Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Belajar adalah membangun pengetahuan dari kegiatan, refleksi dan interpretasi


serta pemahaman oleh seseorang sesuai skemata yang dimiliki. Sedangkan mengajar
dalam pandangan ini adalah menata lingkungan agar mahasiswa dapat melakukan
kegiatan belajar dengan sebaik-baiknya. Peran guru adalah sebagai fasilitator yang
membantu mahasiswa menemukan fakta, konsep, atau prinsip dan bukan member
ceramah atau mengendaikan seluruh kegiatan pembelajaran di kelas.
Paradigma pembelajaran sains (termasuk pembelajaran kimia),selama dekade
terakhir ini telah mengalami pergeseran. Hal ini sejalan dengan perkembangan sains dan
teknologi khususnya teknologi pembelajaran. Pergeseran paradigm pembelajaran yang
dimaksud adalah paradigm behaviorisme menuju ke paradigm kontruktivime. Paradigm
behavioristik berkeyakinan bahwa pengetahuan ada diluar mahasiswa, tugas guru adalah
memasukan pengetahuan tersebut kedalam pikiran
Paradigma kontruktivisme meyakini bahwa mahasiswa dapat merespon
pengelaman panca inderanya dengn mengkontruksi suatu skemamta atau struktur kognitif
dalam otaknya. Struktur kognitif dapat berupa keyakinan, pengertian atau penlaran yang
merupakan pengetahuan subjektif mahasiswa. Dalam paradigm kontruktivisme muncul
kecendrungan baru dimana mahasiswa dituntut untuk berpartisipasi aktif dalam proses
pembelajaran, mengembangkan kemampuan belajar mandiri dan mengembangkan
pengetahuannya sendiri. Menurut Saunders (1992) pandangan kontruktivisme
memberikan wawasan tentang bagaimana mahasiswa mengkintruksi konsep,mencari
makna yang lebih dalam, menggali pemahaman baru serta mengajukan dan
menyelesaikan masalah. Pandangan kontruktivisme dalam pembelajaran sains, mengarah
pada dimulainya bagaimana cara mahasiswa belajar dan bagaimana cara guru mengajar,
yang diharapkan dapat memperoleh jawaban bagaimana mahasiswa mengkonstruksi
pengetahuan.
Berbagai model pembelajaran telah berkembangkan dengan menerapkan beberapa
prinsip dan nilai konstruktivistik. Model pembelajaran antara lain: daur belajar (learning
cycle), pembelajaran kooperatif (cooperatove learning), dan pembelajaran berbasis
masalah (problem based learning/PBL). Pembelajaran berbasis masalah (Promlem Based
Learning/PBL) merupakan model pembelajaran yang berkembang dengan prinsip
konstruktivistik yang dikemukakan oleh para ahli pendidikan, seperti Panen(2001),
Arends (2004), dan Ardhana (2005). Dalam pembelajaran kimia diperguruan tinggi, PBL
telah banyak digunakan baik sebagai suatu model, strategi atau pendekatan.

1.2 Rumusan Masalah


Adapun masalah yang akan dibahas dalam makalah ini yakni :
1. Apa itu model Problem Based Learning (Pembelajaran berbasis masalah) ?
2. Apa saja ciri-ciri model Problem Based Learning ?
3. Bagaimana struktur dan langkah-langkah model Problem Based learning dalam
pengajaran?
4. Apa saja kekuatan dan kelemahan dari model Problem Based learning dalam
pengajaran?
5. Bagaimana pengajaran (Kimia) dengan Problem Based Learning selama ini?

1.3 Tujuan
Adapun tujuan dalam penulisan makalah ini yakni :
1. Agar mahasiswa dapat mengetahui model pembelajaran berbasis masalah.
2. Mengetahui cirri-ciri model Problem based learning.
3. Mengetahui struktur dan langkah-langkah model Problem based learning.
4. Mengetahui kekuatan dan kelemahan Problem based learning.
5. Mengetahui cara pengajaran kimia dengan model problem based learning.

