FILSAFATNNYA
A. Pendahuluan
Ketika filsafat Islam dibicarakan, maka terbayang disana hadir beberapa tokoh
yang disebut sebagai filosof muslim seperti Al-Kindi, Ibnu Sina, Al-Farabi, Ibnu
Rusyd, Al-Ghazali, dan seterusnya. Kehadiran para tokoh ini memang tidak bisa
dihindarkan, tidak saja karena dari merekalah kita dapat mengenal filsafat islam,
akan tetapi juga karena pada mereka benih-benih filsafat Islam dikembangkan.
B. Al-Ghazali
Nama asli Imam al-Ghazali ialah Muhammad bin Ahmad, Al-Imamul Jalil, Abu
Hamid Ath Thusi Al-Ghazali. Lahir di Thusi daerah Khurasan wilayah Persia
tahun 450 H (1058 M). Pekerjaan ayah Imam Ghazali adalah memintal benang
dan menjualnya di pasar-pasar. Ayahnya termasuk ahli tasawuf yang hebat,
sebelum meninggal dunia, ia berwasiat kepada teman akrabnya yang bernama
Ahmad bin Muhammad Ar Rozakani agar dia mau mengasuh al-Ghazali. Maka
ayah Imam Ghazali menyerahkan hartanya kepada ar-Rozakani untuk biaya hidup
dan belajar Imam Ghazali.[1]Ia wafat di Tusia, sebuah kota tempat kelahirannya
pada tahun 505 H (1111 M) dalam usianya yang ke 55 tahun.
Pada masa kecilnya ia mempelajari ilmu fiqh di negerinya sendiri pada Syekh
Ahmad bin Muhammad Ar-Rozakani (teman ayahnya yang merupakan orang tua
asuh al-Ghazali), kemudian ia belajar pada Imam Abi Nasar Al-Ismaili di negeri
Jurjan. Setelah mempelajri beberapa ilmu di negerinya, maka ia berangkat ke
Naishabur dan belajar pada Imam Al-Haromain. Di sinilah ia mulai
menampakkantanda-tanda ketajaman otaknya yang luar biasa dan dapat
menguasai beberapa ilmu pengetahuan pokok pada masa itu seperti ilmu matiq
(logika), falsafah dan fiqh madzhab Syafi’i. Karena kecerdasannya itulah Imam
Al-Haromain mengatakan bahwa al-Ghazali itu adalah ”lautan tak bertepi...”.[2]
Dalam suasana kritis itulah, Al-Ghazali di minta oleh Khalifah Mustadhir Bilah
(Masa Bani Abbasiyah) untuk terjun dalam dunia politik dengan menggunakan
penanya. Menurutnya, tidak ada pilihan, kecuali memenuhi permintaan Khalifah
tersebut. Ia kemudian tampil dengan karangannya yang berjudul Fadha’il Al-
Bathiniyah wa Fadha’il Al-Mustadhhiriyah (tercelanya aliran Bathiniyah dan
baiknya pemerintahan Khalifah Mustadhhir) yang disingkat dengan judul
Mustadhhiry. Buku itupun disebarluaskan di tengah masyarakat umum, shingga
simapti masyarakat terhadap pemerintahan Abbasiyah kala itu dapat direbut
kembali. Kemudian timbullah gerakan menentang aliran Bathiniyah, tetapi
sebaliknya pula, gerakan Bathiniyah ini tidak berhenti untuk menjalankan
pengaruhnya untuk membuat kekacauan.[7]
Sebagai seorang ulama dan pemikir dalam dunia Islam, tentunya ia sangat tekun
untuk menulis kitab. Jumlah kitab yang ditulis al-Ghazali sampai sekarang belum
disepakati secara definitif oleh para penulis sejarahnya. Menurut Ahmad Daudy,
penelitian paling akhir tentang berapa jumlah buku yang dikarang oleh al-Ghazali
seperti halnya yang dilakukan oleh Abdurrahman Al-Badawi, yang hasilnya
dikumpulkan dalan satu buku yang berjudul Muallafat Al-Ghazali.Dala buku
tersebut, Abdurrahman mengklasifikasikan kitab-kitab yang ada hubungannya
dengan karya al-Ghazali dalam tiga kelompok. Pertama, kelompok kitab yang
dapat dipastikan sebagai karya al-Ghazali yang terdiri atas 72 buah kitab. Kedua,
kelompok kitab yang diragukan sebagai karyanya yang asli terdiri atas 22 kitab.
