Anda di halaman 1dari 7

Pagi ini Abby bangun lebih lambat mengingat hari ini adalah

hari Minggu. Aroma sedap dari rumah Bibi Hanna membuat


Abby terbangun dan merasa lapar. Rumah Bibi Hanna terletak
di samping kanan rumah Abby, hanya terpisah jarak delapan
meter. Oleh karena itu, kepul asap dari dapur Bibi Hanna selalu
tercium dari kamar Abby yang terletak di lantai dua.

Kebetulan jendela kamar Abby menghadap langsung ke rumah


tetangganya itu. Saat Abby membuka jendela, ia langsung
disuguhi pemandangan rumah kayu cantik milik Bibi Hanna.
Abby dapat melihat cerobong rumah Bibi Hanna mengeluarkan
asap yang Abby pastikan berasal dari sup panekuk dengan
aromanya yang khas.

Mengalihkan pandangannya ke halaman depan, Abby melihat


puluhan bunga mawar putih milik Bibi Hanna sudah mulai
mekar. Bibi Hanna tidak pernah gagal merawat bunga-
bunganya. Bulan lalu, ia berhasil menumbuhkan puluhan bunga
hyacinthus berwarna ungu, warna kesukaan Abby. Bibi Hanna
membagikan beberapa batang kepada keluarga Abby untuk
dijadikan hiasan meja tamu, yang berujung Abby curi untuk
dijadikan hiasan meja belajarnya.

Selain memiliki halaman depan yang cantik, Bibi Hanna juga


memiliki kebun kecil di belakang rumahnya. Ia menanam
berbagai jenis buah dan sayur. Hasil berkebunnya pun bagus,
jarang ada yang gagal. Ketika Ibu Abby ingin membeli, Bibi
Hanna justru memberikannya dengan suka rela, tidak mau
dibayar kecuali Ibu Abby terus memaksa.

Sura derit pintu kayu terdengar. Terlihat Bibi Hanna keluar


dengan membawa semangkuk sup panekuk yang Abby pastikan
akan diantarkan ke rumahnya. Dua kucing milik Bibi Hanna ikut
keluar dan mengikutinya dari belakang. Nama mereka adalah
Lucy dan Leo. Abby sering memberi mereka makan diam-diam.
Abby pun segera turun bergabung dengan anggota keluargnya
yang sudah berkumpul di ruang tengah. Keluarga Abby tidak
memiliki kebiasaan sarapan bersama. Apalagi Ayah dan kakak
laki-laki Abby tidak suka menyantap makanan di pagi hari.
Mungkin jika sedang ingin, Abby dan ibunya akan sarapan
berdua.

Ketukan dari pintu utama membuat Ayah Abby menurunkan


koran dan beranjak untuk melihat siapa yang datang.

“Itu Bibi Hanna, Yah.” Abby memberi tahu Ayahnya.

“Bibi Hanna masak apa hari ini?” Tanya kakak laki-laki Abby,
Steven. Laki-laki itu sedang memperbaiki roda papan luncurnya.

“Sup panekuk kesukaanmu,” jawab Abby singkat seraya duduk


di sofa.

“Yes!”

Ayah Abby masuk dengan membawa semangkuk sup yang


masih hangat. Aromanya sangat menggoda perut.

“Hanna tidak masuk?” Tanya Ibu Abby yang baru saja muncul
dari dapur.

“Tidak. Sepertinya sedang tidak enak badan, tidak terlihat segar


seperti biasanya,” jawab Ayah Abby.

Ketika Bibi Hanna sakit, Abby merasa kasihan kepadanya. Bibi


Hanna tinggal seorang diri. Suami dan anak perempuannya
meninggal dalam kecelakaan tunggal delapan tahun lalu, saat
Abby berumur dua tahun. Abby tahu Bibi Hanna sangat sedih,
tetapi Bibi Hanna selalu terlihat baik-baik saja.

Mengurus rumah, halaman, dan kebun sendirian memerlukan


tenaga yang besar. Apalagi Bibi Hanna sudah agak tua,
pergerakannya jadi semakin lambat. Oleh karena itu, jika Ayah
Abby sedang tidak berangkat bekerja, ia sering menawarkan
bantuan untuk menggarap tanah yang akan Bibi Hanna tanami
benih.

Abby hampir tidak pernah melihat keluarga besar Bibi Hanna


berkunjung. Ibunya berkata beberapa kali adik perempuan Bibi
Hanna pernah datang, tetapi hanya sebentar, Abby sedang
berada di sekolah waktu itu.

“Kenapa adik Bibi Hanna tidak pernah datang lagi?” Abby


bertanya tiba-tiba.

“Dia dapat posisi strategis di bank, jelas sangat sibuk. Hanya dia
yang mau menengok, itu pun tidak sering. Merry, Adik
perempuan Hanna yang paling bungsu justru tidak pernah
datang. Terakhir dia datang ketika anak dan suami Hanna
meninggal,” jelas Ibu Abby.

“Bukankah dia dibawa suaminya ke luar negeri?” Tanya Ayah


Abby. Abby cukup menyimak percakapan mereka.

“Kabarnya begitu. Padahal dulu Hanna sangat tulus merawat


mereka ketika orang tua mereka sudah tidak ada.” Ibu Abby
menghela nafas, mimik wajahnya terlihat sedih, “sekarang, tidak
ada satu pun dari mereka yang merawat Hanna. Padahal akhir-
akhir ini penyakitnya sering kambuh,” sambungnya.

“Bibi Hanna yang malang,” Abby menyahut.