1.4 Metode Penulisan


Metode yang digunakan dalam penulisan makalah ini yaitu metode pustaka.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning/PBL)
PBL adalah suatu model pembelajaran khusus yang untuk pertama kalai
diimplemetasikan dalam pendidikan kedokteran di tahun 1970-an. Pada dasarnya PBL
berlandaskan pada teori psikologis kognitif. Fokos pembelajarannya tidak hanya focus
pada apa yang dipelajari mahasiswa (behaviornya), tetapi juga pada apa yang mereka
pikirkan (kognisinya).
Strategi pengajaran seperti discovery learning, inquiry training, dan inductive
teaching, telah mempunyai sejarah dan peran yang panjang dan prestisius (Arends, 2004).
Metode Socrates (jaman yunani) menekankan pada penalaran induktif dan dialog pada
proses belajar mengajar. Hal ini tampak dari bimbingan terhadap mahasiswanya
menghubungkan pengetahuan yang diperolehnya dengan kehidupan nyata (ward, 2002).
John dewey, 1933 (dalam arends 2004) menekankan pada pentingnya berfikir reflektif
dan profesiolitas guru membantu mahasiswa dalam memperoleh proses dan keterampilan
berfikir yang produktif. Sedangkan Jerome bruner, 1962 (arends 2004) menekan
pentingnya discovery learning dan bagaimana guru dapat menekankan mahasiswa
menjadi “konstruksionis” terhadap pengetahuan yang diperoleh. Demikian juga Richard
suchman (1962) mengembangkan suatu pendekatan yang disebut inquiry training,
dimana peran guru tidak lebih dari mensetting kelas belajar, menyediakan suatu situasi
yang membingungkan atau menimbulkan teka-teki dan mendorongnya untuk berikuiri
dan menjawabnya.
Jadi pembelajaran dengan model interdisipliner merupakan dasar pengembangan
PBL dan bila ditinjau dari aspek pedagogik pendidikan tidaklah benar-benar baru, tetapi
PBL berakar dari model pembelajaran lampau. Menurut Dabbagh et al (2000), dampak
kemajuan teknologi di abad ke 20 memungkinkan seluruh pengetahuan dan informasi
terkini dapat diakses dengan sengat cepat. Ram (1999), dalam penggajaran dengan PBL
nya menyatakan, mahasiswa belajar dalam suatu konteks permasalahan untuk
dipecahkan. Tanggung jawab belajar ada pada diri mahasiswa, bukan pada fasilitator.
Sedangkan, pannen (2001) mengatakan bahwa PBL menawarkan kebebasan kepada
mahaasiswa dalam proses pembelajaran. Dimana melalui PBL mahasiswa diharapkan
terlibat aktitf dalam proses penelitian yang mengharuskannya untuk mengidentifikasi
permasalahan, mengumpulkan dan menganalisis data, dan menggunakan data tersebut
untuk pemecahan masalah.

2.2 Ciri-ciri Model Problem Based Learning.


PBL untukk pertama kalinya dikembangkan oleh Barrow, merupakan suatu model
pembelajaran yang sangat populer dalam dunia kedokteran pada tahun 1970-an. Menurut
Ardhana (2005), model idni dimulai dengan menyajikan suatu masalah kepada
mahasiswa untuk dikerjakan.
Menurut Pannen (2001) pada dasarnya PBL merupakan model pembelajaran yang
sama dengan Case Based Learning (salah satu model pembelajaran dalam hukum), atau
model Goal-Based Scenario, atau Just In Time Treaning (model pembelajaran
manajemen dan bisnis), dan Project Based Learning (model pembelajaran MIPA di
sekolah dasar dan menengah). Menurut Ward (2002), model pembelajaran Problem
Based Instruction (PBI) dapat dianggap sebagai embrio munculnya model problem
based learning.
Berikut dideskripsikan beberapa pandangan yang mengkarakteristikkan pada
PBL:

2.2.1 Gallagher, dkk. (1995) mengatakan tiga hal utama sehubungan dengan strategi
edukasional PBL, yakni:
a. Inisiasi belajar dengan suatu masalah
b. Introduksi oleh permasalahan yang tak berstruktur
c. Menggunakan innstruktor sebagai suatu latihan metakognitif
2.2.2 Stepien, dkk. (1993) menyatakan, PBL adalah kegiatan pemecahan masalah yang
berhubungan dengan kehidupan nyata.
2.2.3 LTSN physical sciences primer, (2001), PBL adalah suatu model pembelajaran
dimana permasalahna berdtindak sebagai konteks dan pendorong untuk tejadinya
belajar.
2.2.4 Ward (2002), konsep pokok dalam PBL adalah mahasiswa belajar melalui
percobaan dan usahanya untuk memecahkan masalah-masalah realistik.
PBL mempunyai dua tujuan utama yaitu:
a. Untuk mencapai seperangkat kompetisi atau seperangkat tujuan
b. Untuk mengembangkan keterampilan memecahkan masalah.