Ketiga, kelompok kitab yang dapat dipastikan bukan karyanya, terdiri atas 31
buah kitab.[9]
Mengenai kitab-kitab yang ditulis oleh al-Ghazali meliputi bidang ilmu yang
populer pada zamannya, di antaranya tentang tafsir al-Qur’an, ilmu kalam, ushul
fiqh, fiqih, tasawuf, mantiq, falsafat, dan lainnya.
Ini merupakan kitab paling terkenal yang dikarangnya selama beberapa tahun
dalam keadaan berpindah-pindah antara syam, Yerussalem, Hijaz dan Yus, dan
yang berisi paduan indah antara fiqh, tasawuf dan falsafat, bukan saja terkenal di
kalangan kaum muslimin, tetapi juga di dunia Barat dan luar Islam.
b. Tahafut al-Falasifah (menerangkan pendapat para filsuf ditinjau dari segi
agama).
Kedua kitab ini , yaitu Tahafut al-Falasifah dan Al-Munqidz min Adh-Dhalal
merupakan kitab yang memuat di dalamnya tentang permasalahan adanya
peperangan dari kalangan fuqaha dan tasawuf (Ibnu Rusyd), disebabkan sikap al-
Ghazali yang menentang para filosof Islam, bahkan ia sampai mengkafirkan
dalam tiga hal, yaitu :
Dalam buku ini, juga menyepakti bahwa persoalan yang tiga hal dalam kitab
Tahafut al-Falasifah dan Al-Munqidz min Adh-Dhalal menjadi kepercayaan
orang-orang tasawuf juga. Bahkan dalam bukunya Al-Madhum ‘ala Ghairi Ahlihi,
ia mengakui qadimnya alam.
j. Al-Mustadhhir,
a. Metafisika
Al-Ghazali meneliti kerja para filsuf dengan metodenya yang rasional, yang
mengandalkan akal untuk memperoleh pengetahuan yang meyakinkan. Dia pun
menekuni bidang filsafat secara otodidak sampai menghasilkan beberapa karya
yang mengangkatnya sebagai filsuf. Tetapi hasil kajian ini mengantarkannya
kepada kesimpulan bahwa metode rasional para filsuf tidak bisa dipercaya untuk
memberikan suatu pengetahuan yang meyakinkan tentang hakikat sesuatu di
bidang metafisika (ilahiyyat) dan sebagian dari bidang fisika (thabi’iyat) yang
berkenaan dengan akidah Islam. Meskipun demikian, Al-Ghazali tetap
memberikan kepercayaan terhadap kesahihan filsafat-filsafat di bidang lain,
seperti logika dan matematika.
Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, bahwa ada pemikiran tentang filsafat
metafisika yang menurut al-Ghazali sangat berlawanan dengan Islam, dan
karenanya para filosof dinyatakan kafir. Hal ini akan lebih dijelaskan dalam
bagian selanjutnya.
Mengenai kejadian alam dan dunia, Al-Ghazali berpendapat bahwa dunia itu
berasal dari iradat (kehendak) tuhan semat-mata, tidak bisa terjadi dengan
sendirinya. Iradat tuhan itulah yang diartikan penciptaan. Iradat itu menghasilkan
ciptaan yang berganda, di satu pihak merupakan undang-undang, dan di lain pihak
merupakan zarah-zarah (atom-atom) yang masih abstrak. Penyesuaian antara
zarah-zarah yang abstrak dengan undang-undang itulah yang merupakan dunia
dan kebiasaanya yang kita lihat ini.
