Bab 2 Tinjauan Pustaka
Bab 2 Tinjauan Pustaka
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ameloblastoma
Ameloblastoma pertama kali dijelaskan pada tahun 1827 oleh Cusack, kemudian pada
tahun 1885, Malassez memperkenalkan nama "adamantinoma," yang sekarang digunakan untuk
menggambarkan bentuk langka dari kanker tulang yang dijelaskan oleh Fisher pada tahun 1913.
Yang pertama dirinci dan dijelaskan oleh Falkson pada tahun 1879. Istilah ameloblastoma
diciptakan oleh Ivey dan Churchill pada tahun 1930, istilah yang diterima hingga saat ini. Tumor
ini dianggap sebagai neoplasma sejati karena namanya meniru sel-sel organ pembentuk enamel.
Itu dijelaskan oleh Robinson pada tahun 1937, sebagai tumor jinak yang "biasanya unisentris,
nonfungsional, pertumbuhan intermiten, jinak secara anatomis dan persisten secara klinis".
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga mendefinisikan ameloblastoma sebagai tumor jinak
tetapi agresif secara lokal dengan kecenderungan tinggi untuk kambuh, terdiri dari epitel
odontogenik yang berkembang biak yang terletak di stroma fibrosa (Masthan, et al.,2015).
Ameloblastoma adalah tumor odontogenik jinak yang berasal dari epitel yang terlibat
dalam odontogenesis, jarang, namun agresif secara lokal (Milman et al.,2016). Meskipun
umum dengan implikasi klinis yang serius dan memiliki sifat klinis yang jinak dan ganas
(Bassey et al.,2014).
2.1.2 Demografi
Insidensi global ameloblastoma berkisar 0,92 kasus per 1 juta orang per tahun (Hendra et
al., 2019), dan merupakan tumor odontogenik yang sangat banyak ditemui di Afrika dan Cina
(Bassey et al., 2014). Di negara barat, ameloblastoma adalah yang kedua setelah odontoma
sebagai tumor odontogenik yang paling umum, tetapi populasi Afrika-Amerika lima kali lebih
mungkin untuk terjadi ameloblastoma dibandingkan dengan populasi Kaukasia (McClary et al.,
2016). Studi lain juga menunjukkan bahwa ameloblastoma lebih sering terjadi di wilayah Asia
dibandingkan dengan wilayah Amerika Utara dan Amerika Latin (Dhanutai et al., 2012).
Sebagian besar pasien dengan ameloblastoma berusia antara 30 dan 60 tahun, tetapi usia
rata-rata pada saat diagnosis bervariasi dari benua ke benua diperkirakan masing-masing sekitar
42,3 dan 30,4 tahun di Eropa dan Afrika (Effiom et al., 2017). Hanya 10–15% kasus
ameloblastoma terjadi pada populasi anak, tetapi ini bisa mencapai 25% di Afrika dan Asia
berikut :
1. Sisa sel organ enamel, baik sisa dari dental lamina maupun selubung Hertwig,
4. Epitel heterotropik dari bagian tubuh lain terutama kelenjar hipofisis, dan
berkembang
belum ada teori yang pasti. Pada tahun 2015, Sciubba menyatakan perkembangan tumor
odontogenik berkaitan dengan migrasi dari sisa-sisa epitel enamel organ, yang kemudian
didukung oleh teori bahwa ameloblastoma berasal dari epitel kista odontogenik terutama kista
dentigerous dijelaskan oleh Stanley dan Diehl (2015) yang melaporkan sekitar 33% dan 17%
dari seluruh ameloblastoma timbul dari atau bersamaan dengan kista dentigerous, peneliti lain
defisiensi nutrisi dan iritasi non-spesifik yang berkaitan dengan luka post ekstraksi (Effiom et
al., 2017).
ameloblastoma terjadi selama tahap bell stage dari pertumbuhan gigi, karena terjadi perubahan
protein enamel dan deposisi matrix sesuai gambar 2.1 (Fan et al., 2012). Teori ini didukung oleh
Jussila dan Thesleff tahun 2012, pada penelitiannya pada tikus, sel ameloblastoma tidak
memiliki stratum intermedium, sehingga terjadi gangguan fungsi dan deposisi enamel (Gupta et
al., 2011). menjelaskan reticulum stelate pada epitel kolumnar ameloblastoma dapat
Gambar 2.1 Gambaran histologi benih gigi bell stage, gambar histologi menunjukkan lapisan
bell stage yang terdiri dari: (a) Inner enamel epithelium, (b) Outer enamel epithelium, (c)
Stellate reticulum, (d) Dental lamina, (e) Dental papilla, (f) Dental sac (Menton et al.,2011)
Epitelium enamel bagian dalam berinteraksi dengan sel-sel ektomesenkim dari papila
gigi, dengan sel-sel perifernya yang berdiferensiasi menjadi odontoblas. Pembentukan dentin
dari odontoblas dimulai dan diperlukan untuk menginduksi preameloblas menjadi ameloblas,
untuk membentuk enamel. Ameloblas epitelium enamel dalam dan odontoblas di dekatnya,
bersama-sama membentuk bilaminar, yang memanjang melalui mitosis di bawah kontrol genetik
Sekitar minggu ke-14 kehamilan, diferensiasi menjadi ameloblas dan odontoblas terjadi,
diikuti oleh pecahnya lamina gigi yang meninggalkan sisa-sisa epitel (epitel rest malassez).
Meskipun asal utama ameloblastoma adalah lamina gigi, tetapi dapat membentuk dari struktur
tersebut seperti epitel rest, lapisan epitel dari kista odontogen, permukaan sel-sel basal epitel,
epitel organ enamel, dan epitel heterotopik seperti primary gland (Rathee and Jain, 2020).
Menurut Wright dan Vered (2017), Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam
klasifikasi edisi ke-4 dari tumor kepala dan leher telah mengklasifikasikan tumor odontogenik,
yaitu solid / multikistik, ekstraosseus / perifer, desmoplastik dan unikistik, mengalami perubahan
dihilangkan karena ameloblastoma memiliki tipe histopatologi yang berbeda, termasuk folikuler,
Gambar 2.2 Gambaran bagan klasifikasi terbaru ameloblastoma menurut WHO tahun 2017
Multikistik (Cadavid et al.,2019)
Periferal Unikistik
empat tipe utama ameloblastoma, namun hasil konsensus WHO 2017, menggolongkan
Karsinogenesis merupakan proses bertahap pada tingkat genetik dan fenotip sebagai hasil
dari akumulasi mutasi yang terjadi berulangkali. Kerusakan genetik merupakan mekanisme dasar
dari proses karsinogenesis. Kerusakan ini dapat diakibatkan oleh faktor lingkungan, seperti
bahan kimiawi, radiasi, virus, atau hasil pewarisan pada sifat germ line. Namun tidak semua
mutasi diakibatkan oleh faktor lingkungan karena beberapa dapat terjadi secara spontan. Target
utama dari kerusakan genetik ini adalah empat kelompok gen utama, yaitu protoonkogen yang
berfungsi meningkatkan pertumbuhan dan proliferasi sel normal, yang kemudian hasil mutasinya
disebut onkogen kemudian gen lainnya adalah tumor supressor gene yang berfungsi
menghambat proliferasi sel, gen yang mengatur mekanisme apoptosis, serta gen yang terlibat
self sufficiency terhadap sinyal pertumbuhan yaitu kemampuan sel tumor untuk berproliferasi
tanpa membutuhkan sinyal pertumbuhan ataupun rangsangan dari luar, hal ini merupakan akibat
dari aktivasi onkogen. Perubahan sifat lainnya adalah insensitivitas terhadap sinyal inhibitor
maupun aktivasi gen antiapoptosis. Sel tumor juga memiliki kemampuan yang tidak terbatas
untuk bereplikasi, kemampuan angiogenesis yang berlangsung terus menerus untuk memenuhi
kebutuhan nutrisi dan oksigen, kemampuan invasi dan metastasis, serta terjadinya defek pada
gen perbaikan DNA (Gambar 2.3). Perubahan lain yang juga memiliki peran penting dalam
perkembangan tumor adalah kemampuan untuk melepaskan diri dari mekanisme sistem
kekebalan tubuh atau imunitas (Hanahan et al., 2010; Tripathy et al., 2013; Stricker et al., 2017).
