Anda di halaman 1dari 10

1.

Menurut anda dari bentuk usaha Perseorangan, CV dan PT mana yang lebih
menguntungkan untukmelakukan tax planning pemilihan bentuk usaha? buktikan dengan
contoh perhitungan!

      Jawab:
      Menurut saya badan usaha perseorangan lebih menguntungkan dibandingkan dengan badan
usaha Firma, PT, dan CV, keuntungannya sebagai berikut:
Pendirian dan pembubaran usaha perorangan lebih mudah dari bentuk-bentuk usaha lainnya.
Usaha perorangan yang omzetnya kurang dari 4,8 milyar setahun tidak wajib menyelenggarakan
pembukuan. Pencatatan yang menginformasikan peredaran bruto saja sudah cukup, dengan
syarat terlebih dahulu mengajukan permohonan untuk menggunakan pencatatan (norma
penghitungan penghasilan neto). Namum pengecualian dari penyelenggaraan pembukuan ini
tidak berlaku bagi badan usaha perseorangan yang omzetnya 4,8 milyar atau lebih.
Keuntungan lainnya bahwa seluruh pendapatan usaha menjadi pemilik usaha, dan pajak yang
dibayarkan tergantung pada besarnya laba yang didapat (Penghasilan Kena Pajak). Karena tariff
progresif minimal 5% dan maksimal 30% untuk orang pribadi(Pasal 17 ayat 1 huruf a UU PPh),
maka semakin besar laba maka semakin besar pula laba yang terhutang atas usaha perseorangan.
Sementara wajib pajak badan seperti firma, PT, dan CV berapapun labanya mereka akan
langsung dikenakan tarif tunggal 28% di tahun 2009 dan 25% di tahun 2010 (Pasal 17 ayat 2a
UU PPh). Usaha perseorangan juga dapat memperhitungkan PTKP (Penghasilan Tidak Kena
Pajak) sebagai pengurang penghasilan neto setahun.

Contoh perhitungan Wajib Pajak Perseorangan:


Jumlah penghasilan Tuan Akbar pada tahun 2013 adalah Rp 45.000.000.
Pajak penghasilan terutang:
5% x Rp 45.000.000 = Rp 2.250.000 (pajak tergantung laba yang diperoleh)

Contoh perhitungan Wajib Pajak Badan:


Peredaran bruto PT Z pada tahun 2013 adalah:
-          Terkait PPh bersifat final              Rp 30.000.000.000
-          Terkait bukan objek pajak             Rp 10.000.000.000
-          Terkait PPh tidak bersifat final     Rp 20.000.000.000
Jumlah peredaran bruto                       Rp 60.000.000.000
Penghasilan kena pajak                       Rp  2.000.000.000
Penghitungan pajak penghasilan terutang:
Seluruh penghasilan kena pajak dikenai tariff berdasar pasal 17 ayat (1) huruf b UU PPh karena
jumlah peredaran bruto PT Z sebesar Rp 60.000.000.000 telah melebihi batas maksimal
peredaran bruto yang mendapat fasilitas pengurangan
Pajak penghasilan terutang:
25% x Rp 2.000.000.000 = Rp 500.000.000 (pajak sudah ditetapkan dan tidak tergantung laba
yang diperoleh)

2.   Sebuah perusahaan yang bergerak dalam bidang industri minuman buah, mengalami
kesulitan atas membengkaknya PPh Pasal 21 atas karyawannya, saudara diminta membantu
manajemen pajak ats PPh Pasal 21 tersebut. Coba jelaskan langkah-langkah saudara dan coba
bandingkan apabila perusahaan tersebut menggunakan metode gross, net dan gross up disertai
contoh perhitungannya?
     Jawab:
 

Dalam praktek perhitungan PPH 21 perusahaan menggunakan berbagai macam metode ada
gross, net, dan gross-up.