Iradat tuhan adalah mutlak, bebas dari ikatan waktu dan ruang, tetapi dunia yang
diciptakan itu seperti yang dapat ditangkap dan dikesankan pada akal (intelek)
manusia, terbatas dalam pengertian ruang dan waktu. Al-Ghazali menganggap
bahwa tuhan adalah transenden, tetapi kemauan iradatnya imanen di atas dunia
ini, dan merupakan sebab hakiki dari segala kejadian.[11]
Pengikut Aristoteles, menamakan suatu peristiwa sebagai hukum pasti sebab dan
akibat (hukum kausalitas), sedangkan Al-Ghazali seperti juga Al-Asy’ari
berpendapat bahwa suatu peristiwa itu adalah iradat Tuhan, dan Tuhan tetap
bekuasa mutlak untuk menyimpangkan dari kebiasaan-kebiasaan sebab dan akibat
tersebut. Sebagai contoh, kertas tidak mesti terbakar oleh api, air tidak mesti
membasahi kain. Semua ini hanya merupakan adat (kebiasaan) alam, bukan suatu
kemestian. Terjadinya segala sesuatu di dunia ini karena kekuasaan dan kehendak
Allah semata. Begitu juga dengan kasus tidak terbakarnya Nabi Ibrahim ketika
dibakar dengan api. Mereka menganggap hal itu tidak mungkin, kecuali dengan
menghilangkan sifat membakar dari api ituatau mengubah diri (zat) Nabi Ibrahim
menjadi suatu materi yang tidak bisa terbakar oleh api.[12]
c. Etika
Mengenai filsafat etika Al-Ghazali secara sekaligus dapat kita lihat pada teori
tasawufnya dalam buku Ihya’ ‘Ulumuddin. Dengan kata lain, filsafat etika Al-
Ghazali adalah teori tasawufnya itu. Mengenai tujuan pokok dari etika Al-Ghazali
kita temui pada semboyan tasawuf yang terkenal “Al-Takhalluq Bi Akhlaqihi ‘Ala
Thaqah al-Basyariyah, atau Al-Ishaf Bi Shifat al-Rahman ‘Ala Thaqah al-
Basyariyah”. Maksudnya adalah agar manusia sejauh kesanggupannya meniru
perangai dan sifat-sifat ketuhanan seperti pengasih, pemaaf, dan sifat-sifat yang
disukai Tuhan, jujur, sabar, ikhlas dan sebagainya.
Bagi Al-Ghazali, taswuf bukanlah suatu hal yang berdiri sendiri terpisah dari
syari’at, hal ini nampak dalam isi ajaran yang termuat dalam kitab Ihya’nya yang
merupakan perpaduan harmonis antara fiqh, tasawuf dan ilmu kalam yang berarti
kewajiban agama haruslah dilaksanakan guna mencapai tingkat kesempurnaan.
Dalam melaksanakan haruslah dengan penuh rasa yakin dan pengertian tentang
makna-makna yang terkandung di dalamnya.[13]
”...sumber kekufuran manusia pada saat itu adalah terpukau dengan nama-nama
filsuf besar seperti Socrates, Epicurus, Plato, Aristoteles dan lain-lainnya ...,
mereka mendengar perilaku pengikut filsuf dan kesesatannya dalam menjelaskan
intelektualitas dan kebaikan prinsip-prinsipnya, ketelitian ilmu para filsuf di
bidang geometri, logika, ilmu alam, dan telogi ..., mereka mendengar bahwa para
filsuf itu mengingkari semua syari’at dan agama, tidak percaya pada dimensi-
dimensi ajaran agama. Para filsuf menyakini bahwa agama adalah ajaran-ajaran
yang disusun rapi dan tipu daya yang dihiasi keindahan ...”[14]
Mereka adalah para filosof yang menyangkal adanya Tuhan. Sementara itu,
kosmos ini ada dengan sendirinya.
Mereka adala para filosof yang melaksanakan berbagai penelitian di alam ini.
Melalui penyelidikan-penyelidikan tersebut mereka cukup banyak menyaksikan
keajaiban-keajaiban dan memaksa mereka untuk mengakui adanya Maha Pencipta
di alam raya ini. Kendatipun demikian, mereka tetap mengingkari Allah dan
Rasul-Nya dan Hari berbangkit. Mereka tidak mengenal pahala dan dosa sebab
mereka hanya memuaskan nafsu seperti hewan.