***

Setelah makan siang, Abby dan ibunya pergi ke rumah Bibi


Hanna. Mengunjungi rumah Bibi Hanna selalu menyenangkan
bagi Abby, tetapi ia tidak terlalu sering pergi ke sana. Bibi
Hanna tidak mudah untuk diajak berbicara sehingga Abby
sedikit segan.
Saat mereka memasuki rumah Bibi Hanna, ia terlihat sedang
duduk di sebuah kursi rotan. Tangannya sedang menggarap
sebuah rajutan yang masih setengah jadi.

“Kau kurang istirahat, masih saja menggarap sesuatu,” ucap Ibu


Abby sambil meletakkan keranjang rotan berisi roti buatannya
di meja.

“Merry ulang tahun minggu depan,” sahut Bibi Hanna. Ia


menurunkan rajutannya dan mempersilakan Ibu Abby untuk
duduk.

Abby, seperti biasa lebih memilih melihat-lihat rangkaian bunga


buatan Bibi Hanna. Ternyata sudah ada beberapa mawar putih
yang Bibi Hanna petik. Ia rangkai mawar putih itu dengan
beberapa tanaman lain sehingga hasilnya terlihat sangat cantik.

“Dia saja tidak pernah datang, Hanna,” ucap Ibu Hanna sedikit
sengit.

“Nanti juga datang,” jawab Bibi Hanna singkat. Suaranya


terdengar lirih.

Setiap tahun, Bibi Hanna selalu menyiapkan hadiah untuk kedua


adiknya. Anna selalu mengambil hadiah itu jika sempat
berkunjung, sedangkan delapan hadiah milik Merry tidak pernah
dijemput oleh penerimanya.

“Ada sweater untuk Abby,” ucap Bibi Hanna tiba-tiba.

“Oh?” Abby menoleh kaget. Bibi Hanna memang sering


memberikan sesuatu, tetapi baru kali ini ia dibuatkan sebuah
sweater.
“Untuk berkemah.” Bibi Hanna berkata. Ia menyerahkan
sweater dengan perpaduan warna ungu dan putih yang sudah ia
lipat rapi. Abby dengan senyum lebar menerima hadiah itu.

Besok Senin, sekolah Abby mengadakan perkemahan selama


tiga hari. Di cuaca yang sedang dingin seperti sekarang, tentu
sweater menjadi barang yang akan sangat berguna nanti.

“Terima kasih Bibi Hanna,” ucap Abby dengan tulus.

Setelah pulang dari rumah Bibi Hanna, Abby langsung sibuk


menyiapkan barang-barang yang akan dibawanya besok. Ia juga
tidak sabar memakai sweater buatan Bibi Hanna saat berkemah
nanti.

Abby tak tahu bahwa hari itu adalah hari terakhir ia melihat
wanita itu.

***

Pulang dengan mata berkaca-kaca, Abby melihat sudah banyak


tetangga yang mengerubungi rumah Bibi Hanna. Tiga hari
bersenang-senang di perkemahan, Abby tidak menyangka akan
pulang dengan perasaan duka.

Bibi Hanna dikabarkan meninggal tadi pagi. Ibu Abby yang


menemaninya di waktu-waktu terakhir. Dokter yang Ayah Abby
telepon baru datang setelahnya. Bibi Hanna tidak dapat
diselamatkan.

Masih menggunakan sweater buatan Bibi Hanna, Abby


menerobos masuk ke rumah kayu itu. Di dalam sana suara
tangis terdengar dari beberapa sanak saudara Bibi Hanna.
Mereka baru saja datang dari kota.
Abby menghampiri Steven yang terdiam di pojok ruangan. Di
samping Steven, terdapat Lucy dan Leo yang terlihat ikut
kehilangan pemiliknya. Abby melihat kamar Bibi Hanna masih
ramai. Ia urungkan niatnya untuk masuk ke sana.

“Adiknya datang?” Tanya Abby lirih.

“Baru dia yang datang.” Steven menunjuk seorang perempuan


yang baru keluar dari kamar Bibi Hanna. Matanya bengkak.

“Yang satunya?” Abby bertanya lagi.

“Masih dalam perjalanan. Mungkin nanti malam sampai,” jawab


Steven.

***

Proses pemakaman dilakukan pada malam hari, menunggu adik


Bibi Hanna yang terakhir datang. Merry datang dengan raut
wajah penuh penyesalan. Ketika tubuh Bibi Hanna
dikebumikan, ia tidak berhenti menangis. Ucapan maaf tak
pernah berhenti dari mulutnya.

Sepulang dari pemakaman, Abby melihat Merry duduk


menyendiri. Matanya kosong. Apalagi setelah mendapatkan
delapan tumpukan hadiah di hadapannya. Yang terbaru, sebuah
syal yang Bibi Hanna rajut kemarin. Hasilnya sangat rapi
walaupun dikerjakan dalam kondisi sakit.

“Ibu merasa kasihan,” ujar Ibu Abby pelan.

Abby menoleh dan menjawab, “kenapa?”

“Selama ini, Hanna mengharapkan hadiah hadiah itu dapat


mempertemukannya dengan Merry. Hanna tak ingin mengirim
hadiah itu, ia ingin Merry lah yang mengambilnya ke sini. Tapi,
Merry selalu punya alasan untuk berkunjung. Selalu begitu
setiap tahun.” Ibu Abby menghela nafas, “siapa sangka,
kepergian Hanna lah yang akhirnya membuat Merry datang,”
lanjutnya.

Abby terdiam, turut merasakan penyesalan dari cerita ibunya.


“Bibi Hanna akan senang melihat Merry akhirnya menerima
hadiah-hadiah itu,” ucap Abby kepada ibunya.

“Hanna pasti senang. Ia tak pernah membenci adik-adiknya.”

Anda mungkin juga menyukai