Contoh perhitungan Metode Gross:


Apabila PPh 21 terutang  dibayar sendiri oleh karyawan  yang bersangkutan. Si A (TK/0) Gaji
sebulan = Rp. 2.000.000 PPh 21 yang dibayar sendiri = Rp 30.000 Take home pay =
Rp.1.970.000

Contoh perhitungan Metode Net:


PPh 21 dibayar/ditanggung pemberi kerja. Si A (TK/0) Gaji sebulan = Rp. 2.000.000
PPh 21 yang dibayar pemberi kerja = Rp. 30.000 > merupakan kenikmatan, bukan biaya bagi
pemberi kerja Take home pay = Rp. 2.000.000

Contoh perhitungan Metode Gross-Up:


Karyawan diberikan tunjangan pajak (gajinya dinaikkan) sebesar pajak yang dipotong.
Si A (TK/0) Gaji sebulan = Rp. 2.000.000,- Tunjangan  PPh =  Rp. 30.000 > merupakan biaya
bagi pemberi kerja sehingga bisa mengurangi pajak (deductable expense) Jumlah Gaji = Rp.
2.030.000,- Dipotong  PPh 21 = Rp. 30.000,- Take home pay = Rp. 2.000.000,-

Menurut saya, jika perusahaan mengalami pembekakan PPh Pasal 21 atas karyawannya
sebaiknya perusahaan tersebut menggunakan metode gross, dapat saja perusahaan menggunakan
metode gross karena PPH 21 itu sesuai peraturan perpajakan yaitu kewajiban
karyawan. Perusahaan kewajibannya hanya menghitung, memotong dan menyetor PPH 21 tsb.
Metode tersebut diatas diperbolehkan menurut undang-undang dan peraturan perpajakan.
  
3.  CV. AGUNG FOOD merupakan Perusahaan dibidang industri snack. Belum PKP namun
penjualan setiap bulan sudah mencapai Rp.800 juta per bulan. Direktur CV. Sudah memahami
bahwa seharusnya sudah wajib untuk mengukuhkan diri sebagai Pengusaha Kena Pajak, namun
menolak dengan alasan bahwa bahan baku snack sebagian besar pembeliannya langsung dari
Petani dan tidak memperoleh Faktur Pajak sebagai Pajak Masukan, kemudian apabila PKP maka
harga jual harus ditambahkan 10% untuk memungut PPN sehingga harga jual menjadi lebih
mahal dan tidak bisa bersaing dengan Pabrik Snack lainnya yang tidak PKP. Permasalahan:

a.       Jika anda menjadi Konsultan Pajaknya, apakah yang harus anda sampaikan kepada
Direktur CV. Agung Food? Dasar Hukum?
b.      Jika tidak PKP dan kemudian diperiksa oleh petugas pajak, apakah resikonya bagi
Perusahaan dilihat dari jumlah Pajak yang harus dibayar, kewajiban menerbitkan Faktur Pajak
dan resiko kewajiban perpajakan lainnya? Dasar Hukum?
c.       Bagaimana mencarikan alternatif bagi Direktur agar CV. Agung Food mengukuhkan diri
sebagai PKP namun dapat bersaing dengan Pabrik Snack Lain? Dasar Hukum?

 Jawab:

        Pengusaha Kena Pajak (PKP) adalah pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena
Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-Undang
Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya. (Pasal 1 angka 5 UU KUP), jadi menurut saya:
a.       Bagi pengusaha wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena
Pajak, apabila sampai dengan suatu bulan dalam tahun buku jumlah peredaran bruto dan/atau
penerimaan brutonya melebihi Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).
Kewajiban melaporkan usaha untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tersebut
dilakukan paling lama akhir bulan berikutnya setelah bulan saat jumlah peredaran bruto dan/ atau
penerimaan brutonya melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).
(Peraturan Menteri Keuangan Nomor 197/PMK.03/2013  tentang Perubahan atas Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2010 tentang Batasan Pengusaha Kecil Pajak
Pertambahan Nilai).
b.      Apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) atau batas waktu perpanjangan penyampaian Surat
Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4), dikenai sanksi administrasi berupa
denda sebesar Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Masa Pajak
Pertambahan Nilai, Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Masa lainnya,
dan sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan Wajib Pajak badan serta sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi. (Pasal 7 UU KUP No 28
Tahun 2007).
c.       Karena CV. Agung Food adalah PKP maka sebaiknya membeli segala bahan baku ataupun
bahan operasional dari PKP juga.