Dalam bidang Ke-Tuhanan, al-Ghazali memandang para filosof sebagai ahl al-
bid’at dan kafir. Kesalahan para filosof tersebut diterangkan oleh al-Ghazali
dalam bukunya Tahafut al-Falasifah, dan ia membaginya menjadi 20 bahagian,
antara lain:
7. Membatalkan pendapat mereka bahwa Allah tidak terbagi ke dalam al-jins
dan al-fashl,
10. Menjelaskan pernyataan mereka tentang al-dhar (kekal dalam arti tidak
bermula dan tidak berakhir),
15. Membatalkan apa yang mereka sebutkan tentang tujuan penggerak dari
planet-planet,
18. Menjelaskan pendapat mereka bahwa roh manusia adalah jauhar (substansi)
yang berdiri sendiri tidak mempunyai tubuh,
20. Membatalkan pendapat mereka yang menyatakan bahwa tubuh tidak akan
dibangkitkan dan yang akan menerima kesenangan dalam surga dan kepedihan
dalam nereka hanya roh. [16]
Kemudian al-Ghazali menjelaskan lagi, dari 20 masalah tersebut ada tiga hal yang
bisa menyebabkan seorang filosof itu menjadi kafir, antara lain :
Para filosof muslim di kala itu mengatakan bahwa alam ini qadim. Sebab
qadimnya Tuhan atas alam sama halnya dengan qadimnya illat atas ma’lulnya
(ada sebab akibat), yakni dari zat dan tingkatan, juga dari segi zaman. Alasan dari
para filosof itu adalah tidak mungkin wujud yang lebih dahulu, yaitu alam, keluar
dari yang qadim (Tuhan), karena dengan demikian berarti kita bisa
membayangkan bahwa yang qadim itu sudah ada, sedangkan alam belum ada.
Menurut al-Ghazali, bila alam itu dikatakan qadim (tidak mempunyai permulaan
atau tidak pernah ada) maka mustahil dapat dibayangkan bahwa alam itu
diciptakan oleh Tuhan. Jadi, paham qadimnya alam membawa pada kesimpulan
bahwa alam itu ada dengan sendirinya. Tidak diciptakan Tuhan dan ini berarti
bertentangan dengan ajaran al-Qur’an yang jelas menyatakan bahwa Tuhanlah
yang menciptakan segenap alam (langit, bumi, dan segala isinya). Bagi al-
Ghazali, alam haruslah tidak qadim dan ini berarti pada awalnya Tuhan ada,
sedangkan alam tidak ada, kemudian Tuhan menciptakan alam maka alam ada di
samping adanya Tuhan.[17]
Al-Ghazali juga menjawab argumen filosof-filosof mulsim itu. Katanya; tidak ada
halangan apa pun bagi Allah menciptakan alam sejak azali dengan iradah-Nya
yang qadim pada waktu diadakan-Nya. Sementara itu, ketiadaan wujud alam
sebelumnya karena memang belum dikehendaki-Nya. Iradah menurut al-Ghazali
adalah suatu sifat bagi Allah berfungsi membedakan (memilih) sesuatu dari
lainnya yang sama. Jika tidak demikian fungsinya, tentu bagi Allah cukup saja
dengan sifat qudrat. Akan tetapi, karena sifat qudrat antara mencipta dan tidaknya
sama kedudukannya, harus ada suat sifat khusus yang membedakannya, yaitu sifat
iradah. Andaikata para filosof Muslim menganggap sifat tersebut tidak tepat
disebut sebagai iradah, dapat diberi nama lain asal itu yang dimaksud atau dengan
arti sama. Sekedar istilah tidak perlu diperdebatkan, yang penting adalah isinya.
[18]
Sebenarnya perbedaan yang terjadi pada al-Ghazali dan tentang qadimnya alam
hanya sebuah perbedaan penafsiran antara teolog Muslim dan filosof Muslim.
