya
menuju garis finish. Telat sudah memang. Semua
peserta telah mencapai garis finishnya masing-masing.
Sudah ku katakan dia tidak melupakan janjinya, bukan?
Dia tetap menyelesaikan perlombaannya apa pun yang
terjadi.

***

Tidak ada emas yang bisa Si Kribo bawa untuk


Kampung Rinca. Tidak ada emas yang bisa Si Kribo bawa
untuk Indonesia. Namun, keputusan berani yang
dilakukan Si Kribo telah membuat nama Kampung Rinca
dan Indonesia bersinar melebihi sinar emas medali
seperti yang diharapkan pelatihnya.Itu lebih dari
cukup. Perbuatan Si Kribo telah ditonton diseluruh
penjuru dunia bahkan sampai ke sebuah kampung yang
berada di tengah air bagian timur Indonesia. Kampung
Rinca. Kisah Si Kribo telah membuktikan kilau cahaya
hati seorang petarung yang sesungguhnya.

149 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 150

Dari Mars untuk Pertiwi


Karya : Jasmine Nurah Vieani Winar

PROLOG
Sejauh apapun melangkah, aku pasti

merindukanmu. Tanah yang kupijak belasan tahun silam,


yang tak pernah alpa menyuguhiku keajaiban duniawi.
Gemerisik dedaunan yang tak pernah berhenti
berdesir, membawa oksigen dalam lantunannya. Langit
nan biru, cantik.
Membentang dari ujung ke ujung. Ember air
raksasa yang meluber, surga para ikan yang tak pernah
berhenti berdansa. Juga Jayawijaya yang menjulang
menembus batas horizon, puncak tertinggi Heaven
Earth, berbalut salju di puncak.
Tunggu aku, Pertiwi. Kita kan berjumpa lagi.

SATU

―Igor Arshavin. Rusia.‖


―Aurum Putri. Indonesia.‖
―Wah, saya belum pernah bertemu orang Asia
Tenggara di sini.‖
―Tapi sekarang sudah, kan?‖
Tawanya membuncah.
―Bagaimana rasanya jadi orang berpotensi?‖
―Ada plus minusnya. Kamu tanya yang mana?‖
―Dua-duanya.‖
―Saya bangga jadi yang terpilih. Itu artinya
saya berguna buat masa depan. Tapi juga berat, harus
meninggalkan Bumi beserta tetek-bengeknya.‖
―Sulit, ya, meninggalkan kampung halaman,‖
Hening sesaat.
―Saya tahu kalau negaramu punya banyak
tempat wisata. Kamu sudah pernah ke mana saja?‖
―Saya yakin kalau dijelaskan di sini bakalan
panjang.‖
―Satu saja. Yang paling menarik,‖
Aku menimang-nimang. ―Dari berbagai tempat
yang saya kunjungi, paling bagus sunset dan sunrise di
semua gunung. Juga Raja Ampat. Atau… Pulau Komodo?
Entahlah, bagi saya semuanya punya estetika masing-
masing, yang kalau disandingkan bisa melebihi ekspetasi
semua orang.‖
―Memang saya lahir di Rusia, tapi saya tumbuh
di banyak tempat. Salah satunya Bali.
Ayah saya pernah ditugaskan ke sana. Dan yang
paling saya syukuri, setiap saya keluar rumah, hamparan
sawah terpampang. Sawah berundak negara kamu
sangat memukau.‖
―Sudah pernah ke pantainya?‖

―Belum. Sering saya merengek ke kakak, tapi


selalu ditolak.‖

―Kalau begitu, sepulang dari sini, kamu harus


coba main ke sana. Saya jamin, kamu nggak akan puas

151 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 152

kalau cuma kena air satu-dua jam, juga kalau cuma


minum air kelapa satu batok.‖
―IF we can go home. Kalau nggak?‖

Hatiku tertohok.

DUA
Kami semua—yang ada di Mars—sama-sama
tahu konsekuensi apa yang menanti. Tidak bisa pulang
adalah salah-satunya. Gara-gara kesalahan segelintir
umat manusia, semuanya berdampak bagi anak cucu
mereka sendiri.

Dua tahun yang lalu, produktivitas sampah


meningkat drastis, ditambah tidak dipilahnya sebelum
dibuang. Limbah-limbah kotor dibuang ke laut. Samudra
Atlantik dan Pasifik dipenuhi barang-barang
mengambang, menghalangi akses cahaya masuk dan
menambah polusi. Ikan-ikan ikut mati! Tak jarang ikan
sebesar paus biru juga ikut mengambang di permukaan.
Ketika mengetahui laut sudah ―penuh‟, otak-otak
aneh ini malah melimpahkan bahan sisanya kepada
hutan, tidak memedulikan urusannya dengan ember air
raksasa tadi. Banyak tumbuhan yang mati, hingga hewan
pun tak sanggup bertahan dengan setumpuk egoisme
manusia.
Seakan belum puas membuat hewan mati,
manusia-manusia kehilangan akal itu menggerus kerak
Bumi demi mencapai berton-ton karung emas, perak,
minyak bumi, berlian, dan sebagainya. Hampir semuanya
berlomba berebut harta kekayaan.
Dua tahun yang lalu, umurku masih 15 tahun.
Masih belia, namun sudah merasakan sakit yang begitu
mendalam. Bukan, aku tidak memiliki penyakit
mematikan. Sakit ini terus bertambah parah setiap aku
mengembuskan napas.
Aku lahir sebagai anak pejabat Indonesia. Sekilas,
kehidupanku terlihat baik-baik saja. Tetapi, banyak
memori yang membuatku hancur dari dalam. Kalau kata
orang-orang, sakit tapi tidak berdarah.
Jauh sebelum Ayah menyandang gelar pejabat,
kami sekeluarga sering menghabiskan waktu bersama,
entah itu menonton film dokumenter—Ibu sering
menonton film-film tersebut ketika mengandungku,
yang mungkin bisa jadi alasan aku ikut menyukainya—
memasak bersama, atau pergi ke tempat-tempat wisata
di luar negeri.
Nasib berbalik ketika usiaku 11 tahun. Ayah mulai
sibuk mengurus ini itu, menghubungi si A dan si B, pergi
ke sini dan ke sana. Ibu lebih sering berkumpul dengan
istri-istri kolega kerja Ayah. Aku yang anak tunggal
dibiarkan sendiri, meski banyak pembantu di rumah
yang selalu ingin menghibur.
Di usia tersebut, aku memutuskan mengisi akhir
pekan mengelilingi Indonesia.

153 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 154

Sendiri. Bahkan aku seperti anak hilang yang tak


punya rumah ketika liburan semester, sebab tak pernah
memunculkan jempol kaki di rumah karena sibuk
menjelajah. Film dokumenter membuatku menyadari
semua kegilaanku selama ini. Sering bermain ke luar
negeri, tapi tak pernah menyumbangkan uang untuk
berkunjung menengok keadaan negara sendiri. Sekalian
membuang kenangan-kenangan tentang keluarga pikirku.
Salah satu keuntungan Ayah menjadi pejabat
adalah aliran dana yang mengucur deras.
Munafik kalau aku tidak jujur menggunakan
kesempatan ini baik-baik. Toh, dia tak pernah bertanya.
Mulai dari perjalanan itu, aku tebiasa hidup
mandiri. Kalian boleh menganggapku aneh, tapi inilah
kenyataannya. Dari Sabang sampai Merauke, hampir
semuanya pernah kujajal. Bermain ke Bunaken? Pernah.
Menyentuh relief-relifef Prambanan? Pernah. Melihat-
lihat pesona Lombok? Pernah. Merekam video tari
Saman? Pernah. Menyaksikan gerhana matahari di
Pontianak? Pernah [Beruntungnya diriku pergi pada
waktu yang pas]. Menaklukkan puncak tertinggi
Jayawijaya? Pernah. Sembilan-puluh persen tempat
yang kalian pikirkan sudah pernah kudaratkan kakiku di
sana, pada umur yang masih dicap ingusan.
Sayangnya, aku belum bisa melupakan
keluargaku sepenuhnya.
Aku merindukan mereka. Merindukan kehangatan
yang terpancar di tahun-tahun sebelumnya. Tiap kali
kulihat pengunjung tempat wisata yang datang
bersama-sama, hatiku terkoyak, lebih sakit dibanding
dihantam beton.
Seperti yang sudah kuceritakan, di usiaku yang
menginjak 15 tahun, aku sakit. Mengetahui keserakahan
manusia-manusia sinting bin idiot kepada alam
membuatku naik pitam. Alam yang berusaha keras
membantuku, hancur di tangan mereka.
Lebih gebleknya lagi, orang tuaku kembali
mendekapku di saat-saat seperti itu.
Baru kuketahui, Ayah adalah Menteri Energi
dan Sumber Daya Mineral, yang dianggap telah lalai
terhadap pekerjaannya hingga SDA Indonesia
dieksploitasi habis-habisan oleh manusia serakah. Ayah
dipecat. Ibu juga kena imbasnya. Dia mengurung diri di
kamar, merutuk diri karena malu memiliki suami macam
Ayah.
Karena plesir sudah menjadi bagian dalam
hidupku, aku bekerja keras agar bisa mendapat uang
dan pergi liburan lagi, setelah sadar sisa tabungan
keluarga akan habis sewaktu-waktu.
Bermacam-macam pekerjaan kusambut dengan
senang hati, asalkan bukan pekerjaan kotor. Mulai dari
pelayan restoran, babysitter, hingga petugas parkir
pernah kusambi. Sengaja kusampingkan rasa rinduku
kepada hamparan laut luas atau hutan bernyamuk. Juga

155 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 156

gengsiku sebagai anak MANTAN pejabat. Semata-mata


agar bisa kembali ke mereka ketika sudah waktunya.
Melihat Ayah menganggur membuat hatiku nyeri.
Dengan berat hati, setelah enam bulan mengumpulkan
uang, 50% bagiannya kumasukkan ke amplop dan
kutaruh di meja ruang tamu beserta secarik surat
bahwa aku akan pergi lagi, entah sampai kapan.
Kemungkinan besar tidak akan kembali.
Dua tahun mengembara, aku semakin jera melihat
kondisi Bumi yang semakin memburuk. Banyak tempat
wisata harus ditutup karenanya. Pupus sudah harapanku
melupakan keluarga. Berkal-kali aku bahkan memimpikan
mereka saking rindunya.
Di tengah jalan sempoyonganku di Makassar—
jangan tanya aku sedang apa, sebab aku terlalu sering
ke sana hingga lupa alasannya—aku menemukan secerah
kehidupan yang menantiku lewat layar informasi di
salah satu gedung pencakar langit.
Bumi sudah tak layak huni. Diprediksi semua unsur
di dalamnya akan terkontaminasi gara-gara sebuah zat
yang tahu-tahu memunculkan diri sedikit demi sedikit.
Pihak PBB akan mengirimkan 100 manusia berpotensi ke
Mars untuk hidup di sana, menemukan penangkal zat
tersebut, kembali ke Bumi, dan boom! Kami bisa
melanjutkan hidup dengan aman tentram damai sentosa.
Bagi yang tidak mendapat kesempatan
berangkat ke Mars, seleksi alam akan berlaku.
Yang kebal bisa bertahan. Yang lemah akan
habis waktunya di dunia.

Tidak ada seleksi. Seratus manusia, semuanya


masih muda. Usia 17 hingga 18 tahun.

Dipilih berdasar pengambilan sampel DNA


sewaktu lahir.

Aku terkejut bukan main ketika namaku muncul


menjadi satu-satunya perwakilan dari Indonesia,
mengalahkan milyaran remaja di luar sana. Untuk
pertama kalinya sejak orang tuaku mendekam di rumah,
aku bersyukur telah mereka lahirkan. Entah apa yang
mereka pikirkan mendengar kenyataan itu—atau tidak
mendengar karena terlarut dalam kesedihan— yang
jelas aku bisa bernapas lega sejenak.
Namun ternyata tidak mudah. Semakin dilawan
semakin menguat. Baru seminggu sejak roketku terbang
membelah atmosfer, aku merindukan Bumiku yang
masih ceria.
Merindukan Pertiwi yang menunjukkan
keindahannya kepadaku. Merindukan betapa
bersyukurnya aku menjadi manusia yang lahir di
dalamnya. Merindukan betapa mereka susah payah
menghiburku.
Dan, sialnya, aku semakin merindukan orang tuaku,
meski persentasenya masih di bawah standar.

157 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 158

TIGA
―Aurum? Kenapa kamu melamun?‖

Aku mengerjapkan mata. ―Did I?‖

―Iya. Lama sekali. Saya bisa tinggal makan siang


kalau kamu masih di situ,‖ Diam sebentar.
―Saya rindu rumah,‖ entah kenapa aku
mengucapkannya.

―Sama. Saya juga,‖ dia menghela napas. ―Lucu


ya, padahal masih satu minggu.‖

Aku tersenyum getir.

―Kalau begitu, kita harus cepat-cepat menemukan


penangkal zat kontaminasinya.‖
―Saat kita masih tujuh belas-delapan belas ini? Di
saat kita nggak tahu apa yang bisa kita lakukan? Kita
bahkan tidak tahu DNA seperti apa yang dipilih PBB.
Menurut saya, butuh sepuluh hingga dua belas tahun
lagi untuk mewujudkannya.‖
―Kalau begitu, mari kita berusaha.‖ Aku berusaha
optimis, meski suara sudah sumbang didengar.
Igor mengangguk. ―Ketika sudah menemukan titik
terang semua ini, kita harus kembali ke Bumi.
Bagaimanapun caranya, saya nggak mau mati di sini.
Lebih baik—‖
―Hujan batu di negara sendiri daripada hujan
emas di negeri orang.‖ Tandasku.
―Perfect,‖ dia terkekeh,
―meskipun bukan negara, sih. Lebih tepatnya
planet tetangga.‖
―Planet alien.‖
―Boleh juga. Sekalipun tidak ada alien di sini,‖
―Ada,‖ aku menatap matanya, ―kita.‖
―Kenapa bisa?‖ dia menaikkan alis.
―Kita kabur dari Bumi, membuat penangkal yang
belum diketahui wujudnya macam apa, lalu kembali ke
tanah nenek moyang sebagai ‗spesies’ baru. Membawa
kehidupan baru,‖ aku terdiam sejenak.
―Seratus orang berpotensi yang menginvasi
Bumi untuk lahir kembali.‖
―Lalu kenapa kamu mau ikut perintah PBB?
Kenapa kamu tidak mengacungkan tangan waktu para
pembimbing bertanya kesediaan kita setiap pagi di
minggu pengenalan ini?‖ Igor melongo.
Aku menekuk lutut, lantas memeluknya. ―Pikiran
saya belum dewasa. Di satu sisi, saya pikir dengan
keberangkatan ini, saya bisa melupakan orang tua saya.
Saya pikir saya bisa kuat meninggalkan Indonesia agar
jalanan yang saya pijak nantinya lebih baik. Tapi, saya
salah. Ternyata di sisi lainnya, saya merindukan mereka.
Sangat-sangat rindu. Ingin belajar optimis mewujudkan
Bumi sembuh, tapi rasanya susah. Hasilnya plin-plan. So,
jangan heran kalau sebelumnya nada saya ingin
berjuang, tapi sedetik setelahnya seperti pecundang.‖
Meski tidak melihat wajah Igor, aku sangat yakin
dia mengerutkan kening, tak paham semua yang

159 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 160

kujelaskan. Sebagai informasi, di sini aku nyaris tak


pernah berbicara dengan siapapun. Igor-lah kawan
pertamaku, plus pendengar cerita urak-urakan
pertamaku.
―Jadi labil itu wajar, kok. We‘re still teenagers.
Jangan sedih, kita pasti bisa kembali.‖ Dia menepuk
pundakku, memberikan ketenangan. ―Saya janji akan
temani kamu keliling Indonesia sampai puas, karena
saya juga ingin menjelajah mulai dulu.‖
Ah, andai dia tahu aku sudah menenteng ransel
backpacker di usia 11 tahun. Sudah puas dari dulu diriku
ini. Namun, aku akhirnya mengangguk menyetujui, walau
dalam hati ingin berteriak dan menangis kepada Mr.
Bumi: ―saya rindu. Tidak bisakah Anda sembuh sendiri?‖
Dan dua belas tahun setelahnya, aku
menemukan jawaban itu. Ditambah jawaban lain yang
tak pernah kupikirkan pertanyaannya.

EMPAT
Setiap malam, semenjak pecakapan itu, tanpa
absen satu hari pun, aku menulis sebuah surat—yang
sama isinya, hanya berubah satu kata yang merujuk
penanggalan—lalu membakarnya. Berharap kepada
udara agar membawa asapnya sampai ke Pertiwi.
Absurd, tapi aku menikmatinya untuk menekan rindu.
Saking anehnya, Igor tertawa terbahak-bahak
melihatku di awal rutinitas.
Ralat. Setiap kali melihatku. Hanya saja
bahakannya berkurang 1% setiap kali menangkapku
basah.
Seperti saat ini. Ketika tanganku selesai menulis
alinea terakhir yang hanya berisi 7 kata dan siap
menghanguskannya, laki-laki berdarah Rusia itu
mendatangiku sambil menahan tawa dengan beberapa
berkas laporan di tangan.
Laporan itu pasti berisi progres kami. Terhitung
144 bulan tim bepotensi bereksperimen di Mars.
Sejauh ini, kami menciptakan gas pembunuh zat-zat
terkontaminasi di Bumi. Beberapa percobaan dilakukan.
Lebih banyak gagalnya daripada berhasilnya. Kabar
baiknya, kami tidak mudah menyerah. Memang hanya
anak-anak terpilih berdasar DNA— yang masih
dipertanyakan kejelasannya—tapi aku amat percaya
kami bisa membuat Bumi sehat kembali.
Informasi dan kebutuhan hidup terus
berdatangan dari pihak PBB yang masih selamat a.k.a
kebal. 60% manusia harus tutup usia. Termasuk Ayah
dan Ibu. Empat tahun setelah mengetahui aku dipanggil
ke Mars, Ibu semakin depresi. Akibatnya gaya hidupnya
tidak stabil, dan zat kontaminasi lebih mudah
merasukinya. Mayatnya meringkuk di kasur, memeluk
foto kelulusan Taman Kanak-Kanakku.
Miris.

161 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 162

Aku menangis sejadi-jadinya saat mengetahuinya.


Kabar real time itu membuatku tidak mengikuti rapat
mingguan. Air mataku tak mau berhenti menetes di
kamar, menyesali pergi tanpa pamit yang dikerubungi
rasa rindu berkepanjangan. Dari seratus manusia
ditambah segelintir kakak pembimbing, hanya Igor yang
mau mendesakku makan dan memberi semangat.
Ujungnya aku sadar untuk menelan kenyataan pahit
bahwa rinduku tidak akan bisa diatasi dengan tatap
muka.
Saat itu juga aku tahu kalau teman-teman lainnya
memiliki otak yang cerdas. Super cerdas malah. Mereka
seolah dikelilingi ide-ide yang tak ada habisnya,
dimanjakan oleh rumus-rumus fisika, disayangi oleh
panggilan sulit di kamus biologi, dipacari reaksi-reaksi
kimia, dan selalu hidup dalam konteks matematika.
Sangat berbeda denganku yang tidak ada apa-apanya
ini. Aku ragu kami benar-benar bekerja sama untuk
satu tujuan. Otakku berusaha mengenyahkan sebuah
fitnah: begitu ditemukan penangkalnya, mereka akan
merebutkan hak cipta, berlomba-lomba berkata,
―aku yang menemukannya‖
―aku yang menciptakan konsep awalnya‖
―aku yang memilih bahan bakunya‖
Hingga pada suatu titik yang memungkinkan tidak
adanya rasa peduli sesama. Mungkin hanya aku dan Igor
yang berbeda. MUNGKIN. Siapa yang mengetahui hati
terdalam seorang Igor Arshavin? Hanya dia yang tahu.
Persis di tahun keempat kematian Ibu, Ayah
menyusul. Yang ini lebih menyedihkan.

Kata orang, sudah terjatuh tertimpa tangga


pula.

Ayah tidak mau keluar kamar. Sama seperti


Ibu, dia depresi, lalu ikut terkontaminasi.

Ditambah tudingan-tudingan kasar rakyat


terkait kelalaiannya beberapa tahun yang lalu. Sejenak
terlintas di akalku, apa mereka tidak menyalahkan
Menteri ESDM penggantinya?

Ayah meninggal dengan sesimpul tali di kamar


tempat Ibu mengurung diri, lengkap dengan foto yang
juga dibawa Ibu dalam kematiannya. Fotoku.
Kalau Ibu saja sudah miris, aku akan menobatkan
kematian Ayah dengan titel SUPER MIRIS. Rinduku
sudah tak dapat diobati.
Lagi-lagi tak ada yang peduli denganku. Hanya
Igor. Namun, keadaannya yang juga dirundung
kesedihan akibat kematian kakaknya sehari sebelumnya
membuat laki-laki itu tidak terlalu memaksaku seperti
yang lalu.
Seminggu aku mogok kerja. Tidak ada yang marah
karena aku hanya menyumbangkan barangkali 0,5%
pemikiran. Lebih sering punya ide tapi keduluan
menyampaikannya. Mending daripada tidak sama sekali.
Dini hari di akhir kesendirianku, aku membulatkan

163 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 164

tekad untuk terus maju, apapun risikonya. Apapun


rintangannya. Apapun dari Mars untuk Pertiwi. Apalagi
setelah informasi tentang rusaknya kawasan wisata
Indonesia, rindu itu bagaikan cambuk yang siap
melucuti kulitku jika aku bermalas-malasan.
Aih, ternyata rindu ada gunanya.

LIMA
―Nggak dibakar? Kenapa ngelihatin saya terus?‖
Igor terkekeh.

Aku tersentak, menyadari korek api dan


sepucuk surat yang masih ada di genggaman.

―Untung kamu kumat melamunnya waktu apinya


belum menyambar.‖ Dia duduk di sebelahku. ―Selesaikan
dulu. Habis ini ada informasi yang mau saya jabarkan.
It‘s a best news. Kamu bakal jadi ‗alien’ ter-nggak
update kalau sampai nggak tahu.‖
Sepertinya hobiku memang melamun. Dengan
cepat, aku membakar surat itu sekaligus berdoa kepada
udara. Lantas duduk tegak, siap mendengarkan kabar
baik dari Igor.
―We‘ll back tomorrow.‖
Satu kalimat, tapi membuatku tersentak lagi.

―Sampel gas uji coba yang kita kirim dua minggu


lalu sudah di-review pihak PBB. Hasilnya positif tanpa
efek samping yang berlebihan. Paling parah cuma
beberapa tanaman layu. Bagi manusia, aman-aman saja.
Kelima titik percobaan sudah lulus vertifikasi. Nggak
ada yang perlu dicemaskan. Kita bisa kembali ke
rumah.‖ Igor tersenyum menatap mataku yang
berbinar-binar. ―Good job, Aurum. Rindumu akan segera
terobati.‖
Aku menghela napas. Dia sudah tahu rincian
ceritaku di Indonesia. Sedetil-detilnya, sudah
kubeberkan kepadanya. Jadi, seharusnya dia tahu
persis rasa rinduku sudah sulit untuk diobati.
―Kenapa saya yang dikasih ucapan selamat? Kan
saya nggak banyak kasih ide. Seharusnya saya yang
bilang „good job‟ ke kamu. You have a smart brain.‖
Sambil mengangkat bahu, dia berkata, ―Sana
berkemas. Kalau sudah ke ruang kumpul, ya. Ada pesta
kecil—‖
―Alkohol lagi?‖ tatapanku berubah nyalang. Aku
paling anti kalau ada benda keramat itu. Biasanya aku
akan melipir, hanya menontoni mereka yang berjoget
ria. Andai, kalian ada di negaraku, botol-botol itu bisa
dibumihanguskan.
―Entahlah, saya belum ke sana. Sepertinya nggak.
Siapa nanti yang jadi pilot roket kalau semua teler?‖
dia bangkit, meninggalkanku sendiri yang masih diam
mematung.
Pandanganku terbuang ke kubah oksigen yang
memancarkan hologram langit artifisial. Bintang buatan
berkelap-kelip. Fobos dan deimos tak nampak. Mungkin
masih kejar-kejaran senang karena „alien-alien‟ yang

165 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 166

singgah di si Tuan akan pulang kampung. Hmm, apa aku


akan merindukan tempat ini?
Dan untunglah pesta yang disebutkan Igor adalah
pesta biasa, dengan daging barbeku yang melimpah.

ENAM
Baru 10 menit roket lepas landas, sebuah
pertanyaan tahu-tahu hinggap di kepalaku.

Apa aku ini kebal?

Kemarin malam menjelang tidur, kami semua


diambil sampel darahnya. Sejak keberangkatan, aku
terus memikirkan alasannya, hingga terciptalah
pertanyaan itu. Meski semua gas buatan kami sudah
dikirim ke Bumi kemarin malam, pasti proses
pembersihannya memerlukan waktu. Menurut survei
kemarin, setidaknya dibutuhkan 1 x 24 jam agar benar-
benar steril. Nah, kalau kami terkontaminasi, siapa yang
akan membuat penangkalnya ulang? Emm, bukan „kami‟
sepertinya. Tapi „mereka‟.
Pihak PBB sebenarnya sudah mengimbau agar
roket tak berangkat sekarang. Tapi para petinggi—
ketua, wakil, dan perintilan tim berpotensi—sudah
terlalu jenuh di Mars. Rindu rumah katanya. Dengan
keyakinan bahwa kami ini kebal, jadwal keberangkatan
diajukan pukul 08.00 waktu Mars.
Wah, bagaimana kalau aku mati? Pupus sudah
harapan keliling Indonesia bersama Igor! Arrrggh!
Tiga perempat perjalanan, sebuah informasi dari
Bumi dikirimkan melalui satelit, kemudian terpancar ke
radar roket. Dalam sepersekian detik, manusia yang
bertugas menerima data itu berteriak kencang,
membuyarkan lamunanku.
―We can‘t go back to Earth! Gas kita gagal!‖
Aku menganga, berlari ke arahnya, masuk ke
kerumunan. Badan Asia-ku ini harus mendapat
perlakuan khusus agar bisa berdiri di barisan depan
(tubuh mereka tinggi besar).
―Penangkal uji coba baru berefek sekarang. Tujuh
puluh persen ekosistem kembali rusak, malah lebih
parah. Jumlah masyarakat yang terkontaminasi
melunjak. Yang kebal tinggal dua ratusan, semuanya ada
di camp,‖ Itu Hellen dari Divisi Informasi. Napasnya
ngos-ngosan. ―Lebih baik kita kembali ke Mars,
merekonstruksi ulang gasnya.‖
Tuh, kan, apa kataku. Harapan melepas rindu
pada Indonesia benar-benar lenyap. Sampai jumpa,
Pertiwi, aku akan selalu merindukan—
―Sebentar,‖ Igor merangsek maju, membelah
kerumunan, lalu berdiri di sebelahku. ―Kita nggak punya
bahan bakar kalau putar balik. Kamu mau kita
terombang-ambing di angkasa?‖
Aku tercekat. Benar juga dia. ―Maksudmu, kita
terus lanjut ke Bumi?‖ aku memberanikan membuka
suara.

167 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 168

Igor mengangguk. ―Kita ini berpotensi. Kenapa


kita harus takut terkontaminasi?‖
―DNA itu,‖ Hellen menampilkan kiriman informasi
ke layar hologram besar, ―kita dipilih karena memiliki
IQ di atas rata-rata, bukan kebal. Ada kode inteligensi
yang sangat jarang ditemukan pada seratus penduduk
Bumi. Di samping itu, setelah diteliti lebih dalam, DNA
orang yang kebal memiliki sirkuit aneh.‖
Aku membaca data yang ditampilkan. Ada sebuh
tabel berisi nama, asal negara, IQ, dan persentase
kekebalan yang menyedot perhatianku. Data itu
diperoleh dari sampel darah kemarin malam.
Dari seratus anggota tim berpotensi ditambah
kakak pembimbing, persentase kekebalan tertinggi
jatuh kepadaku.
AKU!

Aku mengernyit. Persentase 94,76% ini membuat


jantung berolahraga. Antara bangga dan ketakutan.
Antara ingin berteriak bahagia dan menangis sejadi-
jadinya. Senang karena ternyata tubuhku kuat, sedih
karena mereka tidak sepertiku.
Masih tak percaya, aku melongo lama. Informasi
ini tak mungkin palsu. Tak kudengarkan Igor dan Hellen
yang sedang berdebat panjang. Juga seruan teman-
teman lain yang sering terjadi ketika ada perseteruan.
Otakku terus mengolah kabar ini hingga
kutemukan titik terang, bersamaan dengan lambaian
tangan Igor di muka.
―Aurum? Hoi!‖ serunya. Aku menoleh. ―Kamu pilih
mana, pulang ke Bumi, atau kembali ke Mars?‖
Kulihat kubu yang sudah terpecah menjadi dua,
dan aku berada di tengah-tengahnya, tanda masih abu-
abu.
―Zat kontaminasi nggak bisa masuk ke pesawat,
kan?‖ tanyaku yakin, yang disambut kerutan kening
mereka.
―Kenapa kamu malah tanya yang lain?‖

―Kita pulang ke Bumi—‖ tatapku tajam ke


seluruh isi kabin.

Hellen menyergah. ― Are you crazy? Jangan


mentang-mentang kamu kebal, jadi nggak memedulikan
kami!‖
―Memang saya bilang kalau kita semua bakal
turun?‖ aku melotot. Mereka semakin bingung. ―Lagipula
saya belum selesai bicara.‖
―Apa maksudmu?‖

―Kita daratkan roket di pertambangan minyak


terbesar negara saya. HANYA saya yang akan turun,
memasang selang pengisian bensin ke pangkalan. Lalu
saya akan mengemudikan helikopter yang ada di dekat
sana menuju camp. Roket ini cukup besar. Kita jemput

169 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 170

dua ratus orang kebal lainnya, kemudian kembali ke


Mars, melanjutkan penelitian.‖
―Nona, 5,24% DNA-mu tidak kebal. Kamu bisa
terkontaminasi!‖ Hellen menurunkan nada suaranya.
―Kenapa nggak menunggu sampai bahan bakar
penuh? Kenapa kamu harus sendirian?‖ kali ini Igor
membentak, padahal jarang kutemui marahnya.
―Mereka yang di camp pasti sedang panik hingga
tidak bisa menerima informasi kalau kita
memberitahukannya sekarang. Mereka juga tidak kebal
seratus persen. Kalau kelamaan, mereka bisa mati. Jadi,
selagi menunggu, saya akan meminta mereka bersiap-
siap agar bisa langsung naik ke roket begitu kalian
tiba,‖ aku tersenyum. ―Sebagai satu-satunya manusia
dengan kekebalan di atas 90% di sini, sudah kewajiban
saya membantu kalian. Ilmu kalian terlalu penting jika
mati sekarang.‖
Semua pandangan yang tadinya bertanya-tanya
kini melunak. Kami sama-sama tahu kalau itulah ide yang
terbaik sekarang. Siapa yang menyangka orang yang
selama ini kurang dipedulikan malah memiliki keinginan
kuat melindungi mereka?
Andai mereka tahu, dari lubuk hati terdalam, aku
sebenarnya hanya ingin mengobati rasa rinduku kepada
Indonesia. Dengan terbang tinggi dan melihat ribuan
pulau yang terbelah laut, mungkin aku bisa menahan
hasrat menjelajah lebih lama. Tambang minyak yang
kupilih terletak di Laut Arafura. Terima kasih kepada
Ayah atas pekerjaannya dulu di bidang ESDM! Dari
sana aku akan terbang ke Barat menuju Bangkok,
tempat camp berlokasi.
Kulihat Hellen yang menyeret kakinya mengimput
data yang kuberikan untuk disampaikan ke para pilot,
tanda menyetujui usulanku.
Aku berjalan mengambil jaket pelindung, bersiap-
siap untuk nanti. Namun, sebuah tangan mencegah
langkahku.
―Bagaimana kalau saya juga ikut?‖ Igor
memandangku kasihan. Aku menggeleng.
―Hei, saya terkebal kedua di sini,‖ dia menunjuk
tabel data. ―Lagian kamu bisa menerbangkan
helikopter?‖
Kali ini, aku menahan tawa. ―Kamu kira saya pesan
tiket pesawat waktu kecil dulu? Nggak, Igor. Ayah saya
punya helikopter pribadi yang nggak dipakai. Awalnya
saya hanya menonton pilot sewaan, tapi lama-kelamaan
saya yang mengemudikan. Itu perkara gampang. Kamu
nggak perlu khawatir.‖
Igor membulatkan matanya. ―Seriously?‖

Aku segera mengacir ke kabin persediaan.


Kalian juga mengira aku memesan tiket pesawat? Aih,
aku sudah plesir sendirian sejak usia 11 tahun. Kalau
bisa menerbangkan helikopter di usia 14 tahun,
seharusnya kalian tidak menganggapku aneh lagi.

171 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 172

Epilog
Rambutku berkibar tertiup angin sejuk Pantai
Pandawa. Mataku mengawasi anak-anak titipan yang
bermain di pasir pantai.
―Wah, saya nggak nyangka bisa beneran ada di
sini.‖ Igor datang membawa dua batok kelapa yang
masih gres dari pohonnya.
―Saya juga.‖ Aku menerima kelapa darinya.
―Terima kasih, ya, buat pengorbananmu.‖ Dia
meneguk air kelapa.
Aku terkekeh mengingat aksi heroikku lima tahun
silam. Ketika semua terheran-heran melihat baling-
baling berputar menyusuri angkasa. Momen itu yang
paling menarik.
Dilanjut dengan senyum bahagia 200 pendatang di
Mars, lalu pembuatan ulang gas yang lebih memadai,
lebih efisien, dan lebih aman.
Benar-benar diperhitungkan matang-matang. Saat
itu, aku mengusulkan banyak sekali ide baru yang
langsung disetujui. Bisa bayangkan kebahagiaanku?
Rutinitasku kembali terulang. Satu surat setiap
malam. Dibakar dalam doa pengantar.
Dari Mars untuk Pertiwi. Rinduku mulai terobati
sedikit demi sedikit. Rindu itu pula yang selalu
mengingatkanku untuk lebih giat bekerja.
Dalam lima tahun tersebut, kekompakan tim
berpotensi semakin terpupuk. Dan siapa sangka, kisah
cinta terjalin di mana-mana? Si A akhirnya menikahi si
B, anak divisi ini akhirnya menikahi anak divisi itu, si
Anu akhirnya menikahi si Inu.
Aku tidak ikut-ikutan. Besar cintaku kepada
Indonesia yang membuatku tak menyukai siapapun. Aku
terlalu memikirkan rasa rindu keindahan yang dulu
menemaniku tanpa henti. Sebesar itulah rinduku.
Bagaimana dengan Igor, satu-satunya sahabatku
itu?
Aku terbahak-bahak saat dia dan Hellen berduaan
di taman Mars. Ya, aku mengikutinya karena curiga saat
Igor meminta izin ke kakak pembimbing dengan muka
yang bersemu merah. Kubiarkan 15 menit, tapi tidak ada
percakapan apapun. Gemas, aku langsung berdiri di
depan keduanya, bilang kalau mereka ternyata saling
suka. Dalam hati kecilku, aku terus bertanya-tanya,
bagaimana bisa mereka bersatu padahal dulu sempat
berdebat panjang?
Ketika gas penangkal sudah diuji selama 3 bulan
dan berhasil, kami pulang ke Bumi.
Aku langsung mencari makam kedua orang tuaku,
menyampaikan rasa rindu. Tak terlalu lama, karena
sudah kurelakan. Selanjutnya, dengan helikopter yang
kunaiki sebelumnya, aku berkeliling Indonesia,
menjelajah sendirian selama 6 bulan. Satu hari satu
lokasi. Benar-benar lega rasanya. Awalnya Igor
merengek ikut, menagih janjinya. Tapi kutolak mentah-

173 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 174

mentah karena kasihan kepada Hellen yang tengah


mengandung.
Di akhir petualangan, sebuah rahasia terkuak.
Ternyata ada seorang Dewan PBB yang memulai aksi
merusak Bumi. Mulanya dia tak sadar konsekuensi yang
akan ditimbulkan.
Lama-lama, dia mengerti. Orang itu
mengusulkan pemberangkatan manusia berpotensi ke
Mars. Kenapa harus Mars? Kenapa tidak Jupiter,
Saturnus, atau lainnya? Alasannya simpel: dari dulu
sudah dipikirkan konsepnya, tinggal dijalankan. Orang
tersebut meninggal, dan surat wasiat di meja kerjanya
yang menjelaskan semuanya. Beruntunglah dirinya, kami
tak mempermasalahkannya.
Dan, di sinilah aku sekarang, menjaga anak
teman-temanku.

Yah, inilah nasib. Gara-gara hasutan Igor sialan,


semuanya terbang ke Bali, menikmati keindahan Bumi
Pertiwiku.
175 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 176

Rose dan Merahnya

Karya : Daynishelma Audira

Sepagi tadi kau membuka gorden jendela

ruang tamu. Wajahmu layu. Padahal semalam hujan


menang kelahi dengan rembulan yang hendak
menampakan keramahannya menemani sunyi malam. Kau
sendu sekali, Rose, bukankah kau seharusnya menjadi
merekah tersenyum sebab tandusmu telah terobati
semalaman. Kau memandang lama ke arah halaman
rumahmu yang kini ditumbuhi rumput liar sebab mungkin
akhir-akhir ini kau lupa memangkasnya. Pandangamu
kosong. Namun aku melihatmu tak sekosong itu. Jika
saja bisa aku buka isi pikiranmu atau setidaknya aku
bisa berkunjung kesana, rasanya aku akan
melakukannya. Pasti disana gaduh sekali. Aku hanya
ingin membuang segala hal-hal yang membuatmu kalut
seperti ini. Aku tak suka melihatmu sedih.

Rose boleh aku bercerita sedikit tentang kisah


kita? Iya, Rose kisah yang dulu selalu kau bawa
kemanapun kau melangkah. Kau menceritakannya pada
Uli dengan mata berbinar- binar. Kau bahagia sekali. Uli
seringkali bercerita padaku katanya aku harus
beruntung sebab Rose si ketus itu akhirnya bisa jatuh
cinta, dan aku harus beruntung katanya sebab aku yang
berhasil membuatmu jatuh hati. Bukan begitu, Rose?
Kalau salah nanti aku timpuk kepala Uli menggunakan
serbet kaki depan kamar mandi.

Aku Zunai yang sungguh suka melihat Rose


tersenyum. Rose pipinya merah jika tersenyum sehingga
aku suka memandangnya. Apalagi kalau Rose sudah
tertawa, ingin sekali rasanya aku membawa ia pulang
atau memasukannya ke dalam botol raksasa sehingga ia
tak bisa kemana-mana. Dia Rose yang cantik menawan.
Seratus lelaki mungkin telah mencoba membuatnya
tertarik, tetapi malangnya tak ada satu pun yang
berhasil. Dan hebatnya, aku yang berhasil. Sebab aku
adalah orang yang bertanya kepada Rose kenapa dia
tidak suka menunjukan rasa bahagianya. Apa perlu
orang-orang melihat senyumnya hanya seminggu tiga
kali saja? Rose sempat marah. Aku pun ikutan marah.
Tiba-tiba Rose memelukku, aku hanya diam tak
berkutik, terlintas pertanyaan dalam hati apakah Rose
kerasukan? Tetapi Rose malah semakin mengeratkan
pelukkannya. Aku memutuskan untuk membalas
pelukannya lebih erat. Beberapa detik suasana hening.
Hanya tersisa suara deru nafas kami berdua. Aku
dapat mencium aroma rambut Rose yang wangi tapi
bercampur dengan langu keringat sebab seharian ini
matahari sangat terik. Kami berdua sekarang ada jalan
kecil di sekeliling waduk. Aku melihat Rose yang
berjalan kemari setelah dilabrak oleh Cunil yang

177 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 178

marah sebab pacarnya suka melirik Rose. Tanpa alasan


apapun, aku hanya ingin mengikutinya. Lalu tiba-tiba
muncul keinginan untuk meluapkan amarah tentang Rose
yang jarang sekali tersenyum.

Rose melepaskan pelukannya,

―Kenapa kau mengikutiku?‖ tanya Rose,

―apa selama ini kau menjadi penguntitku?‖ Tatapan


Rose menyelidik curiga. Oh Tuhan, lihat betapa
menggemaskannya makhluk ciptaanmu ini!

―Enak saja! Aku juga punya banyak kesibukan


selama ini.‖

―Aku percaya, lalu kenapa kau tadi mengikutiku


lalu mendadak marah-marah?‖

―Karena…karena aku takut kau mau bunuh diri


tenggelam di waduk ini gara-gara Cunil.‖

―Dasar aneh. Tidak mungkin lah aku melakukannya.


Aku masih waras,‖ Rose mengambil posisi duduk
menghadap waduk, ―lalu kenapa kau mendadak marah-
marah?‖

―Karena aku suka lihat kamu senyum. Aku tidak


suka kalau kau jarang senyum. Hari- hariku menjadi
ikutan buruk jika kau tidak tersenyum! Kau kira enak?
Tidak. Kalau kau bingung kenapa demikian? Yah karena
aku sama dengan yang lain. Aku mencintaimu, Rose. Aku
sudah siap jika sekarang kau tiba-tiba mengusirku pergi
atau kau yang pergi meninggalkan aku disini.
Lakukanlah!‖ Aku merasa lega sekarang sebab semua
perasaan yang bertahun-tahun mengendap ini akhirnya
terucapkan.

―Kenapa baru mengatakan sekarang?‖ Rose


menatapku dingin. ―aku tidak mau marah, ayo kita
pacaran kalau kau mau.‖

―Hah?‖
Rose menggandeng tanganku lalu beranjak dari
duduknya. Ia mulai berjalan. Sedangkan aku? pasrah
mengikuti langkahnya dengan wajah cengo dan kepala
yang penuh dengan pertanyaan. Akhirnya pertanyaanku
terjawab setelah satu minggu kami menjalani pacaran
yang aneh ini. Kata Rose, dia sudah mencintaiku bahkan
ketika kami masih di bangku menengah pertama. Tetapi
Rose menganggap bahwa mungkin aku tidak akan
mencintainya sebab aku adalah satu dari seratus lelaki
yang tak pernah menggoda atau mencoba mendekatinya.
Rose memilih untuk mencintaiku dalam diam. Ia tak
pernah tertarik untuk menerima cinta laki-laki lain
sebab aku sudah berada dulu di ruang hatinya. Rose
mengunciku di dalam hatinya. Kata Rose, kuncinya
hilang. Jadi aku terjebak di dalamnya. Aku tertawa
sekaligus merasa bahagia ketika mendengar cerita Rose
ternyata selama ini kita sama-sama memilih diam, Rose,
memilih menderita masing-masing. Sekarang aku adalah

179 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 180

pemilik garis terdepan untuk melihat senyum Rose yang


indah.
Setiap hari Minggu, aku mengajak Rose
berkencan. Sebab hari lainnya kami sibuk sekolah dan
tugas-tugas terkutuk. Sesekali sepulang sekolah aku
berkunjung ke rumah Rose dengan alasan untuk
menggarap pekerjaan rumah bersama atau minta Rose
mengajari aku pelajaran yang tak aku pahami. Meskipun
sebenarnya aku hampir sudah paham dengan semua
mata pelajaran. Mama Rose pun menyambutku dengan
hangat setiap kali aku berkunjung ke rumahnya

Tempat kami berkencan selalu berbeda-beda,


sebab aku ingin menorehkan cerita di banyak tempat
bersama Rose. Aku ingin membangun kisah yang kelak
akan kita kenang di suatu hari. Satu lagi, aku ingin
menemui wajah Rose di setiap tempat, sehingga jika aku
sedang tak bersamanya, rinduku akan dengan senang
hati tersenyum mengingatnya.

Kencan pertama kali aku dan Rose pergi ke pantai


yang tak jauh dari desa. Rose gembira sekali saat aku
mengajaknya naik perahu menyebrangi laut menuju ke
pantai pasir putih, atau terkenalnya di lingkungan kami
sebagai ―Surga yang Tersembunyi‖. Rambut Rose
mengikuti angin yang berdersir, wajahnya bersinar
terkena pantulan sinar matahari. Rose tersenyum.
Semenjak kami menjadi sepasang kekasih, Rose
seringkali tersenyum yang membuatku candu untuk tak
ingin jauh darinya.

―Zun, kenapa kau suka sekali melihatku seperti


ini?‖ Tanya Rose setelah menolehkan kepalanya
menghadap ke arahku.

―Rose, apa kau selalu haus akan pujian, huh?‖


Rose terbahak, ―Bukan gitu, maksudnya, apa kau
tak bosan?‖ Rose mengalihkan beberapa helai rambut
yang menutupi wajahnya karena tertiup angin.
―Tentu saja bosan, sayangnya itu sudah melekat
menjadi pekerjaanku. Kan kalau bekerja, bosan tidak
bosan harus tetap dilakukan supaya dapat uang.‖
―Aku tidak memberimu uang, Zun.‖
―Kau memberikan aku kebahagiaan, bagaimana
Rose?‖
―Terserah kau saja!‖
Aku tertawa melihat pipi Rose yang mendadak
kemerahan. Ia langsung memalingkan wajah dariku
untuk menatap biru lautan yang berkilauan.
Itu adalah kencan pertama yang menyenangkan
untukku. Setidaknya aku bisa benar- benar memercayai
bahwa Rose sekarang adalah milikku dan tiada siapapun
yang dapat mengambilnya, kecuali jika semesta benar-
benar memaksa atau kami akan di hukum berat jika
melanggar.
Kencan-kencan berikutnya ternyata juga selalu
menyenangkan meski tak jarang juga kami sering

181 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 182

bertengkar karena hal-hal sepele. Sepertinya,


melakukan apapun asal bersama Rose akan
menyenangkan.
Kami suka sekali duduk di gubuk bambu tengah
sawah milik bapak Rose di minggu sore setiap kami baru
saja pulang dari ―kencan‖ ke berbagai tempat. Tempat
ini membuat nyaman atas setiap lelah yang terasa. Kami
seringkali tertawa melihat orang-orangan sawah yang
berjoged ke berbagai arah karena tiupan angin. Aku
juga senang tertawa saat melihat Rose mulai
bertingkah konyol. Ternyata Rose tidak seanggun yang
orang lain kira. Tetapi aku justru merasa senang.
Pernah suatu waktu di gubuk itu Rose menangis,
aku tidak tahu sebabnya. Ketika aku tanya ia malah
semakin menangis akhirnya aku memilih diam sambil
menunggu tangisnya reda. Rose menatap mataku dengan
matanya yang masih tergenang air mata.
―Ikan,‖ ucap Rose ketika tangisnya berhenti.
―Hah? Ikan?‖ Rose mengangguk. Lalu menatap
kedua jarinya yang saling bertautan di depan dada.
―Ikan yang kamu berikan hilang‖
―Iya terus?‖
―Sedih, kan itu hadiah pertama darimu.‖
―Iya bukan pertama, kan? Besok kita ke kali lagi.‖
―Ngapain?‖
―Jualan bakwan, Rose‖
―Kok bakwan?‖
―Ya cari ikan, sayang‖
―Tidak, aku tidak mau. Mending kita sholat gaib
aja buat ikan kita yang hilang.‖
―Memang ikannya tiba-tiba hilang, begitu?‖
―Tidak, Arum yang membuangnya ke got lalu hilang
terbawa limbah. Aku marah ke Arum tiga hari.‖
Aku tertawa. Ada-ada saja manusia satu ini. Rose,
aku ingin sekali bisa melihatmu sepanjang waktu. Aku
ingin bisa mendengar suara lembutmu yang bercerita
tentang banyak hal. Dari cerita tentang teman-temanmu
sampai cerita tentang Cinderella yang sepatunya pura-
pura ditinggal. Aku benci sekali melihatmu yang
terkadang menangis jika bapakmu sakitnya kambuh,
tetapi aku tidak punya kuasa untuk menghentikan
semesta memberikan rasa sakit pada bapak. Aku hanya
bisa memberikanmu bahu setidaknya untuk membuatmu
merasa tenang dan aman. Andai saja aku seorang
penulis buku, mungkin aku akan dengan suka cita
menuliskan betapa indahnya Rose. Betapa aku
mencintainya.
Rose rajin sekali membantu pekerjaan ibunya.
Kencan kami selalu diawali dengan aku yang menunggu
Rose di kursi ruang tamu Rose. Seringkali aku mengetuk
rumahnya beberapa kali baru dibuka, pun langsung
menampakan tubuh Rose yang berkeringat atau aroma
tubuh Rose yang berbau bumbu-bumbu dapur. Dia hanya
meringis dan menyuruhku untuk menunggu beberapa
menit sebab ia mau mandi dulu. Aku mengangguk dan
tak mempermasalahkannya. Sebab dengan ini pula aku

183 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 184

sering ngobrol dengan keluarga Rose sehingga aku


menjadi dekat dengan mereka.
Ibu Rose adalah orang yang ramah, wajahnya
cantik, kulitnya berwarna kuning langsat. Rose seperti
jiplakan dari Ibunya, hanya saja Rose mendapatkan gen
kulit putih yang mungkin saja ia dapatkan dari
bapaknya. Ibu Rose adalah seorang tukang masak yang
sering mendapat pesanan dari orang-orang yang
mengadakan hajatan, maka dari itu Rose sering
berkutat membantu ibunya di dapur. Bapak Rose sendiri
sudah sakit-sakitan, meskipun sesekali bekerja
serabutan jika kondisinya cukup membaik. Arum masih
duduk di bangku sekolah dasar. Ia tak cantik, tetapi
manis tak terkira. Apa keluarga ini memang keturunan
bidadari semua?
Suatu sore yang baik, aku berdandan serapi
mungkin untuk kencan dengan Rose. Mungkin biasa
disebut sebagai ―malam mingguan‖? Sebab di lapangan
kampung sebelah sedang ada pasar malam. Aku ingin
mengajak Rose kesana. Semingguan terakhir kami tidak
bertemu, selain karena aku sibuk intensifikasi olimpiade
sekaligus dua hari terakhir aku ke Jakarta untuk
kompetisinya, Rose juga sibuk acara ―Himpun Alam‖
sebagai acara organisasinya. Baru hari ini, setelah aku
kembali dari Jakarta dini hari tadi, aku langsung dapat
informasi dari emak kalau di kampong sebelah ada
pasar malam. Baiklah, suatu ide bagus untukku
menuntaskan rindu dengan gadis pujaanku.
Aku memarkirkan motorku di pelataran rumah
Rose. Rose tengah duduk di bangku teras bersama
keluarganya yang lain. Aku menjadi gugup seketika,
sebab jarang aku berinteraksi dengan bapak Rose yang
selama ini jika tidak sakit di kamar ketika aku kemari,
maka sedang ke luar rumah untuk bekerja. Mendadak
aku bingung bagaimana cara pamit yang bisa membuat
mereka setuju aku mengajak putri cantiknya kencan di
malam hari. Sebelumnya memang tidak pernah. Bahkan
kami selalu pulang kencan sebelum maghrib.
Rose tersenyum menyambutku, begitu pun dengan
bapak dan ibunya. Arum sendiri sibuk bermain dengan
congklaknya meskipun seorang diri. Aku memberanikan
diri untuk mengutarakan apa maksud kedatanganku
kemari. Lalu ibu Rose tertawa saat melihat wajahku
yang mungkin terlihat sangat gugup dan kacau.
―Iya, ndak apa kalau Zunai mau ajak Rose ke pasar
malam, asal jangan pulang kemalaman. Zunai juga ndak
boleh macam-macam, awas loh!‖ Peringat ibu Rose yang
membuat aku dan Rose tertawa. Mana mungkin aku akan
macam-macam dengan gadis secantik Rose? Entahlah.
Tetapi aku tidak akan melakukan apapun, sungguh!
Rose masuk ke dalam rumah setelah sebelumnya ia
berkata padaku kalau aku perlu menunggu sebentar, ia
akan ganti pakaian dan berdandan sedikit. Untuk apa
berdandan? Kau sudah cantik. Malahan aku menjadi
resah sebab nanti pasti banyak pemuda nakal yang akan
memandangi kecantikan Rose.

185 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 186

Rose keluar dengan terusan selutut berwarna


krem serta sling-bag yang sepadan dengan pakaiannya.
Sebenarnya aku ingin mengomentari penampilan Rose
malam hari ini yang terlalu cantik lalu menyuruhnya
berganti pakaian yang membuatnya tak secantik ini.
Mungkin bisa menggunakan celana jeans atau kulot
dengan atasan kaos saja. Tetapi kecil kemungkinan
kulakukan. Pertama, aku hanya ingin menjaga suasana
tetap baik karena Rose suka sulit untuk diberikan
saran. Kedua, mana bisa pula aku mengomentari pakaian
orang padahal orang tuanya saja juga tidak masalah.
Akhirnya kami menuju ke pasar malam setelah kami
berpamitan dengan orangtua Rose.
Kami sampai di pasar malam yang tampak
berwarna-warni dari segala sudut. Rose senang sekali,
katanya ia terakhir ke pasar malam waktu masih kelas
tujuh. Itu pun harus sabar dan tidak bebas sebab ia
harus menjaga Arum yang masih kecil.
Malam ini wajahnya merekah, mengalahkan sinar
rembulan yang bersinar diatas kami.
Baru masuk ke dalam pasar, Rose langsung merajuk
ingin menaiki wahana komidi putar. Aku tidak mau karena
itu hanya untuk anak kecil, tetapi Rose tetap kekeh
dengan keinginannya. Aku pun mengalah dengan
keputusan yang sama-sama tidak membuat rugi. Aku
berdiri si luar wahana seperti seorang bapak yang
menunggui anaknya bermain, Rose adalah anaknya.
Setelah komidi putar, Rose ingin naik kora-kora
yang membuatku menelan salivaku keras-keras. Untuk
wahana ini tidak ada alasanku untuk tidak ikut selain
rasa takut. Demi menjaga martabatku, aku
memberanikan diri, meskipun sepanjang wahana
dijalankan, aku terlalu banyak menutup mata sambil
menahan mual merasakan organ dalam bagian badan
berpindah-pindah letak. Rose tertawa terbahak saat
melihatku ketakutan itu.
Kora-kora selesai, sekarang aku yang merajuk
untuk naik bianglala untuk menenangkan diri. Rose
membelalakan matanya saat mendengar keinginanku itu.
Dia berasumsi kalau naik bianglala justru akan
menambah rasa mual, apalagi kalau tiba-tiba berhenti di
puncak tertinggi. Setelah perdebatan kecil, kami tetap
memutuskan untuk naik wahana kesukaan banyak orang
itu.
―Bagaimana kabarmu seminggu terakhir ini?‖
Tanyaku pada Rose.
―Yah menyenangkan, kami berhasil dengan acara
yang kami adakan.‖ Rose tersenyum. Matanya berbinar
menerawang kerlap-kerlip lampu rumah penduduk yang
dari jauh tampak indah dalam serangkaian. ―kau?
Bagaimana kompetisimu?‖
―Apa kau tidak tahu kalau aku memang cerdas?‖
Tanyaku jahil. Rose menjitak kepalaku membuatku pura-
pura meringis kesakitan.
―Narsis!‖

187 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 188

―Memang,‖ aku menjulurkan lidahku, ―aku masuk


tiga besar kejuaraan meski hanya runner up‖
―Sungguh? Hebatnya Zunaiku ini!‖ Rose mencubit
kedua pipiku yang sungguhan memang sakit.
―Tadi menjitak, sekarang mencubit, kayanya perlu
dilaporkan ke Komnas HAM nih atas tindak kekerasan.‖
―Enak saja! Kau dapat hadiah?‖ Aku mengangguk.
―Apa?‖
―Uang sama beasiswa‖
―Beasiswa?‖
―Iya, aku sudah diterima salah satu universitas
ternama di Jakarta karena tiga besar perlombaan ini,‖
―Kau akan melanjutkan sekolahmu di Jakarta
setelah kita lulus nanti?‖ Aku mengangguk lagi.
―Kau memang hebat, Zun! Aku bangga,‖ Rose
tersenyum. Sejatinya aku mengerti itu bukan senyum
yang baik-baik saja, ada raut kesedihan di dalamnya.
Aku tahu Rose, kau selalu benci dengan jarak. Keadaan
menjadi hening sampai kapsul bianglala kami sudah
habis waktunya. Kami berdua turun lalu membeli arum
manis dan duduk di bangku yang disediakan oleh
penjualnya.
―Rose, kau sedih, ya?‖
Rose tersenyum, lagi-lagi dengan senyum yang
kumengerti. ―Aku sedih. Tetapi sedihku tidak boleh jadi
penghalang mimpimu. Aku akan selalu mendukungmu,
Zun.‖
―Aku berdoa juga kau akan menyusulku,‖
―Tidak, Zun, ibu menyuruhku tetap disini saja.
Maksudnya, aku tetap kuliah, hanya saja di tempat yang
masih menjangkauku untuk bisa berangkat-pulang dari
rumah,‖
Aku mengerti dengan rencananya. Rose tidak
pernah benar-benar bisa meninggalkan keluarganya. Ia
memiliki mimpi yang sangat besar, tetapi ia memiliki
keluarga yang harus ia jaga.
―Zun, tetapi ada satu hal yang membuatku sangat
sedih,‖ Rose menatapku lekat
―Aku belum siap jika rindu akan liar mengikutiku.
Bagaimana jika aku terus merindukanmu nanti? Aku
harus melakukan apa?‖ Kesedihan Rose yang sedari tadi
ia tahan akhirnya meledak.
―Nanti pasti aku kirimkan email setiap hari, kau
jangan khawatir. Kau percaya padaku, bukan?
Rose mengangguk dan meletakan kepalanya di
bahuku. Aku selalu merasa tenang saat ia melakukan ini.
Aku merasa menjadi laki-laki paling beruntung jika
dibayangkan.
Rose, apakah kau tahu? Bahkan saat kau khawatir
akan rasa rindu itu, keresahanku lebih buruk
daripadamu. Hanya saja, kusimpan dengan baik dalam
hati supaya tak menambah beban sedihmu.
Aku mengantar Rose pulang setelah menghabiskan
arum manis. Keadaan mendadak menjadi canggung jika
dibiarkan untuk tetap senang, padahal dua hati manusia
tidak sedang dapat dipaksakan untuk baik-baik saja.

189 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 190

Esok harinya aku mendapatkan email dari


universitas dimana aku harus segera menyiapkan segala
berkas untuk pendaftaran ulang. Mimpiku sejak kecil
akan benar-benar menjadi nyata. Bahkan ketika aku
memberi tahu emak perihal aku diterima, ia teramat
bahagia sampai membagikan makanan ke tetangga
sebagai bentuk rasa syukur. Bang Rob, abangku,
membelikanku sebuah laptop dengan duit tabunganya,
sebab katanya di Jakarta sudah tidak zaman lagi
menggunakan computer seperti aku biasanya. Lalu
abah? Beliau akan menjual sawahnya untuk biaya
hidupku nanti di Jakarta. Lihat! Betapa keluargaku
sangat bahagia atas pencapaianku. Setidaknya aku
merasa bahagia telah membuat mereka bahagia,
meskipun di sisi lain aku merasa sedih sebab ada Rose
dan beberapa keresahan yang menyeruak di kedua bola
matanya.
Beberapa bulan kemudian, setelah kami melewati
berbagai ujian sekolah maupun ujian hidup yang
bertubi-tubi, Rose mengajakku ke tepian waduk tempat
cinta kita bertemu pertama kali sekitar dua tahun yang
lalu. Rambut Rose semakin memanjang dan kini tergerai
tak seperti biasanya yang dikucir kuda. Kemarin adalah
pengumuman kelulusan, Rose menjadi lulusan terbaik
angkatan kami. Aku tersenyum bangga serta
mengacungkan jempol ketika Rose maju ke hadapan
semua orang untuk memberikan sepatah dua kata. Rose
juga sudah diterima di universitas dalam kota
mengambil program studi ―kesehatan masyarakat‖
melalui jalur rapor, padahal Rose bisa saja diterima di
program studi kedokteran, tetapi dia tidak ingin
sebab alasanya dia harus cepat menyelesaikan kuliah
lalu setelahnya bekerja dengan baik untuk menghidupi
keluarganya. Aku sangat menghargai keputusan Rose
yang menurutku bijak untuk dilakukan.
―Kau tahu kenapa aku mengajakmu kemari?‖ Tanya
Rose padaku, tatapanya masih mengarah ke waduk dan
ke jongkong yang melaju pelan di atas waduk.
―Untuk sama-sama mengenang?‖
Rose menggeleng, ―Bicaralah banyak hari ini di
sini. Dan kita akan menghabiskan seharian nanti di
tempat ini. Kau keberatan, Zun?‖
Aku menggeleng pelan, masih tak mengerti dengan
maksudnya.
―Habiskan banyak waktu disini, sehingga bila esok
aku merindukanmu aku hanya perlu kemari. Jika aku
merindukan suaramu mungkin aku akan bertanya pada
air yang hari ini telah siap merekam suara-suaramu,
maka bicaralah banyak untukku, Zun.‖
―Rose?‖
―Iya, Zun? Kau tidak perlu khawatir jika aku
merasa sedih saat ini sebab nanti aku juga akan baik-
baik saja, kau percaya padaku, bukan, Zun?‖
―Rose aku akan berusaha untuk tetap
memberikanmu kabar setiap hari. Aku akan bercerita

191 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 192

padamu tentang banyak hal. Pasti, Rose. Jarak tak boleh


ada untuk kita jika kita masih ada di bumi yang sama.‖
Rose mengangguk sembari tersenyum. Senyum
manis milik Rose yang membuat hatiku merasa tenang
saat melihatnya.
Kami berpisah tepat setelah Rose memberikan
secarik surat dan sekotak benda. Kata Rose aku baru
boleh membaca suratnya jika aku sedang di pesawat,
lalu kotaknya baru boleh aku buka jika aku sudah sampai
di Jakarta. Rose memelukku erat seperti dua tahun lalu
sebelum kami meninggalkan waduk untuk perpisahan
yang mungkin akan berlangsung lama. Aku pamit dengan
Rose ketika ia sudah berdiri di teras rumahnya, ia
tersenyum dan menyuruhku untuk tetap menjaga diri
baik-baik. Besok siang aku harus mulai meninggalkan
tempat kelahiranku dan mulai mewujudkan mimpi-mimpi
besarku di ibukota untuk keluargaku, dan tentu saja
untuk Rose.