Contoh perhitungan Membeli Dari PKP:


CV. Agung Food  membeli barang dari PKP senilai Rp 1.100.000 (Harga + PPN), CV. Agung
Food menjual kembali dengan mengambil keuntungan 20% menjadi seharga Rp 1.320.000 (Rp
1.000.000 + Rp 200.000 + Rp 120.000). Atas mekanisme ini maka CV. Agung Food membayar
PPN sebesar Rp 20.000 (Rp 120.000 dikurang Rp 100.000)

Contoh perhitungan Membeli Dari Non-PKP:


CV. Agung Food membeli barang dari Non PKP senilai Rp 1.000.000, CV. Agung Food menjual
kembali dengan mengambil keuntungan 20% menjadi seharga Rp 1.320.000 (Rp 1.000.000 + Rp
200.000 + Rp. 120.000). Atas mekanisme ini maka CV. Agung Food membayar PPN sebesar Rp
120.000.
Pada kasus ini CV. Agung Food membayar PPN lebih besar karena membeli dari Non PKP
sehingga hal ini membuktikan bahwa kebanyakan perusahaan PKP lebih memilih melakukan
transaksi dengan PKP.
4. Sebuah perusahaan akan melakukan merger dan perusahaan tersebut juga akan melakukan
revaluasi aktivanya, saudara diminta menjadi penasehat dalam bidang perpajkannya,
bagaimankah saudara memberikan pendapat tersebut? Jelaskan dengan perhitungan.
Jawab:

1.      Penggabungan Usaha (Business combination) adalah penyatuan dua atau lebih perusahaan
yang terpisah menjadi satu entitas ekonomi karena satu perusahaan menyatu dengan (uniting
with) perusahaan lain atau memperoleh kendali (control) atas aktiva dan operasi perusahaan lain.
(PSAK No.22).
Revaluasi aktiva tetap merupakan penilaian kembali aktiva tetap yang tercatat dalam buku
perusahaan dan masih digunakan untuk kegiatan perusahaan agar nilai yang tercantum dalam
buku/laporan keuangan tersebut sesuai dengan nilai pasar wajar yang berlaku pada saat
dilakukannya revaluasi tersebut. Manfaat revaluasi antara lain:
a.       Dapat menciptakan performance of balance sheet yang lebih baik, sebagai akibat
meningkatnya nilai aktiva dan modal.
b.      Meningkatkan kepercayaan para pemegang saham, karena kenaikan nilai aktiva dapat
dicatat sebagai tambahan nilai saham (saham bonus)
c.       Meningkatkan kepercayaan kreditur, sebagai dampak membaiknya beberapa rasio
keuangan   perusahaan,   khususnya   yang  ditunjukkan   oleh  debt   to   assets  ratio dan debt to
equity ratio.
Contoh perhitungan Revaluasi Aktiva:
Revaluasi Hotel Montana Dua Malang
Selisih nilai pada aktiva tetap sebelum dan sesudah revaluasi sebesar Rp 5.420.090.031,24. Dari
selisih revaluasi tersebut dikenakan pajak 10% bersifat final, sehingga pajak yang harus dibayar
akibat adanya revaluasi adalah sebesar  Rp 542.009.003,12. Selisih revaluasi akan tampak pada
neraca sisi pasiva di bagian modal. Sedangkan pengaruhnya terhadap laporan laba rugi
perusahaan terlihat pada biaya usaha pada poin depresiasi aktiva tetap.

Perhitungan penghematan pajak:


Nilai komersial per 31 Desember 2001 sebagai berikut :
- Tanah Rp 900.000.000.
- Bangunan permanent (20 tahun) Rp 1.200.000.000.
- Akumulasi penyusutan bangunan 7 tahun (Rp 420.000.000)
- Peralatan dan kendaraan kelompok 2 Rp 1.600.000.000.
- Akumulasi penyusutan peralatan dan kendaraan 7 tahun (Rp 1.400.000.000). 
            Hasil penilaian sesuai harga pasar
            - Tanah Rp 3.960.000.000
            - Bangunan Rp 2.420.000.000
            - Peralatan / kendaraan Rp 920.000.000
Prediksi laba tahun 2002 (sebelum penyusutan) : Rp 350.000.000

Jika melakukan revaluasi


Aktiva Nilai Buku Harga Pasar Selisih Lebih
Tetap Revaluasi
(dalam Rp) (dalam Rp)
(dalam Rp)
Tanah 900.000.000 3.960.000.000 3.060.000.000
Bangunan 780,000,000 2.420.000.000 1.640.000.000
Peralatan    200,000,000 920.000.000 720.000.000
dan
Kendaraa
n
1.880.000.000 5.420.000.000
PPh final 542.000.000
10%
           