Memang filosof Muslim berkeyakinan bahwa penciptaan dari tiada (nihil) adalah
suatu kemustahilan. Dari nihil yang kosong, tidak bisa timbul sesuatu. Hal yang
terjadi ialah sesuatu yang diubah menjadi sesuatu yang lain. Justru itu materi asal
(al-hayula alula), yang darinya alam ini disusun, mesti qadim. Materi asal ini
diciptakan Allah secara emanasi sejak qadim dan tidak di batasi oleh zaman. Oleh
karena itu, apa yang diciptakan semenjak qidam dan azali tentu ia qidam dan
azali. Justru itu alam ini qidam pula. Interprestasi filosof Muslim ini sudah jelas
lebih liberal dari teolog Muslim dan juga dipengaruhi oleh ilmu alam, yakni
antara sebab dan musabab tidak ada perbedaan. Allah menciptakan alam semenjak
azali, berarti materinya berasal dari energi yang qadim. Sementara susunan materi
yang menjadi alam adalah baru. Agaknya, interprestasi ini sejalan dengan ilmu
fisika modren.[20]
Menurut ilmu fisika modren, antara energi dan materi tidak bisa lagi ditarik garis
pemisah yang tegas, energi dapat berubah menjadi materi dan materi dapat
berubah menjadi energi. Dengan kata lain, energi ialah materi yang
direnggangkan, sedangkan materi adalah energi yang dipadatkan.[21]
c. Tuhan tidak mengetahui yang juz’iyyat (hal-hal yang terperinci/kecil) yang
terjadi di alam.
Dalil pertama:
ُ ِهُودًا إِ ْذ تُفM ٍل إِال ُكنَّا َعلَ ْي ُك ْم ُشMونَ ِم ْن َع َمMMُرْ آ ٍن َوال تَ ْع َملMُهُ ِم ْن قMو ِم ْنMMَُو َما تَ ُكونُ فِي َشأْ ٍن َو َما تَ ْتل
اMM ِه َو َمMونَ فِيMيض
ين
ٍ ِب ُمب ٍ اMMَ َر إِال فِي ِكتMَكَ َوال أَ ْكبMMِ َغ َر ِم ْن َذلMصْ َ َما ِء َوال أMالس
َّ ض َوال فِي ِ ْا ِل َذ َّر ٍة فِي األرMMَك ِم ْن ِم ْثق َ ِّيَ ْع ُزبُ ع َْن َرب
Artinya: ”Kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat
dari Al Quran dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan kami
menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya. tidak luput dari pengetahuan
Tuhanmu biarpun sebesar zarrah (atom) di bumi ataupun di langit. tidak ada yang
lebih kecil dan tidak (pula) yang lebih besar dari itu, melainkan (semua tercatat)
dalam Kitab yang nyata (Lauh mahfuzh).”(Q.S. Yunus: 61)
Dalil kedua :
Dalam ayat ini jelaslah bahwa Allah Maha Tahu atas segala sesuatu. berbeda
dengan Ibnu Rusyd yang mengatakan Tuhan hanya tahu yang universal, bukan
perkara yang kecil (partikular). Tudingan al-Ghazali ini berbentuk sebuah ucapan
seperti di bawah ini :
Yang menjadi persoalan adalah pernyataan mereka (para filsafat) ”Tuhan yang
Mahamulia mengetahui hal-hal yang bersifat universal, tetapi tidak hal-hal yang
bersifat partikular” pernyataan ini jelas-jelas telah menyelewengkan dalil-dalil di
atas, ini menunjukkan ketidakberimanannya mereka. Maka yang benar adalah
”tidak ada sebutir atom pun di langit maupun di bumi yang luput dari
pengetahuan-Nya.” [23]
Kalau dilihat pendapat Ibnu Rusyd maka akan berlawanan, menurut Ibnu Rusyd;
pengetahuan Allah tidak dapat dikatakan juz’i (parsial) dan kully (umum). Juz’i
adalah satuan yang ada di alam yang berbentuk materi dan materi hanya bisa
ditangkap dengan pancaindera. Kully, mencakup berbagai jenis (nu’). Kully
bersifat abstrak, hanya dapat diketahui melalui akal. Allah bersifat imateri
(rohani), tentu saja pada zat-Nya tidak terdapat pancaindera untuk mengetahui
yang parsial. Oleh karena itu, kata Ibnu Rusyd, tidak ada para filosof muslim yang
mengatakan ilmu Allah bersifat juz’i dan kully.[24]
Banyak dari para filosof berpendapat bahwa yang akan dibangkitkan nantinya di
alam akhirat adalah rohani semata, sedangkan jasmani (jasad) akan hancur. Maka
dari itu, ketika di akhirat nanti, tentang adanya kebahagiaan ataupun kepedihan di
sana yang dapat merasakan adalah rohani. Sedangkan jasmani (jasad) merasakan
kebahgiaan dan kepedihan hanya saat di dunia saja.