Menurut tchudf dan lafer (1996), masalah yang baik memiliki karakter sebagai
berikut:
a. Cukup baru, unik dan mengacaukan serta mampu memprovokasi
keingintahuan dan mempunyai alasan untuk dipelajari
b. Menimbulkan pemikiran tentang sesuatu yang baru dengan jalan atau cara
yang baru
c. Membantu mahasiswa untuk menemukan tentang apa yang mereka lakukan
dan apa yang mereka tidak ketahui
d. Para siswa dapat menjangkau diluar apa yang mereka ketahui
e. Menciptakan suatu kebutuhan dan hasrat untuk mengembangkan
keterampilan dan pengetahuan
f. Mendorong untuk mengetahui hubungan antara langkah-langkah yang akan di
tempuh terhadapa masalah yang di pecahkan dengan prosedur yang masuk
akal
g. Menggarah pada inquiri interdisipliner
h. Membentuk komunitas kuat pembelajar
i. Mendorong untuk bekerja sama didasarkan atas kemauan dan keinginan
untuk berhasil menuntaskan pemasalahan.

2.2..5 Pannen, dkk. (2001) menguraikan secara singkat tentang lima prinsip dasar yang
menjadi ciri-ciri PBL, yakni:

a. Permasalahan sebagai pemandu


Permasalahan merupakan acuan konkret yang harus menjadi perhatian
mahasiswa.
b. Permasalahan sebagai kesatuan dan alat valuasi.
Permasalahan disajiakan kepada mahasiswa setelah tugas-tugas dan
penjelasan diberikan.
c. Permasalahan sebagai contoh
Permasalahan adalah salah satu contoh dan bagian dari bahan belajar.
d. Permasalahan sebagai fasilitas untuk terjadinya proses.
Dalam hal ini berfokus pada kemampuan berfikir kritis dalam hubungannya
dengan permasalahan.
e. Permasalahan sebagai stimulus dalam aktivitas belajar
Fokus utama pada pengembangan keterampilan pemecahan masalah dari
kasus-kasus serupa.
2.2.6 Arends (2004) mengungkapkan ciri-ciri PBL sebagai berikut:
a. Pengajuan pertanyaan atau masalah ( driving question or problem )
b. Berfokus pada kaitan antar disiplin ilmu (interdisciplinary focus)
c. Penylidikan otentik (authentic investigation)
d. Menghasilkan hasil karya dan memamerkannya ( production of artifacts and
exhibits)
e. Kerjasama (collaboration).

Dari berbagai pandangan diatas, dapat didefinisikan bahwa pembelajaran berbasis


masalah mempunyai ciri-ciri:
1. Belajar dimulai dengan suatu masalah
2. Memastikan masalah yang diberikan berhubungan dengan dunia nyata mahasiswa
3. Mengorgsnisasikan pelajran diseputar permasalahan, bukan diseputar disiplin ilmu
4. Memberikan ttanggung jawab yang besar kepada mahasiswa dalam membbentuk dan
menjalankan secara langsung belajar mereka sendiri
5. Menggunakan kelompok kecil
6. Menuntut mahasiswa untuk mendemonstasikan apa yang telah mereka pelajari dalam
bentuk suatu produk atau kinerja
7. Menekankan pada proses belajar untuk belajar dengan memberikan tanggung jawab
amaksimal pada mahasiswa untuk menentukan proses belajarnya.

2.3 Struktur dan Langkah-langkah PBL dalam Pengajaran


Berdasarkan uraian tentang ciri-ciri PBL sebagaiman telah diuraiakan diatas,
bagaimana PBL dapat diterapkan dalam suatu pengajaran di kelas dan bagaimana
langkah-langkahnya perlu diperhatikan secar saksama agar karakter dari PBL memang
berbeda dengan pengajaran tradisional atau konversional yang sering dilakuakan selama
ini. Suatu lingkungan belajar yang konstruktivistik merupakan kondisi dasar yang sangat
dibutuhkan dalam mendesain pendekatan pembelajaran dengan model PBL.
Menurut pannen (2001), ada delapan tahap dalam PBL sebagai panduan untuk
penerapannya dalam pengajaran. Kedelapan masalah tersebut (dikenal sebagai the
wheel of problem solving) adalah:
1. Mengidentifikasi masalah
2. Mengumpulkan data
3. Menganalisis data
4. Memecahkan masalah berdasarkan pada data yang ada dan analisisnya
5. Memilih cara untuk memecahkan masalah
6. Merencanakan penerapan pemecahan masalah
7. Melakukan uji coba terhadap rencana yang ditetapkan
8. Melakukan tindakan untuk memecahkah masalah.