Acquired (environmental) DNA damaging agents:
Chemicals
Radiation
Viruses
NORMAL CELL
DNA Damage
Clonal expansion
Angiogenesis
Additional mutations
Escape from
immunity
Tumor progression
Malignant neoplasm
Gambar 2.3 Dasar molekuler kanker: peran perubahan genetik dan epigenetik (Robbins dan
Cotran, 2016)
Keseimbangan antara mekanisme proliferasi sel dengan apoptosis atau Programmed Cell
Death (PCD) akan menjaga keberlangsungan jaringan normal. Mekanisme apoptosis merupakan
proses aktif yang melibatkan energi yang diawali oleh ekspresi gen-gen spesifik. Pertumbuhan
tumor secara progresif diakibatkan ketidakseimbangan antara proliferasi dan kematian sel, dalam
patogenesisnya sel kanker tidak hanya gagal bereaksi terhadap sinyal untuk menghentikan
proliferasinya, namun juga gagal dalam menerima sinyal fisiologis untuk memulai mekanisme
apoptosis. Apoptosis dipicu oleh banyak faktor antara lain sinyal intraseluler dan rangsangan
eksogen seperti paparan radiasi, kemoterapi serta hormonal. Proses ini ditandai dengan
perubahan-perubahan secara histologis, biokimiawi dan biologi molekuler (Berek et al., 2017 ;
beberapa faktor yang terlibat dalam pertumbuhan tumor dan biologi tumor mulai dari proliferasi,
diferensiasi, apoptosis, angiogenesis, invasi tumor, dan histomorfologi tumor yang diidentifikasi
kontemporer dari tumor jinak yang agresif ini (Lee and Kim, 2013)
Tumor odontogenik mewakili spektrum dari lesi yang ganas, neoplasia jinak, hingga
Perkembangan gigi ada suatu proses rumit, dengan koordinasi tinggi yang memiliki urutan
perubahan morfologis. Tahapan ini menunjukkan variasi profil anatomi yang bertumpang tindih.
Perubahan sementara dari profil cytokeratin (CK) yang diselidiki pada proses odontogenesis.
Epitel odontogenik mengekspresikan keratin 7, 13, 14, dan 19. CK14 terdapat pada semua
tahapan perkembangan gigi, termasuk dental lamina dan dan stellate reticulum (Mashtan et al.,
dan mengidentifikasi karakteristik pada tingkat seluler seperti proses proliferasi sel, apoptosis sel
dan IHC juga sering digunakan untuk penelitian dasar dalam rangka mengetahui distribusi dan
lokasi biomarker ataupun protein tertampil pada berbagai macam jaringan pada tubuh. IHC
memiliki potensi untuk memeriksa antigen secara lokal di jaringan dengan menggunakan
antibodi spesifik dan memiliki kemampuan tinggi untuk memisahkan, menseleksi dan bersifat
spesifik. Teknik yang digunakan menjadi dua teknik immunofluorescence dan immunoenzyme.
meningkatkan pemahaman kita tentang sedangkan immunofenotip tooth germ yang berkembang,
lainnya adalah aplikasi tumor marker yang dapat memberikan gambaran terhadap yang lebih
mendalam terhadap tumor epitel atau mesenkimal. Tumor odontogenik memiliki karakteristik
histologis yang khas, diagnosis dapat dibuat dengan memperhatikan morfologi, membandingkan
radiologi dan gambaran klinis lainnya. Namun ada beberapa permasalah seperti lesi kistik,
ukuran biopsi yang kecil, dan identifikasi perubahan ganas yang bisa diidentifikasi dengan
seperti organ enamel dan dental lamina. Beberapa penelitian telah dilakukan membagi fungsi
dari marker molekular antibodi monoklonal untuk mengetahui pola perilaku pertumbuhan
keganasan, dan juga mengetahui resiko terjadinya rekurensi (Archana et al., 2018; Yi et. al,
enamel dan dental lamina. Namun mekanisme onkogenesis, sitodiferensiasi, dan progresi tumor
masih belum diketahui. Beberapa penelitian yang dilakukan membagi fungsi dari marker
molekular menjadi delapan : 1) Penanda yang terlibat pada degradasi extracellular matrix
(ECM), 2) Penanda yang terlibat pada hilangnya adesi sel dan terlibat pada migrasi sel 3)
Penanda yang terlibat pada resorpsi dan remodeling tulang, 4) Penanda yang terlibat pada
proliferasi sel pada ameloblastoma, 5) Penanda yang terlibat dengan fungsi stromal sel tumor
pada invasi ameloblastoma, 6) Penanda yang terlibat pada pertumbuhan tumor dan angiogenesis,
7) Penanda yang terlibat pada fungsi apoptosis 8) Penanda yang terlibat pada supresi tumor
Proliferasi sel merupakan proses biologis vital yang penting bagi semua organisme hidup
proses penting ini sangat berbeda antara neoplasma jinak dan ganas, dan evaluasi proliferasi sel
pada neoplasma telah menjadi alat yang umum digunakan oleh ahli patologi untuk memberikan
informasi yang berguna berkaitan dengan diagnosis, perilaku klinis, dan pengobatan (Bologna-
molina et al.,2013).