Kesesuaian suasana rohani maka ketika dibangkitkan nanti saat di akhirat bersifat
rohani pula. Akan tetapi, kebangkitan jasmani tidak sampai ke akhirat atau
dikembalikan. Dalam mengulas alasan-alasan, mereka mengemukakan bahwa
pengembalian jasad memiliki tiga kemungkinan. Pertama, manusia terdiri atas
badan dan kehidupan, ini sama halnya seperti dikatakan oleh sebagian ulama
kalam, sedangkan jiwa berdiri dengan sendirinya dan yang mengatur badan tidak
ada wujudnya. Pengertian mati berarti terputus hidup, yakni Tuhan tidak lagi
menciptakan hidup, oleh karena itu hidup ini tidak ada, dan badan tidak ada pula.
Jadi, arti kebangkitan adalah bahwa Tuhan mengembalikan badan yang sudah
tidak ada karena mati kepada wujudnya, dan mengembalikan hidupnya yang
sudah tidak ada. Dalam perkataan lain, badan manusia setelah menjadi tanah
dikumpulkan dan disusun kembali menurut bentuk manusia dan diberikan hidup
kepadanya. Kedua, atau dikatakan bahwa jiwa (roh) manusia tetap wujud sesudah
mati, tetapi badan yang pertama (yang terjadi di dunia ini) nantinya dikembalikan
lagi dengan anggota-anggota badannya sendiri dengan lengkap. Ketiga, atau
dikatakan, jiwa manusia dikembalikan kepada badan, baik badan dengan anggota-
anggotanya yang semula ataupun badan yang lain samasekali. Jadi, yang
dikembalikan ialah manusianya, sebab badannya (bendanya) tidak terpenting,
sedangkan manusia disebut karena jiwanya (rohnya), bukan karena bendanya
(badannya).[25]
Atas dasar ini, para filosof muslim ini berpendapat bahwa mustahil
mengembalikan rohani kepada jasad ketika keduanya telah berpisah. Menurut
mereka, setelah berpisah antara roh dengan jasad, berarti kehidupan telah
berakhir dan tubuh menjadi hancur. Penciptaan kembali berarti penciptaan baru
yang tidak sama dengan yang berlalu. Pengandaian hal ini berarti
mengimplikasikan qadimnya suatu hal dan baharunya hal yang lain. Akan tetapi,
jika diandaikan terjadi kebangkitan jasad, maka akan menempuh jalan yang sulit
dan membutuhkan pemikiran yang panjang, seperti adanya manusia pincang,
manusia buta, dan lainnya. Kalau ini yang terjadi maka di surga nantinya akan ada
sidat kekurangan dan ada pula satu jiwa dengan dua tubuh atau sebaliknya.
Sesungguhnya di surga yang suci tidaklah demikian. Jika demikian terjadilah
proses yang panjang, seperti panjangnya proses kapas hingga menjadi kain.[26]
Ilmu merupakan sumber kebutuhan bagi setiap manusia, karena tanpa ilmu
manusia akan bodoh dan tidak mengetahui arah hidup dalam prikehidupan.
Sebagai seorang ilmuwan besar, Al-Ghazali berupaya membuat sebuah karya-
karya tulis yang bersifat memotivasi seseorang untuk selalu menggali ilmu
pengetahuan, khususnya ilmu agama. Di dalam karyanya al-Ghazali yang berjudul
Ihya Ulum Ad Din yang artinya menghidupkan ilmu-ilmu agama. Ini merupakan
sebuah karya al-Ghazali yang banyak dipakai oleh para ulama-ulama kalam
sebagai bahan kajian untuk amalan-amalan baik manusia. Karena di dalam buku
itu banyak menjelaskan tentang ilmu-ilmu keagamaan Islam, ke-Esaan Allah, dan
ilmu-ilmu yang bersangkutan dengan syari’at.