Laba  Rp    350.000.000
Penyusutan
-       Bangunan = Rp 3.960.000.000 x 5% (Rp    198.000.000)
-       Peralatan&kendaraan = Rp920.000.000 x (Rp    115.000.000)
12,5%
Penghasilan Kena Pajak  Rp      37.000.000
Pajak PPh badan 25%  Rp        9.250.000     
Jumlah pajak yg harus dibayar Rp    551.250.000
Jika tidak melakukan revaluasi
Laba  Rp   350.000.000
Penyusutan
-       Bangunan (Rp    60.000.000)
-       Peralatan&kendaraan (Rp    20.000.000)
Penghasilan Kena Pajak  Rp   270.000.000
Pajak PPh badan 25%  Rp     67.500.000

DASAR HUKUM REVALUASI


a.    Undang-undang RI nomor 17 tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan
b.   Pasal 4 huruf m : yang menjadi objek pajak penghasilan adalah selisih lebih karena penilaian
kembali aktiva.
c.    Pasal 11 ayat (5) : apabila Wajib Pajak melakukan  penilaian kembali aktiva maka dasar
penyusutan atas harta adalah nilai setelah dilakukan penilaian kembali aktiva tersebut.
d.   Keputusan Dirjen Pajak KEP-519/PJ/2002 tanggal 2 Desember 2002 tentang Tata Cara
Prosedur Pelaksanaan Penilaian Kembali Aktiva Tetap Perusahaan untuk Tujuan Perpajakan
e.    Keputusan Menteri Keuangan RI No. 486/KMK.03/2002 tentang Penilaian Kembali Aktiva
Perusahaan untuk Tujuan Perpajakan.
f.    Peraturan Menteri Keuangan nomor 79/PMK.03/2008 tentang Penilaian Kembali Aktiva
Perusahan untuk Tujuan Perpajakan.

5. Sebuah perusahaan yang bergerak dalam bidang industri minuman buah, mencoba membuka
industrinya di kawasan Kota Batu, industri ini berencana memasarkan produknya baik untuk
konsumsi nasional, separuh di ekspor separuh lg di jual di dalam negeri,  dan untuk konsumsi
ekspor. Coba analisis dan bentuk perencanaan pajak yang sesuai dengan perusahaan
tersebut,  jika perusahaan tersebut diperkirakan mendapatkan laba sekitar Rp. 700 juta?
Jawab:
       Pajak penghasilan pasal 24, merupakan pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas
penghasilan dari luar negeri yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri. PPh Pasal
24 ini boleh dikreditkan terhadap total pajak penghasilan terutang dalam suatu tahun pajak.
Pada dasarnya, wajib pajak dalam negeri terutang pajak atas seluruh penghasilan, baik
penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri. Jika negara lain tempat Wajib Pajak
dalam negeri tersebut mengenakan pajak penghasilan, Wajib Pajak tersebut akan membayar atau
terutang pajak atas penghasilannya itu di negara yang bersangkutan (di luar negeri).
Untuk meringankan beban pajak ganda yang dapat terjadi karena pengenaan pajak atas
penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri, maka besarnya pajak atas penghasilan
Wajib Pajak dalam negeri yang terutang atau dibayar di luar negeri tersebut dapat dikreditkan
terhadap total pajak terutang atas seluruh penghasilan Wajib Pajak dalam negeri

Contoh perhitungan Kredit Pajak Luar Negeri:


PT Minuman Buah di Batu memperoleh penghasilan neto pada tahun 2013 sebagai berikut:
-          Penghasilan dari dalam negeri                  Rp 400.000.000
-          Penghasilan dari luar negeri                      Rp 300.000.000
(tarif pajak yang berlaku adalah 20%)
            Penghitungan kredit pajak luar negeri yang diperbolehkan (PPh Pasal 24) adalah:
a.       Menghitung total PKP
Penghasilan dari dalam negeri                  Rp 400.000.000
Penghasilan dari luar negeri                      Rp 300.000.000
Jumlah penghasilan neto                           Rp 700.000.000
b.      Menghitung total PPh terutang:
Tariff PPh Pasal 17 ayat (1) b x penghasilan kena pajak
25% x Rp 700.000.000 = Rp 175.000.000
d.      Menghitung PPh yang dipotong atau dibayar di luar negeri
Tarif pajak di luar negeri x penghasilan luar negeri
20% x Rp 300.000.000 = Rp 60.000.000
Kredit pajak luar negeri yang diperbolehkan (PPh Pasal 24) adalah Rp 75.000.000 atau sebesar
PPh yang terutang atau dibayar di luar negeri. Jumlah ini diperoleh dengan membandingkan
penghitungan total PPh terutang, PPh maksimum dikreditkan sesuai perbandingan penghasilan,
dan PPh terutang atau dibayar di luar negeri, kemudian dipilih nilai terendah.
6.  Kita tahu bahwa mulai bulan Juli 2013 telah diterbitkan Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun
2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh oleh
Wajb Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu. Uraikan Strategi Perencanaan dan
Manajemen Pajak Perusahaan bagi Wajib Pajak yang tergolong sebagai Wajib Pajak PP 46
Tahun 2013.
Jawab:
             Pada tanggal 13 Juni 2013 lalu, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 46
tahun 2013 (PP 46/2013). Peraturan ini mulai berlaku efektif sejak 1 Juli 2013. Dengan
diterbitkannya PP 46/2013, orang pribadi maupun badan dengan omzet sampai dengan 4,8
milyar dalam satu tahun pajak dikenai pajak final sebesar 1% dari omzet bulanan.
            Pajak yang bersifat final mengakibatkan pengusaha yang mengalami kerugian tidak dapat
mengkompensasi kerugiannya dan tetap harus membayar pajak. Tentu, hal ini akan cenderung
memberatkan pengusaha dengan keuntungan yang tidak menentu. Hal ini berbeda dengan
mekanisme penghitungan pajak pada umumnya yang memperhitungkan kerugian. Dengan
menggunakan mekanisme pada umumnya, wajib pajak yang mengalami kerugian dalam satu
tahun pajak tidak perlu membayar pajak penghasilan dalam tahun tersebut. Selain itu, kerugian
yang diderita dapat dikompensasikan ke penghitungan pajak tahun berikutnya.
           Selain itu, penerapan tarif flat sebesar 1% dari omzet dapat mengakibatkan pengusaha
dengan margin laba bersih besar akan membayar beban pajak yang lebih ringan dibandingkan
dengan pengusaha dengan margin laba bersih yang lebih kecil.
            Dalam konteks ini, pihak asing yang berinvestasi di Indonesia melalui BUT tidak
tercakup dalam PP 46/2013, sedangkan bentuk lain seperti PMA tetap tercakup di dalamnya
(selama omzetnya tidak melebihi 4,8 miliar rupiah).
  
7. Perusahaan MU memiliki penjualan sebesar 60 milyar. Dengan informasi pembelian sebesar
40 Milyar (sebelum PPN). Beban operasional perusahaan  sebesar 10 Milyar (terdiri dari gaji
karyawan, penyusutan dll). Bandingkan kalau perusahaan MU melakukan pembelian pada
perusahaan yang PKP dengan perusahaan yang tidak PKP? Berapa total masing-masing pajak
yang dibayar? Berapa tax saving yang bisa diperoleh Perusahaan MU?
    Jawab:
  
Contoh perhitungan Membeli Dari PKP: 
P     PT MU  membeli barang dari PKP senilai Rp 44.000.000.000 (harga + PPN), PT. MU 
menjual kembali dengan mengambil keuntungan 20%, menjadi seharga Rp 52.800.000.000  (Rp
40.000.000.000 + Rp 8.000.000.000 + Rp4.800.000.000 ). Atas mekanisme ini maka PT. MU
membayar PPN sebesar Rp 800.000.000 (Rp 4.800.000.000 dikurang Rp 4.000.000.000).
  Contoh perhitungan Membeli Dari Non-PKP: 
P   PT.MU membeli barang dari Non PKP senilai Rp 40.000.000.000, PT MU menjual kembali
dengan mengambil keuntungan 20% menjadi seharga Rp 52.800.000.000 (Rp 40.000.000.000 +
Rp 8.000.000.000 + Rp. 4.800.000.000). Atas mekanisme ini maka PT.MU membayar PPN
sebesar Rp 4.800.000.000.
P    Pada kasus ini PT MU sebaiknya melakukan pembelian pada perusahaan yang PKP, karena
dapat melakukan tax saving hingga Rp 4.000.000.000

Anda mungkin juga menyukai