Anda di halaman 1dari 41

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ameloblastoma

2.1.1 Definisi Ameloblastoma

Ameloblastoma pertama kali dijelaskan pada tahun 1827 oleh Cusack, kemudian pada

tahun 1885, Malassez memperkenalkan nama "adamantinoma," yang sekarang digunakan untuk

menggambarkan bentuk langka dari kanker tulang yang dijelaskan oleh Fisher pada tahun 1913.

Yang pertama dirinci dan dijelaskan oleh Falkson pada tahun 1879. Istilah ameloblastoma

diciptakan oleh Ivey dan Churchill pada tahun 1930, istilah yang diterima hingga saat ini. Tumor

ini dianggap sebagai neoplasma sejati karena namanya meniru sel-sel organ pembentuk enamel.

Itu dijelaskan oleh Robinson pada tahun 1937, sebagai tumor jinak yang "biasanya unisentris,

nonfungsional, pertumbuhan intermiten, jinak secara anatomis dan persisten secara klinis".

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga mendefinisikan ameloblastoma sebagai tumor jinak

tetapi agresif secara lokal dengan kecenderungan tinggi untuk kambuh, terdiri dari epitel

odontogenik yang berkembang biak yang terletak di stroma fibrosa (Masthan, et al.,2015).

Ameloblastoma adalah tumor odontogenik jinak yang berasal dari epitel yang terlibat

dalam odontogenesis, jarang, namun agresif secara lokal (Milman et al.,2016). Meskipun

dikelompokkan sebagai tumor jinak, ameloblastoma merupakan tumor odontogenik paling

umum dengan implikasi klinis yang serius dan memiliki sifat klinis yang jinak dan ganas

(Bassey et al.,2014).
2.1.2 Demografi

Insidensi global ameloblastoma berkisar 0,92 kasus per 1 juta orang per tahun (Hendra et

al., 2019), dan merupakan tumor odontogenik yang sangat banyak ditemui di Afrika dan Cina

(Bassey et al., 2014). Di negara barat, ameloblastoma adalah yang kedua setelah odontoma

sebagai tumor odontogenik yang paling umum, tetapi populasi Afrika-Amerika lima kali lebih

mungkin untuk terjadi ameloblastoma dibandingkan dengan populasi Kaukasia (McClary et al.,

2016). Studi lain juga menunjukkan bahwa ameloblastoma lebih sering terjadi di wilayah Asia

dibandingkan dengan wilayah Amerika Utara dan Amerika Latin (Dhanutai et al., 2012).

Sebagian besar pasien dengan ameloblastoma berusia antara 30 dan 60 tahun, tetapi usia

rata-rata pada saat diagnosis bervariasi dari benua ke benua diperkirakan masing-masing sekitar

42,3 dan 30,4 tahun di Eropa dan Afrika (Effiom et al., 2017). Hanya 10–15% kasus

ameloblastoma terjadi pada populasi anak, tetapi ini bisa mencapai 25% di Afrika dan Asia

(Bansal et al., 2015).

2.1.3 Etiologi Ameloblastoma

Menurut Manikkam et al., 2015, kemungkinan sumber ameloblastoma adalah sebagai

berikut :

1. Sisa sel organ enamel, baik sisa dari dental lamina maupun selubung Hertwig,

2. Organ enamel yang sedang berkembang,

3. Sel basal dari permukaan epitel pembentuk rahang,

4. Epitel heterotropik dari bagian tubuh lain terutama kelenjar hipofisis, dan

5. Epitel dari kista terutama kista dentigerous

6. Sel epitel rest of serres pada gingiva,


7. Sel basal dari mukosa mulut, hasil invaginasi sel basal epitel ke tulang rahang yang sedang

berkembang

Teori etiologi terbentuknya ameloblasatoma berkembang selama bertahun-tahun, namun

belum ada teori yang pasti. Pada tahun 2015, Sciubba menyatakan perkembangan tumor

odontogenik berkaitan dengan migrasi dari sisa-sisa epitel enamel organ, yang kemudian

didukung oleh teori bahwa ameloblastoma berasal dari epitel kista odontogenik terutama kista

dentigerous dijelaskan oleh Stanley dan Diehl (2015) yang melaporkan sekitar 33% dan 17%

dari seluruh ameloblastoma timbul dari atau bersamaan dengan kista dentigerous, peneliti lain

menyimpulkan etiologi terbentuknya ameloblastoma berhubungan dengan trauma, inflamasi,

defisiensi nutrisi dan iritasi non-spesifik yang berkaitan dengan luka post ekstraksi (Effiom et

al., 2017).

Teori lain menyebutkan perubahan morfologi dari pre-ameloblastoma menjadi

ameloblastoma terjadi selama tahap bell stage dari pertumbuhan gigi, karena terjadi perubahan

protein enamel dan deposisi matrix sesuai gambar 2.1 (Fan et al., 2012). Teori ini didukung oleh

Jussila dan Thesleff tahun 2012, pada penelitiannya pada tikus, sel ameloblastoma tidak

memiliki stratum intermedium, sehingga terjadi gangguan fungsi dan deposisi enamel (Gupta et
al., 2011). menjelaskan reticulum stelate pada epitel kolumnar ameloblastoma dapat

berdegenerasi dari bentuk mikrokistik menjadi bentuk ameloblasatoma multikistik yang

berukuran lebih besar (Effiom et al., 2017) .

Gambar 2.1 Gambaran histologi benih gigi bell stage, gambar histologi menunjukkan lapisan
bell stage yang terdiri dari: (a) Inner enamel epithelium, (b) Outer enamel epithelium, (c)
Stellate reticulum, (d) Dental lamina, (e) Dental papilla, (f) Dental sac (Menton et al.,2011)

Epitelium enamel bagian dalam berinteraksi dengan sel-sel ektomesenkim dari papila

gigi, dengan sel-sel perifernya yang berdiferensiasi menjadi odontoblas. Pembentukan dentin

dari odontoblas dimulai dan diperlukan untuk menginduksi preameloblas menjadi ameloblas,

untuk membentuk enamel. Ameloblas epitelium enamel dalam dan odontoblas di dekatnya,

bersama-sama membentuk bilaminar, yang memanjang melalui mitosis di bawah kontrol genetik

dan bervariasi di antara benih-benih gigi di berbagai daerah (Khan, 2018).

Sekitar minggu ke-14 kehamilan, diferensiasi menjadi ameloblas dan odontoblas terjadi,

diikuti oleh pecahnya lamina gigi yang meninggalkan sisa-sisa epitel (epitel rest malassez).

Meskipun asal utama ameloblastoma adalah lamina gigi, tetapi dapat membentuk dari struktur

tersebut seperti epitel rest, lapisan epitel dari kista odontogen, permukaan sel-sel basal epitel,

epitel organ enamel, dan epitel heterotopik seperti primary gland (Rathee and Jain, 2020).

2.1.4 Klasifikasi Ameloblastoma

Menurut Wright dan Vered (2017), Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam

klasifikasi edisi ke-4 dari tumor kepala dan leher telah mengklasifikasikan tumor odontogenik,

termasuk ameloblastoma. Ameloblastoma yang sebelumnya diklasifikasikan menjadi empat jenis

yaitu solid / multikistik, ekstraosseus / perifer, desmoplastik dan unikistik, mengalami perubahan

klasifikasi menjadi 3 sub klasifikasi yaitu 1) ameloblastoma konvensional, 2) exstraosseus /


ameloblastoma perifer, 3) ameloblastoma unikistik (Gambar 2.2). Istilah solid / multikistik

dihilangkan karena ameloblastoma memiliki tipe histopatologi yang berbeda, termasuk folikuler,

pleksiform, acanthomatous, sel granular, basaloid, dan desmoplastik.


Ameloblastoma

Gambar 2.2 Gambaran bagan klasifikasi terbaru ameloblastoma menurut WHO tahun 2017
Multikistik (Cadavid et al.,2019)
Periferal Unikistik

Pleksiform Folikuler Luminal Intra Luminal Mural


Desmoplastik Acanthomatous
Granullar cell Basal Cell
Pada klasifikasi WHO sebelumnya tahun 2005, tipe desmoplastik dimasukkan dalam

empat tipe utama ameloblastoma, namun hasil konsensus WHO 2017, menggolongkan

desmoplastik sebagai subtipe ameloblastoma berdasarkan gambaran histopatologinya (Tekkesin

and Wright., 2017).

2.1.5 Patofisiologi Ameloblastoma

Karsinogenesis merupakan proses bertahap pada tingkat genetik dan fenotip sebagai hasil

dari akumulasi mutasi yang terjadi berulangkali. Kerusakan genetik merupakan mekanisme dasar

dari proses karsinogenesis. Kerusakan ini dapat diakibatkan oleh faktor lingkungan, seperti

bahan kimiawi, radiasi, virus, atau hasil pewarisan pada sifat germ line. Namun tidak semua

mutasi diakibatkan oleh faktor lingkungan karena beberapa dapat terjadi secara spontan. Target

utama dari kerusakan genetik ini adalah empat kelompok gen utama, yaitu protoonkogen yang

berfungsi meningkatkan pertumbuhan dan proliferasi sel normal, yang kemudian hasil mutasinya

disebut onkogen kemudian gen lainnya adalah tumor supressor gene yang berfungsi

menghambat proliferasi sel, gen yang mengatur mekanisme apoptosis, serta gen yang terlibat

dalam perbaikan DNA (Stricker et al., 2017).