Empat tahap pertama mutlak diperlukan untuk berbagai kategori tingkat berfikir,
sedangkan empat tahap berikutnya harus dicapai bila pembelajaran dimaksudkan untuk
mencapai keterampilan berfikir tingkat tinggi (higher order thinking skills). Dalam
proses pemecahan masalah sehari-hari, seluruh tahapan terjadi dan bergulir dengan
sendirinya, demikian pula keterampilan seseorang harus mencapai seluruh tahapan
tersebut.
Ada beberapa hal sehubungan dengan pelaksanan PBL dalam pengajaran, terutama
dikarenakan oleh wawasan mahasiswa yang belum berkembang. Pada tahap identifikasi
masalah tidak mudah bagi mahasiswa pemula untuk menentukan permasalahan yang
tepat. Permasalahan yang tepat dicirikan oleh tingkat relevansi, kebermaknaan bagi
mahasiswa, sedapat mungkin pemasalahan nyata dan berhubungan langsung dengan
pengalamannya, ruang lingkup permasalahan mampu menantang aplikasi keterampilan
yang sudah dimiliki, pengembangan keterampilan tersebut ketempat yang lebih tinggi.
Disinilah peran fasilisator sangat diperlukan agar penentuan permasalahan menjadi
seperti diatas. Hal ini mengingatkan tahap identifikasi masalah merupakan tahap awal
yang akan “mewarnai” proses selanjutnya dalam proses belajar dengan PBL.
Dalam tahap pengumpulan data perlu ditekankan cakupan data yang relevan untuk
membantu menyelesakan permasalahan. Kesalahan yang sering terjadi adalah
pengumpulan informasi yang terlalu banyak dan belum jelas gunanya sehingga sering
kali arah belajar menjadi berubah dari permasalahan awal karena menemukan sesuatu
yang lebih baik. Sementara itu, dalam hal analisis dan penulisan laporan , kesalahan yang
sering terjadi adalah ketidak biasaan untuk berfikir secara holistik dan sintetis, yakni
mempersatukan informasi yang telah diperoleh menjadi suatu kesimpulan yang
bermakna, dan adanya pengetahuan tertentu yang perlu diketahui sebelum mampu
mengambil kesimpulan. Sangat perlu mencari informasi lain terlebih dahulu , baru dapat
menyampaikan analisis pemecahan masalahnya. Hal ini tentunya menuntut pemahaman
yang tinggi dari fasilisator (guru), sehinggg bimbingan guru sangat diperlukan dan
bahkan menjadi sangat menentukan.
Lebih lanjut Pannen (2001) menyatakan, ada beberapa hal yang mempengaruhi
perancangan PBL dalam pengajaran yakni:
1. Analisis tugas
2. Penyusunan permasalahan
3. Urutan pembelajaran
4. Peran fasilisator
5. Penililaian.

