Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam rentang waktu yang cukup panjang, telah terjadi pemalsuan-pemalsuan hadis yang
dilakukan oleh orang-orang dan golongan tertentu. Atas kenyataan inilah, maka ulama hadis
dalam usahanya membukukan hadis Nabi Muhammad saw, selain harus melakukan perjalanan
untuk menghubungi para periwayat yang tersebar di berbagai daerah yang jauh, juga harus
mengadakan penelitian dan penyeleksian terhadap semua hadis yang akan mereka bukukan.
Karena itu, proses pembukuan hadis secara menyeluruh mengalami waktu yang cukup panjang.
Salah satu ahli hadis yang telah berjasa dalam pembukuan hadis adalah Imam al-Nasâ’î.
Karya beliau yang populer yaitu Sunan al-Nasâ’î. Untuk mengetahui dan mengenal lebih jauh
mengenai kitab Sunan ini, kiranya diperlukan kajian yang lebih rinci. Dalam makalah ini, akan
dibahas mengenai biografi Imam al-Nasâ’î, metode, kandungan dan sistematika penyusunan
kitab Sunan al-Nasâ’î, penilaian para ulama terhadap kitab tersebut, dan kelebihan serta
kekurangannya.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Biografi Imam al-Nasâ’î?
2. Bagaimana metode, kandungan, dan sistematika kitab Sunan al-Nasâ’î?
3. Bagaimana penilaian para ulama terhadap kitab Sunan al-Nasâ’î?
4. Apa-apa saja kelebihan dan kekurangan dari kitab Sunan al-Nasâ’î?

C. Tujuan
Untuk mengetahui biografi Imam al-Nasâ’î, metode, kandungan dan sistematika kitab Sunan
al-Nasâ’î, penilaian para ulama terhadap kitab Sunan al-Nasâ’î serta kelebihan dan kekurangan
dari kitab Sunan al-Nasâ’î.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Biografi Imam al-Nasâ’î (215-303 H/ 830-915 M)


Imam al-Nasâ’î yang memiliki nama lengkap Ahmad ibn Syuaib ibn ‘Ali ibn Sinan ibn Bahar
ibn Dinar Abu Abdurrahman al-Khurasani al-Nasâ’î al-Qâdhî al-Hâfizh adalah seorang ulama
hadis terkenal.1 Kitabnya termasuk kitab hadis yang enam, yaitu Bukhârî, Muslim, Abû Dâwûd,
Ibn Mâjah, Tirmidzî dan Nasâ’î.. Keenam kitab hadis ini dikenal karena ketinggian sumber
periwayatannya (sanad) maupun karena kandungan beritanya (matan).
Dilahirkan di satu desa yang bernama Nasâ’ di daerah Khurasan pada tahun 215 H/830 M, al-
Nasâ’î tumbuh dan berkembang di desa kelahirannya. Ia menghafal Alquran di madrasah yang
ada di Nasâ’. Imam al-Nasâ’î juga banyak menyerap berbagai disiplin ilmu keagamaan dari para
ulama di daerahnya. Saat remaja, seiring dengan kapasitas intelektualnya, beliaupun gemar
melakukan lawatan ilmiah ke berbagai penjuru dunia untuk memburu ilmu-ilmu keagamaan,
terutama disiplin hadis dan ilmu hadis.
Belum genap usia 15 tahun, beliau sudah melakukan mengembara ke berbagai wilayah Islam,
seperti Mesir, Hijaz, Iraq, Syam, Khurasan dan lain sebagainya. 2 Sebenarnya, lawatan intelektual
yang demikian, bahkan dilakukan pada usia dini, bukan merupakan hal yang aneh di kalangan
para Imam hadis. Semua Imam hadis, terutama Imam hadis yang biografinya banyak diketahui
sudah gemar melakukan perlawatan ilmiah ke berbagai wilayah Islam semenjak usia dini. Dan
itu merupakan ciri khas ulama-ulama hadis, termasuk Imam al-Nasâ’î.
Imam al-Nasâ’î juga tercatat mempunyai banyak guru dan murid. Para guru beliau yang
nama harumnya tercatat oleh pena sejarah antara lain: Qutaibah ibn Sa’îd, Ishâq ibn Ibrâhîm, al-
Hârits ibn Miskîn, ‘Alî ibn Kasyrâm dan Imam Abu Dâwûd.3
Sementara murid-murid yang setia mendengarkan fatwa-fatwa dan ceramah-ceramah beliau,
antara lain: Abû Qâsim al-Thabarânî, Abû Ja’far al-Thâwî, al-Hasan bin al-Khâdir al-Suyûthî,

1
Shidqî Jamîl al-Aththâr, Tarjamah al-Imam al-Nasâ’î, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1995), juz 1, h. 5.
2
Muhammad ‘Ajjâj al-Khathîb, Ushûl al-Hadîts ‘Ulûmuhû wa Mushtalâhuhû, (Libanon: Dâr al-Fikr, 1975),
h.324.
3
Muhammad Abû Zahwu, al-Hadîts wa al-Muhadditsûn: Inâyah al-Ummah al-Islâmiyah bi al-Sunnah al-
Nabawiyah, (Beirut: Dâr al-Fikr al-‘Arabî,1984), h. 358.

2
Muhammaad ibn Mu’âwiyah ibn al-Ahmar al-Andalûsî, Abû Nashr al-Dalabî dan Abû Bakr ibn
Ahmad al-Sunnî. Nama yang terakhir, di samping dikenal sebagai murid juga tercatat sebagai
“penyambung lidah” Imam al-Nasâ’î dalam meriwayatkan kitab Sunan al-Nasâ’î.4
Sepanjang hidupnya, Imam al-Nasâ’î telah menyelesaikan 15 judul kitab yang pada
umumnya memuat koleksi hadis dan ‘ulûm al-hadîts. Namun, yang tersebar luas di tengah-
tengah masyarakat hanya lima buah kitab, yaitu:
a. Sunan al-Kubrâ, kitab yang pertama kali disusun oleh Imam al-Nasâ’î. Di dalamnya
memuat hadis-hadis shahîh, hadis-hadis ber-illat, sejauh diketahui unsur illat-nya.
b. Sunan al-Sughrâ, disebut juga al-Muntakhab, Mujtanamîn al-Sunan, kemudian populer
dengan nama al-Mujtabâ, yang oleh kalangan ulama muhadditsîn dikenal dengan Sunan
al-Nasâ’î.
c. Al-Khashâish, diselesaikan ketika menetap sementara di wilayah Damaskus. Berisi
rangkuman reputasi kepribadian, keilmuan dan prestasi kemiliteran/pemerintahan ‘Alî
ibn Abî Thâlib beserta Ahl al-Bait Nabi Muhammad saw.
d. Fadhâil al-Shahabat
e. Al-Manâsik (artikel bermateri fikih yang mendasarkan orientasinya kepada sunnah atau
hadis dan cenderung memasyarakatkan hukum amaliyah versi Syâfi’iyyah.5
Imam al-Nasâ’î termasuk salah seorang ulama yang teguh pendirian, memiliki integritas
kepribadian yang kuat, teliti dalam sikap dan perbuatan. Ia berani mengemukakan pendapat,
sekalipun berakibat fatal bagi dirinya. Sikap inilah yang menyebabkan kematiannya. Ia
meninggal dunia pada hari Senin di bulan Shafar tahun 303 H.
Kisah kematian Imam al-Nasâ’î mencerminkan keteguhan kepribadiannya. Ulama hadis ini
dianiaya oleh kaum ekstrimis Syiria karena mereka tidak puas dengan jawaban Imam al- Nasâ’î
ketika beliau diminta menunjukkan keutamaan Mu’âwiyah ibn Abî Sufyân daripada ‘Alî ibn Abî
Thâlib. Pada saat itu, Imam al-Nasâ’î menjawab, “Saya tidak bisa membandingkan Mu’âwiyah
ibn Abî Sufyân dengan ‘Alî ibn Abî Thâlib, karena saya tidak mengetahui keutamaan Mu’âwiyah
selain perut yang tidak pernah kenyang.” Ungkapan ini pada hakikatnya menggambarkan
keserakahan dan ketamakan Mu’âwiyah.

4
Ibn al-Hajar al-‘Asqalânî, Kitab Tahdzîb al-Tahdzîb, ed. Shiqî Jamîl al-Aththâr, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1995), h.
67.
5
Muhtadi Ridwan, Studi Kitab-kitab Hadis Standar, (Malang: UIN Maliki Press, 2012), h. 92.

3
Dari uraian di atas, dapatlah disimpulkan bahwa penyebab meninggalnya Imam al-Nasâ’î
cukup jelas, yaitu karena penganiayaan. Namun, tentang tempat di mana beliau meninggal dunia
diperselisihkan oleh para ulama. Setahun menjelang kemangkatannya, beliau pindah dari Mesir
ke Damsyik. Tampak tidak ada konsensus ulama tentang tempat meninggal beliau. Al-Daruqutni
mengatakan, beliau meninggal di Mekkah dan dikebumikan di antara Shafa dan Marwah.
Pendapat ini senada dikemukakan oleh Abdullâh ibn Mandah dari Hamzah al-‘Uqbî al-Mishrî.6
Sementara ulama yang lain, seperti Imam al-Dzahabî, menolak pendapat tersebut. Ia
mengatakan, Imam al-Nasâ’î meninggal di Ramlah, suatu daerah di Palestina. Pendapat ini
didukung oleh Ibn Yûnus, Abû Ja’far al-Thahawî (murid al-Nasâ’i) dan Abû Bakar al-Naqatah.
Menurut pandangan terakhir ini, benar al-Nasâ’î meninggal pada tahun 303 H dan dikebumikan
di Baitul Maqdis, Palestina.
Muhammad ‘Ajjâj al-Khâthib menyebutkan bahwa pendapat yang râjih (yang lebih kuat)
adalah bahwa Imam al-Nasâ’î meninggalkan wilayah Mesir dan Syiria pada bulan Dzulkaidah
tahun 302 H, kemudian beliau meninggal dunia di Ramalah, Palestina, pada hari Senin, 13
Shafar 303 H.7