Perubahan fundamental yang terjadi dalam karsinogenesis antara lain adalah kemampuan

self sufficiency terhadap sinyal pertumbuhan yaitu kemampuan sel tumor untuk berproliferasi

tanpa membutuhkan sinyal pertumbuhan ataupun rangsangan dari luar, hal ini merupakan akibat

dari aktivasi onkogen. Perubahan sifat lainnya adalah insensitivitas terhadap sinyal inhibitor

pertumbuhan, kemampuan untuk menghindari mekanisme apoptosis sebagai akibat inaktivasi

maupun aktivasi gen antiapoptosis. Sel tumor juga memiliki kemampuan yang tidak terbatas

untuk bereplikasi, kemampuan angiogenesis yang berlangsung terus menerus untuk memenuhi

kebutuhan nutrisi dan oksigen, kemampuan invasi dan metastasis, serta terjadinya defek pada

gen perbaikan DNA (Gambar 2.3). Perubahan lain yang juga memiliki peran penting dalam

perkembangan tumor adalah kemampuan untuk melepaskan diri dari mekanisme sistem

kekebalan tubuh atau imunitas (Hanahan et al., 2010; Tripathy et al., 2013; Stricker et al., 2017).
Acquired (environmental) DNA damaging agents:
Chemicals
Radiation
Viruses

NORMAL CELL

Successful DNA repair

DNA Damage

Failure of DNA repair


Inherited mutations in:
Genes affecting DNA repair
Genes affecting cell growth or
Mutation in the genome apoptosis
of somatic cells

Activation of growth- Inactivation of tumor Alteration in


promoting oncogeneses suppressor genes genes that regulate apoptosis

Unregulated cell proliferation Decreased apoptisis

Clonal expansion

Angiogenesis
Additional mutations

Escape from
immunity
Tumor progression

Malignant neoplasm

Invation and metastasis

Gambar 2.3 Dasar molekuler kanker: peran perubahan genetik dan epigenetik (Robbins dan
Cotran, 2016)

Keseimbangan antara mekanisme proliferasi sel dengan apoptosis atau Programmed Cell

Death (PCD) akan menjaga keberlangsungan jaringan normal. Mekanisme apoptosis merupakan
proses aktif yang melibatkan energi yang diawali oleh ekspresi gen-gen spesifik. Pertumbuhan

tumor secara progresif diakibatkan ketidakseimbangan antara proliferasi dan kematian sel, dalam

patogenesisnya sel kanker tidak hanya gagal bereaksi terhadap sinyal untuk menghentikan

proliferasinya, namun juga gagal dalam menerima sinyal fisiologis untuk memulai mekanisme

apoptosis. Apoptosis dipicu oleh banyak faktor antara lain sinyal intraseluler dan rangsangan

eksogen seperti paparan radiasi, kemoterapi serta hormonal. Proses ini ditandai dengan

perubahan-perubahan secara histologis, biokimiawi dan biologi molekuler (Berek et al., 2017 ;

Lowe et al., 2016).

Patofisiologi ameloblastoma masih kontroversial. Perubahan seluler dipengaruhi oleh

beberapa faktor yang terlibat dalam pertumbuhan tumor dan biologi tumor mulai dari proliferasi,

diferensiasi, apoptosis, angiogenesis, invasi tumor, dan histomorfologi tumor yang diidentifikasi

melalui pemeriksaan imunohistokimia berkontribusi secara signifikan terhadap teori

kontemporer dari tumor jinak yang agresif ini (Lee and Kim, 2013)

2.2 Penanda Tumor Ameloblastoma

Tumor odontogenik mewakili spektrum dari lesi yang ganas, neoplasia jinak, hingga

harmatoma dental yang berasal dari residu odontogenik (Brito-Mendoza, et al.,2018).

Perkembangan gigi ada suatu proses rumit, dengan koordinasi tinggi yang memiliki urutan

perubahan morfologis. Tahapan ini menunjukkan variasi profil anatomi yang bertumpang tindih.

Perubahan sementara dari profil cytokeratin (CK) yang diselidiki pada proses odontogenesis.

Epitel odontogenik mengekspresikan keratin 7, 13, 14, dan 19. CK14 terdapat pada semua

tahapan perkembangan gigi, termasuk dental lamina dan dan stellate reticulum (Mashtan et al.,

2015; Milman et al., 2016).


Imunohistokimia / Immunohistochemistry (IHC) seringkali digunakan untuk mengukur

dan mengidentifikasi karakteristik pada tingkat seluler seperti proses proliferasi sel, apoptosis sel

dan IHC juga sering digunakan untuk penelitian dasar dalam rangka mengetahui distribusi dan

lokasi biomarker ataupun protein tertampil pada berbagai macam jaringan pada tubuh. IHC

memiliki potensi untuk memeriksa antigen secara lokal di jaringan dengan menggunakan

antibodi spesifik dan memiliki kemampuan tinggi untuk memisahkan, menseleksi dan bersifat

spesifik. Teknik yang digunakan menjadi dua teknik immunofluorescence dan immunoenzyme.

Penelitian dalam immunostaining pada berbagai lesi asal odontogenik telah

meningkatkan pemahaman kita tentang sedangkan immunofenotip tooth germ yang berkembang,

lainnya adalah aplikasi tumor marker yang dapat memberikan gambaran terhadap yang lebih

mendalam terhadap tumor epitel atau mesenkimal. Tumor odontogenik memiliki karakteristik

histologis yang khas, diagnosis dapat dibuat dengan memperhatikan morfologi, membandingkan

radiologi dan gambaran klinis lainnya. Namun ada beberapa permasalah seperti lesi kistik,

ukuran biopsi yang kecil, dan identifikasi perubahan ganas yang bisa diidentifikasi dengan

menggunakan IHC. Ameloblastoma secara histologis menyerupai komponen epitel odontogen

seperti organ enamel dan dental lamina. Beberapa penelitian telah dilakukan membagi fungsi

dari marker molekular antibodi monoklonal untuk mengetahui pola perilaku pertumbuhan

ameloblastoma yang diharapkan dapat mengarah untuk deteksi penyebab, mengklasifikasikan

keganasan, dan juga mengetahui resiko terjadinya rekurensi (Archana et al., 2018; Yi et. al,

2011; Ravlen, 2016).

Ameloblastoma secara histologis menyerupai komponen epitel odontogen seperti organ

enamel dan dental lamina. Namun mekanisme onkogenesis, sitodiferensiasi, dan progresi tumor

masih belum diketahui. Beberapa penelitian yang dilakukan membagi fungsi dari marker
molekular menjadi delapan : 1) Penanda yang terlibat pada degradasi extracellular matrix

(ECM), 2) Penanda yang terlibat pada hilangnya adesi sel dan terlibat pada migrasi sel 3)

Penanda yang terlibat pada resorpsi dan remodeling tulang, 4) Penanda yang terlibat pada

proliferasi sel pada ameloblastoma, 5) Penanda yang terlibat dengan fungsi stromal sel tumor

pada invasi ameloblastoma, 6) Penanda yang terlibat pada pertumbuhan tumor dan angiogenesis,

7) Penanda yang terlibat pada fungsi apoptosis 8) Penanda yang terlibat pada supresi tumor

dirangkum dalam gambar 2.27 (Archana et al., 2018; Yi et al., 2011).

Gambar 2.27 Gambaran skematik penanda biologis ameloblastoma


(Archana et al., 2018)
Sebelumnya Nagi et al.,2016, juga mendeskripsikan beberapa penanda biologis

patogenesis molekuler yang diekspresikan oleh ameloblastoma (tabel 2.7).

2.2.1 Protein Ki-67

Proliferasi sel merupakan proses biologis vital yang penting bagi semua organisme hidup

karena perannya dalam pertumbuhan dan pemeliharaan homeostasis jaringan. Pengendalian

proses penting ini sangat berbeda antara neoplasma jinak dan ganas, dan evaluasi proliferasi sel

pada neoplasma telah menjadi alat yang umum digunakan oleh ahli patologi untuk memberikan

informasi yang berguna berkaitan dengan diagnosis, perilaku klinis, dan pengobatan (Bologna-

molina et al.,2013).

Proliferasi telah dikenali sebagai “hallmark” dari neoplasia dan merupakan faktor

prognostik neoplasia (Haroon et al., 2013). Evaluasi dari derajat proliferasi sel dalam jaringan

tumor digunakan untuk menilai progresifitas tumor. Pewarnaan imunohistokimia banyak

digunakan dalam identifikasi sel abnormal seperti yang ditemukan pada tumor kanker. Teknik ini

juga banyak digunakan dalam penelitian dasar untuk memahami distribusi dan lokalisasi

biomarker dan protein yang diekspresikan secara berbeda di berbagai bagian spesimen biologis

(Devianti et al., 2012).

Dalam proses neoplastik, proliferasi sel yang abnormal dan tidak terkendali, serta

perubahan siklus sel menjadi fenomena penting untuk diamati. Penilaian aktivitas proliferasi sel

pada tumor telah menjadi alat yang umum digunakan oleh ahli histopatologi untuk memberikan

informasi yang berguna untuk menilai dan memprediksi perilaku tumor yaitu, kemungkinan

kekambuhan lokal, potensi metastasisnya, dan pertumbuhan metastasis, dan demikian juga

dengan prognosis seberapa lama periode survival rate (kemungkinan bertahan hidup) yang bebas
rekurensi tumor serta periode survival rate sampai mati. Salah satu pewarnaan imunohistokimia

yang dipercaya untuk mendeteksi proliferasi sel tumor dalam memprediksi transformasi

malignan pada ameloblastoma adalah Ki-67 (Bologna-molina et al., 2013).

Gambar 2.29 Gambaran protein marker proliferasi selama fase siklus sel. Gambar tersebut
mengilustrasikan keberadaan setiap marker proliferasi sel pada fase berbeda dari siklus sel. G1
(Gap 1); G2(Gap 2); S (Sintesis); M (Mitosis)
(Bologna-Molina et al., 2013)

Setiap neoplasma akan menunjukkan variasi histologis yang dapat mempengaruhi

perilaku klinis mereka. Ekspresi protein Ki-67 sangat terkait dengan proliferasi sel. Antigen Ki-

67 (Ki-67) adalah penanda klasik dari proliferasi seluler dan telah diterapkan secara luas dalam

bidang diagnostik, penelitian, dan penemuan obat. Antigen Ki-67 pada awalnya ditentukan oleh

antibodi monoklonal Ki-67, yang namanya diambil dari kota asal (Kiel) dan nomor klon asli di
well plate-96. Ekspresi Ki-67 terjadi selama semua fase siklus sel kecuali fase G0 dan fase G1

awal dan tingkat ekspresi meningkat seiring dengan kemajuan proliferasi sel, terutama pada fase

S, dengan puncak pada fase G2 dan M (Gambar 2.29). Protein ini kemudian terdegradasi dengan

cepat setelah mitosis (Rodriguez‐Archilla and Barragan‐Muñoz, 2013). Protein Ki67 telah diteliti

secara luas sebagai penanda prognostik proliferasi yang potensial dalam studi retrospektif

penyakit ganas. Akumulasi studi klinis telah menunjukkan Ki67 sebagai alat untuk diagnosis

kanker. Immunostaining untuk ekspresi Ki67 adalah standar emas, dan tingkat batas pewarnaan

positif 10-14% digunakan untuk menilai risiko tinggi prognosis (Yang et al., 2017). Nilai

prognostik Ki67 telah diteliti dalam sejumlah penelitian dengan potensinya sebagai penanda

yang andal yang telah ditunjukkan pada kanker payudara, jaringan lunak, paru-paru, prostat,

serviks dan sistem saraf pusat (Li et al., 2014).

Proliferasi sel tumor juga dapat dinilai untuk memprediksi transformasi maligna dari

ameloblastoma jinak yang sudah ada sebelumnya. Secara khusus, antigen Ki-67 adalah penanda

proliferasi seluler yang andal, dan spesifik diukur dalam sitoplasma sel epitel basal dan tumor

(gambar 2.30) (Menon et al., 2019).

MCM

MCM
Gambar 2.30 gambaran skematis peran Ki-67 terhadap ameloblastoma (Menon et al.,
2019)

Banyak laporan memfokuskan pada fraksi proliferasi sebagai cara untuk membedakan

kedua entitas ini dan juga menunjukkan fraksi proliferasi Ki-67 yang lebih tinggi pada karsinoma

ameloblastik daripada di ameloblastoma, angka yang dilaporkan bervariasi dari 2,9-14,9% pada

ameloblastoma dan 8-48,7% pada karsinoma ameloblastik. Ini menunjukkan bahwa area fokus

ekspresi Ki-67 yang meningkat dalam tumor tertentu mungkin menunjukkan perkembangan

menjadi keganasan (Kase et al., 2019).


Tabel 2.7 Penanda molekuler yang diekspresikan oleh ameloblastoma (Nagi et al.,2016)

Marker Ekspresi pada Menunjukkan


Molekuler Ameloblastoma
CD 133, Bmi-1, Meningkat Onkogenesis, diferensiasi dan potensial
ABCG2 keganasan
PCTH 1 Meningkat Prolifersai odontogenic epithelium
GLi 1 Meningkat Proliferasi sel
β catenin Meningkat Sel ke Sel adhesi dan transduksi signal pada
odontogenic epithelium
BMP-2,-4,-7 Meningkat Proliferasi sel, diferensiasi, kemotaksis, produksi
matriks ekstraseluler dan apoptosis
TGF β Teraktivasi Agresiveness
Syndecan-1 Menurun Agresiveness, invasiveness
Cadherines Menurun Agresiveness
Integrins Meningkat Invasiveness
Claudin 7 Menurun Invasiveness
Podoplanin Meningkat Invasiveness, metastasis tumor
MT Meningkat Invasiveness, metastasis tumor
Ki-67 Meningkat di sel-sel Agresiveness, proliferasi sel
periferal
Cyclin D1 Meningkat Invasiveness, Aggresiveness, prognosa jelek dan
metastasis lelenjar limfe
Telomerase Meningkat Onkogenesis, proliferasi sel
PCNA Terekspresi saat Agresivenes, rekuren dan potensial maligna
akhir G1 dan fase-
fase S1
FGF-7 dan -10 Meningkat Pertumbuhan Tumor(Growth of Tumor)
Fas, FasL Sel-sel sentral di Cytodifferentiation
acanthomatous dan
sel granular
ameloblastoma
Bcl-2, bcl-x Sel-sel peripheral Anti-apoptotik, Cytodifferentiation
Caspase-3 Regio sentral Tumor Kematian sel (Cell death)
PTEN Meningkat Meningkat Agresiveness
MMP-1,- 2 dan 9 Meningkat Invasi Tumor
PTHrP Meningkat Pertumbuhan infiltrative, dan behavior
destruktif
RANKL Meningkat Osteoclastogenesis menunjukkan ekspansi tumor
OPN, CD44v6 Meningkat Invasiveness, migrasi sel
CD 10 Meningkat Pertumbuhan sel neoplastik, rekuren
p53 Meningkat Proliferasi sel meningkat dan potensi maligna

Keterangan: ABCG2: ATP binding cassete subfamily G member 2; PCTH: Patched; GLi:
Glioma associated; BMP: Bone Morphology Protein, TGF β: Transforming Growth Factor β;
PCNA: Proliferating Nuclear Cell Antigen; FGF: Fibroblas growth factor; PTEN:
Phosphatase and tensin homolog deleted on Chromoome 10; PTHrp: Parathyroid hormone-
relaten protein; RANKL: Receptor Activator of N uclear Factor KB ligand; MT:
Metallothionein; OPN: Osteopontin; MMP: Matrix Metalloproteinase; CD: Cluster of
Differentiation.
Imunohistokimia merupakan teknik yang paling sering dipilih untuk mendeteksi antigen

pada sel jaringan dengan prinsip reaksi antibodi yang berikatan terhadap antigen pada jaringan

begitu pula dalam penanda biologis suatu sel neoplastic atau tumor. Imunohistokimia

menggunakan antibodi untuk mendeteksi keberadaan dan lokalisasi protein spesifik penanda

biologis tertentu. Teknik ini penting untuk membedakan antara morfologi yang mirip dan juga

mencirikan sifat-sifat molekular kanker tertentu. (Patel et al., 2014).

2.2.2 Protein P16

P16 adalah gen penekan tumor yang menghasilkan protein p16 yang berfungsi

sebagai pengikat CDK4/CDK6 sehingga mampu menghambat siklus sel. Aktivitas p16

diperlukan oleh sel pada fase G1 menuju fase S. (Masuda-Robens, 2001). Mutasi yang

terjadi pada gen p16 meng-hasilkan protein P16 yang tidak mampu mengikat CDK4/CDK6,

sehingga mengakibatkan dan menyebabkan tidak terkon-trolnya siklus sel

sehingga, tim-bullah proses keganasan (Krug et al, 2002). Letak dan Fungsi Gen p16Gen p16

yang juga dike-nal dengan MTS1, CDKN2, dan p16INK4a terletak pada kromosom 9 lokus

p21 sehingga sering disingkat 9p21 (Gambar 1), bekerja menghambat cyclin depen-dent

kinase 4 (CDK4) yang berinteraksi dengan cyclin D dan menstimulasi jalan masuk me-

lalui fase G1. Formasi dari CDK4-MTS1 memblok fosfori-lasi kompleks protein

PRB dan hal ini merupakan, langkah pen-ting yang dibutuhkan sel untuk bergerak dari fase

G1 ke fase S (Naggar, 1999).


Gen p16 diketahui sebagai salah satu regulator negatif pada siklus sel,

yang menghambat dan memblok fosforilasi cyclin D-CDK4/CDK6 pada pRb serta

mencegahnya keluar dari fase G1.


Peran p16 Dalam Siklus Sel

Pada G1, cyclin D ber-ikatan dengan CDK4/CDK6 dan menghasilkan aksi

kompleks pada molekul penghambat yang sangat kuat yaitu protein yang dikenal

sebagai PRB/P16 dan memungkinkan sel untuk me-lanjutkan diri ke fase S (Williams,

2000). P16 bekerja pada lintasan awal dan bereaksi pada sinyal anti proliferasi dan juga

ber-peran sebagai regulator negatif dari cyclin D/CDK4. Cyclin D, p16 dan pRb berperan

dalam transisi dari fase G1 ke fase S pada siklus sel dan sering kali berubah dalam

beberapa kanker ( Naggar et al, 1999)

Gen Rb mengontrol check-point dalam fase G1 pada siklus sel dan jalur Rb

umumnya di-hambat selama perkembangan kanker (Lang et al, 2002). PRb memegang

peranan penting da-lam mengontrol siklus sel. Pusat regulasi dari siklus sel adalah

kelompok protein yang dikenal dengan cyclin. Cyclin ini tidak bekerja sendiri tetapi

bekerja sama dengan cyclin-dependent kinase (CDK), pada gilirannya akan

mempengaruhi substansi lain melalui fosforilasi seperti p16 yang menghambat aktivasi

dari CDK (Kumar et al, 2003).

Regulasi siklus sel pen-ting dalam perjalanan tumor dengan mengendalikan aksi

dari CDKs, aktivasi ini diatur melalui cyclin dan CDKI. Kompleks cyclin D-CDK4

atau CDK6 memacu terjadinya fosforilasi dari Rb selama fase pertengahan atau akhir

fase G1. Cyclin D-CDK merupakan regulator posi-tif melalui pertumbuhan mitoge-nik dan

menjadi negatif bila bergabung dengan kelompok CDKI, termasuk di dalamnya

kelompok dari gen INK4 (p16INK4a, p15INK4b, p18INK4cdan p19INK4d).

CDKI bertanggung jawab untuk mengatur siklus sel dan menghentikan proliferasi jika

pertumbuhan sel sudah cu-kup (Papadimitrakopoulou et al, 1997). Protein P16 meningkat
perlahan mencapai maksimum pada transisi fase G1/S, dan diperkirakan bertanggung

jawab untuk inaktifasi cyclin D/CDK4/ CDK6 pada fase G1/S ketika

fosforilasi pRb telah cukup un-tuk sel masuk ke fase S (Hirama et al, 2000)

Terdapat suatu perangkat molekuler dalam inti sel yang dikenal sebagai jam siklus

sel (cell cycle clock). Jam ini merupa-kan pembuat keputusan dalam sel dan akan kacau

pada hampir semua tipe kanker manusia. Pa-da sel normal, jam ini mengin-tegrasikan

gabungan sinyal pe-ngaturan pertumbuhan yang di-terima sel dan memutuskan apa-kah sel

harus melewati siklus ke-hidupannya atau tidak, dan jika jawabannya positif maka

jam tersebut akan mengarahkan pro-ses tersebut (Masuda-Robens, 2001).

Jam siklus sel ini mem-programkan suksesi kompleks melalui sejumlah molekul.

Ter-dapat dua komponen esensial yaitu cyclin dan cyclin-dependent kinase, yang

bergabung satu sa-ma lain dan mengawalinya ma-suk ke berbagai fase siklus sel. Pada

G1 sebagai contoh cyclin D berikatan dengan CDK4 atau CDK6 dan menghasilkan

aksi kompleks pada molekul peng-hambat pertumbuhan yang sa-ngat kuat, yaitu protein

yang di-kenal sebagai P16. Aksi ini me-niadakan efek penghambatan pada pRb dan

memungkinkan sel untuk melanjutkan diri ke fase G1 akhir dan kemudian ke fase S

(sintesis DNA). Sejumlah protein penghambat dapat me-nahan pergerakan siklus sel

selanjutnya. Salah satu diantara-nya adalah p15 dan p16, kedua-nya akan memblok

aktivitas pri-mer partner CDK dan cyclin D, jadi akan menghambat pertum-buhan sel

dari fase G1 ke S (Masuda-Robens, 2001).

P16 Sebagai Gen Penekan Tumor


Gen-gen yang berperan penting dalam pertumbuhan sel proto-onkogen dan gen

penekan tumor. Proto-onkogen mengkode faktor pertumbuhan, mem-bran dan reseptor

sitoplasma. Protein ini memainkan peranan dalam sinyal tranduksi intrase-luler. Proto-

onkogen mengusa-hakan dampak positif dari proli-ferasi seluler, sebaliknya gen pe-nekan

tumor sebagai pengatur penghambat proliferasi seluler (Baker et al, 1996).

Proto-onkogen merupa-kan gen yang meningkatkan pertumbuhan sel dalam

keadaan yang masih terkontrol. Protein yang dihasilkan proto-onkogen berperan penting

pada pertum-buhan dan diferensiasi normal, tetapi apabila gen-gennya me-ngalami

mutasi atau hiperaktif, proto-onkogen berubah menjadi onkogen, dimana proliferasi sel

tetap berlangsung tetapi tidak normal (Bast et al, 1998). Onkogen merupakan gen yang

dominan dan akan mema-cu proses transformasi seluler, sehingga proto-onkogen dan on-

kogen memiliki andil besar pada patogenesis, sedangkan perkem-bangan kanker dan

perilakunya tampak lebih berkaitan dengan aksi gen terkait tumor lainnya seperti gen

penekan tumor, gen anti apoptosis atau gen anti me-tastasis (Leong, 1995).

Menurut Lodish et al, (1999), perubahan dari proto-onkogen menjadi

onkogen biasa-nya melibatkan mutasi gain-of function. Setidaknya ada 3 meka-nisme

yang dapat memproduksi onkogen dari proto-onkogen yaitu :

1.Point mutasi diproto-onko-gen hasil dari pengkodean produk protein.

2.Reduplikasi lokal dari seg-men DNA yang didalamnya ada proto-onkogen.

3.Translokasi kromosom yang menyebabkan pengontrol pembelahan sel

menjadi tidak terkontrol.

Gen penekan tumor atau anti onkogen secara normal me-ngatur pertumbuhan sel,

dife-rensiasi dan memainkan peran-an penting dalam perkembangan kanker pada sel
normal (Leong, 1995). Gen penekan tumor bekerja sebagai perusak sel, gen ini mengkode

protein yang menghambat pertumbuhan sel dan mencegah sel menjadi ganas (Karp, 2002).

Beberapa kanker timbul sebagai akibat hilangnya atau tidak berfungsinya gen

penekan tumor secara sempurna. Kunci dari protein pengatur gen ada-lah gen ini dikode

dari dua pro-tein penekan tumor yaitu PRB dan P53. Bentuk aktif PRB ber-tindak

sebagai penghambat re-plikasi DNA. Mutasi dari gen pRb menyebabkan setiap protein

yang dihasilkan menjadi tidak aktif dan mengakibatkan pem-belahan sel tidak

terkendali (Kumar et al , 2003).

Gen p16 dan pRb bertindak sebagai pe-ngatur siklus sel (Karp, 2002). Gen penekan

tumor me-rupakan gen normal yang ber-peran untuk mencegah perkem-bangan neoplasma

(Friedman et al, 1996). Gen penekan tumor umumnya mengkode protein yang

menghambat proliferasi sel.

Kehilangan regulator ini dapat menyebabkan terjadinya kanker. Lima kelas

protein yang biasa dikode oleh gen penekan tumor (Lodish et al, 1999) yaitu :

1.Protein intraselluler, seperti p16 cyclin-dependent kinase inhibitor, yang

menghambat pembelahan melalui fase ter-tentu dari siklus sel.

2.Hormon reseptor yang fung-sinya untuk menghambat pembelahan sel.

3.Protein pengontrol checkpointyang menghambat siklus sel jika terjadi kerusakan

DNA atau kromosom abnormal.

4.Protein yang bisa mengin-duksi apoptosis.

5.Enzim yang berperan dalam perbaikan DNA.

Transformasi sel normal menjadi sel kanker disertai de-ngan hilangnya fungsi dari

satu atau lebih gen penekan tumor, seperti gen yang mengkode fak-tor transkripsi (p53
dan WT1), dan pengatur siklus sel (pRb dan p16), NF1, PTEN, dan VHL. Se-bagian besar

dari protein-pro-tein ini dikode melalui kerja gen penekan tumor sebagai peng-hambat

proliferasi sel apabila pertumbuhan sel mulai tidak terkontrol (Krap, 2002).

Pada sebagian besar kanker terjadi inaktivasi protein-protein yang berfungsi

normal pada siklus sel termasuk p16 (Bast et al, 1998).

2.2.6 Protein CD 10

CD10 disebut juga sebagai neprilysin atau common acute lymphoblastic

leukemia/lymphoma antigen (CALLA) merupakan metalloproteinase yang bergantung

zinc,berfungsi mengatur berbagai macam peptida dengan menurunkan konsentrasi

ektraselulernya sehingga tidak berikatan dengan reseptornya (MaguerSatta dkk., 2011). Pada

keadaan fisiologis normal CD10 diekspresikan pada berbagai jaringan sedangkan peranan

patologis CD10 ditemukan pada berbagai subtipe limfoma, karsinoma sel renal, maupun

sarkoma stromal endometrium.

CD10 merupakan salah satu petanda permukaan sel (Iwaya, dkk., 2002) yang secara aktif

berperan dalam pengaturan mekanisme fisiologikal dan aktivitas biologis didukung melalui

aktivitas enzimatik ekstraseluler dan jalur pensinyalan intraseluler (Maguer-Satta, dkk., 2011).

CD10 berperan mengendalikan pertumbuhan dan diferensiasi sel normal dengan mengatur akses

peptida ke reseptor permukaan sel. Hilang atau menurunnya ekspresi CD10 dapat menunjukkan

ketidakmampuan sel untuk menginaktivasi substrat peptida menghasilkan proliferasi yang tidak

beraturan (Nanus, 2003).CD10 akan berinteraksi PTEN (Phosphatase and TENsin homolog)

yang akan menghentikan kerja PI3K (phosphatidylinositol 3-kinase) sehingga akan

menginaktivasi AKT(Maguer-Satta, dkk., 2011).


Struktur dan Fungsi CD10 CD10 disebut juga neutral endopeptidase, enkephalinase,

neprilysin, membrane metalloendopeptidase, dan common acute lymphoblastic leukemia antigen

adalah metalloendoprotease yang bergantung zinc, fungsinya menonaktifkan sejumlah sinyal

peptida. Rangkaian DNA CD10 ditemukan pada kromosom 3 lokus 3q21-27. CD10 terdiri dari

90-110-kDa tipe II glikoprotein transmembran. Terdapat tiga tipe CD10, sehingga

memungkinkan adanya ekspresi CD10 yang berbeda-beda dari setiap jaringan. Protein CD10

terdiri dari rangkaian NH2-terminal cytoplasmic yang meliputi intracellular domain (ICD),

transmembrane helix domain (TMD), dan extracellular domain (ECD) dengan zincin motif

diantaranya. CD10 mengatur fisiologi berbagai macam peptida dengan menurunkan kadar

peptida tersebut pada ekstraseluler sehingga tidak berikatan dengan reseptornya (Maguer-Satta

dkk., 2011; Petre dkk., 2015)

Pada manusia CD10 diekspresikan pada sel normal maupun neoplastik. Pada sel normal,

CD10 diekspresikan pada sumsum tulang yaitu pada sel punca limfoid, pro-B limfoblast,

neutrofil matur, stroma sel endometrial, proksimal tubulus dan glomerulus ginjal, sel myoepitel

payudara, sel epitel dan stroma prostat, kanalikuli liver, sel epitel lambung, dan sel epitel kolon.

Pada keadaan normal, CD10 dibawah regulasi yang ketat dan inhibitor endogenousnya seperti

tissue inhibitor metalloproteinases (TIMP), berfungsi menjaga homeostasis jaringan,

berpartisipasi dalam perkembangan normal, angiogenesis, dan penyembuhan luka dengan

menginisiasi proses inflamasi, kardiovaskular, dan neurogenik. Penurunan ekspresi atau fungsi

CD10 dapat menyebabkan kerusakan yang berat pada sel dan lingkungannya (Hosni dkk., 2012;

Mishra dkk., 2016). CD10 merupakan regulator yang penting pada beberapa sistem organ tubuh

seperti sistem kekebalan, sistem neural, dan epitelial. Pada penelitian-penelitian kanker, CD10
awalnya ditemukan ketika meneliti antigen leukemia limfoblastik akut. Sejak saat itu, CD10

banyak digunakan sebagai penanda diagnosis pada beberapa tumor yang memiliki

kecenderungan bermetastasis dan tumor-tumor yang berkembang dari sel punca (Iwaya dkk.,

2002; Bachelard-Cascales dkk., 2010)

Aktivitas biologi CD10 terjadi melalui dua mekanisme utama yaitu: pertama CD10

diekspresikan pada permukaan sel stroma maupun epitelial, memecah peptida melalui aktivitas

enzimatik ekstraselulernya. Kedua, CD10 melalui jalur sinyal intraseluler dan jalur sinyal mayor

lainnya melalui elemen yang ada pada lingkungan mikro. CD10 berikatan dengan membran sel

melalui kompleks glycosylphosphatidylinositol (GPI), yang selanjutnya memicu sinyal

tranduksi. CD10 pada kompleks GPI bersama p85 (subunit phosphatidylinositol 3-kinases

(PI3K) dan Lyn Kinase, mencegah aktivasi focal adhesion kinase (FAK) oleh PI3K. Hal tersebut

menyebabkan penurunan fosforilasi FAK dan migrasi sel. Secara simultan ikatan CD10 dan

penekan tumor phosphatase and TENsin homolog (PTEN) menyebabkan penurunan fosforilasi

phosphatidylinositol 3,4,5- trisphosphate (PIP3), mencegah pengaktifan jalur sinyal Akt,

sehingga mencegah pertumbuhan sel tumor. CD10 juga mendegradasi sejumlah peptida (seperti

bombesin dan endothelin 1), sehingga menghambat sinyal FAK atau Rho dengan fiksasinya pada

G-coupled protein receptor. CD10 memecah faktor pertumbuhan seperti fibroblast growth factor

2 (FGF2), berakibat pada adanya regulasi negatif angiogenesis. Dapat disimpulkan, CD10 dapat

mencegah migrasi, invasi, dan angiogenesis melalui dua mekanisme aktivitas biologinya

(Bachelard-Cascales dkk., 2010; Maguer-Satta dkk., 2011).

Hubungan CD10 dan Kanker


CD10 telah ditemukan dan diteliti secara luas selama lebih dari 40 tahun pada bidang

yang berbeda-beda. Padaleukemia limfoblastik, CD10 memiliki nilai diagnosis dan prognosis

yang baik. CD10 diekspresikan pada B-lymphoblastic leukemia/lymphoma dan beberapa mature

B-cell lymphoma (plasma cell myeloma, follicular lymphoma, diffuse large B-cell lymphoma,

dan burkitt lymphoma) dan sangat jarang pada limfoma sel T (Mohammadizadeh dkk., 2012;

Petre dkk., 2015)

Beberapa penelitian menunjukkan CD10 baik digunakan sebagai penanda diagnosis dan

prognosis. CD10 dapat menjadi penanda dalam membedakan tumor primer atau proses

metastasis dan untuk mengevaluasi progresi tumor. Walaupun CD10 tidak dapat dipergunakan

sendiri, namun CD10 dapat menjadi penanda diagnosis dan prognosis, tidak hanya pada tumor

hematopoietik namun juga pada beberapa karsinoma (Mishra dkk., 2016; Stephen dkk., 2016).
Gambar Struktur dan fungsi CD10. A. Terdapat tiga tipe transkrip CD10. B. Skema

rangkaian protein CD10 pada mamalia. C. Pita CD10 dengan area aktif ditunjukkan dengan

warna kuning, berdiameter 20 A˚. D. Jalur sinyal CD10 (Maguer-Satta dkk., 2011)

CD10 juga berguna dalam membedakan trikoepithelioma dari karsinoma sel basal,

demikian juga untuk membedakan karsinoma sel basal dari karsinoma sel skuamosa. Karena sel

tumor yang mengekspresikan CD10 lebih cenderung merupakan karsinoma sel basal. Ekspresi

kuat CD10 juga ditemukan pada clear cell dan papillary renal cell carcinoma namun kurang

terekspresi pada chromophobe renal cell carcinoma. Penurunan ekspresi CD10 pada pasien

kanker prostat berkaitan dengan progresinya. Degradasi Met-enkephalin, salah satu substrat

CD10, pada karsinoma kolorektal juga mempercepat pertumbuhan tumor dan metastasisnya ke

liver. Beberapa penelitian juga menunjukkan ekspresi CD10 pada sel stroma berbagai keganasan
seperti karsinoma gaster, payudara, dan paru-paru. Ekspresinya berhubungan dengan biologi

karsinoma yang lebih agresif (Maguer-Satta dkk., 2011; Petre dkk., 2015)

CD10 adalah molekul penting yang dapat mengintegrasikan sinyal dari lingkungan mikro

sel atau melalui komponen intraselulernya. Sinyal tersebut mengontrol fungsi fisiologi dan

biologi sel atau jaringan, serta proses remodeling lingkungan mikro. Gangguan regulasi ekspresi

atau fungsi CD10 akibat mutasi dapat menyebabkan gangguan yang berat pada sel dan

lingkungannya. Pada penelitian kanker-kanker epitelial terdapat variasi aktivitas enzimatik CD10

baik peningkatan dan penurunan. Selama proses keganasan, gangguan regulasi sinyal intraseluler

CD10 juga terjadi (Gambar 2.10). Ekspresi CD10 tidak selalu ditemukan berubah pada sel epitel

yang telah bertransformasi, oleh karena itu gangguan regulasinya terjadi akibat proses onkogenik

sebelumnya pada sel punca namun selanjutnya akan berpengaruh pada sel punca, progenitor, dan

stroma sekelilingnya. Penurunan fungsi enzimatik CD10 setelah adanya transformasi dari early

common progenitors (ECP) atau progenitor (P), akan memicu akumulasi peptida pada sel stem

lingkungan mikro, sehingga mengakibatkan adanya transformasi keganasan. Sebaliknya

peningkatan fungsi aktivitas enzimatik dari CD10, menyebabkan akumulasi peptida dalam

bentuk aktif dan menghambat diferensiasi sel epitel dan mempertahankan sel punca kanker.

Peningkatan aktivitas enzimatik CD10 juga menunjukkan proliferasi sel punca kanker yang

mengekspresikan CD10, menjelaskan peningkatan ekspresi CD10 pada sel stroma pada kanker

yang tidak berdiferensiasi, hilangnya diferensiasi menjadi sel otot polos aktin, gangguan

maturasi sel, dan hilangnya membran basalis. Sinyal CD10 juga dapat dimodifikasi pada

progenitor kanker atau sel punca, tidak bergantung aktivitas enzimatiknya, menyebabkan

penghambatan fungsi PTEN, inhibisi apoptosis, namun memicu proliferasi sel melalui jalur Akt.

Dapat disimpulkan perubahan sinyal intrinsik CD10 merupakan proses awal transformasi
keganasan dan menghasilkan sel-sel imatur, sedangkan perubahan aktivitas enzimatiknya

merupakan akibat dari transformasi awal tersebut (Bachelard-Cascales dkk., 2010; Maguer-Satta

dkk., 2011; Stephen dkk., 2016)

2.2.9 Protein E- Cadherin

Kadherin merupakan protein transmembran yang terdiri dari 5 domain ekstraselular (EC1-EC5)
dengan ion Ca2+ berinteraksi sebagai penghubung antar bagian dari E-Kadherin (shinji et al,
2012). Kadherin banyak ditemukan pada zonula adherens (Nathalie et al, 2016). Zonula adherens
adalah salah satu bagian junction antar sel yang berada dalam zonula occluden (junction ketat)
dan Demosom. Dalam pembentukan junction antar sel, molekul kadherin pada satu sel akan
berinteraksi dengan molekul kadherin pada sel lain yang berada di dekatnya membentuk zonula
adheren (ernawati et al, 2004). Porositas pada jalur paraselular dapat ditingkatkan dengan peptida
yang sekuennya diturunkan dari molekul kadherin itu sendiri, seperti turunan peptida HAV dan
ADT. Turunan peptida ADT seperti ADTC3 yang diturunkan dari kadherin dapat menempati
situs ikatan (binding site) pada molekul kadherin dan menghalangi interaksi antar molekul
adherent junction (kadherin) pada sel bersebelahan, sehingga keketatan tight junction antar sel
dapat diatur atau dimodulasi. Modulasi dapat juga dilakukan dengan kitosan yang sekaligus
dapat berfungsi sebagai pembawa obat atau enkapsulator pada sistem drug delivery dan drug
targetting (Hyung et al, 2010). Kadherin berperilaku sebagai reseptor dan ligan untuk molekul
lain. Selama perkembangan, perilaku mereka membantu dalam memposisikan sel dengan benar:
mereka bertanggung jawab untuk pemisahan lapisan jaringan yang berbeda, dan untuk migrasi
sel. (Umbiner, 2005) 

Pada tahap awal perkembangan, E-cadherin (epithelial cadherin) paling banyak


diekspresikan.  Banyak cadherin yang dispesifikasikan untuk fungsi spesifik dalam sel, dan
mereka diekspresikan secara berbeda dalam embrio yang sedang berkembang. Misalnya,
selama neurulasi , ketika pelat saraf terbentuk di dalam embrio, jaringan yang berada di dekat
lipatan saraf kranial mengalami penurunan ekspresi N-cadherin. (Aneyhil et al, 2017).
Sebaliknya, ekspresi N-cadherin tetap tidak berubah di daerah lain dari tabung saraf yang terletak
di sumbu anterior-posterior vertebrata. (Aneyhil et al, 2017) Ekspresi berbagai jenis cadherin
dalam sel bervariasi tergantung pada diferensiasi spesifik dan spesifikasi organisme selama
perkembangannya

Metastasis tumor

Kompleks E-cadherin-catenin memainkan peran kunci dalam adhesi seluler; hilangnya fungsi ini
telah dikaitkan dengan peningkatan invasi dan metastasis tumor. (Beavon, 2000) Penindasan
ekspresi E-cadherin dianggap sebagai salah satu peristiwa molekuler utama yang bertanggung
jawab atas disfungsi dalam adhesi sel-sel, yang dapat menyebabkan invasi lokal dan pada
akhirnya perkembangan tumor. Karena perannya yang penting dalam menekan tumor, E-
cadherin juga disebut sebagai "penekan invasi". (Nives, 2003)

Korelasi dengan Kanker


Telah ditemukan bahwa cadherin dan faktor tambahan lainnya berkorelasi dengan pembentukan
dan pertumbuhan beberapa jenis kanker dan bagaimana tumor terus tumbuh. E-cadherin yang
juga dikenal sebagai kader epitel di permukaan satu sel dapat mengikat sel sejenis di sel lain
untuk membentuk jembatan. (Morales et al, 2002). Hal ini menunjukkan bahwa hilangnya
molekul adhesi sel E cadherin secara kausal terlibat dalam pembentukan jenis kanker epitel
seperti karsinoma. Perubahan pada semua jenis ekspresi cadherin mungkin tidak hanya
mengontrol adhesi sel tumor tetapi juga mempengaruhi transduksi sinyal yang menyebabkan sel
kanker tumbuh tak terkendali. (Cavalaro et al, 2002). Pada kanker sel epitel, gangguan adhesi sel
ke sel dapat menyebabkan perkembangan pertumbuhan ganas sekunder yang jauh dari situs
utama kanker, dapat disebabkan oleh kelainan ekspresi E-cadherin atau katenin terkaitnya . CAM
seperti cadherin glikoprotein biasanya berfungsi sebagai perekat yang menyatukan sel dan
bertindak sebagai mediator penting dari interaksi sel ke sel. E-cadherin, pada permukaan semua
sel epitel, terkait dengan sitoskeleton aktin melalui interaksi dengan catenin di
sitoplasma. Dengan demikian, berlabuh ke sitoskeleton, E-cadherin di permukaan satu sel dapat
mengikat sel yang lain untuk membentuk jembatan. Pada kanker sel epitel, gangguan adhesi sel-
sel yang dapat menyebabkan metastasis dapat diakibatkan oleh ketidaknormalan ekspresi E-
cadherin atau katenin terkaitnya. (Morales et al, 2002)
2.2.10 Protein FGF2

FGF2 , juga dikenal sebagai faktor pertumbuhan fibroblast dasar ( bFGF ) dan FGF-β ,

adalah faktor pertumbuhan dan sinyal protein yang dikodekan oleh gen FGF2. (Kim, 1998) Ini

disintesis terutama sebagai polipeptida asam amino 155, menghasilkan protein 18 kDa. Namun,

ada empat kodon start alternatif yang menyediakan ekstensi terminal-N dari 41, 46, 55, atau 133

asam amino, menghasilkan protein 22 kDa (total 196 aa), 22,5 kDa (total 201 aa), 24 kDa (210

aa total) dan 34 kDa (288 aa total), masing-masing. (Florkiewicz et al, 1991). Umumnya, bentuk

berat molekul rendah (LMW) 155 aa / 18 kDa dianggap sitoplasma dan dapat disekresikan dari

sel, sedangkan bentuk berat molekul tinggi (HMW) diarahkan ke inti sel. (Coleman et al, 2014)

Seperti anggota keluarga FGF lainnya, faktor pertumbuhan fibroblas dasar

memiliki aktivitas mitogenik dan kelangsungan hidup sel yang luas , dan terlibat dalam berbagai

proses biologis, termasuk perkembangan embrio , pertumbuhan sel , morfogenesis , perbaikan

jaringan , pertumbuhan dan invasi tumor. Dalam jaringan normal, bFGF hadir dalam membran

basement dan di subendothelial matriks ekstraselular dari pembuluh darah . Itu

tetap terikat membran selama tidak ada peptida sinyal . Telah dihipotesiskan bahwa,

selama penyembuhan luka pada jaringan normal dan perkembangan tumor ,

aksi enzim pendegradasi sulfat heparan mengaktifkan bFGF, sehingga memediasi

pembentukan pembuluh darah baru , suatu proses yang dikenal sebagai angiogenesis . Selain itu,

itu disintesis dan disekresikan oleh adiposit manusia dan konsentrasi FGF2 berkorelasi dengan

BMI dalam sampel darah. Itu juga terbukti bekerja pada preosteoblasts  - dalam bentuk
peningkatan proliferasi  - setelah mengikat reseptor faktor pertumbuhan fibroblast 1 dan

mengaktifkan phosphoinositide 3-kinase. (Kuhn et al, 2012)

Selain itu, FGF2 adalah komponen penting dari media kultur sel induk

embrionik manusia ; faktor pertumbuhan diperlukan agar sel-sel tetap dalam keadaan tidak

terdiferensiasi, meskipun mekanisme yang digunakannya untuk melakukan hal ini tidak

didefinisikan dengan baik. Telah dibuktikan untuk menginduksi ekspresi gremlin yang pada

gilirannya diketahui menghambat induksi diferensiasi oleh protein morfogenetik tulang. (Pereira

et al, 2000) Hal ini diperlukan dalam sistem kultur yang bergantung pada sel pengumpan tikus,

serta dalam sistem kultur bebas-serum dan pengumpan. (Liu et al, 2006) FGF2, dalam

hubungannya dengan BMP4, Mempromosikan diferensiasi sel induk menjadi garis keturunan

mesodermal. Setelah diferensiasi, sel-sel yang diberi BMP4 dan FGF2 umumnya

menghasilkan diferensiasi osteogenik dan kondrogenik dalam jumlah yang lebih tinggi daripada

sel-sel induk yang tidak diberi perlakuan. (lee et al, 2013) Namun, konsentrasi bFGF yang

rendah (10 ng / mL) dapat memberikan efek penghambatan pada diferensiasi osteoblas. (Del

Angel et al, 2015) Bentuk nuklir FGF2 berfungsi dalam ekspor mRNA. (Bong et al, 2020)

2.2.11 Protein Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF)

VEGF adalah suatu disulfide-linked dimeric glycoprotein dengan berat molekul 45 kDa yang
mengikat heparin dan secara struktural berhubungan dengan Platelet Derived Growth Factors
(PDGF). VEGF yang disebut juga sebagai Vascular Permeability Factor (VGF) penting untuk
proses angiogenesis. Yang mendasari pertumbuhan tumor dan pembentukan edema peritumoral.
Angiogenesis adalah proses keseimbangan pro dan anti angiogenik dari sel tumor maupun sel
normal. Ikatan antara VEGF dengan VEGFR-1 dan 2 akan menyebabkan proses angiogenesis.
Ekspresi VEGF pada sel tumor jinak maupun ganas sangat bervariasi (neufeld et al, 2004)
Selama pertumbuhan tumor, angiogenesis diinduksi oleh berbagai sebab. Proliferasi yang cepat
menyebabkan keadaan hipoksia karena difusi oksigen yang terbatas akibat pertumbuhan
jaringan. Untuk mendapatkan suplai nutrisi dan oksigen yang adekuat pada tumor yang
berukuran lebih dari 2-3 mm3 diperlukan pembuluh darah baru. Hipoksia merupakan stimulus
penting pada angiogenesis tumor yang berakibat stabilisasi hypoxia inducible factor-1a(HIF-1a).
Ekspresi HIF-1a akan meningkat dan membentuk dimer dengan HIF-1b, kemudian kompleks ini
berikatan dengan DNA, merekrut ko-aktivator lalu mentranskripsi gen sasaran. Gen sasaran HIF-
1 akan menyandi faktor pertumbuhan pro angiogenik seperti VEGF (Kresno, 2012). Onkogen
Ras dan Myc dikombinasikan dengan hipoksia secara sinergis akan meningkatkan ekspresi
VEGF tanpa tergantung pada HIF-1 (HIF-1 independent). Faktor transkripsi NF-kB yang dapat
diaktifkan pada keadaan hipoksia melalui pembentukan ROS dalam mitokondria dapat mengatur
ekspresi VEGF, sedang factor transkripsi Ets dapat mengatur berbagai gen sasaran di arah hilir
dalam sel endotel yang mempromosikan terbentuknya fenotip angiogenik, termasuk diantaranya
peningkatan VEGF-R, urokinase dan berbagai matrix metalloproteinase (MMP) (Kresno, 2012)

VEGF berikatan dengan VEGFR-1 dan VEGFR-2 untuk proses angiogenesis. Pengikatan ini
mengaktifkan jalur pensinyalan yang berakibat peningkatan ekspresi gen yang terlibat dalam
proliferasi dan migrasi sel-sel endotel, mempromosikan ketahanan hidup sel dan permeabilitas
vaskuler. VEGF juga memiliki pengaruh cukup besar dalam pertumbuhan tumor dan
pembentukan edema peritumoral (Ferrara, 2003)

Ekspresi VEGF dalam sel-sel tumor distimulasi oleh hipoksia, onkogen (ras) dan inaktivasi gen
supresor tumor (p53) dan oleh berbagai sitokin. Aktivasi aksis VEGF/VEGF reseptor (VEGFR)
memicu jaringan sinyal multipel yang menghasilkan survival sel endotel, mitogenesis, migrasi,
diferensiasi dan permeabilitas vaskular serta mobilisasi sel-sel progenitor endotel dari sumsum
tulang kesirkulasi perifer. Overekspresi VEGF telah dihubungkan dengan progresivitas tumor
dan prognosis buruk dalam berbagai macam tumor,termasuk karsinoma kolorektal, karsinoma
lambung, karsinoma pankreas, kanker payudara, kanker paru dan melanoma, acutemyeloid
leukemia, karsinoma hepar dan kanker ovarium. (Farhat, 2009)
Tumor padat tergantung pada neovaskularisasi untuk memenuhi kebutuhan metabolisme untuk
pertumbuhan dan perkembangannya, Keluarga dari VEGF adalah yang paling memegang faktor
angiogenik yang paling penting, memiliki peran dalam angiogenesis tumor (Johansson, 2002).

VEGF awalnya dideskripsikan sebagai vascular permeability factor (VPF), suatu protein yang
disekresikan oleh tumor yang dimurnikan dari cairan asites yang disekresi oleh karsinoma hepar
pada babi yang menyebabkan kebocoran vaskular. Secara independen, sebuah faktor dengan sifat
mitogenik untuk sel-sel endotelial, VEGF, diisolasi dari sel-sel folliculostellata dari hipofisis.
Urutan asam amino dari VEGF dan VPF adalah sama, mengindikasikan bahwa dua karakter,
contoh, mitogenisitas sel-sel endotelial dan permeabilitas vaskular, adalah dimiliki oleh molekul
yang sama. VEGF merupakan protein dimerik terglikosilasi dengan ukuran molekul 34 – 45 kDa
yang memiliki stuktur yang sama dengan platelete derived growth factor (PDGF). Beberapa
karakter VEGF menjelaskan bahwa molekul ini terutama bertanggung jawab dalam proses
angiogenesis di bawah kondisi fisiologis dan patologis: VEGF bertindak secara spesifik pada sel-
sel endotelial; merupakan suatu mitogen dan suatu faktor kemotaktik untuk sel-sel endotelial dan
menginduksi produksi protease seperti urokinase-type plasminogen activator dan interstisial
collagenase oleh sel-sel endotelial (Machein & Plate, 2000).

Karakter lain dari VEGF berhubungan dengan permeabilitas mikrovaskular: VEGF


meningkatkan permeabilitas pembuluh darah normal terhadap protein plasma tanpa
menyebabkan cedera sel endotel, degranulasi sel mast, atau respon inflamasi yang signifikan.
Sama dengan histamin dan mediator inflamasi lainnya, VEGF menyebabkan efek pada venul dan
kapiler kecil; efeknya 1000 kali lebih kuat dibandingjan histamin dalam meningkatkan
permeabilitas mikrovaskular. Sama juga seperti histamin, VEGF bertindak secara langsung pada
sel-sel endotelial tetapi tidak pada otot-otot polos kecil, fibroblast, atau neutrofil, melalui
mobilisasi cytosolic calcium. Melalui kapasitasnya untuk menginduksi nitrit oksida, VEGF
mungkin juga memediasi vasodilatasi dan meningkatkan aliran darah yang memulai
angiogenesis (Machein & Plate, 2000).
Pada sel-sel manusia, 4 isoform, seperti VEGF-121, VEGF-165, VEGF189 dan VEGF-206, telah
dideskripsikan, 2 isoform terkecil disekresikan secara efisien dari sel-sel yang memproduksi, di
mana 2 isoform yang besar tetap berhubungan dengan sel-sel. Pada kebanyakan jaringan tubuh
manusia, VEGF165 ditemukan sebagai isoform yang paling banyak. Pada glioblastoma manusia
VEGF-121, VEGF-165 dan BEGF-189 tetapi tidak VEGF-206 dapat dideteksi. Telah
ditunjukkan bahwa BEGF-121 dan VEGF-165 tetapi tidak VEGF-189 dapat menyebabkan
perdarahan intraserebral, menjelaskan bahwa isoform yang berbeda mungkin meniliki fungsi
yang berbeda. Walaupun begitu, signifikansi biologi dari isoform-isoform tersebut masih
diperdebatkan (Machein & Plate, 2000). Keluarga VEGF juga merupakan target yang menarik
untuk strategi pengobatan anti angiogenik. Beberapa pendekatan seperti antibodi monoklonal
VEGF, VEGF receptor kinase inhibitors dan antisense VEGF constructs telah dilaporkan
(Johansson, 2002)

VEGF terikat ke sel-sel endotelial melalui interaksi dengan reseptorreseptor high-affinity tirosine
kinase, flt-1 (VEGFR-1) dan Flk-1/KDR (VEGFR2), ditemukan pada sel-sel endotelial. Ekspresi
selektif dari reseptor VEGF meyakinkan bahwa peran VEGF adalah pada sel-sel endotelial
(Machein & Plate, 2000)

Belakangan, family VEGF dari faktor pertumbuhan telah berkembang dengan tambahan 6
molekul baru: PIGF-1 dan -2 (Placenta growth factor), VEGF-B, VEGF-Cm VEGF-D dan
VEGF-E. VEGF-C terikat secara spesifik pada VEGFR-3 (flt4), yang diekspresikan pada
endotelium limpatik, menjelaskan peran dari sistem VEGF-C/VEGFR-3 dalam perkembangan
vaskular limpatik. Fungsi fisiologis dari faktor-faktor ini sama seperti peranannya dalam
angiogenesis tumor masih belum diketahui secara jelas. Ekspresi VEGF dapat dimodulasi secara
in vitro melalui suatu varietas agen-agen biologi yang relevan, termasuk sitokin-sitokin dan
faktor pertumbuhan Mencakup Interleukin-1β, Transforming Growth Factor-β (TGF-β),
Epidermal Growth Factor (EGF), Platelet-derived growth factor beta (PF-BB), Tumor Promoting
Agent (TPA), Interleukin-6 dan hormon-hormon steroid. Sebagai tambahan, inaktivasi dari p53
atau von Hippel-Lindau tumor supressor gene (VHL) sama seperti aktivasi onkogen seperti ras,
raf atau sre meningkatkan ekspresi VEGF (Machein & Plate, 2000).

Cakupan promotor VEGF telah ditemukan memiliki sejumlah tempat ikatan untuk beberapa
faktor transkripsi seperti AP1, AP2 dan SP1. Hipoksia dan sitokin menginduksi ekspresi VEGF
yang memiliki motif DNA yang spesifik, berlokasi di daerah promotor dari VEGF, yang
merupakan respon dari beberapa stimulus. Namun, dari sudut pandang fisiologi, regulasi dari
VEGF oleh hipoksia adalah yang paling signifikan. Suplai pembuluh darah yang tidak cukup dan
hasil dari reduksi tekanan oksigen jaringan sering menyebabkan neovaskularisasi kompensasi
dalam rangka mencukupi kebutuhan metabolisme jaringan. VEGF yang diinduksi oleh hipoksia
ditemukan sebagai mediator kunci dari respon timbal balik tersebut (Machein & Plate, 2000).
DAFTAR PUSTAKA

Archana.N.K, Maya Ramesh, Sekar.B, Rajathi Arun, Indra Priyadharshini, Ambika., (2018). A
Review on Molecular Markers in the Pathogenesis of Ameloblastoma. Journal of
Advanced Medical and Dental Sciences Research, 6(7):129-133.

Bassey, G.O., Osunde, O.D. and Anyanechi, C.E., (2014). Maxillofacial tumors and tumor-like
lesions in a Nigerian teaching hospital: an eleven year retrospective analysis. African
health sciences, 14(1), pp.56-63.

Bologna-Molina, R., Mosqueda-Taylor, A., Molina-Frechero, N., Mori-Estevez, A.D. and


Sánchez-Acuña, G., (2013). Comparison of the value of PCNA and Ki-67 as markers of
cell proliferation in ameloblastic tumor. Medicina oral, patologia oral y cirugia
bucal, 18(2), p.e174.

Ana Maria Hoyos Cadavid , Juliane Piragine Araujo, Cláudia Malheiros Coutinho-Camillo,
Sheyla Bologna, Celso Augusto Lemos Junior and Silvia Vanessa Lourenço., (2019).
Ameloblastomas: current aspects of the new WHO classification in an analysis of 136
cases. Surgical and Experimental Pathology, 2:17

Dhanuthai, K., Chantarangsu, S., Rojanawatsirivej, S., Phattarataratip, E., Darling, M., Jackson-
Boeters, L., Said-Al-Naief, N., Shin, H.I., An, C.H., Hong, N.T. and An, P.H., (2012).
Ameloblastoma: a multicentric study. Oral surgery, oral medicine, oral pathology and
oral radiology, 113(6), pp.782-788.

Kase, Y., Kasamatsu, A., Saito, T., Koike, K., Iyoda, M., Nakashima, D., Endo ‐Sakamoto, Y.,
Sunohara, M., Shiiba, M., Uzawa, K. and Tanzawa, H., (2019). Diagnostic algorithm for
ameloblastic carcinoma. Oral Science International, 16(3), pp.185-187.

Khan, W., Augustine, D., Rao, R.S., Sowmya, S.V., Haragannavar, V.C. and Nambiar, S.,(2018).
Stem cell markers SOX-2 and OCT-4 enable to resolve the diagnostic dilemma between
ameloblastic carcinoma and aggressive solid multicystic ameloblastoma. Advanced
biomedical research, 7.

Lee, S. K., & Kim, Y. S. (2013). Current concepts and occurrence of epithelial odontogenic
tumors: I. Ameloblastoma and adenomatoid odontogenic tumor. Korean journal of
pathology, 47(3), 191.

Li, J., Du, H., Li, P., Zhang, J., Tian, W. and Tang, W., (2014). Ameloblastic carcinoma: An
analysis of 12 cases with a review of the literature. Oncology letters, 8(2), pp.914-920.
Milman, T., Ying, G. S., Pan, W., & LiVolsi, V. (2016). Ameloblastoma: 25 year experience at a
single institution. Head and neck pathology, 10(4), 513-520.

Patel, S. M., Patel, K. A., Patel, P. R., Gamit, B., Hathila, R. N., & Gupta, S. (2014). Expression
of p53 and Ki-67 in oral dysplasia and squamous cell carcinoma: An immunohistochemical
study. Int J Med Sci Public Health, 3, 1201-4.

Baker, V.V., O. Martinez-Maza., J.S. Berek. 1996. Molecular Biology nad


Genetics.In Gynecology. 12th ed. J.S. Berek., E.Y.Adashi., P.A. Hillard (Eds). USA :
Williams & Wilkins.

Bast, R.C., Kufe, D.W., Pollock, R.E, et al.1998. Cancer Medicine. 5 th ed. Holland:
B.C Deker Inc.

Cotran, R.S., Kumar, V., Collins, T. 1999. Robbins Pathologic Basis of Disease.WB
Saunders Company. Philadelphia. 5th edition. p : 755-756.

Friedman, R.J., Rigel, D.S., Berson, D.S., et al. 1996. Skin Cancer : Basal Cell and Squamous
Cell Carcinoma, In : Clinical Onco-logy. Hottlet, A.H., Fink, D.J, Berson, D.S.,
et al (Eds). New York. American Canter Society.

Fuxe, J. 2001. p16INK4a and p15INK4b in Senescence, Immortalization and


Cancer Gene Transfer by Adenovirus Vectors. Ludwig Institute, Stockhlom
Branch, Departement of Cell Molecular Biology, Karolinska Institute,
Sweden.

Goodman, RS. 1998. Medical Cell Biology. Lippincott-Raven USA. 282-284

Hirama, T. M. Akasi., P.H. Koeffler. 2000. Cyclin-Dependent Kinase and Their Inhibitors
in Haematological Malignansies.

Karp, G. 2002. Cell and Molecular Biology Concepts and Experiment. 3 rd ed. New
York : Jhon Wiley & Sons Inc.

Kastan, MB. 1997. Molecular Biology of Cancer : The Cell Cycle. In De Vita Jr.
Principles and Practice of Oncology. 5th ed. Philadelphia. Lippincott Raven
Pub. 79-100

Krug, U., Ganser, A., Koeffler, H.P., 2002. Tumor Suppressor Gene in Normal and
Malignat Hematopoiesis. Nature Publishing Group. Oncogen 21: 3475-2497

Kurihara, Y., K. Egawa., S. Kunimoto, et al. 2002. Induction of p16/INK4A Gene


Expression and Cellular Senescence by Toyocamycin. Biol Pharm Bull 25
(10) : 1272-1276.
Kumar, V., Cotran, S.R, and Robbins, L.S. 2003. Robbins Basic Pathology. 7thed.
Saunders Philadelphia London Toronoto Montreal Sydney Tokyo. 174-185

Lang, J.C., Borchers, J., Danahey, D, et al. 2002. Mutation Status of


Overexpressed p16 in Head and Neck Cancer : Evidence for Germline Mutation
of p16/p14-ARF. J Oncol 21 : 401-408.

Leong, ASY, Robbins, P., and Spagnalo, DU. 1995. Relevance and Detection System of
Tumor Genes and Their Proteins In Cytologic and Surgical Specimens. Jakarta. Int.
Cancer Conference. 3-26.

Lodish, H., Berk, A., Zipursky, S.L., Matsudaria, P., et al. 1999.
Molecular Cell Biology. 4th ed. WH Freeman and Co Masuda-Robens, J. 2001.
Cell Cycle Regulation. The Departemen of Cell and Developmental Biology.

Matsuda, H., Konisihi, N., Hayashi, I, et al. 1996. Alteration of p16/CDKN2, p53 and
Ras Genes In : Oral Squamous Cell Carcinoma and Premalignant
Lesions. J Oral Pathol Med 25 : 232-238.

Mc Donald, F and Ford, CHJ. 1997. Molecular Biology of Cancer. Oxford. BIOS.
Scientific Pub. 53-7 Naggar, AK., Lai, S., Clayman, GL., Zhou, JH., et al. 1999.
Expression p16, Rb, and Cyclin D1 Gene Products in Oral and Laryngeal Squamous
Carcinoma : Biological and Clinical Implications.Hum Pathol. Sep;30(9):1013-8.

Papadimitrakopoulou, V., Izzo, J., Lippman, S.M. et al. 1997.Frequent


Inactivation of p16INK4a In ̈Oral Premalignant Lesions. Oncogene 14 :
1799-1803. R

egezi, J.A., Jordan, R.C.K. 2001. Oral Cancer in Molecular Age.J Calif Dent Assoc.
29 : 578-584 Weinberg, RA. 1999. How Cancer Arises. Sci Am; 275 (3) : 32-40

Williams, H.K. 2002. Molecular Pathogenesis of Oral Squamous Carcinoma. J Clin Pathol 53 :
167-172

1. Maguer-Satta V., Besanc R. dan Bachelard-Cascales E., 2011, Concise review: Neutral
endopeptidase (CD10): A Multifaceted environment actor in stem cells, physiological
mechanisms, and cancer, Stem Cells, Vol. 29:389–96
2. Iwaya K, Ogawa H, Izumi M. 2002. Stromal expression of CD10 in invasive breast
carcinoma: a new predictor of clinical outcome. Virchows Arch 440:589–593.
3. Petre, N., Vrapciu, A. D., & Rusu, M. C. 2015. Molecular anatomy of CD10. J Contemp
Clin Pract, 1(September), 22–28
4. Hosni, H. N., Abd, A., Aziz, E., Tabak, S. A., & Elsayed, M. 2012.
Immunohistochemical Study of Stromal CD10 Expression in Mammary Duct Carcinoma.
Med. J. Cairo Univ, 80(2), 37–44. https://doi.org/10.1097/01.XEJ.0000436659.06645.59
5. Mishra, D., Singh, S., & Narayan, G. 2016. Role of B Cell Development Marker CD10 in
Cancer Progression and Prognosis. https://doi.org/10.1155/2016/4328697
6. Bachelard-Cascales, E., Chapellier, M., Delay, E., Pochon, G., Voeltzel, T., Puisieux, A.,
Maguer-Satta, V. 2010. The CD10 enzyme is a key player to identify and regulate human
mammary stem cells. Stem Cells (Dayton, Ohio), 28(6), 1081–1088.
https://doi.org/10.1002/stem.435
7. Mohammadizadeh, F., Salavati, M., & Afshar Moghaddam, N. 2012. CD10 expression in
stromal component of invasive breast carcinoma: A potential prognostic determinant.
Journal of Research in Medical Sciences, 17(SUPPL.2), 2–7
8. Stephen, H. M., Khoury, R. J., Majmudar, P. R., Blaylock, T., Hawkins, K., Salama, M.
S., Conway, R. E. 2016. Epigenetic suppression of neprilysin regulates breast cancer
invasion. Oncogenesis, 5(3), e207. https://doi.org/10.1038/oncsis.2016.16

1. Shinji Hirano, Masatoshi Takeichi, Cadherins in Brain Morphogenesis and Wiring, Physiological
Reviews, 92, 2, (2012) 597-634 http://dx.doi.org/10.1152/physrev.00014.2011

2. Natalie K. Lee, Ka Wai Fok, Amanda White, Nicole H. Wilson, Conor J. O'Leary, Hayley L. Cox,
Magdalene Michael, Alpha S. Yap, Helen M. Cooper, Neogenin recruitment of the WAVE
regulatory complex maintains adherens junction stability and tension, Nature Communications,
7, (2016) 11082 http://dx.doi.org/10.1038/ncomms11082

3. Ernawati Sinaga, Seetharama D. S. Jois, Mike Avery, Irwan Makagiansar, Usman S. F. Tambunan,
Teruna J. Siahaan, Modulasi Junction Antar Sel Menggunakan Peptida Kadherin Upaya
Meningkatkan Penghantaran Obat, Makara Journal of Science, 8, 1, (2004) 25-34
http://dx.doi.org/10.7454/mss.v8i1.394

4. VK Mourya, Nazma N Inamdar, Ashutosh Tiwari, Carboxymethyl chitosan and its applications,
Advanced Materials Letters, 1, 1, (2010) 11-33 http://dx.doi.org/10.5185/amlett.2010.3108

5. Hyung Park, Gurusamy Saravanakumar, Kwangmeyung Kim, Ick Chan Kwon, Targeted delivery of
low molecular drugs using chitosan and its derivatives, Advanced Drug Delivery Reviews, 62, 1,
(2010) 28-41 http://dx.doi.org/10.1016/j.addr.2009.10.003

6. Umbiner BM (August 2005). "Regulation of cadherin-mediated adhesion in


morphogenesis". Nature Reviews. Molecular Cell Biology. 6 (8): 622–34. 

7. Aneyhill LA, Schiffmacher AT (June 2017). "Should I stay or should I go? Cadherin function and
regulation in the neural crest". Genesis. 55 (6):
n/a. doi:10.1002/dvg.23028. PMC 5468476. PMID 28253541

8. Einhold WC, Reimers MA, Maunakea AK, Kim S, Lababidi S, Scherf U, et al. (February
2007). "Detailed DNA methylation profiles of the E-cadherin promoter in the NCI-60 cancer
cells". Molecular Cancer Therapeutics. 6 (2): 391–403. doi:10.1158/1535-7163.MCT-06-
0609. PMID 17272646

9. Beavon IR (August 2000). "The E-cadherin-catenin complex in tumour metastasis: structure,


function and regulation".  European Journal of Cancer.  36  (13 Spec No): 1607
20.  doi:10.1016/S0959-8049(00)00158-1.  PMID  10959047
10. Nives Pećina-Šlaus (2003).  "Tumor suppressor gene E-cadherin and its role in normal and
malignant cells".  Cancer Cell Int.  3  (17).  doi:10.1186/1475-2867-3-
17.  PMC  270068.  PMID  14613514.

11. Morales CP, Souza RF, Spechler SJ (November 2002). "Hallmarks of cancer progression in
Barrett's oesophagus".  Lancet.  360  (9345): 1587–9.  doi:10.1016/S0140-6736(02)11569-
8.  PMID  12443613

12. Cavallaro U, Schaffhauser B, Christofori G (February 2002). "Cadherins and the tumour
progression: is it all in a switch?". Cancer Letters. 176 (2): 123–8. doi:10.1016/S0304-
3835(01)00759-5. PMID 11804738

13. Kim HS (1998). "Assignment1 of the human basic fibroblast growth factor gene FGF2 to
chromosome 4 band q26 by radiation hybrid mapping". Cytogenetics and Cell Genetics. 83 (1–2):
73. doi:10.1159/000015129. PMID 9925931. S2CID 33214466
14. Florkiewicz RZ, Shibata F, Barankiewicz T, Baird A, Gonzalez AM, Florkiewicz E, Shah N
(December 1991). "Basic fibroblast growth factor gene expression". Annals of the New York
Academy of Sciences. 638 (1): 109–26. doi:10.1111/j.1749-
6632.1991.tb49022.x. PMID 1785797. S2CID 45425517
15. Coleman SJ, Bruce C, Chioni AM, Kocher HM, Grose RP (August 2014). "The ins and outs of
fibroblast growth factor receptor signalling". Clinical Science. 127 (4): 217–
31. doi:10.1042/CS20140100. PMID 24780002
16. Kühn MC, Willenberg HS, Schott M, Papewalis C, Stumpf U, Flohé S, Scherbaum WA, Schinner
S (February 2012). "Adipocyte-secreted factors increase osteoblast proliferation and the
OPG/RANKL ratio to influence osteoclast formation". Molecular and Cellular
Endocrinology. 349 (2): 180–
8. doi:10.1016/j.mce.2011.10.018. PMID 22040599. S2CID 2305986
17. Pereira RC, Economides AN, Canalis E (December 2000). "Bone morphogenetic proteins induce
gremlin, a protein that limits their activity in osteoblasts". Endocrinology. 141 (12): 4558–
63. doi:10.1210/en.141.12.4558. PMID 11108268. Archived from the original on 2012-07-11.
18. Liu Y, Song Z, Zhao Y, Qin H, Cai J, Zhang H, Yu T, Jiang S, Wang G, Ding M, Deng H (July
2006). "A novel chemical-defined medium with bFGF and N2B27 supplements supports
undifferentiated growth in human embryonic stem cells". Biochemical and Biophysical Research
Communications. 346 (1): 131–9. doi:10.1016/j.bbrc.2006.05.086. PMID 16753134
19. Lee TJ, Jang J, Kang S, Jin M, Shin H, Kim DW, Kim BS (January 2013). "Enhancement of
osteogenic and chondrogenic differentiation of human embryonic stem cells by mesodermal
lineage induction with BMP-4 and FGF2 treatment". Biochemical and Biophysical Research
Communications. 430 (2): 793–7. doi:10.1016/j.bbrc.2012.11.067. PMID 23206696
20. Del Angel-Mosqueda C, Gutiérrez-Puente Y, López-Lozano AP, Romero-Zavaleta RE,
Mendiola-Jiménez A, Medina-De la Garza CE, Márquez-M M, De la Garza-Ramos MA
(September 2015). "Epidermal growth factor enhances osteogenic differentiation of dental pulp
stem cells in vitro". Head & Face Medicine. 11: 29. doi:10.1186/s13005-015-0086-
5. PMC 4558932. PMID 26334535
21. Bong SM, Bae SH, Song B, Gwak H, Yang SW, Kim S, Nam S, Rajalingam K, Oh SJ, Kim TW,
Park S, Jang H, Lee BI (June 2020). "Regulation of mRNA Export Through API5 and Nuclear
FGF2 Interaction". Nucleic Acids Research. 48 (11): 6340–
6352. doi:10.1093/nar/gkaa335. PMC 7293033. PMID 32383752
Farhat. (2009). Vascular Endothelial Growth Factor pada Karsinoma Nasofaring. Majalah Kedokteran
Nusantara Vol 42 No 1 , 59-65
Johannessen, A. L., & Torp, S. H. (2006). The clinical value of Ki-67/MIB-1 labeling index in human
astrocytomas. Pathology Oncology Research : POR, 12(3), 143–147
Machein, M. R., & Plate, K. H. (2000). VEGF in brain tumors. Journal of NeuroOncology, 50(1-2), 109–
120.
Kumar V, Abbas A, Fausto N, Aster J. Tissue renewal, repair, regeneration.In: Robbin and cotran
pathologic basis of disease.8th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier.2010.p79-109.
Neufeld G, Cohen T, Gengrinovitch S, Poltorak Z. Vascular endothelial growth factor (VEGF) and its
receptors.FASEB J.2004;13:9-22.
Kresno SB. Angiogenesis. In: Ilmu Dasar Onkologi. 3th ed. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2012. p 344-68
Ferara N, Gerber HP, Lecouter J. The biology of VEGF and its receptor. Nature Medicine. 2003;9:699-78
22.

Anda mungkin juga menyukai