Arends (2004) merinci langkah-langkah pelaksanaan PBL dalam pengajaran. Sintaks


(tahapan) dalam PBL dijelaskan oleh Arends sebagai berikut:
1. Fase 1 : mengorientasikan siswa pada masalah.
Aktifitas guru : menjelaskan tunjuan pembelajaran logistic yang diperhatikan,
motifasi mahasiswa terlibat aktif pada aktivitas
pemecahan masalah yang dipilih.
2. Fase 2: mengorganisasi mahasiswa untuk belajar.
Aktivitas guru: membantu mahasiswa untuk membatasi dan mengorganisasi tugas
belajar yang berhungan dengan masalah yang dihadapi
3. Fase 3: membimmbing penyelidikan individu maupun kelompok.
Aktivitas guru: mendorong mahasiswa mengumpulkan informasi yang sesuai,
melaksanakan ekperimen dan mencari untuk penjelasan dan
pemecahan.
4. Fase 4: mengembangkan dan menyajikan hasil karya.
Aktivitas guru: Membantu mahasiswa merencanakan dan menyiapkan karya yang
sesuai, seperti laporan, video, dan model, dan membantu
mereka untuk berbagi tugas dengan temannya.
5. Fase 5: menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah.
Aktivitas guru: Membantu mahasiswa melakukan refleksi terhadap penyelidikan dan
proses-proses yang digunakan selama berlangsungnya
pemecahan masalah.
2.4 Kekuatan dan Kelemahan Problem Based Learning Dalam Pengjaran.
Kekuatan dan kelemahan Problem Based Learning menurut Pannen, dkk.(2010) :
2.4.1 Kekuatan
a. Berfokus pada kebermaknaan, bukan pada fakta (deep versus surface learning)
Problem based learning lebih menekankan pada kebermaknaan dalam belajar,
bukan semata-mata menyajikan informasi untuk diingat oleh mahasiswa.
Seandainya dalam problem based learning terjadi sajian informasi, maka
informasi itu harus digunakan untuk memecahkan masalah, sehingga terjadi
proses kebermaknaan terhadap informasi.
b. Meningkatkan kemampuan mahasiswa untuk berinisiatif
Di dalam Problem based learning, inisiatif mahasiswa sangat diperlukan. Hal
ini dikarenakan mahasiswa harus berpartisipasi aktif dalam mencari informasi
untuk mengidentifikasi masalah dan memecahkan masalah. Melalui Problem
based learning “membiasakan” mahasiswa untuk berinisiatif dalam prosesnya,
sehingga kemampuan tersebut dapat meningkat.
c. Pengembangan keterampilan dan pengetahuan
Problem based learning memberi makna yang lebih, contoh nyata penerapan
dan manfaat yang jelas dari materi pelajaran (fakta,konsep,prinsip dan
prosedur). Semakin kompleks permasalahan, semakin tinggi keterampilan dan
pengetahuan yang dituntut kepada mahasiswa untuk mampu memecahkan
masalah. Dengan demikian juga semakin nyata permasalahan maka semakin
tinggi tingkat transferability dari keterampilan dan pengetahuan mahasiswa
kedalam kehidupan sehri-hari.
d. Pengembangan keterampilan interpersonal dan dinamika kelompok
Keterampilan interaksi sosial merupakan keterampilan yang sangat diperlukan
mahasiswa didalam proses pembelajaran maupun dalam kehidupan sehari-hari.
Proses pemblajaran tradisional sering kali mengabaikan keterampilan interaksi
sosial karena amat terfokus pada kemampuan bidang ilmu. Dalam hal yang
demikian, Problem based learning dapat menyajikan keduanya ecara
bersamaan.
e. Pengembangan sikap “self motivated”
Dengan cirinya yang member kebebasan kepada mahasiswa untuk
bereksplorasi bersama rekannya dengan didampingi sebagai fasilitator
memungkinkan terjadinya proses pembelajaran yang menyenangkan. Dalam
situasi belajar yang demikian, mahasiswa akan dengan sendirinya termotivasi
untuk belajar secara kontinu. Bayard (1994) juga meyakini terjdinya
peningkatan motivasi beljar melalui problem lbasedd learning.(ward,2002).
f. Tumbuhnya hubungan mahasiswa-fasilitator (bukan mahasiswa-guru)
Jika guru sudah mengalami pengajaran dengan problem based learning, akan
tumbuh hubungan mahasiswa-fasiitator dimana peran guru akan menjadi lebih
bermakna daripada sekedar penyajian informasi.
g. Jenjang pencapaian pembelajaran dapat ditingktkan
Dengan problem based learning terjadi keragaman keterampilan dan
kebermaknaan (selama terjadi proses pemecahan masalah), yang dalam hal ini
merupakan nilai tambah dari PBL disbanding pegajaran tradisional. Masalah
yang spesifik untuk dipecahkan cendrung meningkatkan pencapaian akademik
yang lebih tinggi, khususnya dalam hal keterampilan memecahkan dalam
kehidupan nyata.
2.4.2 Kelemahan
a. Pencapaian akademik dari individu mahasiswa.
Dalam PBL difokuskan pada suatu masalah yang spesifik, sehingga sering kali
tidak memiliki ruang lingkup keilmuan yang memadai. Jika ruang lingkup
bidang ilmu yang lebih dipentingkan (dalam belajar) dari pada keterampilan
belajar dan berpikir, maka PBL masih diragukan perannya.
b. Waktu yang diberikan untuk implementasi
Waktu yang diperlukan untuk implementasi PBL (baik guru maupun
mahasiswa) cendrung lebih banyak dibandingkan pengajaran tradisional.
Waktu yang lebih banyak lagi diperlukan pada saat awal “terlibat ”dalam PBL.
c. Perubahan peran mahasiswa dalam proses belajar
Dalam PBL, peran yang dituntut kepada mahasiswa menjadi berbeda, yakni
menjadi mahasiswa yang aktif dan mandiri. Sering kali hal ini menjadi kendala
bagi mahasiswa ‘pemula” dan juga bagi guru yang “terlalu berharap” kepada
mahasiswanya. Proses transisi dan pembimbing yang intensif pada tahap awal
sangat diperlukan.