Untuk Zunai, aku rose.


Jarak bukan perihal sederhana. Tapi bentang
jarak kita menjadi istimewa Sebab kita sepakat,
bahwa mimpi-mimpi harus tergenggam.
Lepas ketakutan apakah rindu akan liar
berkelana Ataukah kita akan baik-baik saja, bahkan
ketika rindu-rindu itu memilih sembunyi di balik
tirainya.
Sesekali menampakan diri untuk sekadar
memastikan kalau aku disini menantimu dengan
tenang.
Gusar dan risau pada akhirnya menjadi
perasaan yang menetap Tetapi yakinlah kita akan
baik-baik saja.
Walau sebenarnya, ketakutan terbesarku
bukan lagi soal jarak dan rindu yang tak memiliki
temunya. Melainkan kita yang akan berubah. Jika
jarak raga itu lambat laun memisahkan rasa

Aku tersenyum usai membaca surat itu. Lalu


kucoba pejamkan mata sebab untuk sampai ke Jakarta
masih cukup lama, namun nihil pikirku justru
menerawang jauh.

Beberapa jam berikutnya, aku telah sampai di


Jakarta. Ternyata kota ini gaduhnya tak melebihi
berisik dalam kepalaku saat baru saja menginjakan kaki
di kontrakan. Sepanjang perjalanan tadi, aku
memikirkanmu Rose. Aku memikirkan tentang janjiku
pada bapaknya yang harus kutepati.

***

Tiga tahun berlalu setelah perpisahan di waduk


bersama Rose. Tiga tahun aku memperjuangkan segala
hal yang bisa kulakukan untuk mimpiku. Aku dan Rose
pada awalnya tetap rutin bertukar kabar, tetapi

193 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 194

setahun terakhir karena memang kesibukan masing-


masing, kami bertukar kabar seminggu sekali pun sudah
termasuk baik.
Kami sering bertengkar dan berselisih paham
karena waktu kita yang sukar bertemu. Rose sibuk, aku
tidak. Aku sibuk, Rose senggang. Rose selalu
menyisipkan kata ―rindu‖ dalam setiap pesannya, bahkan
tidak pernah absen untuk mengatakannya. Mulanya aku
merasa bahagia bahwa ada seseorang yang menungguku
kembali di luar pulau sana. Tetapi lama- kelamaan aku
juga menjadi jengah, aku merasa mengapa Rose tak
mencoba mengerti dengan aku yang kerja keras di kota
metropolitan ini. Aku juga berjuang salah satunya untuk
dia, tetapi kenapa ia suka sekali merajuk dan marah-
marah dalam pesannya.
Pertengahan tahun keempat tiba-tiba laptopku
mati total, padahal aku sedang dijejalkan ―skripsi‖ yang
tak kunjung usai. Uangku tak cukup untuk service atau
beli laptop baru. Aku menyusun skripsi menggunakan
laptop senior yang aku kenal dekat. Aku juga tidak bisa
memberikan kabar kepada Rose karena seniorku tak
meminjamkan sepenuhnya, ia masih sering pula
menggunakannya. Skripsiku berkali-kali di tolak oleh
dosen dengan berbagai argumentasi yang membuatku
geram.
Di sisi lain, usaha bisnis yang aku mulai aku
bangun bersama salah satu temanku sejak semester
dua hancur lebur karena ternyata temanku terlilit
banyak hutang dan segala modal serta aset bisnis aku
rela pinjamkan untuk ia lunasi hutangnya. Tetapi
ternyata tak cukup juga. Boro- boro temanku itu
mengembalikannya, bahkan untuk menutup hutangnya
pun belum mampu ia lakukan. Aku mengerti dengan
keadaanya dan mencoba menerima bahwa setiap bisnis
pasti memiliki konsekuensi. Dan inilah yang
menyebabkan keunganku kacau, bahkan untuk
memperbaiki laptop pun tak cukup.
Beberapa bulan kemudian, setelah aku melewati
titik-titik dalam satu rangkaian garis hitam dunia
perkuliahan yang sungguh membuatku semakin kurus,
akhirnya aku selesai. Dan dua minggu lagi, aku akan
wisuda. Maka dari itu, hari ini aku akan balik ke
muasalku untuk menjemput keluargaku untuk datang ke
acara wisuda.
Setibanya di rumah, semua keluargaku
menyambutku dengan hangat. Padahal, aku pulang kesini
pun dengan rasa takut dan kecewa yang teramat besar
sebab belum mewujudkan harapan mereka. Aku hanya
baru tamat perguruan tinggi. Nanti ke depan langkahku
masih terlalu panjang. Setelah ngobrol singkat dengan
mereka, aku ke kamar untuk istirahat. Bang Rob
kemudian menyusulku dan bertanya kenapa aku tak
pernah membalas email akhir-akhir ini, lalu kujelaskan
kronologinya. Bang Rob menghembuskan nafasnya
berat, ―Bapak Rose meninggal tiga minggu yang lalu.‖

195 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 196

Kalimat bang Rob membuat nafasku tersengal.


Aku menatapnya tidak percaya. Bang Rob kemudian
mengambil dua amplop dari bawah lampu meja
belajarku.
―Ini dari Rose, ia memberikan padaku pertama
sekitar empat bulan lalu, kalau yang satunya lagi tepat
dua hari setelah bapak Rose meninggal,‖

Untuk Zunai, aku Rose,


Kenapa kau menghilang? Apa kau marah
padaku yang selalu merajuk? Aku tidak dapat baik-
baik saja dan berhenti resah, maafkan aku, sebab
rindu akan selalu memberikan prasangka. Apa akan
menjadi nyata bahwa jarak akan segera memisahkan
rasa? Zun, aku bertanya, tolong jawab!
Apa mudah untuk merindukanmu terus
menerus tanpa kepastian? Tidak pernah mudah, Zun.
Aku selalu menderita dalam penantian ini meskipun
telah aku coba untuk tetap baik-baik saja.
Bagaimana tidak? Selalu kutemukan wajahmu bahkan
dalam hidup- hidup yang tak terasa nyata.
Dan kini kau menghilang tanpa bicara apapun?
Apa bertahun-tahun tak ada waktumu untukku
ketika kau pulang? Kenapa kau tak pernah menemuiku
padahal setahun sekali kau pulang? Aku tahu dari
Bang Rob. Setidaknya beri aku kepastian sekali lagi
saja.
Aku meremas kertas itu kuat-kuat. Oh semesta,
aku ingin memeluk gadis itu sekarang dan mengatakan
bahwa aku juga selalu menderita karena merindukannya.
Aku ingin menemuinya untuk menjelaskan semuanya
tetapi tak bisa.
Kemudian aku membuka amplop kedua.

Untuk Zunai, aku Rose


Bapak meninggal kemarin lusa, Zun, apa kau
sudah tahu? Kenapa kau tak datang katanya kau tak
suka melihatku sedih. Sekarang aku sedih sekali,
Zun. Aku tidak tahu harus melakukan apa.
Ibu sawan sepeninggal bapak. Membuatku
semakin terpuruk. Tidak kah kau datang untuk
menenangkanku?
Baiklah, Zun tidak apa kau tak ada. Aku telah
menyerah, Zun. Rinduku yang lelah telah punah. Aku
telah kalah dalam penantian ini.

Tidak, Rose, kau tak boleh menyerah. Tidak boleh


kumohon. Apa kau tahu kenapa aku tak pernah
menemuimu? Sebab aku telah berjanji pada bapaku
ketika kau ganti pakaian hendak ke pasar malam kalau
aku tak boleh menemuimu lagi setelah berangkat
merantau kecuali jika aku pulang benar-benar sudah
sukses dan layak sebagai pengganti ayahmu untuk
menjagamu. Ibu dan ayahmu sudah lebih dulu tahu

197 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 198

tentang hadiah dari kompetisiku waktu itu. Aku tak


boleh ingkar janji, bukan Rose?
Semalaman aku menangis setelah membaca isi dua
amplop tersebut, riuh gemercik hujan di luar menemani
kesedihan ini.
Esok paginya aku menuju rumah Rose, bukan untuk
menemuinya, melainkan aku hanya ingin melihat dirinya.
Gadis yang selalu menjadi tokoh utama dalam ruang
perasaan ini. Hatiku kacau sekali saat Rose membuka
gorden itu. Rasanya aku telah gagal sebagai orang yang
layak ia cintai. Aku gagal, bukan, Rose?

Rose, tidakkah kau memberikanku waktu dengan


menghadirkan rindu yang telah punah itu? Aku janji
akan mempertemukan rindu-rindu kita. Masih bisakah
aku menjadi merah untukmu, bunga mawar?
Saudade
Karya : Dewita Wilana

Berlin tidak seluas itu untuk menemukan

masa lalu, tentang ujung yang memaku pada awalan


paling tidak tahu apa-apa. Alice bukan lagi si periang,
atau pemecah ketegangan. Ia hanya sosok wanita
paling tidak beruntung sebab perceraiannya yang
dinilai tidak elegan untuk kaum bangsawan.
Namun begitu, Jason dan hanya Jason yang
berkeliling tanpa syarat apa pun pada jiwanya yang
bergetar. Ia tidak tahu kata mana yang lebih halus
dari sebuah ukiran rindu yang membatu. Dua tahun,
oh tidak, Alice tidak suka menghitung hari seme njak
ia tidak bisa lagi menemui Jason di mana pun. Lalu
pergelaran pernikahan yang sebenarnya hanya
kekonyolan politik mulai melibatkannya.
Ia tidak ingin bersikap kasar, namun barangkali
Jason akan kembali setelah mengetahui
ketidakberuntungannya?
‗Aku akan kembali sedikit lagi, karena
meninggalkan seseorang yang merindukanmu adalah
tindakan yang sangat tidak sopan‘
Kelakar Jason pada kertas cokelat dalam
jemari Alice, tahun baru kembali. Namun Jason
hanya menyapanya lewat tulisan. Apakah aksara
tersebut berlakon selayaknya bait-bait menggetarkan

199 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 200

Shakespeare? Alice tidak punya pegangan apa-apa


untuk berharap, namun- ―Tidak percaya pada
seseorang yang dicintai adalah penghinaan
terbesar.‖ -ia selalu tahu bentuk sopan santun yang
paling manis.
―Berniat menyalahkan seseorang?‖ bariton tua
telah bergema dari balik mahoni kamarnya, tak
bergeser, si pemilik suara hanya berpapasan di sela
pintu yang terbuka sedikit. Alice Schulze memutar
tubuhnya, lekas pula ia melebarkan pintu.
―Aku tidak pernah punya rencana yang
demikian,‖ kendati senyumnya lumayan ringan, sang
ayah tak bisa memastikan jika di dalam hatinya Alice
sudah merasa baikan.
―Punya rencana apa setelah ini?‖ sekilas Alice
merasa ayahnya jauh lebih berduka, sekaligus cemas
perihal kehidupan putrinya. Namun Alice telah menyusun
banyak penantian untuk Jason, hanya penantian yang
terlihat membuang waktu.
―Menunggu mungkin?‖ gelaknya untuk sedikit
terlihat lincah, memang apa lagi yang semestinya
dilakukan untuk pria yang benar-benar ia rindukan?
―Membosankan, rencanamu itu!‖ tukas ayahnya
seraya terkikik, lalu kembali memutar tungkainya untuk
semakin menambah jarak dengan Alice. Tentu
putrinya tidak lantas menutup pintu setelah itu, Alice
menurunkan sudut bibirnya. Ia tidak pernah mudah
untuk kembali tersenyum.
―Bagaimana dengan mengukir cerita? Kau suka
sekali dengan Shakespeare,‖ ayahnya tahu-tahu
berujar demikian, berhenti terlebih dahulu setelah
berjalan hingga dua meter. Alice lumayan tersentak
sebab ia gemar sekali melamunkan banyak hal.
―Akan kutulis semua kisahku, mana tahu bisa
kujadikan aset untuk keturunanku,‖ ujarnya dengan garis
bibir tertarik ke atas.

***

Pekan ketujuh setelah perceraian, Alice masih


pada tujuan utamanya. Kepalanya mulai dirasa uring-
uringan setelah tak ada lagi berita lanjutan mengenai
kabar seorang Jason Friedrich. Bukan hal kecil jika kau
dicampakan sebanyak dua kali dalam hidupmu. Alice tak
pernah bisa lagi memiliki pemikiran yang searah dengan
niat baiknya untuk menghentikan praduga setelah ia
diceraikan secara sepihak.
―Memang terbilang cepat, namun melihatmu begini
aku tak bisa berhenti berpikir,‖ suatu malam bulan
penuh, ibunya bertandang di atas ranjang lebarnya
untuk berungkap banyak hal yang membuat Alice muak
seribu kali lipat.
―Serius ini hanya untukku? Tapi dari yang kau
katakan seolah hal paling penting adalah penilaian
orang lain terhadap keluarga kita,‖ kendati lembut, itu
tidak terlalu layak untuk dibilang sebagai pemberian

201 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 202

kata yang sopan kepada seorang ibu. Alice mengerling,


hampir saja kelopak matanya menjatuhkan beberapa
tetes kepingan kaca.
―Bagaimana caramu menunggui pria yang kau
panggil Jason itu sangat membuatku prihatin,‖ sorot pupil
ibunya terus mendesak, namun Alice enggan menatapnya
lebih dari dua detik.
―Berhenti melakukan banyak hal ketika harus aku
yang menanggung semuanya, aku tidak mau lagi
mengiyakan pernikahan buatanmu. Aku selamanya
membenci politik bangsawan,‖ Alice masih mampu
menahan diri untuk tidak menegakkan oktaf tingginya
di udara. Jawabannya mutlak, bagaimana pun cara orang
lain mengecoh pendiriannya.
―Kurasa aku tidak pernah mendidikmu untuk
membantah,‖ hanya perlu satu detik untuk Nyonya
Schulze menampakkan ekspresinya yang sangat jengkel.
―Kurasa kau juga tidak pernah mengajariku untuk
mendengar dan mengerti perasaan orang lain,‖
setelahnya, Nyonya Schulze merasakan amarahnya telah
berada di atas ubun- ubun, bukan tidak mungkin dirinya
menggunakan telapak tangan untuk mencetak memar
di pipi putrinya. Lalu konversasi malam itu berakhir tepat
ketika Nyonya Schulze berlalu dari ruang pribadi Alice.

***
Sabtu perdana Mei, harusnya jika menurut pada
perencanaan, Alice telah menjamu calon suami barunya
di ruang mewah dengan hidangan kelas utama Jerman.
Sebut saja ia sedikit kurang beruntung sebab terikat
pada seorang ibu yang gemar memaksa, dan kabar
baiknya ia memiliki pribadi seorang ayah yang penuh
empati. Alice tidak bisa dibilang menjelajah seluruh
kota di negeri itu, karena ayahnya yang sangat baik
telah memberinya banyak petunjuk untuk menemukan
pusat rindunya.
―Ibunya meninggal sebulan lalu, rumah ini telah
dijual sehari setelah pemakaman,‖ Alice menyesal
belum mempersiapkan kemungkinan terburuk dalam
asumsinya. Jason kembali menghilang, seperti semua
kesabarannya hanyalah sebuah permainan
keberuntungan.
―Jason juga tak menitipkan pesan apa-apa,
maaf jika kurang membantu,‖ gadis pemberi informasi
itu sepantaran dengan Alice. Cukup lama bertetangga
dengan Jason, kurang lebih dua tahun, meski begitu
tidak ada informasi memukau yang bisa Alice dapatkan
darinya.
―Tak masalah, terima kasih atas waktumu,‖ Alice
tidak terlalu memerhatikan ketika gadis itu berjalan
menjauhinya, netranya hanya mengamati kediaman
sederhana Jason, ia enggan beranjak dengan sedikit
berontak pada pikirannya. Berharap semua yang ia

203 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 204

dengar tadi hanya bentuk dari sedikit kejutan Jason


dalam menyambutnya bertamu.
―Bagaimana bisa kau merencanakan banyak hal
yang menyakitiku, Ibu?‖ Alice hanya bergumam sangat
minim, seraya maniknya yang terus memaku pandangan
pada rumah kecil kecokelatan di depan mukanya.
Alice belum pernah membenci sejauh ini, sebelum
pengungkitan terbesar mengenai surat-surat Jason yang
berisikan alamat rumahnya tertahan pada tangan sang
ibu. Sudah semestinya hal itu sangat kurang ajar sejauh
Alice belajar teori sopan santun dalam menyampaikan
pesan penting orang lain. Mungkin Jason beranggapan
Alice telah membelokkan hatinya untuk pria lain dengan
kelas bangsawan tertinggi? Jason sudah pasti dengan
mudah berpikiran demikian dalam keadaan tidak
menguntungkan seperti ini.
Crinoline dalam kain biru gelapnya mulai terasa
sangat mengganggu ketika napasnya berdesakkan.
Pantofel hitamnya juga semakin menyusahkan hingga
tungkainya nyaris limbung. Alice bukanlah seseorang
yang dengan mudah menguasai situasi, ia sangat sulit
berbohong atas segala hal.

***
Selama lebih dari delapan hari Alice hanya
meringkuk di sudut ranjang, kehabisan cara dalam
berpikir tanggap. Serupa mayat hidup jika hendak
mengibaratkan kondisi raganya saat ini. Riasan wajahnya
sudah ditata kelewat apik, tentu parasnya kian
menawan. Tapi Alice telah mengeluarkan banyak derita
di balik sorot matanya yang lebih sendu dari kemarin-
kemarin.
―Bisa kulihat kau sangat menyukai Othello,‖
kalimat topik yang kesekian dari seorang Jeremy Braun.
Alice masih sangat tidak tertarik, hanya bergumam
sekenanya tanpa ekspresi tambahan. Ia jelas sangat
tidak peduli terhadap apa pun yang ada pada Jeremy
Braun. Lagipula ia tidak akan pernah beranjak untuk
menghadiri teater ini jika saja bukan karena paksaan
ibunya.
Pun Alice malas berusaha terlihat antusias.
Jeremy masih akan terus mengoceh sampai Alice
tertarik untuk berbicara lebih dari dua kata, maka
Alice berujar jika ia tidak suka mendapat kebisingan
ketika tengah menikmati teater. Othello adalah
kegemarannya jika itu Jason yang memerankan dan
berlakon anggun di panggung sana.
Hingga narasi paling bontot, Alice masih
melompongkan pikiran. Jeremy harus memanggil namanya
tiga kali agar Alice tersentak. Mungkin Jeremy tidak
punya lagi hal menarik sebagai pacuan untuk membangun
cita rasa roman terhadap Alice, maka pemuda itu
sepanjang perjalanan menuju jalan keluar gedung hanya
bungkam.
―Bagaimana dengan makan mal-―

205 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 206

―Aku harus pergi. Pulang saja duluan!‖ bola mata


Alice yang memang bergeser ke segala arah tanpa
sengaja menemukan rupa yang sangat ia rindui. Seorang
pemuda Friedrich, dengan kemeja abu-abu yang telah
mengusam. Tentu tanpa ragu ia abai terhadap Jeremy.
Malah Alice cenderung tidak peduli pada apa-apa selain
Jason. Beberapa orang telah hampir terjatuh berkat
geraknya yang kelewat gesit di tengah kerumunan. Tak
ada satu pun yang menerima permintaan maaf dari Alice,
sebagian abai, namun kebanyakan mengumpati Alice.
Mungkin ini adalah cara berlari Alice yang paling
menggila selama hidupnya, secara ajaib crinoline yang ia
kenakan tak cukup kuat untuk membatasi pergerakannya.
Keringatnya meluap ke seluruh tubuh, bukan tolak ukur
untuk semangatnya yang membabi buta. Hampir luruh
kembali rasa percaya dirinya setelah ia tak kunjung
mendapati Jason Friedrich hingga halaman paling ujung
gedung teater utama.
―Nona Schulze?‖
―Pulang saja kau, Je-― Alice mungkin akan
mengamuk jika tangan pria yang menyentuh pundaknya
adalah Jeremy. Kabar baiknya tertera setelah ia
membalik badan, satu detik pergerakannya terpaku
begitu saja, sekon berikutnya matanya membola.
―Jason!‖ Alice tanpa basa-basi langsung
merundung Jason dengan pelukan. Tertuju yang dipeluk
sudah akan mengungkapkan satu atau dua perihal
sebelum racauan Alice memotong, ada bagian saat gadis
itu tersedu juga, omong-omong.
―Aku akan ikut kemana saja kau pergi, besok aku
akan menikah lagi jika kau ingin tahu. Gagalkan
semuanya kumohon, tidak ada hari pernikahan besok,
tolonglah…‖

***

Masa itu peperangan hampir pecah, melibatkan


dunia merupakan hal paling parah yang diketahui
penduduk negeri tersebut. Lagi-lagi Alice menanggapinya
melalui sisi paling tepi, perihal Jason yang akan turut
serta menjadi tokoh prajurit di atas tanah. Sangat
keliru dari segala aspek tujuan mereka yang baru
setahun menikah, dengan Alice yang menanggalkan
status bangsawannya secara suka rela.
―Tidak berarti aku melupakan semua rencana
yang telah kita ajukan satu sama lain,‖ tukas Jason
ringan ketika mereka berbincang pada meja makan
lapuk di dapur sempit.
―Kemungkinan terburuknya tidak main-main.
Siapa yang akan menjamin semuanya akan sesuai
bayanganmu?‖ Alice menggeser kursi, beringsut ke
kamarnya untuk merapikan pakaian yang baru saja selesai
dijemur.
―Kau takut akan merindukanku lagi?‖ tentu itu
hanya frasa penggoda dari Jason, mungkin ia berniat

207 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 208

mendapat tanggapan yang sama jenakanya dari sang


istri. Setelah beberapa jemang, tak ada tanggapan apa-
apa. Maka Jason berhela napas lirih.
―Tuan Friedrich? Aku hendak mengantar Erick,‖
segera Jason menjamu seruan itu dengan membukakan
pintu bagian depan rumah. Alice di dalam kamar juga
mengingat betul terhadap jenis suara yang berdengung
tersebut, tetangga suaminya yang pernah ia tanyai
dengan sedikit memaksa ketika menemukan alamat lama
Jason
Mereka sedikit banyak berbincang, namun dalam
percakapannya nama Erick tak pernah berhenti
disebut pada setiap kalimat keduanya. Jason mengakhiri
konversasi tersebut dengan berujar terima kasih sangat
dalam.

***

―Bisa aku membantumu?‖ usia Erick masih


delapan tahun, namun begitu ia tak pernah
menyusahkan Alice barang sedetik.
―Kenapa anak kecil harus ikut perempuan
dewasa menyiapkan hidangan makan malam? Kau bisa
melakukan apa saja yang kau sukai, tak perlu khawatir
terlalu banyak padaku,‖ Erick sangat membantu dalam
mengatasi perasaan sepat Alice kala suaminya
berlayar dalam tujuan perang. Seorang bocah kecil yang
proses kelahirannya telah dihadiahi sebagai pengganti
nyawa ibunya, lalu tungkainya yang menegak di depan
Alice sekarang ini adalah bagian pengabdian setelah
ayahnya juga pergi. Rasanya masih agak jauh jika hanya
menganggapnya sebagai keponakan, maka ketika Erick
bertandang di sini untuk kali pertama, Alice telah
menyerahkan gelar ibu untuk dipanggil Erick secara
sopan.
―Nyonya Friedrich, bisa aku menyampaikan
sesuatu sebentar?‖
Alice menyesal sangat dalam setelah
membiarkan telinganya menerima kabar paling
mematikan sore itu. Pun Erick juga tak lekas mampu
memberi gagasan penenang untuknya. Kilas baliknya
terlalu menjengkelkan untuk diingat bagaimana ia bisa
membiarkan Jason mengikuti perang ke Britania Raya
tanpa berusaha lebih keras untuk memaksa Jason
urung akan keputusannya. pucat.
Hari Rabu tahun 1914, sore itu jingga pada
cakrawala ujung barat terlihat sangat

***

―Ibu tidak bosan dengan makananku? Aku bisa


membelikan sesuatu yang lezat dari ini,‖ tawaran
Erick sangat manis, namun Alice tua di atas
ranjangnya menggeleng, selalu demikian memang.
―Sebagai gantinya sebutkan permintaan apa
saja, kecuali membawa cucu lelakiku yang berisik

209 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 210

itu ke sini. Akan sulit mengatasi tingkah aktifnya


meski kau senang sekali melihatnya,‖ gurauan sekecil
apa pun itu selalu disambut hangat oleh Alice.
Terhitung 61 tahun semenjak permulaan perang dunia
pertama yang membawa serta suaminya dalam
sejarah kelam.
―Seperti orang tua yang sangat sukses
membuatmu bahagia bersama keluarga besar hingga
sekarang, orang tua keriput ini boleh membanggakan
hal tersebut, bukan?‖ garis senyumnya masih
bersuasana seorang Alice muda, begitulah cara Erick
mengenalnya.
―Memiliki seorang ibu yang menyimpan rindunya
sebagai kenangan untuk bersikap setia juga
kebanggaan buatku,‖ Erick turut menggunakan
jemarinya untuk memeluk punggung tangan Alice
dengan cara yang lembut dan nyaman.
―Kau harus tahu, rindu bukan beban sama
sekali. Aku menyebut rindu sebagai curahan kasih
sayang untuk seseorang yang berarti dan telah pergi
selamanya. Rindu adalah risiko dalam mencintai yang
paling ikhlas kuterima,‖ pertengahan September
tahun 1875, perayaan ulang tahun Jason Friedrich,
juga ucapan selamat tinggal dari Alice Schulze.

***
Alice bukan penggemar lakon menegangkan di
sudut bulan penuh, pun kisah-kisah tragedi yang
bersinar di atas panggung, tak ada yang bisa menyentuh
sisa antusiasnya walau hanya seujung kuku. Namun
malam paling bontot kala itu berbeda, ada sesuatu
bertamu dalam hatinya. Lumayan asing, namun ia adalah
penerima yang sangat baik terhadap buaian sek ilas itu.
Semuanya berlangsung runut, namun sangat tidak jelas.
Ia ingin mengamuk, namun juga tak sudi mendengarkan
nalarnya. Ia memang tidak terlalu mementingk an itu
untuk saat ini, omong-omong.
Jason tidak meminta apa-apa selain atensi kagum
dan bayaran sekenanya. Hidupnya sebagai pemeran
Othello di balik tirai ranum tidak sepopuler itu untuk
diperbincangk an. Kecuali bagi Alice, gadis yang gemar
mengenakan crinoline berwarna cerah itu tak sungk an
untuk memutari bagian belakang panggung di sebelah
utara, amat riang untuk menemui seseorang secara
ilegal.
―Othello!‖ jangan menyalahkannya untuk panggilan
itu, sebab ia memang belum sama sekali diperk enankan
untuk sekadar mengetahui panggilan si pujaan hati yang
menyapu habis kasih sayangnya hanya dengan berdialog
tragis.
―Panggilan itu untukku, Nona?‖ pria berahang
tegas namun ekspresi yang ia tawarkan pada lawan
bicaranya amat mendukung untuk Alice agar semakin
menggila.

211 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 212

―Sapu tanganmu,‖ kendati napasnya masih


setengah-setengah lantaran kelewat ricuh hanya untuk
mencari satu orang, Alice masih tidak bisa untuk tidak
tersenyum lebar. Beserta iris biru berkilau di bawah
lampu panggung itu kian berbinar. Sempurna untuk
dipandang, memang.
―Terima kasih, aku hampir melupak annya,‖ satu,
dua, dan tiga detik terlalu k ejam sebab tarik an k edua
sudut bibir si pria teramat tidak bagus untuk bagian
jantung Alice. Sesuatu yang indah, atau hampir
membunuhnya.
―Itu terjatuh di depan gedung teater, dan aku
bersyuk ur untuk itu,‖ pendidik an k ejujuran Alice
memang sudah terikat dalam pembuluh darahnya.
Namun, sesuatu tidak baik selalu terjadi untuk
menghancurkan bagian paling k limak s yang semestinya
berlalu lancar dan retorik al. Si pria tak sempat
menggunakan akalnya untuk merancang secara pasti
maksud Alice, atau ia bahkan tidak lebih tahu dari
sekadar nama itu, sebab Alice terlalu mewah untuk
bisa bertukar kata dengan seniman murah sepertinya.
Klasik.
―Aku tidak mengenal Shakespeare di atas Romeo
dan Juliet pada daratan Verona, tapi kau mengubah
Berlin menjadi lebih manis,‖ selagi Alice bertutur dalam
paduan sajak - sajak beserta estetika tinggi, bola mata
si pria malah bergulir gelisah. Tidak ak an ada yang bisa
memperburuk suasana hatinya yang merasa terancam,
jika itu bukan dua orang renterir gempal dan berpori-
pori besar pada wajah sangarnya.
―Maafkan aku, Nona. Sebaiknya jaga baik -baik
crinoline milik mu,‖ tidak ada hal yang lebih pantas
untuk dilakukan selain mengayunkan tungkai kuat-kuat,
terutama setelah si predator dengan sigap menyadari k
eberadaannya. Pergelangan tan gan Alice tahu-tahu
sudah dirangk ul oleh jemari si pemeran Othello. Ini
bukan sesuatu yang terlihat darurat baginya, hanya
sedikit menggelitik untuk bisa mencari definisi paling
menyenangk an. Alice tidak peduli jik a crinoline k
esayangannya robek karena ber lari terlalu k encang,
walau sebenarnya ia lumayan k epayahan menyesuaik an
gerak tungk ainya sebab bagian gaun paling
mengembang itu tak mampu diajak bertoleransi.
Alice suka ini, tidak ada perbincangan, namun
deruan ok sigen yang susah payah di telan adalah bagian
emosional paling hebat untuk dinikmati. Alice tahu lebih
banyak, tanpa perlu ribuan basa-basi perkenalan
formal. Alice menyukai Jason, semenjak dua jam lalu.

***

―Teman-temanmu tidak keberatan


meninggalkanmu?‖
Jason tidak tahu pertanyaannya sopan atau
tidak , ia hanya bertindak untuk menggugurkan sedik it
kecanggungan.

213 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 214

―Teman tidak ak an lupa jik a aku tertinggal


atau hilang, mereka tidak menghargai k eberadaanku,
jangan berlebihan untuk menyebutnya teman,‖
persatuan kosa kata terse but tidak sesedih yang
terbaca jik a Alice si periang yang melontark annya
pada udara dingin akhir Desember.
―Aku lumayan tertegun untuk itu, sedikit kasar
untuk perlakuan itu,‖
―Tentu bagi setiap orang melupakan adalah
sesuatu yang kasar, terlihat tidak pun ya etik a,‖ Alice
tidak enggan untuk tidak menatap manik cantik Jason
di sebelahnya.
―Tapi jik a begitu, mengenal seseorang adalah
sesuatu yang kurang ajar,‖ lanjutan dari Jason, sedikit
menurunkan lekukan senyum Alice. Ia merasa tertohok,
atau Jason tengah mengujinya?
―Masalah itu, tidak ada sik ap hati yang benar-
benar sopan,‖ Alice tidak berusaha terlihat menentang
atau mengumumkan argumen, hanya saja lidahnya
bergerak sesuai yang nalurinya inginkan. Normalnya,
duduk di atas rerumputan pada kilas malam bukan
sesuatu yang mampu menghangatkan, namun Alice
sudah terlanjur terlena pada sudut mata Jason.
―Kau menyukaiku, si gadis Berlin yang kali
pertama terpesona padaku di depan gedung teater
dua jam lalu, bukan karena peranku sebagai Othello,‖
Jason tidak akan mudah untuk peka, namun
perangai Alice yang spontan adalah bahasa paling baik
untuk berungkap perihal perasaan.
―Jangan lakukan apa-apa yang menjengkelkan!
Kau tidak pantas menolak untuk jadi cinta pertama
gadis bangsawan dua puluh tahun sepertiku,‖ tidak ada
humor dari segi pandang mana pun untuk frasa yang
Alice gemak an secara menggebu, juga memak sa seraya
kedua alisnya yang berkerut jengkel.
―Bagaimana caraku membayar ini? Tindakanmu
bernilai sangat mahal,‖ Jason tidak punya simpanan
amarah, ia hanya diciptak an untuk membuat nyaman
orang -orang di putaran hidupnya.
Bagian selatan, denting keras jam besar yang
berpeta pada tembok menukik gedung teater berlisan
konstan, pengakhiran tahun paling monumental di kota
itu. Tidak ada pemandangan yang memikat sejuta
kagum, hanya pesan dingin malam Januari yang tidak
mengerti apa-apa yang terjadi di hari kemarin.
Tentang Alice atau Jason, tidak serta merta
berlalu sejalan dengan embusan angin terakhir
Desember lalu.
―Aku tahu, meninggalkan seseorang yang
berusaha mengenalmu itu adalah tindakan yang tidak
sopan, Nona.‖
―Berhenti membaca buku itu dan bantu aku
menyiapkan hidangan untuk menjamu tetangga baru kita!‖
sepupu perempuan Felix memang sangat menyebalkan

215 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 216

ketika berteriak atau membentak. Felix memutar bola


mata, jengah dengan sangat memuncak di pucuk
kepalanya.
―Mengganggu orang seperti ini bukan sesuatu
yang diajarkan mendiang kakek,‖ Felix memilik acuh, lalu
melanjutkan lagi bacaannya pada buku harian hitam
kumal yang ia temukan di lemari pakaian Erick Friedrich
sehari setelah kakeknya dikebumikan. Ketika itu Felix
mendapat bagian untuk merapikan pakaian milik kakeknya.
Buku itu sempat ia lupakan presensinya selama setahun
lebih, sebelum akhirnya ia kepikiran untuk membereskan
rak buku miliknya dengan lapisan debu paling tebal yang
pernah terlihat.
―Kakek juga tidak pernah mengajari seorang
pria untuk mengabaikan kegiatan memasak,‖ bagian
pegangan spatula yang berbahan kayu bukanlah
senjata, namun Millie telah mengalihfungs ikan benda
tersebut untuk menggetok kepala Felix.
―Aku enggan mengungkit, tapi aku telah
mengumpulkan barang-barang belanjaan dari seluruh
pusat perbelanjaan di kota ini selama kau tidur,‖ Felix
bukan orang yang akan dengan senang hati mengalah
serta merta menuruti permintaan Millie.
―Kau mulai menulis cerita romansa di usia tujuh
belas tahun?‖ Millie tak terlihat seperti ingin
mengejek, ia lebih berusaha mengetahui segala hal di
sekitar, terlebih ketika ia membaca sebaris kalimat pada
paragraf pertama lembar tua itu.
―Aku menemukan ini di lemari pakaian kakek,
entah milik siapa aku tidak tahu,‖ gerak netra Felix
masih mondar-mandir pada papirus di tangannya,
membaca sangat cermat dan hati-hati.
―Kau benar-benar tidak mengenal Alice
Schulze dan Jason Friedrich?‖ Millie tahu jika Felix
gemar bergurau, atau mungkin memang Felix tak
mengenal mereka sebab ketika Alice terakhir bernapas
pemuda tujuh belas itu masih berusia tiga tahun. Maka
Felix yang cenderung abai pada setiap hal mungkin saja
tak tahu. Perbedaan yang sangat mencolok bagi siapa
saja yang membandingkannya dengan Millie. Seumuran,
namun mereka jelas punya tingkat keingintahuan yang
berbanding terbalik.
―Bagaimana bisa sebuah perasaan rindu diukir
dengan sangat cantik seperti ini? Hal paling indah
memang pantas diabadikan, terlebih sebagian besar
hidupnya berisi banyak kerinduan untuk suaminya,‖
Millie berkomentar dengan intonasi paling minimal,
tiba-tiba saja gadis itu telah turut serta menikmati
filantropi di atas kertas tersebut.
―Memangnya mereka siapa, sih?‖ Felix tidak
bisa untuk menahan pertanyaan tersebut setelah ia
merasa jika Millie mengetahui banyak hal.
―Mereka orang tua angkat dari kakek kita,
bodoh!‖

***

217 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 218

―Akan kutulis semua kisahku, mana tahu bisa


kujadikan aset untuk keturunanku,‖
Siang Minggu kedua puluh tahun 1988, kerinduan
Alice benar-benar indah untuk diketahui beberapa
orang pada periode yang berlainan.
Epiphany
Karya : Dhiyaa Nazmi Alamsyah

Alarm di atas meja berbunyi nyaring, aku

menoleh, meliriknya dengan datar.

Lenganku bergerak lambat, menekan alarm itu


dan membuatnya tidak bersuara lagi. Aku menghela
napas pelan. Berat rasanya membuka mata, bahkan
mengedipkan mata saja sakit rasanya. Aku beranjak
duduk, menoleh pelan ke jendela di balik gorden di
sebelahku.

Hari telah berganti, namun tampaknya aku masih


sama dengan aku yang kemarin. Cahaya matahari
menembus gorden, menyiram sebagian wajahku yang
tidak tertutup oleh rambutku yang berantakan. Aku
menghela napas, gorden terbuka dengan sendirinya.
Aku mendongak, mendapati sesosok jangkung tengah
tersenyum menatapku dan mengucapkan ―Selamat
pagi‖ untukku. Aku terdiam, mengucek kedua mataku,
mengedipkannya berulang kali, lalu mengerutkan alis.
Kenapa dia ada di sini?
Aku mendengus, tidak menghiraukan sosok itu
dan beranjak ke kamar mandi. Aku menatap cermin
di atas wastafel, wajahku tidak secerah biasanya.

219 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 220

Ya, itu wajar. Aku menunduk, menyalakan keran dan


membasuh wajahku lembut dengan air. Aku
mengambil handuk kecil yang tergantung di sebelah
cermin dan mengelap lembut wajahku. Aku kembali
menatap cermin, menatap wajahku lamat-lamat dan
merutuki diriku yang seharusnya sedari dulu belajar
untuk dandan. Ah, terserahlah, aku tidak peduli.
Setelah selesai membersihkan diri, aku berganti
baju. Mataku tertuju kepada sosok jangkung itu
lagi—yang sangat tidak sopan berdiri di sana selagi
aku berganti baju di kamarku. Sosok itu menunjuk ke
kalender yang tergantung di ujung kamarku. Mataku
ikut tertuju ke sana. Ada sebuah lingkaran merah
yang melingkar tepat di tanggal dua belas bulan
empat. Tertulis ―Hari Spesial‖ di sana dengan warna
merah terang. Aku menghela napasku.
―124.‖
Begitu selesai mempersiapkan diri, aku
menyalakan gawaiku. Begitu sulit mengoperasikannya
akhir-akhir ini. Mungkin aku harus mengganti
layarnya dengan yang baru. Aku duduk di kursiku dan
mengenakan sepatuku selagi menunggu. Ping! Gawaiku
berbunyi. Aku meliriknya sekilas, gawaiku menyala
dan menampilkan notifikasi baru. Aku segera
mengeceknya. Ekspresiku sama saja saat sebelum
dan sesudah melihatnya.
Aku mendengus kesal, seharusnya aku tahu tidak
akan ada lagi notifikasi yang sama seperti dulu. Aku
segera bangkit dan memasukkan gawaiku di saku
celanaku. Aku membuka pintu dan lagi-lagi sosok
jangkung itu sudah berdiri di luar sana, tersenyum
menatapku. Aku menatapnya. Wajahnya tampan dan
rambutnya hitam rapi. Aku segera memalingkan
pandanganku. Menyebalkan .
Aku mendongak, menyipitkan mataku, menatap
langit yang dihiasi oleh awan-awan putih. Cuacanya
cukup bagus hari ini. Aku kembali menatap ke depan,
dengan mata yang masih membiasakan diri untuk
membuka.
Pakaian putih dengan celana jin melekat di
tubuhku. Tak lupa tas kecil bermotif panda dan jaket
abu-abu tebal yang selalu aku bawa akhir-akhir ini.
Aku tinggal di negara beriklim tropis, akan aneh
rasanya membawa atau mengenakan jaket setebal ini
di publik. Tapi aku tidak peduli. Entah kenapa aku
tidak bisa lepas dengan jaket ini. Aku melirik ke
sebelahku, sosok jangkung itu masih saja tersenyum.
Ia tampak kegirangan karena berjalan beriringan di
sampingku. Aku memutar bola mataku. Malas.
Hari masih pagi, aku memutuskan untuk
berkunjung ke kafe yang terletak tidak jauh dari
rumahku. Ini sudah menjadi tempat langgananku
sedari dulu. Selain lokasinya dekat dan masakannya
enak, kafe ini juga menyediakan fasilitas-fasilitas
yang membuat siapa pun yang berkunjung akan betah
berlama-lama di sana.

221 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 222

―Dua, ya.‖
Aku menoleh ke ujung ruangan, sosok jangkung
itu melambai-lambai ke arahku. Aku menghela napas
dan memutuskan untuk duduk di sana, bersama
dengan sosok jangkung itu. Aku hanya diam,
menikmati sarapanku sambil mendengarnya
mengoceh. Berisik.
Setelah mengisi perut, aku berjalan menuju
perpustakaan kota. Aku memilih jalan karena aku
ingin menghemat pengeluaranku dan memang
jaraknya tidaklah jauh. Sosok jangkung itu
mengikutiku di belakang. Aku meliriknya sekilas. Ah,
aku tidak peduli.
Begitu tiba di dalam perpustakaan, aku berjalan
dari rak satu ke rak yang lain. Aku mengelilingi
perpustakaan, mencari buku yang sekiranya menarik
buatku. Aku melirik jam yang melingkar di tangan
kiriku, sudah tiga jam lebih aku ada di sini. Aku melirik
ke sana ke mari, sosok jangkung itu menghilang entah
ke mana.
―Ke mana dia?‖
Langkahku bergerak mencari sosok itu. Satu
perpustakaan aku telusuri untuk mencarinya, tapi
hasilnya nihil. Langkahku terhenti di depan sebuah
cermin yang menggantung tak jauh dari posisiku
berdiri. Aku menatap wajahku dengan saksama. Aku
menghela napas, menyentuh keningku.
―Lupakan.‖
Keluar dari perpustakaan, aku menghampiri
sebuah toko kecil di pinggir jalan. Dengan buku yang
aku jinjing, aku membeli minuman di sana.
―Berapa?‖
―Dua.‖
Ternyata agak sulit membawa dua minuman
dengan satu buku di tangan. Bodohnya aku. Aku
melirik salah satu minumanku dan membuangnya di
tempat sampah terdekat tanpa pikir panjang. Aku
menoleh, sosok jangkung itu ada lagi. Ia berdiri di
sampingku dan menatapku sedih. Mendadak, hatiku
perih melihatnya. Sial.
Aku berjalan, terus berjalan, hingga akhirnya
langkahku terhenti di sebuah taman yang terletak di
tengah kota. Aku sering mengunjungi tempat ini. Aku
menatap sekeliling dan memutuskan untuk duduk di
sebuah bangku—dekat dengan sebuah pohon yang
rindang. Kepalaku menunduk, membaca buku sambil
menyicipi minumanku.
Angin berembus pelan, meniup beberapa helai
rambutku. Aku membenarkannya dengan jemariku.
Lagi-lagi angin berhembus. Kini lebih kencang. Aku
meletakkan buku dan minumanku di sebelahku. Tiba-
tiba saja ada tangan yang bergerak—membenarkan
dan merapikan rambutku. Aku mendongak, terdiam
menatap sosok itu. Sosok jangkung dengan
senyumnya yang menawan.
―Maumu apa, sih?‖

223 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 224

Sosok itu masih tersenyum menatapku. Tidak ada


henti-hentinya membiarkanku sendiri, sehari saja.
―Memuakkan! Bisa tidak kamu pergi dengan
tenang?!‖
Aku mendorong sosok itu jauh-jauh. Suaraku
tercekat. Mataku tengah membendung air di
pelupuknya. Dengan segera aku membereskan
bukuku, memasukkannya ke dalam tasku. Aku
bangkit, menghentakkan kakiku dan melangkah jauh
dari tempat itu, meninggalkan minuman yang baru
saja aku beli.
Tidak terasa aku sudah jauh melangkah. Lihatlah.
Bodohnya aku. Aku baru sadar kalau ternyata aku
salah arah. Kalau begini bakal lebih lama tiba di
kosan. Aku menoleh ke belakang, sosok jangkung itu
tidak ada. Aku menghela napas lega. Baguslah.
Aku memutuskan untuk istirahat sejenak.
Beruntung, ada bangku yang kosong di dekatku. Aku
menatap ke jalanan. Akhir-akhir ini jalanan begitu
sepi. Bahkan orang yang berlalu-lalang tidak terlalu
banyak. Entah kenapa rasanya sedikit lengang.
Aku menyenderkan tubuhku di senderan bangku
dan mengeluarkan bukuku. Kata demi kata, baris
demi baris, hingga halaman demi halaman aku baca.
Hingga tak terasa waktu telah berlalu begitu cepat.
Aku menengok jam yang melingkar di tanganku,
sudah jam tiga sore. Aku mendongak, menatap langit
yang mulai ditutupi oleh awan abu-abu. Sepertinya
hujan akan turun.
Posisiku saat ini agak jauh dari kosan. Aku
mengecek gawaiku. Ojek saat ini dilarang oleh
pemerintah. Apa boleh buat. Aku mendengus,
memutuskan untuk naik bus. Sambil berjalan menuju
halte terdekat, aku menggulir gawaiku. Lagi-lagi
berita yang sama terus bermunculan di berandaku.
Aku menghela napas. Separah itukah dunia saat ini?
Akhirnya aku tiba di halte terdekat. Gemuruh
mulai terdengar. Aku mendongak, menatap awan
gelap yang berkumpul di atas sana. Dugaanku benar.
Sebentar lagi akan hujan. Aku mengenakan jaket
tebal yang aku bawa. Aku mengendusnya dalam-
dalam. Wangi yang sama tidak pernah lepas dari
jaket itu.
Aku menghela napas. Bus tidak kunjung lewat
semenjak aku menunggunya di sini. Aku melirik jam
yang melingkar di tanganku, sudah setengah jam aku
menunggu. Kakiku mulai lelah. Aku melirik ke
belakang, tidak disediakan bangku di halte ini. Lagi-
lagi aku menghela napas. Mungkin sebentar lagi bus
akan tiba. Bersabarlah diriku.
Rintik-rintik hujan mulai turun mengenai
kepalaku. Aku mendongak, tidak ada atap. Aku lupa
membawa payung. Aku tidak bisa melindungi
kepalaku, hanya tubuhku yang terlindungi oleh jaket
tebal yang aku kenakan sekarang. Aku melirik jam di

225 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 226

tanganku, sudah pukul empat sore dan tidak ada satu


pun bus yang lewat.
Baiklah, aku menyerah. Sudah lama aku
menunggu tetapi bus tak kunjung lewat. Akhirnya aku
memutuskan untuk berlari-lari kecil menuju kosan.
Ya, walaupun agak jauh dan hujan masih belum terlalu
deras, aku rasa tidak apa-apa. Kalaupun nanti hujan
semakin deras, aku bisa berteduh di suatu tempat.
Padahal baru saja melangkah sebentar, hujan
sudah mulai deras. Aku menutupi kepalaku dengan
kedua telapak tanganku, segera berlari mencari
tempat untuk berteduh sejenak. Napasku menderu.
Akhirnya aku bisa berteduh, terhindar dari tetesan
hujan yang jatuh membasahi bumi.
Aku melirik ke belakangku, sebuah toko barang-
barang antik. Aku melihat ke dalamnya, tidak ada
siapa-siapa di sana. Tokonya tutup.
Aku mengedarkan pandanganku ke jalanan.
Banyak sekali toko yang tutup di sekitarku.
Sepertinya itu wajar. Situasi saat ini sangatlah
rumit. Peraturan pemerintah sangatlah ketat saat
ini, mengakibatkan toko-toko di kotaku terpaksa
tutup. Namun, ada beberapa toko yang buka dan
jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Semoga mereka
baik-baik saja.
Aku menyalakan gawaiku, jam hampir
menunjukkan pukul lima sore. Aku menghela napas.
Aku melirik awan gelap yang berkumpul di atas langit
sana. Sepertinya hujan ini awet dan bisa turun
semalaman. Aku mendengus. Apakah itu berarti aku
bakal menginap di luar sini? Sangat tidak lucu. Kapan
hujan ini akan reda?
Aku mengetuk-ngetukkan ujung sepatuku.
Apakah sebaiknya aku terobos saja hujan ini? Aku
tidak peduli jika flu menyerangku nanti malam,
karena yang paling penting adalah aku tiba di kosanku
malam ini juga. Aku melangkahkan kakiku keluar dari
tempatku berteduh. Aneh. Tidak ada satu pun tetes
hujan yang mengenai kepalaku.
Aku mendongak, menatap sosok yang tidak asing
lagi bagiku. Sosok jangkung itu tersenyum
menatapku, meraih jemariku, dan memberikan
payungnya kepadaku. Aku melirik payung yang aku
genggam, sebuah payung berwarna hitam. Setelah itu
aku melirik ke arah yang berlawanan. Eh? Aku
mengedarkan pandanganku. Sosok itu menghilang
entah ke mana.
―Terima kasih.‖

Aku tersenyum tipis, berlari kecil di bawah


tetesan hujan yang turun tanpa henti. Aku mengusap
wajahku, ada air mengalir di pipiku. Aku cepat-cepat
menggelengkan kepalaku. Sudahlah. Dia pergi, tidak
akan kembali. Tempatnya bukan di sini.
Aku menggosok-gosokkan rambutku dengan
handuk, sedang mengeringkannya. Begitu tiba di

227 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 228

kosan, aku segera membersihkan diri, sekaligus


membersihkan pikiranku. Aku menatap cermin yang
tergantung di depanku. Aku menghela napas, tubuhku
sudah bersih, tapi pikiranku belum. Aku keluar dari
kamar mandi, segera mengenakan pakaian tidur.
Aku melirik jam yang menempel di dinding. Pukul
enam sore. Perutku berbunyi, meminta makan. Aku
beranjak ke dapur, membuka kulkas, mengecek apa
yang bisa aku buat malam ini. Isi kulkasku tidak
terlalu banyak. Sudah lama aku tidak mengisinya.
Seingatku, kali terakhir aku berbelanja dua minggu
yang lalu. Pasar terdekat letaknya jauh dan aku
malas ke sana. Lagipula, aku lebih sering makan di
luar daripada di kosanku sendiri. Di mana lagi selain
kafe langgananku?
Aku mengambil sebutir telur ayam, menyalakan
kompor, dan memanaskan minyak di atas
penggorengan. Makan malam kali ini biasa saja jika
dibandingkan dengan menu sarapanku. Sepiring nasi
dengan telur dadar di atasnya. Aku melahapnya,
menikmatinya sembari melihat tetes demi tetes
hujan dari balik jendela. Sudah aku duga, hujan ini
awet. Kalau saja aku tidak cepat-cepat kembali ke
kosan, mungkin saja aku akan bermalam di depan
toko antik tadi.
Kalau saja dia tidak—
Aku buru-buru menggelengkan kepalaku.
Mendadak aku tidak selera makan. Aku menatap
makan malamku, aku baru mengunyah seperempatnya.
Aku menghela napas, menjauhkan piringku dan
memutuskan untuk mengambil minum. Aku tidak
memutuskan untuk membuang makananku. Mungkin
aku bisa memakannya nanti malam. Jika nafsu
makanku kembali. Bisa saja besok.
Aku melirik jam di dinding, masih terlalu dini
untuk tidur. Aku memutuskan untuk mengambil buku
yang ada di dalam tasku. Aku menghela napas lega,
untung saja tidak basah terkena air. Aku melirik
jaket tebal yang tergantung di belakang pintu. Jaket
itu telah melindungi bukuku, dan diriku. Aku
tersenyum tipis. Terima kasih.
Aku mulai membuka bukuku dan mulai
membacanya. Setengah jam berlalu, pandanganku
teralihkan ke jaket tebal itu. Aku bangkit,
mengambilnya, dan mengenakannya. Entah kenapa
setiap kali memakainya, aku merasa aman dan tenang.
Jaket ini nyaman dipakai. Namun dari semua hal,
yang paling utama adalah jaket ini wangi. Wanginya
khas dan selalu melekat di jaket ini. Aku sendiri
tidak mengerti kenapa wanginya tidak hilang. Padahal
seminggu yang lalu aku baru saja menyucinya. Bukan
bau detergen, bukan juga bau pewangi. Bau
seseorang.
Aku terduduk di tempat tidurku, kembali
melanjutkan membaca bukuku. Kata demi kata, baris
demi baris, halaman demi halaman aku habiskan

229 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 230

malam itu juga. Pikiranku terbenam ke dalam buku


yang aku pegang. Aku melirik jam di dinding, tak
terasa jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam.
Mengagumkan sekali. Pikiranku telah dibawa ke
mana-mana oleh buku ini dalam waktu yang terasa
begitu singkat. Tapi tidak apa. Setidaknya aku bisa
mengalihkan pikiranku sejenak.
Aku meletakkan bukuku di atas meja di
sampingku. Aku beranjak dari tempat tidurku,
mematikan lampu, lalu menyalakan lampu tidur. Aku
mengambil selimut tebalku dan memeluknya erat.
Aku melirik jendelaku sekilas, hujan masih belum
reda juga. Aku memutuskan untuk memejamkan
mata. Tapi itu tak bertahan lama. Aku melirik jam di
dinding, sudah pukul sebelas malam. Aku mendengus
kesal. Aku butuh tidur. Sudah berapa lama aku tidak
tidur?
Aku beranjak duduk. Seberapa keras aku
berusaha untuk tidur, hasilnya sama saja. Nihil. Aku
melirik ke kalender yang tergantung di dinding. ―Hari
Spesial‖ katanya. Aku menghela napas, memejamkan
mataku sejenak, lalu membukanya lagi.
―Hey.‖ Aku menatap datar sosok jangkung yang
duduk tak jauh dariku. Dialah penyebab bengkak di
mataku. ―Cepatlah kembali. Sampai kapan kamu di
sini?‖

***
―Astaga! Dokter, cepat kemari!‖
Selang beberapa menit, seorang pria paruh
baya mengenakan stetoskopnya, memeriksa denyut
jantung seorang pemuda yang terbaring lemah di sana.
Pemuda itu menatap ke langit- langit kamar.
Pandangannya kosong, masih berusaha untuk
membiasakan penglihatannya.
―Ah…‖
―Tolong jangan banyak bicara dulu. Kondisi
Anda masih belum stabil. Tetap pertahankan
kesadaran Anda.‖
Pemuda itu hanya diam, menuruti suara pria
itu. Ia tidak bisa berbuat banyak dan hanya bisa
bergantung kepada pria itu, yang tak lain dan tak
bukan adalah seorang dokter yang ahli. Dokter itu
mengatakan sesuatu ke seorang perawat di
sebelahnya. Entah apa yang mereka katakan, pemuda
itu kembali memejamkan mata, mengistirahatkan
tubuhnya sejenak setelah tidur yang panjang.
―Bagaimana perasaan Anda, Pak Faisal?‖
seorang wanita muda menghampiri Faisal— sosok
pemuda tampan yang tengah bersender di ranjang
rumah sakit.
―Baik.‖ Faisal tersenyum.
―Terima kasih.‖
Wanita itu—yang tak lain dan tak bukan
adalah seorang perawat yang merawat Faisal— balik
tersenyum. Setelah memastikan dan mengecek satu

231 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 232

dua hal, ia pamit kepada Faisal. Faisal mengangguk


dan mempersilakan perawat itu meninggalkan
ruangan.
Ruangan lengang. Tidak ada orang di sana
selain Faisal. Faisal menatap jendela yang tak jauh
dari ranjangnya. Ia menatap orang-orang di bawah
sana. Banyak anak kecil berlarian di sebuah taman dan
orang tua yang duduk mengawasi. Tak jauh dari
mereka ada banyak sekali kendaraan yang berlalu-
lalang. Waktu cepat sekali berlalu. Lingkungan yang ia
lihat sekarang sangat berbeda semenjak kali terakhir
ia melihatnya.
―Permisi, Pak Faisal.‖
Faisal menoleh ke sumber suara, perawat
yang sama menghampirinya dengan membawa
makanan dan obat-obatan. Perawat itu
memberitahukannya satu dan dua hal, mengenai
kebutuhan nutrisi dan juga tambahan vitamin untuk
dirinya. Faisal mengangguk paham, menuruti
perkataan perawat itu, mau tidak mau.
―Satu lagi, Pak.‖ Perawat itu mengeluarkan
sesuatu dari saku bajunya. ―Seseorang memberikan
ini kepada Anda.‖
Faisal mengulurkan tangannya, menerimanya.
―Dari siapa?‖
―Mohon maaf, saya tidak tahu.‖
Kemudian perawat itu pergi, meninggalkan
pertanyaan yang belum terjawab. Faisal melirik
benda yang ia genggam. Lihatlah, sebuah kotak kecil
dengan bungkus berwarna merah dan pita kuning di
atasnya. Faisal membukanya dan mengeluarkan isinya.
Sebuah gantungan kunci. Faisal menatapnya lamat-
lamat. Gantungan kunci ini mirip sekali dengan
wajahnya.
Faisal mengerutkan keningnya. Ia kembali
mengecek isi kotaknya, siapa tau ada petunjuk
tentang siapa pengirimnya. Di dalam sana ia hanya
menemukan secarik kertas kuning, tidak ada yang
lain. Tiba-tiba saja aroma semerbak keluar dari
dalam kertas kuning itu. Entah bagaimana caranya,
aroma itu keluar begitu kertas itu diambil dari kotak.
Faisal mengerutkan keningnya. Aneh. Wanginya tidak
asing.
Faisal mengecek dan membolak-balikkan kertas
itu. Ada tulisan di sana.
―124.‖
Faisal semakin bingung. Tidak ada petunjuk yang
lebih spesifik tentang siapa pengirimnya. Faisal
mendengus. Jangan-jangan ia hanya dipermainkan.
Faisal memasukkan kembali gantungan kunci dan
kertas kuning itu ke dalam kotak berwarna merah. Ia
menutupnya rapat dan mengikatnya kembali dengan
pita kuning. Faisal meletakkan kotak itu di atas meja
di samping ranjangnya, lalu merebahkan punggungnya.
Ia ingin cepat-cepat keluar dari sini.

233 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 234

Dan benar saja. Hanya butuh hitungan jari,


Faisal akhirnya keluar dari rumah sakit. Ia
menyampaikan satu-dua patah kata kepada tenaga
medis sebelum akhirnya benar-benar keluar dari
tempat itu. Ia segera menelepon Toska, supir
andalannya.
―Tuan Faisal!‖
Pria bertubuh besar dengan kepala botak
melambaikan tangannya. Ia berjalan menghampiri
Faisal dan menunduk hormat kepadanya.
―Ke mana saja kamu?‖
―Maaf, Tuan. Ada satu-dua hal yang harus saya
urus selagi Tuan tidak ada.‖
―Sepenting itukah urusanmu daripadaku?‖
―Maaf, Tuan.‖
Faisal hanya mendengus. Toska menunduk,
membuka pintu mobil dan mempersilakan Faisal
masuk. Mobil sedan hitam merk terbaru dengan
warna yang mengilap akibat dari pantulan cahaya
matahari. Mobil melaju membelah jalanan kota,
menuju kediaman Faisal. Lihatlah, di depan sana
berdiri megah sebuah apartemen bertingkat dengan
lantai berjumlah lebih dari dua puluh. Bangunannya
tinggi menjulang dengan warna yang menyilaukan
mata akibat pantulan matahari.
―Aneh.‖
―Ada apa, Tuan?‖
―Sudah berapa lama aku tidak tertidur?‖ Faisal
mengedarkan pandangannya ke sekeliling. ―Semuanya
berubah begitu cepat.‖
―Begitulah, Tuan.‖
Faisal menempelkan sidik jarinya, pintu
kamarnya terbuka otomatis, menyambut
kedatangannya.
Ia mengadarkan pandangannya, menatap kamar
kesayangannya. Walaupun sudah berbulan-bulan
ditinggalkan, kamarnya masih tetap sama seperti
dulu. Rapi, bersih, dan tertata. Siapa lagi kalau bukan
karena Toska—supir sekaligus tangan kanannya—yang
setiap hari datang berkunjung untuk membersihkan
dan merawatnya.
―Tuan, saya izin pulang. Istri saya memanggil
saya.‖
Faisal mengiyakan, membiarkan Toska pulang.
Setelah Toska pergi, Faisal memutuskan untuk
membersihkan diri. Bau rumah sakit masih melekat
di tubuhnya. Ia ingin segera melupakan segala hal
tentang tempat itu.
Setelah itu, Faisal mengeringkan rambut dan
tubuhnya, lalu mengenakan pakaian tidurnya. Ia
segera melompat ke tempat tidurnya, membenamkan
wajahnya ke bantal kesayangannya. Ah, betapa
dirinya merindukan tempat ini. Kamar kesayangannya.
Tiba-tiba, aroma semerbak tercium di ujung
hidungnya. Faisal segera mengendus sumber aroma

235 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 236

itu, yakni telapak tangannya. Aneh. Sekeras apa pun


usahanya membersihkan diri, aroma yang menempel
di telapak tangannya tidak bisa lepas.
Faisal mendengus. Ia memutuskan untuk tidak
terlalu memusingkan hal ini. Faisal beranjak dari
tempat tidurnya, memesan makanan, lalu menonton
televisi. Malam itu ia habiskan untuk memanjakan
diri.
Faisal melirik jam di dinding, tak terasa jarum
pendek sudah menunjuk angka sebelas. Saatnya
tidur. Faisal mematikan televisinya, merapikan bekas
makanannya, lalu ke kamar mandi, menyelesaikan
urusannya. Begitu selesai, ia mematikan semua lampu.
Faisal meraih selimutnya dan memutuskan untuk
memejamkan mata. Tak perlu waktu lama, ia sudah
terlelap.
―Hey, kamu melupakanku?‖

Faisal tersentak dari tidurnya. Ia terbangun.


Dirinya baru saja bermimpi. Faisal menatap ke depan.
Bingung, sekaligus aneh. Tangannya bergerak ke
bawah kelopak matanya, ia berkaca, menatap
dirinya—yang entah karena apa—air mata mengalir
membasahi pipinya. Faisal segera menyeka air
matanya. Sudah lama ia tidak menangis. Kapan
terakhir kali ia menangis?
Faisal segera menggelengkan kepalanya,
mengusir pikiran tentang mimpinya tadi. Ia melirik
jam di dinding. Pukul enam pagi, Faisal beranjak dari
tempat tidurnya dan bersiap untuk pergi ke kantor.
Memang, ia baru saja pulih. Tapi ia tidak bisa tinggal
diam di sini untuk istirahat lebih lama lagi. Dirinya
bisa mati karena bosan. Terdengar berlebihan tapi
memang itu faktanya.
―Selamat pagi, Tuan.‖
―Pagi.‖
Toska mengantar Faisal menuju kantor. Mobil
sedannya melesat, membelah jalanan yang penuh
dengan mobil yang berdesakan. Faisal dan Toska
sudah terbiasa dengan keadaan kotanya ini. Macet di
mana-mana.
―Bagaimana tidur Anda malam ini, Tuan?‖
―Buruk. Tidak usah dibahas.‖
Hari demi hari berganti, Faisal kembali
menjalankan harinya seperti biasa. Pergi ke kantor,
bekerja, makan, mandi, lalu tidur. Ada satu kebiasaan
tambahan yang belum pernah ia lakukan sebelumnya.
Beberapa hari terakhir, semenjak dirinya kembali ke
apartemen, ia sering bermimpi. Mimpi yang sama,
berulang-ulang. Dan begitu dirinya bangun, air mata
terus saja mengalir dan membasahi pipinya, dan
seluruh ingatan tentang mimpinya hilang begitu saja.
Faisal berkaca, menatap dirinya. Ia berpikir,
apa yang menyebabkan dirinya begitu emosional
akhir-akhir ini? Apa pemicu dari mimpi yang tak
berkesudahan itu? Faisal meraih kotak merah yang ia

237 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 238

taruh di atas meja, lalu membukanya dan


mengeluarkan isinya. Ia meletakkan gantungan kunci
di atas meja dan membaca ulang secarik kertas
kuning.
―124.‖
Apa maksudnya?
Sebelumnya, Faisal menjalani hari dengan biasa
saja, tidak ada gangguan. Hingga benda ini muncul di
hadapannya. Apa yang sebenarnya terjadi? Apa
benar benda ini yang mendatangkan mimpi-mimpi itu?
Ah, tidak. Seharusnya bukan hal itu yang ia tanyakan
sekarang. Faisal seharusnya bertanya, apa yang
terjadi sebelum dirinya tertidur? Kemungkinan besar
mimpi-mimpi itu merupakan potongan ingatan yang
terjadi sebelum ia tertidur panjang.
―Ceritakan padaku apa yang terjadi.‖
―Tuan yakin?‖
Faisal mengangguk mantap. Ia tahu Toska tidak
bisa melihatnya saat ini karena Toska sedang ada di
kediamannya dan suara mereka terhubung lewat
gawai. Selama ini ia tidak acuh dengan keadaan yang
menimpanya. Sekarang ia siap mendengarkan apa
yang sebenarnya terjadi kepada dirinya.
―Mohon maaf, Tuan. Aku hanya bisa mengatakan,
ikuti petunjuk dari kertas itu. Pergilah ke arah
matahari terbenam maka Tuan akan menemukannya.‖
Faisal menatap tidak mengerti. Tanpa
penjelasan lebih lanjut, Toska mematikan gawainya.
Faisal yang menyadari hal itu kesal setengah mati.
Dasar anak buah tidak tau diri! Awas saja nanti,
gajinya akan aku potong!
Faisal menghela napas, mencoba menenangkan
diri. Ia menyenderkan punggungnya di senderan
kursi. Kuncinya sekarang adalah bukan pada orang
lain, melainkan pada dirinya sendiri. Malam sudah
tiba dan Faisal memutuskan untuk tidur. Semoga saja
ketika dirinya terbangun nanti, ia bisa mengingat apa
yang baru saja ia mimpikan.
Lagi-lagi kejadian yang sama terulang, begitu
Faisal terbangun, air mata mengalir membasahi
pipinya. Namun kali ini berbeda. Faisal menatap kotak
merah itu, ada sesuatu yang hilang. Tidak. Bukan
sesuatu. Seseorang. Air matanya mengalir deras,
namun Faisal tidak mencoba untuk menyekanya. Ia
membiarkan air matanya mengalir begitu saja,
disusul dengan isakan tangisnya. Faisal mengambil
gantungan kunci di depannya, memejamkan matanya,
lalu menggenggamnya erat. Seolah-olah hanya itu
yang tersisa dari seseorang yang hilang.
―Tuan siap?‖
Faisal mengangguk mantap. Setelah
menghabiskan air matanya tadi pagi, dirinya meminta
Toska untuk membawanya ke suatu tempat. Sekarang
ia mengerti maksud dari pesan yang ditulis di kertas
kuning itu. Faisal menggenggam erat gantungan

239 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 240

kuncinya di tangan kanannya dan kertas kuning di


tangan kirinya.
―124.‖
Itulah yang tertulis. Dan maksudnya adalah, I‘m
dreaming of you, yang bisa diartikan pula sebagai, ― I
miss you… Fani.‖
Jujur, Faisal tidak akan mungkin mengingatnya
jika bukan karena mimpi yang tak berkesudahan itu
hadir di setiap malamnya. Dirinya berterima kasih
dengan hal itu. Dan di sinilah Faisal, berdiri menatap
sendu sebuah batu dengan sederet nama yang
terukir di sana. Faisal berjongkok, memeluk batu itu
erat-erat, dan menumpahkan kembali semua air
matanya. Entah sudah berapa liter air matanya ia
habiskan hari ini. Ah, ralat. Minggu ini.
Ingatan-ingatan mulai tayang di dalam
pikirannya, selayaknya sebuah film dokumenter,
menayangkan kembali kejadian yang menimpanya
sebelum dirinya tidur panjang di rumah sakit. Fani—
satu-satunya keluarganya yang masih tersisa, adik
kesayangannya yang meninggal karena kecelakaan.
Faisal telah gagal. Dirinya telah lalai sebagai kakak.
Ia telah lalai melindungi keluarganya. Ia telah lalai
melindungi adiknya. Faisal meneguk salivanya lamat-
lamat, masih memeluk erat batu nisan milik adiknya.
Seharusnya dirinyalah yang bersemayam di sini,
bukan adiknya.
Faisal melirik jaket tebal miliknya, yang
menyelimuti sebagian makam adiknya. Faisal tahu,
adiknya sangat menyukai jaket miliknya. Dan dia
ingat, di mimpinya itu ia bertemu dengan adiknya.
Bahkan di mimpinya sifat adiknya itu sama persis
dengan yang asli. Faisal tersenyum tipis, tertawa
kecil ketika mengingat adiknya. Fani yang keras
kepala. Fani yang mandiri. Fani yang kesal karena
Faisal memanjakannya. Fani yang sudah tiada.
Beberapa jam telah berlalu. Faisal sudah cukup
lama menghabiskan waktunya di sini. Toska di
sampingnya, masih berdiri, setia menunggu tuannya.
Kini Faisal mengerti kenapa Fani begitu membencinya
di dalam mimpi itu, menjauhkan diri dari dirinya—
Faisal. Maaf, Fani. Tapi Faisal berkehendak lain.
―Toska.‖
―Ada apa, Tuan?‖
―Aku ingin bertemu dengan Fani. Secepatnya.‖
Punggung Faisal masih membelakangi Toska.
―Salahmu, Fan. Enak sekali mengusir kakakmu
jauh-jauh. Seharusnya kita selalu bersama.‖
Toska tidak salah dengar, juga tidak salah lihat.
Faisal tersenyum.

241 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 242

Seruling Kerinduan
Karya: Erlina W. Irawan

Pemisah cinta dan benci setipis kain ari,


begitupun rindu dan dendam tak terlihat bersekat.
Cinta yang murni akan melahirkan ketulusan sedangkan
cinta penuh nafsu akan melahirkan keserakahan. Rindu
akan tumbuh dari ketulusan dan keserakahan hanya
akan membuahkan dendam.
Ia hanya mendesah berat, setelah enam tahun
meninggalkan tanah kelahirannya, perasaan marah
masih melingkupi hatinya. Kemarahan yang telah
melahirkan keegoisan untuk mengabaikan kerinduan
seluruh keluarganya. Sudah lama ibunya memintanya
pulang, ketika tanggung jawab untuk menggantikan
ayahnya menikahkan adik perempuannyapun tak mampu
meniupkan kedamaian, ia belum sanggup pulang.

Ia masih ingat saat itu, ia menangisi


keegoisannya semalaman, sampai badannya demam. Adik
kesayangannya Rahmi, menelpon untuk menghiburnya,
meski hatinya perih, si adik tahu betul mengapa
kakaknya melewati pernikahannya.

Lalu adik bungsunya Rahman, mengirimnya suara


seruling tahun lalu, dan setiap hari rekaman itu seperti
mengiris hatinya dengan rasa rindu. Kerinduan yang
menarik-narik jiwanya untuk kembali ke pangkuan
keluarganya, ibu dan kedua adiknya.

Suasana bandar udara Soekarno-Hatta ramai


seperti biasa, tapi ia merasa sendirian, sudah hampir
tiga puluh menit ia menunggu jemputan sahabatnya.
Tapi ia segan untuk mengontaknya lagi, ia hanya diam,
menunggu sambil menikmati suara instrumental seruling
di telinganya.

―Hai, Ramadan, maaf telat niih!‖ Seseorang


berseru sambil menepuk pundaknya, sebuah senyum dan
pandangan rindu menyapanya. Mereka berpelukan,
melepas rindu setelah tak bersua sekian tahun.

―Jalan sekarang?‖ Ia hanya mampu mengangguk.

―Kamu masih seperti dulu, jarang bicara,


Ramadan‖. Lalu keduanya tersenyum, dan keluar
meninggalkan bandara.
―Berapa jam dari sini ke Sukabumi, Mad?‖

―Kalau lancer, paling tiga atau empat jam Dan,


emang sudah lupa yach?‖ Keduanya tertawa.

―Bukan lupa, hanya saja aku ingin jalan-jalan


dulu ke sekolah kita,‖ Ahmad diam sesaat, dia berpikir
sahabatnya ini, masih ingin menunda kepulangannya
setelah enam tahun, aneh. Dulu ketika dia pulang malah
ngomel-ngomel sama saudara yang menjemputnya.

―Kita lihat situasi aja, kalau nggak macet ada


lah satu jam buat jalan-jalan dulu,‖ akhirnya Ahmad

243 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 244

menjawab dengan bijaksana. Ramadan mengangguk


tanda setuju. Setelah itu mereka diam, tenggelam
dalam pikiran masing-masing. Ahmad agak segan
bertanya, ia takut menyinggung perasaan sahabatnya.
Sementara Ramadan segan untuk berbicara, hatinya
begitu galau.

***

―Ramadan, Emak ngerti perasaanmu. Perasaan


Emak jauh lebih sakit, jika luka di hatimu ada satu, maka
dalam diri Emak akan sepuluh kali lipat. Emak yang
melahirkanmu dengan taruhan nyawa, kamu kebanggaan
Emak, kebangaan adik-adikmu. Namun di atas segalanya
ada Tuhan, Nak! Dia Sang Pencipta, yang selalu punya
rencana untuk hamba-Nya. Abah telah meninggalkan
kita, Emak tahu beban dipundakmu. Jika kepergiaanmu
untuk mengubah nasib kita karena tanggung jawabmu,
Emak ridho, tapi bila kepergiaanmu karena rasa sakit
hari, Emak akan terluka.‖ Wejangan ibunya diiringi air
mata kesedihan.
Ramadan bersimpuh lebih dalam, ia menangis di
pankuan ibunya, sedang dua adiknya menangis di
belakangnya. Hatinya begitu teriris, ia sadar
keputusannya mungkin diambil karena rasa frustasi,
karena patah hati, dan marah karena menerima
penghinaan.
Ia sangat mengerti apa yang ibunya katakana, tapi
apa dayanya, ia pun manusia biasa yang punya rasa sakit
hati, dendam, dan ingin membuktikan kalau dia mampu
menepis penghinaan itu.
―Emak, Ramadan pergi buat mencari kehidupan
yang lebih baik untuk keluarga kita, Ramadan ingin adik-
adik sekolah lebih tinggi dariku, meski awalnya karena
penghinaan orang lain, tapi Ramadan menerimanya
sebagai tantangan untuk membuktikan kemampuan.‖ Ia
mencoba menyembunyikan motivasi sebenarnya. Ia ingin
ibunya merestuinya dan mendoakannya dengan ikhlas.
―Ramadan, Emak takut kamu lupa pulang!‖
Seharusnya ia tersenyum dengan candaan ibunya, tapi
saat itu malah menyelipkan kepedihan yang lebih dalam.
Ia tak menjawab tapi menangis sambil memeluk ibu dan
adik-adiknya. Perpisahan itu tak dapat dielakkan, ia
memulai perjalanan hidupnya jauh dari keluarga.

***

―Ramadan, kita makan siang dulu di sini!‖ Ahmad


memarkir mobilnya di depan rumah makan yang
menghadap ke telaga. Pemandangan yang sangat
memukau disuguhkan rumah makan sederhana ini.
Ahmad memesan makanan favoritnya, sedangkan
Ramadan mengamininnya saja. Ia sebenarnya tak selera
untuk makan, namun menatap pemandangan membuatnya

245 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 246

betah duduk bersandar menghisap rokoknya dalam-


dalam.
―Pesanan kita kan lumayan lama, Dan!‖ ―Nggak
apa-apa, aku suka pemandangannya!‖
―Iya, makanya aku selalu berusaha mampir di
warung ini, kamu mau pesan kopi?‖ ―Boleh, kopi hitam
saja!‖
Dua gelas kopi menemani mereka, namun tak ada
obrolan yang hangat di antara mereka. Ahmad tak ingin
mengganggu lamunan sahabatnya, ia menenggelamkan
diri pada HP-nya, sambil sekali-kali mencuri pandang
pada raut wajah sahabatnya.

***

―Namamu Ramadan?‖ Ramadan mengagguk


sopan, ia sangat gugup karena yang bertanya adalah
ayahnya Rita, teman kecilnya yang waktu itu telah
menjadi pacarnya.

―Bapakmu kerja apa?‖

―Bapak telah wafat, satu tahun lalu!‖ Ramadan


mencoba menekan kegugupannya. Ini seperti interogasi
gur BP-nya di sekolah kalau ia menjadi saksi kenakalan
teman-temannya.
―Oh, maaf kalau bapak membuatmu sedih!‖
―Tidak apa-apa Pak, kami sekeluarga sudah ikhlas
menerima takdir,‖ suara Ramadan semakin parau,
sementara Ayahnya Rita menatapnya tajam.
―Kamu teman SD-nya Rita, kan?‖
―Iya, Pak, teman SMP-nya juga!‖
―Terus sekarang sekolah di mana?‖
―SMK, Pak!‖
―Tidak sesekolah lagi kok masih sering jalan
bareng, nggak enak dilihat tetangga, kalian sekarang
bukan anak-anak lagi. Kita hidup di desa yang masih
ketat memegang adat istiadat, setelah lulus SMA,
mungkin Rita akan menikah, jadi jaga jarak, agar tidak
membuat para tetangga salah sangka.‖ Seperti ada
petasan yang meledak dekat telinganya. Dia bingung
harus menjawab seperti apa, haruskah ia katakana,
kalau ia dan anaknya sepasang kekasih.
Tak mungkin Ayahnya Rita tidak mengerti
hubungan seperti apa antara anaknya dengan pemuda
tanggung di hadapannya. Ia hanya sanggup menunduk,
bibirnya kelu. Dan rasa sakit mulai merayap dari dalam
hatinya, perih.
―Sebaiknya kamu belajar lebih giat, sebagai
anak laki-laki paling besar, maka tanggung jawab
menyekolahkan adik-adikmu ada di pundakmu, kasihan
Emakmu banting tulang menjadi tulang punggung
keluarga.‖

247 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 248

―Iya, pak, terima kasih atas nasehatnya, maaf


bila kedatangan saya membuat Bapak dan Ibu menjadi
resah karena bisik-bisik tetangga.
―Bapak dan Ibu sebetulnya santai saja, karena
tahu kamu dan Rita berteman sejak kecil, jadi kami
maklum bila kalian masih sering bersama, tapi sekarang
kalian sudah besar, tak pantas laki-laki dan perempuan
yang sudah dewasa terlalu dekat. Lagi pula Bapak tidak
mau nanti anak bapak jadi alasan ketidakberhasilanmu.
Berhentilah main-main, persiapkan masa depan
keluargamu dengan serius. Mulai sekarang, pelan-pelan
jauhi Rita!‖
―Iya, Pak, saya pamit, sekali lagi, mohon maaf
atas kelancangan saya, selalu main ke rumah ini, saya
berjanji akan menjalankan segala nasehat bapak!‖
―Ritaaa, ini temanmu mau pulang!‖
Di pos pinggir jalan, mereka berdua duduk
berdampingan pandangan mereka jatuh ke pesawahan
yang terhampar di bawah bukit. Rumah-rumah
penduduk yang berjauhan terlihat sampai jauh berupa
titik-titik hitam.
―Abah, nanya apa?‖
―Tidak ada!‖
―Kalau mau bohong, belajar dulu, jangan
membuatku marah!‖
Ramadan mencoba tersenyum, gadis di
sampingnya telah hampir 10 tahun mengenalnya, sejak
kelas 1 SD, sampai sekarang kelas 10 SMK. Dia maphum,
kalau tidak ada yang dapat ia sembunyikan darinya.
―Hayo, bilang, apa yang Abah katakan!‖ Mata
bulatnya seperti mau menelan pemuda di sampingnya,
yang mengalihkan pandangan ke atas sandalnya yang
mulai buruk.
―Rita, Abahmu mau kita tidak terlalu dekat, malu
oleh tetangga, kita bukan anak-anak lagi, tapi remaja
yang meningkat dewasa yang harus mempersiapkan
masa depan,‖ Ramadan menarik nafas dalam, satu beban
terlepas sekarang.
―Jadi menurutmu hubungan kita ini hanya main-
main, mana janjimu, yang akan selalu di sampingku,
bohong!‖
―Bukan itu maksudku, Rita!‖ Ramadan sangat kaget
dengan reaksi Rita. Ia berpikir Rita berpikir masih
seperti anak-anak.
―Ramadan, aku menguping tadi, sepertinya jalan
kita mulai terjal!‖ Kini air mata tak lagi dapat dibendung,
meski isaknya dapat disembunyikan. Ramadan hanya
diam, sesungguhnya ia sangat mengerti arah kata-kata
ayahnya Rita. Jarak rumah mereka tidak terlalu jauh,
dan di desa seperti ini jarang sekali tidak mengenal
satu sama lain. Ia yakin tadi hanya basa-basi yang
menuju poin penting ‗mereka harus berpisah‘. Berbicara
dengan cara diplomasi malah menorehkan sakit dan
kemarahan yang makin bertambah dari waktu ke waktu.

249 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 250

Itu adalah pertemuan terakhirnya dengan Rita,


tak ada kata-kata yang perlu disampaikan, toh Rita
sudah mendengar semuanya. Mereka harus pasrah,
karena keadaan yang memaksa mereka untuk mengalah,
pada posisi mereka keputusan orang tua adalah doktrin
yang harus dipatuhi.
―Ramadan, anak Emak, kadang-kadang penghinaan
itu harus kita balas dengan tekad dan kerja keras,
bukan dengan kebencian. Emak mau kamu tinggal di
pondok saja dekat sekolahmu. Mencari ilmu akhirat
sangat perlu, Nak! Emak doankan, kelak kau menjadi
orang yang berguna untuk keluarga, agama, dan Negara.
Biarlah kamu dan Neng Rita tidak bertemu untuk
sementara, kalau memang jodohmu, Allah akan
mempertemukan kalian atas ijin-Nya, percaya sama
Emak!‖ Diiringi air mata Ramadan masuk pondok. Di
siang hari Ia belajar di SMK, dan malam harinya belajar
ilmu agama di pondok.
Niat yang didukung kerja keras menghasilkan
prestasi yang membanggakan. Dia lulus dengan nilai
terbaik dan lulus seleksi magang di Jepang selama dua
tahun. Namun ia pun mendengar kabar Rita akan
menikah dengan pilihan orang tuanya.
Setelah dua tahun lebih mencoba melupakannya,
ia tetap tak mampu. Saat sendiri ia selalu menikmati
kenangan bersama Rita. Dalam mimpi atau sengaja
pulang dan melewati tempat-tempat yang biasa mereka
kunjungi.
Ibunya hanya sanggup memeluknya, mengingatkan
akan takdir seseorang. Tak lupa menasehatinya panjang
kali lebar, dan ia hanya diam menyimak dan menekan
rasa perih dari luka yang semakin menganga di dasar
jiwanya. Iapun bertekad untuk pergi jauh, mengambil
magang dan akan memperpanjangnya bila hatinya belum
sembuh.

***

―Ayo, Ramadan, makan, ikan bakarnya enak,


pepesnya juga!‖ Kembali Ahmad menarik Ramadan ke
alam sadar. Tak ada jawaban, dia hanya membetulkan
sikap duduknya, menghadap makanan yang sudah tersaji
dan masih mengepul.
Lalu merekapun makan dalam diam, Ahmad
menikmati tiap suap, sambal yang pedas, ikan bakar
yang gurih membuatnya nambah porsi nasinya.
Sedangkan Ramadan hanya mencicipi alakadarnya,
hanya menghormati sahabatnya yang sudah bersusah
payah menyenangkannya dengan mampir ke rumah
makan ini.
―Tenang, sisanya bisa kita bungkus untuk
dilanjutkan di rumah,‖ kata Ahmad seperti mencoba
menebak tatapan Ramadan pada makanan di atas meja.
―Wah, sekalian aja, bungkus agak banyak buat
Emak dan adik-adikku di rumah!‖ ―Siiap, jangan lupa

251 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 252

sekarang ada adik ipar, juga, siapa tahu dia gembul!‖


Keduanya tertawa.
―Sepertinya, kita tak akan sempat mampir-
mampir, Mad!‖
―Iya, sebaiknya langsung pulang saja ke rumahmu,
takut hujan, kamu belum tahu jalannya seperti apa
sekarang.‖
―Seburuk itukah?‖
―Hampir setahun lalu ada pergeseran tanah, jadi
jalannya sangat buruk di beberapa titik.‖
―Begitu, apakah hanya jalan yang rusak?‖
―Pergesar tanah itu dua kali di tempat yang sama,
beberapa rumah penduduk tak dapat diselamatkan,
malah ada yang meninggal karena tertimpa bangunan
rumah.‖ Ramadan hanya diam, matanya menerawang
jauh, aneh tiba-tiba dadanya berdesir. Keluarganya
jelas selamat, karena mereka tidak ada yang
memberitahukannya. Kenapa sekarang wajah Rita yang
menari-nari diwajahnya.
Tanpa sadar Ramadan mengucap istigfar berkali-
kali, ia sudah melupakan gadis itu, kenapa sekarang
tiba-tiba muncul kembali. Suara seruling yang menarik
jiwanya ingin kembali ke kampung halamannya tapi tak
secuilpun mengingatkan dia pada Rita.
―Ada apa Ramadan?‖
―Entahlah, setelah mendengar berita pergeseran
tanah tadi, hatiku jadi tak enak!‖
―Tapi keluargamu baik-baik saja, aku langsung
mengunjungi mereka waktu itu, mereka aman, malah
rumahmu pun aman, tapi sebentar!‖ Ahmad mengerutkan
dahinya.
―Lalu kenapa baru sekarang kamu bercerita
padaku!‖
―Karena ibumu yang meminta, beliau bilang jangan
membuatmu gelisah, tos mereka aman. Sudahlah,
sekarang kita lanjutkan perjalanan kita.
Mobil itu meluncur dengan lancer, jalanan yang
biasa macet tak ditemui. Sepanjang jalan Ramadan tak
henti-hentinya bertanya hal-hal yang baru ditemuinya.
―Kita tidak melewati Cisaat?‖
―Nggak dong, kan sudah ada jalan lingkar, jadi
lumayan lah tidak macet!‖ ―Itu Pasir Bedil?‖
―Iya, sekarang sudah lebat lagi, lahan-lahan
gundul sudah berhasil direboisasi!‖
―Dulu waktu aku SMP suka ikut haiking ke Pasir
Bedil, dan menanam tanaman keras di sana, ternyata
berhasil!‖ Mata Ramadan, berkaca-kaca, bahagia. Ia
ingat selalu bersama Rita ikut haiking ke Pasir Bedil.
Ah.. dia lagi.
―Wah, terminal kota pindah ke sini?‖
―Iya, makanya jangan pergi terlalu lama.‖
―Alah, cuma enam tahun!‖
―Itu bengkel kita!‖
―Oh, sayang sudah tutup!‖

253 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 254

―Kan akunya jemput kamu, jadi tutup!‖


―Oh, maaf, merepotkanmu!‖
―Tidak, karena memang aku pengen libur, masih
ada 4 bengkel lain, yang dikelola oleh teman-teman yang
sama-sama magang di Jepang.
―Apakah aku kebagian mengelola?‖
―Kalau mau, silahkan, saja, kamu kan menanam
saham paling banyak, mau buka yang baru boleh, deket
terminal jubleg belum ada. Sebagian uang yang kau
titipkan padaku aku beliakan tanah darat, sawah atas
namamu. Beberapa tanah mukin agak mahal karena
posisinya di pinggir jalan.‖
―Wah, harus bagaimana aku berterima kasih
padamu, Mad, kau memang sahabat sejati.‖
―Kita sahabat Ramadan, jangan sungkan, akupun
berterima kasih, aku bisa punya rumah, sawah, dan
mobil ini karena mu juga. Karena kepercayaanmu padaku,
makasih yach!‖
―Iya, kita sahabat, sampai jomblopun sama!‖
Mereka tertawa terbahak-bahak. ―Karena kau sudah
pulang, aku akan nikah!‖
―Wah, jadi kau sudah punya calon, mau ninggalin
aku jomblo sendirian?‖ Ahmad menganggu.
―Ok, selamat yach, nanati aku jadi pager bagus, di
pestamu!‖
―Enggaklah, kamu di pihakku, jadi saksi yang
memberikan tandatangan di buku nikahku aja.‖
―Siiap!‖
―Aku juga berharap jadi saksi di buku nikahmu,
Ramadan!‖ Ia tak menjawab, matanya memandang
keluar jendela. Pemandangan sepanjang perjalanan
memang sangat indah.
Bukit-bukit yang hijau, sungai-sungai yang
mengalir di tengah-tengah hamparan sawah.
―Sekarang, banyak tanah yang ditanami pohon
albasiah!‖
―Iya, itu karena ada pabrik tripleks, umurnya
hanya lima tahun, jadi sangat efesien, tanam, rawat
selama tiga bulan, dan tinggalkan.‖
―Hmm, sangat menguntungkan, kita menanam
dengan jarak satu bula, jadi nanati panennya juga
selang sebulan.‖
―Nah, betul, kita beli tanah di perbukitan,
harganya murah, terus kita tanam pohon albasiah
berjengjang, jadi keuntungan yang kita dapat juga
berjenjang!‖
―Sepertinya itu memungkingkan, nanti aku mau
buka bengkel baru saja, dan menanam pohon albasiah.‖
―Baik, nanti aku bantu!‖
Tiba-tiba jalan macet, antrian mobil sudah sangat
panjang. Ahmad menengok ke belakang, dan mencoba
bertanya pada pedagang asongan, apa penyebab macet
ini.
―Sekarang jalannya sangat licin, jadi harus buka
tutup, hanya saja hari ini mobil dan motor sangat

255 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 256

banyak yang lewat, jadi macetnya sampai di sini,


biasanya paling sampai ujung sana,‖ Si Pedagang
Asongan menunjuk kelokan tajam di depan. Ahmad
manggut-manggut. Ramadan yang mendengar penjelasan
Si Tukang Asongan, memandang tikungan di depan, ia
tahu persis tempat itu.
Ramadan minta ijin untuk turun, dan berjalan
melewati mobil-mobil yang mengatri ke kelokan di
depan. Saat sampai ujung antrian, ia melihat
pemandangan yang membuat lututnya goyah, rumah-
rumah hancur berantakan, jalan patah dan membentuk
turunan curam.
Ia berfikir inilah kampung yang berada dalam
jalur pergeseran tanah. Kerusakan yang sangat parah,
retakan-retakan lantai rumah menganga, sawah-sawah
terbelah, sungai-sungai seperti bertambah. Dan ini
adalah kampung tempat Rita tinggal. Sekali lagi ia
menyapu rumah-rumah yang masih utuh, tetangga Rita.
Rumah Rita telah hilang, retakan tanah di sana yang
paling parah.
Apakah Rita selamat, bagaimana keluarganya?
Pertanyaan-pertanyaan berseliweran di pikirannya.
Matanya menyapu wajah-wajah yang berjejer di
sepanjang jalan terjal, mereka mencoba memberi
pertolongan pada mobil-mobil yang tak sanggup
menanjak, atau pengendara motor yang tak sanggup
melewati jalan terjal itu. Tak ada seorangpun yang ia
kenal, mereka orang asing di matanya, padahal banya
teman-teman SD-nya dari kampung ini.
―Kang, kalau Neng Rita yang dulu rumahnya di situ
kemana yach?‖ Ramdan bertanya, hanya untuk
memenuhi kepenasarannya.
―Oh, kurang tahu, Kang, ini kan sudah lama, saya
orang baru di sini, maaf yach!‖
―Terima kasih, Kang, nggak apa-apa.‖
―Hei, Ramadan, ayo masuk, sebentar lagi giliran
kita!‖ Ramadan berjalan kembali ke mobil Ahmad yang
hanya terpisah lima mobil di belakang.
Hampir saja Ramadan menutup mata selama
melewati jalan rusak dan terjal itu, terbayang dalam
ingatannya seperti apa keadaan disini enam tahun
kebelakang. Pemandangan yang indah dapat dilihat dari
gardu pinggir jalan yang sengaja dibangun untuk
sekedar menunggu mobil yang akan membawa
penumpang ke kota, atau istirahat setelah menanjak
dari kampung yang di bawah sana. Dan gardu itu pula
tempat terakhir ia melihat Rita.
―Ramadan, itu rumahmu, sejak bencana
pergeseran tanah, aku bantu Emakmu, untuk
membangun rumah di sini, dan rumah lamamu ditempati
adikmu Rahma beserta suami dan anaknya.‖
―Hari ini kamu memberiku kejutan berkali-kali,
tapi terima kasih, kau sudah menjaga keluargaku selama
aku tak ada.‖

257 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 258

Rumah panggung sederhana, seperti rumah


lamanya. Itu memang kesukaan Emak, ia pasti tak akan
mau bila harus pindah ke rumah permanen. Namun
rumah ini terlihat asri, biliknya memakai bilik pernis
dengan motif turih wajit. Halamannya penuh dengan
bunga- bunga, kolam ikan kecil di samping rumah. Ada
balai-balai yang terlihat bersih karena sering diduduki
oleh banyak orang.
―Assalammualaikum!‖ Ahmad mengetuk pintu,
sedang Ramadan menjatuhkan pentatnya di balai-balai.
―Waalaikum salam!‖ Suara ibunya terdengar
nyaring, membuat dada Ramadan bergetar, ketika suara
pintu terbuka, ia sudah tak sanggup lagi menahan
gejolak hatinya, ia berlari dan memeluk ibunya dengan
erat.
―Anak Emak pulang!‖ Hanya tiga kata yang sanggup
diucapkan selanjutnya hanya tangis keduanya
menghipnotis semua yang melihatnya. Beberpa tetangga
berdatangan dan ketika menyaksikan adegan itu,
merekapun menitikan air mata.
Setelah air mata bahagia itu tertumpah cukup
lama, akhirnya mereka sadar banyak orang yang
menonton dan terhanyut dalam keharuan. Ramadan
menyalami semuanya, setelah mereka pergi baru ia
masuk ke dalam.
Adegan haru, kembali terjadi saat adik-adiknya
datang. Kerinduan dan kebahagian tertumpah dalam air
mata. Ahmad hanya menonton dengan sabar dan
menikmati kopi hitam bikinan ibunya Ramadan. Ia
membiarkan sahabatnya melampiaskan perasaannya.
―Ramadan!‖ Sebuah suara memecahkan keharuan
di rumah itu. Ramadan menoleh, dan jantungnya seperti
berhenti. Betapa tidak gadis itu berdiri di ambang
pintu, menatapnya penuh rindu.
―Masuk, Neng, Ramadannya baru datang!‖
―Iya, Mak, sebentar kubereskan dulu kamar
Ramadan!‖ Tanpa menunggu jawaban ia masuk ke kamar
depan. Ramadan hanya menatapnya penuh
ketidakmengertian.
―Mak, kenapa dia ada di sini, bukankah ia sudah
menikah?‖
―Bila kamu sudah ada waktu tanyakan sendiri
padanya.‖ Emak pergi ke dapur, diikuti oleh semua
orang tak terkecuali Ahmad. Mereka seperti dikomando
untuk memberikan ruang buat Ramadan untuk mencari
jawaban atas kepenasarannya.
―Rita, duduklah, apa yang membuatmu tinggal
disini?‖
―Menunggumu!‖ Alis Ramadan berkerut, tak
mengerti dengan jawabannya
―Aku batal menikah, aku kabur, sampai bencana
itu datang, aku pulang, tapi terlambat, orang tuaku
menjadi korban, aku sebatang kara dan ibumu
memintaku untuk tinggal disini dan mengelola warungnya
di pinggir jalan.‖ Rita terisak, lalu menangis. Sementara
Ramadan hanya menonton yang menangis. Ia tak pernah

259 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 260

menduga Rita akan nekad. Ia tak pernah menjajikan


akan kembali padanya, tapi dia menunggunya dengan
sabar.
Andai ada yang mengatakan segalanya, ia akan
pulang lebih awal, tak perlu menyiksa dia sebegitu rupa.
Bagaimana kalau ia datang dengan membawa istri dan
anak? Ramadan mengucap istigfar dan alhamdullilah
bergantian.
―Jika kamu sudah ada yang punya, aku tidak apa-
apa, biarlah aku mengurus Emak di sini, hanya itu
permintaanku,‖ Ramadan menatapnya lembut, ia sangat
kagum pada gadis di depannya. Gadis sederhana yang
nekad.
―Apakah kamu marah padaku?‖ Ramadan
menggeleng.
―Lalu kenapa kamu diam saja?‖
―Karena aku sibuk menormalkan detak jantungku!‖
―Maksudmu?‖
―Hari ini terlalu banyak kejutan, membuat aku
hampir jantungan?‖
―Bolehkah aku bertanya?‖
―Tentu?‖
―Tapi harus kau jawab dengan jujur?‖ Ramadan
mengangguk
―Pernahkah kau ingat padaku selama enam tahun
meninggalkanku?‖ Ramadan tertegun, ia menatap Rita,
seperti mencoba menjawab dengan telepati perasaan.
Ia pun mengingat kehidupannya selama jauh dari Rita.
―Jawab, jangan diam saja!‖ Ramadan tersenyum,
dan mengangguk.
―Tentu saja, aku rindu padamu, rindu
bentakanmu.‖ Tapi tak ada senyum di wajah Rita,
seakan candaan itu hanya membuatnya lebih sebal.
―Saat rindu padaku, apa yang kau lakukan?‖
―Tidur dan mimpi bermain denganmu.‖
―Kalau aku rindu padamu, aku akan mendengar
instrumental seruling, sampai aku menangis, karena
hatiku terasa perih.‖ Ramadan terkejut mendengar
kata-ktanya
―Bila kau percaya, mengapa aku berani pulang,
karena mendengar suara seruling itu, aku merasa jiwaku
berontak dan menuntunku untuk pulang.‖ Kini senyum
manis mengembang diwajahnya, Ramadanpun
tersenyum, kini dia tahu kebenaran nasehat ibunya.
Setiap keikhlasan akan mengantarkan kebahagian ke
dalam jiwanya.

***

Sukabumi, 28 Mei 2020

261 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 262

Assalamualaikum, Aku Pulang


Karya : Fauzan Labib Aqobah

Mata Surya membelalak.


Menatap pemandangan di sekelilingnya yang kini
tertutup jelaga. Langkahnya semakin melambat. Kakinya
lunglai seolah tenaga telah dicabut dari seluruh
ototnya. Perlahan kaki-kaki itu menuntun dirinya
mendekati seonggok potongan kursi kayu yang masih
mampu berdiri dengan segala sisa tenaganya.
Ditaruhnya ransel yang selalu dia gendong di sebelah
kanan kursi itu. Dengan tangan yang gemetar dan wajah
yang terasa panas dia hempaskan tubuhnya pada kursi
yang kini telah berwarna sepekat arang.
Terdengar bunyi keretak, namun sepertinya dia
tak menghiraukannya. Tangannya merogoh ransel yang
ada di sebelah kanan. Sebuah laptop berwarna perak
mengilap dia keluarkan dari wadahnya. Dibukanya laptop
itu pada pangkuannya yang juga gemetar. Perlahan
tangan kanannya merogoh saku jaket dan diambilnya
telepon genggam. Dengan sangat perlahan dan telit i
dicarinya sebuah kontak yang akan dia hubungi.

Tuuut…tuuut…tuuut…
Terdengar nada sambung pada nomer yang
sedang dihubungi Surya, dan tak lama kemudian
seseorang mengangkat panggilan itu.

―Halo?‖

Suara seorang wanita terdengar dari seberang


telepon. Dengan suara yang tercekat Surya
memaksakan bibirnya untuk berucap.

―Assalamualaikum, aku pulang…‖

***

―Wah! Mas Surya pulang?‖


Sebuah senyum kebahagiaan terlukis di wajah
Ratih. Untuk pertama kalinya kakaknya pulang sejak
merantau tiga tahun lalu. Digenggamnya dengan erat
telepon itu. Berkali-kali juga dia cubit pipinya
memastikan bahwa itu bukanlah mimpi. Rasa ingin
bertemu dan luapan kebahagiaan tak dapat dibendung
lagi. Dari ruang tengah dipanggilnya ibu yang sedang
sibuk dengan panci dan wajan di dapur.
―Mbok… Mbok… Mbok… Mas Surya pulang,
Mbok!‖
Mendengar teriakan Ratih tentang kepulangan
putranya, sang ibu berlari tunggang langgang
memastikan pendengarannya tak salah.

263 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 264

―Bener, Nduk? Surya pulang?‖ Ia bertanya


dengan wajah sumringah dan mata yang berair. Sampai-
sampai suara yang dikeluarkannya ikut bergetar
seakan-akan sebuah mukjizat datang padanya.
Bibir Ratih berucap tanpa beban menyampaikan
kabar yang baru saja dia terima dari kakaknya. Rasa
haru dan bahagia membaur jadi satu dalam batin kedua
insan tersebut. Ia mengatakan kakaknya telah
menunggu di rumah lama mereka—rumah yang kini telah
menghitam bersama tumpukan abu dan jelaga. Tak
dapat dipungkiri, rumah itu merupakan latar kejadian
tragis setengah tahun yang lalu. Siapapun yang
mendengar, terlebih yang mengalaminya langsung, akan
selalu ingat akan kejadian nahas itu. Namun rupanya
kejadian itu tak menjadi tembok penghalang bagi Ratih.
Tekadnya untuk bertemu sang kakak lebih besar
daripada tembok yang menghalanginya. Sekejap saja
dia telah bersiap pergi menjemput kakaknya di rumah
penuh kenangan itu.
―Mbok, aku mau jemput Mas Surya dulu ya.
Bilang sama bibi juga biar dia tidak kebingunan
mencariku.‖
―Mbok ikut, Nduk! Mbok pengin ketemu Surya.‖
―Jangan, Mbok. Mbok di sini saja sama bibi.
Kasihan dia sendirian. Nanti juga Mas Surya bakal ke
sini bareng Ratih.‖
Tak ada waktu lagi untuk berdebat. Semakin
lama berdebat maka semakin lama juga untuk bertemu
dengan Surya. Ibunya hanya mengangguk dan harus
sedikit lebih bersabar untuk bertemu dengan putranya.
Setengah jam Ratih tempuh dengan angkutan
desa untuk sampai ke rumah lamanya. Sesampainya di
reruntuhan rumah yang terbakar itu dilihatnya seorang
pria sedang duduk termangu dengan laptop di
pangkuannya. Dari postur tubuh dan wajahnya yang
familier dia tahu orang itu. Maka tanpa berbasa-basi
lagi dia segera memanggilnya.
―Mas Surya!‖
Sontak orang yang dipanggil mengalihkan
pandangannya dari laptop dan berdiri tercengang.
Ditaruhnya laptop itu pada kursi yang tadi didudukinya.
Matanya awas menyelisik sosok yang memanggilnya itu.
―Kenapa baru pulang, Mas? Kami sudah
menunggu lama sejak terakhir kali kau menghubungi dan
ternyata kau tidak kunjung datang.‖
Surya hanya berdiri dengan air mata yang
hampir tumpah. Dilihatnya sosok Ratih yang kini
berdiri di hadapannya. Pandangannya seolah dia tak
percaya akan kehadiran gadis itu. Pikirannya tumpul
seolah waktu telah dihentikan. Ia benar-benar tak
dapat berucap sepatah kata pun sampai Ratih
mendekatinya.
―Berhenti, Ratih!‖
Ia mengucapkan kalimat itu seolah sedang
menghindar. Ajaibnya kalimat itu mampu mengendalikan
tubuh Ratih yang kini tegap berdiri hanya tiga langkah

265 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 266

dari hadapannya. Ratih merasa ada sesuatu yang


sedang disembunyikan darinya atau bahkan dari
seluruh dunia, namun dia sendiri rupanya juga tak
diizinkan untuk mengetahuinya.
―Maaf, aku terlambat.‖
Lagi-lagi kalimat yang keluar dari mulut Surya
terdengar sangat aneh. Seakan ada sesuatu yang harus
diungkap namun dia sendiri tak berani mengucapkannya.
Ia memandang Ratih dengan pandangan mata yang
nyaris kosong. Matanya tertuju pada gadis di
hadapannya, namun pikirannya sedang menatap sesuatu
yang jauh—sesuatu yang tak mungkin bisa digapai
siapapun. Perlahan air mata mulai menetes dari ekor
matanya. Satu…dua… dan semakin banyak air mata yang
tertumpah.
Ratih lagi-lagi kesulitan menerjemahkan hal itu.
Ia hanya bisa memandang pilu kakaknya yang sudah
lama tak pulang dengan air mata yang meleleh dari
kedua matanya. Apakah dia menangisi rumah ini?
Sebuah pemikiran polos yang terlintas di kepalanya
membuat Ratih meringis perih. Ia jelas sangat ingat
kejadian saat itu karena dia dan ibunya sendiri yang
langsung mengalaminya. Tapi kejadian itu jelas tak akan
terlalu mengusik kakaknya. Itu sangat jelas—karena
bukan dia yang mengalami langsung.
―Ya, kau benar. Aku sedang menangisi rumah ini.
Menangisi kepulanganku bahkan menyesalinya.‖
Ratih tersentak dari lamunannya. Ia terkejut
ketika mendapati kakaknya mengetahui apa yang dia
pikirkan. Dengan segala macam kebingungan yang masih
melekat di benaknya, dia mencoba menerangkan
kejadian nahas itu pada kakaknya dengan harapan itu
bisa sedikit membuatnya tenang.

***

Setengah tahun telah berlalu, namun peristiwa itu


masih bersarang dengan nyaman pada ingatan Ratih.
Kejadian itu bermula pada pagi hari Bulan Ramadan.
Saat itu jelas telah memasuki hari-hari menjelang
lebaran. Semua orang merayakan euforia kegembiraan
bersama sanak saudara mereka yang datang dari kota.
Tring…tring…tring…
Dering telepon yang selalu dinanti oleh Ratih dan
ibunya akhirnya menampakkan suaranya. Ratih yang
sudah tahu siapa kira-kira orang yang menelepon segera
mengangkat telepon yang terus berbunyi itu. Sesuai
dugaannya, suara berat Surya menggema dari telepon
dalam ruangan yang hanya berukuran tujuh kali enam
meter itu. Wajah Ratih dan ibunya berubah cerah
seiring menggemanya suara yang berat dan hangat dari
seorang anak lelaki yang selalu dinantikan kehadirannya
itu. Pancaran kecerahan itu semakin tampak nyata
begitu mereka mendengar sebuah kalimat ajaib yang
dikatakan Surya.

267 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 268

―Mbok, Ratih, besok aku pulang.‖


Pulang. Sebuah kata ajaib yang mampu membangun
kalimat indah pada kata-kata yang diucapkan Surya.
Sebuah kata yang selalu dirindukan oleh Ratih dan
ibunya. Pulang artinya mereka bertiga akan merayakan
lebaran bersama. Euforia akhirnya juga melanda rumah
mereka. Rumah yang sekian tahun sepi karena telah
lama kehilangan sosok ayah, dan harus ditambah
kepergian sosok kakak sekaligus pengganti ayah, kini
akan kembali hidup.
Kabar kembalinya sosok kakak sekaligus anak dan
ayah membuat Ratih dan ibunya larut dalam
kegembiraan untuk menyambut kepulangan orang yang
telah lama dirindu. Seluruh sudut rumah menjadi
sasaran luapan kegembiraan. Setiap sudut ruangan
mereka bersihkan. Tak ada satupun yang luput dari
tangan-tangan mereka. Bahkan sarang tikus yang
tersembunyi di dapur pun berhasil mereka basmi.
Ibunya segera belanja dan membeli bahan- bahan
makanan. Ia berencana membuat opor ayam kesukaan
Surya. Ia berharap ketika Surya datang dia bisa
segera menikmati opor yang telah disiapkan. Semua
berjalan lancar sampai saat mereka memasak opor.
Helai demi helai janur kelapa mereka anyam
membentuk belah ketupat. Sebuah pekerjaan yang
menuntut keterampilan tinggi. Namun sepertinya Ratih
dan ibunya telah terbiasa dengan pekerjaan orang-
orang tua semacam itu. Semua wadah ketupat yang
telah mereka buat lalu mereka isi dengan beras hingga
setengah penuh. Pekerjaan itu tak membutuhkan waktu
lama untuk diselesaikan bagi tangan-tangan terampil
mereka. Ketupat yang telah terisi lalu diikat dalam satu
ikatan. Sebuah ikatan yang mereka harap akan menjadi
ikatan paling erat seperti halnya hubungan keluarga
mereka. Sebuah ikatan yang akan menjadi penghubung
antara batin seorang ibu dengan anaknya, dan sebuah
ikatan yang akan menjadi penghubung antara perasaan
adik dan kakaknya. Ikatan-ikatan ketupat itu lantas
mereka masukkan dalam panci. Memasak ketupat
membutuhkan waktu yang lama. Selama itu pula waktu
yang akan mereka gunakan untuk terus memikirkan akan
kedatangan Surya.
Sayang seribu sayang. Apabila takdir telah
dituliskan maka tak ada satupun yang dapat
mengubahnya. Semua kejadian nahas itu berkaitan
dengan sarang tikus yang mereka temukan di dapur.
Tanpa sepengetahuan Ratih dan ibunya tikus itu telah
membuat kekacauan bahkan sebelum mereka berhasil
ditemukan. Sebuah lubang berukuran kecil telah
bersarang pada selang gas yang mereka gunakan.
Sebuah lubang yang akhirnya menimbulkan kekacauan
yang luar biasa besar. Sebuah lubang yang mampu
mengubah euforia menjadi bela sungkawa.
Takdir telah dituliskan, maka yang harusnya
terjadi maka terjadilah. Gas mengalami kebocoran
menimbulkan bau sengak pada seluruh ruangan. Tak

269 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 270

butuh waktu lama hingga panas api bereaksi dengan gas,


dan…DUARRR…. Sebuah ledakan berhasil menggegerkan
satu kampung. Ratih dan ibunya tergeletak di lantai. Ia
menyaksikan jago merah mulai menggerogoti seluruh
bagian dari rumah itu. Perlahan tak ada satupun bagian
tubuhnya yang bisa diajak kompromi. Semuanya mati
rasa, tak bisa digerakkan. Matanya terpejam dan
semua kenangan berputar dalam kepalanya bagaikan
kaleidoskop. Setelah itu dia tak tahu lagi akan kejadian
selanjutnya.

***

―Tak perlu disesali lagi, Mas. Semua sudah berlalu.


Kini aku dan mbok menumpang di rumah bibi. Mbok
sudah menunggumu, ayo pulang!‖
Surya tampaknya tak bereaksi apapun. Ia seolah
telah mengetahui segala cerita itu. Namun ada satu hal
yang jelas sangat dia ketahui. Suatu sudut pandang
yang jelas sangat berbeda dengan sudut pandang sang
adik. Sayangnya dia tak mampu untuk mengatakannya.
Tenggorokannya benar-benar tercekat dan napasnya
begitu sesak.
―Ma…maaf…maaf…‖
Hanya kata itu yang mampu keluar menjebol
mulutnya. Air matanya semakin deras mengalir. Disusul
raungan-raungan kecil yang semakin lama semakin keras
membuat siapapun yang mendengarnya akan merasa pilu
dan tersayat. Sebuah tekanan yang begitu berat seolah
berusaha menjebol akalnya. Raungannya semakin terasa
memilukan.
Ratih yang melihat itu tak mampu berucap.
Bibirnya terkunci rapat. Tubuhnya hanya diam terpaku
menatap kengerian berlangsung tepat di pelupuk
matanya. Perasaan dan pikirannya tak mampu
menjangkau apa yang sedang dialami Surya. Perlahan air
matanya ikut meleleh. Entah apa yang memicunya,
seluruh ingatan tentang kejadian setengah tahun itu
berputar dengan cepat dalam kepanya. Ingatan yang
bagaikan kaleidoskop itu berputar terus namun selalu
berakhir dengan ingatan yang sama ketika dirinya
terbaring di lantai.
Napasnya yang mulai terasa sesak dia tarik
perlahan. Kesadarannya juga dia tarik kembali ke
tubuhnya. Pikirannya mulai jernih. Ia sadar sesuatu
yang ada di benak kakaknya pastilah sesuatu yang tak
dapat begitu saja dia lupakan. Tapi apa? Entahlah.
Pertanyaan itu tak mampu dijawab oleh dirinya. Ratih
sadar yang bisa menjawab semua pertanyaan itu hanya
kakaknya sendiri. Maka dengan pikiran yang telah
kembali dingin dia mencoba menenangkan perasaan
kakaknya.
―Sudah, tidak apa. Ayo, Mas kita temui mbok!‖
Ratih berhasil menguasai dirinya kembali. Dengan
insting sebagai seorang adik dia mendekati kakaknya
yang sedang dilanda sebuah perasaan yang

271 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 272

membingungkan. Ia mencoba memeluk kakaknya. Aneh.


Tidak bisa! Tidak bisa! Ia sama sekali tak bisa
menyentuh kakaknya. Wajahnya mulai menunjukkan
kepanikan. Sesuatu sudah terjadi. Sesuatu yang
memang sudah seharusnya terjadi kini benar-benar
menampakkan wujudnya. Kebenaran telah tersingkap.
Kebenaran yang sesungguhnya, yang tak dapat dielak,
tersingkap sangat jelas. Sayangnya Ratih tak kunjung
menyadarinya. Kepanikan membuat otaknya semakin
tumpul. Ia mencoba meraih Surya berkali-kali namun
hasilnya selalu nihil. Ia masih tak bisa menyentuhnya.
―Tidak bisa! Aku tidak bisa ikut denganmu.‖
Dalam kepanikan itu Surya berteriak dalam
tangisnya. Namun perkataan yang Surya lontarkan lagi-
lagi tak dapat dipahami oleh Ratih. Seribu pertanyaan
muncul dalam benaknya yang sedang kebingungan.
Apanya yang tidak bisa? Apa yang kau maksud? Ratih
yang masih berusaha melingkarkan tangannya pada
tubuh Surya perlahan mulai putus asa. Ia mulai sadar
atas dirinya. Ia sadar atas keberadaannya, atas
dunianya sekarang. Hampa. Kehampaan menyeruak ke
dalam diri Ratih. Kehampaan yang dirasakan Surya
perlahan juga dirasakan olehnya. Tangis dan raungan
Surya dalam sekejap telah berpindah pada dirinya. Ia
masih mengais-ngais tangannya ke udara dengan lemah
sembari terus menangis dan meraung. Tidak bisa! Masih
tidak bisa! Dirinya benar-benar putus asa dan jatuh
tersimpuh di hadapan Surya.
―Jadi aku…‖
―Maafkan aku. Aku belum bisa melepaskanmu
sepenuhnya. Aku telah memaksamu untuk terus hidup
dalam angan-anganku. Sudah waktunya aku menyadari
sepenuhnya atas keberadaan dirimu yang hanya sebatas
imajinasi. Kau hanyalah khayalanku. Kau hanyalah sosok
yang kini menjadi bagian dalam dongeng yang sedang
kutulis. Awalnya aku berencana membuatmu terus hidup
dengan cara menjadikanmu bagian dalam ceritaku. Akan
kubuat cerita tragis itu sesuai versiku agar kamu bisa
terus hidup, agar aku tidak kehilanganmu dan juga
mbok. Sejujurnya aku belum siap kehilangan kalian.
Namun kini aku sadar. Semakin aku memaksa kalian
untuk terus ada, aku semakin didera rasa sakit yang tak
berujung. Rasa sakit karena tak bisa melepaskan
kalian.‖
Ratih tercengang mendengar pernyataan yang
dilontarkan Surya. Jadi selama ini aku hanya sosok
khayalan? Air matanya mengalir semakin deras.
Tubuhnya yang kini telah tersimpuh di tanah semakin
lunglai. Tak ada tenaga yang mampu menopangnya. Rasa
sakit yang tak tertahankan menyeruak batinnya—
walaupun itu tak nyata. Kenyataan bahwa dirinya tak
pernah nyata hanya menambah kesakitan yang
dideranya. Mulutnya ingin memaki, namun tak ada kata
yang mampu terucap dari bibirnya yang terkatup dan
lidahnya yang kelu. Sehingga semua kata-kata serapah
yang siap dia lontarkan hanya bisa dia telan kembali ke

273 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 274

dalam batinnya. Manusia memang makhluk paling kejam.


Dengan bebas mereka berbuat kebengisan. Bahkan pada
orang yang sudah mati—seperti kami—sekalipun.
Mereka memanfaatkan kecerdasan otak mereka untuk
menyakiti kami yang sudah tak ada lagi. Mereka
menghidupkan kami dalam bayangan di kepala mereka,
lalu dalam sekejap mereka membunuh kami lagi. Bahkan
hal itu bisa mereka lakukan berulang-ulang sesuai
keinginan.
―Mungkin kamu juga akan bertanya kenapa baru
sekarang aku datang. Tapi kurasa kamu juga sudah tahu
apa jawabannya. Aku mengetahui kejadian ini dari bibi.
Dia yang meneleponku. Saat itu aku masih ada di
perantauan. Aku sungguh syok mendengar berita itu.
Aku tak percaya dunia begitu kejam pada diriku. Aku
sungguh tak bisa percaya. Seluruh dunia seolah telah
membohongiku. Sepertinya saat itu akal sehat sudah
tak ada lagi di kepalaku. Yang kuingat saat itu aku
menggorok nadi di lenganku berharap aku bisa pulang
bersama kalian. Rupanya upaya itu gagal. Tuhan belum
mengizinkanku kembali bersama kalian. Temanku
menemukan diriku terkapar di kamar kos dengan
bersimbah darah dan melarikanku ke rumah sakit.
Sejak saat itu aku tak ingin kembali. Aku tak ingin
mengingat kalian—bahkan secuil ingatan sekalipun.
Namun hasilnya tetap tak bisa.‖
―Lalu bagaimana dengan mbok, Mas? Mbok juga
menjadi bagian dari khayalanmu.‖ Tanya Ratih dengan
nada yang kecewa.
―Mbok juga bagian dari khayalanku, namun aku tak
sanggup lagi jika harus mengatakan ini padanya. Aku tak
bisa lagi membayangkan wajah kecewa dari wanita yang
telah melahirkanku. Aku hanya akan menyampaikannya
padamu. Tapi karena dia juga bagian dari khayalanku
tentu aku juga bisa membuat dia seolah mengetahui
kebenarannya bahkan tanpa harus memberi tahunya.‖
―Kau berbuat semaumu. Lantas kenapa tak
melakukannya juga padaku?‖
―Harus ada yang kuberitahu kebenaran ini untuk
membuat akhir ceritanya. Aku harus meluapkan semua
perasaanku supaya aku bisa melupakan kalian. Aku
sudah tak bisa lagi bercerita pada kalian, tapi aku
masih mampu bercerita lewat bayangan kalian. Seperti
kata orang, ‗Jika ingin bebas maka lepaskanlah apa yang
mengganjal di hati.‘ dan sekarang aku sedang
melakukannya lewat bayanganmu. Aku ingin bebas dari
kalian, aku ingin mengikhlaskan kalian.‖
Air mata yang kering kini mengalir lagi. Namun
Surya kini terlihat lebih tenang. Semua perasaannya
telah dia luapkan pada bayangan Ratih. Kini dia hanya
harus menyelesaikan ceritanya dan melupakan
segalanya.
―Maaf harus mengatakan segalanya sekarang.
Pertemuan kita ini tak pernah terjadi. Kita hanya

275 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 276

bertemu dalam kepala dan khayalanku. Maaf juga


karena aku baru bisa datang sekarang dan
menyelesaikan segalanya. Selanjutnya aku tak akan
mengusik tentang kalian lagi. Aku hanya akan
mengenang kalian dalam hal yang sepantasya. Biarkan
rinduku tumbuh membesar hingga waktuku untuk pulang
dan meneyusul kalian. Kalian pulang terlalu cepat, tapi
maaf aku belum bisa pulang menyusul kalian sekarang.
Tolong tunggu aku di sana sampai saatnya tiba! Sekali
lagi aku minta maaf. Sekarang aku harus menyelesaikan
cerita ini tanpa kebohongan. Terima kasih.‖
Banyak sekali pertanyaan yang ingin Ratih ajukan,
namun dia sadar sekarang sudah bukan waktunya lagi
untuk bertanya banyak hal. Ia harus bisa membantu
kakaknya berhenti melakukan hal konyol pada bayangan
dirinya dan ibu. Ia harus bisa membantu kakaknya
melepaskan semuanya dan merelakan mereka. Hingga
saatnya tiba dia dan ibunya harus menunggu kakaknya
untuk pulang bersama mereka.

***

―Surya!‖
Teriakan seorang perempuan mengalihkan
perhatian Surya dari laptop di pangkuannya. Suara itu
sudah lama tak didengarnya, namun dia tahu siapa orang
yang memanggilnya. Seorang perempuan berusia sekitar
lima puluhan berlarian kecil mendekati tempatnya
duduk sembari melambai-lambaikan tangannya.
Wajahnya tampak sangat riang seperti seorang ibu yang
sudah lama merindukan anaknya yang tak kunjung
pulang. Surya sudah menunggu cukup lama sejak dia
menelepon perempuan itu.
―Owalah cah bagus, akhirnya kamu pulang, Nak!‖
Ucapnya dengan mata berkaca- kaca dan sesekali
terdengar suaranya yang menyedot ingus.
―Iya, Bi.‖ Jawab Surya sembari memeluk orang
yang kini dia anggap menjadi sosok ibu baginya.
Surya dan bibinya menghabiskan beberapa saat
untuk bercakap-cakap sebelum pergi ke rumah bibinya.
Mereka membahas kejadian nahas yang menimpa Ratih
dan ibunya. Bibinya menceritakan dengan sangat detail
segala yang dia ketahui. Namun sekarang Surya sudah
tak menangis lagi. Ia telah melepaskan mereka dengan
ikhlas. Ia yakin Ratih dan ibunya sudah bahagia dan
sekarang sedang menunggunya untuk pulang. Tapi
mereka harus bersabar sedikit lagi karena Surya masih
harus menjalani kehidupannya di dunia.
Matahari telah menunjukkan sinar meganya di
ujung barat. Banyak hal yang telah mereka bahas di
reruntuhan itu. Surya pun tampaknya telah
menyelesaikan akhir ceritanya. Laptopnya yang terbuka
pada pangkuannya itu menampilkan halaman aplikasi
pengolah kata.

277 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 278

Di sana telah tersusun berlembar-lembar cerita


yang sudah dia tulis. Di bagian atas lembar kerja itu
terdapat sebuah judul dokumen yang bertuliskan
―Assalamualaikum, Aku Pulang.‖ Di bagian akhir
lembar kerja itu terdapat sebuah paragraf yang
tampaknya merupakan penutup dari cerita itu.
Air mata Surya mengalir deras, namun wajahnya
menorehkan senyum kebahagiaan. Senyum itu menjadi
bukti bahwa dia telah melepaskan beban yang selama ini
mengganjal hatinya. Pandangannya terus tertuju pada
gadis di hadapannya. Di sana Ratih juga tampak
tersenyum dengan mata yang berair. Keduanya saling
bertatapan. Perlahan sinar mega menyinari kedua insan
itu. Dengan janji yang sudah saling mereka ucapkan,
Ratih perlahan mulai hilang dari pandangan Surya.
Tubuhnya mulai menyatu dengan alam. Warnanya
menjadi sebening tetesan air yang terkena cahaya
matahari. Semakin lama semakin bening warna itu dan
Ratih pun menghilang dengan senyumnya yang paling
terakhir terlihat dari pandangan Surya.
Surya menyimpan dokumen itu sebelum menutup
laptopnya dan memasukkannya kembali ke dalam ransel.
Bibinya yang melihat hal itu tersenyum pada Surya.
Lantas dia memberi kode pada Surya untuk segera
beranjak dari tempat itu. Ia menunjuk matahari yang
sudah semakin condong ke barat sembari melenggang
keluar dari reruntuhan rumah. Surya hanya mengangguk
dan segera menyusul bibinya.
Hari sudah hampir gelap ketika mereka sampai
di tepi jalan besar. Jalanan mulai sepi kendaraan umum.
Untungnya masih ada satu angkutan desa yang menuju
rumah bibi sehingga mereka bisa pulang dengan
menaiki angkutan itu.
Setengah jam mereka tempuh perjalanan
dengan angkutan. Langit sudah sepenuhnya gelap ketika
mereka sampai di sana. Di halaman rumah model joglo
itu dia ingat akan cerita yang baru saja diselesaikannya.
Dalam cerita itu Ratih dan ibunya menumpang di rumah
bibi setelah terjadi kebakaran. Maka dia mengedarkan
pandangannya mencari keberadaan mereka. Namun kini
rupanya dia sudah sadar sepenuhnya bahwa itu hanyalah
cerita khayalannya. Adik dan ibunya tak mungkin ada di
rumah itu sekarang. Bibinya membuka kunci pintu dan
menatap Surya yang masih berdiri di halaman. Surya
menarik napas dalam-dalam dan dengan langkah yang
ringan dia melangkah menuju rumah itu.
―Assalamualaikum, aku pulang.‖

279 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 280

Labuhan Rindu Klandestin


Karya : Galuh Dwi Anindyawati

― Apa kamu tidak lelah?‖ Tanya Rania,

sahabat kentalku kala itu.


―Kenapa harus lelah? Aku menyukainya dengan
tulus, kok.‖ Jawabku lugu.
―Belum tentu juga dia suka padamu.‖ Ucapnya.
Aku memang terlalu keras kepala.
Tak mau mendengar saran dari siapapun.
Bermula dari masa pengenalan siswa baru
beberapa tahun silam. Saat itu, Aku memang lugu.
Hingga ku anggap perhatian kecil dari seorang lelaki
sebagai anugerah paling manis. Lalu terlalu dini
mengartikannya sebagai suatu ketertarikan. Sayangnya,
aku terlalu tutup mata pada kenyataan. Itu adalah
kebodohanku yang tak pernah ter-maafkan. Aku terlalu
percaya diri, tak menjaga klandestin sebagai sesuatu
yang rahasia untukku sendiri. Kemudian suatu peristiwa
membuatku kehilangan segalanya.
―Kamu, apa nggak pernah sadar sih?‖ ucap Rania.
Aku pikir ia mulai berubah saat itu. Tak seperti Rania
yang aku kenal saat tahun pertama di SMA. Ia sedikit
ketus dan berbicara sedikit kasar setiap kali aku mulai
menceritakan tentang peristiwa sederhana. Ya. Lagi-
lagi tentang lelaki itu. Cinta pertamaku.
―Kok kamu gitu si, Ran?‖ tanyaku.
―Ya lagian, mana mungkin sih Kak Dery suka
sama kamu. Yang kayak gini.‖ Ucapnya. Sesaat aku
terhenyak mendengar ucapan dari Rania. Sahabatku
sendiri.. Sakit? Tentu!
―Kayak gini? Maksud kamu?‖ aku tak kuasa
memperjelas keadaan yang menyakitkan ini. Ya. Aku
mengakui bahwa aku sangat tidak pantas. Untuk ukuran
tubuh yang plus size dan wajah super pas-pasan ini.
Aku menyadari kemustahilanku untuk memperoleh
perhatian dari lelaki impianku. Hanya saja, membuatku
semakin sakit adalah Rania. Dia harus menjadi
perantara insecurity-ku ini. Dia cantik. Cerdas. Supel.
Sempurna!
Tapi dia berubah. Bukan seperti Rania yang
selalu membelaku ketika ada yang mem- bully aku.
Justru ia tega menamparku dengan kata-kata yang
menyayat hati. Untuk apa, jika sahabat terdekatmu
justru tega mematahkan semangatmu. Aku tersenyum
getir mengingat balasan darinya atas ketulusanku
sebagai sahabat.
Namun, tak sampai di situ. Hal terburuk pun
terjadi tak lama setelah aku memutuskan untuk
menyendiri, tanpa ada Rania lagi yang menemaniku
melawan ketidakberdayaan. Teman-teman, kakak kelas
bahkan adik kelasku tak henti selalu menjadikanku
sasaran bully. Entah mengapa harus aku yang menerima
ketidaadilan itu.

281 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 282

Aku salah apa? Aku tak pernah mengusik


siapapun. Apa ini sebuah kesalahan bagi seseorang
sepertiku mengagumi seseorang?
Terlepas dari kepahitan itu, aku mulai
menyadari bahwa ia memang tak pernah melihat
keberadaanku sedikitpun. Seolah tak ingin aku menaruh
hati padanya. Ya, ia tampak risih. Sangat risih. Aku
masih mengingat dengan jelas raut dingin dari wajah
tampannya ketika melihatku.
Kebodohanku yang selanjutnya adalah dengan
nekat memberanikan diri untuk memberikan kado ulang
tahun padanya. Dia menerimanya. Aku senang bukan
main. Bahkan di luar dugaanku, ada pesan dari nomor
yang tak kukenal. Isinya...
"Makasih ya kadonya. Ikhlas nggak ni?" Ya. Ini
dari Kak Dery. Aku senang bukan main malam itu. Meski
ketika aku membalas pesannya, tak ada jawaban lagi.
Tapi ini cukup membuatku bahagia.
Hingga keesokan harinya seakan menjadi saat
paling menyayat hatiku. Aku ditolak mentah-mentah. Di
hadapan seluruh siswa di sekolahku. Ketika surat yang
kuselipkan di dalam kado yamg kuberikan padanya
dibacakan dengan lantang, dadaku terasa sesak.
Telingaku terisi oleh tawa riuh orang-orang di
sekitarku. Ya. Semua menertawakanku bersautan. Sakit
sekali. Aku merutuk diriku dalam tangis. Memilih untuk
tak menghiraukan riuh menyakitkan itu. Aku lari saat
itu juga.
"Sudah cukup." Gumamku kala itu. Ah, entah
mengapa ia muncul kembali dalam ingatanku.
Dua tahun sejak saat itu, aku tak pernah lagi
muncul di hadapan mereka. Aku terlalu lemah
menghadapi keadaan dan memutuskan pindah dari
sekolah tersebut. Rania dan Dery adalah dua sosok yang
hilang dari kehidupanku. Belakangan aku ketahui bahwa
Rania dan Dery menjalin asmara. Entah kapan
tepatnya. Aku tak peduli. Tiba-tiba foto keduanya
muncul di timeline media social milikku.
Lima belas menit berhargaku sia-sia karena
memikirkannya. Sejak saat itu, aku berjanji pada diriku
sendiri. Bahwa aku tak akan pernah menaruh hati pada
lelaki semacamnya dan akan lebih selektif dalam
berteman. Bahkan selama itu pula aku enggan membuka
hati kembali untuk lelaki manapun. Beruntungnya, ketika
aku memilih untuk tak terlena pada urusan asmara,
karirku stabil. Usaha sampinganku pun berjalan baik.
Kini aku menjadi Shofie yang baru. Ku pangkas habis
lemak yang setia denganku sejak balita. Proporsi
tubuh ideal dan karir cemerlang yang kudapat dengan
lebih mencintai diri sendiri. Aku nyaman memanjakan
hati untuk tak lagi tersakiti oleh keluguan. Cinta
hanyalah nomenklatur perasaan yang terkadang disalah
artikan, dan cukuplah kesalahan itu ada di masa lalu.
"Bu, turun di mana?" Tanya lelaki muda di
sampingku. Usianya sekitar dua puluh tahunan. Lima
tahun lebih muda dariku.

283 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 284

"Ya?" Tanyaku lagi.


"Turun di mana?" Ia mengulangi pertanyaannya
lagi.
"Kampus Nusa Aksara." Jawabku singkat.
Kebetulan aku tengah menempuh studi S2 untuk syarat
kenaikan pangkatku. Lalu ia tertawa kecil.
"Kenapa? Ada yang lucu?" Tanyaku sedikit tak
nyaman.
"Ibu lupa dengan saya?" Dia membuka masker
yang menutup separuh wajahnya. Dahiku mengernyit
dan memerhatikan kembali wajahnya. Tak asing. Tapi
aku belum ingat betul.
"Febrian Yudi. Kelas 11 Teknik Otomotif.
Ingat?" Aku berpikir sejenak.
"Ooo. Iya, iya. Inget.‖ Jawabku.
―Yang mana coba?‖
―Oh, yang tengil itu, kan? Yang kalo remidi
selalu protes." Jawabku. Ekspresinya berubah sesaat
setelah mendengar responku.
"Yah, tengilnya aja yang diinget." Ucapnya.

Ia adalah alumni tempat aku magang ketika


kuliah. Saat itu aku masih di semester 6. Tak lama
memang. Hanya sekitar 2 bulan aku mengajar di
sekolahnya. Tetapi aku tak menyangka ia mengingatku
yang bahkan tak hadir saat pamitan setelah magang
usai. Dari ceritanya, ia adalah mahasiswa S1 Ilmu
Komunikasi semester 4 di kampus yang sama denganku.
***

Singkat cerita, kami kerap tak sengaja bertemu


di bus dengan tujuan yang sama. Sesekali ia konsultasi
tentang tugas kuliahnya. Pernah satu waktu ia nekat
menuliskan nomor telponnya di tanganku. Tapi aku tak
pernah menghubunginya. Ketika kami lagi-lagi tak
sengaja bertemu di bus. Aku berusaha untuk duduk
jauh darinya. Namun, justru ia nekat mengambil ponsel
yang aku genggam ketika berkalan melewatinya.

"Apaan sih!" Ucapku setengah berteriak.

Dia mengetik beberapa digit angka pada ponselku.


Aku sungguh tak percaya ada anak selancang ini. Meski
usianya Lima tahun lebih muda dariku, tetapi tak
sepantasnya ia merebut paksa barang yang bukan
miliknya. Terdengar suara ponselnya, dan ia menyimpan
nomorku di sana.

"Lancang banget sih!" Ucapku jengkel. Dia turun


mendahuluiku ketika kami tiba di depan gerbang kampus
Nusa Aksara.
"Nanti aku chat ya, kak." Teriaknya ketika ia
hendak berlari menghampiri teman- temannya.
"Kak???" Dia bilang 'kak', dan itu mengingatkanku
pada masa lalu pahit itu.
Benar saja, baru saja aku ingin mengistirahatkan
diri. Ada sebuah chat masuk. Dari 'Si Ganteng'. Apa???
Sejak kapan aku menyimpan nomor dengan nama aneh

285 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 286

seperti ini. Aku buru-buru menuliskan kata-kata


ancaman pada anak ini. Benar-benar. Jantungku
terlonjak ketika sebuah panggilan masuk. Dari siapa lagi
kalau bukan si anak tengil itu!
"Apa maksudnya ini? Kok lancang banget sih!" Aku
marah bukan kepalang.
Sedangkan ada tawa di seberang sana.
"Kak, bisa ketemu besok? Di gazebo kampus."
Tanyanya. Kali ini terdengar serius.
"Apaan nih?" Aku belum menjawab pertanyaannya.
"Penting. Pokoknya penting, Kak." Hening. Dia tak
memberi jeda untukku menjawabnya.
"Kamu kenapa?" Tiba-tiba ponsel terputus.
Benar-benar orang yang aneh. Bagaimana bisa ia
menjadi seperti orang lain hanya dalam hitungan menit.

***

Sulit dipercaya. Siang itu, aku benar-benar


menuruti kemauannya. Sebenarnya aku hanya merasa
penasaran saja. Karena aku tak ingin terlalu ber-
ekspektasi maupun menerka- nerka. Ia datang juga. Dia
duduk di kursi seberang. Berhadapan langsung
denganku.

"Aku suka kakak.." ucapnya.


"Kamu gila?" Pekikku. Sungguh tak habis pikir,
anak ini sungguh nekat. "Kok gitu sih." Ucapnya.

"Denger ya, aku ini lebih pantas jadi kakakmu.


Bisa-bisanya yaaa.." aku memijat dahiku.

"Terus?" Tanya Brian.

"Ya enggak mungkin lah. Eh, denger ya.

Kamu pikir aku nggak tahu, kamu ini sudah punya


pacar, kok bisa-bisanya nembak perempuan yang lebih
cocok jadi kakakmu?"

"Aku udah putus kak." Jawabnya.

"Ya ampun. Nggak habis pikir aku..."

Aku menepuk jidatku.

Mendengar jawabanku, kemudian ia pergi. Apa aku


kelewatan? Apa kata-kataku terlalu kaku? Apa aku
salah? Ya. Tiba-tiba pertanyaan-pertanyaan itu muncul
di kepalaku.

****

Tepat satu minggu setelah dia mengutarakan


perasaannya, dan aku tak menggubrisnya. Selama itu
pula, ia tak mengabariku. Memang, aku tak setiap hari
ke kampus. Namun ini sedikit berbeda. Biasanya ia
selalu spam stiker atau sebagainya.

287 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 288

"Hey hey hallo.." aku putuskan untuk mengirim


sebuah pesan padanya. Tak ada balasan. Bahkan hingga
petang. Pesanku tak dibacanya. Ke mana anak ini? Apa
aku keterlaluan?
Kemudian aku putuskan untuk menelponnya.
Anehnya WhatsApp miliknya masih aktif. Hanya ku
lihat last seen-nya adalah satu minggu yang lalu. Aku
tetap berusaha menghubunginya. Rasa penasaranku
berubah menjadi rasa khawatir. Hingga pada usahaku
yang hampir sia-sia. Teleponku di angkat.
"Ya, hallo?" Jawab seseorang di seberang telepon.
Bukan Brian. Suara perempuan ini sedikit tak asing.
"Ini siapa? Brian mana?" Tanyaku.
"Ini kakaknya. Dia sedang istirahat. Belum pulih
benar." Jawabnya.
"Apa? Maksudnya apa? Brian kenapa?" Aku
merasa sedikit panik mendengar jawaban darinya.
"Dia kecelakaan seminggu yang lalu." Jawab
perempuan yang tak lain kakak Brian itu.
"Astaga!!" Pekikku.
"Ini siapa? Pacar Brian yang mana?" Tanyanya
kemudian.
"Saya teman kampusnya. Eh, bukan. Maksud saya,
mantan guru magang di sekolahnya." Jawabku. Dia tak
terdengar merespon jawabanku. "Dirawat di mana?"
Tanyaku.
―Nanti saya shareloc saja." Jawabnya kemudian
sambungan terputus.
Beberapa menit kemudian, ia benar-benar
mengirim lokasi rumah sakit tempat Brian dirawat. Tak
jauh dari kampusku. Mungkin sekitar 10 menit
perjalanan saja. Aku menuju ruang rawat Brian. Di
dalam ruangan nampak lelaki yang pantas kupanggil adik
itu terbaring lemah. Ada beberapa goresan di wajah,
tangan dan kakinya.
"Assalamualaikum.." ucapku. Kemudian Brian
menyambutku dengan senyum di bibirnya. Namun.....
―Shofie? Kamu Shofie?‖ ucap seseorang yang aku
kenal pasti.
―Ran.. kok kamu?‖ tanyaku.
Ia berubah drastis dari foto terakhir yang aku
lihat di media social. Ia tampak kurus dengan cekungan
di bawah matanya. Ia pun tampak sayu, tak seperti ia
yang dulu. Taka da percakapan istimewa antara aku dan
Rania di ruangan tempat Brian di rawat. Sial. Anak ini
ternyata adik Rania. Bagaimana dunia bisa sesempit ini?
―Kok pada diem sih? Lagi musuhan ya?‖ aku
menatap tajam Brian yang berusaha memecah
kecanggungan kami.
―Ya ampun, selow bosku…‖ ucapnya.
―Gimana, kabarmu?‘ akhirnya Rania membuka
obrolan.
―Baik.‖ Jawabku singkat. Aku belum terbiasa
dengan situasi ini.
―Bisa ikut aku sebentar?‖ aku mengangguk dan
mengikutinya ke luar ruangan Brian. Aku bisa

289 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 290

mendengar protes Brian pada kami yang tiba-tiba


meninggalkannya sendiri.
―Woi, kok pada pergi sih?‖ teriaknya.
Kami duduk berjarak. Ia sedikit memijat pelan
keningnya. Memang terlihat pucat ia saat ini. Namun
keegoisanku menahan untuk tak terlalu peduli padanya.
Tiba-tiba terbesit dalam benakku pertanyaan ‗Kayaknya
udah nikah ya dia?‘
―Apa kamu tak ingin tahu kabar dia?‖ tanyanya
tiba-tiba. Aku bergeming.
―Aku baru tahu, kalau kamu kakaknya Brian.‖ Aku
memilih topik lain untuk kami bahas. Selain lelaki itu.
―Ya, kami tinggal terpisah sejak ayah dan ibuku
meninggal. Ia ikut nenek dulunya, karena sekarang aku
sudah bekerja dan punya rumah sendiri di sini. Jadi
sekarang kami tinggal berdua.
―O… begitu ya.‖ Jawabku.
―Oiya, bagaimana kabarmu sekarang?‖ tanyaku
basa-basi.
―Aku tak cukup baik akhir-akhir ini.‖ Jawabnya.
Kemudian aku melihatnya lagi. Ada senyum getir di
wajahnya. Kemudian ia melepas jarum yang tersemat di
dagu lancipnya, dan menyingkap hijab yang
dikenakannya.
Betapa terkejutnya aku. Rambut hitam lebat yang
jadi pesonanya dahulu tak lagi ada. Ada plester sisa
selang infus tampak di pergelangan tangannya. Matanya
mulai berkaca-kaca. Sesekali ia tersengal karena tangis
yang berusaha ditahannya.
―Aku sudah divonis kancer otak, Fie. Sudah
beberapa kali kemo juga..‖ Jawabnya.
Aku terhenyak. Mataku pun terasa berat ketika ia
mulai bercerita tentang keadaannya.
―Ya Allah, Rania…‖ aku memeluknya. Ada beban
yang terasa berat di pundaknya.
Sementara aku terlalu egois dan tak pernah
menanyakan kabarnya.
―Aku kira kamu masih marah padaku, Fie.‖
Ucapnya. Ia menyeka pelan air matanya.
―Iya, aku marah. Marah karena kamu pergi begitu
saja. Berubah menjadi Rania yang lain.‖ Ia bergeming,
mungkin merenungi kesalahannya di masa lalu.
―Tapi aku lebih marah ketika kamu menyimpan
semua ini sendirian. Secara diam- diam.
Kamu pikir aku sejahat itu meninggalkanmu?‖
―Aku terlalu pengecut.‖ Ucapnya.
―Maksudmu?‖ tanyaku.
―Aku terlalu pengecut dengan tak jujur kepadamu,
jika aku memendam perasaan yang sama pada Dery.‖
Jawabnya. Aku telah menduganya sejak lama.
―Harusnya kau jujur sejak awal. Jadi aku tak perlu
memaksakan diri untuk mendekatinya.‖ Jawabku.
―Nggak, Fie. Ketulusanmu lebih dari sekedar
kagum.‖ Ucapnya.

291 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 292

―Fie, maafkan aku. Semua kerumitan di masa lalu.


Itu salahku.‖ Ucapnya kemudian.
―Apa maksudmu??‖ tanyaku.
―Membuatmu menyerah, membuatmu di bully oleh
semua anak-anak di sekolah. Itu adalah keegoisanku. ug
aide untuk membacakan suratmu itu. Semua itu adalah
ide bodohku, Fie.‖ Ucapnya. Aku terhenyak. Tak
menyangka semua rasa sakit yang kuterima dulu adalah
ulahnya.
―Bisa-bisanya…‖ jawabku. Entah apa yang harus
aku lakukan saat ini. Aku kecewa. Namun ia juga tak
dalam kondisi baik. Mana tega aku mengumpat
kepadanya. Sisi lain hatiku tak ingin ini berlarut-larut.
Sudah saatnya aku berdamai dengan keadaan.
―Fie, tolong maafkan aku sebelum semua
terlambat.‖ Pintanya.
Aku menumpahkan airmata yang menumpuk di
kedua bola mataku. Aku harus benar- benar dewasa dan
memaafkan kesalahan ini. Demi persahabatan kami.
―Jangan khawatir, Ran. Aku telah memaafkan
semua itu. Berjanjilah untuk lebih jujur padaku.
Bagaimanapun, biar jelek-jelek begini, aku juga
sahabatmu, kan?‖ tanyaku.
Ia tak kuasa menahan haru dan memelukku
kembali.
―Shofie, apa kamu benar-benar tidak ingin tahu
kabar Dery?‘ Tanya Rania.
Ia seakan ingin mengungkap kebenaran lainnya
yang ia simpan selama ini.
―Ada apa? Apa ada yang kamu sembunyikan lagi,
Ran?‖ tebakku. Ia menghela napas sebelum memulai
semua ceritanya. Dari cerita Rania, aku baru menyadari
bahwa Dery tak sepenuhnya menolakku. Ia diam- diam
masih melihat media sosialku. Mengikuti akunku dengan
username yang tak aku kenali. Bahkan kerap menuliskan
cerita tentangku di blog pribadinya. Aku tak mengerti.
Bagaimana orang sedingin dia bisa menunjukkan
perasaannya dengan semanis itu.
―Tapi, apa kalian benar-benar menjalin hubungan
beberapa tahun yang lalu?‖ tanyaku hati- hati. Ia
tersenyum getir.
―Ya. Kami menjalin hubungan selama 2 tahun. Foto
yang kamu lihat itu, itu adalah kenangan yang kusimpan
sendiri. Manis dan indah bagiku. Tapi tidak untuknya.‖
Aku tak berusaha menyergahnya dengan pertanyaan
lain.
―Ia tak mencintaiku sedikitpun. Aku terlalu
memaksakan ambisiku dengan menjadi kekasihnya. Tapi
selama itu pula, aku berjuang sendirian. Sayangnya, Ia
terlalu enggan untuk mengakhirinya. Itu menyakitkan,
seakan aku memperjuangkan kesia-siaan‖ Ucapnya.
―Lalu?‖
―Aku terlalu menutup mata. Tak ingin melihat
kenyataan bahwa kamu adalah bagian terindah dari
masa lalunya. Hingga aku memaksanya jujur, dan

293 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 294

memberinya dua pilihan. Tetap denganku atau pergi


untuk menemukanmu yang mendadak pergi ketika ia
mulai menemukan kenyamanan dari perhatianmu.‖ Aku
tertegun mendengar pengakuan Rania. Ia benar-benar
ingin memperbaiki semuanya.
―Aku baru merasakan bagaimana tegarnya kamu di
masa lalu. Ketika kamu tak tahu perasaannya dan
menjalani hidup sebagai si klandestin untuk dia yang tak
mengenalmu. Juga ketika ia mulai menyadari
keberadaanmu, aku harus membuat kegaduhan itu.
Maaf.‖ Ia tertunduk. Aku menepuk bahunya pelan.
Menguatkan ia dan membiarkan ia berpikir lebih tenang.
―Fie, sepertinya kau harus temui dia.‖ Ucapnya.
―Untuk apa?‖ jawabku.
―Untuk membuat semuanya menjadi clear. Aku
yakin, ia masih mencarimu.‖
―Dia tak mungkin seperti itu. Sudahlah.‖ Jawabku.
―Fie, percayalah. Aku akan bahagia ketika kalian
bisa bersama.‖
―Di mana dia sekarang?‖ tanyaku. Kemudian Rania
memberiku alamatnya.
Aroma kopi tercium sejak aku memasuki
kantornya. Ia sukses kini. Karirnya cemerlang.
Percayalah, aku sudah menyiapkan diri untuk menerima
kemungkinan terburuk.
―Kamu…‖ ucap seorang lelaki bersuara baritone di
belakangku.
―Shofie?‖ ucapnya. Ia tertegun. Aku? Tentu saja
lebih syok!
Ia tampak gagah dengan kemeja warna marun.
Sangat rapi. Masih seperti Dery yang aku kenal 8 tahun
yang lalu.
―Lama tak bertemu, Kak.‖ Jawabku. Seolah-olah
biasa saja namun hatiku tak bisa santai. Ia tersenyum.
Ya. Itu senyum yang dulu selalu kudambakan.
―Sudah lama ya…‖ ucapnya seraya menyodorkan
kopi.
―Ya, sejak 8 tahun lalu aku dipermalukan di
hadapan seisi sekolah ya…‖ jawabku. Ia tersedak,
sesaat kemudian berdeham.
―Aku meminta maaf atas hal itu.‖ Ucapnya.
―Itu tak jadi masalah. Ada hal yang lebih penting
lagi.‖ Ucapku.
―Apa itu?‖ ia tampak penasaran.
―Ini tentang Rania.‖ Wajahnya tampak tak senang
mendengar nama itu.
―Mengapa kamu terus mengabaikannya, ketika
kamu masih bersamanya dulu?‖ tanyaku. Alih-alih
menyelesaikan masalah. Aku justru lebih tergelitik
untuk menanyakan hal ini padanya. Ia terdiam beberapa
saat.
―Aku tak tega menolaknya.‖ Jawabnya. Ini
irasional.

295 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 296

―Lalu mengapa kamu tega menolak dan


mempermalukanku dulu?‖ tanyaku. Ia tampak bersalah
ketika kuingatkan dengan hal itu.
―Tolong jangan singgung itu lagi. Aku mohon.‖
Pintanya.
―Aku hanya ingin memberinya pelajaran mulanya.
Namun Rania tampak bahagia. Menganggapku tulus
mencintainya. Namun, sebenarnya aku hanya ingin
memberinya pelajaran karena perilakunya yang buruk
padamu.‖ Aku hela napas berat mendengar jawabannya.
―Untuk apa kamu lakukan itu. Dengar ya,
mengagumi dan mencintai seseorang dalam diam adalah
hal paling menyesakkan.‖
―Namun, menerima cinta dari orang yang menyukai
kita adalah hal yang menyakitkan.‖
―Seharusnya kau tak melakukan itu. Kau tak harus
terpaksa menerima dia, selain menyakitimu. Itu juga
akan melukaimu.‖
―Jadi, bolehkah aku jujur?‖ pintanya.
―Aku hanya ingin kau melihatku, bukan karena aku
idola di sekolah. Bukan juga karena aku piminan dari
sebuah perusahaan. Namun aku ingin, kau melihatku
sebagai Dery, yang kau kagumi di masa lalu.‖ Ucapnya.
―Aku tak pernah memintamu berubah menjadi
sosok paling sempurna. Aku hanya terlalu bodoh dan
terlalu pengecut mengakui bahwa aku menyukaimu.‖
Ini di luar ekspektasiku. Bagaimanapun, sejak saat
itu aku memang tak pernah menjalin asmara dengan
lelaki manapun. Namun lain dengan hari ini, aku
mendengar langsung ungkapan hati dari cinta pertama
yang sempat menolakku dengan caranya yang
menyakitkan. Sejujurnya peristiwa memalukan di masa
lalu itu masih menggaung di pikiranku. Seakan menuntut
logika untuk membalaskan dendamnya. Mulai detik itu,
kami perbaiki kesalahan di masa lalu, meski aku perlu
waktu untuk membangun kembali kepercayaan diri yang
sempat hilang.

***

Tiga bulan pasca pertemuanku dan Dery, kami


semakin memahami satu sama lain. Ada rencana besar
yang tengah kami siapkan. Namun, saat itu pula ada
kabar duka yang berhasil kami tak kuasa membendung
tangis. Rania. Ia akhirnya harus menyerah dengan
penyakit yang dideritanya sejak lama. Selama itu pula
aku kerap mengunjungi rumahnya. Namun, satu bulan
belakangan, ia harus dirawat dengan intensif.
Kondisinya kian menurun. Ia selalu ingin aku ada di
sisinya. Bahkan Brian pun selalu dengan sabar merawat
satu- satunya keluarga yang ia miliki itu.

―Terima kasih, Kak Shofie. Sudah nemenin kak


Rania.‖ Ucapnya di antara sedu sedan tangisnya. Ia
sebatang kara kini.
Kemudian tangan kokoh merangkul kami. Tak kalah
sedih, Dery juga turut merasakan penderitaan Dery

297 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 298

yang sudah dianggapnya sebagai adik kandung.


Bagaimanapun, dua tahun sudah ia lalui bersama Rania.
Meski di hatinya tak ada ruang untuk nama Rania.
―Jangan khawatir, Ran. Brian sudah kuanggap
sebagai adikku.‖ Gumamnya.

Detik itu pula, Rania adalah bagian terbaik dari


kisahku. Keberaniannya mengakui kesalahan di masa lalu
sudah lebih dari cukup untuk aku memaafkannya.
JIustru ketika kami kembali akrab, ia harus pergi.
Namun bebannya tak kan terasa berat kini. Aku
berjanji untuk menjaga Brian. Menyayanginya seperti
adikku. Begitu pula Dery. Ia pun mengatakan janji yang
sam.
Ia tak sempat mendengar kisah yang berlanjut
antara aku dan Dery. KIsah yang dulu selalu enggan ia
dengar karena memendam harapan yang sama
sepertiku. Perselisihan kami di masa lalu
membentangkan jarak antara kami. Dan itu sangat
menyiksa. Aku sendirian, dan Rania sempat terjatuh di
dalam kesalahan yang membuat batinnya tak nyaman.
Tak kusangka, semua waktu yang aku lalui.
Pertemuanku dengan Brian yang unik itu,
menjembataniku untuk bertemu Rania dan mampu ia
tebus kesalahan terbesarnya dengan mengembalikan
hak Dery untuk memilihku. Rania adalah labuhan rindu.
Ia telah berjuang sendirian. Ditinggalkan kedua orang
tua ketika masih belia mungkin terasa berat baginya.
Aku tak sampai berpikir sejauh itu dan justru
meninggalkannya tanpa berpikir panjang. Aku memang
egois, dan tak pernah mau kalah dengan gengsi untuk
mulai memperbaiki renggangnya ikatan persahabatan
kami. Kini labuhan rindu kami bermuara pada Rania yang
tersayang.

299 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 300

Hantu Rindu

Karya : Ibnu Hidayat

Di suatu sore, aroma kopi yang menyapa

bersuarakan jejak yang pernah terjajali atau bahkan


pernah kusiasatkan dan benar-benar aku genggam.
Sayangnya memang tiada bintang di waktu sore, hanya
terkadang bintang yang terangan-angankan hanya
bertajuk kenangan.
Entah itu menyenangkan atau malah semakin
menyesatkan. Kopi yang kupesan, mengingatkanku pada
dia yang pernah tertuang dalam segala pikirku apalagi
terus mengikuti bayangku di setiap langkah. Dudukku
itu memandang, mungkin saja pandangan kosong yang
orang lain anggap demikian. Padahal aku tak demikian,
hanya saja memandang sebuah meja dengan 2 kursi di
sampingnya yang mengingatkanku pada suatu hal yang
selalu terngiang dalam kepala atau bahkan terpatri
benar di dalam sana.
―Apakah kau tahu?‖ Tanyaku pada Nindya.
―Tahu apa?‖ Nindya memandangku penuh
penasaran.
―Kenapa kau kuajak ke sini‖ Datarku menjawab
pertanyaan yang dilontarkan sebab pertanyaanku tadi.
―Ohhhh, memangnya kenapa?‖ Terlihat Nindya
mengerutkan dahinya seraya mengatakan itu semua.
Aku hanya tersenyum saja mendengarnya
berbicara, karena memang pertanyaan itu sudah
kunanti dan sudah kuduga sebelumnya, namun belum aku
coba siasati. Senyumku itu kemudian membuatku tak
sadar, mataku membinar malah terpukau pada
kecantikannya. Ternyata, beberapa menit telah
terlewat karena tingkahku itu yang Nindya atau bahkan
aku pun tak menyangka hal itu terjadi.
―Apaan sih kamu Raka!‖ Terlontar sebuah
kalimat dari mulut Nindya yang diikuti dengan raut
kesal nan marah padaku karena aku yang memandangnya
seperti itu. Namun, saat raut itu tergambarkan
sepertinya Nindya juga sedikit menggoreskan senyum
di bibirnya itu. Itu hanya perasaanku saja atau memang
benar ia menyelipkan sebuah senyum di bibirnya itu,
tapi kuharap memang itulah yang sebenarnya terjadi.
―Maaf, maaf ya Dyaaa‖ Aku pun segera meminta
maaf padanya. Namun, memang tak mudah mengambil
hatinya. Nindya memalingkan pandangannya ke samping
kanan dengan kerut yang muncul kembali dari dahinya
yang diiringi tatapan kosong.
Aku pun berusaha membujuk memegang
tangannya dengan tujuan meminta maaf lagi ―Dya,
maafin Raka ya. Maaf ya? Ya? Ya?‖.
―Astaghfirullahaladzim, kenapa pegang-pegang
tanganku?‖ Terlihat semakin marah Nindya kepadaku.

301 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 302

Aku pun masih dalam kekagetan kala ia mencoba


bergegas melepaskan pegangan tanganku dengan
mengucap istighfar.
―Ah sial, apes.. apes... Malah nambah lagi‖
Gumanku dalam hati.
Kerutnya bertambah karena apa yang kulakukan
itu, namun kembali ada yang aneh darinya. Ia
sepertinya menampakkan sedikit senyum saat itu, Ari
hanya anggapanku saja. Ia kembali menoleh tak
menghadapku, mengalihkan semuanya.
―Maaf, sekali lagi maaf‖ Kataku memohon
padanya. Nampaknya ia tak begitu mendengarkan atau
bahkan memperhatikannya.
―Maaf tadi nggak sengaja dya‖ Kuulangi lagi
sampai ia mau memaafkan. Entah itu refleks
nampaknya, aku tiba-tiba saja memengang tangannya.
Aku juga sebenarnya tahu, bahwa Nindya itu gadis baik.
Ia gadis berhijab sejak SMP, aku kenal betul
tentangnya. Nindya adalah orang yang begitu patuh
pada ajaran agama, itu juga alasanku selalu terkesima
kepada dirinya. Memanglah, saat aku memegang
tangannya merupakan suatu kesalahan fatal yang
kulakukan.
Suasana terbendung beberapa saat, setelah aku
menyerah mengulangi lagi perkataan maafku padanya.
Kami tak mengobrolkan apa-apa, bahkan tiada kata yang
muncul dari kedua mulut kami. Nindya hanya menikmati
kemarahannya dengan menoleh ke samping tak
menghadapku yang di sana sebenarnya area taman kafe
yang diisi oleh berbagai tanaman minimalis yang begitu
estetik. Sedangkan aku hanya termenung sadar
menghadap sedikit ke bawah memikirkan berbagai hal
atas kesalahan tadi yang begitu memukulku. Bahkan
dalam termenung, aku memikirkan sesuatu jalan yang
bisa meluluhkan hati Nindya.
Aku kembali memberanikan diri memulai obrolan
dengan tekad yang sudah ku genggam sebelum datang
ke sini. Tekad yang sebelumnya tak terpikirkan, atau
tersingkirkan oleh kesalahan tadi yang mungkin
menutup pintu untukku darinya.
―Maaf soal tadi Dya‖ Maafku tulus. Mungkin
bisa dibaca oleh Nindya dari raut wajahku yang
demikian. Dengan suara pelan, tak biasanya ku
keluarkan begitu tulus menembus berbagai pintu yang
tertutup untukku sebelumnya.
Nindya menoleh ke arahku, tanpa kata
memandang sebentar yang mungkin mencoba
memastikan kata Maafku padanya yang sebelumnya tak
ia dengarkan bahkan tak terhuraukan sama sekali.
Namun ia hanya terdiam sesaat. Lalu ia tersenyum yang
mungkin menandakan tidak apa-apa atau juga mungkin
itu hanya senyum palsu yang terlempar dari wajahnya
itu. Ia menarik nafas setelahnya.
―Tak apa‖ Jawab singkat darinya.

303 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 304

―Syukurlah kalau begitu‖ Kataku lega


mendengarnya berbicara seperti itu meski singkat saja
ia lontarkan.
―Oh iya, kenapa kau mengajakku kesini?‖ Nindya
memulai tanya, dengan wajah semula ia tampakkan
padaku yang mungkin kondisi sudah membaik.
―Iya, baru saja aku mengingatnya. Boleh aku
meminta sesuatu padamu?‖ Tanyaku serius.
―Apa lagi ini?‖ Tanyanya kebingungan bahkan
mungkin sedikit kesal yang kesekian kalinya.
―Jawab saja‖ Kataku langsung menyambut
perkataanya sebelumnya.
―Hmm... Boleh saja asal jangan yang aneh-aneh.
Apa?‖ Ringkasnya dengan sedikit melindungi diri dariku
karena was-was.
―Tutup matamu!‖ Kataku datar padanya.
―Untuk apa?‖ Masih saja ia curiga kepadaku.
Karena ini termasuk permintaan yang sedikit aneh.
―Tutup saja!‖ Kataku dengan penuh keyakinan.
―Iya untuk apa aku menutup mata? Ah aku
nggak mau. Kamu kan manusia yang jahil. Nanti aku
malah ditinggal di sini sendirian dan bayar kopi yang
kita pesan sebelumnya‖ Jawabnya lucu namun ia tak
menampakkan bahwa ia sedang bercanda.
―Hahahaha.. ya enggak gitu lah. Tapi boleh juga
sih‖ Jawabku terbahak menanggapi balasannya itu. Tak
sempat berpikir sebelumnya, bahwa Nindya akan
mengatakan hal seperti itu. Dia ternyata bisa melucu
juga, bahkan tanpa raut muka yang mendukung.
―Yasudah, aku tidak mau‖ Jawabnya cepat
dengan wajah serius itu. Namun kalau ia sedang marah
seperti itu, semakin terlihat subhanallah sekali.
Aku hanya mesem-mesem melihatnya menjawab
demikian. Dengan pupil yang semakin membesar cukup
memakan waktu di kala itu. Aku kembali terhipnotis
kecantikannya yang begitu menawan.
―Ihh apaan sih Raka! Nggak usah kaya gitu‖
katanya dengan nada yang agak keras.
―Eh maaf‖ Kembali lagi hal itu terjadi.
―Eh iya, coba tutup matamu‖ Kataku
menyelaraskan semuanya.
Nindya hanya mengerutkan dahinya
memandangku marah fokuskan dengan alis yang hampir
menyatu antara kanan dan kiri. Lenggak-lenggok
matanya pun mengarah ke kiri begitu tajam.
―Kenapa? Ga mau?‖ Yasudah, bagaimana kalau
kau tutup perut sebelah kananmu?‖ Tanyaku dengan
kepala yang sedikit maju ke depan yang menandakan
bahwa aku sedikit serius kepadanya.
―Astaghfirullah, apa lagi ini Raka!!‖ katanya
kesal karena apa yang sudah terkatakan oleh mulut
jahatku ini. Namun ia pun kini menuruti perkataanku,
dengan raut yang sama sekali tak beda dengan tadi.
―Bagaimana? Sudah?‖ Tanyaku padanya saat ia
mengarahkan tangan kanannya ke sebelah kanan

305 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 306

perutnya itu. Ia hanya jawab mengangguk dan dengan


tatapan yang serius menghadapku yang sepertinya
menanti sesuatu dariku.

―Bagaimana rasanya?‖ Tanyaku.


―Hah? Ya nggak ada rasa apa-apa lah. Wah kamu
kayaknya mau ngerjain aku lagi ya? ― Katanya padaku.
―Enggak kok, maksudnya kan disitu ada hati. Kan
kamu tadi nggak mau tutup mata, jadinya aku suruh
tutup mata hati ajah deh‖ Tenang saja perkataanku
menghadapinya.
Nindya hanya terdiam menghadapku, mungkin
saja keheranan yang dirasakannya atau ada hal-hal yang
tidak bisa aku tebak bahkan terjemahkan dari raut dan
perilakunya yang seperti demikian.
―Hahahaha, gaje banget deh‖ Nindya tertawa
menanggapi apa yang ku katakan. ―Maksud kamu mau
ngrayu? Apa mau apa? Cek kolesterol?‖ katanya
menambahkan tawanya yang renyah dirasakannya dan
menyudutkaku atas perkataanya itu.
Karena ia yang tertawa yang begitu seru entah
karena apa aku tak tahu, aku hanya bisa menikmati
tawanya saja yang bisa menghiburku atau bahkan
menyejukkan hati ini. Meski terpojok, rasanya begitu
nyaman. Senyum dari tawa itu, malah membuatku lega
atau bahkan tenang yang kurasa. Gores senyum di
wajahnya begitu khas tampak jelas berdetik-detik
berlalu waktu yang dihabiskan. Matanya itu yang indah,
sampai-sampai ia tak menampakkannya lagi bola mata
cantik lentik itu di matanya karena begitu senang
hatinya menjawab demikian. Aku tak merasa
tersudutkan, hai Nindya aku juga bahagia. Aku ingin
mengatakannya, tapi memang aku tak bisa dan enggan
saja yang selalu menjadi rintangan terberatku. Aku
diam sedikit senyum ku tampakkan karenanya.
Lalu matanya pun kembali terbuka, melihat
sampai ke bawah.
―Lho, kopimu mana?‖ Tanyanya tiba-tiba.
―Sudah habis tadi‖ Jawabku.
―Tadi? Kapan?‖ Tanyanya heran.
―Waktu kau tertawa, aku menikmati senyummu
dengan secangkir kopi. Rasanya sebentar, tak terasa
saat aku memandang tiba-tiba kopinya malah habis tak
bersisa. Rasanya kopi yang kuminum bukan kopi yang
kupesan. Karena aku memesan secangkir kopi hitam
pahit kesukaanku. Sembari menikmati senyummu,
kopinya jadi manis. Anehnya kenapa aku suka kopi manis
ya? Padahal aku paling enggak banget sama kopi yang
manis‖ Kataku padanya, ia terlihat begitu
mendengarkan ucapanku itu.
Lalu ia menanggapinya hanya dengan senyum
yang sangat indah. Tak kuat ku melihatnya, rasanya
inginku rekam dalam memori dan kuputar setiap kali aku
merindukannya. Tapi sepertinya berat, karena setiap
hari aku selalu merindukannya, entah karena apa.

307 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 308

―Oh iya, tadi mau ngomong apa?‖ Katanya.


Rasanya suasana sedang dipenuhi bunga-bunga atau aku
yang berbunga saja.
―Aku ingin memberikan ini‖ Aku menampakkan
sesuatu yang dibungkus kertas kado, karena tidak ada
kertas lagi.
―Apa ini?‖ Tanyanya heran kepadaku.
―Buka saja‖ Datar kutanggapi.
―Sebuah kado?‖ Ia malah bertanya lagi.
―Buka saja‖ Mintaku padanya.
Nindya membukanya karena penasaran apa yang
kuberikan padanya. Ternyata membuka itu
membutuhkan waktu yang cukup lama, mungkin karena
aku terlalu rekat dan bersemangat membungkusnya.
Wajahnya berubah saat satu per satu bagian terbuka
oleh tangannya yang begitu antusias dalam membuka
apa yang telah aku sodorkan kepadanya.
Matanya berbinar, menampakkan pelangi yang
entah dari mana datangnya, yang mungkin juga malah
lebih indah dan berwarna. Terperangah mungkin saja
yang dirasakan, semakin membesarkan pupil di matanya
itu. Mulutnya sedikit menunjukkan rasa kagum atau
bahkan takjub. Menganga saja yang ia lakukan dan
habiskan berdetik-detik. Dia hanya diam, dengan segala
macam ekspresi yang aku nikmati saja sambil
menyeruput gelas kopi, padahal kopiku terlah habis tak
tersisa dalam gelas yang kupegang. Entah mungkin
rasanya tiba-tiba kopinya muncul kembali dalam gelas
yang kupegang tak sadar.
―Kau suka?‖ Tanyaku padanya saat itu.
Ia kemudian berubah ekspresi, seakan pelangi
itu telah hilang karena keadaan sudah biasa lagi.
Goresan senyum di wajahnya pun kian pudar dimakan
ketidaktahuan. Lalu, matanya memandang ke arahku
dengan tatapan tanpa ekspresi yang bisa kuterka. Tak
mengucap apa- apa, seakan hanya wajah dan mata yang
mencoba mengatakan berbagai patah kata. Sungguh,
aku tidak bisa menerka, apa yang ia rasakan kini.
Apakah ia tidak suka? Apakah ini adalah sesuatu yang
tidak diinginkannya?
―Gelang?‖ Tanyanya singkat padaku,
mengheningkan suasana sebelumnya.
―Ya‖ jawabku pasti kepadanya yang bingung
karena ku.
―Wahh bagus banget Raka!!‖ Katanya sumringah
kepadaku yang sedari tadi menunggu jawaban darinya
itu. Ia berbingar-bingar, Akupun mengucap syukur
sembari ia takjub seperti itu. Sebenarnya aku memang
menghawatirkan bahwa ia tak suka dengan pemberianku
ini. Apalagi ini hanya sebuah gelang, seperti tiada arti
dan tidak mewah. Bukan coklat, bukan boneka, atau
perhiasan yang tak bisa aku beli. Hanya saja saat aku
memilih gelang itu di toko grosir oleh-oleh, perlu waktu
yang cukup lama. Bukan karena aku memilih yang bagus
dan mencoba mencari yang terbaik, namun memang aku

309 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 310

tak tak tahu yang bagus yang seperti apa dan yang unik
itu seperti apa. Setelah hampir 2 jam aku mengacak-
acak gelang yang ada di toko tersebut, aku pun memilih
dua gelang. Itu pun aku asal saja dalam mengambilnya,
tanpa melihat apakah gelang yang kuembat ini bagus
atau tidak. Apalagi, 2 gelang itu berbeda warna namun
satu motif yang sesudah aku membelinya baru saja
terpikir mengapa aku tak membeli gelang yang couple?
Memang begitu lah aku.
―Tapi...‖ Katanya dengan raut yang sedikit
berubah.
―Tapi apa?‖ kataku memotong perkataanya itu
yang mendadak merubah suasana.
―A?‖ bingungnya begitu tampak dari rautnya itu
seketika setelah melihat-lihat gelang itu. Karena ada
huruf kapital A di gelang tersebut.
―Ya, tentu‖ Menganggukku yakin akan
jawabanku dengan dihiasi senyuman yang sedari tadi
sudah kupersiapkan.
―Tapi, kenapa? Kenapa huruf A? Bukankah
huruf awal namaku itu huruf N?― Tanyanya padaku
dengan penuh keingintahuan.
Sudah kuduga ia akan bertanya seperti ini,
Akupun sudah begitu siap dengan jawaban yang sudah
kurancang.
―A itu perwakilan. Dalam namaku dan namamu
ada huruf A, jadi ya gelang itu sebagai sarana pelepas
kerinduan. Ya itu juga barangkali, kalo enggak mau
rindu, yaudah. Barangkali aku pergi dulu, mungkin kau
bisa mengingatku lewat gelang itu. A berarti awal. A
juga berarti abadi. Sehingga setelah A awal, tidak ada
A akhir. Kita abadi‖ Kataku padanya. Ia hanya
mengangguk mendengar perkataanku itu.
Beberapa detik berselang, Nindya kembali
memandang gelang itu. Terus mengamati, atau bahkan
mungkin mencari sebuah celah. Lalu ia nampaknya akan
melemparkan tanya kembali padaku.
―Tapi...‖ Katanya sambil berfikir merangkai kata
untuk tanya.
―Tapi apa lagi?‖ Sambarku.
―Maksud kau memberikan gelang ini apa?‖
Katanya dengan penuh tanya di dalam pikirannya. Tanpa
ragu, ia berkata demikian seakan memang sungguh-
sungguh ingin mengetahui maksud dan tujuanku
memberikan gelang ini padanya.
Aku hanya tersenyum saja menanggapi
perkataanya itu, karena memang jika aku berterus
terang padanya bahwa aku sebenarnya memang
menyukainya sejak dulu, pasti suasana akan rusak dan
rumit. Aku mungkin tiada bisa berteman nyaman
dengannya lagi. Status tak penting, asalkan rasanya
yang kupertahankan bisa terus menggelorakan apa yang
menjadi penyemangat. Ia sepertinya terheran-heran
melihatku yang hanya tersenyum menanggapi
perkataannya itu. Bahkan nampaknya akan ada sebuah
tanya yang terlontar darinya.

311 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 312

Tiba-tiba memang sepertinya mulut dari Nindya


akan melemparkan sebuah tanya, namun saat mulutnya
sudah terbuka, tiba-tiba ia sepertinya menahan
tanyanya itu dan dilanjutkan dengan raut orang yang
sedang berpikir menggunakan otak kirinya.
Melenggokkan bola matanya ke pojok kiri mata dengan
raut yang seakan mencari sesuatu dalam pikirannya.
―Ada apa?‖ Tanyaku padanya setelah ia seperti
itu.
―Ti... Tidak‖ katanya dengan ragu yang kemudian
menjalar di seluruh tubuhnya itu. Terbata- bata dengan
seakan-akan dia sedang memikirkan sesuatu.
―Apa kau yakin?‖ tanyaku memastikan firasatku.
Ia menganggukkan kepala, dan seakan-akan
rautnya kembali meyakinkan dan jiwanya telah kembali
setelah berkelana di berbagai tempat.
―Lalu, apa tujuanmu memberikan gelang ini
padaku?‖ Nindya menanyakan itu kembali kepadaku.
Aku hanya terdiam tak menanggapinya, bahkan
enggan tuk menanggapinya. Aku takut salah kata, atau
bahkan ia yang salah mencari sebuah makna. Kini malah
ragu yang kemudian menyentuh tubuhku.
―Raka!!‖ Katanya menaikkan sedikit suaranya
satu oktaf.
Aku terkejut, dan aku begitu kebingungan harus
menjawab pertanyaannya kali ini. Karena memang
sepertinya sudah buntu pikiranku untuk mengelak
secara halus dan rapi.
―Hei, apa? Aku ingin tau!‖ Katanya memaksa, ia
tak marah hanya saja menyuruhku mengatakan
maksudku saja kepadanya. Ia terus menghadapku dan
mencoba menunggu jawaban dariku.
―Ah, tidak‖ jawabku pelan dan tidak grogi
sebagai usaha menjernihkan suasana yang keruh karena
ku sebelumnya. Atau mungkin sudah keruh dan
semuanya karena aku.
―Tidak mungkin seseorang melakukan sesuatu
hal tanpa sebuah alasan yang mendasarinya. Ada sebab
pasti ada akibat. Masa sih kamu kasih gelang ini tanpa
sebab dan maksud apapun? Nggak mungkin banget deh‖
Jawabnya menskakmat diriku yang kebingungan
menjawabnya. Rasanya ia sudah kaya Mario teguh saja,
Nindya berkata-kata bijak semacam itu. Rasanya ingin
tertawa saat Nindya mengatakan itu kepadaku, tapi
memang di sisi lain aku sudah terpojokkan dan tak bisa
apa-apa. Kalau aku tertawa, suasana menambah butek.
―Yakin ingin aku mengatakan maksudku?‖
kutanyakan balik padanya, agar ia tak bisa
menanggapinya lagi. Karena memang pertanyaanku ini
seperti sebuah teka-teki. Ia hanya bisa menerka, hanya
menerka. Itu pun kalau ia bisa menerkanya.
Nindya kemudian berpikir sejenak seakan
pertanyaanku melerai semua tanyanya padaku. Atau
bahkan malah semakin membesarkan tanda tanyanya
padaku. Yang kuduga bahwa Nindya pasti tidak akan

313 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 314

mengatakan ―ya‖. Karena pertanyaanku tadi memanglah


beraroma kan buruk.
―Ya! Ya yakinlah‖ Tiba-tiba Nindya menjawab
demikian, dengan penuh semangat. Sepertinya memang
itulah hasil dari semua pemikirannya tadi. Aku begitu
terkejut bahwa Nindya akan menjawab seperti itu. Tak
pernah kusangka sebelumnya, dan dugaan ataupun
terkaanku bahwa ia hanya akan menyerah pada tiap-tiap
persendian pertanyaannya. Aku cukup menunjukkan
kekagetan ku di hadapannya. Bahkan sampai-sampai
kepalaku bergerak ke belakang gara-gara perkataanya
itu itu. Dengan muka terperangah, mulut membuka
menampakkan sedikit bagian dari gigi ini dan kerut dahi
yang membentuk gelombang ombak yang akan menyapu
berbagai kotoran yang memasuki area dahi ini.
―Kenapa Raka? Sepertinya kamu terlihat kaget‖
tanyanya semakin menyudutkanku dengan beberapa
helai kata. Aku masih pada posisi kaget itu dan ia malah
melemparkan berbagai kata yang menusuk
menghujamku menembus bak peluru merasukinya.
―Panik ya?‖ Ledek Nindya kepadaku yang gelisah
ini. Godanya itu semakin surutkan niatku
mengatakannya.
―E.. e.. enggak kok‖ Jawabku terbata-bata
kepadanya yang tengah menunggu jawaban dariku ini
yang tersudutkan.
―Masa jawabnya grogi gitu? Hahah‖ Lagi, ia
meledekku dan menertawakanku yang tengah dilanda
kekeringan alasan yang bisa menyelamatkanku dalam
kondisi seperti ini.
―Yakin kamu Dya? Jangan kaget ya?‖ Godaku
agar merobohkan keteguhannya mencari jawaban
dariku.
―Hahah? Kaget? Kaget karena apaan coba?
Haha lucu kamu Raka!‖ katanya dengan selimut tawa
yang masih melindungi semua bagian tubuhnya.
―Dengarkan baik-baik‖ kataku penuh serius.
Nindya menganggukkan kepalanya dan kedua
alisnya yang mengatas bawah dan menunjukkan jawaban
―iya‖ darinya itu. Dia sepertinya benar-benar menunggu
apa yang akan ku katakan ini.
―Aku sebenarnya menyukaimu. Sejak lama
bahkan. Entah karena apa, aku merasa senang saja
berada di dekatmu. Kuharap kau tidak kaget mendengar
jawaban ini dariku. Inilah jawaban atas pertanyaanmu
yang berkali-kali kau lontarkan meski aku enggan
menjawabnya tadi. Karena kau sudah banyak sekali
bertanya dan aku sudah tersudut tak bisa apa-apa atas
semua pertanyaanmu itu. Maksud dari gelang itu?
Memang itu ada kaitannya dengan rasaku ini. Aku ingin
memberikan sesuatu untukmu, ya meskipun hanya
sebuah gelang kuno yang bahkan motifnya tak modern
apalagi bahan pembentuknya. Dengan aku berikan
gelang ini kepadamu agar kau bisa menjaga gelang ini
untukku. Sekali lagi, aku harap kau tak terkejut
mendengarkan penjelasanku ini. Kenapa aku tak berani

315 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 316

mengatakannya? Karena aku takut nanti jikalau aku


mengatakannya kepadamu, pertemanan kita akan hancur
lebur karena sebuah rasa seperti ini. Kenyamanan dan
keakraban teman akan hilang tertopengkan oleh rasa
cinta berlebihan. Sekarang aku sudah mengatakan yang
sebenar-benarnya, jadi terserah bagaiman
tanggapanmu. Aku pasrah saja bila pertemanan ini
hancur karena jawabanku ini.
Aku hanya bisa mengatakan mohon maaf
kepadamu bahwa aku telah memendam rasa seperti ini
begitu dalam di waktu yang cukup lama pula. Sekali lagi
mohon maaf‖ Kataku menjelaskan semuanya kepada
Nindya yang berkali-kali telah menyudutkanku dengan
berbagai pertanyaanya itu. Aku menyadari semuanya,
aku menyadari apa yang telah ku katakan. Toh, Nindya
pun sudah menunggu jawaban itu sebelumnya. Kuharap
ia tidak terkejut akan hal itu, namun itu hanya harapku
saja.
Seperti yang kuduga, Nindya terkejut
mendengarkan jawaban panjang dariku sebelumya. Ia
hanya terdiam seperti akan marah yang diiringi dengan
kerutan dahinya namun menutup mulutnya rapat-rapat.
Nindya hanya diam saja, bahkan cukup lama ia terdiam
menghadap ke bawah. Entah ia memikirkan apa atau
bahkan melihat apa di sana. Aku berusaha menahan diri,
malu memang kurasakan. Namun juga, aku harus
terlihat berani menghadapi hal dan bertanggungjawab
atas ala yang telah kukatakan sebelumnya pada Nindya.
―Raka‖ Panggilnya Nindya kepadaku dengan
suara lirih.
―Iya Nindya?‖ Kataku yang sebenarnya ragu
untuk menjawab karena sepertinya akan menjadi mimpi
buruk untukku.
―Oh seperti itu. Maaf ya Raka, aku begitu
terkejut mendengar semua itu‖ Katanya lirih saja
kembali.
―Oh iya nggak papa‖ kataku dengan
menampakkan fakesmile.
―Maaf, aku mau pergi dulu karena ada janji, tapi
aku beri kamu ini‖ Nindya berdiri dan merogoh tasnya
lalu mengambil sebuah surat dan disodorkan di meja.
Tepatnya di samping gelang pesanannya.
―Apa ini?‖ Tanyaku bingung.
―Buka saja, tapi nanti setelah aku pergi. Aku
pergi dulu ya. Assalamu‘alaikum!‖ Ia pergi
meninggalkanku.
―Waalaikumsalam‖ Jawabku.
―Surat apa ini?‖ gumanku dalam hati. Aku pun
membukanya dan ternyata...

From : Nindya
To : Raka

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarokatuh,


Hai Raka?! Bagaimana kabarmu? Semoga baik-baik
saja. Kamu pasti akan terkejut melihat isi surat ini.

317 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 318

Dari beberapa hari yang lalu, aku sudah menerka


bahwa kau akan mengatakan hal itu padaku. Kau
ingin tahu bagaimana dengan aku? Aku juga
sebenarnya memang menyukaimu, tapi tak pernah ku
tunjukkan. Maaf ya. Aku harap rasamu kepadaku
bukan hanya bisa bertahan sebentar, tapi tolong
jika kau benar-benar menyukaiku atau bahkan
mencintaiku nanti, jaga rasa ini baik-baik.
Pertahankan, aku juga menunggumu menjadi imanku
nanti.
Tugasmu dan tugasku hanya mempertahankan saja.
Oh iya, Minggu depan aku akan berangkat ke
Inggris. Doain aku ya, dan jaga dirimu baik- baik ya
Raka!
Nindya Agustina Aulia,

Begitulah isi surat dari Nindya sebelum ia


berangkat ke Inggris.
*Back to reality

Kejadian itu begitu terngiang kala aku melihat


meja dan kedua bangku itu yang aku dan Nindya duduki.
Sudah satu bulan berlalu kejadian itu, setiap malam aku
dihantui bayangan dirinya yang merasuk dan terpatri di
memoriku. Kini, sudah satu Minggu ia telah
meninggalkanku, atau bahkan juga meninggalkan orang-
orang di sekitarnya yang kehilangan keceriaannya itu.
Ia sudah tiada lagi di dunia ini, namun selalu ada dalam
pikiran dan memori ini. Aku tak bisa melupakanmu, kau
tau? Setiap malam aku diselimuti kerinduan akan
dirimu. Di setiap detik ini, teringat akan keluguan
tanyamu. Senyum menawan itu, tiada duanya nan
memecah racun yang merekat hanya dengan sebuah
mantra. Kupandangi saja gelang itu, gelang pemberianku
yang atas amanat ibunya untuk ku jaga. Sungguh
semakin sulit kulupa, yang bisa kulakukan hanya
mendoakanmu Nindya. Semoga kau tenang di alam sana.
Nindya Agustina Aulia. Sampai bertemu (lagi).

319 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 320

Anak Ini Ingin Terbang Mengitari Bulan


Karya : Herpin Nopiandi Khurosan

― Dini, coba lihat. Aku akan terbang.‖ Angga

berseru padaku dengan suara yang lantang. Tak ada


sedikit pun syak di wajahnya. Matanya menyinarkan
keteguhan. Sepertinya ia percaya bahwa dirinya tak
berbeda dari burung-burung kuntul riang yang terbang
dari pohon bambu satu ke pohon bambu yang lainnya.
―Apa maksudmu, Angga?‖ Ia tidak melihatku.
Kuperhatikan matanya mengarah ke ufuk
daksina sana. Mungkin ia melihat burung-burung kapinis
bolak-balik, naik turun, ke sana kemari menyayat-
nyayat langit. Mungkin dia ingin menjadi bagian dari
puak kapinis itu, bercanda bahagia di udara bersama-
sama. Tapi siapa pun tahu bahwa tubuhnya tak mirip
sama sekali dengan kapinis. Bahkan dengan kuntul
sekalipun. Jadi mana mungkin dia bisa terbang?
Orang-orang mungkin akan mengira dia tidak
cukup waras. Tapi tidak bagiku.
―Angga, turunlah. Mari main bersamaku. Untuk
apa kamu bertengger di sana. Mari kita mencari
cecenetan... Atau kamu mau main yang lainnya? Istana
jerami mungkin? Ayo turun, kita ajak kawan-kawan yang
lain.‖
―Tidak, Dini. Aku tidak mau.‖
Ketika ia mengucapkan penolakannya itu, satu
dua helai daun jambu tua dan setengah kering itu jatuh
dari pohon yang jadi tenggerannya. Daun-daun itu jatuh
berceraian, terseok-seok oleh angin yang datang
dengan tenang dari arah sawah. Dan sungguh tak
terduga sama sekali olehku, salah sehelai dari daun-
daun yang jatuh itu bisa mendarat persis di sepasang
sendal jepit lusuh. Sendal lusuh itu adalah milik Angga
sendiri. Ia meninggalkannya tepat di sela antara akar-
akar pohon jambu itu.
―Lantas apa maumu, Angga?‖
―Aku ingin terbang, Dini. Seperti yang aku
ceritakan padamu. Lihatlah.‖
―Angga, jangan. Aku mohon... Turunlah!‖

***

Anak yang aneh. Demikian komentar orang-


orang ketika melihat Angga berdiri merentangkan
kedua tangannya di atas atap rumahnya. Atap itu
berupa beton yang datar, semacam teras yang sengaja
difungsikan untuk menjemur pakaian. Memang sudah
menjadi kebiasaannya seperti itu. Berdiri di pojok
teras yang cukup tinggi, memandangi matahari yang
hendak terbit. Tangannya yang ia rentangkan sesekali
ia kepak-kepakan laksana seekor burung yang hendak
melayang mencari penghidupan.

321 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 322

―Angga, turun! Nanti kamu kesiangan, cepetan


mandi.‖
Kakak sulungnya berseru sembari
menggelengkan kepalanya beberapa kali. Telah lelah ia
melarang Angga melakukan kebiasaan ganjilnya itu.
Semakin ia melarang, semakin Angga membangkang.
Namun apa daya seorang kakak, meski ia khawatir
Angga terpeleset, ia tak tega menghilangkan rutinitas
Angga yang ia lihat sebagai kesenangan adik bungsunya
itu. Sang Kakak hanya bisa memperingatkan untuk
berdiri tidak terlalu di tepi.
Aku sebagai tetangganya teramat paham betul
kebiasaan Angga hingga tak terlalu mempedulikannya
lagi. Namun sesekali aku terkadang menyapanya juga,
mengingat tempat ia berdiri itu berhadapan langsung
dengan kamarku di seberang jalan kecil yang
memisahkan halaman kami.
Tak hanya itu yang membuat ia dianggap
berperilaku ganjil. Nyaris setiap malam sepulang mengaji
di masjid di kampung kami, ia tak langsung masuk ke
dalam rumah. Untuk beberapa saat ia duduk dahulu di
teras di atap rumahnya. Jika udara sedang dingin-
dinginnya, ia berlindung di dalam sarung. Ia menutupi
sekujur tubuhnya kecuali muka dan tumit kakinya.
Apa yang ia lakukan? Tentu saja menatap langit.
Menatap bulan. Tak aneh memang jika orang menikmati
indahnya langit, namun jika hal itu lakukan tiap malam,
nampaknya tidak bisa dibilang hal yang tak ganjil.
Di suatu malam, tiba-tiba ia bangkit dari
duduknya itu. Rasa-rasanya ia melihat sesuatu.
―Ada apa?‖ Aku bertanya dengan suara agak
keras dari jendela kamarku.
―Bintang jatuh, Din.‖
―Kenapa dengan bintang jatuh, Angga?‖
―Kamu tahu? Dalam bintang jatuh itu bisa jadi
batu kristal yang memiliki kekuatan untuk mengubah
seseorang menjadi Superman. Aku berharap bintang
jatuh itu turun ke hadapanku, Din.‖
―Benarkah begitu? Aku tak menonton filmnya di
televisi kemarin-kemarin.‖
―Betul.Tapi sayang, Din, dari dulu belum pernah
ada bintang yang jatuh di halamanku‖.
―Jika ada yang jatuh di halamanku, akan aku
berikan padamu, Angga.‖
―Terima kasih, Din. Kamu orang yang baik.‖

***

―Aku ingin bisa terbang‖ Angga berucap


memecah keheningan di sore hari ketika kami bermain
bersama. Suaranya terombang-ambing angin sore yang
bertiup sepoi-sepoi itu. Sudah lima belas menit ia
termenung dalam hening. Kedua lututnya ia peluk erat-
erat. Dagunya yang lonjong menyentuh salah sebuah
lututnya.

323 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 324

―Aku juga. Aku ingin bisa memetik jambu-jambu


biji di atas itu.‖ Aku menyela kata- kata Angga. Di
pikiranku terbayang pula alangkah akan lebih mudahnya
hidup jika aku bisa terbang. Tak mesti akau pergi ke
sekolah dengan menginjak kerikil-kerikil jalan. Jikalau
hujan datang, dengan mudah aku bisa menolong
tetangga-tetangga yang atapnya kerap kali bocor.
―Dan kalau aku bisa terbang, aku bisa
mengambil layang-layangmu jika tersangkut di tiang
listrik.‖ Imajinasiku membuahkan begitu banyak kata
yang aku sampaikan pada Angga.
―Kalau aku... Aku hanya ingin terbang ke bulan‖.
Bibirnya berucap redup. Matanya terpaku pada
coretan-coretan di tanah merah yang ia buat dengan
ranting kering pohon jambu. Ai menggambar bulan di
tanah merah berdebu itu. Cukup detail ia menggambar
bulan itu, lengkap dengan kawah-kawahnya. Mungkin
karena selama ini dia terlampau sering memandang
bulan, hingga dia bisa mencitrakan bulan sedemikian
indahnya meski berkanvaskan tanah merah penuh debu.
―Katanya di bulan tidak ada air dan pohon-
pohon. Apa kamu tidak takut?‖
―Mungkin aku takut, tapi aku tetap harus pergi
ke sana, Din.‖ Ia masih melanjutkan menggambarnya.
Kulihat ia mencitrakan sosok manusia dengan sehelai
kain dipunggungnya. Kutebak ia menggambar sosok
dirinya terbang seperti Superman.
―Dan kamu tahu? Di bulan banyak monster-
monster mengerikan. Kamu bisa saja dimangsanya.‖
―Berarti aku harus belajar maenpo lebih giat
lagi, agar aku bisa mengalahkan monster-monster
penghuni bulan itu.‖
Entah apa yang berkeliaran di kepalanya hingga
ia benar-benar ingin pergi menuju bulan. Tekadnya
sangat bulat, sebulat bulan itu sendiri. Muakkah ia
dengan hidup di dunia ini lantas lebih mengharapkan
hidup di bulan yang katanya tak ada apa-apa kecuali
kesunyian yang menyedihkan dan monster-monster
yang jahat?
Entahlah, yang pasti saat itu keinginannya
nampak enggan beranjak dari pikirannya.
―Memangnya kamu mau ngapain di bulan?‖
Ternyata gambarnya belum selesai. Ia menambahkan
karakter lagi di lukisan tanah berdebunya itu. Ia
membuat sosok wanita berambut ikal panjang tengah
duduk di sebuah karpet. Sosok wanita itu terbang
dengan karpetnya, besampingan dengan sosok
Superman.
―Kata orang jika kita bisa terbang mengelilingi
bulan, kita bisa menghidupkan kembali orang yang mati.
Aku ingin menghidupkan orang tuaku.‖
―Kamu rindu orang tuamu?‖
Angga hanya mengangguk. Matanya terlihat
sendu, menatapi sepasang wajah yang ia lukiskan di atas
tanah.

325 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 326

―Apa yang paling kau rindukan dari orang


tuamu?‖
―Pelukan mereka. Tentu saja.‖
Aku kemudian sedikit tercengan. Bukan karena
perkataan Angga. Melainkan karena ia menghapus sosok
Superman di gambarnya itu. Kemudian ia menambahkan
sesosk laki-laki di samping citra perempuan berambut
ikal panjang itu. Lengkap sudah. Ia menggambarkan
sepasang anak manusia yang berangkat bersama menuju
bulan dengan karpet terbang. Melihatnya aku tersipu.
Apakah ia ingin mengajakku untuk bertemu orang
tuanya? Aku tersipu. Mungkin wajahku juga merona.
Kemudian Angga hanya diam. Ia tak menjelaskan
lebih lanjut bagaiman ia bisa merindukan pelukan orang
tuanya. Ia haya menyebutkan bahwa ia merindukan
pelukan orang tuanya. Hanya itu saja! Aku mengira
bahwa kata-katanya itu tidak mencerminkan
sepenuhnya keseluruhan cerita. Meskipun demikian, aku
bisa melihat besarnya kerinduan pada orang tuanya itu
yang terwakilkan sempurna oleh air matanya.
Aku tak bisa berkata apa-apa. Kemudian selang
beberapa menit berlalu, Angga berdiri. Membuang
ranting kering di genggamannya. Seketika itu ia berjalan
menuju pohon jambu yang tak jauh di belakang kami. Ia
tinggalkan sepasang sendal jepit lusuhnya di sela-sela
akar pohon jambu besar itu. Dengan cekatan ia
memanjat pohon itu. Ia sampai di suatu dahan yang
cukup kokoh dan nyaman untuk bertengger.
―Dini, di sini anginnya jauh terasa lebih
kencang.‖ Ia menutup matanya, ia menikmati angin
sepoi-sepoi sore di atas pohon itu.
―Aku tak bisa memanjat, Angga. Kalau aku punya
sayap, aku akan terbang ke sana.‖
―Untuk terbang, mungkin kita cukup percaya
saja, Din, tak perlu sayap.‖ Akan aku buktikan. Aku
yakin aku bisa terbang...
―Dini, coba lihat. Aku akan terbang‖ ―Apa
maksudmu, Angga?‖
―Selama ini aku sudah berteman baik dengan
angin, setiap pagi aku bermain dengannya. Dan ketika
malam, ia juga selalu menemaniku menatap bulan. Aku
tak tahu apa yang bisa membantuku. Tak ada bintang
jatuh di setiap malam yang aku lalui. Tak ada seorang
pun di pasar-pasar yang menjual karpet Aladdin maupun
sajadah Nabi Sulaiman. Dan tidak aku temukan pula
selendang bidadari yang tergeletak di tepian sungai. Dan
untuk naik pesawat, aku tak tahu caranya, Din. Mungkin
hanya angin, Din. Hanya angin yang akan menolongku. Ia
akan membantuku untuk terbang. Aku ingin terbang,
Dini. Seperti yang aku ceritakan padamu. Lihatlah.‖
―Angga, jangan. Aku mohon... Turunlah!‖
―Tidak Dini, aku yakin angin akan membawaku
terbang.‖
Laranganku tak diindahkannya. Angga terjun.
Seketika aku hanya menjerit, menutup mata dengan
kedua telapak tanganku. Tidak sangat tinggi memang,

327 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 328

tapi itu cukup untuk membuat Angga berteriak,


merintih kesakitan.
Aku menangis, kepada siapa-siapa aku
berteriak, memohon pertolongan. Sayup-sayup
terdengar rintihannya yang semakin melemah
terkaburkan oleh semilir angin.
―Angin... Aku percaya angin...‖

***

Kenangan itu muncul begitu saja, begitu jelas,


tanpa usaha sedikitpun untuk mengingat-ingatnya
kembali. Aku dapat memutar saat-saat itu dengan
sangat detail. Masih jelas di ingatanku bagaiman Angga
menatap bulan. Tatapan yang begitu mempesona. Kuakui
itu. Apalagi jika mengingat tatapannya padaku di suatu
waktu. Aku sangat bahagia waktu itu, untuk pertama
kalinya Angga menatapku seperti ia menatap bulan di
malam hari. Aku juga masih ingat ketika Angga
melukiskan dirinya bersamaku terbang dengan karpet
ajaib menuju bulan. Kejadian itu sudah lama berlalu.
Angga yang lugu tetaplah lugu meski jarak antara kini
dan dulu tidak bisa disebut singkat. Ia senantiasa
bersahaja. Tak banyak laga. Kalaupun ia kini berubah,
itu terlihat hanya jelas terlihat pada kemampuannya
untuk terbang. Ya, ia bisa terbang. Ia mampu
mewujudkan sebuah impiannya itu. Namun sayangnya, ia
belum bisa untuk mewujudkan impian lainnya:
mengelilingi bulan.
Jangankan untuk itu, untuk mencapainya saja
teramat sulit. Untuk menjadi astronaut, ia harus
menjadi seorang warga negara dari suatu negara yang
memiliki badan antariksa. Dan untuk syarat pertama itu
saja Angga sudah gagal..

Usaha terbaiknya dalam menggapai bulan adalah


terbang di ketinggian 14.000 kaki. Pernah Ia bercerita
ketika pertama kalinya mencapai ketinggian itu. Ia
merasakan suatu kebahagiaan besar yang katanya sulit
untuk diukur. Di malam itu ia dapat melihat jelas bulan
purnama di depan jendela pesawatnya. Ia merasakan
seakan-akan ia dan pesawat komersial yang ia kemudikan
terbang menuju bulan itu. Teringat jelas ketika ia
menjelaskan bagaimana darahnya terasa semakin deras
mengalir, jantungnya semakin kerap berdegup. Namun
sesaat kemudia ia sadar bahwa ia masih berada di
ketinggian 14.000 kaki. Di ketinggian itu, bulan terlihat
sama, tak lebih besar dari bulan yang ia lihat dengan
menjinjitkan kaki di teras rumahnya ketika kecil dulu.
Ketika itu kulihat raut wajahnya meredup di
pangkuanku.
Pada akhirnya Angga tak bisa mewujudkan
mimpinya itu. Angga hanya bisa mencatakan total jam
terbang selama 20.546 jam saja. Hampir tiga hari
semenjak pesawat yang ia kemudikan kehilangan kontak
dengan menara kontrol lalu-lintas udara, jenazah
Angga baru ditemukan. Jenazah itu kini melintang kaku

329 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 330

di hadapanku, ditaburi dengan beribu-ribu doa. Ia


menunggu untuk disemayamkan.
Angga, memang benar terbangmu tak cukup
tinggi. Memang benar bulan tak pernah berhasil kau
kelilingi. Namun percayalah, di suatu tempat yang amat
mulia, ada sepasang sosok yang tersenyum penuh rindu.
Merekalah yang kau kasihi. Orang yang kepadanyalah
kamu ingin berbakti. Dan kini sudah saatnya kau temui.
Namun, Angga...
Kau tahu? Kini nampaknya giliran anak kitalah yang
berkeinginan untuk terbang mengitari bulan.

***
Yang Mati Tanpa Nyali, Tak Pantas Dirindui
Karya : Ibnu Khairi Alfarisi

Gelap sekali. Aku tak pernah menyangka jika

liang tanah akan sekelam ini. Tak ada cahaya sama


sekali, dan liang ini begitu sunyi. Kegelapan ini
menyesakkan dada, sebelum kemudian kusadari bahwa
aku tak lagi bernapas. Aku telah mati, dan kini jasadku
telah terbenam dalam kegelapan.
Suasana ini begitu asing bagiku. Segalanya terasa
aneh: kegelapan ini, cacing tanah dan serangga lain yang
perlahan menggerogoti daging-dagingku, rasa perih
pada kulit punggung, dan sesuatu yang mengganjal pada
tenggorokanku. Entah sudah berapa hari aku menikmati
suasana dalam pusara ini. Rasanya begitu asing; namun
nikmat sekaligus. Inikah rasanya dalam liang tanah?
Pada kemudian hari setelah dikuburkan, aku
merasa ada yang berbeda kali ini. Pandanganku menjadi
lebih terbuka, meski cahaya masih enggan memasuki
netraku. Aku bisa merasakan seseorang duduk di
samping nisanku, menabur bunga dan menunduk dalam
do‘a. Bahkan, kulitku yang tak lagi banyak tersisa dapat
mengenyam dinginnya air mata yang menetes perlahan,
meresap dalam tanah lalu mengalir dan perlahan
menyentuhku. Aku tak tahu siapa yang tengah bersedih

331 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 332

di atas sana, bahkan terkejut kala tahu ada yang diam-


diam menempa duka.

***

―Tuan, bolehkah aku bertanya?‖ Aku berkata


setelah beberapa lama dipenuhi keheningan bersama
sosok itu. Ia memakai jubah hitam bertudung hingga
menutupi seluruh wajahnya. Entah seperti apa
bentuknya, yang pasti wajah itu seolah menarik cahaya
dan mengeluarkan zulmat seutuhnya. Harusnya aku
merasa takut, pikirku, tapi inilah saatnya aku menebus
rasa penasaranku selama di sini.
Kami duduk berdampingan dalam liang ini,
menghadap sisa-sisa tubuhku yang tak lagi banyak. Aku
meringis kala melihat tubuhku itu, menyadari bahwa tak
ada yang bisa mencegah kebusukan dan gerogotan
hewan-hewan tanah.
―Tuan?‖ Sapaku sekali lagi ketika ia masih tak
menjawab. Ketika ia menoleh menanggapi panggilanku,
perasaanku langsung buruk saat menyadari aku telah
mengganggu suasana hatinya—jikapun ia punya hati.
Cepat-cepat kubuang pandanganku.
―Apa yang ingin kautanya?‖ Aku bersorak
kegirangan dalam hati ketika suara berat nan
mengerikan itu terdengar. Kuperbaiki posisi duduk,
menyamping menghadapnya lalu menatapnya serius.
―Bagaimana aku mati?‖
Sosok itu langsung menoleh ketika pertanyaan itu
keluar dari mulutku. Benar, aku tak ingat bagaimana
kematian menghampiriku. Aku tak tahu apa yang terjadi
dan menjadi penyebab aku mati. Ketika bangun, yang
kuingat hanyalah aku telah mati, dan kini berada dalam
liang yang gelap, dingin, dan sunyi.
―Kau sungguh ingin tahu?‖ kata sosok itu.
―Ya, tentu,‖ jawabku.
―Baiklah, tapi kurasa bukan aku yang berhak
untuk menjawabnya.‖
Setelah mendengar kalimatnya, aku melihat
sebuah cahaya datang mendekat, lalu perlahan
memasuki kepalaku. Sesaat, aku merasa terbang,
sebelum semuanya benar-benar hilang.

***

Ketika kesadaran kembali menerpa, tahu-tahu


pria itu sudah berdiri di samping pusara yang
bertuliskan namanya. Tubuhnya utuh, tak lagi berlubang
bekas gigitan penghuni makam. Ia dapat melihat, tak
ada kegelapan lagi kali ini. Tak ada rasa sakit pada
punggung maupun lehernya. Dan yang pasti, tak ada
sosok mengerikan itu di sini. Hari ke sekian setelah
kematiannya, ia kembali untuk menjemput kenangan dan
membalas rindu yang selama ini tertahan.
Sepanjang perjalanan pulang menuju peraduan,
pria itu seolah menempuh kembali jalur yang beberapa

333 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 334

hari ia lalui: terbaring dalam keranda dan bergoyang-


goyang mengikuti langkah pelayat. Tak ada yang
menyapa sepanjang jalan itu, bahkan melirik pun tidak.
Tentu saja. Ia baru saja mati beberapa hari yang lalu.
Antara itu, atau memang tak ada yang peduli.
Ia sampai di beranda rumah keluarganya yang
sederhana. Masih terlihat bekas tenda untuk para
pelayat, dan ia menduga tak banyak yang datang untuk
menangisi kematiannya. Bunga-bunga kesukaan istrinya
tampak kacau, tumbuh sembarangan tak diurus.
Mungkin istriku terlalu sibuk menangis, hingga lupa
memotong bunga, pikirnya. Sedetik kemudian ia tertawa
karena membayangkan hal yang konyol dan muskil.
Serupa ia yang yang kembali ke peraduan, mentari
pun ikut tenggelam di ufuk sana. Senja, waktu yang
tepat untuk pulang. Rumah itu tampak suram, seolah
cahaya kehidupan telah beranjak dari situ. Dadanya
mendadak sakit ketika teringat satu hal: ia lah yang
menarik cahaya itu.
Perlahan, pria itu melangkah menuju pintu, lalu
mendorongnya hingga terbuka. Tak terkunci, tentu
saja. Siapa pula yang mengunci pintu untuk suami
sendiri? Dan ia kembali tergelak oleh pikirannya. Ia
melanjutkan langkah, dan melihat ruang tamu yang
gelap dan pengap. Entah sudah berapa hari jendela tak
terbuka, hingga udara bisa terasa sesesak ini. Ah, ia
baru menyadari bahwa napasnya telah kembali.
Terdengar suara kelontang dari dapur. Kakinya
segera bergerak menuju suara itu, dan mendapati
seorang perempuan sedang mennnduk dan mengambil
panci. Ketika perempuan itu kembali berdiri, ia dapat
melihat wajahnya yang indah, dengan rambut hitam
panjang yang tampak kusut. Ada sesuatu yang
berdenyut di dadanya kala melihat wajah itu: wajah
yang ia rindukan.
Hatinya seperti teriris ketika melihat penampilan
perempuan itu. Kacau, dengan tubuh yang kurus kering
dan baju yang semrawut. Matanya sembab, mungkin
akibat terlalu lama menangis setiap malam.
Pria itu kemudian mendekat, memperhatikan
gerak-gerik sang Istri lebih dalam. Ketika ia berada
tepat di samping perempuan itu, mendadak gerakan
sang Istri terhenti dari kegiatannya mengiris cabai.
Pisau yang ia pegang menggantung di tangannya. Pria itu
terdiam, mengira sang Istri dapat merasakan
kehadirannya. Namun, mendadak sang Istri terduduk
lemas, dengan air mata yang perlahan mengaliri
wajahnya. Suara tangisnya begitu pilu, menyayat hati.
Tanpa sadar, ia bergerak mendekat, lalu memeluk
istrinya dalam diam. Meski tubuh transparannya hanya
menembus tubuh sang Istri, ia dapat merasakan
suasana itu: hangatnya pelukan rindu.
Perempuan itu kemudian berdiri, lalu bergerak
tergesa menuju halaman belakang. Masih dengan air
mata yang menetes, ia mengambil seutas tali tambang,

335 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 336

lalu dengan gerakan tegas, ia membuangnya ke dalam


tong sampah. Tergugu ia, menendang tong sampah itu
hingga berseraklah isinya. Tubuhnya lunglai, terduduk
di tanah yang kumuh, dan ia menangis, lagi dan lagi.
Sang Pria memperhatikan istrinya dalam diam.
Menahan keinginan hatinya memeluk dan menenangkan
perempuan itu. Entah bagaimana ia tahu, bahwa
ternyata kematiannya sangat buruk. Menggantung
dirinya dengan tali? Bahkan rasanya ia tak pernah
berpikir untuk bunuh diri. Tapi itulah yang nampaknya
terjadi. Ia mampu mengingat sang Istri dan segala
kehangatannya. Ia tahu bagaimana ia menjalani hari-
harinya, namun ingatan tentang kematiannya terasa
buram.
Malam datang. Dan perempuan itu hanya mencuci
muka, berharap air dapat menghapus luka dan duka yang
terus saja mengelana. Kini, ia duduk di ruang makan,
menyantap hidangan sederhana yang ia masak sendiri.
Sepi, sunyi, meski sebenarnya ada yang diam- diam
memperhatikan gerak-geriknya.
Pria itu duduk menghadap sang Istri. Ia bertanya-
tanya, bagaimana mungkin ia meninggalkan wanita yang
sangat cantik ini dengan begitu cepat. Ia dapat
mengingat bagaimana ia dan istrinya pernah benar-
benar bahagia, meski ada perasaan asing yang
mengatakan bahwa kebahagiaan itu berakhir sirna,
entah karena apa.
Ia meliihat pada kedalaman mata wanita itu.
Pandangannya yang kosong, gerakan tangan yang
perlahan menyuap nasi, dan mulutnya yang mengunyah
dengan pelan. Ia menjulurkan tangan menuju pipi sang
Istri, menyingkirkan nasi yang menempel. Tak bisa,
tentu saja, namun tepat ketika jarinya menyentuh kulit
sang Istri, perempuan itu tersentak dan memundurkan
kepalanya. Sekejap, pria itu telah menghilang, kembali
menuju pusaranya, dan meninggalkan kebingungan di
kepala sang Istri.

***

Ia kembali pada keesokan pagi dan mendapati sang


Istri duduk di beranda rumah. Dulu, tempat itu biasa
mereka jadikan tempat berbagi cerita selepas ia kerja,
dan sang Istri menyambutnya dengan segelas teh
hangat. Mereka akan bersantai melepas senja,
menghabiskan waktu dengan kisah-kisah jenaka. Ia
ingat betapa hangatnya tawa mereka di sana, setiap
hari, tanpa ada raut kesedihan pernah terpancar dari
wajah mereka. Tak ada kepedihan, hanya berdua,
bahagia, tanpa duka.
Kini, ia melihat bagaimana sepi telah merenggut
rona kebahagiaan dari wajah sang Istri. Ia tahu, ada
yang mengganggu ketenangan sang Istri. Meski terlihat
kosong, pandangan itu sesungguhnya berisi ribuan duka,

337 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 338

tanya, dan kecewa. Ia tahu semua itu berasal darinya,


meski tak mengerti bagaimana.
Tak ada lagi tawa jenaka sore hari, atau
pemandangan ia pamit pada sang Istri untuk mencari
nafkah. Pagi itu, yang tersisa hanya seorang wanita
bersama kesedihannya, dan sepotong koran yang
teronggok lesu pada kursi yang biasa ia duduki.
Cukup lama ia menikmati suasana nyaman itu.
Ketika ia akan beranjak untuk melihat istrinya lebih
dekat, sebuah mobil datang memasuki halaman rumah
mereka. Dari mobil itu, dua orang lelaki berpakaian
hitam keluar menemui istrinya. Belum sempat ia
mendekat dan mendengarkan percakapan mereka, sang
Istri telah berdiri dan mengikuti lelaki tersebut ke
dalam mobil mereka. Sekejap, mereka telah hilang
dalam pandangan, meninggalkan pria itu sendiri.
Ia lalu melangkah menuju beranda tempat istrinya
duduk, dan tanpa sengaja, matanya menangkap judul
berita utama pada koran yang tadi menemani istrinya.
Ketika sebuah fakta masuk ke dalam ingatannya,
seketika ia terduduk lemas pada kursi itu, menyadari
bahwa luka telah ia cipta pada hati istrinya.
Ia berkhianat.
Dengan seorang wanita.

***
Wanita itu ia temui beberapa bulan setelah ia
menikah. Entah apa yang ia pikirkan, namun tubuhnya
seolah bergerak sendiri ketika melihat wanita itu.
Siang itu ia menghabiskan waktu istirahat dengan
makan siang di sebuah tempat makan. Matanya
menangkap seorang wanita, dan tanpa ia sadari mereka
telah berada dalam satu meja. Cepat saja, mereka
berkenalan, saling melempar canda dan bertukar
informasi. Ia merasakan kenyamanan yang berbeda
ketika mereka bersama, sesuatu yang tidak ia dapatkan
ketika bersama istrinya. Meski jauh di lubuk hati, ia
menolak apa yang dilakukannya kini, namun nafsu
terlanjur menguasai.
Mendadak saja makan siangnya selalu dipenuhi
warna. Setiap hari, makan siangnya ia habiskan dengan
mengobrol dengan wanita itu, hingga tanpa ia sadari
bahwa hubungan mereka sudah terlalu jauh.
Suatu sore yang tak begitu cerah ia membawa
wanita itu menuju rumahnya: rumah ia dan istrinya. Akal
sehat seolah tercerabut dari kepalanya hari itu, begitu
pula dengan sang Wanita yang tak tahu apa-apa.
Mereka larut dalam percintaan yang panas, sebelum
kemudian berakhir dengan sebuah teriakan yang
berujung bencana.
Yang dapat ia ingat selanjutnya adalah segumpal
sesal yang mencuat dari lubuk hatinya: sesuatu yang
selama ini ia tahan sebab dikalahkan ego. Tak ada waktu
yang ia habiskan kecuali dengan air mata yang mengalir,

339 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 340

bahkan pedih yang ia dapatkan di punggungnya tak


mampu ia rasakan. Ia tak ingin mengingat saat -saat
memalukan itu: saat ketika apa yang ia lakukan selama
ini mendapat balasnya.
Rasa sesal itu lebih besar ketimbang apapun di
dunia ini. Dan ketika itu semua berakhir, yang ia tuju
hanyalah perempuan itu: istrinya yang menatapnya
dengan datar. Ia tumpahkan sejuta maaf bersama air
mata, meski ia tahu, luka yang cipta tak mampu
disembuhkan semudah mengucap kata maaf. Hari itu
berakhir dengan ia yang terlelap setelah menatap
kedalaman mata istrinya, dan kemudian tak ada lagi
ingatan yang tercipta.

***

Suara mobil yang memasuki halaman terdengar,


membawanya menuju teras rumah. Sesosok tubuh yang
begitu lunglai keluar dari mobil itu, lalu berjalan menuju
pintu depan. Ia mengikuti istrinya memasuki rumah,
melihat bagaimana wajah lesu sang Istri yang kini
terduduk di ruang tamu.
Ia turut duduk di depan wanita itu, menatapnya
lamat-lamat. Perlahan, isak tangis terdengar dari mulut
istrinya, dan tubuh yang terguncang pelan. Lama -
kelamaan, isak itu berubah menjadi raungan dan
teriakan. Wanita itu berlarian tak karuan, menghantam
sofa dan meja, memecahkan barang-barang, dan
melemparnya sembarang arah. Perih. Hatinya begitu
perih melihat bagaimana kebodohannya telah membuat
wanita yang ia cintai menjadi begitu hancur. Ia ingin
menangis, memeluk, dan menenangkan wanita itu.
Namun terlambat, yang bisa ia lakukan kini hanya
menatap kehancuran di depannya, tanpa bisa mencegah
hal itu terjadi.
Semua kekacauan itu usai ketika sang Istri
terlelap kelelahan di ranjangnya, ranjang mereka dulu.
Pria itu berdiri kaku di samping ranjang, menatap nanar
tubuh sang Istri yang berbaring menyamping. Wajahnya
kacau dan basah, bekas air mata terlihat di pipinya. Tak
ada kedamaian di wajah itu, yang ada hanya kepedihan,
dan luka. Batinnya bertanya, adakah rindu di wajah itu?
Perlahan, pria itu duduk di tepi ranjang.
Tangannya terjulur hendak menyentuh wajah sang
Istri, namun tentu saja, tak ada yang terasa di
tangannya. Ia berbaring menyamping, menghadap muka
sang Istri. Tersenyum, menatap penuh kerinduan pada
wajah itu. Dalam pikirannya, ia mengusap pipi sang Istri,
menyingkirkan anak rambut yang menutupi wajah indah
itu. Tangannya turun mencari jemari lentik wanita itu.
Ia menggenggamnya, seolah merasakan kehangatan
mengalir lewat genggaman itu.
Apakah sedetik saja kau pernah memaafkanku,
Sayang? Adakah rindu padaku di hati yang telah kuluka
itu? Ia berbisik lirih, wajahnya begitu dekat dengan

341 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 342

sang Istri. Matanya terpejam, dan ia dapat merasakan


napas teratur yang menyapu wajahnya.
Menagapa kau kembali?‖
Sebuah suara membuatnya membuka mata, dan
sepasang mata cokelat yang penuh luka langsung
menusuk pandangnya. Wajah itu datar, dan dingin.
Perlahan, sebuah cerita menembus kepalanya,
melengkapi potongan puzzle atas teka-teki
kematiannya.

***

Saya mencintainya, sepenuh hati. Ada begitu


banyak kebahagiaan yang ia hadirkan, dan kesedihan
yang ia hapuskan, seluruhnya, seutuhnya. Ketika ia
berlutut sembari memegang kedua tangan saya,
menatap dengan penuh cinta dan keindahan, lalu
meminta saya menemani sisa hidupnya dalam bahtera
rumah tangga. Tentu saja saya jawab iya, sebab itulah
hal yang paling saya tunggu sejak pertama bertemu
dengannya.
Ia lelaki teristimewa yang pernah hadir dalam
hidup saya. Sepanjang yang dapat saya ingat, mata yang
selalu dipakainya untuk memandang saya selalu dipenuhi
cinta. Begitu pula segenap kata yang selalu terasa manis
keluar dari mulutnya. Maka semakin besarlah rasa yang
tumbuh dalam dada saya, hingga saya pikir, tak ada
yang bisa memisahkan saya dan dirinya.
Satu tahun berlalu sejak ia berlutut dan kami
mengucap sumpah setia. Di mata saya, yang ada hanya
cinta yang bertambah-tambah sembari menanti
hadirnya buah hati yang belum juga dititipkan oleh
Yang Maha Kuasa. Tak mengapa, kata saya, mungkin
Tuhan memberi kita waktu lebih lama untuk bercinta.
Suatu masa ketika saya ingat bahwa ini adalah
peringatan hari pernikahan kami yang pertama, saya
berencana memberinya kejutan dengan sebuket bunga
dan kado di kedua tangan saya. Setelah membelinya di
sebuah toko, saya segera kembali menuju peraduan,
sembari membayangkan bagaimana kira-kira
ekspresinya melihat kejutan yang saya berikan. Senyum
saya tak pernah luntur sepanjang perjalanan itu. Yang
tak pernah saya bayangkan adalah apa yang akan
terjadi sore itu. Pemandangan paling buruk dalam hidup
saya.
Saya berteriak sejadi-jadinya, hingga saya rasa
hampir lepas tenggorokan itu dari leher saya. Buket
bunga dan kado yang saya pegang terjatuh, dan tangan
saya beralih menutup mulut demi meredam teriakan
itu. Namun terlambat, sebab para tetangga telah
datang, dan menangkap lelaki itu saling tindih bersama
seorang wanita, tanpa sehelai benang pun. Lelaki itu,
lelaki yang saya cinta sepenuh hati, nyatanya tak lebih
dari seorang pengkhianat dan pencipta luka.
Sore itu, kisah bahagia saya bersamanya telah
berakhir.

343 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 344

***

Yang dapat saya ingat selanjutnya adalah


kepedihan demi kepedihan. Meski hati saya telah
hancur sejadi-jadinya ketika melihat pemandangan itu.
namun ia tetap pedih ketika melihatnya dan perempuan
itu digiring beramai-ramai menuju panggung desa,
dengan sehelai kain putih menutup tubuh mereka. Tentu
saja, sesuai dengan hukum jinayat1 yang berlaku,
hukuman dera2 harus mereka terima. Seratus dera
untuk masing-masing, meski saya tahu, bagi lelaki itu
harusnya bukan lagi dera, tapi rajam3 hingga mati,
sebab ia adalah pezina muhsan. Namun melihatnya
tersiksa dengan deraan itu tetap membuat hati saya
tercabik- cabik, dan saya lebih berharap ia mati dan
pergi selamanya.
Ketika semua itu berakhir, lelaki itu berjalan
lunglai dengan wajah kuyu. Wajah yang biasanya
tersenyum dan beraura ceria itu kini dipenuhi
kesuraman, dan sesal yang mendalam. Saya hanya
terdiam tanpa mengucap apa-apa, memasang muka
sedatar-datarnya agar ia tahu jauh dalam hati saya,
saya berharap ia tak pernah datang dalam hidup saya.
Namun yang selanjutnya saya lakukan adalah
memeluknya dalam hening, sedang ia tergugu menangis,
hingga diam-diam air mata saya jatuh mengkhianati hati
saya. Berkali-kali kata maaf ia katakan, sembari
menggenggam dan menciumi tangan saya. Saya tak tahu
harus merasa apa. Yang saya lakukan hanya diam dan
menuntunnya pulang.
Saya tak ingin tahu bagaimana ia dan wanita itu
bertemu, atau berapa lama mereka telah bersama, atau
apa saja yang telah mereka lakukan. Akan terlalu
banyak luka jika ia bercerita. Dan kini yang saya
inginkan hanyalah berbaring, memikirkan apa yang salah
dalam hubungan ini. Atau apa yang dimiliki wanita itu
hingga lelaki itu berpaling padanya.
Setelah membersihkan luka dan memandikannya,
kami duduk berhadap-hadapan, hanya dipisahkan oleh
meja makan. Ia makan dengan lahap, meski sesekali air
mata masih mengalir di pipinya. Saya hanya
memperhatikan, berusaha setengah mati menjaga wajah
saya tetap datar. Saya tak ingin ia tahu apa yang
saya rasakan atau pikirkan, sebab akan memalukan
jika ia tahu beribu pikiran lewat dalam benak saya.
Kami berbaring saling menghadap di atas ranjang
yang penuh cerita ini. Memandang jauh pada kedalaman
biji mata masing-masing. Pada mata cokelatnya yang
masih berkaca- kaca, saya menyadari betapa besar rasa
sesal itu menggelayut di sana, meski luka yang ia
tinggalkan pada hati saya jauh lebih besar. Maka saya
biarkan setetes air mata mengalir melewati batang
hidung saya, yang kemudian ia hapus dengan tangannya.
Saya menutup mata, terisak menahan erangan penuh
luka. Napas saya terasa sesak, dan makin menjadi

345 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 346

ketika perlahan saya rasakan tangan itu melemas, dan


lelaki itu terpejam penuh kedamaian.
Malam itu, saya biarkan rasa marah, luka, dan
kecewa menguasai diri saya, hingga tak lagi tersisa rasa
bernama iba.

***

Ketika kepingan cerita itu berakhir, ia yang masih


berupa jiwa telah terduduk di atas ranjang itu, persis
seperti malam terakhir yang ia ingat. Dadanya sesak
ketika misteri yang ia tanyakan kepada sosok di pusara
itu telah terjawab. Dipandanginya sang Istri yang kini
telah duduk di sampingnya, menatap kosong. Ia tak tahu
harus berkata apa ketika menyadari bahwa beberapa
hari ini wanita itu tahu bahwa ia kembali.
―Untuk apa?‖ Lirih, perempuan itu bertanya.
Rindu, Sayang. Sebab aku begitu merindukanmu,
merindukan kita. Tidakkah ada sedetik saja rindu
terbit dalam hatimu itu? Lelaki itu berkata pelan, tak
sanggup menatap mata istrinya.
―Tidak,‖ kata perempuan itu. Suaranya meninggi,
terbakar oleh emosi. ― Sebab yang mati tanpa nyali, tak
pantas dirindui. Sebab kenangan yang kautinggalkan
hanya kepedihan.
Kau, laki-laki yang aku cintai setengah mati,
rupanya begitu busuk dan keji. Lantas, apakah pantas,
nyawamu yang aku cabut dengan tanganku sendiri, aku
rindukan?‖
Mereka telah duduk di atas ranjang itu, saling
melihat dengan tatapan yang jauh berbeda: istri yang
menatap keji dan jijik, dan suami yang penuh
kebingungan dan luka. Tak ada yang mampu ia ucapkan,
hanya perasaan sesal yang semakin membesar. Lebih
besar dari pada ketika ia memeluk istrinya sembari
menangis pilu.
―Kenapa kau kembali? Lelah aku menghapusmu dari
ingatan, mencoba menipu polisi itu dan memaafkan
kesalahanmu. Namun kau datang, berharap dapat
melepas kerinduan dan dirindukan. Mengapa kau begitu
naif?‖
Hanya maaf yang menluncur lewat mulutnya. Pelan,
beribu kata, namun luka terlanjur menganga. Rindu yang
ia rasakan kalah oleh sejuta duka yang terlebih dulu
hadir, tak mampu dihapus rindu dan cinta. Kini, ia hanya
sebuah jiwa yang merindu sesal, menempa tangis, dan
melayang-layang.
Malam itu, ia kembali ke pusara dalam keadaan
hampa. Tetap di sana hingga Hari Kebangkitan tiba,
dengan hati yang sepenuhnya terluka. Ia menemukan
sosok itu kembali, berdiri dalam kegelapan masih dalam
kemisteriusannya. Ia mendekat, berkata pada sosok
itu, ―Tuan, bawa aku kembali. Sembunyikan aku dalam
pusara ini. Selamanya.‖

347 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 348

1
Hukum pidana islam.

2
Hukuman cambuk akibat berzina.

3
Hukuman bagi pezina muhsan (sudah menikah/pernah menikah) dengan

dilempar batu sampai mati.


Sungguh, Aku Ingin Merindukanmu
Karya : Indah Amellia

Di kota ini, walau terletak persis di tengah

hutan yang berada di pulau terpencil, handphone


bukanlah hal yang langka. Semua bisa didapatkan
dengan mudah, bahkan portal ajaib. Ribuan tahun yang
lalu saat peradaban manusia di pulau-pulau besar punah
karena satu wabah penyakit, manusia yang hidup di pulau
terpencil beruntung masih dapat selamat. Mereka
kemudian membangun peradaban baru yang lebih
canggih dengan pengetahuan yang didapat dari sebuah
buku tua kuno misterius yang ditemukan di atas bukit,
sekarang bukit itu menjadi tempat yang disucikan.
Kota ini tidak terlalu besar, hanya bisa
menampung lima ratus ribu jiwa. Tapi dengan
kecanggihan yang ada, mereka membangun kota-kota
baru di pulau kecil lainnya yang dihubungkan dengan
portal ajaib yang bisa memindahkan apapun, portal
tersebut tersedia di tiap bibir pantai. Cara kerjanya
mirip dengan pintu ajaib Doraemon, tapi bedanya ini
lebih besar. Setiap kota dinamai dengan nama-nama
bunga. Kota ini bernama kota Dandelion, kota di
sebelahnya bernama kota Lily, dan di sebelahnya lagi
bernama kota Alammanda. Ada sekitar lima puluh kota
yang dibangun.

349 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 350

Setiap kota dilengkapi dengan kubah raksasa


transparan yang bisa melindungi dari berbagai
serangan, seperti peluru, bom, bahkan meteor. Di
tempat ini, tiap penduduk memiliki gelang digital ajaib
yang bisa melakukan apapun. Seperti kalau kalian lapar,
cukup tekan tombol yang ada pada gelang digital kalian,
maka ting! kalian akan merasa kenyang. Makanan sudah
tidak diproduksi lagi karena penduduk menganggap hal
itu hanya akan menimbulkan polusi. Bahkan kalau kalian
mau minta hujan, cukup lapor ke pos polisi cuaca yang
berada di tiap tikungan jalan, maka dalam sekejap,
sekitar kalian akan turun hujan.
Semua kecanggihan itu tentu memberikan
kemudahan bagi penduduknya, dalam hal yang berwujud
maupun tidak berwujud. Hal tidak berwujud ini
merupakan perasaan. Jika kalian merindukan seseorang,
cukup tekan tombol di gelang digital kalian, maka
kerinduan yang kalian rasakan akan hilang. Ini adalah
fitur penghapus rindu. Dengan fitur ini kalian tidak
perlu merasakan rindu yang menggebu, tak perlu
menangis menunggu datangnya waktu bertemu. Semua
bisa diatasi dengan tombol-tombol yang tersedia.
Selama bertahun-tahun, penduduk kota merasakan
kemudahan yang tidak terkira. Fitur- fitur baru
diluncurkan. Pemerintah kota melakukan apapun demi
kebahagiaan penduduknya karena kebahagiaan adalah
tujuan dari peradaban ini.
Dengan segala jenis kecanggihan itu, tidak semua
penduduk di kota ini menikmatinya. Salah seorang
perempuan tua yang konon katanya adalah satu-satunya
manusia yang selamat dari wabah penyakit mematikan di
pulau besar, salah satu pendiri dari peradaban canggih
ini. Saat terjadi wabah, ia melarikan diri ke pulau
terpencil karena ia tahu bahwa pulau yang terisolasi
tidak akan tersentuh wabah. Usianya tidak kurang dari
dua ribu tahun, itu bukan hal yang mustahil untuk
melakukannya. Ia menggunakan pengetahuannya untuk
membuat usianya bisa berjalan selama itu, pengetahuan
yang tidak seorangpun tahu, kecuali dirinya. Perempuan
tua itu biasa dipanggil Nenek Rah, satu-satunya orang
yang tidak menikmati semua kecanggihan ini.
Ribuan tahun silam, ia dan enam kawannya
memutuskan untuk membangun peradaban baru yang
lebih canggih dan lebih baik dengan tujuan sederhana:
tidak adanya bencana alam dan wabah penyakit. Tujuan
itu semata-mata diinginkan supaya tidak ada lagi
kepunahan manusia. Tapi yang terjadi kini sangat
melampaui batas. Pengetahuan itu dimanfaatkan untuk
membuat mesin-mesin canggih yang bisa mempermudah
kehidupan, yang sialnya sampai ikut campur ke dalam
hal-hal yang seharusnya tidak dijalankan oleh mesin.
Nenek Rah jarang sekali menggunakan gelang
digital yang ia miliki, kecuali untuk membersihkan seisi
rumahnya, ia tidak kuat kalau harus melakukan
semuanya sendiri. Kalau lapar, Nenek Rah akan

351 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 352

memasak sup ayam atau memetik buah-buahan yang ia


tanam sendiri di kebun belakang. Setiap pagi dan sore ia
akan menyiram tanaman hias miliknya secara manual,
atau memberi makan kucingnya. Hidup Nenek Rah
sangat sederhana. Tetangganya sering keheranan
dengan gaya hidup Nenek Rah yang ―tradisional‖
padahal mesin-mesin canggih sudah tersedia dimanapun.
Ia tidak suka kecanggihan sudah sejak lama, sejak
fitur- fitur baru gelang digital diluncurkan –fitur
penghapus rindu, yang membuatnya lupa rasanya
merindukan. Ya, Nenek Rah lupa rasanya merindukan
seseorang.
Sekitar seribu tahun lalu, pemerintah kota
meluncurkan sebuah gelang digital ajaib. Gelang
tersebut wajib dimiliki oleh setiap penduduk kota,
gelang itu menjadi semacam kartu identitas, penduduk
yang tidak memilikinya dilarang masuk ke kota ini
bahkan kota-kota lain. Di gelang tersebut, pemerintah
memasang alat pendeteksi seperti GPS tapi ini jauh
lebih canggih karena dapat mendeteksi kegiatan apa
saja yang dilakukan oleh penduduk kota. Di awal
peluncurannya, gelang ini hanya memiliki fitur otomatis
untuk transportasi umum, tapi lama kelamaan fitur baru
diluncurkan. Mulai dari fitur kenyang otomatis,
teleportasi, no bath, cleaning service, penghilang
memori ingatan, sampai fitur penghapus rindu. Fitur itu
bisa didapatkan dengan meng-upgrade versi terbaru,
cukup membawanya ke pos teknologi yang berada di
tiap persimpangan jalan.
Ketika pemerintah kota meluncurkan gelang
tersebut, usia Nenek Rah kira-kira seribu tahun.
Sebetulnya ia tidak ingin memakai benda itu tapi apa
boleh buat, kalau ia menolak bisa- bisa ia dibuang ke
lautan. Sejak awal ia sudah tahu bahwa semua
kecanggihan ini pasti akan membutakan mata
pemerintah kota. Mereka dipilih secara sukarela oleh
penduduk melalui pemungutan suara. Nenek Rah
mengenal mereka sejak ia tidak lagi mengurus kota
karena usianya yang semakin senja. Pemerintah kota ini
berisi sekumpulan orang dengan tujuan politiknya
masing-masing, tapi tentu mereka cerdas, menutup
semua itu dengan slogan ‗Kebahagiaan adalah tujuan‘.
Manusia mana yang tidak menginginkan kebahagiaan?
Sekitar lima ratus tahun setelah itu, fitur
kenyang otomatis diluncurkan, semua restoran di kota
ini ditutup. Hal yang sama juga terjadi pada para
petani, dan pabrik-pabrik makanan. Tidak ada lagi
penduduk yang memproduksi makanan. Seratus tahun
setelahnya, Nenek Rah dibuat kaget dengan peluncuran
fitur baru gelang digital, fitur penghapus rindu.

***

353 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 354

―Rah, bagaimana kalau ini tidak berhasil?‖ wajah


Ray cemas melihat mesin-mesin bergerak yang ada di
depannya. Sementara kawan-kawannya yang lain
memonitor di berbagai titik untuk memastikan supaya
tidak ada yang keliru.
―Kalau tidak berhasil, tentu kita coba lagi. Tenang,
Ray, ini semua demi kebaikan manusia.‖ Ray selalu
mencemaskan hal ini, ia takut jika teknologi super
canggih yang ada sekarang suatu hari dimanfaatkan
oleh manusia tidak bertanggungjawab yang egois, ia
takut jika teknologi canggih ini disalahgunakan.
Mesin-mesin itu terus bekerja memunculkan bunyi
mendesing. Di tiap sudut kota terdapat mesin-mesin
besar yang dibuat untuk membangun kubah raksasa
transparan, gedung pemerintahan, pabrik-pabrik,
restoran, perumahan, sekolah, dan alat-alat
transportasi. Semua itu dilakukan untuk membangun
dunia baru, peradaban baru yang lebih baik.
―Rah, setelah semua rampung dibangun, kita akan
menikah. Aku janji.‖ ucap Ray di suatu sore saat mereka
berdua sedang melihat gedung sekolah yang hampir
selesai.
―Aku percaya padamu, Ray. Setelah semuanya
rampung, siapapun bisa menikah dan bisa hidup dengan
lebih baik. Sekarang kita harus tetap fokus ke proyek
besar ini.‖ Rah tahu bahwa tanpa berjanjipun Ray pasti
akan memenuhi perkataannya.
―Rah, Ray, setelah aku kalkulasikan semua, proyek
ini kira-kira akan selesai dalam waktu satu bulan. Waktu
yang sangat cepat bukan? Aku sungguh tidak sabar
melihat hasilnya.‖ Tiba-tiba salah satu kawan mereka
datangdengan wajah sumringah, seorang yang bertugas
untuk menganalisis proyek besar ini, Nandita.
―Apa kau selalu terlihat gembira seperti itu,
Nandita?‖ tanya Rah.
―Tentu saja, Rah. Aku selalu gembira dengan semua
hal, karena itu arti namaku.‖ jawab Nandita
bersemangat.
Perhitungan Nandita tepat, kota ini rampung
dalam waktu satu bulan. Rah dan enam kawannya
gembira bukan main, kota baru ini dibangun persis
seperti perencanaan tanpa ada kekurangan sedikitpun.
Butuh waktu cukup lama untuk beradaptasi dengan
teknologi canggih seperti ini, terutama untuk penduduk
asli pulau yang sejak dulu tidak pernah menyentuh
teknologi. Tapi seiring berjalannya waktu, semua
berhasil. Kemudian mereka membangun kota-kota baru
lainnya. Semula dua, lalu empat, selanjutnya lima puluh.
Penduduk kota banyak yang pergi keluar pulau, entah
untuk bekerja atau menikah dan hidup di sana.

***

355 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 356

Sore itu seperti biasa, Fad, anak kecil usia tujuh


tahun yang serba ingin tahu datang menemui Nenek Rah
dengan membawa sekeranjang jamur. Jamur itu ia petik
dari kebun belakang Nenek Rah, ia sangat suka jika
Nenek Rah memintanya pergi ke kebun belakang karena
di sana ia bisa melihat berbagai macam sayuran dan
buah-buahan, cantik sekali.
―Hari ini kita mau masak apa, Nek?‖ tanya Fad
dengan semangat.
―Seperti yang sudah aku katakan kemarin, kita
akan memasak sup ayam jamur.‖ Jawab Nenek Rah
sambil mengiris wortel.
―Yes, akhirnya! Aku mau memotong-motong
jamurku‖
―Kamu masih terlalu kecil untuk memotong semua
ini, Fad. Bisa-bisa bukan jamur yang kau potong, tapi
malah jarimu.‖
―Nenek lupa ya? Aku ini sudah tujuh tahun,
seminggu lalu aku menyelamatkan sayur- sayuran nenek
dari ulat. Aku sudah bisa melakukannya, aku mau
memotong jamurku!‖ Fad bersikeras bahwa ia bisa, ia
mengambil pisau dan jamur tanpa memperdulikan Nenek
Rah.
―Hati-hati, Fad.‖ Nenek Rah tahu anak kecil satu
ini tidak akan mau dilarang, apalagi untuk membantu
membuat makanan kesukaannya.
Fad, yatim-piatu usia tujuh tahun yang tanpa
sengaja bertemu Nenek Rah di taman kota. Saat itu
gelang digital milik Fad belum memiliki fitur kenyang
otomatis karena ia tidak tahu bagaimana cara
mendapatkannya, Nenek Rah melihat Fad kecil sangat
kelaparan, kasihan sekali. Sejak saat itu Fad tinggal
bersamanya, Fad suka bicara apa saja, dan membantu
memetik sayuran. Terkadang jika Nenek Rah melihat
tingkah laku Fad yang begitu bersemangat, ia teringat
dengan seseorang tapi ia tidak tahu siapa. Ia hanya
mengingat bahwa ada orang yang memiliki semangat
seperti ini, dan ia pernah bertemu.
Sesekali Fad bertanya soal gelang digital yang
mereka miliki, dan sesekali pula Nenek Rah diam bukan
karena tidak bisa menjawab tapi lebih karena tidak mau
menjawab. Hari itu ketika sedang memanen wortel di
kebun belakang, Fad bertanya soal fitur penghapus
rindu gelang digital. ―Nenek Rah, kemarin aku lihat di
televisi besar pinggir jalan kalau gelang kita bisa
menghapus ya?‖ Fad bertanya sangat antusias.
―Maksudmu apa, Fad? Aku tidak mengerti.‖
―Itu lho gelang kita katanya bisa hapus rindu-
rindu. Aku juga tidak mengerti apa maksudnya, tapi aku
ingin sekali mencobanya, sepertinya seru. Apa gelangku
bisa melakukannya, Nek?‖
Nenek Rah diam cukup lama, matanya mengarah
ke depan, tangannya berhenti mencabut wortel-wortel
yang sudah matang.
―Kenapa nenek diam? Memangnya rindu itu apa sih,
Nek?‖ tanya Fad penasaran.

357 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 358

―Tidak, gelangmu tidak bisa.‖ Nenek Rah


berbohong pada Fad.
―Kalau gelang nenek bisa?‖ Fad bertanya lagi.
―Tidak bisa! Cukup, Fad, jangan bertanya lagi!‖
nada bicara Nenek Rah sedikit meninggi, mengagetkan
Fad. Kemudian Nenek Rah pergi begitu saja
meninggalkan pekerjaannya yang belum selesai juga Fad
yang sedikit takut dan kebingungan.

***

―Selamat, Rah, Ray. Akhirnya kalian menikah, aku


senang sekali melihatnya. Menurut kalian apakah aku
bisa menikah dalam waktu dekat? Apakah gadis di kota
ini menyukaiku?‖ Nandita menyalami Rah dan Ray yang
baru saja menikah. Pernikahan mereka sederhana,
diadakan di kaki bukit dekat taman kota, mereka hanya
mengundang kerabat dekat.
―Tentu saja kau bisa, Nan –panggilan akrab
Nandita. Cobalah bicara pada gadis di kota ini, mungkin
salah satu dari mereka akan tertarik denganmu.
Kalaupun mereka tidak menyukaimu, setidaknya kau
akan tetap gembira bukan? Hahaha.‖ Ray menjawab
dengan sedikit menggoda.
―Hei, jangan meledekku. Akan kubuktikan aku bisa
menikah dalam waktu dekat ini, lihat saja.‖ Nandita
pergi meninggalkan Rah dan Ray menuju meja yang
berisi penuh makanan. Dengan tubuh kurusnya, orang-
orang mengira ia jarang makan, padahal ia sangat suka
makan. Dalam sehari ia bisa menghabiskan lima piring
nasi dan satu loyang kue.
Setelah menikah, Rah dan Ray tinggal di
perumahan khusus para penemu yang terletak di pusat
kota supaya lebih mudah untuk mengatur dan
menjangkau kota ini. Perumahan ini didesain dengan
teknologi super canggih karena lingkungannya dapat
diubah. Jika kalian ingin suasana pedesaan, cukup tekan
tombol yang ada di tiap pos pengaturan perumahan.
Kalian juga bisa merubahnya menjadi jadi suasana tepi
pantai atau hutan yang penuh dengan pohon-pohon
besar.

***

Fad menemukan Nenek Rah sedang menangis di


kamarnya ketika ia baru saja dari kamar mandi. Ia
penasaran mengapa malam-malam begini Nenek Rah
menangis, apa ada hal buruk terjadi? Ia menghampiri
Nenek Rah.
―Nenek Rah.‖ Fad berkata pelan.
Nenek Rah menoleh sambil mengelap air matanya,
―Ada apa, Fad? Mengapa kau bangun malam-malam
begini?‖
―Aku baru saja buang air. Nenek kenapa
menangis? Apa ada hal buruk yang terjadi? Apa aku
bisa membantu?‖

359 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 360

Nenek Rah tersenyum mendengarnya. Anak ini


sejak dulu selalu saja ingin membantu apapun. ―Tidak
ada apa-apa, Fad.‖
―Jangan bohong, kalau tidak ada apa-apa mana
mungkin Nenek menangis begitu? Ayolah, ceritakan
padaku.‖ Fad memaksa sambil menggoyang-goyangkan
bahu Nenek Rah.
Nenek Rah menghela napas, anak ini tidak akan
berhenti kalau keinginannya belum terpenuhi. ―Dulu aku
pernah menggunakan fitur penghapus rindu.‖
―Sungguh? Lalu apa yang terjadi? Memang fitur
itu untuk apa, Nek?‖ Fad terkejut sekaligus penasaran
mendengarnya. Ia sudah lama ingin tahu mengenai fitur
itu tapi Nenek Rah tidak pernah memberitahu.
―Fitur itu untuk menghapus kerinduan. Kau pernah
merindukan seseorang, Fad? Kau tau rasanya?‖
―Aku merindukan orang tuaku.‖ Fad berkata pelan.
―Itu bagus, Fad. Bersyukur kau masih bisa
merasakannya dan kau juga tau kemana rindu itu dituju.‖
―Apa yang terjadi padamu, Nek?‖
―Dulu aku pernah menggunakan alat itu bahkan
sejak awal peluncurannya aku ingin sekali
menggunakannya. Waktu itu aku merasa merindukan
seseorang tapi sekarang aku tidak tau siapa, sungguh
aku tidak tau bahkan hingga detik ini. Aku gunakan
fitur itu untuk menghapus rasa rinduku. Waktu aku
tekan tombol itu ada cahaya putih yang keluar dari
gelang digital lalu tiba-tiba masuk ke dalam dadaku.
Aku terkejut, aku tidak tau apa yang terjadi. Tapi
kukira cara kerjanya memang seperti itu. Ya, memang
seperti itu. Dua menit kemudian cahaya itu meredup,
keluar dari dalam dadaku. Lalu aku bingung, aku tidak
merasakan apa-apa. Sepanjang hidupku, aku terus
memikirkannya. Aku terus mencari tau siapa orang yang
aku rindukan, itu alasan kenapa usiaku bisa sepanjang
ini, aku menggunakan pengetahuan langka yang bisa
memperpanjang usia seseorang hingga ribuan tahun.
Hanya itu satu-satunya alasanku. Aku tidak ingin
keabadian, aku hanya ingin tau siapa. Kau tau betapa
menyedihkannya hal ini? Merindukan seseorang tapi kau
tidak pernah tau siapa orang itu, bahkan kau lupa
bagaimana rasanya merindukan, hidup dalam
pertanyaan-pertanyaan.‖ Nenek Rah berhenti sejenak,
ia menangis sesegukan.
―Tapi, Nek, kenapa kau tidak menggunakan fitur
penghapus memori? Itu ‗kan bisa menghapus
kesedihanmu.‖ Fad bertanya.
―Tidak, Fad. Aku tidak mau lagi menggunakan
fitur-fitur itu, aku pikir itu sudah melampaui batas.
Mesin tidak boleh ikut campur soal perasaan manusia,
itu berbahaya. Kalau aku gunakan fitur penghapus
memori, mungkin aku akan melupakan semuanya,
melupakanmu. Aku hampir menyerah waktu itu, aku
lelah. Aku selalu menangis jika mengingatnya. Aku tidak
tau persimpangan mana yang harus aku ambil. Bahkan
sekarang aku lupa bagaimana rasanya, aku lupa rasanya

361 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 362

merindukan seseorang. Sepertinya fitur itu benar-


benar menghapus semua rasa rindu yang dimiliki
manusia, fitur itu menghapus perasaan manusia, juga
menghapus memori tentang orang yang kau rindukan.
Sekarang aku merindukan kerinduan itu sendiri. Kalau
kau bingung, aku juga. Maaf, Fad. Kau tidak seharusnya
mendengar ini. Aku perempuan yang sangat
menyedihkan. Aku tidak tau lagi.‖ tangisan nenek Rah
makin deras.
Fad diam, ia bingung harus mengatakan apa.
Nenek Rah benar, itu menyedihkan walaupun Fad belum
paham betul tapi Fad bisa merasakan itu.
―Kau tau, Fad, setiap aku melihat tingkah lakumu
yang begitu bersemangat, aku selalu teringat dengan
seseorang. Sayangnya aku tidak tau siapa, aku lupa.‖
Nenek Rah melanjutkan.
―Maksudmu, Nek?‖ Fad kebingungan.
―Ya, setiap aku melihat tingkah lakumu yang begitu
semangat, ceria, selalu gembira akan hal apapun, aku
jadi ingat seseorang. Rasanya aku bisa melihat diri
seseorang dalam dirimu, aku seperti pernah bertemu
dengannya. Ini juga menyedihkan bukan? Hidupku
memang menyedihkan, Fad, makanya aku suka kalau kau
di sini. Kau selalu bisa membuatku tersenyum.‖
Mendengar ceritanya, Fad teringat kalau
tetangganya dulu sering mengatakan bahwa ia mirip
dengan ayahnya, terutama perilakunya. Ayahnya
memang dikenal selalu gembira dan bersemangat karena
itu adalah arti dari namanya.
―Nek, dulu sewaktu usiaku masih lima tahun,
tetanggaku sering bilang bahwa aku mirip sekali dengan
ayahku.‖
Nenek Rah terkejut mendengarnya. ―Ayahmu?
Siapa dia?‖
―Namanya Nandita. Ia selalu ceria dan
bersemangat karena itu memang arti namanya. Apa kau
mengenalnya, Nek?‖
Nenek Rah seperti pernah mendengar nama itu
tapi ia lupa di mana. Sungguh, semua ini sangat
mengganggunya. Berusaha mengingat-ingat peristiwa
dan nama-nama yang mungkin pernah ada di hidupnya
tapi tidak pernah berhasil. Tiba-tiba Nenek Rah
menangis lagi, Fad ikut sedih melihatnya. Tiba-tiba ia
teringat dengan kalung yang ia miliki, mungkin itu bisa
membantu. ―Nek, aku teringat sesuatu. Aku punya
kalung peninggalan ayahku, kau mau melihatnya?‖ Fad
memberikan kalung miliknya yang berbentuk bunga
Dandelion.
Nenek Rah terpesona melihatnya, kalung itu
begitu cantik. ―Dari mana kau mendapatkannya?‖
―Dulu sebelum keluarga asuhku meninggal, ia
memberikan kalung ini untukku. Katanya ini milik ayahku
dulu. Aku merasa ini bukan kalung biasa, tapi aku tidak
tau harus kuapakan.‖

363 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 364

―Sepertinya aku pernah melihat yang seperti ini.‖


Nenek Rah berusaha mengingat-ingat di mana ia pernah
melihat benda seperti ini. ―Ya, tentu saja! Fad, ayo kita
ke bukit sekarang.‖ Malam itu, mereka pergi ke bukit
dimana buku kuno misterius ditemukan. Nenek Rah
pernah melihat bentuk yang sama seperti kalung milik
Fad di bukit itu. Beberapa bulan lalu ia pergi ke sana
untuk mencari jawaban, tapi sia-sia, ia tidak
menemukan apapun.
Mereka tiba tepat saat matahari terbit, langit
pagi itu begitu indah dengan warna jinga bercampur
biru muda. Bukit itu dipenuhi bunga Dandelion dan ada
sebuah dinding kosong dengan ukiran bunga Dandelion.
―Fad, lihat ini.‖ Nenek Rah menunjuk ke arah
dinding.
―Apa itu, Nek?‖ mata Fad terbelalak melihatnya.
―Aku juga tidak tau persis itu apa, tapi lihat,
ukiran yang satu ini persis seperti kalungmu.‖
Tanpa berkata apa-apa, Fad meletakkan kalungnya
di atas ukiran itu. Pas sekali, ukiran dan kalung itu
seperti puzzle yang menyatu. Tiba-tiba dinding itu
bergetar lalu keluar sebuah hologram. Mereka
terkejut, kebingungan. Keluar suara seorang laki-laki
yang tidak asing.
Rah, ini aku, Nandita. Jika kau mendengar ini
berarti kau sudah bersama anakku. Ya, dia anakku, Rah.
Namanya Fad. Aku meminta tetanggaku untuk meletakan
hologram ini di bukit ini kalau aku meninggal. Ceritanya
rumit, aku tidak bisa menjelaskannya. Maaf kalau dia
merepotkanmu, tapi aku yakin dia anak yang baik. Dia
akan selalu membantumu dan dia anak yang ceria,
sepertiku. Aku menikah dengan Asmi. Rah, kau mungkin
lupa karena aku memiliki firasat bahwa kau akan
menggunakan fitur penghapus rindu itu makanya aku
buat hologram ini. Aku buat disini karena tempat ini
sering kau datangi dulu bersama Ray. Sebelum aku
menunjukan apa yang terjadi, kau harus menekan
tombol biru ini, fungsinya untuk mengembalikan
ingatanmu yang hilang akibat fitur itu.
Nenek Rah menekan tombol biru yang ada di
bawah hologram. Cahaya biru keluar dari tombol itu dan
masuk ke dadanya. Tiba-tiba Nenek Rah ingat suara itu,
itu suara Nandita, sahabatnya.
Rah, inilah yang terjadi dulu.

***

Pernikahan bahagia mereka hanya berlangsung


lima tahun karena kabar buruk mendatangi kota
Dandelion. Salah satu dari tujuh pendiri kota ini
berkhianat. Ia adalah Amala, dulu ia bertugas untuk
memonitor pembangunan di pusat kota. Ia menambil alih
kota dengan mencuri mesin pengatur kota yang
bentuknya mirip seperti laptop. Rah, Ray, Nandita, dan
kedua kawan lainnya segera mendatangi gedung pusat
kota. Di sana para penjaga banyak yang tewas, sisanya

365 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 366

mengalami luka-luka. Gedung itu hancur berantakan,


Amala benar-benar serius, ia tidak segan-segan
menggunakan senjata. Niskala, yang bertugas
mengontrol kota mengalami luka di bagian tangan dan
perutnya. Ambulans segera dipanggil ke tempat itu,
juga pemadam kebakaran.
―Apa yang harus kita lakukan sekarang? Amala
sudah mengambil alih control kota, ia bisa saja
melakukan apapun.‖ Asmi, yang dulu bertugas
memonitor pembangunan transportasi bertanya,
wajahnya cemas sekali. Bahkan wajah Nandita yang
biasanya selalu ceria kini hanya diam. Ia tidak
menyangka, kawannya bisa melakukan hal itu
―Ayo kita lihat rekaman CCTV gedung ini.‖ ajak
Rah. Mereka mendatangi ruang yang berada di pojok
gedung itu, beruntung ruang itu tidak hancur. Dari
rekaman yang ada, Amala datang menggunakan
mobilnya. Tanpa basa-basi ia langsung menghancurkan
pintu gedung yang dijaga oleh enam orang, pintu itu
langsung hancur. Ketika sudah berada di ruang pusat
control, ia meminta alat itu pada Niskala tapi tentu
Niskala menolak. Ia langsung menembak Niskala, tidak
ada perlawanan apapun. Alarm gedung itu berbunyi
nyaring.
Melihat rekaman itu, Rah segera mengerahkan
sepuluh polisi kota untuk mencari Amala ke rumahnya
tapi nihil, tidak diketahui kemana Amala pergi, ia
melesat begitu cepat. Mereka bingung bukan kepalang.
Pertama, kemana Amala pergi dan kedua, untuk apa ia
mencuri alat tersebut. Tiba-tiba sebuah pesan masuk
ke handphone milik Ray. Sebuah pesan mengejutkan
dari Amala.
Kalian menginginkan alat ini? Temui aku di padang
rumput biru. Hanya kau dan Rah yang akan datang.-
Amala
Mereka terkejut. Hanya Rah dan Ray, mengapa?
―Kalian tidak boleh pergi berdua, kami harus ikut.‖
ucap Nandita dengan wajah yang makin cemas.
―Benar, Amala bisa saja melukai kalian berdua
atau mungkin lebih parah.‖ Sambung Asmi.
―Tentu, kalian harus ikut. Aku takut jika terjadi
hal-hal yang tidak diinginkan.‖ jawab Rah. ―Tapi kita
harus menyusun strategi untuk menangkap Amala, dan
kalian tidak boleh terlihat. Hanya aku dan Ray.‖
―Mungkin kita bisa menggunakan mode menghilang
yang sudah disiapkan untuk keadaan darurat.‖ ucap
Dikta yang sejak tadi mengutak-atik lemari di pojok
ruangan, ternyata ia mencari buku panduan kota itu.
Tentu saja, mode menghilang memang sengaja dibuat
untuk keadaan darurat. Mode itu bisa diaktifkan dengan
memakai pin berbentuk bunga Dandelion.
Setelah semuanya siap, mereka berangkat ke
padang rumput biru. Di sana Amala sudah menunggu
dengan alat pengatur kota yang ada di tangan kirinya,
sementara tangan kanannya memegang senjata.
―Amala.‖ ucap Rah dengan berusaha tetap tenang.

367 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 368

―Hai, Rah, Ray. Ternyata kalian punya keberanian


yang besar.‖ Amala menyapa dengan wajah sinis.
―Amala, bisa kau kembalikan alat itu ke
tempatnya?‖ Ray membujuk Amala.
―Tentu saja tidak, Bodoh. Untuk apa aku
mengembalikan ini?‖
―Tapi kenapa kau melakukan ini? Kenapa kau tega
mengkhianati kami?‖
―Aku akan melakukan apapun untuk keinginanku,
bahkan mengkhianati kalian, itu hal yang mudah. Aku
ingin kekuasaan, aku ingin kota ini berada dalam
genggamanku.‖
Nandita yang sejak tadi bersembunyi di semak-
semak bersama Asmi dan Dikta melepaskan tembakan
ke arah Amala. Sontak Amala kaget melihatnya.
―Berani-beraninya kalian membohongiku! Kalian
membawa mereka.‖ Amala marah lalu melepaskan
tembakan ke arah semak-semak. Terjadi pertarungan
di padang rumput biru.
―Semuanya berhenti!‖ Rah berteriak. Semua
berhenti saling menembak. ―Amala, kau tidak perlu
melakukan ini, kita bisa bicarakan baik-baik tapi jangan
bawa alat itu. Aku mohon, Amala.‖
―Tidak, aku tidak akan memberikan ini!‖ Amala
mengacungkan senjatanya ke arah Rah dan Ray. Tiba-
tiba Dikta melepaskan tembakan lagi ke arah Amala dan
tepat mengenai alat pengatur kota yang dipegangnya.
Alat itu tertarik ke arah Dikta, dia menembakan
magnet. Kemudian Nandita melepaskan tembakan lagi
dan mengenai tangan Amala, ia berada di posisi
terdesak. Amala segera pergi berlari meninggalkan
padang rumput biru sambil terus menembak. Tanpa
sengaja Amala menembak tepat ke arah Ray, seketika
Ray menghilang diikuti Amala yang berteleportasi.
―RAAYYY!!‖ Rah berteriak sangat kencang
memanggil-manggil nama Ray. Nandita dan yang lainnya
berusaha menenangkan tapi sia-sia, Rah tetap menangis
histeris.
―Dikta, kemana Ray dan Amala pergi?‖ tanya Asmi.
―Aku tidak tahu. Amala menembakan senjata
teleportasi, mungkin Ray ia bawa ke suatu tempat.‖
―Aku harus mencarinya!‖ Rah berteriak.
―Tidak, Rah. Kau tidak boleh pergi, kita tidak tahu
ia pergi kemana.‖ kata Nandita
―Aku harus mencarinya! Ia suamiku, aku harus
menemukannya!‖ Rah berontak. Dikta langsung
menembakan obat bius ke arah Rah, seketika Rah
pingsan dan dibawa ke tempat yang aman.
Rah pingsan selama dua hari. Matanya mengerjap-
ngerjap berusaha melihat sekitar, di sampingnya ada
Asmi dan Nandita. ―Rah, kau sudah siuman?‖ tanya
Asmi.
―Aku dimana?‖ tanya Rah.
―Kau berada di rumah Asmi, Rah.‖ jawab Nandita.
―Dimana Ray? Dimana suamiku?‖ Rah langsung berteriak
begitu mengingat Ray yang hilang bersama Amala. Ia

369 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 370

bangun dan berlari meninggalkan Nandita dan Asmi


yang berusaha menahannya tapi tidak bisa. Rah pergi
begitu saja, ia berteleportasi. Nandita dan Asmi panik,
ia segera menghubungi Dikta yang berada di rumah
sakit menemani Niskala. Mereka berusaha menemukan
Rah dengan GPS kota tapi tidak ditemukan, tidak ada
yang tahu kemana Rah pergi. Hari itu Rah menghilang,
kawan-kawannya tidak bisa melakukan apapun.

***

Nenek Rah menangis melihat tayangan di


hologram itu. Ia memeluk Fad erat.

Maaf aku tidak bisa menemukan Ray. Lima


tahun setelah kau pergi, aku mendapat kabar bahwa
Amala meninggal. Aku ke tempat itu tapi Ray tidak ada
disana. Maaf, Rah. Aku pikir Ray juga sudah tiada. Rah,
karena ingatanmu sudah kembali, aku tau kau pasti
sangat merindukannya. Terimakasih sudah menjaga Fad,
Rah. Aku sungguh merindukannya, aku juga
merindukanmu.

Hologram itu hilang, menyisakan suara kicauan


burung dan tangisan mereka berdua. Nenek Rah bingung
apakah ia harus bahagia karena sudah menemukan
jawaban atau harus sedih karena selama ini orang yang
ia rindukan sudah tiada. Sungguh, ini sangat
menyakitkan. Nenek Rah kembali menangis sampai
suaranya tidak terdengar. Ia membatin.

Ray, maaf aku melupakanmu. Maaf aku tidak


merindukanmu. Tapi sekarang, Ray, aku tau rasanya.
Aku tau rasanya merindukanmu, ini menyakitkan,
sungguh. Ray, aku merindukanmu.

371 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 372
Surat Berwarna Merah Muda
Karya : Indah Kurnianingsih

Suara Adzan dzuhur berkumandang di surau.

Dengan cepat, Arya beranjak dari kamarnya menuju ke


kamar mandi untuk membersihkan diri. Tak lama Ia
menuju ke kamarnya, seperti biasa, ia menyiapkan
sendiri baju koko bakal baju muslimnya saat sholat.
Segera Ia membuka lemari dan mengambil pakaian
muslim pria berwarna coklat yang istrinya beli ketika
lebaran tahun kemarin. Agak lama ia menemukan baju
yang ia tuju. Begitu terkejutnya Arya saat menemukan
sebuah surat yang berwarna amplop merah muda yang
tersimpan rapi disebuah map yang ditumpuk dengan
lipatan baju miliknya. Saking terkejutnya sampai suat
beramplop merah muda itu terjatuh dari tangannya.

***

Senyum sumringah itu sekarang benar-benar


menghias wajah lelaki setengah baya, dengan kulit
kecoklatan tanda cinta dari sang surya kala ia bekerja.
Senyumnya mengembang tanda kebahagiaan yang
sangat, seperti baru saja memenangkan sesuatu.
Langkahnya mantap menuju ke rumah kecil yang ia
tinggalkan untuk beberapa bulan yang lalu. Semuanya

373 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 374

masih sama. Tak ada tanda sedikitpun yang menunjukkan


perubahan. Begitupun juga dengan dirinya, rindu yang ia
simpan di hati seakan membuncah terbayar sudah
dengan hadirnya dirinya disini, di kampung halaman
tempat kelahirannya. Sesaat ia berhenti, menatap ke
setiap sudut halaman rumahnya, masih tetap sama,
sedikit berantakan karena mainan anak anak yang
tercecer kesana kemari. Ini tandanya putri kecilnya
baru saja bermain di sekitar sini, begitulah kebiasaan si
kecil Fathiya.
―Hei, dimana bajuuu thiya maaah!!!‖ Teriak Fathiya
putri bungsunya. Gadis cilik berusia 3 tahun itu
mempunyai pelafalan yang cukup bagus untuk usianya.
Bahkan dibandingkan dengan kakaknya Ardan yang
berusia 7 tahun. Untuk bisa berbicara selancar ini,
kakaknya dulu bahkan harus kena therapy nya emak
supaya bisa lancar jaya berbicara. Arya ingat dulu
betapa emaknya sangat giat menerapi Ardan dengan
cara mengerokkan emas di lidahnya pada hari jumat,
begitu nasehat yang diterimanya dari emak buyut nya.
Entah cara itu termasuk mitos ataukah fakta, yang
jelas ibundanya tetap kekeh bahwa cara tersebut
ampuh karena warisan orang tuanya dulu. Pun begitu
ternyata tak selang berapa lama anaknya Ardan, bisa
berbicara secara perlahan.
Suara Fathiya yang cempreng masih terdengar
memekakkan telinga. Tetapi sangat merdu didengar
oleh Ary,a karena suara itu juga yang sangat dirinduinya
selama beberapa bulan ini. Arya sendiri sampai
terkekeh-kekeh mendengar celotehan putri kecilnya.
Tak berapa lama, anaknya kemudian menuju ke area
depan rumahnya, tepat dimana Arya berada sekarang.
Dengan sedikit melongo Fathiya melihat sosok tak asing
di depannya. Sejurus kemudian teriakkannya
memekakkan kembali telinga
―Bapaaaaaaaak....bu...bapak pulang bu...sini mak!!!‖
Teriak Fathiya membahana, membuat seisi rumah kaget
bukan kepalang. Antara percaya dan tidak. Bagaimana
tidak? Beberapa bulan ini Arya benar-benar tak bisa
pulang, karena tidak punya pekerjaan sekaligus karena
corona. Bahkan satu bulan kemarin ia sama sekali tak
ada kabar beritanya. Emak sampai berkacak pinggang
mendengar teriakan Fathiya, heran,
―Jangan ngawur ta nduk, udah sering kamu
merengek begitu...kapan bapak pulang...kapan ya
bu.....sabar to nduk cah ayu,‖ kata Emak yang juga tak
percaya akan kedatangan putra semata wayangnya itu.
Setengah membuktikan, Nida berlari keluar sambil
mencari Fathiya. Sungguh tak percaya dengan apa yang
dilihatnya, suaminya yang selama ini tak berkabar,
sekarang jelas berada di hadapannya, dengan keadaan
yang sama, ketika dulu ia pergi. Sungguh tak terkira
bahagianya ia, sampai tak mampu berkata apa apa.
Lidahnya kelu, kaku tapi bahagia sampai sampai
badannya setengah menggigil sangking tak percaya.

375 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 376

―Hei Nida..ini aku Arya, aku pulang,


alhamdulillah...‖ Arya mengguncangkan badan isterinya
yang masih agak sedikit shock.
― Hei aku pulang, disuruh masuk ta...suami pulang
kok dibiarin aja,‖ godanya sambil menggendong Fathiya.
Yang digendong senang bukan kepalang, bernyanyi
nyanyi kecil sambil memutar mutarkan tangannya tanda
senang. Saking asyiknya berjoged tangan, sampai ia tak
melihat gerakan tangannya menuju ke tembok depan
rumah. Seketika berbarengan Arya dan Nida menjerit
tanda ingin mengingatkan, tapi sayang terlambat,
tangan kecilnya bagian kepalan mengenai tembok depan
rumah. Tentu saja Fathiya kaget dan menjerit
kesakitan ―Aaargh...‖
Arya dan Nida langsung memeriksa tangan mungil
Fathiya, untung saja tidak luka ataupun lecet.
Teriakannya hanya karena ia kaget saja. Mendadak dua
sejoli setengah baya tersebut tertawa terbahak bahak
melihat tingkah dan wajah aneh putrinya. Yang
dilihat hanya diam saja dan merengut. Kejadian seperti
ini bukan hanya kali ini saja terjadi, tapi seringkali
dilakukan Fathiya. Ada ada saja kejadian yang
membuncahkan tawa keluarganya karena tingkah
lucunya.
Mendengar suara ribut diluar, emak makin
penasaran. Ia lantas segera menuju ke sumber suara
didepan rumahnya. Tak berapa lama, mucul juga si
Ardan yang terbangun akibat suara gaduh dari
kejadian tadi.
―Bapaak!!!‖ Seru Ardan
‖Bapak, Ardan kangen sekali. Kenapa bapak baru
pulang‖. Emak yang sedari tadi mengikuti Ardan
tersenyum riang.
―Nanti tho le kasihan bapakmu nembe mulih iku...‖
kata emak.
―Ya mak kan kangen mak,‖ Kata Ardan menolak
ringan. Ia berhamburan menuju sang bapak, sejurus
kemudian memeluk dan cerewet bercerita banyak
kegiatannya selama ini dirumah.
―Bapak tahu ndak? Sekarang aku libur lama lo
pak...kata bu guru ga boleh sekolah dulu..belajarnya di
rumah karena lagi ada corona,,,‖ terang Ardan dengan
nada yang naik turun dan dagu yang manggut-manggut.
Arya pun mendengarkannya dengan seksama. Tak mau
kalah Fathiya menimpali
―Sekolahnya dede juga pak...katanya jangan masuk
dulu..belajar dirumah,,, ya udah Fatihya nurut aja sama
bu Guru‖ cerocos putri bungsunya. Mereka tertawa
mendengar celoteh Fathiya yang cadelnya sering kumat
karena masih usia sangat belia itu.
―Sudah...sudah...yuk pada masuk semua...biar
bapak juga istirahat dulu...kasihan kan baru pulang‖
Nida mengingatkan kedua buah hatinya. Setelah itu
dengan sigap ia menuju dapur untuk membuat teh
hangat kesukaan suaminya. Dari dapur ia bisa

377 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 378

mendengar suaminya bercerita kepada emak dan buah


hatinya. Renyah terdengar seperti biasa diikuti celoteh
dan ledakan tawa. Barulah ia tahu kalau suaminya telah
menjual hapenya. Pantas saja sebulanan ini ia sama
sekali tak bisa menghubungi bahkan hanya untuk
mendengar kabar suaminya.

***

Arya melambaikan tangan kepada Isterinya Nida


yang telah dinikahi selama sepuluh tahun ini. Nida yang
berumur lebih muda darinya tetapi sangat dewasa dan
pengertian kepada nya dan juga emaknya. Untuk itulah
ia pun sangat bersyukur mempunyai isteri yang sangat
memahami keadannya. Begitupun juga dengan Nida.
Arya yang merupakan teman dari kakaknya, memang
sangat sayang kepada keluarga terutama emaknya.
Maka dengan mantap kakak Nida mengiyakan ketika
sahabat sekolahnya sekaligus teman dikampung
mengajukan diri untuk melamar adik semata wayangnya
itu. Toh rumahnya juga masih satu kampung begitu
pikirnya. Pastinya tidak susah jika ingin bertemu.
Maklum, selama ini yang mengurusi semua urusan rumah
adalah Nida dari beberes rumah hingga urusan dapur.
Sepuluh menit berlalu bis pun telah berganti
kecepatan sedang mengikuti arah yang dituju. Arya
memilih bangku dibagian depan dekat dengan sopir
supaya leluasa melihat pemandangan diluar. Biar tidak
mengantuk pikirnya. Tetapi tetap saja ketika bis telah
melaju dengan kecepatan diatas rata rata, ia telah
sukses terlelap dalam mimpinya. Tentu saja karena
semalam ia begadang bersama isterinya. Setelah
menyelesaikan sholat dan sunah, ia kemudian
membersihkan diri dan berbaring di dipan kamarnya.
Sementara Nida Isterinya setelah membersihkan diri,
ia bersiap mengemasi kebutuhan suaminya yang mungkin
diperlukan sepanjang perjalanan maupun ketika sudah
sampai disana. Seperti biasa, ia telaten mendaftar dan
mengecek barang bawaan suaminya sehingga esok ia
bisa memastikan suaminya pergi dengan membawa
perbekalan yang diperlukannya. Selesai bekemas ia pun
mengikuti suaminya merebahkan diri di dipan kamarnya.
Momen ini juga yang biasanya sering ditunggu
keduanya saat dimana bisa becengkerama dengan
leluasa tentang apa saja. Nida yang usianya terpaut 6
tahun lebih muda biasanya memilih menunggu untuk
ditanya.
―Alhamdulillah ya bu, kita harus selalu bersyukur
karena kita masih diberi kecukupan dan rezeki oleh
Alloh Swt.‖ Ia menarik nafas syukurnya.
―Selain itu juga kita dikaruniai sepasang anak yang
lucu lucu, dan emak pun masih dalam keadaan sehat wal
afiat‖ lanjutnya menerangkan.
―Iya pak, ibu juga selalu bersyukur dan berusaha
sebaik yang ibu bisa‖ kata Nida.

379 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 380

―Bapak walaupun hanya pulang sebulan sekali,


setidaknya masih agak lama dirumah dan bisa melihat
ibu, emak, juga anak-anak sudah sangat senang sekali.
Maaf ya bu jika uang yang bapak kirim hanya cukup saja
untuk kebutuhan kita dirumah‖ kata Ardan menghela
nafas panjang.
―Iya gimana lagi pak...ya memang rezeki kita
segitu, insya Alloh kalau bapak berikhtiar terus, insya
Alloh ya pak barangkali ada tambahan lagi,,‖ kata Nida
dengan senyum tersungging.
―Apakah menurut ibu, lebih baik bapak bekerja di
kampung saja bu?‖ ‖Bekerja apa gitu nanti kita fikirkan
lagi‖ kata Ardan dengan sedikit berharap.
―Ya terserah bapak saja, ibu manut wes, yang
penting bapak nyaman bekerjanya‖ kata Nida.
―Kan daripada bolak balik juga memakan biaya ya
bu‖ Arya menimbang nimbang.
―Ya sudah, nanti sholat istikharah saja gimana
baiknya, biar dapat petunjuk, kalau untuk sekarang,
mending bapak istirahat dulu, buat persiapan besok
pak‖ saran Nida perhatian.
―Ealah ga kerasa sudah jam dua belas lewat
sepuluh bu...haduh..‖ Arya menepuk jidatnya
―Lo ya to kan pak ya sudah sekarang istirahat,
emangnya bapak nggak capek apa seharian tadi‖ Nida
menyudahi pembicaraan malam itu.
―Ya capeklah bu, tapi cuma memanfaatkan momen
saja. Kan baru sebulan lagi kita ketemunya bu, hehehe‖,
timpal Arya.
―Yo wes sekarang tidur yo pak‖ Nida
memberengut.
Sekitar jam setengah empat hari berikutnya,
Nida terbangun dengan setengah terantuk, hari hari
biasa ia jarang tidur selarut tadi malam. Dengan
mengumpulkan sedikit tenaga, ia menuju kamar mandi
untuk membersihkan diri, kemudian lanjut mengurus
dapur dan tak lupa ia sempatkan sholat tahajud, dengn
niat agar kepergian suaminya senantiasa dalam
lindungan dan rahmat Alloh. Pukul empat kemudian,
Arya menyusul untuk berbenah, sholat dan juga
mengecek barang bawaan. Dengan sedikit memakan
makanan yang telah dimasak Nida, Arya mantap
meninggalkan kampung halamannya menuju kota tempat
ia bekerja.
Arya seorang karyawan di sebuah konveksi, jika
permintaan baju sedang tinggi, seringkali ia lembur
untuk memenuhi target yang diajukan oleh pemilik
konveksi. Tentunya dengan perjanjian tambahan
imbalan bagi yang mampu bekerja dengan baik. Arya
adalah salah satu karyawan terbaik di tempat ia
bekerja. Karena keluarganya berada di kampung
halaman, secara otomatis fikirannya pun bisa fokus
untuk menyelesaikan tugas yang diberikan kepadanya.
Dengan segenap hati ia fokus untuk bekerja. Tak

381 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 382

pernah sedikitpun ia melenceng dan melanggar


kesetiaan perkawinannya. Ia termasuk laki laki yang
soleh, sangat taat beragama. Bahkan tak jarang ia
sering berpuasa sunah sesuai tuntunan agama. Dengan
begitu ia mampu mengendalikan segala nafsunya.
Bahkan tak jarang ia jadi imam di mushola dimana ia
bekerja. Bacaan surahnya fasih sehingga seringkali ia
ditugasi sebagai imam sholat berjamaah. Rekan
kerjanya pun nyaman bekerja satu tim dengannya.
Itu dulu, ketika penjualan di konveksi stabil
seperti biasanya. Tetapi sekarang saat ada wabah
menyapa, keadaan tak lagi sama. Sama mungkin
keadaannya seperti yang diberitakan di televisi. Hampir
semua sektor terpuruk karena wabah ini, bahkan bukan
hanya di Indonesia tapi juga semua negara di dunia.
Begitulah yang Arya pahami dari pemberitaan kemarin.
Yang ia tahu sudah banyak korban yang meninggal
akibat wabah ini. Covid 19 namanya. Penyakit yang
menyerang sistem penafasan manusia yang
mengakibatkan gagal nafas sehingga akhirnya korban
sesak nafas dan meninggal. Karena terjadi nya pada
bulan Desember tahun 2019, maka para ahli
menamakannya sebagai virus Covid 19. Akibat dari virus
ini pula maka diterapkan kebijaksaan yang dilakukan
seperti sekarang yaitu karantina wilayah. Konon
kabarnya virus ini berasal dari Wuhan, China. Itu yang
ia tahu.
Dengan menimbang keadaan yan sedang terpuruk
dan juga permintaan yang menurun drastis, maka
pemilik konveksi memilih menutup sementara
konveksinya untuk waktu yang tidak ditentukan.
Walaupun dengan berat hati, karena pemilik konveksi
sudah sangat dekat dengan Arya dan karyawan lainnya.
Pemilik konveksi dengan sangat terpaksa merumahkan
semua karyawan dengan pesangon. Hal ini tentu sangat
tidak mudah dilakukan, akan tetapi mengingat penjualan
yang menurun drastis dan juga pertimbangan lainnya,
sang pemilik memilih merumahkan semua karyawan yang
bekerja di konveksinya.
Bagi Arya dan semua rekannya, tentu hal ini
sangat menyedihkan, karena mereka harus kehilangan
pekerjaan. Bahkan sebagian besar rekannya memilih
pulang ke kampung halaman dan mencari kerja disana.
Arya masih tetap kukuh untuk tinggal di Jakarta.
Hatinya bimbang, bagaimana ia bisa pulang jika nanti
dirumah tak punya pekerjaan. Darimana ia bisa
mendapatkan uang dikampungnya. Selama sebulan lebih
Arya masih tetap tinggal di kota pasca PHK. Uang
pesangon masih cukup untuk biaya makan saban hari
karena ia termasuk orang yang irit dan juga sering
berpuasa sunah. Ini memang sudah menjadi
kebiasaannya. Ia lebih suka menabung dari hasil
kerjanya dan ia kirimkan kepada keluarganya, daripada
harus boros hanya untuk makan.

383 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 384

Keluarga Arya di kampung sudah mengetahui hal


ini. Isterinya sebetulnya sangat terpukul. Tetapi apalah
daya, karena hal ini bukan hanya terjadi pada suaminya
dan rekan kerjanya di konveksi. Beberapa perusahaan
juga melakukan perampingan dan memilih merumahkan
sebagian karyawannya. Begitu juga dengan beberapa
usaha swasta lainnya. Nida sebetulnya sedih karena ini
berarti suaminya mulai tidak ada pemasukan. Untung
saja ia termasuk perempuan yang suka berhemat.
Lagipula di kampung ia terkenal sebagai pembuat
panganan yang lezat. Jadi, sedikit banyak usahanya
membantu perekonomian keluarga. Disamping itu,tentu
saja, ia sedikit-sedikit menyisihkan dari uang hasil
pemberian suaminya setiap bulan. Nida meminta
suaminya untuk pulang kampung saja seperti rekan
lainnya. Urusan pekerjaan nanti bisa dipikirkan jika
sudah dikampung, begitu katanya tempo hari saat
menelpon Arya. Yang dituju hanya menghela nafas
pasrah, tetapi meminta waktu barangkali saja ia bisa
mencari pekerjaan lain dikota.
Semenjak di PHK Arya hanya bekerja sesekali
saja. Terkadang ia dipanggil untuk membantu reparasi
di rumah rekannya sewaktu di konveksi. Walaupun tak
terlalu jago, Arya sering menerima service peralatan
rumah tangga saat dulu sebelum bekerja di konveksi.
Jadi sedikit sedikit mampulah ia barang hanya
membetulkan setrika yang kabelnya putus, atau
pelanggan yang minta dibuatkan stop kontak. Dari hasil
inilah ia mampu menyambung hidup bulan berikutnya.
Tak tahulah kedepannya bagaimana, begitu pikirnya.
Yang jelas sebagaimana kepala keluarga, ia selalu
berusaha mencari tambahan pekerjaan agar uang yang
ia kirim mampu mencukupi kebutuhan keluarganya. Arya
kemarin sempat ngobrol dengan si sulung Ardan di
telpon. Putra sulungnya itu bercerita panjang lebar
bahwa sekarang ia sudah libur. Kata bu Guru disuruh
belajar dirumah, makanya Ardan juga tak berani main
jauh jauh dari rumah. Si jago ngunyah ini memohon
mohon lucu supaya bapaknya pulang, katanya biar kaya
si Jehan tetangganya yang ayahnya pulang dan bisa
bermain dengan Jehan saban hari.
―Pak...bapak pulang ya... bisa ya..‖ kata Ardan.
―Temannya Ardan namanya Jehan, bapaknya sudah
pulang ga berangkat lagi pak. Saban hari si Jehan main
sama bapaknya dirumah. Ardan juga pengin main sama
bapak loh ya kaya Jehan‖ pinta sulung mengiba.
―Ya doakan saja bapak ya nak, supaya bisa pulang,
kan bapak kerja juga buat Ardan sama Fathiya juga ibu
dan emak dirumah...‖
―Jadi Ardan ga boleh rewel, kudu bantu ibu sama
emak jagain Fathiya dirumah ya...‖ Arya mencoba
memelas kepada buah hati yang sanagat disayanginya.
Suara ketukan pintu membuyarkan lamunan Arya
tentang buah hati yang sedang dirindukannya. Ada
sebulir bening di sudut matanya yang menjadi bukti
betapa ia memendam rasa kangen kepada keluarganya.

385 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 386

Sudah dua bulan sejak peristiwa itu ia tidak bisa


pulang. Uang untuk ongkos pulang ia tabung saja untuk
dikirim kerumah. Begitu pikirnya. Dengan langkah
tertatih, ia menuju pintu rumahnya. Betapa terkejutnya
ia saat ada beberapa orang yang berpakaian layaknya
astronot memasuki rumahnya.
―Ada apa ya pak?‖ Tanya Arya sopan
―Maaf ya pak, begini, kami dari tenaga medis
Rumah Sakit Harapan Hati. Mau memberitahukan hasil
tes kemarin, bapak ikut tes kan ya?Tes masal kemarin
yang bernama Rapid Test ?‖ Tanya seorang perawat
dengan nada halus.
―Iya kenapa pak?‖
―Kemarin hasil testnya positif apakah setelah
itu bapak sudah mengikuti tes lanjutan berupa swab
tes?‖ lanjut bapak tersebut.
―Iya pak sudah, tapi belum ada hasilnya ― jawab
Arya.
―Begini bapak kami dari Rumah sakit, mohon izin
memberitahukan, bahwa hasilnya positif, dan oleh
karena itu, bapak diminta ikut dengan kami untuk
dirawat,,‖ jelas bapak yang sepertinya berprofesi
sebagai perawat itu.
Dengan pasrah Arya mengikuti tim yang
menjemputnya untuk kemudian dirawat dirumah sakit.
Tanpa perlawanan apapun, dengan disaksikan warga, ia
dijemput menuju ke mobil yang disediakan. Betapa
terkejutnya ia, ternyata ada beberapa tetangganya
yang juga dijemput bersamanya. Di dalam mobil mereka
saling menguatkan. Intinya, semuanya pasrah dan
memilih untuk mengikuti peraturan yang ada. Padahal
sebelumnya Arya mengaku tak mempunyai keluhan apa
apa. Pun begitu dengan beberapa tetangga sekaligus
rekan kerjanya dulu. Mereka pasrah untuk mengikuti
karantina dan mematuhi semua yang diinstruksikan.
Kamar-kamar yang berjejer ini rapi sekali seperti
tidak berpenghuni, lengang tanpa terlihat orang berlalu
lalang. Dikamar-kamar inilah Arya dan rekan rekannya
mengikuti isolasi selama kurang lebih 14 hari. Tentu
saja disini mereka diminta untuk tinggal tiap kamar dan
menjalani perawatannya sendiri. Sepi sekali dikamar
yang hanya memuat satu tempat tidur ini. Tidak ada
televisi, hanya ada satu kamar mandi dan satu ranjang
pasien. Sebelum masuk ke ruang perawatan, sebelumnya
perawat mendata dan meminta KTP dan kartu BPJS
mereka. BPJS? Ya untung saja sebulan sebelum
diberhentikan, Arya sekeluarga telah membuat kartu
BPJS. Isteri nyalah yang mendesaknya untuk membuat
kartu kesehatan itu. Lumayan, kata isterinya, emak kan
sering bolak balik puskesmas, begitu ia beralasan. Dan
sekarang kartu tersebut benar benar bermanfaat
baginya.
Hari ini ia benar-benar jenuh. Sudah satu minggu
ia berada di kamar ini. Ia yang sebelumnya termasuk
orang yang aktif, jarang berdiam diri dan lebih suka
bekerja kini harus mendekam bagai seorang yang

387 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 388

diputus disel. Hanya sholat dan mengaji yang bisa


menjadi hiburan baginya. Bahkan ia sama sekali tidak
memberitahu isterinya, bahwa ia sekarang berada di
rumah sakit dan tengah dirawat. Khawatir isterinya
jadi panik dan malah jadi kacau. Ia sendiri tidak
mengalami gejala apapun hanya batuk ringan dan sedikit
pilek. Tapi sungguh, berada di kamar itu bagaikan orang
yang tanpa daya. Hanya perawat dan petugas kesehatan
yang diijinkan memasuki kamar untuk mengecek kondisi
setiap pasien dalam perawatan. Jenuh dan stress
itulah yang ia rasakan. Seringkali isterinya menelepon
dan sesering itu pula ia menolak panggilan dari
isterinya. Chat dan gambar yang dikirimkan oleh
isterinya pun sama sekali tidak dibukanya. Ia hanya
khawatir jika mulutnya keceplosan bercerita perihal
keadaannya sekarang.
Perawat terlihat memasuki kamarnya. Seperti
biasa suhu badan dan juga pemeriksaan tensi darah
dilakukan. Hasilnya normal. Perawat memberikan sebuah
mangkok kecil tempat obat bagi keluhan Arya. Vitamin
begitu kata sang perawat. Dengan cepat ia bertanya
―Pak kapan saya diijinkan pulang ya?‖ pinta Arya
memelas.
―Ohya saya lupa, besok bapak harus tes swab lagi
ya untuk mengecek apakah masih ada virus dalam tubuh
bapak?‖ kata si perawat sopan.
―Baik pak, semoga segera negatif hasilnya‖, harap
Arya cemas.
―Berdoa ya pak semoga tidak ada halangan dan
hasilnya negatif. Toh selama ini juga alhamdulillah
penyakit penyerta bapak dan keluhannya sekarang tidak
terlalu berat. Tetapi tetap tidak boleh menyepelekan ya
pak‖ terang perawat kepada Arya.
Dua minggu setelah itu keluarlah hasil tes swab
Arya untuk yang kedua kalinya. Alhamdulillah sekarang
ia bisa kembali ke kontrakannya. Tak henti-hentinya ia
berucap syukur saat perawat mengumumkan hasil test.
Seketika itu juga ia langsung bersujud sebagai tanda
syukurnya. Berulangkali diucapkannya terimakasih
kepada perawat yang selama ini telah bersabar
merawatnya sampai sembuh seperti sedia kala.
―Jangan lupa ya pak tetap memakasi masker,
terus juga cuci tangan pada saatnya. Semoga selalu
sehat dan senantiasa dalam lindungan Alloh ya pak‖,
kata perawat memberi pesan.
―Alhamdulillah terimakasih sekali pak, saya sudah
dirawat dengan baik di sini, terimakasih atas kebaikan
bapak dan ibu perawat, semoga selalu dalam lindungan
Alloh ya pak, Aamiin. Hanya Alloh yang bisa membalas
kebaikan bapak ibu di sini‖ pamit Arya ketika
meninggalkan rumah sakit menuju kontrakannya.

***

389 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 390

Di kontrakan, ia mantap untuk pulang ke kampung


saja. Apalagi ia baru saja dinyatakan negatif dan
sembuh dari Covid 19. Segera ia berkemas dan pamit
kepada pemilik kontrakan. Malam itu juga setelah tiga
minggu dirawat ia pulang menuju kampung halamannya.
Sungguh bersyukur ia mengingat sekarang telah
berada dalam perjalanan menuju kampung tercintanya.
Uang dalam kantongnya sudah sanagt menipis, bahkan
bisa dikatakan ludes. Tabungan dari sisa uang makan
pun sudah digunakan semuanya. Walhasil, ia dengan
terpaksa menjual hape android kesayangannnya untuk
modal pulang kampung. Dengan berbekal uang tersebut
ia membeli makan malam sekaligus tiket untuk
kepulangannya malam ini. Dalam hati ia sangat bingung,
sedih, entah bercampur aduk menjadi satu. Antara
senang tetapi juga sedih. Apalagi sudah sebulan lebih
sejak terakhir ia tak memberi kabar apapun kerumah.
Isterinya pasti sangat amat khawatir dirumah. Entah
bagaimana isterinya selama ini menjalani waktu tanpa
kabar dari dirinya.

***

Sebuah amplop berwarna pink berada di dalam


map diantara tumpukan baju di lemari miliknya.
Alangkah terkejutnya ia ketika menemukan surat
tersebut. Bermacam perasaan berkecamuk dalam
dirinya. Apakah isterinya berkhianat? Apakah karena
sudah tak berkomunikasi lagi lalu isterinya menjalin
cinta dengan pria lain? Banyak sekali pikiran negatif
yang memenuhi otaknya sekarang. Sampai ia membuka
dan membaca isi surat berwarna pink tersebut.
―Ya Alloh di mana suamiku. Sudah satu bulan
lebih ia tak menghubungiku. Begitupun juga dengan
semua smsku. Tak ada satupun yang mendapat jawaban
darinya. Apakah ia lupa denganku dan anak-anak?
Apakah ada wanita lain sampai ia tega melupakan kami?
Atau bagaimana keadaan suamiku ya Alloh. Semoga
baik-baik saja. Berita di televisi sungguh mengerikan.
Daerah dimana tempat suamiku berada di zona merah.
Bahkan diberitakan banyak pasien positif berasal dari
daerahnya. Sungguh ngeri juga mendengar telah banyak
petugas medis yang meninggal akibat positif terkena
wabah ini. Semoga Alloh selalu menjaga engkau
suamiku, dimanapun berada, Aamiin.‖ (hanya ini cara
yang bisa kulalukan untuk mengusir gundah hati karena
tak mendapat kabar, menulis inipun dengan uraian air
mata).

Hanya helaan nafas dan istighfar berkali kali


yang terucap dari mulut Arya. Dalam hati ia berkata,
―Maafkan aku Nida. Nanti jika ada waktu luang yang
tepat akan ku ceritakan semua padamu Nida‖ kata Arya
sambil menitikkan air mata. Kertas dalam
genggamannya pun jatuh terkulai ditanah.

391 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 392

***
(Cerita ini hanya fiktif belaka. Hanya sebuah karangan
yang diadaptasi dari beberapa kisah pasien yang telah
sembuh dari covid 19)
Paragraf Kopi
Karya : Ines Noviadzani

Untukmu paragraf-paragraf yang terlupa,


aku sadar bahwa waktu telah membuatku malas.
Dialog-dialog didalamnya sudah seperti pesan tak
terbalas, hanya sampai pada halaman dua belas. Aku
ragu, kau pun sama. Jika aku ragu membaca lagi, kau
ragu menulis lagi. Lagi-lagi kita sama, hanya tak
dapat melanjutkan waktu yang beraroma asa.
Saat malam, kau, aku, dan dia saling mengirim
pesan suara lewat mimpi, mendongengkan keluh
kesah masing-masing. Telepati kita sekuat itu,
sebelum salah satu dari kita memberitahuku bahwa
sebentar lagi akan pergi jauh sekali, ke tempat yang
tidak bisa kau dan aku lihat. Setiap kali bermimpi,
setelahnya aku tergesa-gesa untuk bangun.
Melempar selimut ke arah lima belas derajat,
membuka laci meja dan menemukan harta karunku.
Sebuah buku hijau kebiruan. Coretan dengan tinta
tipis yang dibeli pada tahun maraknya lagu goyang
dumang. Kau, aku, dan dia tahu itu, sambil terkekeh,
kau membuangnya karena malu.
Setiap membuka lembar demi lembar buku
itu, seperti ada cahaya seterang bintang sirius yang
membutakan. Sedang tanda pada tiap halamannya

393 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 394

mirip seperti bintang betelgeuse, terang dan


menghangatkan. Karena kita benar-benar melekat
seperti itu, setiap senyum selalu terang dan setiap
musim selalu hangat.
Dahulu, setiap napas dan gurauan-gurauan
yang kau, aku, dan dia habiskan perlahan-lahan
menghilang. Bukan menghilang, tetapi lenyap. Lenyap
begitu saja tanpa arti. Padahal dulu, kita selalu
menantikan waktu untuk bernapas bersama,
berdekatan, dan sambil tertawa kita meluapkan
amarah, tawa, benci, pahit, dan luka. Kita bersua
pada kafe di sudut jalan manggis. Seratus cangkir
kopi bahkan tidak cukup. Namun salah satu dari kita
tidak boleh pergi. Jika pergi, tak akan ada lagi dunia
yang terang dan hangat, tak ada lagi mengirim pesan
lewat mimpi, tak ada lagi mengobrol membuang waktu
pada kafe jalan manggis juga tak akan ada lagi
halaman selanjutnya dari buku berwarna hijau
kebiruan itu. Nyatanya, kita tak bisa mengabaikan
apa yang perlu dihindari. Salah satu dari kita pergi
begitu saja, tanpa pamit.
"Siapa yang salah? Kenapa dia mati?"
Bentakmu.
Dengan takut, aku perlahan mundur. Kau tak
pernah semarah ini sebelumnya. "Siapa yang mati?
Dia cuma hilang! Sadarlah bodoh!"
Kau makin meradang, mendekatkan wajahmu
kemudian memakiku habis-habisan. Kau mengataiku
bodoh, anjing gila, celeng, jalang, dan kata-kata hina
lainnya. Kau benar-benar marah hingga akan meledak
rasanya. Maklumlah, kita telah banyak menghabiskan
waktu bersama, aku, kau yang bernama Brian, dan
teman lamaku yang bernama Seruni. Brian adalah anak
kota yang sangat hangat, dialah satu-satunya kenapa
aku sangat menghargai hubungan ini, hubungan kita
bertiga.
Brian jauh-jauh datang dari kota menemui
aku dan Seruni, kemudian mengajak kita membentuk
klub kekanakkan bernama The Brian's Gang.
Mengingat nama itu aku tertawa, walau dalam situasi
seperti ini pun. Brian sosok yang sangat hangat,
terlebih senyumnya. Aku menyukainya, benar-benar
suka. Namun aku tahu bahwa Brian pun ragu dengan
perasaannya, terlebih setelah kuperkenalkan sosok
Seruni. Setelah situasi ini, aku makin paham bahwa
Brian hanya jatuh hati pada Seruni. Begitulah,
seperti kisah cinta klise segitiga. Aku sudah
mengalah, aku sudah merestui antara Brian dan
Seruni, namun dengan tidak punya attitude, Seruni
menghilang. Aku hanya mengingat obrolan kecil kita
waktu itu, saat Brian kembali ke kotanya, saat rasa
udara benar-benar meragukan, saat datang musim
kesemek namun kita lebih memilih jalan manggis
sebagai tempat untuk bersua.

395 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 396

"Apa rencanamu besok?" Tanyaku pada Seruni


yang hanya diam sedari tadi. "Aku tidak punya
rencana"
"Kau jujur saja suka Brian kan?"
Seruni mendelik, menatapku lekat-lekat. Tak
ada yang perlu dia sampaikan lagi dengan ekspresi
seperti itu.
"Aku menghargai hubungan kita" Begitu
ucapnya, kemudian pergi. Itu adalah kalimat terakhir
yang aku dengar darinya, sebelum dia menghilang.
Lalu tak ada lagi pertemuan.
Tak ada lagi paragraf-paragraf yang kita
tulis. Tak ada lagi kita. Tak ada.
Akhir-akhir ini Brian mengirimkan surat
dalam bahasa singkatnya padaku. Dia bilang akan
mencari Seruni, sekalipun pada ujung Jalan G yang
terus kita hindari. Brian memang cukup ambisius.
Namun aku lebih memilih untuk membaca kembali
buku hijau kebiruan itu. Sejujurnya, setiap halaman
adalah episode pada drama yang selalu kita nantikan.
Halaman pertama, hari dimana kita bertemu.
Aku dan Brian bertemu pada toko buku terkemuka
pada samping Jalan X. Sedangkan Seruni ku
perkenalkan pada Brian sejak kita masuk di kelas
yang sama dalam Bimbel terkenal di kotaku. Aku
menuliskan bahwa aku menyayangi kalian. Aku suka
saat kita bersama. Brian menuliskan bahwa dia akan
selalu bersama aku dan Seruni, sedangkan Seruni
menggambar tiga buah bintang.
"Bintang pertama untuk Lisa, kedua untuk
Brian, dan ini untukku" ucapnya sambil menunjuk
gambar bintangnya.
Seruni sangat manis dan tidak terduga.
Sebagai perempuan saja terkadang aku merasa
berdesir dan iri ingin memiliki segala dihidupnya.
Dewasa adalah alur kehidupan, sedangkan
tetap menjadi kecil adalah pilihan. Kita tak bisa
punya keduanya sekaligus, atau sekadar hidup dengan
jiwa seorang pecundang untuk kedua kalinya. Tepat
seperti kisah pada halaman pertama kita.
Setiap ujung daripada sebuah cangkir yang
pegangannya hampir retak, tersisa kenangan pahit
yang dapat tercium dari radius bermil-mil jauhnya.
Beda dunia yang kumaksud. Perlahan aku seperti
mendapat pesan dari Seruni.
―Pilihanmu hanya tinggal satu‖ bentak Seruni
keras-keras sambil mengacungkan pisau yang baru
saja rampung diasahnya.
―Itu bukan pilihan!‖ jawabku
―Lalu?‖
―Paksaan!‖
―Kalau begitu kau mau mati saja?‖
Begitulah aku bermimpi aneh sekali, padahal
sebelum tidur aku tidak membaca kisah-kisah seram
spiritual, atau nonton konten video orang-orang yang

397 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 398

pura-pura berani uji nyali, aku hanya membaca tiga


halaman selanjutnya pada buku hijau kebiruan itu.
Apa buku ini memiliki mantra magis tertentu? Jelas
sekali bahwa Seruni ingin aku mati. Seruni yang
sebenarnya tidak akan mengancamku seperti itu.
Dalam mimpi itu tidak ada yang mau mengalah,
kecuali paksaan dan pilihan ‗ingin ini atau itu?‘ atau
sebuah pertanyaan ‗Kau mau mati saja?‘
Sekeras-kerasnya mencoba, Aku lebih ingin
Seruni bahagia. Bukan karena takut sebuah pisau,
takut mati, atau takut bahwa kenyataan tak dapat
bersama lagi.
―Aku pamit‖ begitu ucapnya ditelingaku
Selama ini, aku dan Seruni telah memiliki
seribu memori lepas landas yang siap terbang kapan
saja. Kami sudah berteman lama sekali, jauh sebelum
sosok Brian hadir ditengah-tengah kami. Memori itu
terputar kembali, mengenai rencana kehidupan kami
masing-masing sepuluh tahun kedepan, atau memori
mengenai obrolan ringan Si bulan biskuit dan sesuatu
yang terlukis didalamnya.
―Kamu tahu itu?‖ tanyanya
―Bulan‖
―Benar, jika matamu lebih jeli, kamu akan
melihat gambar seseorang yang mengendarai kuda‖
Sayangnya, bulan yang dia bilang kini
menghilang. Seruni telah membawa bulan biskuit itu
bersama dikantongnya. Mimpi aneh itu terus saja
membayangiku hingga sekarang. Sejujurnya aku
takut, namun lebih ingin bertemu lagi dengannya.
Pada halaman kelima, aku dibawa kembali ke
masa dimana kita berdiskusi mengenai hari- hari
yang kita suka. Ditemani dua cangkir kopi dan satu
kopi yang masih didalam gelas ukur mengepul hebat
ke udara. Brian lebih suka minum kopi langsung dari
gelas ukurnya, lengkap dengan uap 48 derajat
celcius.
"Aku paling suka waktu mama ada di rumah"
Seruni memulai bercerita.
"Mamaku jarang di rumah" lanjutnya
Aku dan Brian saling berpandangan mengerti.
Seruni, seperti namanya, ia selalu menderita. Ibunya
bekerja sebagai kupu-kupu malam, jarang sekali di
rumah, sekalipun ada, Seruni hanya akan disuguhi
adegan dewasa antara ibunya dan lelaki bajingan
yang kaya raya. Jika tidak buru- buru keluar rumah,
ia juga bisa dilahap Si bajingan itu. Sedangkan
ayahnya entah dimana, pergi sejak Seruni masih
sangat kecil. Menurut rumor, ayah Seruni tidak
tahan dengan kelakuan istrinya, jadi dia memutuskan
untuk pergi. Aku tak tau mengapa Seruni bisa
menyukai hari saat ibunya di rumah. Seruni memang
tak terduga.
"Kalau aku suka saat kita ngumpul begini, terus
ngobrol sambil tertawa" sambung Brian
"Aku juga" sahutku

399 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 400

Tertulis pada halaman itu, bahwa hanya aku


dan Brian yang menyukai saat kita berkumpul.
Sepertinya Seruni memiliki pilihan lain yang sulit
untuk dirinya. Pada halaman itu juga, terdapat
bercak noda kopi yang tak sengaja aku tumpahkan.
Akibat bahagianya sampai rasanya satu malam pun
tak akan cukup untuk kami bertiga.
Halaman keenam dan ketujuh buku itu, kami
hanya menggambar coretan-coretan tak bermakna,
mungkin bisa saja bermakna jika aku memahaminya.
Sayangnya yang aku pahami hanya gambar milik Brian.
Dia menggambar banyak sekali bentuk hati diatas
gambar Seruni. Brian tidak pernah sedikitpun
mencoret gambarku dengan gambar hati miliknya.
Aku semakin paham, Brian telah menyimpan
perasaannya sejak lama.
Setiap coretan yang kulihat sebenarnya sama
saja. Aku hanya ingin memutar memoriku saat itu.
Kemudian menyesalinya, kenapa tak kulakukan ini dan
itu sebelum akhirnya benar-benar menjadi begini.
Halaman kedelapan adalah halaman yang
spesial untukku. Saat itu langit berwarna kelabu dan
begitu muram, udara di dalam kafe sepertinya menipis
karena saking banyaknya orang yang masuk. Hujan
sebentar lagi tiba di perantauannya, sebelum
akhirnya kembali lagi ke awan. Kita sama- sama tau
bahwa udara sore itu makin dingin, kita makin
merapatkan posisi duduk. Aku disebelah kanan Brian,
dan Seruni disebelah kirinya. Aku dan Seruni sama-
sama memakai baju lengan pendek. Saat Brian mulai
melepaskan jaket yang dipakainya, aku benar-benar
tidak berharap apa pun. Brian akan memberikannya
pada Seruni, ia hanya jatuh hati pada Seruni, bukan
aku. Namun kenyataan berbeda, Brian memiringkan
tubuhnya ke kanan, ke arahku. Jantungku seperti
mau meledak rasanya, lalu aku mengingat wajahku
menjadi merah karena tersipu.
"Lisa pakai jaketnya yaa anak pintar, hehe"
Brian menepuk-nepuk kepalaku.
Aku benar-benar merasa istimewa di mata
Brian waktu itu. Sayangnya aku menyadari sesuatu
lain dari Brian dan aku.
"Runi kamu pasti kedinginan ya, sini aku
peluk"
"Ah apaan si, lepas ngga!"
"Ngga mau wleeee"
Ya, mereka sibuk bercanda seperti itu. Brian
tidak pernah menyukaiku. Dia hanya memberikan
jaketnya padaku karena Brian memang tidak mau
memelukku. Namun sebenarnya aku juga merasa
sedikit bahagia, apa yang tidak kita miliki bersama,
mengenai perasaan masing-masing, paragraf-
paragraf mengenai perasaan yang kita tulis telah
melebur bersama aroma kopi yang kita hirup waktu
itu. Melihat kehangatan antara kita dan kisah cinta
segitiga yang terihat jelas namun tetap hangat.

401 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 402

Hujan turun lagi. Dingin. Deras sekali.


Aku hanya ingin merasakan degupan seperti
popcorn saat Brian memberikanku jaket miliknya.
Semakin dingin, semakin aku teringat atmosfernya.
Aku tau, seharusnya aku benci melakukan hal
yang sama setiap harinya, hingga sampai pada
halaman kesepuluh, buku hijau kebiruan itu hanya
memberiku banyak sekali kenangan. Kenangan
semacam itu terlahir dari rahim sang waktu yang
bersuamikan sang takdir. Takdir untuk tak lagi
merasakan kehangatan seperti dulu.
Balkon beraroma kenangan seperti memiliki
magnet tersendiri untukku. Disini aku, Seruni, dan
Brian sempat berbincang lama sekali sambil
menumpuk cangkir-cangkir kopi yang telah habis
kami minum.
"Aku harap kita selalu seperti ini" Brian
berbicara dengan serius. Kafein dilambungnya telah
banyak mengubah gaya bicara Brian akhir-akhir ini.
"Aku juga, terus apa ya, kalian nikah dong,
biar reuninya gampang hehe" aku mulai berbicara sok
asik sekali. Nyatanya Brian malah diam, apalagi
Seruni yang terus sibuk memainkan ponsel miliknya.
"Hei, aku serius loh, kalian kan saling suka,
kenapa ngga?"
"Bodoh, emangnya nikah segampang itu?
Dasar Lisa masih sama aja kaya bocah ya haha" Brian
menimpali sambil bercanda kikuk. Seruni terus diam.
Aku makin tidak enak hati telah mengatakan hal itu.
Perlahan semua kenangan itu larut bersamaan
gula di dalam kopi yang mengepul panas. Aku
bersumpah kali ini kepulan asapnya berbentuk hati,
entah kebetulan atau tidak.
Sebelum aku berlanjut ke halaman kesebelas,
seseorang mengetok pintu kamarku dengan terburu-
buru.
"Lisa kabar gembira Lis! Buka pintunya"
Ya, itu suara Brian. Aku telah menduga, dia
sangat ahli. Secepat itu Brian menemukan Seruni,
bahkan sebelum aku selesai membaca semua halaman
pada buku hijau kebiruan ini.
"Ada apa? Eh?"
Aku kaget bukan main. Sosok yang telah lama
menghilang kini berdiri mematung dihadapanku.
Seruni kembali. Namun dia benar-benar berbeda kali
ini. Rambutnya menipis dan wajahnya pucat, tubuhnya
juga semakin kurus.
Tanpa mengatakan apa pun, aku memeluk
Seruni erat, Brian mengikuti. Kemudian kita pergi ke
kafe Jalan manggis. Bersiap untuk memutar memori
lama ke dalam kenyataan, aku antusias sambil
membawa buku hijau kebiruan milik kami.
Dalam perjalanan, aku membuka halaman
kesebelas yang sempat tertunda. Ternyata kosong.

403 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 404

Mungkin dulu kita terlewat satu halaman dan


langsung menulis di halaman dua belas.
"Nanti kita baca bareng ya Lis" perintah
Seruni, aku mengiyakan.
Sedari tadi Brian hanya diam dan fokus
menyetir. Rasanya sudah lama sekali kita tidak
bernapas sedekat ini lagi.
Dalam suasana malam yang dingin, kami
memesan kopi lagi. Aku mengkhawatirkan Seruni,
namun dia menepisnya.
"Aku tidak tau apa besok kita masih bisa
minum kopi bareng lagi, jadi malam ini aku mau
minum kopi banyak-banyak"
Malam itu Seruni tersenyum cerah sekali.
Suasana hangat yang berkali aku rindukan kini hadir
lagi. Bahkan tanpa cela, kami bisa tertawa bahagia.
Senyum Seruni lebih cerah dari waktu dulu kami
bersama, dia terlihat bahagia sekali, aku senang,
Brian juga.
Setelahnya, aku membuka halaman dua belas.
Hanya tertulis satu kata, yaitu bye. Kami saling
berpandangan. Aku paham betul tulisan tangan siapa
yang menulis kata menyedihkan itu. Apakah Seruni
selalu ingin berpisah dengan kita? Atau dia hanya
tidak nyaman karena ada aku ditengah dirinya dan
Brian.
Tanpa mengucap apa pun, Brian mengalihkan
topik dan bercerita dengan sangat semangat
mengenai kuliahnya, aku tidak mau kalah. Rasanya
seperti terus mengunyah permen karet tanpa harus
kehilangan rasanya.
Lampu gantung bergaya vintage dengan hiasan
dinding bergaya retro pada kafe itu telah menambah
suasana manis dan kehangatan yang sudah lama kami
harapkan. Rasa udara waktu itu juga telah berubah
menjadi dingin-dingin bahagia, terlebih dengan aku
yang menyadari sesuatu bahwa tidak ada yang tidak
bersambung dari sebuah kisah. Tiap halamannya
mampu membekukan seseorang dan terlempar ke
dalamnya, kemudian keluar lagi tanpa tahu apa yang
barusan ia alami.
Entah rinduku akan terulang lagi atau tidak,
yang jelas aku, Brian, dan Seruni sedang bahagia
tanpa memikirkan besok, besok, atau besok lainnya.
Kami hanya sedang berusaha menjadi lebih baik lagi.
Paragraf kopi dengan kisah yang kita tulis telah
mengantarkan kita pada rasa udara yang bahagia.

405 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 406

Jamuan Dini Hari


Karya : Miselfiya Shafa Nurfalah

Untuk ke sekian kali, kepala pria itu

terbentur kaca jendela mobil di sebelahnya. Entah


karena jalan di luar sana yang buruk atau si pengemudi
yang mengendarai mobil ini dengan tidak hati-hati. Ia
mencoba mengingat kembali alasan ia melakukan semua
ini. Setelah mengingat itu, ia segera mengurungkan
niatnya untuk menghentikan perjalanan ini. Pak Johan
yang duduk di balik kemudi menatapnya sekilas.
―Menyesal, Sam?‖
Sam menoleh, ia meneguk ludahnya. Sedikit
gugup.
―Tidak, Pak Johan. Sama sekali tidak.‖
―Kita sudah hampir sampai, tapi kalau kau mau,
kita bisa saja kembali,‖ ujar Pak Johan.
―Saya baik-baik saja,‖ kata Sam singkat.
Pak Johan tersenyum sambil mengarahkan
kemudi ke sebuah belokan di sebelah kanan. Laju mobil
pun mulai melambat saat melewati gerbang besar. Tidak
ada lagi guncangan keras yang membuat sakit kepala
seperti tadi. Kali ini Sam bisa sedikit menghela napas
lega.
Samar-samar ia melihat sebuah gedung di
depan. Gedung yang tampak tua itu masih berdiri kokoh.
Semakin dekat, Sam semakin kagum melihat arsitektur
unik gedung itu. Meski warna catnya mulai pudar, namun
pintu megah dengan sentuhan ranting kayu yang
membentuk mahkota juga jendela tinggi di masing-
masing sisi dan tak lupa tangga kaca yang ada di depan
gedung, membuat gedung itu terlihat menarik. Ia
menduga bahwa dulunya gedung yang tak terlalu besar
itu pasti tempat jamuan orang-orang penting. Meski
sedikit aneh karena lokasinya yang berada di antah
berantah seperti ini. Sam berpikir, mungkin saja dulu di
sekitar sini pernah terdapat pemukiman yang sudah tak
terlihat jejaknya sekarang.
Pak Johan memberhentikan mobil. Ia mengambi
tas dari kursi penumpang belakang, kemudian ia segera
keluar. Sam ikut keluar juga, setelah menenangkan
dirinya untuk beberapa saat.
―Ah, saya rindu sekali tempat ini. Kau masih
ingat, 'kan, pesan saya 3 hari yang lalu?‖ tanya Pak
Johan.
Sam menggaruk tengkuknya. Ia lupa. Ia hanya
mengingat beberapa hal. Tentang jamuan dan larangan
yang ia tidak ingat apa saja. Pak Johan mendengus
pelan melihat reaksi Sam yang seperti itu. Namun, ia
memang manusia yang sangat sabar. Ia meletakkan tas
berat yang sejak tadi ia taruh di pundaknya.
―Kau sudah menunjukkan keterampilan luar
biasa dalam melayani tamu di restoran saya. Semua
orang merasa puas dengan pelayananmu. Sayangnya, kau

407 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 408

memutuskan untuk mengundurkan diri,‖ kata Pak Johan


sambil memandangi gedung di depannya.
―Kau salah satu karyawan terbaik yang saya
punya. Jujur saja, saya merasa kehilangan. Seperti yang
saya katakan 3 hari yang lalu, kau mengundurkan diri
sebelum kontrak kerjamu selesai. Dan menurut
perjanjian awal, kau akan harus membayar denda yang
cukup besar karena hal itu. Selama 4 tahun ini, kau
sudah bekerja dengan sangat baik. Maka kau tidak
perlu membayar denda itu, bahkan, saya akan
membayar biaya perobatan keponakanmu.
Namun sebagai gantinya, kau harus melayani
para tamu spesial dalam jamuan satu malam yang akan
diadakan di gedung ini,‖ lanjutnya.
Sam tak berkata apa-apa. Ia hanya ingin
menuruti permintaan satu-satunya anggota keluarga
yang ia punya yang sejak beberapa hari lalu hingga kini
masih dirawat di rumah sakit karena kondisinya yang
kritis. Dokter sudah mengatakan bahwa. Ilyas,
keponakannya, tidak akan selamat. Tetapi Sam akan
terus berjuang menunggu bocah kecil itu bangun lagi.
Ilyas pernah berkata bahwa ia merindukan Sam
dan ingin bermain bersamanya. Selama ini Sam memang
selalu sibuk. Ia jarang bertemu Ilyas. Ilyas selalu ia
titipkan pada tetangganya. Sebagai kepala pelayan di
restoran ternama, Sam harus pergi pagi-pagi sekali
untuk memastikan semua baik sebelum restoran buka
dan pulang larut malam untuk memastikan semua sudah
sesuai seperti seharusnya. Pria itu merasa bersalah
karena ia sudah berjanji pada kakaknya untuk merawat
dan menjaga Ilyas dengan baik.
Ia memang tidak bisa membayar denda itu.
Untuk membayar biaya rumah sakit saja, susah payah ia
lakukan. Pria itu berencana untuk menggadaikan
rumahnya. Bahkan awalnya ia ingin bernegosiasi dengan
Pak Johan mengenai denda itu. Untung saja Pak Johan
sangat baik dengan memberikannya satu tugas yang
tidak terlalu berat untuk mengganti denda itu.
―Setengah jam lagi, jamuan akan dimulai.‖ Pak
Johan mengeluarkan seragam khas pelayan restoran
dari dalam tas yang ia bawa tadi dan memberikannya
pada Sam. ―Bersiaplah.‖
Pak Johan membuka pintu gedung itu. Sam
terbatuk-batuk karena debu dari dalam sana. Ia
menyusul Pak Johan masuk. Semua benar-benar penuh
debu dan sarang laba-laba. Ia memerhatikan meja
makan panjang yang ada di tengah ruangan. Seluruh
peralatan makan sudah siap di meja itu yang sayangnya
ikut tertutup debu juga. Sam hampir memekik ketika
melihat seekor laba-laba berukuran sedang saat ia
hendak melihat isi salah satu gelas.
Ruangan itu terlihat seram bagi Sam. Pak Johan
menyalakan lampu. Akhirnya ruangan gelap itu mulai
dipenuhi cahaya kuning.

409 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 410

―Saya butuh sejam untuk membersihkan


ruangan ini, Pak,‖ kata Sam.
―Tidak perlu dibersihkan. Biarkan begini saja.
Para tamu lebih suka dalam keadaan seperti ini.‖
Sam mengernyitkan dahinya. Ia ingin bertanya
mengapa namun ada hal lain yang ingin ia tanyakan.
―Bagaimana dengan makanannya?‖
Pak Johan yang sedang melihat sekeliling
gedung itu kemudian berhenti dan menghadap ke Sam
yang menatapnya heran.
―Tugasmu hanya melayani para tamu hingga
jamuan selesai. Tidak perlu risaukan yang lain.‖
Kini Pak Johan melangkah kembali menuju pintu
dan keluar dari gedung itu. Ia berdiri di sebelah
mobilnya.
―Tolong jangan pergi sebelum jamuan selesai,‖
kata Pak Johan.
Sam mengangguk mengerti. Itu terdengar
normal. Memang itu yang ia lakukan selama ini dalam
melayani tamu di restoran. Pak Johan masuk ke mobil
dan berpamitan.
―Tunggu saya di depan gerbang. Saya akan
menjemputmu setelah jamuan selesai.‖
―Kapan jamuan ini selesai?‖ tanya Sam yang
baru saja ingat untuk menanyakan hal itu, mengingat
sekarang sudah pukul 3 dini hari.
―Saat matahari terbit.‖
Mobil Pak Johan mulai meninggalkan halaman
gedung. Sam masuk lagi ke dalam dan matanya lagi-lagi
menatap meja makan panjang itu. Pria itu merasa
sangat ingin membersihkan debu-debu dari peralatan
makan di sana. Tidak ada yang mau makan di piring
kotor seperti itu, pikirnya. Tetapi, ia tetap mengikuti
ucapan Pak Johan. Pria itu memilih meninggalkan
ruangan dan masuk ke dalam bilik kamar mandi untuk
mengganti pakaian.
Tidak lama lagi jamuan akan dimulai.

***

Mobil-mobil mulai memenuhi halaman gedung.


Sam merapikan pakaian juga rambutnya. Ia benar-
benar bersikap seperti sedang bekerja di restoran
seperti biasanya. Para tamu mulai keluar dari masing-
masing mobil dan mendekat ke gedung.
―Selamat malam. Saya Sam, silakan masuk,‖
sambut Sam dengan sopan.
Masing-masing tamu membalas sambutannya
dengan senyuman. Ada sepasang suami istri, seorang
wanita tua, seorang wanita muda, dan seorang gadis
remaja yang datang. Sam menuntun mereka menuju ke
ruangan di dalam. Sam kembali risau tentang kondisi
ruangan yang sangat tidak pantas ini. Ia harus
menerima jika para tamu itu memakinya habis-habisan.

411 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 412

―Luar biasa. Ini sempurna,‖ ucap salah seorang


tamu.
Sam mendengar itu sebagai sebuah sindiran. Ia
segera meminta maaf.
―Maaf, Pak, tapi atasan saya memerintahkan
saya untuk membiarkannya seperti ini.‖
―Untuk apa meminta maaf? Yang saya katakan
tadi itu pujian,‖ ucap pria itu.
Sam mengangguk canggung sebab ia tak tahu
apa yang sedang terjadi. Tiba-tiba suara keras
terdengar dari luar. Para tamu yang semula sedang
duduk, kini berdiri menatap pintu. Mereka semua
tersenyum senang.
―Sudah saatnya,‖ ujar wanita tua dengan
selendang merah di lehernya.
Beberapa tamu kembali ke luar dan menuju
bagasi mobil mereka. Sam segera pergi ke arah pintu.
Pria itu hendak melihat apa yang para tamu itu lakukan,
kalau-kalau saja ada yang membutuhkan bantuannya.
Namun ia tidak bisa melihat apa-apa di luar sana karena
kabut tebal. Ia ingat betul tadi tidak ada kabut tebal
ini saat dirinya menyambut para tamu beberapa saat
yang lalu. Ia membuang jauh-jauh pikiran yang tidak-
tidak. Dengan perlahan ia masuk ke dalam kabut.
Untung saja ia membawa senter yang ia ambil dari tas
yang diberikan oleh Pak Johan tadi.
Sam sedikit terkejut saat melihat apa yang
dikeluarkan oleh salah satu dari bagasinya. Itu adalah
boneka jerami. Hampir saja Sam berteriak karena
mengira itu manusia. Sam menawarkan bantuan tetapi
para tamu menolak. Namun ada satu yang sangat
janggal. Saat ia menawarkan bantuan pada seorang
tamu, wanita muda itu menolak dan berkata, ―Terima
kasih, ia bisa berjalan sendiri.‖ Sam tidak tahu siapa
yang dimaksud wanita muda itu karena jelas sekali ia
tadi datang seorang diri bersama boneka jerami itu.
Sam memutuskan untuk kembali ke depan
gedung, menunggu para tamu masuk lagi. Entah mengapa
perasaannya mulai tidak enak. Ia melihat waktu di
arlojinya. Ia baru sadar sekarang bahwa ini bukan
waktu yang wajar untuk melakukan jamuan. Walau
begitu, ia tidak tahu harus melakukan apa selain
bersikap profesional dan terus menjalankan tugasnya.
Kini sekujur tubuh Sam membeku. Ia melihat
para tamu kembali mendekati gedung. Tidak bersama
boneka jerami. Yang dilihatnya saat ini adalah empat
manusia dengan pakaian sama seperti pakaian yang
dikenakan masing-masing boneka jerami yang dilihatnya
tadi. Para tamu itu tersenyum saat melewati Sam,
begitu juga para boneka jerami itu. Sam merasa tak
karuan. Ia ingin segera pergi saja dari sini. Ia mulai
melangkahkan kakinya menjauhi gedung.
―Mau ke mana, Sam?‖ tegur seseorang dari
dalam gedung.

413 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 414

Langkah Sam langsung terhenti seketika saat


mendengar itu. Ia segera berbalik. ―T-tidak, Nyonya.
Saya hanya mau memeriksa beberapa hal dulu.‖
―Ah, baik.‖
Sam mengatur napasnya berulang kali. Ia
memandangi gedung itu lagi. Pria itu tahu ada sesuatu
yang buruk yang akan terjadi. Ia berani mengambil
risiko apa saja, asal ia bisa segera bertemu
keponakannya.
Sam tak berbicara apa-apa saat tiba di dalam.
Ia hanya berdiri di sudut, entah apa yang ia tunggu. Ia
melihat para tamu bercengkerama dengan manusia
jerami yang mereka bawa itu. Gadis remaja itu
melambaikan tangan ke Sam, pria itu segera
menghampirinya.
―Ada yang bisa saya bantu?‖ tanya Sam.
―Apa makanannya sudah siap? Ibu saya sudah
lapar,‖ kata gadis itu sambil memandangi ibunya. Sam
ikut menatap wanita di sebelah gadis remaja itu.
Terlihat kaku dan menyeramkan.
―Sam?‖
―Oh, iya, Nona. Saya periksa dulu di dapur.
Mohon tunggu.‖
Sam berjalan menuju dapur. Ia tak tahu harus
bagaimana, semua serba aneh dan tak masuk akal
baginya. Kini, lagi-lagi ia dikejutkan oleh keanehan yang
tak masuk akal. Hidangan sudah tersedia di meja saji.
Sam berusaha menerka dari mana makanan ini berasal.
Tiba-tiba, matanya terfokus pada sebuah kertas yang
ada di lantai. Ia mengambil kertas itu.
―Pergilah, lindungi orang yang kau rindukan.‖
Sam memijat pelipisnya. Cukup pening
memikirkan teka-teki ini. Apakah ini pesan untuknya?
Apakah Ilyas dalam bahaya? Pria itu merasa ia harus
meninggalkan tempat ini dan menemui Ilyas. Ia
memeriksa jika ada jalan keluar di dapur namun tidak
ada. Saat ia mengganti pakaian tadi di kamar mandi, ia
juga tak menemukan jalan keluar.
―Satu-satunya cara adalah lewat pintu depan,‖
gumamnya.
Sam membawa hidangan itu ke ruangan utama
tempat para tamu berkumpul. Mereka masih terlihat
gembira. Sam menaruh piring di hadapan masing-masing
tamu. Sebuah piring hampir saja terjatuh dari
tangannya karena ia merinding. Bau anyir mulai tercium.
Sam tak mampu menahannya, jadi ia menutup hidungnya
menggunakan tangan yang sedang tak memegang piring
―Apa ada masalah?‖ tanya seorang pria muda
jerami itu..
Sam menggerakkan kepalanya kuat. Tidak
mungkin ia mengatakan yang sejujurnya. Pria muda
jerami itu tertawa kecil. ―Bau, ya?‖
Sam tak tahu harus menjawab apa. Pria muda
jerami itu berdiri menghadap Sam. Para tamu dan
manusia jerami yang lain memandangi Sam dengan
senyum yang aneh.

415 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 416

―Jangan macam- macam, Sam.‖


Jika kau tidak menghormati kami, keponakanmu
dalam masalah besar, Sam,‖ ujar manusia jerami yang
tampaknya adalah ibu dari si gadis remaja di seberang
meja.
―Kami sudah membayar jamuan ini dengan
nyawa. Bila kami merasa tak puas, kami akan meminta
ganti rugi dengan nyawa juga,‖ lanjut pria tua yang
sedang mengelus rambut putrinya yang juga berasal
boneka jerami.
―Kali ini, kami memaafkanmu karena kau belum
tahu apa-apa. Tenang saja, Sam, Pak Johan juga merasa
seperti itu lima tahun yang lalu saat melayani kami. Tapi
ia berhasil melewati malam itu dan lihat betapa
suksesnya ia sekarang. Kau bisa mendapatkannya juga,
Sam. Yang harus kau lakukan hanya menjamu kami
dengan baik. Ini tugas yang sangat mudah, Sam,‖ lanjut
si istri.
Sam meninggalkan ruangan itu tanpa berkata
apa-apa. Pria itu tak menyangka Pak Johan
mengorbankan dirinya demi mempertahankan
kesuksesannya. Tetapi, mungkin ucapan wanita tua itu
ada benarnya juga, bahwa ini tugas yang mudah,
seharusnya ia bisa saja melewati malam ini. Semoga
saja.

***
Sam membuka semua laci yang ada di dapur. Ia
sedang mencari gelas untuk minum. Kepalanya sudah
pusing karena terlalu banyak berpikir. Tangannya
meraba-raba laci atas terakhir. Pria itu merasakan
sesuatu. Terasa keras dan berat. Dengan perlahan, Sam
menarik benda itu. Rupanya sebuah buku. Sam meniup
debu yang menutupi seluruh buku itu.
―Menjamu Rindu,‖ ucapnya membaca judul yang
tertera di sampul buku tersebut.
Sam mulai membuka lembar demi lembar secara
cepat. Bisa saja ia menemukan jawaban atas
kegundahannya saat ini. Pria itu berhenti pada halaman
yang menunjukkan sebuah gambar. Itu gambar gerbang
besar yang ia lihat tadi ketika ia pertama tiba dan
gambar gedung yang sama persis seperti gedung
tempat ia berada saat ini.
Sam membaca kata demi kata yang ada di
halaman selanjutnya. Disebutkan bahwa wilayah ini
khusus untuk jamuan rindu. Ia bisa mendengar seorang
tamu memanggilnya dari luar. Pria itu tak
menghiraukannya. Sam masih tidak mengerti maksud
dari apa yang baru saja ia baca tadi, jadi ia lanjut
membaca tulisan setelahnya.
'Yang sudah pergi dan yang dirindukan bisa
kembali. Mereka bisa makan di dalam gedung khusus.
Mereka bisa memijak tanah di dalam gerbang khusus.
Yang merindu dan yang dirindukan bisa melepas rindu.
Pelayanan yang baik akan membawa bahagia, pelayanan

417 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 418

yang buruk akan membawa petaka. Bagaimanapun juga,


menghidupkan yang sudah tiada tidak mudah. Harus ada
yang dikorbankan. Pada akhirnya, yang dirindukan tidak
akan bertahan.‖
Sam sedang mencerna kata-kata itu saat
seseorang tersenyum di ambang pintu dapur. Sam
terkejut bukan main melihat sosok itu. Senyumnya
sangat lebar, bahkan Sam bisa melihat jelas di masing-
masing sudut bibirnya terdapat robekan tipis.
―Sam, aku ingin minum,‖ ujar gadis kecil jerami
itu.
Sam mengisi teko dengan air keran lagi lalu ia
berikan pada gadis kecil jerami itu. ―Kau tahu, Ilyas
sangat baik. Kami sering berbincang. Jika ia mati nanti
kami pasti akan lebih sering bermain. Sepertinya tak
lama lagi itu akan terjadi,‖ ucap gadis kecil jerami itu
dengan senyum yang tak hilang dari wajahnya.
Pria itu mengepalkan kedua telapak tangannya.
Ingin sekali rasanya ia meninju wajah gadis kecil jerami
itu. Ia tidak peduli. Hukum negara tidak berlaku untuk
seseorang yang sudah mati, bukan? Gadis kecil jerami
itu pergi sambil terkekeh. Sam merasa lebih khawatir
pada Ilyas sekarang. Pria itu berdoa dengan sungguh
agar bocah itu baik-baik saja.
Ia keluar dari dapur. Para tamu dan manusia
jerami itu tidak ada lagi di sana. Sam melihat arlojinya
lagi. Matahari masih lama terbit. Itu berarti jamuan ini
belum selesai. Samar-samar pria itu mendengar suara
tawa dari luar gedung. Ia langsung pergi ke sana untuk
memeriksa.
Pria itu tersenyum kecut melihat pemandangan
di depannya. Gadis kecil jerami yang kurang ajar tadi
sedang bermain kejar-kejaran dengan orang tuanya.
Pria muda jerami itu sedang mendengarkan lagu
bersama wanita muda di sampingnya. Sedangkan ibu
jerami sedang bertukar cerita dengan si gadis remaja.
Mereka terlihat bahagia. Tapi para manusia asli itu
sudah membunuh orang demi ini. Sam pun selalu
merindukan kakaknya. Ia juga pernah berharap kalau
kakaknya itu dapat hidup lagi. Namun Sam mencoba
untuk merelakan pria itu. Ia percaya bahwa kakaknya
sudah tempat yang lebih baik.
Sam menyandarkan dirinya di gerbang. Tetapi ia
merasa terganggu dengan kerikil yang mengenai
kepalanya. Ia melihat ke sekeliling. Dan ia melihat itu.
Cahaya senter dari belokan di luar gerbang. Ia
berusaha melihat siapa sosok yang mencoba berbicara
dengannya itu.
Namun, seorang wanita muda, salah satu
tamunya, menghampiri Sam dan memintanya untuk
menyajikan hidangan lagi. Sam melangkahkan kakinya
kembali ke dalam gedung sembari sesekali menengok ke
belakang.
―Abaikan saja. Banyak makhluk jahat yang iri
dengan mereka yang hidup kembali,‖ kata wanita muda
itu yang berlalu mendahului Sam.

419 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 420

―Ada yang lebih buruk dari ini? Yang benar


saja!‖ keluh Sam.
Kali ini Sam menyajikan makanan dengan
senyuman khasnya. Ia mendapat banyak pujian dari
para tamu manusia asli dan manusia jerami. Pria itu
hanya ingin membuat mereka senang dan mengakhiri
dini hari yang melelahkan ini. Ia tidak mau cari masalah.
Baginya, keselamatan Sam jauh lebih penting. Gadis
kecil jerami itu menghampirinya lagi. Sam merendahkan
tubuhnya agar sejajar dengan gadis kecil jerami itu.
―Setelah ini, temani aku bermain boneka, ya?‖
ajaknya. ―Ibu, kau sudah membawa bonekaku, kan?‖
tanya gadis itu pada ibunya yang sedang menyantap
makanan. Si ibu tersenyum dan menganggukkan
kepalanya. Gadis kecil jerami itu masih menunggu
jawaban Sam. Pria itu mengangguk juga. Tidak ada
salahnya.

***

Setelah membereskan piring-piring di meja


makan, Sam pergi keluar. Sisa satu hidangan lagi
sebelum semua ini berakhir. Pria itu kembali bersandar
pada pintu gerbang. Ia sedang menunggu gadis kecil
jerami itu yang sedang mencari bonekanya di dalam
mobil bersama orang tuanya. Sementara di sini, Sam
sudah menahan mati-matian untuk tidak melangkahkan
kakinya keluar dari gerbang. Demi Ilyas, ia tidak
melakukan itu.
―SAM!‖
Seseorang memegang pundaknya tiba-tiba
sambil berbisik keras. Itu Pak Johan. Raut wajahnya
sangat pias. Ia terlihat kacau. Sam menjauhkan tangan
pria itu dari pundaknya dengan kasar. ―Tenang saja,
demi kesuksesan Pak Johan, saya tidak akan pergi
sebelum jamuan ini selesai.‖
―Kau harus kembali ke kota, Sam. Ilyas sudah
sadar. Ia memanggilmu terus,‖ ujar Pak Johan.
―Bukankah saya harus tetap di sini agar ia tetap
hidup? Anda ingin menjebak saya lagi?‖ tanya Sam
penuh emosi.
―Saya minta maaf. Saya melakukannya karena
putra saya yang dulu menghilang, kini mulai sakit-
sakitan. Dan saya tahu pasti sebabnya. Putra saya yang
telah mereka kembalikan, akan mereka renggut lagi.
Saya pikir, setelah menjamu mereka dengan baik, saya
sudah bebas. Tetapi tidak. Sebelum saya menemukan
sosok baru untuk jamuan rindu tahun ini, mereka akan
merenggut kebahagiaan saya sedikit demi sedikit.
Seseorang hanya bisa melayani sekali saja. Saya tidak
ingin membawa sembarang orang ke sini. Jika orang itu
melayani dengan buruk, orang itu tidak akan selamat.
Kau pelayan terbaik. Selain itu, alasan saya membawamu
ke sini karena saya tahu kau ingin Ilyas sembuh. Walau
dokter mengatakan itu tidak mungkin. Mereka bisa

421 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 422

membantu. Namun malam ini, saya mengunjungi


keponakanmu. Jamuan belum selesai dan ia sudah
bangun lagi. Kau tak butuh bantuan mereka,‖ jelas Pak
Johan.
―Pesan yang di dapur, Anda yang menulisnya?‖
Pak Johan menggeleng. ―Entah milik siapa. Saya
juga menemukannya saat itu. Mungkin seseorang
sebelum kita ingin memberi peringatan. Jangan abaikan
itu seperti saya dulu.‖
―Sam!‖ seru gadis kecil jerami itu dari
kejauhan. ―Aku sudah menemukannya!‖
―Mari kita pergi, Sam. Saya bersalah sudah
membawamu ke sini. Akan saya pastikan kau dan Ilyas
baik-baik saja,‖ ujar Pak Johan lagi.
Sam memandangi para tamu dari kejauhan.
Mereka semua berhenti melakukan aktivitas mereka.
Mereka semua menatap Sam dengan tajam. Sepertinya
mereka tahu Sam ingin pergi. Pak Johan langsung
menarik tangan Sam keluar dari gerbang. Tiba-tiba
saja, kabut tebal muncul lagi. Pak Johan menyalakan
senternya. Ia berkata pada Sam bahwa ia memarkirkan
mobilnya tepat di belokan. Suara gemuruh terdengar
sangat nyaring hingga memekakkan telinga mereka.
―Itu salah satu gangguan mereka, bertahanlah,‖
kata Pak Johan.
Mereka terus berlari dalam kabut tebal.
Mereka seketika berhenti saat melihat boneka-boneka
jerami mengelilingi mereka. Lampu senter pun mati. Pak
Johan mencoba menyalakan alat itu lagi. Saat lampu
senter menyala, Pak Johan menyorot ke sekeliling lagi.
Namun mereka tidak berada di jalan itu. Mereka
kembali ke gedung.

***

―Kami sudah sangat baik padamu, Johan. Kami


menyelamatkan putramu yang hampir mati karena
tersesat saat mendaki gunung. Kami melakukan itu agar
kau tak merasakan apa yang kami rasa. Merindukan
yang sudah tiada,‖ ujar wanita muda itu yang sedang
berjongkok di hadapan Pak Johan yang terduduk di
lantai dengan tangan terikat. Ia melirik Sam sekilas.
―Kalian penyihir!‖ seru Pak Johan geram.
―Bukan, Johan. Kami hanya sekelompok orang
yang rela berkorban dan beruntung karena berhasil
menciptakan wilayah khusus ini. Kau tahu, banyak sekali
orang di luar sana yang gagal menciptakannya,‖ jawab
ibu gadis kecil jerami.
―Kalian membunuh banyak orang demi jamuan
ini,‖ sahut Sam.
Ayah gadis jerami itu menunduk. ―Kami bukan
satu-satunya yang melakukan itu.‖ ―Lepaskan Sam. Ia
tidak bersalah,‖ pinta Pak Johan.
Para tamu saling memandang satu sama lain.
Lalu mereka membantu Sam berdiri. ―Baiklah, tapi

423 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 424

nyawamu dan putramu adalah gantinya,‖ ucap gadis


remaja di depan Sam.
Pak Johan menganggukkan kepala. Ia
menyetujui itu. Tali yang mengikat kedua tangan Sam
dilepaskan. Mereka mengambil kunci mobil dari saku
baju Pak Johan lalu meminta Sam segera pergi sebelum
mereka berubah pikiran.
―Kenapa kau melakukan itu? Kami bisa saja
melepaskanmu jika kau memintanya. Kami juga bisa
menyelamatkan putramu lagi.‖
Pak Johan menggeleng lemah. ―Saya tahu
seharusnya putra saya tidak selamat saat itu. Saya
tersiksa setiap melihatnya kejang setiap senja dan
ketakutan ketika darah muncul dari kepalanya. Ia
benar-benar kesulitan menjalani hidup. Hal-hal tidak
kembali normal seperti sedia kala. Saya tidak ingin
melihatnya seperti itu. Ia lebih baik di tempat
seharusnya ia berada.
―Ah, menyedihkan sekali. Namun, jamuan belum
selesai. Kau harus melayani kami karena Sam sudah
pergi,‖ gadis remaja itu melepaskan ikatan tangan Pak
Johan.
Pak Johan pergi ke dapur untuk mengambil
hidangan terakhir. Tak lupa ia mengambil sianida yang
sejak awal ia sembunyikan di sepatunya lalu menuangkan
itu ke masing-masing piring. Setelah siap, ia membawa
hidangan itu keluar. Para boneka jerami sudah kembali
menjadi manusia lagi. Pak Johan menaruh masing-
masing piring di hadapan mereka. Ia mempersilakan
mereka menyantap hidangan itu.
Beberapa waktu kemudian, keadaan berjalan
sesuai rencananya. Para tamu manusia sudah tak
sadarkan diri dan para manusia jerami kembali lagi
menjadi boneka jerami. Pak Johan menyiram seluruh
gedung dengan minyak yang sudah ia taruh di dekat
gerbang. Kemudian, ia keluar untuk menyiram halaman
juga gerbang. Ia menyalakan api dan menunggu di luar
gerbang. Akhirnya ia terduduk lemas. Sedikit lega
karena kini semua sudah berakhir. Namun tak lama
setelahnya, ia mendengar sesuatu dari balik kobaran
asap.
―Ayah?‖
Pak Johan berdiri. Ia melihat putranya di depan
gedung. Ia tersenyum kecil dan melangkah dengan pelan
masuk melewati gerbang yang sudah terbakar. Air mata
mengalir di pipinya.
―Ayah datang, Nak.‖

***

―Wah, kau hebat sekali bermain catur, Ilyas,‖


ujar Sam memuji.
―Ya, seorang teman mengajariku,‖ balas Ilyas
sambil meminum susunya.

425 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 426

―Siapa?‖
Ilyas mengangkat kedua bahunya. ―Aku tak tahu
namanya siapa. Tapi, ia perempuan. Sepertinya
seumuran denganku.‖
Sam memajukan badannya. Ia tahu seseorang
yang dimaksud Ilyas. ―Kapan terakhir kali kau bertemu
dengannya?‖
―Sudah lama sekali. Aku tak ingat. Mungkin saat
aku mulai merasakan sakit kepala.‖ ―Jadi ia tidak
pernah muncul lagi setelah itu?‖
Ilyas kecil menggeleng. ―Tidak, Paman Sam.
Tapi kemarin malam ayah bilang padaku kalau gadis itu
sudah di tempat yang seharusnya.‖
Secangkir Kopi Dan Segenggam Rindu
Karya : Janet Welna

Sore ini tidak seperti biasanya. Aku yang

berada dalam perjalanan pulang ke rumah dari kantor


terjebak hujan deras dan memilih untuk berteduh di
sebuah kedai kopi pinggir jalan. Kedai kopi tersebut
dipenuhi oleh beberapa orang yang sepertinya juga
terjebak hujan sama sepertiku. Sebagian hanya
berteduh di depan pintu, sebagian memilih masuk ke
dalam dan memesan secangkir kopi untuk
menghangatkan tubuh mereka
Kopi Rindu, dahiku berkerut membaca papan
nama yang berada tepat di atas pintu masuk kedai itu.
Sudah cukup lama sejak terakhir kali aku mengunjungi
tempat ini. Maka tanpa menunggu lebih lama lagi, aku
segera memasuki pintu tersebut, memesan secangkir
kopi, dan memilih duduk di pojok ruangan tepat di
sebelah jendela.
Menurut berita cuaca pagi ini, matahari akan
bersinar cerah seharian penuh namun nyatanya prediksi
mereka salah besar. Aku sedikit menggerutu mendapati
aku yang mempercayai kata penyiar cuaca itu dan
memilih untuk tidak membawa payung. Padahal ibu
sudah mengingatkanku agar membawa payung untuk

427 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 428

berjaga-jaga. Lain kali aku akan lebih mempercayai


perkataan ibu daripada para penyiar cuaca itu.
Sembari menunggu mereka mengantarkan kopi
pesananku, aku mengeluarkan sebuah buku dari dalam
tas jinjingku dan membuka halaman yang kali terakhir
aku baca. Aku berniat menyelesaikan buku ini sekarang
juga.
Tak butuh waktu lama hingga akhirnya seorang
pria muda jangkung yang adalah pelayan menghampiriku
dan memberikan kopi yang aku pesan. Aku mengucapkan
terima kasih kepadanya sebelum akhirnya dia berjalan
mengantarkan kopi ke meja sebelah.
Meminum segelas kopi hangat sambil membaca
buku di hari yang dingin ini memang adalah perpaduan
yang pas. Rintik hujan yang jatuh membasahi bumi bagai
iringan melodi merdu yang menemaniku sore ini.
Sementara desir angin yang bertiup pelan selalu
membuatku ingin meneguk kopi untuk menghangatkan
tubuh.
Seseorang mengetuk mikrofon di panggung
kedai dan membuat seisi ruangan mengalihkan
pandangan kepadanya—termasuk diriku. Dia adalah
seorang pria muda berkulit kecokelatan dengan rambut
panjang yang dikuncir asal-asalan serta cambang tipis
yang menutupi rahangnya yang kuat. Begitu rasanya
seisi ruangan sudah menyadari keberadaannya, pria itu
kembali bersuara. Baru setelah itu aku tahu namanya
adalah Kai, dia dan teman-temannya bersama
mendirikan band yang sering bernyanyi di beberapa
kafe dan kedai, dan juga mengisi beberapa acara musik
di Kota Jakarta. Tanpa menunggu lama dia kemudian
menjelaskan lagu yang hendak dia nyanyikan dan
berharap kami yang berada di ruangan itu
menikmatinya.
―Hujan selalu memberikan makna tersendiri
bagiku.‖ Pria itu memulai kalimatnya sambil diiringi
iringan piano dan gitar. ―Apa teman-teman juga
demikian?‖ Aku yang semula memandang Kai,
menolehkan kepalaku ke jendela. Mencari jawaban atas
pertanyaan singkat yang dia berikan.
―Apa ada seseorang yang ingin kalian temui?
Apa ada seseorang yang ingin kalian ajak bicara namun
tidak bisa? Apa ada seseorang yang kalian rindukan?‖
Aku menutup bukuku, meletakkan kedua
lenganku di atas meja, dan diam-diam mengulangi
pertanyaan tadi dalam benakku.
Apa ada seseorang yang aku rindukan?
Jalanan yang sepi dan rintik hujan yang semakin
deras mengingatkanku kepada seseorang. Dan ketika
aku menyeruput kopi di hadapanku, semua semakin
jelas. Aku tahu apa dan siapa yang tengah aku
rindukan. Aku menolehkan kepalaku memandang kursi
kosong yang berada di hadapanku. Aku ingat kursi itu
tidak biasanya kosong. Selalu akan ada seseorang yang

429 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 430

mengambil tempat untuk duduk disana dan


mengingatkanku untuk berhenti membaca buku dan
meminum kopi milikku selagi hangat. Selalu akan ada
seseorang yang menemaniku menyusuri jalan menuju
rumah sepulang dari kedai ketika malam tiba. Selalu
akan ada seseorang yang berusaha membuatku tertawa
dengan candaannya yang kadang tidak lucu.
―Apa kalian sudah memberi tahu orang itu
bahwa kalian merindukannya? Apa kalian sudah
mengirim pesan singkat berisi aku merindukanmu
kepadanya? Atau kalian tidak punya cukup keberanian
untuk itu?‖ Kai kembali memberikan pertanyaan-
pertanyaan yang terlalu sulit bagiku untuk dijawab.
Ada perasaan tidak biasa ketika aku kembali
mengenang saat bersamanya. Saat-saat dimana aku
merasa bahagia hanya dengan sebuah tatapan, namun
akhirnya tatapan itu pula yang membuatku menangis.
Suara Kai yang merdu mememenuhi seisi
ruangan. Tiap kata berubah menjadi barisan melodi
indah yang membawaku kembali bersama memoriku
dengan lelaki itu.

***

Seakan baru kemarin ketika aku berada di bangku


kelas dua SMA, berlari dengan terburu-buru menuju
gerbang sekolah karena terlambat. Pintu gerbang
ditutup tepat saat aku hampir melangkah memasukinya.
Dengan penuh harap aku memohon-mohon kepada
penjaga sekolah untuk mengizinkanku masuk kali ini,
berhubung aku tidak pernah terlambat sebelumnya. Aku
bahkan diberi gelar siswa teladan saat aku kelas satu.
Tetapi dengan tegas pria tambun itu menolak untuk
membukakan pintu bagiku.
―Peraturan adalah peraturan!‖ ucap pria itu tegas
kemudian berjalan meninggalkanku. Aku masih berdiri
didepan pintu gerbang ketika tiba-tiba saja seorang
pria dengan rambut acak-acakan dan baju tidak sesuai
aturan menghampiriku. Dengan santainya pria itu
menghela nafas dan mengucapkan sesuatu—lebih
kepada dirinya sendiri, ―Ah, terlambat lagi.‖ Aku
langsung mengerti bahwa terlambat adalah hal biasa
bagi pria ini. Aku pun menatapnya dengan tatapan tidak
percaya bahwa ada orang sesantai ini ketika tahu
dirinya hendak dihukum.
Menyadari keberadaanku, pria itu balas
menatapku. Tatapan pertama kami yang tak kusangka
menjadi awal mula kisah aku dan dia. Pertemuan yang
entah harus aku sesalkan atau tidak.
―Gue Fajar.‖ Katanya singkat sambil mengulurkan
tangannya kepadaku. Aku menatap matanya untuk
sepersekian detik hingga akhirnya memutuskan untuk
membalas jabatan tangannya.
―Aku Embun.‖ Dia tersenyuvm tipis di sudut
bibirnya ketika aku mengucapkan namaku. Itulah

431 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 432

pertemuan pertama kami yang mengawali pertemuan-


pertemuan tak terduga kami lainnya.
Aku ingat— Saat itu pertengahan bulan oktober,
hanya beberapa bulan sejak kami berkenalan. Aku pergi
mengunjungi sebuah toko buku selepas pulang sekolah
untuk mencari buku keluaran terbaru penulis favoritku.
Begitu aku mendorong pintu kayu yang dicat putih itu,
aku menyapa Pak Wayan, sang pemilik toko yang berusia
sekitar pertengahan lima puluhan. Pengetahuan Pak
Wayan tentang buku patut diacungi jempol. Beliau juga
senang membicarakan puisi dan novel. Walaupun Toko
Buku Pak Wayan bukan toko yang besar, aku jamin
kalian akan menemukan buku apapun yang kalian cari.
Toko Buku Pak Wayan sudah berdiri hampir tiga puluh
tahun di kota kami. Hanya ada dua toko buku di kota ini,
Toko Buku Pak Wayan, dan toko buku di dekat alun-alun
yang dikelola oleh adik bungsu Pak Wayan. Dan karena
kota kami bukanlah kota yang besar, Toko Buku Pak
Wayan selalu ramai hampir tiap harinya.
Aku tengah mencoba meraih sebuah buku yang
sulit untuk kugapai karena terlalu tinggi ketika tangan
seseorang membantuku menggapainya. Ketika aku
hendak mengucapkan terima kasih, aku cukup terkejut
mendapati siapa yang menolongku. Dia adalah Fajar.
Mengenakan kaos hitam berjaket dan rambutnya masih
saja acak-acakan seperti biasa. Dia tersenyum sambil
memegang buku yang tadi ingin aku baca.
Aku tak pernah menyangka bacaan pria seperti
Fajar adalah buku sajak dan puisi. Baru setelah aku
mendengar cerita Fajar tentang ketertarikannya
kepada sastra membuatku terkejut. Fajar ternyata
memiliki lebih banyak pengetahuan tentang sastra yang
tidak pernah aku duga.
Begitu kami berdua membayar buku di kasir, Fajar
menawarkan diri untuk mengantarku pulang ke rumah.
Aku menyetujuinya dan kami pun berjalan kaki menuju
rumahku yang jaraknya tidak begitu jauh dari Toko
Buku Pak Wayan.
Sepanjang perjalanan kami membicarakan
berbagai hal.
Dan perlahan pandanganku mengenai Fajar
berubah. Dia bukan anak pembangkang seperti yang
sering aku dengar di sekolah. Dia menyenangkan dan
memiliki mimpi yang besar. Aku ingat bagaimana hari itu
matahari menerpa wajahnya membuat matanya tampak
kecokelatan dan senyum lebar Fajar ketika
membicarakan mimpi besarnya. Untuk pertama kalinya
aku merasakan debaran aneh di dalam dadaku yang
perlahan membuatku tersipu malu.
Aku ingat jelas bagaimana Fajar mengusap pelan
kepalaku begitu kami tiba di depan rumahku sebelum
akhirnya dia berlalu. Aku tak bisa melupakannya, dan
aku merindukan belaian tangan itu.

433 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 434

***

Suara Kai menyadarkanku dari dunia kecilku. Aku


pun menyadari bahwa lagu pertama Kai telah selesai.
Orang-orang bertepuk tangan memuji suara merdu Kai
dan pria itu mengucapkan terima kasih.
Aku menyentuh kepalaku, mengenang bagaimana
dia biasanya membelai kepalaku. Dan tanpa sadar aku
tersenyum tipis di sudut bibirku. Senyum tipis yang
bermakna sakit hati, bahagia, dan rindu mendalam pada
saat yang bersamaan. Aku merindukan masa lalu yang
aku tahu pasti tak akan bisa aku ulang.
Pada saat yang sama, ponselku berdering. Aku
mengeluarkan ponsel dari dalam tas jinjingku dan
menekan tombol hijau begitu melihat nama yang
tertera disana. Namanya adalah Ana. Temanku sejak
SMP, SMA, dan bahkan kami bersama-sama merantau
ke Jakarta. Ana adalah sahabat yang luar biasa. Dia
selalu tahu apa yang aku pikirkan, dan dia bahkan
sangat mengenal diriku jauh daripada aku mengenal
diriku sendiri.
―Tadi gue ketemu Fajar.‖ Aku tertegun
mendengar apa yang Ana katakan. Hanya mendengar
nama itu saja sanggup membuatku terpaku dan tak
mampu berkata-kata. Aku masih tidak mengerti apa
yang Ana katakan dan bertanya sekali lagi apa
maksudnya.
Ana kembali menjelaskan bahwa pagi ini tanpa
sengaja dia berpapasan dengan Fajar di jalan menuju
rumah sakit tempat dia bekerja. Mereka tidak sempat
saling menyapa karena Fajar terlihat sangat terburu-
buru saat itu. Aku menundukkan kepalaku. Semua ini
tidak penting untuk aku ketahui.
―Bukan urusan gue, Na.‖ Ucapku dengan pelan dan
putus asa kepada Ana. Ana mengerti hal itu. Dia tahu
ada sesuatu dalam diriku yang berharap segala sesuatu
tentang Fajar menjadi urusanku. Tapi hidup tidak bisa
terus berjalan sesuai apa yang kita inginkan.
―Lo harus mulai belajar berdamai dengan masa
lalu, Embun.‖
Setelah percakapan singkat lainnya, aku menutup
teleponku dengan Ana. Mungkin benar kata Ana bahwa
aku harus belajar berdamai dengan masa laluku. Tapi
semua ini tidak semudah itu untuk dilakukan. Sudah tiga
tahun sejak terakhir kali aku mendengar suaranya. Dan
selama tiga tahun itu aku telah mencoba untuk
melupakan bahkan berhenti merindukannya. Tapi setiap
kali aku mencoba untuk memikirkan hal lain, entah
bagaimana semua itu selalu berujung kepada dia.
Aku ingat— Kala itu sore hari di pelabuhan. Begitu
mendengar pengumuman kelulusan, Fajar menawarkan
diri untuk mengantarku pulang karena kebetulan dia
mengendarai motor lama milik ayahnya hari itu. Fajar
berkata ingin menunjukkan sesuatu kepadaku sebelum

435 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 436

benar- benar membawaku kembali ke rumah. Aku


tersenyum dan hanya mengiyakan perkataannya.
Tak butuh waktu lama hingga akhirnya kami tiba
di pelabuhan kapal kota kami. Aku menautkan alisku
kepada Fajar begitu kami melepaskan helm dan
meletakannya di atas motor. Fajar yang mengerti
maksudku hanya tersenyum tipis dan mengatakan, ―Nanti
juga kamu tahu.‖
Fajar membawaku ke pesisir pantai dimana ada
sebuah kapal karam yang tampak terlalu cantik untuk
hanya berdiam diri disana. Dia menawarkan tangannya
untuk membantuku berjalan menuju bagian depan kapal.
Dan disanalah aku mulai menyadari betapa indah
lukisan-Nya. Aku tertegun untuk sesaat sebelum
akhirnya Fajar memanggilku untuk duduk di sebelahnya.
―Hari ini cerah, jadi aku mau lihat mataharinya
terbenam sama kamu.‖
Aku terkekeh pelan tidak menanggapi dengan
serius apa yang baru saja Fajar katakan. Aku malah
sibuk menatap langit yang merah keemas-emasan, dan
pantulan sinar matahari pada hamparan laut yang
tenang. Dan aku pun menyadari betapa sibuknya aku
menjalani hidup hingga tidak mensyukuri dan menyadari
bahwa dunia ini lebih indah dari apa yang aku pikirkan.
Ketika aku menolehkan kepalaku ke kanan, ketika
tatapanku bertemu dengan mata sendu itu, jantungku
berdebar semakin keras.
Aku bertanya-tanya dalam hati sudah berapa lama
dia menatapku seperti itu. Dan ketika aku hendak
mengucapkan sesuatu, Fajar lebih dulu mengatakannya.
Ungkapan cinta yang sederhana dan tulus yang dapat
aku saksikan dari kedua mata itu. Aku terkejut
mendengar kata-kata singkat itu, dan ketika tangan
hangatnya menyentuh tanganku, aku tahu semuanya
semakin jelas. Mengenai perasaanku kepadanya sejak
pertama kali kami bertemu.
Aku menghabiskan hari itu menyaksikan matahari
terbenam bersama Fajar di atas kapal karam sambil
membicarakan mengenai segala kemungkinan-
kemungkinan yang hendak terjadi kepada kami di masa
depan. Fajar mengatakan dia mungkin tidak bisa
meramal masa depan. Tapi satu hal yang dia tahu pasti,
―Aku akan selalu mencintaimu.‖
Kata-kata tersebut terdengar sangat indah pada
saat itu. Hingga akhirnya aku menyadari bahwa kata-
kata yang keluar dari mulut Fajar pada saat itu hanyalah
janji semu masa remaja kami. Tanpa sadar aku
mengusap air mataku mengenang semua ini. Memang
benar bahwa tidak segala sesuatu berjalan sesuai apa
yang kita inginkan.

***

Aku menyesap kopi dihadapanku yang perlahan


mulai dingin. Pada saat yang sama Kai mengatakan

437 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 438

bahwa dia akan membawa lagu keduanya. Semua orang


di ruangan terlalu sibuk dengan lawan bicara, atau
menikmati kesendirian mereka hingga tidak ada yang
mengatakan apa-apa.
Hujan mulai mereda dan beberapa orang
melangkahkan kaki mereka keluar dari kedai. Tapi aku
masih disini dan belum mau beranjak pergi. Aku masih
memandang Kai yang tengah bernyanyi ketika suara
pintu terbuka membuatku sontak menoleh. Aku
tertegun tidak percaya begitu melihat siapa yang
tengah melangkahkan kakinya memasuki kedai. Mataku
terus mengikutinya ketika memesan kopi, dan berjalan
mencari tempat duduk. Dia adalah Fajar. Aku tidak
melihat banyak perubahan dalam dirinya. Dia tampak
lebih tinggi, rambutnya sedikit lebih panjang dan di cat
cokelat kemerah-merahan, namun senyumnya masih
sama seperti yang ada dalam ingatanku.
Aku bahkan tidak menyadari Fajar berjalan
kearahku saking terkejutnya. Aku kira Fajar tidak
menyadari keberadaanku hingga akhirnya langkahnya
terhenti tak jauh dariku dan ketika tatapan kami
bertemu, aku yakin Fajar juga sama terkejutnya
denganku.
Pada saat ini juga, aku ingin berlari memeluknya
melepas segala kerinduanku. Namun aku dikekang oleh
kenyataan pahit yang memisahkan jarak antara aku dan
Fajar. Aku berniat berjalan keluar kedai ketika tangan
itu menahanku. Fajar menggenggam pergelangan
tanganku dan memberikan tatapan dingin yang tidak
biasa.
―Ada yang ingin aku bicarakan.‖
Aku hendak menjawab ketika Fajar memohon
sekali lagi dengan tatapannya yang mencoba
meyakinkanku. Aku mengangguk kemudian berjalan ke
pojok ruangan, meja yang tadi aku tempati.
Keheningan memenuhi kami berdua. Aku maupun
Fajar hanya memandang ke sembarang arah hingga
akhirnya seorang pelayan mengantarkan kopi pesanan
Fajar dan aku pun memberanikan diri memulai
percakapan diantara kami berdua.
―Apa yang mau kamu bicarakan?‖ Fajar yang
semula menunduk menolehkan kepalanya kepadaku.
Tatapan Fajar yang tadinya dingin berubah melembut
ketika hendak menjawabku.
―Aku ingin minta maaf.‖
Mendadak, semua kenangan itu kembali
menghampiriku. Lima tahun lalu ketika Fajar menemuiku
di kedai ini. Semua tampak sama, hanya saja rambut
Fajar berwarna hitam dan tidak sepanjang sekarang.
Kala itu sore hari yang kelabu. Fajar mengirim
pesan ingin menemuiku di kedai tempat kami biasa
bertemu. Aku menyetujuinya dengan penuh semangat.
Namun aku tidak melihat keceriaan yang sama ketika
aku melihat Fajar duduk di kursi menungguku dengan
memandang keluar jendela. Fajar bahkan baru
menyadari keberadaanku saat aku memanggilnya untuk

439 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 440

kedua kali. Aku mengernyitkan dahiku heran dengan


tingkah Fajar sore ini. Namun karena tidak ingin
merusak suasana, aku mencoba meyakinkan diri bahwa
semua baik-baik saja.
Kami memesan dua cangkir kopi, membicarakan
beberapa hal seperti biasanya hingga kemudian Fajar
mengatakan ingin membicarakan sesuatu yang serius
denganku. Aku terkekeh pelan karena tidak biasanya
melihat Fajar seserius ini. Tapi ketika Fajar
menggenggam tanganku dan mengatakan hal ini sangat
penting, aku mencoba menanggapinya dengan serius
pula.
―Jadi, ada apa?‖
Fajar menjelaskan semuanya kepadaku dengan
jelas. Dia mengatakan bahwa dirinya mendapatkan
beasiswa untuk melanjutkan studinya di Inggris, dengan
syarat dia harus bekerja di sana selama beberapa
tahun selesai studinya.
―Kau bisa menghentikanku. Jika kau tidak
menginginkanku mengambil beasiswa itu, aku tidak akan
mengambilnya. Karena aku tidak yakin kapan kita akan
bertemu kembali.‖ Aku menggenggam tangan Fajar. Aku
tahu impiannya sejak dulu untuk melanjutkan sekolahnya
di luar negeri. Dan aku tidak ingin menjadi penghalang
bagi mimpi-mimpinya.
―Jangan memikirkan aku. Ini adalah impianmu, dan
aku mau kamu mengambil keputusanmu sendiri.‖ Fajar
bertanya sekali lagi untuk meyakinkanku. Dan aku pun
menjawabnya dengan penuh keyakinan bahwa aku sama
sekali tidak masalah dengan jarak. Aku coba meyakinkan
Fajar sekali lagi bahwa kita bisa berkomunikasi kapan
saja, dan aku akan senantiasa menunggu disini.
Dua minggu setelah itu, aku mengantar Fajar ke
bandara dan itu adalah kali terakhir aku melihatnya.
Dia memelukku erat, mencium keningku hangat, dan
berbisik di telingaku sebelum melerai pelukan kami.
―Tunggu aku, aku pasti kembali.‖ Dan saat itu juga
tangisku pecah begitu saja. Semua air mata yang aku
tahan tidak bisa terbendung lagi. Aku tidak ingin
melepas pelukan kami. Tapi kemudian aku sadar, akulah
yang membuat Fajar memilih semua keputusan ini.
Begitu melerai pelukan kami, aku melambaikan
tanganku seraya menangis terisak- isak kepada Fajar
yang perlahan mulai menghilang dari pandanganku.
Selama beberapa waktu, hubungan jarak jauh
kami sangat indah. Setiap pertemuan menjadi sangat
amat berharga. Melalui layar ponsel kami, aku menemani
Fajar menyelesaikan tugasnya yang bertumpuk-tumpuk,
menikmati makan pagi, siang, dan malam kami, serta
berbicara di telepon untuk waktu yang lebih lama dari
biasanya. Pertemuan kami bahkan bisa dibilang lebih
sering dibanding pasangan yang tidak menjalani
hubungan jarak jauh. Hubungan ini membuat masing-
masing dari kami semakin menghargai waktu dan jarak.
Aku pun mulai berpikir bahwa hubungan jarak jauh tak
sesulit apa yang aku bayangkan.

441 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 442

Hingga perlahan segalanya mulai berubah.


Kesibukan menuntut kami untuk tidak saling
menghubungi sesering biasanya. Perbedaan waktu
menjadi penghalang bagi kami untuk berkomunikasi.
Dan setelah dua tahun, aku tahu bahwa Fajar mulai
lelah dengan hubungan kami. Aku menghubunginya pada
pukul sepuluh malam di Jakarta karena sudah beberapa
hari ini aku tidak mendengar kabar apa-apa darinya.
Aku mencoba berpikir positif bahwa mungkin saja dia
sedang sibuk sekarang. Tapi aku tetap khawatir dengan
keadaannya. Maka setelah panggilan kedua, akhirnya
Fajar mengangkat teleponnya. Suaranya tidak
bersemangat dan aku yakin dia tidak begitu
mengharapkan telepon dariku. Tapi aku mencoba
meyakinkan diriku bahwa semua baik-baik saja.
Fajar yang hanya mendengarkan ceritaku,
mendadak menyela dengan dingin. Cara dia memanggilku
tidak sama seperti Fajar yang aku kenal. Aku mencoba
menepis semua pikiran buruk hingga akhirnya Fajar
mengucapkan kata-kata itu.
―Aku lelah, Embun.‖ Ujar Fajar dingin. ―Aku ingin
kita sampai disini saja.‖
Aku masih tidak mengerti apa maksud semua ini
dan aku kembali bertanya kepada Fajar. Aku mencoba
meyakinkan Fajar bahwa semua baik-baik saja. Bahwa
aku akan menunggu Fajar seberapa lama itu. Tapi Fajar
tidak ingin menjelaskan lebih lanjut lagi. Dia hanya ingin
hubungan kami berakhir. Aku terlalu bingung untuk
menitihkan air mata pada saat itu. Begitu aku mulai
menyerah meyakinkan Fajar, dia pun memutuskan
sambungan telepon kami. Sejak saat itu aku tidak
pernah mendengar kabar apa-apa lagi tentang Fajar.
Semua kontakku dengannya terputus, bahkan akun
sosial media kami tidak saling berhubungan lagi. Dia
menghilang bagai ditelan bumi tiga tahun lalu, dan
sekarang muncul lagi di hadapanku?
Setelah tiga tahun aku ditinggalkan dengan penuh
kebingungan dan tanda tanya, Fajar kembali lagi di
hadapanku, meminta maaf karena memutuskan
hubungan kami begitu saja.
―Aku tidak butuh maafmu. Aku hanya butuh
penjelasan.‖ Ucapku pelan namun dengan yakin. Aku
menatap kedua mata Fajar mencoba meminta jawaban
yang ingin aku dengar. Sepersekian detik kemudian,
Fajar memutuskan untuk buka suara.
Dia menjelaskan semuanya kepadaku. Mengenai
ibunya yang sakit parah di kampung halaman sementara
Fajar tidak bisa melakukan apa-apa. Dia merasa
bersalah atas pilihannya lima tahun lalu. Saat itu Fajar
terus menyalahkan dirinya karena egois untuk meraih
mimpinya dan memilih meninggalkan keluarganya dan
aku. Dia berada pada titik terendahnya saat itu, dan
satu-satunya hal yang dia pikir pilihan terbaik adalah
memutuskan hubungan denganku. Fajar berkata dia
tidak ingin membuatku menunggu lebih lama dan
memilih mengakhiri semuanya saja.

443 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 444

Aku menundukkan kepalaku. ―Bukan ini yang aku


inginkan. Harusnya kau jelaskan semuanya kepadaku
sejak dulu.‖ Suaraku bergetar dan aku mencoba sekuat
tenaga menahan isak tangisku. Tangan Fajar yang dingin
mengenggam tanganku, dan salah satu tangan lainnya
mengusap pelan pipiku.
Aku tidak habis pikir betapa berat beban pikiran
Fajar saat itu. Memikirkan bagaimana dia menjalani
hari-harinya sendiri dengan penuh rasa bersalah dan
kesepian membuatku menangis tak tahan lagi menahan
air mata. Aku mendongkakkan kepalaku menatap Fajar
yang tersenyum agar aku tidak menangis lagi, namun hal
itu sama sekali tidak membantu. Aku justru semakin
sedih memandangnya.
―Aku merindukanmu selama ini… Sangat amat
merindukanmu.‖ Ucapku seraya terisak-isak. Fajar
beranjak dari tempat duduknya dan memilih duduk di
sebelahku kemudian memelukku erat. Dengan suara
rendah Fajar berbisik, ―Aku juga merindukanmu. Dan
perasaanku padamu masih sama sejak dulu, aku
mencintaimu.‖
Hujan telah sepenuhnya berhenti dan segala
kerinduan yang kami tanam selama tiga tahun terakhir
juga berakhir dengan pelukan hangat dan pelajaran
berharga tentang kepercayaan. Ketika tatapanku dan
dia bertemu, aku tahu kami tidak bisa meramal masa
depan. Tapi satu hal yang kami tahu pasti, kami akan
saling mencintai hingga waktu yang tak terhingga.
Sepucuk Rindu untuk Amiq
Karya : Marlia Zuhraini

―Biarkan aku terkoyak angin, mengubur lelah


memupuk rindu. Menunggu untuk kembali pada pelukmu
wahai sang pengobat hati, penyembuh luka‖.
Dinginnya angin malam masih membekas hingga
waktu adzan subuh berkumandang. Ruangan masih
terlihat gelap tanpa cahaya penerang, fajar akan
segera tiba menggantikan gelapnya malam. Aku
bergegas menuju kamar mandi mengambil air wudhu dan
bersegera melaksanakan sholat subuh. Para warga
terlihat lalu lalang dengan kesibukan masing-masing tak
terkecuali aku yang sedang jalan-jalan pagi, berhubung
hari ini libur. Selepas jalan-jalan pagi, aku berencana
membersihkan rumah yang sudah seharusnya
dibereskan. Aku tinggal sendiri, sehingga kesibukanku
ditempat kerja dari pagi sampai sore membuatku tidak
sempat membereskan rumah. Setelah lulus kuliah aku
langsung mendapatkan pekerjaan sebagai staf IT di
sebuah bank swasta.
Ukuran rumah yang tidak terlalu luas seharusnya
tidak membutuhkan waktu yang lama untuk
menyelesaikan acara bersih-bersih rumah, mulai dari
dapur dan berakhir di kamar tidur. Perlahan ku buka
kardus yang menyita perhatianku ternyata isinya adalah

445 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 446

kumpulan puing puing piala yang aku dapatkan ketika


mendapatkan juara lomba. Sayangnya, piala- piala itu
sudah tidak bisa dipajang karena sudah patah bahkan
remuk.
Melihat puing-puing piala itu mengingatkanku pada
seseorang. Dia adalah ayahku namun aku biasa
memanggilnya dengan sebutan Amiq. Orang yang paling
menyayangiku dan menjadi support system saat aku
hampir putus asa.
Amiq membesarkan ku seorang diri karena ibu
pergi meninggalkan kami. Jika ditanya apakah aku
membenci ibuku atau tidak? Tentu saja tidak, karena
aku sadar sebagai seorang perempuan pasti ibu juga
ingin merasakan hidup serba berkecukupan dan mungkin
itu tidak ibu dapatkan di Amiq.
Mungkin kalian akan berfikir Amiq adalah orang
yang pemalas dan tidak mau bekerja, tetapi itu salah.
Sewaktu Amiq merantau ke malaysia bekerja di bagian
sawit, gaji setiap bulannya Amiq kirim untuk kami
dirumah.
Kabar menyedihkan datang dari Amiq karena
terjadi insiden pada saat panen sawit. Pisau Egrek yang
digunakan untuk memanen sawit jatuh menimpa paha
Amiq sehingga menyebabkan tulang paha nya patah.
Amiq dilarikan ke rumah sakit dan Alhamdulillah
mendapatkan pertolongan pemasangan pen di paha.
Karena dirasa sudah tidak bisa bekerja, akhirnya Amiq
dipulangkan ke Indonesia.
Disamping sangat merindukan Amiq, aku juga
membutuhkannya disampingku sekarang. Ada beberapa
masalah yang mengganggu hidupku belakangan ini
terutama masalah pekerjaan yang tak henti.
Aku menghela nafas berat. ―Dia sudah pergi‖
ucapku.
Ku pandangi semua isi kardus ini, dan meneteskan
air mata seakan membayangkan wajah Amiq yang sering
bersedih akibat perbuatanku di masa lalu.
Semasa SD aku sering ngambek kepada Amiq
karena tidak bisa membelikan barang seperti milik
teman-temanku. Meskipun aku tahu Amiq tidak akan
mampu tetapi aku tetap memaksa dibelikan barang
barang seperti tas beroda, binder, dan boneka barbie
seperti milik teman-temanku.

***

Setelah lulus SD aku memutuskan untuk


bersekolah ke sekolah favorit di kota dengan harapan
tidak akan bertemu dengan teman satu desa yang
mengetahui kondisi sebenarnya diriku. Amiq menentang
keputusanku saat itu, karena kondisi ekonomi yang tidak
memungkinkan dan juga tidak ada kendaraan yang akan
dipake ke sekolah. Jarak rumahku ke sekolah lumayan
jauh jika ditempuh dengan berjalan kaki maka
membutuhkan satu jam lebih untuk sampai di sekolah.
Tetapi aku tetap mempertahankan keinginanku untuk

447 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 448

bersekolah di sana dengan ancaman ―jika aku tidak


sekolah disana berarti aku tidak akan pernah belajar
kalau bersekolah di tempat lain‖ mendengar ancaman
seperti itu, Amiq luluh dan menyerahkan segala
keputusana kepadaku tetapi dengan syarat Amiq tidak
mau tahu kendaraan apa yang bakal aku gunakan ke
sekolah kelak.
Pagi itu, semua siswa terlihat berpakaian rapi,
turun dari motor bahkan ada yang turun dari mobil
dianter oleh orang tuanya. Sedangkan aku, aku terlihat
ngos-ngosan, capek, dan bajuku telah basah oleh
keringat. Karena tidak punya motor bahkan tidak cukup
uang untuk membayar angkutan umum ke sekolah
sehingga aku harus berjalan kaki ke sekolah yang jarak
tempuhnya lumayan jauh.
Sepatutnya aku bangga bisa sekolah di sekolah
favorit seperti ini, karena teman- temanku banyak yang
menginginkan sekolah disini tetapi tidak lulus tes
seleksi masuk. Saat itu aku tidak memikirkan dimana
Amiq akan mendapatkan uang untuk membayar biaya
masuk sekolah yang terpenting buatku adalah bisa
bersekolah di sekolah favorit.
Sekolah ditempat favorit seperti ini memang
harus banyak uang. Sebenarnya aku iri melihat teman-
temanku yang bisa membeli apapun yang mereka
inginkan, sedangkan aku tidak bisa. Teman-temanku
yang lain bisa ke sekolah menggunakan motor atau
angkutan umum sedangkan aku hanya berjalan kaki. Aku
sengaja berangkat pagi dan pulang sore supaya tidak
kepanasan di jalan. Teman-temanku selalu menanyakan
mengapa aku pulang sore, tetapi aku selalu mengelak
kalau Amiq hanya bisa jemput di sore hari. Kadang ada
teman- temanku yang berbaik hati mau mengantarkan
aku pulang tetapi karena takut nantinya bakal ketemu
Amiq jadi aku menolak. Kegiatan ini aku lakukan selama
3 tahun di SMP.
Bersekolah di tempat favorit memang membuatku
sering merasa minder karena tidak bisa seperti teman-
temanku yang lain. Namun aku tetap pada pendirianku
yang tidak mau sekolah di tempat yang biasa, biar aku
bisa pamer ke teman-temanku di desa.

***

Sekarang aku sekolah di SMA favorit juga, karena


sebagian besar teman-temanku sekolah kesini.
Sebenanrnya Amiq tidak mengizinkan karena biayanya
yang lumayan mahal, namun aku tetap ngotot ingin
sekolah ditempat ini. Karena tidak mau berdebat
denganku akhirnya Amiq setuju kalau aku sekolah di
sini. Seperti sebelumnya, aku tidak peduli gimana
caranya Amiq mendapatkan uang buat biaya daftar
ulang, yang penting aku tinggal masuk sekolah.
―Kita ke Gili Trawangan hari minggu, gimana ??‖

449 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 450

Kepalaku mendongak, menatap sepasang mata


berbinar milik Yuli yang duduk di hadapanku sambil
mengunyah pentol sebagai cemilan siang.
―Ngapain?‖ Tanyaku dengan kening berkerut
sambil mengaduk batagor agar bumbunya tercampur
rata.
―Ya liburan Husna, kamu juga pasti belum kesana
kan?‖
Pertanyaan yang sedikit menyebalkan, tapi benar
juga sih aku memang tidak pernah liburan ke gili
trawangan. Jangankan ke Gili Trawangan, pantai di satu
kabupaten aja aku belum pernah. Dulu saat masih SMP,
sempat ada acara perpisahan ke pantai tetapi aku tidak
ikut karena Amiq tidak mempunyai uang untuk aku
pergi.
―Wee na malah bengong‖ kata Yuli.
―Ya aku ikut‖, jawabku.
Sebenarnya aku sengaja menyetujui ajakan
teman-temanku karena merasa tidak enak jika harus
menolak.
Sepulang sekolah aku langsung bilang ke Amiq
kalau aku akan pergi ke Gili bersama teman-temanku.
Aku ngotot ingin pergi tetapi Amiq juga ngotot
melarang aku pergi sampai membentakku. Untuk
pertama kalinya Amiq membentakku. Aku memutuskan
untuk tidak pergi, tetapi alasan yang aku berikan
kepada teman-temanku karena ada acara keluarga.
Emosi remaja yang begitu melingkupi hati telah
berhasil membuatku mogok bicara kepada Amiq selama
empat hari. Meskipun Amiq tetap mencoba mengajakku
berbicara tapi tetap saja aku menjawab sekedarnya
saja.
Aku memang sering mogok ngomong ke Amiq
bahakan sering membentak dan dan memarahi Amiq
tapi Amiq tidak pernah balik memarahiku. Padahal Amiq
selalu berusaha memenuhi kebutuhanku, dia berusaha
banting tulang tanpa kenal waktu. Aku malu dengan
kelakuanku dahulu yang sangat tidak hormat kepada
Amiq.

***

Senja seakan memancarkan sinarnya yang begitu


indah saat aku berjalan melewati persawahan, seakan
mengobati rasa lelah akibat berjalan dari sekolah
sampai rumah yang jaraknya cukup jauh. Akhir-akhir ini
aku sering pulang sore karena ada les untuk kelas 3
menyambut ujian Nasional.
Sesampai dirumah aku tidak menemukan Amiq,
padahal hari sudah malam dan nampak gelap
kemungkinan akan terjadi hujan.
―Ya ampun Amiq kemana sih‖ gumamku.
Meskipun aku sering melawan Amiq aku juga
khawatir dengan keadaan Amiq terlebih karena kondisi
kakinya. Hujan turun membasahi bumi, malam yang

451 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 452

gelap ditambah dengan hujan dan gemuruh membuat


malam terasa menyeramkan. Tiba-tiba aku mendengar
suara pintu kamar mandi dibuka dan ku lihat Amiq.
Mungkin Amiq baru pulang dari sawah selepas
mencangkul atau menyabit rumput sawah milik tetangga.
Ada perasaan lega yang aku rasakan setelah melihat
Amiq datang. Aku masuk ke kamar dan akan
mengerjakan soal-soal latihan untuk ujian nasional.
―Aduuh, astagfirullah ya Allah‖ suara ringisan itu
tak henti hentinya ku dengar setelah ada petir.
Aku yakin itu adalah suara Amiq, aku mencoba
mengintip keluar dan tanpa sadar aku meneteskan air
mata melihat kondisi Amiq yang sangat
memperihatinkan saat itu Amiq yang duduk di pojok
ruangan sambil memeluk kedua kakinya.
Aku berjalan pelan menghampiri Amiq yang
kelihatan sedang menahan sakit.
―Amiq kenapa ?‖ tanya ku.
―Paha Amiq terasa ngilu, ada getaran yang Amiq
rasakan kalau ada petir‖
―kenapa bisa begitu?‖ tanyaku lagi.
―mungkin karena pen yang ada didalam tubuh
Amiq‖ jawab Amiq.
Meski tampak tegar tapi aku bisa melihat Amiq
sedang menahan sakit yang luar biasa.
Seketika aku memeluk Amiq mencoba
menenangkan Amiq yang sedang kesakitan. Aku berjanji
dalam hati untuk tidak akan menyakiti Amiq lagi, dan
akan berbakti kepada Amiq. Setelah malam itu, aku dan
Amiq menjadi sering berkomunikasi dan makan
bersama. Berangkat sekolah pun sekarang aku harus
pamit dan bersalaman kepada Amiq. Membuat hubungan
kami lebih dekat, meski sangat sederhana tetapi Amiq
terlihat lebih bahagia. Karena yang terpenting buat
Amiq adalah bisa lebih dekat dengan anaknya.

***

Alhamdulillah aku diterima di Universitas Negeri


di Lombok, sebenarnya aku sudah berencana untuk
bekerja selepas lulus SMA jika tidak mendapatkan
beasiswa bidikmisi. Mengandalkan beasiswa saja
kemungkinan tidak akan cukup untuk memenuhi
kebutuhanku.
Jadi aku berusaha untuk mencari uang jajan
dengan cara berjualan cilok di kampus. Apakah aku
malu? iya mungkin awal-awal aku malu tetapi setelah
beberapa hari jualan aku jadi terbiasa malahan
terkadang teman-teman membantuku berjualan.
Selain kuliah dan berjualan, kegiatanku sehari-hari
adalah mengikuti organisasi menulis. Awal mula aku
berminat mengikuti organisasi ini adalah karena cerita
dari kakak tingkat yang bisa keluar daerah gratis dan
bisa membantu orangtuanya dari hadiah juara yang
didapat karena hadiah juara itu memang lumayan tinggi.
Selain untuk mendapatkan hadiah aku juga ingin

453 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 454

membuat Amiq bangga karena ku. Selama ini, Amiq selalu


berharap agar aku bisa mendapatkan piala yang bisa
dipajang dirumah.
Lomba pertama yang aku ikuti adalah lomba essay
tingkat universitas, meskipun belum bisa tapi aku tetap
mengirimnya ke panitia seleksi dan hasilnya tidak lolos.
Meskipun aku tidak lolos tetapi aku tidak menyerah dan
mencoba lomba yang diadakan oleh kegubernuran.
Hadiah untuk juara 1 lumayan menggiurkan makanya aku
sangat tertarik mengikuti lomba itu. Untuk kali ini aku
tidak mau gagal yang kedua kalinya, oleh karena itu aku
konsultasi terlebih dahulu sebelum mengirim karya yang
aku buat ke kakak tingkat yang sudah berpengalaman,
selain itu aku juga meminta doa kepada Amiq supaya aku
bisa lolos seleksi. Merasa karya yang dikirim sudah
bagus dan maksimal dalam berdoa membuatku yakin
bahwa aku akan mendapatkan juara.
Hari ini adalah hari yang aku tunggu, pengumuman
hasil seleksi karya yang sudah dikirim. Perasaanku dag
gig dug tak karuan tetapi aku berfikir positif dong
kalau akan lolos. Aku membuka website tempat
diumumkannya hasil seleksi tersebut dan taaraaaa
tidak ada namaku di peserta yang lolos seleksi. Hatiku
rasanya diiris dan dicakar cakar, saakit dan periih
rasanya. Apa yang akan aku bilang ke Amiq, bagaimana
reaksinya kalau tau aku tidak lolos seleksi ini fikirku.
Aku pulang dengan berjalan gontai sampai depan
rumah aku mengucap salam tapi tak ada jawaban dari
Amiq, aku berniat mencari Amiq di sawah mungkin saja
Amiq sedang bekerja di sawah. Ku lihat Amiq sedang
duduk di pinggir sawah sambil memegang sabit
sepertinya beliau sedang istirahat sehabis menyabit
rumput yang mengganggu pertumbuhan padi.
Amiq tertegun melihat kedatanganku lalu
menyambutku dengan garis yang terbentuk di bibirnya.
―Gimana nak hasilnya?‖ tanya Amiq saat aku mau
duduk di dekatnya.
Tak sanggup aku membalas petanyaan Amiq
karena hanya kekecewaan yang akan didapatkan. Aku
ingin menangis, tapi aku tahu air mata ini hanya akan
menambah beban fikiran Amiq dan tak akan mengubah
segalanya. Amiq merangkulku dengan pelukan yang
hangat. Seketika aku merasa dialah orang yang Tuhan
kirimkan untukku sebagai pengobat hati.
―sabar nak, Tuhan sudah menyediakan hadiah
terindah untuk kamu nantinya, sabar ya‖. Ucapnya
sambil mengelus lembut kepalaku.
Meski aku belum menyampaikan apapun tetapi
Amiq mengerti arti raut wajahku.
―maafkan Husna Amiq, Husna belum bisa
membanggakan Amiq kataku‖.
―Amiq tahu gimana kamu sudah berusaha maksimal
nak, mungkin saja disini bukan rezekimu‖ hibur Amiq.
Aku merasa sedikit lega setelah mendengar
nasehat Amiq.

455 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 456

***
Hampir dua tahun Amiq meninggalkan aku
sendiri. Luka yang lama terasa di putar kembali.
Kejadian malam yang mencekam merenggut nyawa Amiq.
Setelah gagal beberapa kali, aku mulai putus
asa untuk mengikuti lomba tetapi Amiq tetap
menyemangatiku supaya mencoba lomba yang lain lagi.
Menulis adalah bidang yang aku sukai, jadi lomba yang
aku ikuti selanjutnya adalah lomba karya tulis ilmiah
tingkat nasional di pulau jawa. Sebenarnya aku sekedar
iseng iseng nyoba dan tidak terlalu berharap lolos.
Sampai hari pengumuman pun aku nggan untuk membuka
hasil seleksi, karena aku yakin tidak akan lolos. Tiba-
tiba aku terima pesan dari teman organisasiku dan
isinya adalah ucapan selamat bahwa aku lolos sebagai
finalis. Aku bingung mau bersikap bagaimana, ntah mau
bahagia atau malah bersedih karena aku tidak mungkin
pergi keluar daerah sendiri. Sebelumnya aku tidak
menceritakan kepada Amiq bahwa aku ikut lomba lagi,
takut Amiq akan berharap seperti sebelumnya.
―Amiq, husna lolos seleksi finalis lomba karya
tulis ilmiah, tapi di surabaya‖ jelasku pada Amiq.
Amiq terdiam sesaat.
―Amiq tenang saja, aku juga mau mengundurkan
diri dari daftar finalis kok jadi jangan khawatir ya‖
―kamu tidak perlu mengundurkan diri Husna,
mungkin ini jalan mewujudkan mimpi kamu‖ kata Amiq.
Mendengar ucapan Amiq aku jadi bersemangat untuk
tetap mengikuti lomba itu. Keesokannya aku urus
semua berkas berkas pengajuan bantuan dana di
kampus. Dan alhamdulillah aku dapat bantuan dana full
dari kampus.

Minggu 29 juli 2018


Hari yang ditunggu telah tiba, hari
keberangkatanku Surabaya, sebenarnya aku grogi
karena ini adalah pertama kalinya aku akan naik
pesawat. Sehabis solat subuh aku mengecek barang-
barang yang akan aku bawa. Tiba-tiba guncangan yang
lumayan besar terjadi, aku dan Amiq bergegas keluar
rumah dan para tetangga sudah berada di halaman
rumah juga. Aku sempat berfikir apakah gempa ini
adalah pertanda bahwa aku tidak usah pergi. Aku takut
tapi Amiq memintaku untuk tetap berfikir positif. Aku
pamit sambil memohon doa restu kepada Amiq. Amiq
memelukku sangat lama dan menasehatiku biar jaga diri
baik-baik disana.

***

Kini tiba pengumuman juara lomba karya tulis.


Demi apapun aku sangat deg degan saat itu, harap harap
cemas bakal mendapatkan juara. satu persatu nama yang
mendapatkan juara disebut. dimulai dari juara harapan

457 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 458

2 sampai juara 2 tetapi sayangnya tidak ada namaku.


Sedih rasanya karena merasa sangat gagal.
―Juara 1 adalah Husna‖ dengan suara yang khas
saat pengumuman juara.
Aku melotot kaget mendengar namaku yang
dipanggil. Mendapatkan juara 1 adalah impian ku dan
juga harapan besar Amiq selama ini. Aku tidak sabar
memberitahu Amiq bahwa aku mendapatkan juara.
Tetapi rasa tidak sabarku harus ditunda mengingat
Amiq tidak mempunyai HP yang bisa dihubungi.
Seminggu di Surabaya membuatku rindu dengan sosok
Amiq rasa tak sabar ingin menunjukkan piala yang aku
dapat sepertinya sudah tidak bisa ditahan lagi. Setelah
sampai di bandara Lombok aku langsung mencari
kendaraan untuk pulang. Sepanjang perjalanan aku
memikirkan bagaimana reaksi Amiq menerima piala dan
oleh-oleh dariku. Perjalanan yang ku tempuh berasa
sangat lama, mungkin karena aku tidak sabar bertemu
Amiq.
Rumah nampak sepi dan tak ada satupun warga
yang lewat untuk aku menanyakan keberadaan Amiq.
Karena berfikir Amiq pasti di sawah jam segini, jadinya
aku memutuskan untuk beristirahat sejenak untuk
menghilangkan lelah selama perjalanan.
Hari sudah terlihat sore, aku terbangun dan
bergegas ke kamar mandi untuk sekedar menghilangkan
rasa lengket di badanku. Sehabis mandi aku langsung
keluar mencari Amiq, lokasi petama yang aku tuju
adalah sawah tempat Amiq biasa kerja. Pandanganku
mengitari persawahan tetapi hasilnya nihil. Aku bingung
mau cari Amiq kemana lagi, aku memutuskan untuk
pulang ke rumah. Diperjalanan ke rumah aku bertemu
dengan tetangga dekat rumah, dia bilang kalau Amiq
sedang panen padi di desa sebelah dan akan pulang
besok sore. Meskipun aku sedikit kecewa tetapi aku
merasa lega kalau Amiq baik-baik saja.

Minggu, 05 Agustus 2018


Menjelang magrib aku langsung memasak ke dapur
untuk Amiq karena aku fikir Amiq pasti lapar setelah
seharian bekerja. Belum selesai memasak ternyata
Amiq sudah pulang.
―Gimana hasilnya‖ tanya Amiq.
―Amiq sekarang mandi saja dulu, abis itu kita
makan baru nanti husna cerita‖ Amiq langsung mandi
dan beganti pakaian, lalu bersiap untuk solat magrib.
Selepas solat magrib aku dan Amiq makan malam
bersama.
―ayok cerita ke Amiq, bagaimana perjalananmu dan
bagaimana hasilnya‖ desak Amiq.
―Amiq tunggu sebentar ya‖ aku berlari ke kamar
mengambil sesuatu.
―Taraaa ini hadiah buat Amiq‖ kata ku.
Amiq terlihat sangat senang tetapi tidak bisa
mengekspresikan kebahagiaannya, Amiq hanya
tersenyum dan terharu melihat piala yang aku bawa.

459 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 460

Amiq refleks memeluk dan mencium puncak kepalaku


lumayan lama, tak lupa pula Amiq mencium piala yang
aku dapat.
―Husna tolong belikan Amiq kopi di warung ya
soalnya persediaan kopi di rumah sudah habis‖ kata
Amiq.
Aku pergi ke warung dengan membawa HP sebagai
penerang jalan jika nanti melewati tempat gelap, di
warung aku bertemu temanku dan kami berbincang-
bincang sebentar baru kemudian pulang.
Diperjalanan pulang tiba-tiba suara gemuruh di
barengi dengan guncangan bumi yang luar biasa dahsyat.
Guncangan hebat itu berhasil meruntuhkan rumah milik
warga, menara masjid terlihat bergoyang hampir roboh.
Aku hanya bisa terdiam ling lung tak berdaya melihat
para warga berlari ketakutan sambil menangis menjerit
dan menyebut nama Allah. Semua sibuk menyelamatkan
diri dan keluarga dan mungkin tidak sempat
menyelamatkan orang lain. Aku teringat Amiq yang
sedang berada di rumah, dan langsung berlari pulang
tetapi karena tanah yang bergerak tanpa henti
membuatku agak kesusahaan untuk berlari dan tidak
bisa menjaga keseimbangan. Pemadaman listrik dan
debu bertebaran akibat reruntuhan rumah semakin
membuat malam semakin mencekam. Tapi aku harus
cepat sampai rumah untuk melihat kondisi Amiq.
Melihat rumahku yang sudah rata dengan tanah
membuatku menangis sejadi-jadinya. tapi untuk saat ini
yang terpenting adalah keselamatan Amiq namun
dimana Amiq? kenapa dia tidak ada disekitar rumah?
apa Amiq ikut warga yang lain berlari mencari lahan
kosong? Begitu banyak pertanyaan dalam benakku.
―Tsunamii‖ ―tsnunamii‖ ―tsunami‖ Suara lalu lalang
menambah kepanikanku. Seseorang menarik tangaku
untuk ikut berlari menjauhi area ini karena air laut akan
naik. Desa kami memang terletak tak jauh dari pantai,
sehingga kami panik dan berlari ke arah perbukitan.
Terlihat anak-anak menangis yang terpisah dari orang
tuanya, dan tak sedikit yang terluka akibat reruntuhan
bangunan.
Kesana kemari aku mencari keberadaan Amiq
tetapi tidak ada yang tahu. Mungkin karena orang-
orang sibuk mengurus keluarganya dan juga tidak bisa
mengenali orang lain saat gelap. Air mataku tak henti-
hentinya mengalir mengingat Amiq yang saat ini ntah
dimana. Taku hanya bisa berdoa semoga Amiq baik-baik
saja.
Melewati malam dengan beralas tanah dan
beratap langit rame rame mungkin sangat
membahagiakan jika tidak di barengi dengan gempa
susulan yang tiada henti.

***

Keesokan harinya terlihat polisi dan TNI yang


sudah berkumpul di posko guna mengarahkan kami

461 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 462

untuk tetap tenang, tidak panik dan tidak memasuki


area zona merah yang sudah dibuat. Pak polisi mendata
siapa saja yang belum ditemukan guna dilakukan
pencarian di area pemukiman.
Terlihat satu persatu mayat di jejerkan di tengah
lapangan. Mereka adalah orang orang yang tidak bisa
diselamatkan akibat tertimbun oleh reruntuhan rumah
sendiri. Salah satu mayat yang membuat aku merasa
ngilu adalah mayat yang terkena tusukan kayu. Tapi
tunggu sepertinya aku mengenali pakaian yang
digunakan oleh bapak itu.
―Amiiiiiiiq‖
Tangisanku pecah saat itu juga. Gunung, batu dan
segala macam berasa menabrakku dan menginjak
kepalaku. Aku sudah tidak bisa melihat apa apa lagi
semua terlihat gelap, aku tidak sadarkan diri.
Tersadar karena aroma minyak kayu putih yang
berasa panas di hidungku, melihat sekeliling membuatku
langsung duduk dan menanyakan di mana Amiq. Mereka
memelukku dan berusaha menguatkanku memintaku
untuk bersabar karena ini adalah takdir yang tidak bisa
dilawan. Ku coba perlahan lahan merelakan kepergian
Amiq sambil mendoakan semoga Amiq ditempatkan di
surga. Meski pemakaman Amiq sudah berakhir tetapi
aku masih belum percaya sepenuhnya kalau Amiq sudah
pergi meninggalkanku. Aku sempat jatuh sakit karena
memikirkan Amiq. Tetapi aku tidak boleh seperti ini,
Amiq ingin aku menjadi orang yang sukses dan bisa
membanggakannya. Perlahan aku mulai bangkit dari
keterpurukanku, aku mulai merencanakan masa depan
yang lebih baik. Sejak saat itu, aku lebih sering
mengikuti berbagai lomba supaya Amiq bangga punya
anak sepertiku dan alhamdulillah aku selalu
mendapatkan juara.
Hingga saat wisuda aku masih bersedih karena
tidak ada Amiq yang mendampingiku saat itu tetapi aku
yakin di surga sana Amiq tersenyum bahagia melihat
melihat putri semata wayangnya sudah menyelesaikan
kuliah. Rumah yang sudah luluh lantah kini perlahan aku
bangun kembali dengan uang beasiswa yang aku tabung.
Kejadian saat itu mungkin tidak akan pernah aku
lupakan sampai aku tua nanti, malam dimana aku
kehilangan Amiq yang sekaligus menjadi ibuku. Aku
bersyukur setidaknya aku pernah membuat Amiq
tersenyum, mungkin jika aku masih seperti Husna di usia
labil yang selalu melukai perasaan Amiq pastilah aku
tidak akan memaafkan diriku sendiri.

***

Mengingat sudah lama aku tidak menengok Amiq,


jadinya aku memutuskan untuk berkunjung ke
pemakaman Amiq sekarang. Dengan membawa A-Qur‘an
dan bunga aku berharap Amiq bisa merasakan
kehadiranku dan tidak merasa sendiri. Aku memeluk
dan mencium batu nisan milik Amiq dan menumpahkan

463 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 464

segala keluh kesah yang aku pendam selama ini.


Semenjak Amiq pergi tidak ada lagi yang bisa ku
percaya untuk sekedar berbagi apa yang aku rasakan.
Aku lebih memilih diam tanpa bercerita atas kejadian
dan masalah yang menimpaku.
Aku mengeluarkan kertas dan pulpen yang sengaja
aku bawa dari rumah. Ku tulis pesan rindu yang akan ku
sampaikan lewat surat.

“Assalaamu”alaikum Amiq,
Hari ini husna datang mengunjungi Amiq.
Husna minta maaf baru sempat berkunjung sekarang
karena sebulan ini husna sibuk kerja.
Amiq tidak marah kan sama Husna?
Husna Tau Amiq tidak akan pernah bisa marah
kepada Husna,
karena rasa sayang Amiq yang teramat besar.
Oh iya Amiq, Husna kaangeen banget sama Amiq.
Husna sangat berharap Amiq saat ini duduk
dan mendengarkan keluh kesah husna.
Amiq yang tenang ya di sana,
Di sini husna baik-baik saja
sudah mandiri berkat didikan Amiq.
Seandainya Tuhan memberikan satu kesempatan lagi
untuk husna bersama Amiq,
husna akan menghabiskan semua waktu untuk
berbakti kepada Amiq.
Mohon maaf selama ini husna banyak salah sama
Amiq.
Husna sadar telat menyadari rasa sayang dan rasa
rindu ini.
Salam sayang dan Rindu dari Husna”

Obat rindu memang adalah temu, tapi bagaimana


jika orang yang dirindukan sudah tidak bisa diajak
bertemu. Menuliskan surat memang tidak akan bisa
dibaca oleh yang dituju tetapi lewat tulisan seseorang
bisa mencurahkan segala kerinduan. Ku selipkan surat
yang berisi pesan rinduku sebelum meninggalkan
pemakaman. Aku sedikit lega meski Amiq tidak bisa
memberikan nasehat lagi tetapi aku yakin Amiq bisa
mendengar segala ceritaku. Semoga Amiq berada di
tempat yang indah disana.

465 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 466

Pengorbanan Terakhir
Karya : Martikka Adyati Tola

Kehidupan ini memiliki bagian masing-

masing, suka dan duka dibagi menjadi adil dan Sang


Pencipta memberikan sesuatu yang harus di laksanakan
dan di jaga dengan baik. Tapi tidak dengan Ika Maine
salah satu anak perempuan dengan pertanyaan besar
dalam benaknya. Apakah semua dibagi adil sama rata
oleh-Nya? Apakah salah mengidamkan keluarganya
menjadi armor terbaik di sepanjang hidup? Mengapa
harus keluarganya yang terpecah bela, kenapa?
Mengapa sesulit ini menjadi anak perempuan?
"Keluarga adalah segalanya tempat ternyaman
untuk pulang. Kekuatan terbesar dalam hidup," kata
Agnes "Pak maksudnya ini gimana? Agnes tak
mengerti." Tanyanya.
Pria dengan kemeja kotak-kotak berhenti
memandang laptop dan beranjak dari kursinya.
Memperhatikan anaknya dengan senyuman dan
berkata,"Anakku sayang, maksud dari kalimat tersebut
menyatakan bahwa apapun yang terjadi, bagaimana
hari-harimu di lewati tetaplah keluarga nomor satu dan
rumah ternyaman. Itulah kekuatannya."
Agnes anak berusia sembilan tahun itu pun
mulai menimang perkataan bapaknya, sambil
menganggukkan kepala, dia bertanya dengan antusias,
"Kekuatan? Serius Pak? Bapak ada ceritanya?"
Ditatapnya mata bapaknya dengan berbinar-binar.
―Ada Nak," jawabnya singkat,"sekarang duduk
tenanglah, dengarkan baik-baik."

***

Malam semakin larut, kira-kira pukul 23.00


malam namun orang yang di tunggu belum juga
menampakkan batang hidungnya. Seperti setrika Ika
Maine membolak-balik badannya ke kiri dan kanan
bahkan rumahnya telah dikelilingi. Tak lama kemudian
secercah harapan muncul, deru suara motor butut mulai
terdengar dari jauh.
Tet… tet
"Ayo sini bantu angkat yang ini"
Ika mulai mengangkat barang jualan yang
dipegang ibunya, Sartika Dwisari lalu memindahkan
barang bawaan ke dalam rumah, "Bu, mana lagi?" tanya
Ika antusias
"Anak babi ini gak bisa lihat! Lihat ini, angkat
yang ini dulu" bentak pria paruh baya yang tidak lain
adalah ayahnya. Ika berlari cepat dan buru-buru
mengambil barang yang di pegang ayahnya, lalu
mengangkatnya.
Pletak…

467 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 468

Ika tak banyak bicara setelah di pukuli, segara


ia gosokkan tangannya di ubun kepala dan segera berlari
ke dalam rumah. Anang ayahnya Ika berhenti tidak
masuk tapi langsung mendudukkan diri di teras rumah.
Gadget sudah ditangan dan kacamata sudah terpasang
di wajahnya, melihat hal tersebut Ika merasa mulai
aman dan memberanikan diri untuk mengangkat barang
lainnya.
"Gimana Bu, jualannya laris?"
"Hem ngak Nak, tapi cukuplah untuk makan
beberapa hari ke depan" ujar ibunya sambil menyusun
sayuran yang masih tersisa, "Ika ini Nak, Ibu udah beli
telur sekarang ayo dimasak biar kita semua makan"
Tepat pukul 00.00 suara klontang berbunyi dan
masakan telah tersaji, Ika beserta adiknya mulai
membawa piring beserta bakul nasi ke ruang tengah,
mereka duduk melingkar dan bersiap untuk memyantap
makanan.
"Pak Ika, sini ayo makan." ujar Sartika
mengajak suaminya. Alih-alih mengajak suaminya untuk
makan bersama, Anang malah mengamuk dan
menyumpahi mereka dengan sumpah serapah. Tak ingin
di teruskan, Sartika mulai menyendokan nasi untuk
anaknya. Senyum penuh rasa syukur tersirat di
bibirnya, walaupun suaminya tak ingin bersama bagi
Sartika cukuplah anaknya sebagai penyemangat dirinya.
"Ah… kenyang banget Kak," seru Niel dibarengi
dengan adik Ika yang lainnya, Noel dan Nikita. Selesai
sudah makan malam sederhana ala Ika dan keluarga,
mereka segera berkumpul di dekat ibunya lalu mulai
menanyakan tentang jualan di pasar dan banyak
pertanyaan lainnya. Ika anak paling besar berusaha
memahami keadaan keluarganya yang terbilang sangat
susah. Tapi Ika tidak malu karena keluarganya lakukan
bukanlah dosa melainkan kerja walaupun dipandang
sebelah mata oleh tetangga sekitar.
Selepas menyelesaikan semua tugas malam
seperti mencuci piring dan lain-lainnya Ika segera ikut
bergabung tapi di lihatnya ibunya tak berada disana
segera Ika hendak keluar tapi terhenti ketika jarinya
di genggam oleh Noel, "Kak, Ibu lagi di luar sama Ayah
sebentar lagi juga ke sini. Ayo Kak Ika di sini, Ibu
bentar lagi mau cerita loh."
"Siapa yang mau dengarin cerita?"
Ika tersenyum lega, Ibunya kembali duduk dan
mulai bercerita hingga tak sadar malam semakin larut
dan kantuk mulai bekerja. Tersadar mulai ketiduran,
Ika terbangun oleh suara krasak-krusuk dan bantingan
piring dari dapur. Di intip dari balik pintu, Pria
berbadan besar yang disebut ayahnya mulai marah-
marah dan mengutukki setiap orang yang ada dirumah.
Dia berlari mncoba membangunkan ibunya dan
mengaduh perbuatan yang di lakukan ayahnya di dapur.
"Astaga berat sekali kalian," keluh Ika saat
mengangkat adiknya.

469 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 470

Ika Maine anak pertama dari pasangan Anang


dan Sartika Dwisari, anak perempuan itu tak di biarkan
sendiri. Allah memberikan Ika, adik-adik yang manis
untuknya yaitu Nikita adik perempuan, Niel dan Noel
adik laki-laki. Ika memindahkan mereka satu persatu
dan menyelimutinya, tak lupa di tatap adiknya penuh
kasih dan kecupan hangat mendarat di kening mereka.
Trang…
"Dasar bodoh, mana makananku? Emang cuma
kau yang kerja? Ha?" Suara menggelegar dari arah
dapur terasa memenuhi telinga.
Jam dinding menunjukkan pukul 02.49 subuh
tapi suara bentakan begitu terdengar, Ika mulai
meremas sudut bajunya, begitu malu dirinya bila ada
tetangga yang mendengar keributan yang ayahnya
lakukan. Ika berjalan pelan ke arah dapur dan melihat
kelakuan pria gila yang sedang beradu mulut dengan
ibunya, cekcok mulai memanas dan ketika tangan besar
dan kekar mulai mengayun ke atas, Ika lari dan
merentangkan kedua tangan untuk melindungi ibunya
yang sudah berlutut lesu dan berlinang air mata.
Tar...tar...tar
Tamparan keras mengenai wajahnya, Ika
terdiam sambil menahan kesakitan tapi pertahanannya
tak runtuh. Tangannya kokoh sama sekali tak di
turunkan, dan itu membuat pria gila itu emosi bahkan
urat syaraf di lehernya begitu kelihatan. Ika sudah
menjadi penyelamat dan tumbal hari itu.
"Penyelamat datang? Iya?" sergahnya pada
anak sendiri, "Sini kau!" bentaknya. Ika di tarik paksa
oleh tangan kasar ayahnya, seperti mengahadap musuh
Anang menyeret anaknya ke dalam kamar mandi dan
mengguyurnya dengan air satu ember penuh.
Ya Tuhan selamatkan Ika, mohonnya membatin.
Ika memberontak dan mencoba melepaskan diri dari
genggaman pria gila di hadapannya itu, tangannya yang
besar dan kasar membuat lengan Ika begitu sakit,
Sartika sebagai ibu tak mampu menolong anaknya, Ia di
tendang suaminya begitu keras di dada bagian kiri lalu
menyebabkan ia sesak nafas dan harus merangkak ke
dalam kamar mandi. Ika Maine memandang ibunya
merangkak sambil menangis, lututnya dijadikan
penopang. Hanya berjarak dua meter antara Ika dan
Sartika namun kekejaman Anang menyulitkan semuanya.
Ika berusaha lepas dari kekangan sial itu, dia begitu
panik ketika ibunya mulai sesak nafas.
Seperti di hantam batu di tengkuk leher, Ika
terjatuh di dalam kamar mandi. Badannya terasa sakit
dan ngilu mulai melucuti setiap tulangnya. Ika anak yang
penuh semangat bahkan sakit yang dia rasakan tidak
begitu di pedulikan. Ibu menjadi prioritas nomor satu,
Ika segera menyeret kakinya yang kesemutan dan
langsung memeluk ibunya.
"Dasar anak sial, sekarang masak buatku. Tidak
kau masak jangan harap ku izinkan kau ganti baju dan
tidur di kamar." perintahnya sebagai titah.

471 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 472

Ika segera mengangkat ibunya ke kamar dan


berusaha mengambil botol pernafasan di kotak obat
lalu terbirit-birit ke dapur untuk memasak. Dalam
keadaan basah kuyup dan dingin yang terasa seperti
menjalar di tubuhnya, Ika menggigil dan menggigit bibir
bawah untuk menahan rasa dingin seperti memeluk es
balok raksasa.
"Akhirnya selesai"
Ingin mati saja.
Terbesit dalam benak Ika untuk mengakhiri
hidup tapi bayangan ibunya menghalau pikiran
negatifnya. Hati yang tersakiti dan perasaan sedih
terus menerus menjadi tembok besar di hati seorang
Ika Maine, kebencian terhadap pria gila kian menjadi,
ingin rasanya Ika menghancurkan perasaan pahit yang
terdapat dalam hatinya.
Apakah memiliki keluarga tentram seperti dulu
begitu susah? Keluhnya
Di atas kasur yang begitu keras dan tidak
empuk lagi, Ika berjongkok sambil mengelus tangan
Ibunya dan merapal doa suci untuk matahari di
hadapannya sekarang. Setelah itu, dia beranjak dan
segera berlalu ke kamarnya.
***

Matahari telah terbit di ujung timur dan pagi


telah menyapa, cahayanya masuk lewat sela-sela
jendela. Sedangkan anak cantik masih terbaring di
tempat tidurnya dengan memeluk buku bersampul hitam
bertuliskan The Sun. Genggamannya begitu erat tak
terpisahkan.
"Kak Ika, halo…" sapa Nikita menyapa. Nikita
loncat ke atas meja belajar lalu membuka tirai jendela,
seketika cahaya matahari pagi begitu terasa dan
menyilaukan. Nikita turun dan menyipitkan kedua
matanya, hendak membangunkan kakaknya Nikita sadar
bahwa ada yang aneh kala itu. Dia tak sengaja
menyentuh baju yang Ika kenakan ternyata cekcok
semalam membuat Ika lupa mengganti bajunya.
"Maafin Nikita kak, belum bisa bantu Kakak."
bisiknya sambil menundukkan kepala.
Perasaan khawatir timbul di hati Nikita,
semakin di tatap kesedihan tersirat di wajah Ika letih
pun tampak begitu dekat dengannya. Bibir yang
bervolume, rambut yang ikal, dan kulitnya yang eksotis
begitu memancarkan manis wajah kakaknya yang kuat.
"Nikita…" teriaknya tiga kali, "anak di rumah ini
memang telinga tungkik semua yah, dipanggil pun tak
ada yang dengar."
Teriakan begitu jelas hingga dapat memekakan
telinga. Nikita yang berkutat dengan perasaan bingung
tak menggubris suara ayahnya, telinganya begitu
membatu.
"Dari mana? Udah susah di panggil ya!" liriknya
meremehkan.
"Dari kamar Kak Ika Pak, ngak Pak."

473 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 474

Nikita menutup mata dan tiga kali libasan dari


ikat pinggang membuat perih betisnya. Kaki serasa ingin
putus dan pedih yang tak tertahankan. Tak sampai di
situ sikap tempramental dari seorang ayah membuat
Nikita begitu marah namun tak dapat berbuat apa-apa.
Libasan ke empat terdengar tapi Niel dan Noel mulai
memohon ampun untuk member-hentikan libasan
tersebut. Libasan terhenti tapi Niel dan Noel berdiri
bersampingan dan mulai di libas untuk peganti Nikita.
Nikita menangis tersedu-sedu, membuat ibunya
terbangun dan segera menuju sumber suara. Dirinya
memohon ampun agar jangan menghukum adiknya lagi.
Sartika ibu mereka dengan cepat berlari dan menarik
mereka dari suaminya, lalu memeluk anak-anaknya
dengan erat. Adu tarik-menarik mulai terjadi, ibu mana
yang ingin melihat penderitaan dirinya berpikir lebih
baik dia mati jika anaknya tak bisa di jaga.
Akhirnya pria yang disebut suami itu
memberontak seperti orang gila, emosi di lampiaskan
untuk menghajar istrinya dengan beringas dan tidak
punya hati, anak-anaknya menangis dan berteriak minta
tolong, Anang semakin membabi buta memukul wajah
Niel, darah mengalir dari hidungnya dengan cekatan
Niel melepaskan pelukan ibunya lalu berlari keluar
rumah. Berlari sekencang mungkin membuatnya bebas
dari pukulan, tapi pikiannya bercabang Niel berlari tak
tentu arah sambil meminta tolong, usaha tak sia-sia
beberapa dari warga dan pemuda berpakaian alfamort
mulai membantu dan mencoba mengobatinya namun Niel
menolak dan menarik tangan mereka.
***

"Liat kelakuan anakmu, dasar anjing! Perempuan


tidak tahu di untung."
Pagi menjadi saksi bisu perdebatan mereka,
tangan besar milik ayahnya yang seharus menjaga
keluarga sekarang menjadi sumber siksaan. Anang yang
sudah di kuasai emosinya tak sadar dengan terjangan
Ika di sudut sebelah kiri. Dia mengedipkan mata untuk
ibu dan adiknya, secuil harapan bahkan muncul di hati
Sartika. Ia terus menggeleng kepalanya tanda
terpercaya, Ika begitu hebat.
Sartika hanya bisa mengucap doa sepanjang
pertengkaran berlangsung, Ika yang selama ini, mampu
berlari di atas meja dengan lincah bahkan menghindari
serangan dengan lihainya. Tatapan tak percaya semakin
tak terpancar, suaminya tersungkur karena tinju milik
Ika.
"Ibu tolong bersembunyi di dalam kamar, kunci
pintu dan jangan di buka apapun yang terjadi.
Tunggulah pertolongan sebentar lagi, Niel akan datang
kemari bersama dengan pria alfamort," ucap Ika
Sadar bahwa anak dan istrinya tak ada di
tempat Anang emosi dan amarah meningkat begitu
besar, semua yang di lihat Anang langsung di pecahkan.

475 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 476

Begitu di hadapannya ada gunting besar, Anang


mengayunkannya ke sembarang arah. Seperti orang gila,
dia berteriak dan meminta maaf.
"Istriku maafkanlah diriku, Ayah janji tak akan
mengulangi. Ke marilah Ayah ingin meminta maaf yang
sebesar-besarnya." Suaranya mulai melemah, "Tapi
bohong."
Ika memperhatikan Anang dari jauh, diam-diam
Ika merutuki dirinya kenapa memiliki ayah gila seperti
Anang. Dasar gila, batinnya. Anang seperti psikopat,
tersenyum sendiri entah apa yang dia senyumkan, bagi
Ika hari ini adalah hari mendebarkan, doa-doanya di
kabulkan oleh Tuhan dan waktunya Ika menyelamatkan
keluarganya.
Klek…
Ika bersembunyi di atas lemari tapi begitu
merasa lega, bunyi suara pintu sedang di buka. Ika
panik dan segera berlari menuju kamar persembunyian
ibu, Noel dan Nikita. Kekecewaan dan penyesalan
tersirat di pelupuk mata Ika, Ibu beserta kedua
adiknya terikat dalam keadaan terikat dan bibir
mereka di isolatip.
"Istri pembawa sial hari ini kematianmu, sudah
lama penantian ini tapi baru hari ini momen yang tepat."
ucapnya dengan nada yang menakutkan, bahkan Nikita
saja menutup matanya rapat-rapat.
"Apa yang kau bicarakan bajingan, dasar laki-laki
tak tahu malu!" bentak Sartika tak mau kalah. Sembilah
katana panjang mulai diasahnya dengan pelan bahkan
gemericik biji api mulai terlihat dengan jelas. Senyum
jahat tampil di bibir Anang dan semua yang
dilakukannya sungguh di nikmati.
Anang berubahi psikopat, dia mengunci semua
pintu sambil mengasah pisau dan tersenyum menang,
"Sekarang nikmatilah waktumu, sayang."
Katananya mulai mengacung dengan cepat untuk
menghunus mereka, tapi Ika datang dan menghalangi.
Katana menebas perut Ika dengan sekali tebasan,
Sartika berteriak-teriak, menangis dan berontak dari
ikatan yang di buat suaminya. Tak tega Ika Maine di
tebas seperti menebas musuh, Namun tak disangka,
tubuh Ika tetap utuh dan sama sekali tak
mengeluarkan darah. Anang semakin gila dan mencoba
berulang kali tapi nihil hasilnya, Ika tetap kembali dan
masih hidup.
Jangan sekarang, bisik Ika pada diri sendiri.
Tubuhnya tak merasa kesakitan namun Ika dapat
merasakan tubuhnya tak lagi kuat serta terus menerus
transparan.
***

"Dobrak rumahnya."

477 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 478

Beberapa orang berusaha mendobraknya, Niel begitu


terkejut melihat keadaan rumah yang sepi dan
terkunci, begitu terbuka Niel berlari dan mengajak
banyak orang ke rumahnya.
"Ibu… ibu…"
"Permisi" teriak lainnya
Seperti di terpa badai, keadaan rumah begitu
mengkhawatirkan banyak barang pecah bertebaran,
semua orang yang datang membantu mulai berpencar
mengikuti instruksi Niel, begitu pun dengan menelfon
Rt/Rw setempat. Bisik-bisik tetangga tak dapat di
hindari. Niel segera pergi ke kamar alangkah kaget di
lihat ayahnya sedang mengayunkan katana di udara
kosong sedangkan keluarganya dalam keadaan terikat.
Tak mau kehilangan momen Niel segera memukul
ayahnya dengan double stick yang dia jumpa di ruang
tengah. Melihat kejadian tersebut para pemuda yang
bersama Niel turut membantu untuk menenangkan
Anang yang giat menebas angin.
Seorang pria dengan baju alfamort mulai
membekuk Anang dan mengamankannya. Sartika dan
anaknya di tuntun keluar rumah sembari menunggu
aparat keamanan. Begitu nafas kasar di hembuskan,
datanglah warga dengan wajah yang lesu menghampiri
Sartika, "Ibu Sartika di dalam sana ada orang
meninggal."
Suasana canggung terjadi, bisik-bisik tidak
dapat di hindari. Nikita, Niel, dan Noel saling
berpandangan, sekarang mereka sadar ada yang aneh
Ika mulai menghilang sejak pertolongan dari warga.
Ketika ingin masuk, Nikita dan keluarganya di tahan
oleh warga dan salah satu pemuda di sana berkata,
"sebentar lagi polisi datang, bersabarlah."

15 menit kemudian
Polisi berseragam lengkap dan mobil patroli
sudah berada di jalanan, banyak warga yang datang
mengerumuni lokasi kejadian, mendengar penuturan
dari warga sekitar Anang segera di tahan tangannya di
borgol dan segera dibawa pergi. Sebagian polisi mulai
mengecek keadaan rumah, dan laporan yang diterima
dari atasannya.
"Lapor, anak perempuan ini sudah meninggal
dunia sekitar tiga jam yang lalu pak."
"Apa? Tidak mungkin… Ika Ika." Sartika tak
percaya dengan apa yang baru saja di dengar, dirinya
segera menerobos polisi dan di lihat anak sulungnya
terbujur kaku dengan wajah pucat sepucat susu. Di
genggam erat tangan anaknya, dipeluk, bahkan tangisan
pun tak dapat di hentikan.
"Ibu ayo keluar, ini akan di garis polisi."
perintah pak polisi

479 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 480

"Tidak, anakku masih hidup. Ika yang menolong


kami agar tidak di bunuh. Bapak jangan bohong, Ika
tidak mungkin mati."
"Kak Ika apa maksud ini semua." keluh Nikita
Penyesalan masih berada di hati keluarga Ika,
rasa percaya dan tidak mulai beradu di posisi pertama
hati mereka. Kesedihan, kesakitan, dan kekecewaan
menjadi satu, tangis sedihlah yang menemani keluarga
tersebut. Sartika dan anaknya masih sibuk dengan
pikirannya masing-masing, namun seorang polisi
membawa buku bersampul hitam dan menyerahkannya
kepada Sartika selaku orangtua. Segera mereka
merapat, Nikita, Niel dan Noel mulai membaca buku
kesayangan kakaknya itu.

The Sun adalah Matahari dan itu adalah Ibu.


Dialah yang mampu membuatku bertahan sampai detik
ini bahkan sekalipun di hajar olehnya, Ika tetap hidup
untuk Ibu dan adik-adik.

Semakin dibaca bait demi bait mereka semua


mulai menangis dengan histeris, mereka mulai
terbayang tentang semua hinaan yang Ika rasakan dua
tahun belakangan ini ditambah dengan sakit yang
membuat Ika semakin lemah dan tak ingin bertahan
hidup, namun Ika tetap berjuang dan sama sekali tak
mengeluhkan perasaannya itu.
Sangat menyakitkan di pukul di hajar oleh Ayah,
namun lebih gak tega kalau Ibu yang harus di pukuli
terus. Jujur Ika benci tapi Ika tahu Ayah begini karena
kehilangan pekerjaan dan sering mendapatkan cacian
dari teman-temannya. Tapi pesan Ika pada Ayah,
janganlah melukai anak istrimu karena mereka adalah
pulangmu yang paling nyaman. Ika harap suatu hari Ayah
menyadari itu. Dan segera membaca pesan ini.

Banyak tetangga yang berkumpul di sekitar


keluarga Ika, mereka yang ikut membacanya mulai
merasa kasihan terhadap anak perempuan yang di kenal
sangat baik itu, mereka tidak percaya bahww Ika
ternyata anak yang malang dan bermacam spekulasi
dari tetangga mulai menyakinkan.
"Eh Bu, Ayu juga udah paham, itu Pak Anang
memang gila. Kalau Ayu nyuci piring sore pasti lihat itu
si Ika selalu dihajar bapaknya." bisik Ayu
"Kasihan sekali lah Ika itu, itu loh anaknya baik.
Kok bisa-bisanya dia ngalamin hal itu."

Ika sadar sudah menyakiti keluarga dengan


menjadi anak yang penyakitan tapi bukan berarti Ika
suka, Ika sama sekali gak suka, karena Ika seperti ini
Ayah selalu marah bahkan menghajar Ika tiap waktu.
Jujur Ika kangen Ayah yang dulu, yang selalu perhatian
sama keluarga bukan seperti sekarang. Jika nanti Ika
pergi, Ika gak mau, Ayah tinggal dirumah bareng ibu,

481 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 482

Nikita, Niel, dan Noel mereka harus terpisah dari Ayah


cukup Ika yang merasakan siksaan setiap hari.

Teriakan histeris begitu menyayat hati, bahkan


Sartika mulai pingsan ketika membaca bagian terakhir
dari buku anaknya tersebut.

Ika ingin tidur sejenak dan melupakan kejadian


ini selamanya, Ika ingin bermimpi menjadi penolong bagi
keluarga ini. Semoga Allah mendengarkannya. Love you
Ibu, love you Nikita, Niel, Noel. Kakak akan menjaga
kalian diakhir ini.

Seorang pemuda dengan pakaian alfamord


sedang berkeliling di dalam rumah Ika, padahal polisi
sedang mencari bukti dan mengevakuasi tempat
kejadian. Pemuda ini menelusuri kamar dan tempat
lainnya, secara tak sengaja dia melihat ada seorang
anak perempuan sedang duduk membelakangi dirinya,
wajah perempuan itu tidak kelihatan namun bisa di
lihat kulitnya pucat dengan baju yang basah. Dia mulai
mendekati dan memegang bahu si anak perempuan
tersebut namun ternyata hanya angin kosong yang
disentuhnya.
"Eh ternyata hantu ya, gue pikir lu manusia"
ujarnya enteng
"Hm bisa lihat Ika?"
Si anak perempuan membalikkan badannya lalu
terlihat dengan jelas wajah pucat pasi namun wajah
cantik tak bisa di pungkiri untuk seorang hantu. Pria
alfamort memalingkan wajah dan segera menormalkan
ekspresi, sepertinya baru kali ini iya malu di hadapan
manusia yang baru saja menjadi hantu.
"Iya bisa, lo Ika?"
"Iya ini Ika, bisa minta tolong?"
"Minta tolong apa? Eh maksudnya gue bisa,
kenalin gue Satya." Ternyata si pria alfamort bernama
Satya yang tak sengaja mengikuti Niel yang berlari
seperti orang gila agar orang lain mengikutinya. Satya
dan Ika pun mulai berbicara dan mendapatkan
kesepakatan.
Satya sedang berdiri tegak dihadapan keluarga
yang sedang berduka, dia mulai mencari kesempatan
agar dapat berbicara kepada keluarga Ika tanpa
gangguan. Seperti yang di rencanakan, Satya mulai
menemui Nikita terlebih dahulu.
"Permisi, Nikita? gue Satya, mungkin
kedengarannya aneh tapi gue mohon dengarkan dahulu.
Sebentar saja." ucapnya sambil menundukkan kepala
lalu pingsan sambil berdiri, matanya tertutup rapat dan
mulai mengoceh.
"Hey kamu gapapa?" tanya Nikita panik
kebingungan dan hendak mencari bantuan tapi ketika
ingin pergi tangannya ditahan.

483 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 484

"Dek dengarkan kakak, Ini kakak Ika. Suut…


jangan berteriak."
Nikita terperangah, apapun kejadian hari ini
bisa membuatnya gila. Ingin berteriak tapi Satya yang
mengaku sebagai kakaknya itu persis dengan bicara
almarhum Ika.
"Astaga Kak Ika beneran mati?" tanyanya lesu
dan air matanya kembali jatuh. Ika yang sedang
menggunakan tubuh Satya hanya mampu tersenyum dan
segera menggenggam tangan adiknya itu, "Nikita Kakak
sudah mati, Kakak titip ibu dan adik-adik ya tolong jaga
mereka. Jangan berpisah lagi dan saling bantu ya"
Satya melirik ibu mereka sambil menutup mata, namun
Nikita mengetahuinya.
"Iya Kak, maafkan Nikita belum menjadi adik
yang baik, Nikita janji bakal menjaga mereka terus
Kak"
"Nikita Kakak mungkin sudah mati tapi akan
terus ada bersama dan selalu ada di hati kalian. Tolong
jangan benci Ayah, supaya tetap jalan rejeki kamu dek.
Sekarang sudah waktunya Kakak pergi." Satya mulai
mengejang beberapa menit dan kembali sadar sedia
kala.
Nikita yang melihatnya semakin kaget, dia
melihat kakak tersayang pergi dengan baju terusan
putih bersih dan di sampingnya terdapat sepasang
cahaya yang menemani jalan kakaknya itu, dia hanya
mampu tersenyum miris dan bahagia. Ika sudah pergi
dan tak akan pernah kembali. Cahayanya mulai
menghilang dari pandangan Nikita namun ada suara
menggema di kepalanya,'Nikita selamat tinggal, Kakak
sayang kalian semua.'
Suara menggema dari suara terakhir kakaknya,
Nikita tak tahan dan mulai menangis sambil berteriak
nama Ika berulang kali, sampai warga hanya mampu
memandang dengan miris sedangkan Satya di bantu
dengan Niel menenangkan Nikita.

***

1 tahun berlalu
Setelah kejadian mengharukan kala itu,
Nikita dan keluarga merombak ulang rumahnya
sedangkan kamar Ika tidak ada sama sekali
perombakan, kamar itu ditempati oleh Nikita. Sejak
hari itu polisi mengurus segala hal mengenai Ika, anak
malang yang selalu disiksa oleh ayah kandungnya
menjadi hot news di berita bahkan youtuber
mengangkat suara atas kejadian kala itu.
"Ibu, berita tentang almarhum kak Ika mulai
diungkit lagi." keluh Noel yang merasa sebal atas
pemberitaan media.
Niel yang sedang memperbaiki keran di dapur
mulai memberhentikan pekerjaannya lalu mendekati
adiknya yang bungsu, sambil membelai kepala Noel
dan berkata, "Jangan kamu pikirkan tentang
pemberitaan di media dek, media sosial hanya akan
memperburuk keadaan mereka hanya mau trending

485 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 486

atau apalah itu. Berita-berita mereka tambahkan


untuk mendapatkan simpati dari para penikmat
kontennya."
"Noel, Nikita, dan Niel sudah Nak, tak perlu
di urusi cukup keluarga kitalah yang mengetahui
kejadian sebetulnya. Yang terpenting Ika Kakak
kalian sudah tenang, jangan pikirkan lagi ya." ucap
Ibunya menjelaskan namun dari getaran suaranya
masih ada luka yang dia simpan.
Nikita berserta kedua adik laki-lakinya pun
mengangguk-kan kepala lalu dalam hati mereka
mengatakan, "Tenang di sana ya kak. Kami
merindukanmu."
Mereka segera mengganti saluran televisi dan
membiarkan media membicarakan apapun tentang
mereka dan keluarganya, keluarga Ika menjadi
keluarga yang mampu mengangkat diri dari
keterpurukan tahun lalu sekarang mereka hidup
dengan tentram dan ayah mereka di penjara dalam
kurun waktu yang lama. Itulah akhir dari penjahat
yang tidak tahu malu.

***

"Seperti itulah Nak, sudah paham?" tanya pria


itu sambil menyunggingkan senyuman.
"Iya sudah Pak, tapi kasihan sekali Kakak itu."
ujar anaknya sedih, air matanya bahkan sudah terlihat
berkaca-kaca.
Lalu datanglah seorang wanita muda dengan
nampan yang berisi teh dan susu kemudian memberikan
mereka satu persatu, "Ini anak Mama kok sedih, di
jailin Bapak ya?"
Anak itu menggeleng kepala dengan cepat
menandakan jawaban tidak untuk orangtuanya, dia mulai
mengusap air matanya lalu tersenyum dan menampilkan
gigi kecil miliknya, "Tidak Ma, Agnes edih karena cerita
Bapak tentang keluarganya Kak Ika. Agnes merasa
Kakak itu sangat kasihan tapi dia sangat baik." jelas
Agnes antusias. Nikita dan Satya pun saling tersenyum
dan berpandangan lalu segera memeluk anak semata
wayangnya dengan penuh cinta, dan Satya mencium
kening Istri dan anaknya.
Setelah pertemuan pertama Satya dan Nikita,
mereka mulai menjadi dekat dan menimbulkan perasaan
saling membutuhkan. Satya merasa kasihan dengan apa
yang dialami Ika dan keluarganya namun belum saatnya
untuk menjaga mereka. Satya berusaha keras
menyakinkan Nikita dan keluarganya bahwa Satya akan
menjadi suami terbaik untuk Nikita. Akhirnya setelah
perkawinan, mereka dikaruniai seorang anak perempuan
cantik yang diberi nama Agnes Nasya dan mereka saling
berjanji untuk membuat keluarga penuh cinta seperti
yang diharapkan almarhum Ika dahulu.
'Keluarga adalah segalanya termasuk rumah
ternyaman, jangan sesekali menyakiti anggota keluarga
karena jika di luar sana di ganggu oleh orang lain.

487 | T e n t a n g Rindu
Inspirasi Pena | 488

Keluarga menjadi benteng terbesar yang akan menjadi


pelindung. Sayangilah anggota keluarga dan sering
menyediakan waktu untuk bersharing karena cinta
keluarga adalah permata paling indah dalam hidup.
SERIES
#1
TENTANG RINDU
Setiap insan tentu pernah merasakan kerinduan.
Bahkan hal sederhana pun bisa membuat kita rindu.
Berbagai cara dilakukan agar rasa rindu bisa terobati.
Kadang kita harus menanam rindu tersebut dalam
waktu yang lama, hingga akhirnya kita bisa menuain-
ya.
Aku merindukanmu.
Kapan kita bisa berjumpa?
Ingin rasanya kembali ke masa itu.
Itulah contoh beberapa kalimat yang sering terucap
ketika merindukan seseorang. Masih banyak ungkapan
kerinduan di luar sana. Berbagai kisah kerinduan
setiap insan juga berbeda-beda. Begitupun sudut
pandang tentang rindu itu sendiri.
***
Tentang Rindu merangkum 50 kisah kerinduan dari
Faisal Oddang dan Sahabat Inna. Pembaca akan
menjelajahi berbagai kisah, dengan berbagai tokoh
dan alur cerita. Selamat menyelami 50 kisah kerin-
duan, agar kelak kita memahami arti rindu itu
sesungguhnya. Selamat membaca!

Muce Pedia
Jl. Plawangan Bongas. RT/RW
01/01 Kecamatan Bongas,
Kabupaten Indramayu, 45255
Inspirasi Pena

Anda mungkin juga menyukai