Anda di halaman 1dari 4

Nama : Septi Bella Santika

NIM : 195221270
Kelas : AKS 5A (Akademisi)
Matkul : Metode Penelitian Kualitatif
Dosen : Usnan, MEI
Landasan Teoritis Penelitian Kualitatif

Kajian mengenai penelitian kualitatif berawal dari sebuah kelompok ahli sosiologi
pada tahun 1920-1930, di mana kajian ini memantapkan pentingnya penelitian kualitatif
untuk mengkaji kelompok hidup manusia. Teori dalam penelitian kualitatif merupakan suatu
pernyataan sistematis yang berkaitan dengan seperangkat proporsi yang mana berasal dari
suatu data dan diuji kembali secara empiris. Cara memandang dunia, asumsi yang dianut
orang tentang suatu yang penting, dan apa yang membuatdunia bekerja merupakan orientasi
atau perspektif teoritis . Landasan teoritis dari penelitian kualitatif pada dasarnya bertumpu
secara mendasar pada fenomologi. Peneliti yang mengadakan penelitian menggunakan
metode kualitatif biasanya berorientasi pada teori yang sudah ada.

1. Fenomologis

Peneliti dalam pandangan fenomenologis berusaha memahami arti peristiwa dan


kaitannya terhadap orang-orang biasa dalam situasi tertentu. Fenomenologi tidak berasumsi
bahwa peneliti mengetahui arti sesuatu bag orang-orang yang sedang diteliti oleh mereka.
Yang ditekankan oleh kaum fenomenologis ialah aspek subjektif dari perilaku orang. Mereka
berusaha untuk masuk kedalam dunia konseptual para sunjek yang ditelitinya sedemikian
rupa sehingga mereka mengerti apa dan bagaimana suatu pengertian yang dikembangkan
oleh mereka di sekitar peritiwa dalam kehidupannya sehari-hari.

Fenomenologi kadang-kadang digunakan sebagai persfektif filosofi dan juga


digunakan sebagai pendekatan dalam metodelogi kualitatif. Fenomenologi merupakan
pandangan berfikir yang menekankan pada fokus kepada pengalaman-pengalaman subjektif
manusia dan interpretasi –interpretasi manusia.

Ada beberapa ciri pokok dari fenomenologi yang dilakukan oleh peneliti
fenomenologis, yaitu:
a. Fenomenologis yang cenderung mempertentangkannya dengan ‘naturalisme’, yaitu yang
disebut objektivisme dan positivisme yang telah berkembang sejak zaman Renaisans
dalam ilmu pengetahuan modern dan teknologi.
b. Secara pasti, fenomenologis cenderung memastikan kognisi yang mengacu pada apa
yang dinamakan oleh Husserl ‘Evidenz’ yang dalam hal ini merupakan kesadaran
tentang sesuatu benda itu sendiri secara jelas dan berbeda dengan lainnya yang
mencakupi sesuatu dari segi itu.
c. Fenomenologis cenderung percaya bahwa bukan hanya sesuatu benda yang ada dalam
dunia alam dan budaya.
2. Interaksi simbolik
Aliran ini menunjang dan mewarnai kegiatan penelitian kualitatif. Dasar pandangan
atas interaksi simbolik adalah asumsi bahwa pengalaman manusia diperoleh lewat
interpretasi. Obyek, situasi orang dan peristiwa tidak memiliki maknanya sendiri.
Adanya dan terjadinya makna dari berbagai hal tersebut karena diberi berdasarkan
interpretasi dari orang yang terlibat. Interpretasi bukanlah kerja otonom dan juga tidak
ditentukan oleh suatu kekuatan khusus manusia ataupun yang lain.
Penafsiran bukanlah tindakan bebas dan bukan pula ditentukan oleh kekuatan
manusia atau bukan. Orang-orang menafsirkan sesuatu dengan bantuan orang lain seperti
orang-orang masa lalu, penulis, keluarga, pemeran di televisi dan pribadi-pribadi yang
ditemuinya dalam latar tempat mereka bekerja atau bermain, namun orang lain tidak
melakukannya untuk mereka. Melalui interaksi seseorang membentuk pengertian. Orang
dalam situasi tertentu (misalnya mahasiswa dalam ruang kuliah tertentu) sering
mengembangkan difinisi bersama (atau “perspektif bersama” dalam bahasa interaksi
simbolik) karena mereka secara teratur berhubungan dan mengalami pengalaman
bersama, masalah, dan latar belakang, tetapi kesepakatan tidak merupakan keharusan. Di
pihak lain sebagian memegang “definisi kebersamaan” untuk menunjuk pada
“kebenaran”, suatu pengertian yang senantiasa dapat disepakati. Hal itu dapat oleh orang
yang melihat sesuatu dari sisi yang lain. Bila bertindak atas dasar definisi tertentu,
sesuatu barangkali tidak akan baik bagi seseorang. Biasanya pada orang seorang ada
masalah, dan masalah itu dapat membentuk definisi baru, dapat meniadakan yang lama,
dengan kata lain dapat berubah. Bagaimana definisi itu berubah atau berkembang
merupakan pokok persoala yang diteliti.
Dalam interaksi simbolik terdapat beberapa prinsip dalam menafsirkan prilaku
manusia. Penganut interaksionis berasumsi bahwa analisis lengkap prilaku manusia akan
mampu menangkap makna simbul dalam interaksi. Pakar sosiologi harus juga
menangkap pola prilaku dan konsep diri. Konsep itu beragam dan kompleks, verbal dan
non verbal, terkatakan dan tidak terkatakan.
Ada beberapa prinsip dari metodelogi yakni:
a. Sosial dan interaksi itu menyatu. Tak cukup bila kita hanya merekam fakta, kita
harus mencari yang lebih jauh, yaitu mencari konteks seningga dapat ditangkap
simbul dan maknanya.
b. Karena simbol dan makna itu tak lepas dari sikap pribadi, maka jati diri obyek
dengan demikian menjadi penting.
c. Peneliti harus sekaligus mengaitkan antara social dengan jati diri dengan lingkungan
dan hubungan sosialnya. Konsep jati diri terkait dengan konsep sosiologik tentang
struktur social dan lainnya.
d. Hendaknya direkam stuasi yang menggambarkan social dan maknanya, bukan hanya
merekam fakta sensual saja.
e. Metode-metode yang digunakan hendaknya mampu mereflesikan bentuk prilaku dan
prosesnya.
f. Metode yang dipakai hendaknya mampu menangkap makna di balik interaksi.
Kadangkala ada interaksi yang menunjuk tentang perbedaan hasil penelitian pada
daerah kasus yang sama. Perlu dipertimbangkan bahwa banyak sekali kemungkinan
terjadinya perbedaan hasil penelitian, karena memang obyek yang diobservasi
berbeda , atau analisisnya berbeda, atau yang dipertanyakan berbeda.
g. Sesitizing (yaitu sekedar mengarahkan pemikiran) itu yang cocok dengan
interaksionisme simbolik dan ketika mulai memasuki lapangan perlu dirumuskan
menjadi yang lebih operasional menjadi scientific concepts.

Bila prinsip ketujuh ini digunakan, nampaknya mengembangkan interaksionisme


simbolik yang phenomologik akan mengarah ke pemikiran statistik kuantitatif.

3. Etnometodologi
Etnometodologi bukanlah metode yang digunakan oleh peneliti untuk
mengumpulkan data, melainkan menunjukkan pada mata pelajaran yang akan diteliti.
Etnometodologi adalah studi tentang bagaimana individu menciptakan dan memahami
kehidupan sehari-hari. Subjek etnometodologi bukanlah anggota suku-suku terasing,
melainkan orang-orang dalam berbagai macam situasi pada masyarakat kita.
Etnometodologi berusaha bagaimana orang-orang melihat, menerangkan, dan
menguraikan keteraturan dunia tempat mereka.
Sejumlah orang berpendidikan teah terpengaruhi oleh pendekatan ini. Pekerjaan
mereka kadang-kadang sukar dipisahkan dari pekerjaan peneliti kualitatif lainnya.
Mereka cenderung melakukan pekerjaan-pekerjaan tentang isu yang besifat mikro,
dengan pengungkapan dan kosa kata khusus, dan dengan tindakan dengan rinci dan
pengertian. Penelitian demikian menggunakan istilah-istilah pengertian secara common
sense, kehidupan sehari-hari, dan memperhitungkan. Menurut pada etnometodolog,
penelitian bukanlah merupakanusaha ilmiah yang unik, melainkan lebih merupakan
penyelesaian praktis. Mereka menyarankan agar kita melihat secara hati-hati pada
pengertian akal sehat tempat pengumpulan data itu dilakukan. Mereka mendorong
peneliti untuk bekerja dengan cara kualitatif untuk lebih peka terhadap kebutuhan
tertentu menurut mereka atau menangguhkan asumsi mereka tentang akal sehat,
pandangan mereka sendiri, daripada mempertimbangkannya.
Selain landasan teoretis tersebut di atas dalam penelitian kualitatif dimanfaatkan
juga apa yang dinamakan pendekatan (approach). Pendekatan penelitian kualitatif
merupakan cara berpikir umum tentang cara melakukan penelitian kualitatif.

Anda mungkin juga menyukai