2.5 Pengajaran (Kimia) dengan Problem Based Learning

Pembelajaran berbasis masalah dapat diterapkan bila didukung oleh lingkungan


belajar yang kontruktivistik. Lingkungan bekajar konstruktivistik mencakup beberapa
faktor yakni, kasus-kasus berhubungan, fleksibilitas kognisi, sumber-sumber informasi,
cognitive tools, pemodelan yang dinamis, percakapan dan kolaborasi serta dukungan
sosial dan kontekstual (Jonassen dalam Pannen 2001).
Problem Based Learning banyak diterapkan dalam pengajaran sains. Gallagher,
dkk, (1995) menyatakan bahwa problem based learning diperlukan untuk eksperimentasi
sebagai suatu alat untuk memecahkan masalah dimana menggunakan suatu kerangka
kerja yang menekankan bagaimana para mahasiswa merencanakan suatu eksperimen
untuk menjawab beberapa pertanyaan. Selama fase perancangan eksperimen berbasis
masalah, para mahasiswa mengembangkan suatu protocol yng mendaftar setiap tahap
dalam eksperimen. Dalam protocol ini tampak ada kecendrungan yang khas seperti
standar perencanaan laboratorium, menjadi suatu tuntutan metakognitif bagi pra
mahasiswa untuk digunakan dalam pengembangan eksperimen selanjutnya.
Model problem based learning telah digunakan oleh para ahli dalam
pembelajaran kimia dan turunannya, antara lain pengajaran biokimia oleh Dods (1996),
pembelajaran kimia sintetis bahan alam kompleks oleh Cannon dan Krow (1998), Yu
Ying (2003) dalam pengajaran elektrokimia, dan Liu Yu (2004) dalam pengajaran kimia
analitik.
Dengan pendekatan ini telah dapat mengembangkan sifat usaha dan kreativitas
manusia, meningkatkan kepercayaan diri, bangga, dan mampu bekerja sama dengan baik
antar teman kelas. Disisi lain para mahasiswa memuji perkuliahan sintesis dengan
pendekatan ini, membawa konsep-konsep untuk dipelajari dengan kelas lain yang
berbeda dan menerapkannya dalam masalah yang nyata.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Pembelajaran berbasis masalah ditekankan pada penyampaian situasi permasalahan
kepada peserta didik dan membawanya yntuk penyelidikan dan pemecahan sesuai dengan
dunianya. Ada tiga karakter instruksional PBL diantaranya, membantu peserta didik
mengembangkan penyelidikan dan keterampilan pemecahan masalah, memberikan ruang kepad
peserta didik untuk berpengalaman dan berperan orang dewasa, dan menyediakan ruang kepada
peserta didik menjadi percaya diri sesuai dengan kemampuan yang diperolehnya untuk berfikir
dan menjadi murid yang mandiri.
Secara umum ada beberapa tahapan dalam pengajaran yang mengunakan metode ini, yaitu:
orientasi peserta didik kepada permasalahan, mengorganisasikan peserta didik untuk belajar,
membantu penyelidikan babik individu maupun kelompok, mengembangkan dan menyajikan
hasil karya dan memamerkannya, dan analisis, serta evaluasi kerja. Dasar pengetahuan pada PBl
bersifat beragam dan kompleks, seperti discovery learning, inquiry tranining, higer level
thinking. Dimana semuanya berfokus membantu paserta didik menjadi orang yang mandiri,
otonom, dan yamh berkapabel memfigurkan diri.

DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai