Anda di halaman 1dari 28

Otore

I. Definisi

Otore dapat diartikan sebagai cairan yang keluar dari telinga, adalah masalah telinga
yang sering terjadi. Cairan yang keluar dapat nanah (pus), mukus, cairan serosa atau darah
(Bansal, 2013).

II. Anatomi Telinga.

Telinga dibagi menjadi telinga luar, telinga tengah dan telinga dalam (Soetirto, 2007).

1. Telinga luar

Anatomi telinga luar, tengah dan dalam (Isaacson, 2003)

Telinga luar terdiri dari daun telinga dan liang telinga sampai membran timpani. Daun
telinga terdiri dari tulang rawan elastin dan kulit. Liang telinga berbentuk huruf S dengan
rangka tulang rawan pada sepertiga bagian luar, sedangkan dua pertiga bagian dalam
rangkanya terdiri dari tulang. Panjangnya kira-kira 2 ½- 3 cm (Soetirto, 2007).’

Pada sepertiga bagian luar kulit liang terdapat banyak kelenjar serumen dan rambut,
sementara kelenjar keringat terdapat pada seluruh kulit liang telinga. Pada dua pertiga bagian
dalam hanya sedikit dijumpai kelenjar serumen (Soetirto, 2007).

 Membran timpani

Membran timpani atau gendang telinga adalah suatu bangunan berbentuk kerucut
dengan puncaknya, umbo (yang merupakan bayangan penonjolan bagian bagian bawah dari
maleus), mengarah ke medial. Membran timpani umumnya bulat. Membran timpani tersusun
oleh suatu lapisan epidermis di bagian luar, lapisan fibrosa di bagian tengah dimana tangkai
maleus dilekatkan, dan lapisan mukosa di bagian dalam (Stephen, 1997).
Membran timpani (Dhingra, 2007)

Membran timpani berbentuk bundar dan cekung bila dilihat dari arah liang telinga dan
terlihat oblik terhadap sumbu liang telinga. Bagian atas disebut pars flaksida (membrane
Schrapnell) sedangkan bagian bawah disebut pars tensa (membrane propria). Pars flaksida
hanya berlapis dua, yaitu bagian luar ialah lanjutan dari epitel kulit liang telinga dan bagian
dalam dilapisi oleh sel kubus bersilia, seperti epitel mukosa saluran napas. Pars tensa
mempunyai satu lapis lagi di tengah, yaitu lapisan yang terdiri dari serat kolagen dan sedikit
serat elastin yang berjalan secara radier di bagian luar dan sirkuler pada bagian dalam.
(Soetirto, 2007).

Dari umbo bermuara suatu reflek cahaya (cone of light) kearah bawah yaitu pada pukul
7 untuk membran timpani kiri dan pada pukul 5 untuk membran timpani kanan. Reflek
cahaya sendiri ialah cahaya dari luar yang dipantulkan oleh membran timpani, karena adanya
serabut sirkuler dan radier (Soetirto, 2007).

Membran timpani dapat dibagi dalam 4 kuadran dengan menarik garis searah dengan
prosessus longus maleus dan garis yang tegak lurus pada garis itu umbo, sehongga
didapatkan bagian atas-depan, atas-belakang, bawah-depan, serta bawah-belakang, untuk
menyatakan letak perforasi membran timpani (Soetirto, 2007).

2. Telinga Tengah

Telinga tengah yang terisi udara dapat dibayangkan sebagai suatu kotak dengan enam
sisi dengan batas-batas sebagai berikut (Soetirto, 2007):

Batas luar : Membran timpani.


Batas depan : Tuba Eustachius

Batas bawah : Vena jugularis (bulbus jugularis)

Batas belakang: Aditus ad antrum, kanalis fasialis pars vertikalis.

Batas atas : Tegmen timpani (meningen/otak)

Batas dalam :Berturut-turut dari atas ke bawah kanalis semisirkularis horizontal, kanalis
fasialis, tingkap lonjong (oval window), tingkap bundar (round window), dan
promontorium.

Di dalam telinga tengah terdapat tulang-tulang pendengaran, yaitu maleus, inkus dan
stapes. Tulang pendengaran di dalam telinga tengah saling berhubungan. Prosessus longus
maleus melekat pada membran timpani, maleus melekat pada inkus, dan inkus melekat pada
stapes. Stapes terletak pada tingkap lonjong yang berhubungan dengan koklea. Hubungan
antar tulang-tulang pendengaran merupakan persendian (Stephen, 1997).

Tuba Eustachius termasuk dalam telinga tengah yang menghubungkan daerah


nasofaring dengan telinga tengah (Stephen, 1997).

3. Telinga Dalam

Telinga dalam terdiri dari koklea (rumah siput) yang berupa dua setengah lingkaran dan
vestibuler yang terdiri dari 3 buah kanalis semisirkularis. Kanalis semisirkularis saling
berhubungan secara tidak lengkap dan membentuk lingkaran yang tidak lengkap. Pada irisan
melintang koklea tampak skala vestibuli sebelah atas, skala timpani di sebelah bawah dan
skala media (duktus koklearis) diantaranya. Skala vestibuli dan skala timpani berisi perilimfa,
sedangkan skala media berisi endolimfa. Dasar skala vestibuli disebut sebagai membran
vestibuli (Reissner’s membrane) sedangkan dasar skala media adalah membrane basalis. Pada
membran ini terdapat organ Corti (Soetirto, 2007).

Pada skala media terdapat bagian berbentuk lidah yang disebut membran tektoria dan
pada membran basal melekat sel rambut yang terdiri dari sel rambut dalam, sel rambut luar
dan kanalis Corti, yang membentuk organ Corti (Stephen, 1997).

III. Fisiologi pendengaran (Sherwood, 2001).


Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energy bunyi oleh daun telinga dalam
bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang kekoklea. Getaran tersebut
menggetarkan membran timpani diteruskan ketelinga tengah melalui rangkaian tulang
pendengaran yang akan mengimplikasi getaran melalui daya ungkit tulang pendengaran dan
perkalian perbandingan luas membran timpani dan tingkap lonjong. Energi getar yang telah
diamplifikasi ini akan diteruskan ke stapes yang menggerakkan tingkap lonjong sehingga
perilimfa pada skala vestibule bergerak. Getaran diteruskan melalui membrane Reissner yang
mendorong endolimfa, sehingga akan menimbulkan gerak relative antara membran basilaris
dan membran tektoria. Proses ini merupakan rangsang mekanik yang menyebabkan
terjadinya defleksi stereosilia sel-sel rambut, sehingga kanal ion terbuka dan terjadi
penglepasan ion bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan ini menimbulkan proses
depolarisasi sel rambut, sehingga melepaskan neurotransmiter ke dalam sinapsis yang akan
menimbulkan potensial aksi pada saraf auditorius, lalu dilanjutkan ke nucleus auditorius
sampai ke korteks pendengaran (area 39-40) di lobus temporalis.

IV. Etiologi Otore

Penyebab otore antara lain sebagai berikut (Bansal, 2013):

1. Liang telinga : Otomikosis, furunkulosis, keratosis obliterans, otitis eksterna,


otitis eksterna maligna.

2. Otitis eksterna sekunder: Otitis media dengan perforasi, infeksi H. Zoster.

3. Membran timpani : Myringitis bulosa, keratosis obturans, kolesteatoma eksterna.

4. Telinga tengah : Otitis media supuratif akut dan kronis, keganasan.

5. CSF otore : Fraktur tulang temporal.

V. Otitis Eksterna

Otitis eksterna adalah radang pada liang telinga baik akut maupun kronis yang disebabkan
infeksi bakteri, jamur dan virus (Hafil, 2007).

Infeksi dapat terjadi sebagai akibat faktor-faktor predisposisi tertentu sebagai berikut (Boeis,
1997):

a. Perubahan pH kulit kanalis yang biasanya asam menjadi basa

b. Perubahan lingkungan terutama gabungan peningkatan suhu dan kelembaban

c. Suatu trauma ringan seringkali karena berenang atau membersihkan telinga secara
berlebihan
Prinsip-prinsip penatalaksanaan yang dapat diterapkan pada semua tipe-tipe otitis eksterna
antara lain (Boeis, 1997):

a. Membersihkan liang telinga dengan pengisap atau kapas dengan berhati-hati.

b. Penilaian terhadap sekret, edema dinding kanalis, dan membrane timpani bila mungkin;
keputusan apakah akan menggunakan sumbu untuk mengoleskan obat.

c. Pemilihan pengobatan lokal.

1. Otitis Eksterna Akut.

Faktor predisposisi otitis eksterna akut antara lain sebagai berikut (Bansal, 2013):

 Suhu yang hangat dan lembab: keringat berlebih mengubah pH telinga menjadi alkali,
yang sering menjadi tempat tumbuh bakteri.
 Obstruksi liang telinga : serumen obturans.
 Trauma telinga : penggunaan cotton bud untuk membersihkan telinga
 Air yang terkontaminasi pada liang telinga: biasanya akibat berenang.

Otitis eksterna akut terbagi menjadi 2, yaitu otitis eksterna sirkumskripta dan otitis eksterna
difus

a. Otitis eksterna sirkumskripta (furunkel)

Karena kulit di sepertiga luar liang telinga mengandung adneksa kulit seperti folikel rambut,
kelenjar sebasea dan kelenjar serumen, maka di tempat itu dapat terjadi infeksi pada
pilosebaseus sehingga membentuk furunkel. Kuman penyebab biasanya Staphylococcus
aureus (Hafil, 2007).

Furunkel (Bull, 2003)

Gejala klinis (Bansal, 2013):


 Biarpun biasanya tunggal, namun furunkel atau bisul di telinga dapat berjumlah lebih
banyak.
 Nyeri yang hebat dan tidak sesuai dengan ukuran bisul.
 Pinna atau telinga luar terasa sakit bila digerakkan, mengunyah terasa sakit.
 Kelenjar limfa preaurikular mungkin dapat membesar dan terasa nyeri.
 Untuk mencegah kemungkinan infeksi ulang, dapat dilakukan tes gula darah untuk
melihat kemungkinan diabetes.

Penatalaksanaan (Hafil, 2007):

 Bila sudah menjadi abses, diaspirasi secara steril untuk mengeluarkan nanahnya.
 Lokal dapat diberikan antibiotika dalam bentuk salep seperti polymyxin B atau
bacitracin, atau antiseptic (asam asetat 2-5% dalam alcohol).
 Kalau dinding furunkel cukup tebal, dilakukan insisi, kemudian dipasang salir (drain)
untuk mengalirkan nanahnya.
 Dapat diberikan obat simptomatik seperti analgetik atau obat penenang.

b. Otitis Eksterna Difus (Hafil, 2007).

Biasanya mengenai liang telinga dua pertiga dalam. Tampak kulit liang telinga hiperemis dan
edema yang tidak jelas batasnya. Kuman penyebab biasanya golongan Staphylococcus albus,
Escherichia coli dan sebagainya. Otitis eksterna difus dapat juga terjadi sekunder pada otitis
media supuratif kronis.

Otitis eksterna difus (Bull, 2003)

Gejala klinis (Bansal, 2013):

 Yang sering terjadi: Otalgia dan otore. Nyeri telinga dapat diperburuk dengan gerakan
rahang.
 Gejala awal: liang telinga memerah, sempit dan keluar sedikit cairan yang berbau.
 Gejala lanjut: liang telinga membengkak dengan cairan yang purulen lebih banyak.
 Gejala berat: kelenjar limfe preaurikular membengkak dan nyeri.

Penatalaksanaan (Hafil, 2007):

 Membersihkan liang telinga


 Memasukkan tampon yang mengandung antibiotika ke liang telinga supaya terdapat
kontak yang baik antara obat dengan kulit yang meradang.
 Kadang diperlukan antibiotika sistemik.

c. Otomikosis

Otomikosis adalah infeksi jamur pada liang telinga (Carney, 2008). Otomikosis lebih sering
terjadi pada wilayah yang lembab, panas dan berdebu pada daerah beriklim tropis atau
subtropis (Wiswanatha, 2012). Penyebab tersering dari otomikosis adalah Pityrosporum,
Aspergillus dan Candida (Hafil, 2007; Satish, 2013). Penelitian yang dilakukan oleh Satish
(2013) mengatakan bahwa otomikosis lebih sering terjadi pada pria (53%) daripada wanita
(47%).

Gejala otomikosis antara lain (Pradhan, 2003):

 Gatal di telinga.
 Rasa penuh di telinga.
 Rasa tidak nyaman dan nyeri di telinga.
 Tinnitus.
 Penurunan pendengaran.
 Kadang keluar cairan dari telinga.

Penatalaksanaannya antara lain (Hafil, 2007):

 Membersihkan liang telinga.


 Tetes telinga yang mengandung asam asetat 2% dalam alcohol, larutan iodium
povidon 5% atau tetes telinga yang mengandung campuran antibiotik dan steroid
biasanya dapat menyembuhkan.
 Kadang diperlukan obat anti jamur dalam bentuk salep yang mengandung nistatin,
klotrimazol.

d. Herpes Zoster Otikus


Herpes zoster otikus yang disebut juga sindrom Ramsay Hunt merupakan neuropati fasial
akut yang disebabkan oleh reaktivasi virus Varicella zoster dan sering ditandai dengan kulit
liang telinga yang merah serta adanya vesikel di liang telinga, aurikula dan mukosa orofaring
(Goldani, 2009).

Herpes zoster otikus (Bull, 2003)

Gejala klasik dari Herpes zoster otikus antara lain:


 Nyeri di liang telinga, seringkali menyebar sampai ke pinna. Terdapat vesikel dan
ulserasi di telinga luar, seringkali hanya sebelah dan disertai adanya ruam di liang
telinga (Gilchrist, 2009).
 Ruam dapat berlanjut dengan adanya paresis fasial, gejala lain seperti vertigo dan
hilangnya pendengaran sebelah telinga (nervus vestibulokoklearis), tinnitus, otalgia,
nyeri kepala, demam, adenopati servikalis. (Wayman, 1990).

Penatalaksanaan untuk Herpes zoster otikus adalah kombinasi acyclovir dan prednisone.
Acyclovir adalah agen antimikrobial yang efektif menghambat replikasi virus Herpes zoster.
Karena meningkatnya kejadian resistensi terhadap acyclovir, kini lebih sering digunakan obat
baru seperti valacyclovir, fancyclovir, pencyclovir dan brivudine (Dorsky, 1987).

2. Otitis Eksterna Kronik

Infeksi bakteri maupun jamur yang tidak diobatu dengan baik, terjadinya iritasi kulit yang
disebabkan oleh cairan pada otitis media, terjadinya trauma berulang, adanya benda asing,
penggunaan cetakan (mould) pada alat bantu dengar dapat menyebabkan radang kronis.
Akibatnya, terjadi stenosis atau penyempitan liang telinga karena terbentuknya jaringan parut
(sikatriks). Pengobatan otitis eksterna kronik memerlukan operasi rekonstruksi liang telinga
(Hafil, 2007).

3. Otitis Eksterna Maligna

Otitis eksterna maligna adalah infeksi difus di liang telinga luar dan struktur lain di
sekitarnya. Biasanya terjadi pada orang tua denngan penyakit diabetes mellitus, karena pada
penderita diabetes pH serumennya lebih tinggi dan menyebabkan lebih mudah terjadi otitis
eksterna. Akibat adanya immunocompromize daan mikroangiopati, otitis eksterna kemudian
berlanjut jadi otitis eksterna maligna (Hafil, 2007).Mikroorganisme penyebab utama adalah
Pseudomonas aeruginosa (Bansal, 2013).

Gejala klinis (Bansal, 2013):


 Otalgia dan otore yang hebat
 Adanya jaringan granulasi yang menutupi liang telinga
 Sering mempengaruhi nervus fasialis sehingga terjadi paresis
 Jika sudah berat: Paresis nervus IX, X, XI
 Penyebaran ke intracranial: Nyeri kepala, demam, kaku kuduk dan penurunan
kesadaran

Penatalaksanaan (Hafil, 2007):

 Karena penyebab tersering adalah Pseudomonas aeruginosa, maka diberikan


antibiotic dosis tinggi sesuai dengan Pseudomonas aeruginosa. Sementara menunggu
hasil kultur dan resistensi, diberikan golongan floroquinolone (ciprofloxacin) dosis
tingi per oral.
 Pada keadaan lebih erat diberikan antibiotika parenteral kombinasi dengan antibiotika
golongan aminoglikosida selama 6-8 minggu. Antibiotika yang sering diberikan
adalah ciprofloxacin, ticarcilin-clavulanat, piperacilin (kombinasi dengan
aminoglikosida), ceftriaxone (kombinasi dengan aminoglikosida), gentamicin
(kombinasi dengan golongan penicillin).
 Selain obat-obatan dilakukan juga tindakan membersihkan luka (debrideman) secara
radikal.
VI. Keratosis Obturans Dan Kolesteatoma Eksterna

Terjadinya penyumbatan dari tumpukan keratin pada liang telinga dalam (Bansal, 2013). Hal
tersebut disebabkan oleh terbentuknya sel epitel yang berlebihan dan tidak bermigrasi ke arah
telinga luar (Hafil, 2007).

Gejala klinis ( Hafil, 2007; Bansal, 2013):


 Biasanya mengenai kedua telinga untuk keratosis obturans, sementara pada
kolesteatoma eksterna biasanya unilateral.
 Terjadi lebih banyak pada orang dewasa usia muda pada keratosis obturans,
sementara pada kolesteatoma eksterna lebih sering pada usia tua.
 Nyeri yang hebat pada keratosis obturans karena adanya desakan epitel di liang
telinga sementara pada kolesteatoma eksterna nyeri telinga nyerinya tumpul dan
menahun karena invasi kolesteatoma ke tulang yang menimbulkan periosteitis.
 Penurunan pendengaran, tinnitus, dan dalam beberapa kasus keluar cairan dari telinga
 Ditemukan massa keratin yang mengisi liang telinga berwarna putih mutiara

Penatalaksanaan (Hafil, 2007; Bansal, 2013):


 Pelepasan debris epitel dibawah mikroskop telinga jika jaringan nekrotik masih kecil
dan terbatas. Pada Kolesteatoma eksterna perlu dilakukan operasi agar kolesteatoma
dan tulang yang nekrotik bisa diangkat sempurna.
 Penggunaan agen keratolitik, seperti asam salisilat 2% dalam alkohol. Pemberian
obat tetes telinga dengan campuran alcohol atau gliserin dalam H2O2 3% seringkali
dapat menolong.

Tabel 1. Perbedaan Keratosis Obturans Dan Kolesteatoma Eksterna (Hafil, 2007).

Pembanding Keratosis Obturans Kolesteatoma Eksterna


Umur Dewasa muda Tua
Penyakit terkait Sinusitis, bronkiektasis Tidak ada
Nyeri Akut/berat Kronis/nyeri tumpul
Gangguan pendengaran Konduktif/sedang Tidak ada/ringan
Sisi telinga Bilateral Unilateral
Erosi tulang Sirkumferensial Terlokalisir
Kulit telinga Utuh Ulserasi
Osteonekrosis Tidak ada Bisa ada
Otorea Jarang Sering

VII. Myringitis bullosa


Peradangan yang terjadi pada liang telinga dan menyebabkan munculnya bula berisi darah
pada membran timpani (Borgstein, 2009). Insiden tertinggi dari miringitis bulosa disebabkan
oleh Mycoplasma pneumonia, namun dapat juga sebagai akibat dari infeksi seperti
Streptococcus pneumonia, atau infeksi virus seperti influenza, herpes zoster, dan lain-lain
(Schweinfurth, 2009).

Middle ear fluid (MEF) telah sering ditemukan pada myringitis bulosa dan mungkin timbul
sebagai akibat dari pecahnya bulla ke telinga tengah atau bulla mungkin telah muncul secara
sekunder setelah radang telinga tengah (Schweinfurth, 2009).

Gejala Klinis (Schweinfurth, 2009). :

 Terdapat tanda-tanda inflamasi pada membran impani, seperti warna membran terlihat
lebih merah, serta tampak mengalami deformasi, dan refleks cahaya memendek atau
bahkan menghilang sama sekali.
 Adanya bulla pada membran timpani. Bulla ini dapat pecah dan menimbulkan
perdarahan pada membran timpani.
 Pada pemeriksaan pendengaran dapat ditemukan adanya penurunan pendengaran.
 Tympanometri: pemeriksaan ini dilakukan untuk menemukan bukti adanya cairan di
belakang membran timpani. Sehingga dapat diketahui adanya otitis media yang
menyertai miringitis bulosa.
 Tympanoparasintesis: pemeriksaan ini dilakukan untuk kultur dan identifikasi agen
penyebab miringitis bulosa.

Penatalaksanaan (Schweinfurth, 2009):

 Pembersihan kanalis auditorius eksterna


Irigasi liang telinga untuk membuang debris (kontraindikasi bila status membran
timpani tidak diketahui)
 Timpanosintesis, yaitu pungsi kecil yang dibuat di membran timpani dengan sebuah
jarum untuk jalan masuk ke telinga tengah. Prosedur ini dapat memungkinkan
dilakukan kultur dan identifikasi penyebab inflamasi.
 Miringotomi, dimana pada otitis media akut miringotomi dan pembuangan cairan
mencegah terjadinya pecahnya membran timpani setelah “bulging”. Tindakan ini
menyembuhkan gejala lebih cepat, dan insisi sembuh dalam waktu lebih cepat.
 Timpanostomi dengan insersi pipa ke telinga tengah memungkinkan drainase.
 Medikamentosa: Prinsip pengobatan adalah meredakan nyeri dan mencegah
terjadinya infeksi sekunder. Penanganan miringitis bulosa terdiri dari pemberian
analgetika untuk nyeri dan memelihara kebersihan dan kekeringan telinga. Analgetik,
obat anti-inflamasi, antipruritics, antihistamin, dan antibiotik dapat diberikan.

VIII. Otitis Media (Djaafar, 2007)

Otitis media adalah peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah, tuba
Eustachius, antrum mastoid dan sel-sel mastoid. Otitis media terbagi atas otitis media
supuratif dan otitis media non supuratif (=otitis media serosa, otitis media sekretoria, otitis
media musinosa, otitis media efusi/OME)

1. Otitis Media Akut.

Secara fisiologis, terdapat mekanisme pencegahan masuknya mikroba ke dalam telinga


tengah oleh silia mukosa tuba Eustachius, enzim dan antibodi. Sumbatan tuba Eustachius
mengganggu mekanisme pencegahan tersebut sehingga pencegahan invasi bakteri juga
terganggu. Bakteri akhirnya masuk ke telinga tengah dan terjadi peradangan. Pencetus otitis
media akut adalah infeksi saluran napas atas, terutama pada anak-anak karena tuba
Eustachius pada anak-anak lebih pendek, lebar dan terletak agak horizontal.

Otitis media akut stadium supurasi (Bull, 2003)


Bakteri penyebab utama otitis media akut antara lain Staphylococcus aureus, Streptococcus
hemolitikus, Pneumococcus, Haemophillus influenza, Escherichia colli, Streptococcus
antihemolyticus, Proteus vulgaris, dan Pseudomonas aeruginosa.

Gejala klinis otitis media akut berbeda sesuai stadiumnya, namun pada umumnya gejala
klinis otitis media akut adalah sebagai berikut:
 Nyeri di dalam telinga.
 Suhu tubuh tinggi.
 Biasanya sebelumnya terdapat riwayat batuk pilek.
 Gangguan pendengaran berupa rasa penuh di telinga atau rasa kurang dengar

Gejala khas setiap stadium adalah sebagai berikut:


 Stadium oklusi tuba: gambaran retraksi membran timpani akibat terjadinya tekanan
negatif di dalam telinga tengah akibat absorpsi udara. Kadang membran timpani
tampak normal atau pucat.
 Stadium hiperemis: tampak pembuluh darah yang melebar di membran timpani atau
seluruh membran timpani tampak hiperemis serta edem.
 Stadium supurasi: edema yang hebat pada mukosa telinga tengah dan hancurnya sel
epitel superficial, serta terbentuknya eksudat yang purulen di kavum timpani,
menyebabkan membran timpani menonjol (bulging) kearah liang telinga luar. Pada
keadaan ini pasien nampak sangat sakit, nadi dan suhu meningkat, serta nyeri di
telinga semakin hebat. Apabila tekanan nanah di kavum timpani tidak berkurang
maka terjadi iskemia, akibat tekanan pada kapiler-kapiler serta timbul tromboflebitis
pada vena-vena kecil dan nekrosis mukosa dan submukosa. Nekrosis ini pada
membrane timpani terlihat sebagai daerah lembek kekuningan. Di tempat ini akan
terjadi rupture.
 Stadium perforasi: karena beberapa sebab seperti terlambatnya pemberian antibiotika
atau virulensi bakteri tinggi maka dapat terjadi rupture membran timpani dan nanah
keluar mengalir dari telinga tengah ke liang telinga luar.
 Stadium resolusi: bila membrane timpani tetap utuh maka keadaan membrane timpani
perlahan-lahan akan normal kembali. Bila sudah terjadi perforasi maka sekret akan
berkurang dan akhirnya kering. Bila daya tahan tubuh baik maka resolusi akan terjadi
walaupun tanpa pengobatan.
.
2. Otitis Media Supuratif Kronis

Otitis media supuratif kronis adalah infeksi kronis di telinga tengah dengan perforasi
membran timpani dan sekret yang keluar dari telinga tengah terus menerus atau hilang
timbul. Sekret mungkin encer atau kental, bening atau berupa nanah. Otitis media akut
dengan perforasi membran timpani menjadi otitis media supuratif kronis apabila prosesnya
sudah lebih dari 2 bulan.

Otitis media supuratif kronis (OMSK) sendiri terbagi menjadi 2 jenis, yaitu OMSK tipe aman
(tipe mukosa/benigna) dan OMSK tipe bahaya (tipe tulang/maligna). Berdasaran aktivitas
sekret yang keluar dikenal juga OMSK aktif dan OMSK tenang. OMSK aktif adalah OMSK
yang sekretnya keluar dari kavum timpani secara aktif, sementara OMSK tenang adalah
OMSK yang kavum timpaninya terlihat basah atau kering.

Proses peradangan pada OMSK tipe aman terbatas pada mukosa saja, dan biasanya tidak
mengenai tulang. Perforasi terletak di sentral dan tidak terdapat kolesteatoma.

OMSK tipe bahaya adalah OMSK yang disertai dengan kolesteatoma (kista epithelial yang
berisi deskuamasi epitel/keratin). Perforasi OMSK tipe bahaya terletak di marginal atau di
atik, kadang terdapat juga kolesteatoma pada OMSK dengan perforasi subtotal.

Diagnosis:

 Diagnosis dibuat berdasarkan gejala klinik pemeriksaan THT terutama otoskopi.


 Pemeriksaan penala dilakukan untuk mengetahui adanya gangguan pendengaran.
 Audiometri dilakukan untuk mengetahui derajat dan jenis ketulian.
 Foto rontgen mastoid untuk melihat adanya kolesteatoma.
 Kultur uji resistensi bakteri dari sekret telinga.

Terapi OMSK

OMSK tipe aman: bila sekret yang keluar terus menerus diberikan pencuci telinga berupa
larutan H2O2 3% selama 3-5 hari. Setelah sekret berkurang dilanjutkan dengan pemberian
tetes telinga yang mengandung antibiotika dan kortikosteroid. Secara oral diberikan
antibiotika dari golongan ampisilin atau eritromisin sebelum hasil tes resistensi diterima. Jika
bakterinya resisten ampisilin diberi asam klavulanat. Bila sekret telah kering namun perforasi
masih ada selama 2 bulan dilakukan miringoplasti atau timpanoplasti.

OMSK tipe bahaya: pembedahan, yaitu mastoidektomi. Terapi konservatif dengan


medikamentosa hanya sementara sebelum dilakukan pembedahan.

3. Otitis Media Non Supuratif/ Otitis Media Serosa.

Otitis media serosa adalah keadaan terdapatnya sekret nonpurulen di telinga tengah,
sedangkan membran timpani utuh. Adanya cairan di telinga tengah dengan membrane
timpani utuh tanpa ada tanda infeksi disebut juga otitis media efusi. Apabila efusi encer
disebut otitis media serosa dan apabila sekretnya kental disebut otitis media mukoid (glue
ear).

a. Otitis Media Serosa Akut


Keadaan terbentuknya sekret di telinga tengah secara tiba-tiba akibat adanya gangguan pada
fungsi tuba. Keadaan ini dapat disebabkan oleh:
 Sumbatan tuba, dimana terbentuk cairan di telinga tengah karena tersumbatnya tuba
secara tiba-tiba misalnya pada barotrauma.
 Virus, terbentuknya cairan di telinga tengah yang berhubungan dengan infeksi virus
pada jalan napas atas.
 Alergi, terbentuknya cairan di telinga tengah yang berhubungan dengan alergi pada
jalan napas atas.
 Idiopatik
Gejalanya sebagai berikut:
 Pendengaran berkurang.
 Rasa tersumbat pada telinga atau suara sendiri terdengar lebih jelas pada telinga yang
sakit (autofoni)
 Terasa cairan bergerak dalam telinga
 Kadang terdapat pusing, vertigo dan tinnitus ringan
 Pada otoskopi nampak membran timpani retraksi. Kadang tampak gelembung udara
atau permukaan cairan dalam kavum timpani.
 Terbukti tuli konduktif pada garpu tala.
Pengobatannya antara lain dengan medikamentosa dan pembedahan. Pada pengobatan
medical diberikan obat vasokonstriktor local (tetes hidung), antihistamin, serta perasat
Valsava bila tidak ada tanda infeksi jalan napas atas. Setelah satu atau dua minggu bila
gejala-gejala masih menetap dilakukan miringotomi dan bila masih belum sembuh dilakukan
miringotomi serta pemasangan pipa ventilasi (Grommet)

b. Otitis Media Serosa Kronik (Glue Ear)


Pada otitis media serosa kronik sekret terbentuk secara bertahap tanpa rasa nyeri dengan
gejala pada telinga yang berlangsung lama. Sekret pada otitis media serosa kronik dapat
kental seperti lem. Otitis media serosa kronik dapat juga terjadi sebagai gejala sisa dari otitis
media akut. Penyebab lain diperkirakan adanya hubungan dengan infeksi virus, keadaan
alergi atau gangguan mekanis pada tuba.

Glue ear (Bull, 2003)


Gejala klinisnya adalah sebagai berikut:
 Perasaan tuli pada otitis media serosa kronik lebih menonjol (40-50 dB) karena
adanya sekret kental.
 Pada otoskopi terlihat membrane timpani utuh, retraksi, suram, kuning, kemerahan
atau keabu-abuan.

Pengobatannya antara lain mengeluarkan sekret dengan miringotomi dan memasang pipa
ventilasi (Grommet). Pada kasus yang masih baru pemberian dekongestan tetes hidung serta
kombinasi anti histamine-dekongestan per oral kadang bisa berhasil. Dianjurkan pengobatan
selama 3 bulan, bila tidak berhasil baru operasi. Harus diobati pula faktor penyebab seperti
alergi, pembesaran adenoid atau tonsil, infeksi hidung dan sinus.

IX. Keganasan Pada Telinga

1. Epidemiologi
Tumor ganas telinga jarang ditemukan dengan perbandingan antara 1 : 5000 sampai 1
: 20000 dari pasien dengan kelainan telinga (Adams, 1997).

2. Etiologi

Tersebut sebagai faktor penyebab antara lain iritasi kronik seperti sinar matahari,
infeksi kronik dan sebagainya. Faktor herediter dan usia juga berperan penting (Adams,
1997).

3. Patologi

Lewis mengelompokkan jenis tumor telinga berdasarkan asalnya sebagai berikut (Holsinger,
2003):

 Tumor epitel
1. Tumor ganas epitel permukaan
a. Karsinoma sel skuamosa
Karsinoma sel skuamosa merupakan tumor telinga yang paling sering
ditemukan. Predileksi utamanya adalah di liang telinga.Lewis mendapatkan 11
% dari tumor ini telah bermetastasis ke kelenjar leher pada saat pertama kali
pasien datang.

b. Karsinoma sel basal


c. Karsinoma sel basal merupakan karsinoma yang paling sering ditemukan di
daun telinga. Tumor ini bisa meluas dari daun telinga ke telinga tengah,
mastoid dan bagian skuamosa tulang temporal.
2. Tumor ganas epitel kelenjar
Adenokarsinoma

Adenokarsinoma dapat berasal dari kelenjar sebasea atau kelenjar serumen di


liang telinga ataupun merupakan penyebaran dari tumor parotis.

 Tumor mesenkim (Holsinger, 2003)


Sarkoma

Sarkoma merupakan tumor telinga yang jarang sekali terjadi, lebih sering ditemukan
pada usia muda. Tumor ini bersifat invasifsecara local, cepat membesar, metastasis
jauh melalui aliran darah dan aliran limfe, tetapi tidak mengenai kelenjar limfe
regional.
 Tumor ganas yang asalnya susah diketahui (Holsinger, 2003)
Melanoma maligna

Tumor ini bisa merupakan tumor primer di daun telinga, liang telinga ataupun di
telinga tengah. Pada kebanyakan pasien sudah ditemukan pembesaran kelenjar limfe
regional walaupun tumornya masih kecil.

4. Pola Penyebaran

a. Telinga luar (Menner, 2003; Dhingra, 2008)


Karsinoma sel basal liang telinga luar biasanya mulai dari 1/3 luar liang telinga,
kemudian berkembang secara cepat ke perikondrium, akhirnya merusak kartilago
menyebar kea rah telinga tengah dan mastoid.Karsinoma sel skuamosa liang telinga
luar dapat tampak seperti massa polipoid berwarna merah. Tumor bisa berinvasi ke
tulang rawan atau tulang atau menembus membrane timpani ke telinga tengah,
mastoid dan kanalis fasialis.

Massa berukuran 3,5 x 2,5 cm di daun telinga; secara histopatologi adalah karsinoma sel
basal (Vincek, 2005).

b. Telinga tengah ( kavum timpani, mastoid dan tuba Eustachius ) (Menner, 2003;
Dhingra, 2008)
Berbagai jenis tumor jinak dan ganas, dapat berasal dari telinga tengah
mastoid dan daerah sekitarnya, terutama pada liang telinga. Tumor ini dapat dianggap
primer, menunujukkan asalnya dari tulang temporal, atau sekunder yang
menunjukkan metastase ke tulang temporal dari suatu tempat yang jauh, atau
menginvasi telinga dari daerah sekitarnya, biasanya kelenjar parotis.
 Tumor Primer

Dari jenis tumor primer, tumor glomus jugularis timpanikum merupakan yang paling
lazim dan paling penting. Tumor berasal dari badan glomus dekat bulbus jugularis
pada dasar telinga tengah atau berasal dari penyebaran saraf di manapun dalam telinga
tengah. Secara histologist tumor serupa dengan tumor korpus karotis atau
kemodektoma. Suatu varian ganas telah dilaporkan namun sangat jarang. Dengan
ekspansinya tumor dapat merusak jaringan di sekitarnya dan menyebabkan gangguan
pendengaran dan rasa penuh pada telinga dan pada beberapa kasus dapat meluas ke
basis cranium, menimbulkan komplikasi saraf kranialis dan intrakranialis. Tumor ini
sangat vascular, dan seringkali dapat terlihat sebagai suatu massa keunguan di dasar
telinga tengah lewat membrane timpani yang semitransparan. Kepucatan yang timbul
pada penekanan dengan otoskop pnemotik di sebut tanda Brown. Tumor jinak lain
termasuk neurofibroma saraf fasialis, hemangioma dan osteoma.

Tumor ganas primer pada rongga telinga tengah antara lain : karsinoma sel skuamosa,
rabdomiosarkoma, karsinoma kistik adenoid dan adenokarsinoma.Tumor dapat pula
meluas ke anterior lewat fisura – fisura menuju kelenjar parotis dan fossa
pterigomaxillaris.Tumor ganas telinga tengah yang paling umum pada dewasa adalah
karsinoma kistik adenoid dan adenokarsinoma. Tumor ganas yang paling sering meluas
dari liang telinga ke telinga tengah adalah karsinoma sel skuamosa. Tumor lain yang
berasal dari liang telnga dan meluas ke telinga tengah (lebih jarang) adalah karsinoma
kistik adenoid, melanoma maligna dan sel basal karsinoma yang ditelantarkan.

 Tumor sekunder

Tumor yang berasal dari focus primer yang jauh dan bermetastasis ke telinga tengah,
mastoid dan tulang temporal termasuk adenokarsinoma prostat, karsinoma payudara,
hipernefroma atau karsinoma ginjal, karsinoma bronkus, saluran cerna dan melanoma.

Disamping itu, telinga tengah dan mastoid dapat diinvasi oleh tumor dari daerah sekitar
seperti meningioma, neuroma akustik, glioma, neurilemoma, karsinoma kistik adenoid
dan mukoepidermoid dari kelenjar parotis dan kanker nasofaring yang meluas hingga
ke tuba Eustachius. Keganasan hematologis seperti limfoma maligna dan leukemia
sering menyebabkan tulang temporal hamper selalu memperlihatkan sumsum tulang
apeks petrosa dan juga menginfiltrasi telinga tengah dan tuba Eustachius, menimbulkan
gangguan pendengaran konduktif dan terbentuknya efusi. Pada leukemia berat atau
terminal dapat terjadi perdarahan telinga dalam yang menyebabkan tuli berat mendadak
dan gejala – gejala vestibular.

c. Telinga dalam (Manner, 2003; Dhingra, 2008)

Tumor terpenting dari sistem vestibular adalah schwannoma (acoustic neuroma).


Tumor ini tidak selalu menginvasi vestibulum, tapi dapat juga terjadi pada kasus
neurofibromatosis. Vestibular schwannoma sebagian besar berasal dari glial-
neurilemmal junction dari saraf kranial ke delapan, yang umumnya terletak di antara
meatus auditorius interna.Metastase tumor dapat terjadi ke telinga tengah, namun hal
tersebut jarang terjadi.

5. Gejala Klinis (Adams, 1997)

Gejala klinis berupa nyeri, rasa penuh dalam telinga, gangguan pendengaran,
dan vertigo bila labirin vestibular terlibat. Saraf fasialis menjadi lumpuh bila tumor
mengerosi dinding kanalis posterior dan melibatkan saraf tersebut, namun dalam hal
ini biasanya terjadi pada akhir perjalanan penyakit.

Tumor ganas daun telinga dapat berupa tumor superficial dengan atau tanpa ulserasi
tergantung jenis tumornya, sehingga mudah dideteksi secara dini. Tumor ganas liang telinga
dan telinga tengah sering terlambat diketahui oleh karena tidak cepat dapat terlihat dan
gejalanya seringkali hanya menyerupai penyakit infeksi oleh karena biasanya penyakit ini
timbul pada telinga yang sebelumnya telah menderita otitis media supuratif kronik.

Pada keadaan ini otorea yang biasanya purulen berubah menjadi hemorhargik. Nyeri
yang hebat bisa disebabkan oleh otitis eksterna atau otitis media, tetapi bila tumor ganas
telinga disertai nyeri hebat, sangat mungkin disebabkan oelh invasi tumor ke tulang. Paresis
fasial perifer sering terjadi di samping gangguan pendengaran dan gangguan keseimbangan.
Terkenanya n. IX, X, XI dan XII menandakan penyebaran ke basis fosa kranii media dan
menandakan penyakit yang incurable.

6. Klasifikasi

Klasifikasi tumor ganas telinga tidak ditemukan di dalam klasifikasi TNM dari
UICC tahun 1987. Goodwin membagi pasien berdasarkan penyebaran ke arah medial
menjadi 3 golongan yang kelihatannya praktis untuk penggunaan klinik (Adams, 1997).
Golongan 1: tumor yang mengenai konka daun telinga dan / atau bagian tulang rawan
liang telinga.

Golongan 2: tumor mengenai bagian superfisial tulang temporal yaitu bagian tulang
dari liang telinga dan korteks mastoid.

Golongan 3: tumor sudah mengenai struktur dalam tulang temporal, telinga tengah,
kanalis fasial, basis kranii atau sel mastoid. Ada atau tidaknya pembesaran kelenjar
limfe regional harus diperhatikan secara terpisah.

7. Diagnosis (Michaels, 2006).

Bila mungkin secepatnya dilakukan biopsi dari liang telinga atau dari leher. Otitis
eksterna kronik yang menetap merupakan indikasi pasti untuk biopsi liang telinga.

Morphea type dari karsinoma sel basal daun telinga (Michaels, 2006)

Adenoma telinga tengah (Michaels, 2006)


Vestibular Schwannoma (Michaels, 2006)

Pemeriksaan radiologik memegang peranan yang sangat penting untuk melihat lokasi
tumor dan perluasannya dengan tepat. Tanpa bantuan gambaran radiologi rencana
pembedahan dan radioterapi tidak dapat dibuat dengan baik. CT scan dengan bidang
aksial dan koronal akan dapat membantu diagnosis yang lebih dini dan lebih
memperlihatkan perluasan tumor.

Lokasi dan perluasan tumor ( jaringan lunak ) ke fosa infra temporal dapat dilihat
dengan CT Scan. Venojugulogram dan arteriografi a. karotis kadang – kadang
diperlukan untuk melihat apakah ada infiltrasi tumor ke sinus lateralis dan bulbus
jugularis atau ke a. karotis interna.Ada kalanya terutama bila ada infeksi penunjang,
tumor dapat menimbulkan gejala pengeluaran secret, khususnya secret berdarah.

8. Pengobatan (Michaels, 2006)


Beberapa penulis menganjurkan terapi radiasi untuk tumor ganas telinga, tetapi
kondritis yang disebabkan oleh radiasi dan nekrosis tulang yang terkena radiasi
sering kali merupakan komplikasi yang serius yang sukar untuk diatasi. Disamping
itu radiasi juga akan menimbulkan kesulitan untuk menentukan batas perluasan
tumor. Cara pengobatan terbaik menurut kebanyakan ahli adalah terapi operatif
dengan eksisi luas secara lengkap dan utuh (“intoto”). Bila perlu dapat diiringi
radioterapi.

Bila tumor ditemukan dini, pasien memiliki lebih banyak kesempatan untuk sembuh
dibandingkan bila tumor telah lanjut sehingga memerlukan reseksi tulang temporal,
dengan kemungkinan kelangsungan hidup lebih sempit. Rabdomiosarkoma
menyerang anak – anak kecil. Penyakit ini pernah dianggap fatal namun dalam tahun
– tahun terakhir telah dilaporkan kesembuhan dengan kombinasi radioterapi dan
kemoterapi.
X. Otore Cairan Serebrospinal (CSS)

1. Etiologi
Pada otore CSS, trauma akibat kecelakaan merupakan penyebab terbanyak, berupa fraktur
tulang temporal. Faktur tulang temporal longitudinal lebih sering menyebabkan otore CSS
daripada fraktur transversal. Keadaan ini sering diikuti robekan membran timpani yang
menjadi jalan keluarnya CSS ke liang telinga. Sebaliknya fraktur tulang temporal transversal
biasanya membran timpani utuh. Bila fraktur ini menyebabkan kebocoran CSS ke telinga
tengah maka cairan ini akan mengalir ke nasofaring melalui tuba eustachius.Sementara
penyebab nontrauma sangat jarang, dapat terjadi karena kelainan kongenital, tumor atau
osteitis atau osteomielitis. (Applebaum, 1999).

2. Patofisiologi
Otore CSS terjadi akibat adanya hubungan antara ruang subarachnoid dengan mastoid dan
telinga tengah. Di samping itu juga harus terdapat perforasi membran timpani atau defek pada
dinding liang telinga, bila tidak maka CSS akan mengalir ke tuba eustachius dan
menimbulkan rinore atau post nasal discharge Trauma tembus biasanya terjadi akibat
masuknya benda tajam melalui liang telinga menembus membran timpani dan mencederai
promontorium dan dasar kaki stapes, sehingga CSS mengalir keluar karena adanya hubungan
antara ruang perilimf dengan liang telinga.. Bila kebocoran yang terjadi kecil dan intermiten,
sering tidak terasa dan tidak terlihat, sampai terjadi meningitis atau sampai dilakukan
miringotomi untuk mengeluarkan cairan telinga tengah, dan ternyata yang keluar berupa
CSS. (Applebaum,1999).

3. Gejala Klinis
Gejala utama yang paling sering adalah adanya cairan jernih yang keluar dari liang telinga.
Adanya otore CSS akibat trauma, sebagian besar akan menimbulkan gejala dan tanda segera.
Pada kasus membran timpani yang utuh, cairan akan terlihat di belakang membran timpani
atau akan mengalir melalui tuba eustachius ke nasofaring dan menimbulkan rinore CSS atau
sensasi adanya post nasal discharge (Savwa, 2003).
Gejala lain yang mungkin timbul dapat berupa gangguan pendengaran, terasa ada tekanan
dalam telinga atau pusing. Gangguan pendengaran merupakan gejala yang paling menonjol
pada otore CSS nontrauma. (Applebaum, 1999)
Pemeriksaan fisik merupakan modalitas yang sangat penting untuk menegakkan diagnosis
otore CSS. Pada pasien dengan adanya kecurigaan kebocoran CSS, harus dilakukan
pemeriksaan otologi, neurologi dan kepala leher. Kebocoran CSS akan memberikan tanda
adanya aliran CSS baik spontan maupun dengan provokasi seperti parasat palsava pada 90%
kasus nontrauma dan 87% pada trauma akibat operasi.(Savwa, 2003)

4. Diagnosis

Ada dua hal yang harus ditentukan pada diagnosis kebocoran CSS ekstrakranial yaitu; 1)
menentukan adanya kebocoran CSS dan 2) lokasi kebocoran (Applebaum, 1999).

 Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi pada kasus kebocoran CSS bertujuan untuk menkonfirmasi adanya
kebocoran, mengevaluasi adanya kelainan yang menjadi penyebab, menentukan lokasi dan
adanya meningokel pada defek (Lloyd, 2008).

 CT Scan
CT scan dianggap sebagai pemeriksaan radiologi yang utama untuk menentukan lokasi
kebocoran CSS. Dengan pemeriksaan irisan tipis (1 mm) dan multidetektor, defek yang kecil
dapat divisualisasi dengan sensitivitas 92% dan spesifitas 100%. Pada evaluasi CT scan
mastoid, opasifikasi mastoid atau telinga tengah unilateral, defek pada tegmen atau fraktur
pada struktur telinga dalam merupakan tanda kebocoran CSS (Lloyd, 2008).
Pada kasus nontrauma pemeriksaan CT scan juga penting untuk membedakan apakah
kebocoran tekanan tinggi atau tekanan normal, dengan mengidentifikasi adanya tumor,
meningokel atau meningoensefalokel serta kelainan lain yang mendasari (Lloyd, 2008).

5. Penatalaksanaan.
Lokasi dan penyebab kebocoran CSS menentukan pilihan penatalaksanaan selanjutnya. Otore
CSS dapat diterapi secara konservatif dan tindakan operasi. Savva A dkk. melaporkan
sebagian besar (26 dari 29 kasus) otore CSS trauma akibat kecelakaan sembuh dengan
penatalaksanaan konservatif, sebaliknya sebagian besar (52 dari 53 kasus) otore CSS akibat
tindakan operasi membutuhkan operasi penutupan, dengan angka keberhasilan operasi yang
pertama 76,9%.(Savwa, 2003).

Pada kasus yang membutuhkan tindakan operasi, pendekatan dapat dilakukan melalui
kraniotomi fossa media, mastoidektomi atau kombinasi keduanya. Defek di tegmen dapat
dicapai melalui mastoidektomi. Kebocoran dari dura fossa posterior ke mastoid dicapai
melalui mastoidektomi. Kraniotomi biasanya dilakukan apabila pendekatan ekstrakranial
gagal dan pada defek yang besar atau multipel(Applebaum, 1999).

Anda mungkin juga menyukai