Pada karyanya yang lain, dan juga terkenal di tengah masyarakat yang berjudul
Al Munqiz min Ad Dhalal Al-Ghazali berpendapat bahwa :
”ilmu hati merupakan konsekuensi logis bagi ilmu-ilmu manusia, karena ada dua
alam, yakni alam lahir dan alam bathin. Jika ilmu-ilmu (pengetahuan) menguasai
ilmu lahir dengan analisa dan keterangan, maka harus ada ilmu khusus untuk
menjelaskan ilmu bathin. Pengetahuan-pengetahuan itu sendiri ada dua, yaitu
inderawi dan sufi (lahir dan bathin). Sarana untuk mengenal pengetahuan-
pengetahuan lahir adalah panca indera, sedang metoda untuk mencapai
pengetahuan-pengetahuan bathin harus kembali kepada mereka (kaum sufi) yang
mengatakan bahwa kesederhanaan, zuhud, dan amal-amal praktis seluruhnya
adalah jalan untuk mempersepsi berbagai realitas yang tersembunyi dan ilham
yang melampaui penglihatan dan pendengaran. Maka ma’rifat adalah tujuan yang
luhur bagi tasawuf. Al-Ghazali menentang kesatuan antara manusia dengan Tuhan
(teori Al Ijtihad) karena bertentangan dengan ajaran agama.”[30]
Di lain karyanya yang berjudul The Juwels of the Qur’an (mutiara al-Qur’an) dan
Mizan Al-Amal (timbangan amal), al-Ghazali mengklasifikasikan ilmu menjadi
empat bagian :
4. Pembagian ilmu menjadi ilmu-ilmu fardhu’in (wajib atas setiap individu)
dan fardhu kifayah (wajib atas umat).
Di antara empat hal dari klasifikasi ilmu di atas yang telah diuraikannya, yang
paling luas di bahas olehnya dalam melakukan pengajaran/diskusi adalah
pembagian ilmu menjadi ilmu-ilmu intelektual dan religius. Namun menurutnya,
yang jelas keempat sistem klasifikasi di atas sangat absah, dan mempunyai derajat
yang sama.
Kalau dilihat pemikiran dari al-Ghazali, maka akan terlihat pendapatnya yang
banyak menentang aliran-aliran filsafat. Menurutnya banyak orang-orang yang
menyimpang dari ajaran agama saat mempelajari filsafat, karena kebanyakan
manusia di saat mempelajari filsafat tanpa sebuah pegangan yang kuat atau dasar
yang kuat. Filsafat menurutnya lebih banyak mengedepankan akal daripada dalil
untuk mencari sebuah kebenaran. Oleh sebab itu, al-Ghazali banyak dikenal oleh
para masyarakat seorang ahli tasawuf, akan tetapi ia tidak melibatkan dirinya
kedalam aliran tasawuf yang terkenal saat itu, yakni tasawuf inkarnasi dan
tasawuf pantheisme. Sedangkan pengetahuan yang dimiliki oleh al-Ghazali
berdasarkan atas rasa yang memancar dalam hati, bagaikan sumber air yang
bersih/jernih, bukan dari penyelidikan akal, dan tidak pula dari hasil argumen-
argumen ilmu kalam.[31]
C. Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa Al-Ghazali adalah seorang
teolog sekaligus seorang pemikir Islam yang banyak menyumbangkan pikirannya
sampai ke generasi sekarang.
Al-Ghazali mengktitik para filosof tentang tiga persoalan tentang kekeliruan para
filosof yaitu; (1) Bahwa materi dapat merusak sedangkan jiwa tidak, karena
materi adalah entitas material yang terpisah dan hanya jiwa yang abadi yang
karena inilah esensi logos yang merupakan ruh (2) Menolak klaim bahwa
pengetahuan yang khusus berubah jelas mungkin. Tuhan tidak mungkin berubah,
dan (3) Al-Ghazali mengatakan tidak ada satu kasus pun yang tidak abadi,mulai
dari yang abadi.
DAFTAR PUSTAKA
----------------, Al-Munqiz min al-Dhalal, terj. Abdullah bin Nuh, Jakarta: Tinta
Mas, 1960
Ahmad, Zainal Abidin, Riwayat Hidup Al-Ghazali, Jakarta: Bulan Bintang, 1975
A. Hanafi, Antara Imam Al-Ghazali dan Imam Rusyd Dalam Tiga Metafisika,
Jakarta: Pustaka al-Husna, 1981
Nasution, Harun, Akal dan Wahyu Dalam Islam, Jakarta: Universitas Indonesi,
1983
Rusyd, Ibnu, Tahafut al-Tahafut, Tahkik, Sulaiman Dunya, Kairo: Dar al-
Ma’arif, 1971