Proliferasi telah dikenali sebagai “hallmark” dari neoplasia dan merupakan faktor
prognostik neoplasia (Haroon et al., 2013). Evaluasi dari derajat proliferasi sel dalam jaringan
digunakan dalam identifikasi sel abnormal seperti yang ditemukan pada tumor kanker. Teknik ini
juga banyak digunakan dalam penelitian dasar untuk memahami distribusi dan lokalisasi
biomarker dan protein yang diekspresikan secara berbeda di berbagai bagian spesimen biologis
Dalam proses neoplastik, proliferasi sel yang abnormal dan tidak terkendali, serta
perubahan siklus sel menjadi fenomena penting untuk diamati. Penilaian aktivitas proliferasi sel
pada tumor telah menjadi alat yang umum digunakan oleh ahli histopatologi untuk memberikan
informasi yang berguna untuk menilai dan memprediksi perilaku tumor yaitu, kemungkinan
kekambuhan lokal, potensi metastasisnya, dan pertumbuhan metastasis, dan demikian juga
dengan prognosis seberapa lama periode survival rate (kemungkinan bertahan hidup) yang bebas
rekurensi tumor serta periode survival rate sampai mati. Salah satu pewarnaan imunohistokimia
yang dipercaya untuk mendeteksi proliferasi sel tumor dalam memprediksi transformasi
Gambar 2.29 Gambaran protein marker proliferasi selama fase siklus sel. Gambar tersebut
mengilustrasikan keberadaan setiap marker proliferasi sel pada fase berbeda dari siklus sel. G1
(Gap 1); G2(Gap 2); S (Sintesis); M (Mitosis)
(Bologna-Molina et al., 2013)
perilaku klinis mereka. Ekspresi protein Ki-67 sangat terkait dengan proliferasi sel. Antigen Ki-
67 (Ki-67) adalah penanda klasik dari proliferasi seluler dan telah diterapkan secara luas dalam
bidang diagnostik, penelitian, dan penemuan obat. Antigen Ki-67 pada awalnya ditentukan oleh
antibodi monoklonal Ki-67, yang namanya diambil dari kota asal (Kiel) dan nomor klon asli di
well plate-96. Ekspresi Ki-67 terjadi selama semua fase siklus sel kecuali fase G0 dan fase G1
awal dan tingkat ekspresi meningkat seiring dengan kemajuan proliferasi sel, terutama pada fase
S, dengan puncak pada fase G2 dan M (Gambar 2.29). Protein ini kemudian terdegradasi dengan
cepat setelah mitosis (Rodriguez‐Archilla and Barragan‐Muñoz, 2013). Protein Ki67 telah diteliti
secara luas sebagai penanda prognostik proliferasi yang potensial dalam studi retrospektif
penyakit ganas. Akumulasi studi klinis telah menunjukkan Ki67 sebagai alat untuk diagnosis
kanker. Immunostaining untuk ekspresi Ki67 adalah standar emas, dan tingkat batas pewarnaan
positif 10-14% digunakan untuk menilai risiko tinggi prognosis (Yang et al., 2017). Nilai
prognostik Ki67 telah diteliti dalam sejumlah penelitian dengan potensinya sebagai penanda
yang andal yang telah ditunjukkan pada kanker payudara, jaringan lunak, paru-paru, prostat,
Proliferasi sel tumor juga dapat dinilai untuk memprediksi transformasi maligna dari
ameloblastoma jinak yang sudah ada sebelumnya. Secara khusus, antigen Ki-67 adalah penanda
proliferasi seluler yang andal, dan spesifik diukur dalam sitoplasma sel epitel basal dan tumor
MCM
MCM
Gambar 2.30 gambaran skematis peran Ki-67 terhadap ameloblastoma (Menon et al.,
2019)
Banyak laporan memfokuskan pada fraksi proliferasi sebagai cara untuk membedakan
kedua entitas ini dan juga menunjukkan fraksi proliferasi Ki-67 yang lebih tinggi pada karsinoma
ameloblastik daripada di ameloblastoma, angka yang dilaporkan bervariasi dari 2,9-14,9% pada
ameloblastoma dan 8-48,7% pada karsinoma ameloblastik. Ini menunjukkan bahwa area fokus
ekspresi Ki-67 yang meningkat dalam tumor tertentu mungkin menunjukkan perkembangan
Keterangan: ABCG2: ATP binding cassete subfamily G member 2; PCTH: Patched; GLi:
Glioma associated; BMP: Bone Morphology Protein, TGF β: Transforming Growth Factor β;
PCNA: Proliferating Nuclear Cell Antigen; FGF: Fibroblas growth factor; PTEN:
Phosphatase and tensin homolog deleted on Chromoome 10; PTHrp: Parathyroid hormone-
relaten protein; RANKL: Receptor Activator of N uclear Factor KB ligand; MT:
Metallothionein; OPN: Osteopontin; MMP: Matrix Metalloproteinase; CD: Cluster of
Differentiation.
Imunohistokimia merupakan teknik yang paling sering dipilih untuk mendeteksi antigen
pada sel jaringan dengan prinsip reaksi antibodi yang berikatan terhadap antigen pada jaringan
begitu pula dalam penanda biologis suatu sel neoplastic atau tumor. Imunohistokimia
menggunakan antibodi untuk mendeteksi keberadaan dan lokalisasi protein spesifik penanda
biologis tertentu. Teknik ini penting untuk membedakan antara morfologi yang mirip dan juga
P16 adalah gen penekan tumor yang menghasilkan protein p16 yang berfungsi
sebagai pengikat CDK4/CDK6 sehingga mampu menghambat siklus sel. Aktivitas p16
diperlukan oleh sel pada fase G1 menuju fase S. (Masuda-Robens, 2001). Mutasi yang
terjadi pada gen p16 meng-hasilkan protein P16 yang tidak mampu mengikat CDK4/CDK6,
sehingga, tim-bullah proses keganasan (Krug et al, 2002). Letak dan Fungsi Gen p16Gen p16
yang juga dike-nal dengan MTS1, CDKN2, dan p16INK4a terletak pada kromosom 9 lokus
p21 sehingga sering disingkat 9p21 (Gambar 1), bekerja menghambat cyclin depen-dent
kinase 4 (CDK4) yang berinteraksi dengan cyclin D dan menstimulasi jalan masuk me-
lalui fase G1. Formasi dari CDK4-MTS1 memblok fosfori-lasi kompleks protein
PRB dan hal ini merupakan, langkah pen-ting yang dibutuhkan sel untuk bergerak dari fase
yang menghambat dan memblok fosforilasi cyclin D-CDK4/CDK6 pada pRb serta
kompleks pada molekul penghambat yang sangat kuat yaitu protein yang dikenal
sebagai PRB/P16 dan memungkinkan sel untuk me-lanjutkan diri ke fase S (Williams,
2000). P16 bekerja pada lintasan awal dan bereaksi pada sinyal anti proliferasi dan juga
ber-peran sebagai regulator negatif dari cyclin D/CDK4. Cyclin D, p16 dan pRb berperan
dalam transisi dari fase G1 ke fase S pada siklus sel dan sering kali berubah dalam
Gen Rb mengontrol check-point dalam fase G1 pada siklus sel dan jalur Rb
umumnya di-hambat selama perkembangan kanker (Lang et al, 2002). PRb memegang
peranan penting da-lam mengontrol siklus sel. Pusat regulasi dari siklus sel adalah
kelompok protein yang dikenal dengan cyclin. Cyclin ini tidak bekerja sendiri tetapi
mempengaruhi substansi lain melalui fosforilasi seperti p16 yang menghambat aktivasi
Regulasi siklus sel pen-ting dalam perjalanan tumor dengan mengendalikan aksi
dari CDKs, aktivasi ini diatur melalui cyclin dan CDKI. Kompleks cyclin D-CDK4
atau CDK6 memacu terjadinya fosforilasi dari Rb selama fase pertengahan atau akhir
fase G1. Cyclin D-CDK merupakan regulator posi-tif melalui pertumbuhan mitoge-nik dan
CDKI bertanggung jawab untuk mengatur siklus sel dan menghentikan proliferasi jika
pertumbuhan sel sudah cu-kup (Papadimitrakopoulou et al, 1997). Protein P16 meningkat
perlahan mencapai maksimum pada transisi fase G1/S, dan diperkirakan bertanggung
jawab untuk inaktifasi cyclin D/CDK4/ CDK6 pada fase G1/S ketika
fosforilasi pRb telah cukup un-tuk sel masuk ke fase S (Hirama et al, 2000)
Terdapat suatu perangkat molekuler dalam inti sel yang dikenal sebagai jam siklus
sel (cell cycle clock). Jam ini merupa-kan pembuat keputusan dalam sel dan akan kacau
pada hampir semua tipe kanker manusia. Pa-da sel normal, jam ini mengin-tegrasikan
gabungan sinyal pe-ngaturan pertumbuhan yang di-terima sel dan memutuskan apa-kah sel
harus melewati siklus ke-hidupannya atau tidak, dan jika jawabannya positif maka
Jam siklus sel ini mem-programkan suksesi kompleks melalui sejumlah molekul.
Ter-dapat dua komponen esensial yaitu cyclin dan cyclin-dependent kinase, yang
bergabung satu sa-ma lain dan mengawalinya ma-suk ke berbagai fase siklus sel. Pada
G1 sebagai contoh cyclin D berikatan dengan CDK4 atau CDK6 dan menghasilkan
aksi kompleks pada molekul peng-hambat pertumbuhan yang sa-ngat kuat, yaitu protein
yang di-kenal sebagai P16. Aksi ini me-niadakan efek penghambatan pada pRb dan
memungkinkan sel untuk melanjutkan diri ke fase G1 akhir dan kemudian ke fase S
(sintesis DNA). Sejumlah protein penghambat dapat me-nahan pergerakan siklus sel
selanjutnya. Salah satu diantara-nya adalah p15 dan p16, kedua-nya akan memblok
aktivitas pri-mer partner CDK dan cyclin D, jadi akan menghambat pertum-buhan sel
sitoplasma. Protein ini memainkan peranan dalam sinyal tranduksi intrase-luler. Proto-
onkogen mengusa-hakan dampak positif dari proli-ferasi seluler, sebaliknya gen pe-nekan
keadaan yang masih terkontrol. Protein yang dihasilkan proto-onkogen berperan penting
mutasi atau hiperaktif, proto-onkogen berubah menjadi onkogen, dimana proliferasi sel
tetap berlangsung tetapi tidak normal (Bast et al, 1998). Onkogen merupakan gen yang
dominan dan akan mema-cu proses transformasi seluler, sehingga proto-onkogen dan on-
kogen memiliki andil besar pada patogenesis, sedangkan perkem-bangan kanker dan
perilakunya tampak lebih berkaitan dengan aksi gen terkait tumor lainnya seperti gen
penekan tumor, gen anti apoptosis atau gen anti me-tastasis (Leong, 1995).
Gen penekan tumor atau anti onkogen secara normal me-ngatur pertumbuhan sel,
dife-rensiasi dan memainkan peran-an penting dalam perkembangan kanker pada sel
normal (Leong, 1995). Gen penekan tumor bekerja sebagai perusak sel, gen ini mengkode
protein yang menghambat pertumbuhan sel dan mencegah sel menjadi ganas (Karp, 2002).
Beberapa kanker timbul sebagai akibat hilangnya atau tidak berfungsinya gen
penekan tumor secara sempurna. Kunci dari protein pengatur gen ada-lah gen ini dikode
dari dua pro-tein penekan tumor yaitu PRB dan P53. Bentuk aktif PRB ber-tindak
sebagai penghambat re-plikasi DNA. Mutasi dari gen pRb menyebabkan setiap protein
yang dihasilkan menjadi tidak aktif dan mengakibatkan pem-belahan sel tidak
Gen p16 dan pRb bertindak sebagai pe-ngatur siklus sel (Karp, 2002). Gen penekan
tumor me-rupakan gen normal yang ber-peran untuk mencegah perkem-bangan neoplasma
(Friedman et al, 1996). Gen penekan tumor umumnya mengkode protein yang
protein yang biasa dikode oleh gen penekan tumor (Lodish et al, 1999) yaitu :
Transformasi sel normal menjadi sel kanker disertai de-ngan hilangnya fungsi dari
satu atau lebih gen penekan tumor, seperti gen yang mengkode fak-tor transkripsi (p53
dan WT1), dan pengatur siklus sel (pRb dan p16), NF1, PTEN, dan VHL. Se-bagian besar
dari protein-pro-tein ini dikode melalui kerja gen penekan tumor sebagai peng-hambat
proliferasi sel apabila pertumbuhan sel mulai tidak terkontrol (Krap, 2002).
2.2.6 Protein CD 10
ektraselulernya sehingga tidak berikatan dengan reseptornya (MaguerSatta dkk., 2011). Pada
keadaan fisiologis normal CD10 diekspresikan pada berbagai jaringan sedangkan peranan
patologis CD10 ditemukan pada berbagai subtipe limfoma, karsinoma sel renal, maupun
CD10 merupakan salah satu petanda permukaan sel (Iwaya, dkk., 2002) yang secara aktif
berperan dalam pengaturan mekanisme fisiologikal dan aktivitas biologis didukung melalui
aktivitas enzimatik ekstraseluler dan jalur pensinyalan intraseluler (Maguer-Satta, dkk., 2011).
CD10 berperan mengendalikan pertumbuhan dan diferensiasi sel normal dengan mengatur akses
peptida ke reseptor permukaan sel. Hilang atau menurunnya ekspresi CD10 dapat menunjukkan
ketidakmampuan sel untuk menginaktivasi substrat peptida menghasilkan proliferasi yang tidak
beraturan (Nanus, 2003).CD10 akan berinteraksi PTEN (Phosphatase and TENsin homolog)
peptida. Rangkaian DNA CD10 ditemukan pada kromosom 3 lokus 3q21-27. CD10 terdiri dari
memungkinkan adanya ekspresi CD10 yang berbeda-beda dari setiap jaringan. Protein CD10
terdiri dari rangkaian NH2-terminal cytoplasmic yang meliputi intracellular domain (ICD),
transmembrane helix domain (TMD), dan extracellular domain (ECD) dengan zincin motif
diantaranya. CD10 mengatur fisiologi berbagai macam peptida dengan menurunkan kadar
peptida tersebut pada ekstraseluler sehingga tidak berikatan dengan reseptornya (Maguer-Satta
Pada manusia CD10 diekspresikan pada sel normal maupun neoplastik. Pada sel normal,
CD10 diekspresikan pada sumsum tulang yaitu pada sel punca limfoid, pro-B limfoblast,
neutrofil matur, stroma sel endometrial, proksimal tubulus dan glomerulus ginjal, sel myoepitel
payudara, sel epitel dan stroma prostat, kanalikuli liver, sel epitel lambung, dan sel epitel kolon.
Pada keadaan normal, CD10 dibawah regulasi yang ketat dan inhibitor endogenousnya seperti
menginisiasi proses inflamasi, kardiovaskular, dan neurogenik. Penurunan ekspresi atau fungsi
CD10 dapat menyebabkan kerusakan yang berat pada sel dan lingkungannya (Hosni dkk., 2012;
Mishra dkk., 2016). CD10 merupakan regulator yang penting pada beberapa sistem organ tubuh
seperti sistem kekebalan, sistem neural, dan epitelial. Pada penelitian-penelitian kanker, CD10
awalnya ditemukan ketika meneliti antigen leukemia limfoblastik akut. Sejak saat itu, CD10
banyak digunakan sebagai penanda diagnosis pada beberapa tumor yang memiliki
kecenderungan bermetastasis dan tumor-tumor yang berkembang dari sel punca (Iwaya dkk.,
Aktivitas biologi CD10 terjadi melalui dua mekanisme utama yaitu: pertama CD10
diekspresikan pada permukaan sel stroma maupun epitelial, memecah peptida melalui aktivitas
enzimatik ekstraselulernya. Kedua, CD10 melalui jalur sinyal intraseluler dan jalur sinyal mayor
lainnya melalui elemen yang ada pada lingkungan mikro. CD10 berikatan dengan membran sel
tranduksi. CD10 pada kompleks GPI bersama p85 (subunit phosphatidylinositol 3-kinases
(PI3K) dan Lyn Kinase, mencegah aktivasi focal adhesion kinase (FAK) oleh PI3K. Hal tersebut
menyebabkan penurunan fosforilasi FAK dan migrasi sel. Secara simultan ikatan CD10 dan
penekan tumor phosphatase and TENsin homolog (PTEN) menyebabkan penurunan fosforilasi
sehingga mencegah pertumbuhan sel tumor. CD10 juga mendegradasi sejumlah peptida (seperti
bombesin dan endothelin 1), sehingga menghambat sinyal FAK atau Rho dengan fiksasinya pada
G-coupled protein receptor. CD10 memecah faktor pertumbuhan seperti fibroblast growth factor
2 (FGF2), berakibat pada adanya regulasi negatif angiogenesis. Dapat disimpulkan, CD10 dapat
mencegah migrasi, invasi, dan angiogenesis melalui dua mekanisme aktivitas biologinya
yang berbeda-beda. Padaleukemia limfoblastik, CD10 memiliki nilai diagnosis dan prognosis
yang baik. CD10 diekspresikan pada B-lymphoblastic leukemia/lymphoma dan beberapa mature
B-cell lymphoma (plasma cell myeloma, follicular lymphoma, diffuse large B-cell lymphoma,
dan burkitt lymphoma) dan sangat jarang pada limfoma sel T (Mohammadizadeh dkk., 2012;
Beberapa penelitian menunjukkan CD10 baik digunakan sebagai penanda diagnosis dan
prognosis. CD10 dapat menjadi penanda dalam membedakan tumor primer atau proses
metastasis dan untuk mengevaluasi progresi tumor. Walaupun CD10 tidak dapat dipergunakan
sendiri, namun CD10 dapat menjadi penanda diagnosis dan prognosis, tidak hanya pada tumor
hematopoietik namun juga pada beberapa karsinoma (Mishra dkk., 2016; Stephen dkk., 2016).
Gambar Struktur dan fungsi CD10. A. Terdapat tiga tipe transkrip CD10. B. Skema
rangkaian protein CD10 pada mamalia. C. Pita CD10 dengan area aktif ditunjukkan dengan
warna kuning, berdiameter 20 A˚. D. Jalur sinyal CD10 (Maguer-Satta dkk., 2011)
CD10 juga berguna dalam membedakan trikoepithelioma dari karsinoma sel basal,
demikian juga untuk membedakan karsinoma sel basal dari karsinoma sel skuamosa. Karena sel
tumor yang mengekspresikan CD10 lebih cenderung merupakan karsinoma sel basal. Ekspresi
kuat CD10 juga ditemukan pada clear cell dan papillary renal cell carcinoma namun kurang
terekspresi pada chromophobe renal cell carcinoma. Penurunan ekspresi CD10 pada pasien
kanker prostat berkaitan dengan progresinya. Degradasi Met-enkephalin, salah satu substrat
CD10, pada karsinoma kolorektal juga mempercepat pertumbuhan tumor dan metastasisnya ke
liver. Beberapa penelitian juga menunjukkan ekspresi CD10 pada sel stroma berbagai keganasan
seperti karsinoma gaster, payudara, dan paru-paru. Ekspresinya berhubungan dengan biologi
karsinoma yang lebih agresif (Maguer-Satta dkk., 2011; Petre dkk., 2015)
CD10 adalah molekul penting yang dapat mengintegrasikan sinyal dari lingkungan mikro
sel atau melalui komponen intraselulernya. Sinyal tersebut mengontrol fungsi fisiologi dan
biologi sel atau jaringan, serta proses remodeling lingkungan mikro. Gangguan regulasi ekspresi
atau fungsi CD10 akibat mutasi dapat menyebabkan gangguan yang berat pada sel dan
lingkungannya. Pada penelitian kanker-kanker epitelial terdapat variasi aktivitas enzimatik CD10
baik peningkatan dan penurunan. Selama proses keganasan, gangguan regulasi sinyal intraseluler
CD10 juga terjadi (Gambar 2.10). Ekspresi CD10 tidak selalu ditemukan berubah pada sel epitel
yang telah bertransformasi, oleh karena itu gangguan regulasinya terjadi akibat proses onkogenik
sebelumnya pada sel punca namun selanjutnya akan berpengaruh pada sel punca, progenitor, dan
stroma sekelilingnya. Penurunan fungsi enzimatik CD10 setelah adanya transformasi dari early
common progenitors (ECP) atau progenitor (P), akan memicu akumulasi peptida pada sel stem
peningkatan fungsi aktivitas enzimatik dari CD10, menyebabkan akumulasi peptida dalam
bentuk aktif dan menghambat diferensiasi sel epitel dan mempertahankan sel punca kanker.
Peningkatan aktivitas enzimatik CD10 juga menunjukkan proliferasi sel punca kanker yang
mengekspresikan CD10, menjelaskan peningkatan ekspresi CD10 pada sel stroma pada kanker
yang tidak berdiferensiasi, hilangnya diferensiasi menjadi sel otot polos aktin, gangguan
maturasi sel, dan hilangnya membran basalis. Sinyal CD10 juga dapat dimodifikasi pada
progenitor kanker atau sel punca, tidak bergantung aktivitas enzimatiknya, menyebabkan
penghambatan fungsi PTEN, inhibisi apoptosis, namun memicu proliferasi sel melalui jalur Akt.
Dapat disimpulkan perubahan sinyal intrinsik CD10 merupakan proses awal transformasi
keganasan dan menghasilkan sel-sel imatur, sedangkan perubahan aktivitas enzimatiknya
merupakan akibat dari transformasi awal tersebut (Bachelard-Cascales dkk., 2010; Maguer-Satta
Kadherin merupakan protein transmembran yang terdiri dari 5 domain ekstraselular (EC1-EC5)
dengan ion Ca2+ berinteraksi sebagai penghubung antar bagian dari E-Kadherin (shinji et al,
2012). Kadherin banyak ditemukan pada zonula adherens (Nathalie et al, 2016). Zonula adherens
adalah salah satu bagian junction antar sel yang berada dalam zonula occluden (junction ketat)
dan Demosom. Dalam pembentukan junction antar sel, molekul kadherin pada satu sel akan
berinteraksi dengan molekul kadherin pada sel lain yang berada di dekatnya membentuk zonula
adheren (ernawati et al, 2004). Porositas pada jalur paraselular dapat ditingkatkan dengan peptida
yang sekuennya diturunkan dari molekul kadherin itu sendiri, seperti turunan peptida HAV dan
ADT. Turunan peptida ADT seperti ADTC3 yang diturunkan dari kadherin dapat menempati
situs ikatan (binding site) pada molekul kadherin dan menghalangi interaksi antar molekul
adherent junction (kadherin) pada sel bersebelahan, sehingga keketatan tight junction antar sel
dapat diatur atau dimodulasi. Modulasi dapat juga dilakukan dengan kitosan yang sekaligus
dapat berfungsi sebagai pembawa obat atau enkapsulator pada sistem drug delivery dan drug
targetting (Hyung et al, 2010). Kadherin berperilaku sebagai reseptor dan ligan untuk molekul
lain. Selama perkembangan, perilaku mereka membantu dalam memposisikan sel dengan benar:
mereka bertanggung jawab untuk pemisahan lapisan jaringan yang berbeda, dan untuk migrasi
sel. (Umbiner, 2005)
Metastasis tumor
Kompleks E-cadherin-catenin memainkan peran kunci dalam adhesi seluler; hilangnya fungsi ini
telah dikaitkan dengan peningkatan invasi dan metastasis tumor. (Beavon, 2000) Penindasan
ekspresi E-cadherin dianggap sebagai salah satu peristiwa molekuler utama yang bertanggung
jawab atas disfungsi dalam adhesi sel-sel, yang dapat menyebabkan invasi lokal dan pada
akhirnya perkembangan tumor. Karena perannya yang penting dalam menekan tumor, E-
cadherin juga disebut sebagai "penekan invasi". (Nives, 2003)
disintesis terutama sebagai polipeptida asam amino 155, menghasilkan protein 18 kDa. Namun,
ada empat kodon start alternatif yang menyediakan ekstensi terminal-N dari 41, 46, 55, atau 133
asam amino, menghasilkan protein 22 kDa (total 196 aa), 22,5 kDa (total 201 aa), 24 kDa (210
aa total) dan 34 kDa (288 aa total), masing-masing. (Florkiewicz et al, 1991). Umumnya, bentuk
berat molekul rendah (LMW) 155 aa / 18 kDa dianggap sitoplasma dan dapat disekresikan dari
sel, sedangkan bentuk berat molekul tinggi (HMW) diarahkan ke inti sel. (Coleman et al, 2014)
memiliki aktivitas mitogenik dan kelangsungan hidup sel yang luas , dan terlibat dalam berbagai
jaringan , pertumbuhan dan invasi tumor. Dalam jaringan normal, bFGF hadir dalam membran
BMI dalam sampel darah. Itu juga terbukti bekerja pada preosteoblasts - dalam bentuk
peningkatan proliferasi - setelah mengikat reseptor faktor pertumbuhan fibroblast 1 dan
embrionik manusia ; faktor pertumbuhan diperlukan agar sel-sel tetap dalam keadaan tidak
terdiferensiasi, meskipun mekanisme yang digunakannya untuk melakukan hal ini tidak
et al, 2000) Hal ini diperlukan dalam sistem kultur yang bergantung pada sel pengumpan tikus,
serta dalam sistem kultur bebas-serum dan pengumpan. (Liu et al, 2006) FGF2, dalam
sel-sel induk yang tidak diberi perlakuan. (lee et al, 2013) Namun, konsentrasi bFGF yang
Angel et al, 2015) Bentuk nuklir FGF2 berfungsi dalam ekspor mRNA. (Bong et al, 2020)
VEGF adalah suatu disulfide-linked dimeric glycoprotein dengan berat molekul 45 kDa yang
mengikat heparin dan secara struktural berhubungan dengan Platelet Derived Growth Factors
(PDGF). VEGF yang disebut juga sebagai Vascular Permeability Factor (VGF) penting untuk
proses angiogenesis. Yang mendasari pertumbuhan tumor dan pembentukan edema peritumoral.
Angiogenesis adalah proses keseimbangan pro dan anti angiogenik dari sel tumor maupun sel
normal. Ikatan antara VEGF dengan VEGFR-1 dan 2 akan menyebabkan proses angiogenesis.
Ekspresi VEGF pada sel tumor jinak maupun ganas sangat bervariasi (neufeld et al, 2004)
Selama pertumbuhan tumor, angiogenesis diinduksi oleh berbagai sebab. Proliferasi yang cepat
menyebabkan keadaan hipoksia karena difusi oksigen yang terbatas akibat pertumbuhan
jaringan. Untuk mendapatkan suplai nutrisi dan oksigen yang adekuat pada tumor yang
berukuran lebih dari 2-3 mm3 diperlukan pembuluh darah baru. Hipoksia merupakan stimulus
penting pada angiogenesis tumor yang berakibat stabilisasi hypoxia inducible factor-1a(HIF-1a).
Ekspresi HIF-1a akan meningkat dan membentuk dimer dengan HIF-1b, kemudian kompleks ini
berikatan dengan DNA, merekrut ko-aktivator lalu mentranskripsi gen sasaran. Gen sasaran HIF-
1 akan menyandi faktor pertumbuhan pro angiogenik seperti VEGF (Kresno, 2012). Onkogen
Ras dan Myc dikombinasikan dengan hipoksia secara sinergis akan meningkatkan ekspresi
VEGF tanpa tergantung pada HIF-1 (HIF-1 independent). Faktor transkripsi NF-kB yang dapat
diaktifkan pada keadaan hipoksia melalui pembentukan ROS dalam mitokondria dapat mengatur
ekspresi VEGF, sedang factor transkripsi Ets dapat mengatur berbagai gen sasaran di arah hilir
dalam sel endotel yang mempromosikan terbentuknya fenotip angiogenik, termasuk diantaranya
peningkatan VEGF-R, urokinase dan berbagai matrix metalloproteinase (MMP) (Kresno, 2012)
VEGF berikatan dengan VEGFR-1 dan VEGFR-2 untuk proses angiogenesis. Pengikatan ini
mengaktifkan jalur pensinyalan yang berakibat peningkatan ekspresi gen yang terlibat dalam
proliferasi dan migrasi sel-sel endotel, mempromosikan ketahanan hidup sel dan permeabilitas
vaskuler. VEGF juga memiliki pengaruh cukup besar dalam pertumbuhan tumor dan
pembentukan edema peritumoral (Ferrara, 2003)
Ekspresi VEGF dalam sel-sel tumor distimulasi oleh hipoksia, onkogen (ras) dan inaktivasi gen
supresor tumor (p53) dan oleh berbagai sitokin. Aktivasi aksis VEGF/VEGF reseptor (VEGFR)
memicu jaringan sinyal multipel yang menghasilkan survival sel endotel, mitogenesis, migrasi,
diferensiasi dan permeabilitas vaskular serta mobilisasi sel-sel progenitor endotel dari sumsum
tulang kesirkulasi perifer. Overekspresi VEGF telah dihubungkan dengan progresivitas tumor
dan prognosis buruk dalam berbagai macam tumor,termasuk karsinoma kolorektal, karsinoma
lambung, karsinoma pankreas, kanker payudara, kanker paru dan melanoma, acutemyeloid
leukemia, karsinoma hepar dan kanker ovarium. (Farhat, 2009)
Tumor padat tergantung pada neovaskularisasi untuk memenuhi kebutuhan metabolisme untuk
pertumbuhan dan perkembangannya, Keluarga dari VEGF adalah yang paling memegang faktor
angiogenik yang paling penting, memiliki peran dalam angiogenesis tumor (Johansson, 2002).
VEGF awalnya dideskripsikan sebagai vascular permeability factor (VPF), suatu protein yang
disekresikan oleh tumor yang dimurnikan dari cairan asites yang disekresi oleh karsinoma hepar
pada babi yang menyebabkan kebocoran vaskular. Secara independen, sebuah faktor dengan sifat
mitogenik untuk sel-sel endotelial, VEGF, diisolasi dari sel-sel folliculostellata dari hipofisis.
Urutan asam amino dari VEGF dan VPF adalah sama, mengindikasikan bahwa dua karakter,
contoh, mitogenisitas sel-sel endotelial dan permeabilitas vaskular, adalah dimiliki oleh molekul
yang sama. VEGF merupakan protein dimerik terglikosilasi dengan ukuran molekul 34 – 45 kDa
yang memiliki stuktur yang sama dengan platelete derived growth factor (PDGF). Beberapa
karakter VEGF menjelaskan bahwa molekul ini terutama bertanggung jawab dalam proses
angiogenesis di bawah kondisi fisiologis dan patologis: VEGF bertindak secara spesifik pada sel-
sel endotelial; merupakan suatu mitogen dan suatu faktor kemotaktik untuk sel-sel endotelial dan
menginduksi produksi protease seperti urokinase-type plasminogen activator dan interstisial
collagenase oleh sel-sel endotelial (Machein & Plate, 2000).
VEGF terikat ke sel-sel endotelial melalui interaksi dengan reseptorreseptor high-affinity tirosine
kinase, flt-1 (VEGFR-1) dan Flk-1/KDR (VEGFR2), ditemukan pada sel-sel endotelial. Ekspresi
selektif dari reseptor VEGF meyakinkan bahwa peran VEGF adalah pada sel-sel endotelial
(Machein & Plate, 2000)
Belakangan, family VEGF dari faktor pertumbuhan telah berkembang dengan tambahan 6
molekul baru: PIGF-1 dan -2 (Placenta growth factor), VEGF-B, VEGF-Cm VEGF-D dan
VEGF-E. VEGF-C terikat secara spesifik pada VEGFR-3 (flt4), yang diekspresikan pada
endotelium limpatik, menjelaskan peran dari sistem VEGF-C/VEGFR-3 dalam perkembangan
vaskular limpatik. Fungsi fisiologis dari faktor-faktor ini sama seperti peranannya dalam
angiogenesis tumor masih belum diketahui secara jelas. Ekspresi VEGF dapat dimodulasi secara
in vitro melalui suatu varietas agen-agen biologi yang relevan, termasuk sitokin-sitokin dan
faktor pertumbuhan Mencakup Interleukin-1β, Transforming Growth Factor-β (TGF-β),
Epidermal Growth Factor (EGF), Platelet-derived growth factor beta (PF-BB), Tumor Promoting
Agent (TPA), Interleukin-6 dan hormon-hormon steroid. Sebagai tambahan, inaktivasi dari p53
atau von Hippel-Lindau tumor supressor gene (VHL) sama seperti aktivasi onkogen seperti ras,
raf atau sre meningkatkan ekspresi VEGF (Machein & Plate, 2000).
Cakupan promotor VEGF telah ditemukan memiliki sejumlah tempat ikatan untuk beberapa
faktor transkripsi seperti AP1, AP2 dan SP1. Hipoksia dan sitokin menginduksi ekspresi VEGF
yang memiliki motif DNA yang spesifik, berlokasi di daerah promotor dari VEGF, yang
merupakan respon dari beberapa stimulus. Namun, dari sudut pandang fisiologi, regulasi dari
VEGF oleh hipoksia adalah yang paling signifikan. Suplai pembuluh darah yang tidak cukup dan
hasil dari reduksi tekanan oksigen jaringan sering menyebabkan neovaskularisasi kompensasi
dalam rangka mencukupi kebutuhan metabolisme jaringan. VEGF yang diinduksi oleh hipoksia
ditemukan sebagai mediator kunci dari respon timbal balik tersebut (Machein & Plate, 2000).
DAFTAR PUSTAKA
Archana.N.K, Maya Ramesh, Sekar.B, Rajathi Arun, Indra Priyadharshini, Ambika., (2018). A
Review on Molecular Markers in the Pathogenesis of Ameloblastoma. Journal of
Advanced Medical and Dental Sciences Research, 6(7):129-133.
Bassey, G.O., Osunde, O.D. and Anyanechi, C.E., (2014). Maxillofacial tumors and tumor-like
lesions in a Nigerian teaching hospital: an eleven year retrospective analysis. African
health sciences, 14(1), pp.56-63.
Ana Maria Hoyos Cadavid , Juliane Piragine Araujo, Cláudia Malheiros Coutinho-Camillo,
Sheyla Bologna, Celso Augusto Lemos Junior and Silvia Vanessa Lourenço., (2019).
Ameloblastomas: current aspects of the new WHO classification in an analysis of 136
cases. Surgical and Experimental Pathology, 2:17
Dhanuthai, K., Chantarangsu, S., Rojanawatsirivej, S., Phattarataratip, E., Darling, M., Jackson-
Boeters, L., Said-Al-Naief, N., Shin, H.I., An, C.H., Hong, N.T. and An, P.H., (2012).
Ameloblastoma: a multicentric study. Oral surgery, oral medicine, oral pathology and
oral radiology, 113(6), pp.782-788.
Kase, Y., Kasamatsu, A., Saito, T., Koike, K., Iyoda, M., Nakashima, D., Endo ‐Sakamoto, Y.,
Sunohara, M., Shiiba, M., Uzawa, K. and Tanzawa, H., (2019). Diagnostic algorithm for
ameloblastic carcinoma. Oral Science International, 16(3), pp.185-187.
Khan, W., Augustine, D., Rao, R.S., Sowmya, S.V., Haragannavar, V.C. and Nambiar, S.,(2018).
Stem cell markers SOX-2 and OCT-4 enable to resolve the diagnostic dilemma between
ameloblastic carcinoma and aggressive solid multicystic ameloblastoma. Advanced
biomedical research, 7.
Lee, S. K., & Kim, Y. S. (2013). Current concepts and occurrence of epithelial odontogenic
tumors: I. Ameloblastoma and adenomatoid odontogenic tumor. Korean journal of
pathology, 47(3), 191.
Li, J., Du, H., Li, P., Zhang, J., Tian, W. and Tang, W., (2014). Ameloblastic carcinoma: An
analysis of 12 cases with a review of the literature. Oncology letters, 8(2), pp.914-920.
Milman, T., Ying, G. S., Pan, W., & LiVolsi, V. (2016). Ameloblastoma: 25 year experience at a
single institution. Head and neck pathology, 10(4), 513-520.
Patel, S. M., Patel, K. A., Patel, P. R., Gamit, B., Hathila, R. N., & Gupta, S. (2014). Expression
of p53 and Ki-67 in oral dysplasia and squamous cell carcinoma: An immunohistochemical
study. Int J Med Sci Public Health, 3, 1201-4.
Bast, R.C., Kufe, D.W., Pollock, R.E, et al.1998. Cancer Medicine. 5 th ed. Holland:
B.C Deker Inc.
Cotran, R.S., Kumar, V., Collins, T. 1999. Robbins Pathologic Basis of Disease.WB
Saunders Company. Philadelphia. 5th edition. p : 755-756.
Friedman, R.J., Rigel, D.S., Berson, D.S., et al. 1996. Skin Cancer : Basal Cell and Squamous
Cell Carcinoma, In : Clinical Onco-logy. Hottlet, A.H., Fink, D.J, Berson, D.S.,
et al (Eds). New York. American Canter Society.
Hirama, T. M. Akasi., P.H. Koeffler. 2000. Cyclin-Dependent Kinase and Their Inhibitors
in Haematological Malignansies.
Karp, G. 2002. Cell and Molecular Biology Concepts and Experiment. 3 rd ed. New
York : Jhon Wiley & Sons Inc.
Kastan, MB. 1997. Molecular Biology of Cancer : The Cell Cycle. In De Vita Jr.
Principles and Practice of Oncology. 5th ed. Philadelphia. Lippincott Raven
Pub. 79-100
Krug, U., Ganser, A., Koeffler, H.P., 2002. Tumor Suppressor Gene in Normal and
Malignat Hematopoiesis. Nature Publishing Group. Oncogen 21: 3475-2497
Leong, ASY, Robbins, P., and Spagnalo, DU. 1995. Relevance and Detection System of
Tumor Genes and Their Proteins In Cytologic and Surgical Specimens. Jakarta. Int.
Cancer Conference. 3-26.
Lodish, H., Berk, A., Zipursky, S.L., Matsudaria, P., et al. 1999.
Molecular Cell Biology. 4th ed. WH Freeman and Co Masuda-Robens, J. 2001.
Cell Cycle Regulation. The Departemen of Cell and Developmental Biology.
Matsuda, H., Konisihi, N., Hayashi, I, et al. 1996. Alteration of p16/CDKN2, p53 and
Ras Genes In : Oral Squamous Cell Carcinoma and Premalignant
Lesions. J Oral Pathol Med 25 : 232-238.
Mc Donald, F and Ford, CHJ. 1997. Molecular Biology of Cancer. Oxford. BIOS.
Scientific Pub. 53-7 Naggar, AK., Lai, S., Clayman, GL., Zhou, JH., et al. 1999.
Expression p16, Rb, and Cyclin D1 Gene Products in Oral and Laryngeal Squamous
Carcinoma : Biological and Clinical Implications.Hum Pathol. Sep;30(9):1013-8.
egezi, J.A., Jordan, R.C.K. 2001. Oral Cancer in Molecular Age.J Calif Dent Assoc.
29 : 578-584 Weinberg, RA. 1999. How Cancer Arises. Sci Am; 275 (3) : 32-40
Williams, H.K. 2002. Molecular Pathogenesis of Oral Squamous Carcinoma. J Clin Pathol 53 :
167-172
1. Maguer-Satta V., Besanc R. dan Bachelard-Cascales E., 2011, Concise review: Neutral
endopeptidase (CD10): A Multifaceted environment actor in stem cells, physiological
mechanisms, and cancer, Stem Cells, Vol. 29:389–96
2. Iwaya K, Ogawa H, Izumi M. 2002. Stromal expression of CD10 in invasive breast
carcinoma: a new predictor of clinical outcome. Virchows Arch 440:589–593.
3. Petre, N., Vrapciu, A. D., & Rusu, M. C. 2015. Molecular anatomy of CD10. J Contemp
Clin Pract, 1(September), 22–28
4. Hosni, H. N., Abd, A., Aziz, E., Tabak, S. A., & Elsayed, M. 2012.
Immunohistochemical Study of Stromal CD10 Expression in Mammary Duct Carcinoma.
Med. J. Cairo Univ, 80(2), 37–44. https://doi.org/10.1097/01.XEJ.0000436659.06645.59
5. Mishra, D., Singh, S., & Narayan, G. 2016. Role of B Cell Development Marker CD10 in
Cancer Progression and Prognosis. https://doi.org/10.1155/2016/4328697
6. Bachelard-Cascales, E., Chapellier, M., Delay, E., Pochon, G., Voeltzel, T., Puisieux, A.,
Maguer-Satta, V. 2010. The CD10 enzyme is a key player to identify and regulate human
mammary stem cells. Stem Cells (Dayton, Ohio), 28(6), 1081–1088.
https://doi.org/10.1002/stem.435
7. Mohammadizadeh, F., Salavati, M., & Afshar Moghaddam, N. 2012. CD10 expression in
stromal component of invasive breast carcinoma: A potential prognostic determinant.
Journal of Research in Medical Sciences, 17(SUPPL.2), 2–7
8. Stephen, H. M., Khoury, R. J., Majmudar, P. R., Blaylock, T., Hawkins, K., Salama, M.
S., Conway, R. E. 2016. Epigenetic suppression of neprilysin regulates breast cancer
invasion. Oncogenesis, 5(3), e207. https://doi.org/10.1038/oncsis.2016.16
1. Shinji Hirano, Masatoshi Takeichi, Cadherins in Brain Morphogenesis and Wiring, Physiological
Reviews, 92, 2, (2012) 597-634 http://dx.doi.org/10.1152/physrev.00014.2011
2. Natalie K. Lee, Ka Wai Fok, Amanda White, Nicole H. Wilson, Conor J. O'Leary, Hayley L. Cox,
Magdalene Michael, Alpha S. Yap, Helen M. Cooper, Neogenin recruitment of the WAVE
regulatory complex maintains adherens junction stability and tension, Nature Communications,
7, (2016) 11082 http://dx.doi.org/10.1038/ncomms11082
3. Ernawati Sinaga, Seetharama D. S. Jois, Mike Avery, Irwan Makagiansar, Usman S. F. Tambunan,
Teruna J. Siahaan, Modulasi Junction Antar Sel Menggunakan Peptida Kadherin Upaya
Meningkatkan Penghantaran Obat, Makara Journal of Science, 8, 1, (2004) 25-34
http://dx.doi.org/10.7454/mss.v8i1.394
4. VK Mourya, Nazma N Inamdar, Ashutosh Tiwari, Carboxymethyl chitosan and its applications,
Advanced Materials Letters, 1, 1, (2010) 11-33 http://dx.doi.org/10.5185/amlett.2010.3108
5. Hyung Park, Gurusamy Saravanakumar, Kwangmeyung Kim, Ick Chan Kwon, Targeted delivery of
low molecular drugs using chitosan and its derivatives, Advanced Drug Delivery Reviews, 62, 1,
(2010) 28-41 http://dx.doi.org/10.1016/j.addr.2009.10.003
7. Aneyhill LA, Schiffmacher AT (June 2017). "Should I stay or should I go? Cadherin function and
regulation in the neural crest". Genesis. 55 (6):
n/a. doi:10.1002/dvg.23028. PMC 5468476. PMID 28253541
8. Einhold WC, Reimers MA, Maunakea AK, Kim S, Lababidi S, Scherf U, et al. (February
2007). "Detailed DNA methylation profiles of the E-cadherin promoter in the NCI-60 cancer
cells". Molecular Cancer Therapeutics. 6 (2): 391–403. doi:10.1158/1535-7163.MCT-06-
0609. PMID 17272646
11. Morales CP, Souza RF, Spechler SJ (November 2002). "Hallmarks of cancer progression in
Barrett's oesophagus". Lancet. 360 (9345): 1587–9. doi:10.1016/S0140-6736(02)11569-
8. PMID 12443613
12. Cavallaro U, Schaffhauser B, Christofori G (February 2002). "Cadherins and the tumour
progression: is it all in a switch?". Cancer Letters. 176 (2): 123–8. doi:10.1016/S0304-
3835(01)00759-5. PMID 11804738
13. Kim HS (1998). "Assignment1 of the human basic fibroblast growth factor gene FGF2 to
chromosome 4 band q26 by radiation hybrid mapping". Cytogenetics and Cell Genetics. 83 (1–2):
73. doi:10.1159/000015129. PMID 9925931. S2CID 33214466
14. Florkiewicz RZ, Shibata F, Barankiewicz T, Baird A, Gonzalez AM, Florkiewicz E, Shah N
(December 1991). "Basic fibroblast growth factor gene expression". Annals of the New York
Academy of Sciences. 638 (1): 109–26. doi:10.1111/j.1749-
6632.1991.tb49022.x. PMID 1785797. S2CID 45425517
15. Coleman SJ, Bruce C, Chioni AM, Kocher HM, Grose RP (August 2014). "The ins and outs of
fibroblast growth factor receptor signalling". Clinical Science. 127 (4): 217–
31. doi:10.1042/CS20140100. PMID 24780002
16. Kühn MC, Willenberg HS, Schott M, Papewalis C, Stumpf U, Flohé S, Scherbaum WA, Schinner
S (February 2012). "Adipocyte-secreted factors increase osteoblast proliferation and the
OPG/RANKL ratio to influence osteoclast formation". Molecular and Cellular
Endocrinology. 349 (2): 180–
8. doi:10.1016/j.mce.2011.10.018. PMID 22040599. S2CID 2305986
17. Pereira RC, Economides AN, Canalis E (December 2000). "Bone morphogenetic proteins induce
gremlin, a protein that limits their activity in osteoblasts". Endocrinology. 141 (12): 4558–
63. doi:10.1210/en.141.12.4558. PMID 11108268. Archived from the original on 2012-07-11.
18. Liu Y, Song Z, Zhao Y, Qin H, Cai J, Zhang H, Yu T, Jiang S, Wang G, Ding M, Deng H (July
2006). "A novel chemical-defined medium with bFGF and N2B27 supplements supports
undifferentiated growth in human embryonic stem cells". Biochemical and Biophysical Research
Communications. 346 (1): 131–9. doi:10.1016/j.bbrc.2006.05.086. PMID 16753134
19. Lee TJ, Jang J, Kang S, Jin M, Shin H, Kim DW, Kim BS (January 2013). "Enhancement of
osteogenic and chondrogenic differentiation of human embryonic stem cells by mesodermal
lineage induction with BMP-4 and FGF2 treatment". Biochemical and Biophysical Research
Communications. 430 (2): 793–7. doi:10.1016/j.bbrc.2012.11.067. PMID 23206696
20. Del Angel-Mosqueda C, Gutiérrez-Puente Y, López-Lozano AP, Romero-Zavaleta RE,
Mendiola-Jiménez A, Medina-De la Garza CE, Márquez-M M, De la Garza-Ramos MA
(September 2015). "Epidermal growth factor enhances osteogenic differentiation of dental pulp
stem cells in vitro". Head & Face Medicine. 11: 29. doi:10.1186/s13005-015-0086-
5. PMC 4558932. PMID 26334535
21. Bong SM, Bae SH, Song B, Gwak H, Yang SW, Kim S, Nam S, Rajalingam K, Oh SJ, Kim TW,
Park S, Jang H, Lee BI (June 2020). "Regulation of mRNA Export Through API5 and Nuclear
FGF2 Interaction". Nucleic Acids Research. 48 (11): 6340–
6352. doi:10.1093/nar/gkaa335. PMC 7293033. PMID 32383752
Farhat. (2009). Vascular Endothelial Growth Factor pada Karsinoma Nasofaring. Majalah Kedokteran
Nusantara Vol 42 No 1 , 59-65
Johannessen, A. L., & Torp, S. H. (2006). The clinical value of Ki-67/MIB-1 labeling index in human
astrocytomas. Pathology Oncology Research : POR, 12(3), 143–147
Machein, M. R., & Plate, K. H. (2000). VEGF in brain tumors. Journal of NeuroOncology, 50(1-2), 109–
120.
Kumar V, Abbas A, Fausto N, Aster J. Tissue renewal, repair, regeneration.In: Robbin and cotran
pathologic basis of disease.8th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier.2010.p79-109.
Neufeld G, Cohen T, Gengrinovitch S, Poltorak Z. Vascular endothelial growth factor (VEGF) and its
receptors.FASEB J.2004;13:9-22.
Kresno SB. Angiogenesis. In: Ilmu Dasar Onkologi. 3th ed. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2012. p 344-68
Ferara N, Gerber HP, Lecouter J. The biology of VEGF and its receptor. Nature Medicine. 2003;9:699-78
22.