B. Metode, Kandungan dan Sistematika Kitab Sunan al-Nasâ’î


Menurut sebuah keterangan yang diberikan oleh Imam Ibn al-Atsîr al-Jazairî dalam kitabnya
Jâmi’ al-Ushûl, kitab Sunan al-Nasâ’î disusun berdasarkan pandangan-pandangan fikih mazhab
Syâfi’î. Sekarang, karangan Imam al-Nasâ’î paling monumental adalah Sunan al-Nasâ’î.
Sebenarnya, bila ditelusuri secara seksama, terlihat bahwa penamaan karya monumental beliau
sehingga menjadi Sunan al-Nasâ’î sebagaimana yang kita kenal sekarang, melalui proses
panjang, dari Sunan al-Kubrâ, Sunan al-Sughrâ, al-Mujtabâ, dan terakhir terkenal dengan
sebutan Sunan al-Nasâ’î.
Untuk pertama kali, sebelum disebut dengan Sunan al-Nasâ’î, kitab ini dikenal dengan
Sunan al-Kubrâ. Setelah tuntas menulis kitab ini, beliau kemudian menghadiahkan kitab ini
kepada Amîr Ramlah (Walikota Ramlah) sebagai tanda penghormatan. Amîr kemudian bertanya
kepada al-Nasâ’î, “Apakah kitab ini seluruhnya berisi hadis shahîh?” Beliau menjawab dengan
kejujuran, “Ada yang shahîh, hasan, dan adapula yang hampir serupa dengannya”.

6
Abû Zahwu, al-Hadîts wa al-Muhadditsûn..., h. 357.
7
Al-Khathîb, Ushûl al-Hadîts ‘Ulûmuhû wa Mushtalâhuhû..., h. 325.

4
Kemudian, Amîr berkata kembali, “Kalau demikian halnya, maka pisahkanlah hadis yang
shahîh-shahîh saja”. Atas permintaan Amîr ini, beliau kemudian menyeleksi dengan ketat semua
hadis yang telah tertuang dalam kitab Sunan al-Kubrâ. Dan akhirnya, beliau berhasil melakukan
perampingan terhadap Sunan al-Kubrâ, sehingga menjadi Sunan al-Sughrâ.
Jumlah hadis yang terdapat di dalam kitab Sunan al-Sughrâ ini berjumlah 5758 buah hadis.
Sedangkan sistematika susunannya, sebagaimana dapat dilihat sekarang, mengikuti lazimnya
sistematika kitab fikih. Sebagai sebuah ilustrasi, kiranya dapat disampaikan di sini bahwa kitab
Sunan al-Sughrâ ini dimulai dari “Kitâb al-Thahârah”, pembahasannya tentang tatacara
bersuci.8
Imam al-Nasâ’î sangat teliti dalam menyeleksi hadis-hadis yang termuat dalam kitab Sunan
al-Kubrâ. Oleh karenanya, banyak ulama berkomentar, “Kedudukan kitab Sunan al-Sughrâ di
bawah derajat Shahîh al-Bukhârî dan Shahîh Muslim”. Nah, karena hadis-hadis pilihan yang
telah diseleksi dengan super ketat, maka kitab ini juga dinamakan al-Mujtabâ. Pengertian al-
Mujtabâ bersinonim dengan al-Mukhtâr (yang terpilih), karena memang kitab ini berisi hadis-
hadis pilihan, hadis-hadis hasil seleksi dari kitab Sunan al-Kubrâ.
Di samping al-Mujtabâ, dalam satu riwayat, kitab ini juga dinamakan al-Mujtanâ. Pada
masanya, kitab ini terkenal dengan sebutan al-Mujtabâ, sehingga nama Sunan al-Sughrâ seperti
tenggelam ditelan keharuman nama al-Mujtabâ. Dari al-Mujtabâ inilah, kemudian kitab ini
terkenal dengan sebutan Sunan al-Nasâ’î, sebagaimana kita kenal sekarang. Tampaknya, untuk
selanjutnya kitab ini tidak akan mengalami perubahan nama seperti yang terjadi sebelumnya.9
Dilihat dari namanya, maka kita akan segera tahu bahwa kitab Sunan al-Nasâ’î ini disusun
berdasarkan metode sunan.10 Kata sunan adalah jamak dari kata sunnah yang pengertiannya juga
sama dengan hadis. Sementara yang dimaksud dengan metode sunan di sini adalah metode
penyusunan kitab hadis berdasarkan klasifikasi hukum Islam (abwab al-fiqhiyyah).
Selain itu, hanya mencantumkan hadis-hadis yang bersumber dari Nabi Muhammad saw saja
(hadis marfu'). Bila terdapat hadis-hadis yang bersumber dari sahabat (mauquf) atau tâbi'în
(maqtu'), maka relatif jumlahnya hanya sedikit.

8
Nâwir Yuslem, Kitab Induk Hadis al-Kutub al-Tis’ah, (Jakarta: Hijri Pustaka Utama, 2011), cet. 2, h. 116.
9
Agus Sholâhuddîn, Ulûm al-Hadîts, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), h. 238.
10
‘Alî Mushthafâ Ya’qûb, Kritik Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), h.136.

5
Sistematika penyajian hadis dalam Sunan al-Nasâ’î menyerupai tertib sistem kitab fikih serta
masing-masing kelompok hadis yang satu materi dilengkapi dengan judul sub bab yang mewakili
persepsi hasil analisis Imam al-Nasâ’î terhadap inti kandungan matan hadis yang bersangkutan.
Mengawali penyajian setiap hadis, diterangkan sanad lengkap setiap matan, perhatian khusus
mengenai proses tahdîs (sighat tahdîs), dan matan hadis selengkapnya. Di belakang matan tidak
terdapat embel-embel kecuali keterangan singkat mengenai mukharrij yang menjadi referensi
hadis dan informasi sederhana tentang unsur ‘illat hadis (bila diketahui hadis bersangkutan ber-
illat).
Pengeditan matan hadis ditekankan pada upaya mempertahankan keaslian redaksi (riwayat bi
al-lafdzi). Imam al-Nasâ’î agak peka terhadap dugaan lahn (rancu) dalam bahasa matan hadis,
karenanya beliau dengan cermat mencari idiom serupa pada suku-suku pemakai bahasa klasik,
sebab bisa diasumsikan bahwa Nabi Muhammad saw. senantiasa berkomunikasi dengan bahasa
mereka termasuk pemanfaatan idiom-idiom bahasa mereka.11
Adapun klasifikasi isi kitab Sunan al-Nasâ’î adalah sebagaimana berikut ini :
1. Dari kitab pertama sampai kitab ke dua puluh satu adalah tentang thaharah dan shalat.
Namun beliau lebih memperbanyak masalah shalat.
2. Beliau mengedepankan kitab shaum dari kitab zakat.
3. Beliau memberi jarak antara pembahasan “pembagian rampasan perang” dengan “jihad”.
4. Beliau juga memisahkan antara pembahasan al-khail dengan jihad.
5. Imam al-Nâsâ’î membuat kitab khusus tentang wakaf (ahbas), juga kitab wasiat dengan
tersendiri, adapula kitab al-nihl (pemberian untuk anak), kitab hibah, tanpa ada kitab faraidh
(pembagian waris).
6. Beliau memisah antar kitab asyribah dengan kitab shaid dan dzabaih. Juga beliau
memisahkan kitab-kitab tadi dengan kitab dhahaya.
7. Beliau mengakhirkan kitab iman.
8. Kitab iman dengan kitab isti’âdah sajalah yang tidak membahas tentang hukum.12

11
Jalâl al-Dîn al-Suyûthî, Sunan Aal-Nasâ’î, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1430 H), h. 130.
12
Abu Muhammad Abdullah Al-Mahdi, Turuqu Takhrîj Al-Hadis, (al-Azhar: Dâr al-ittiishâm, Tt), h. 293-295.

6
Kitab Sunan al-Nasâ’î13
C. Pandangan Para Ulama terhadap Kitab Sunan al-Nasâî
13
An-Nasâ’î, Sunan al-Nasâ’î, (Riyadh, Dâr al-Hadhârah li al-Nasyr wa al-Tauzî’, 1436 H), h. 9.

7
Kita perlu menilai jawaban Imam al-Nasâ’i terhadap pertanyaan Amir Ramlah secara kritis,
dimana beliau mengatakan dengan sejujurnya bahwa hadis-hadis yang terdapat dalam kitabnya
tidak semuanya shahîh, tapi ada pula yang hasan, dan ada pula yang menyerupainya. Beliau
tidak mengatakan bahwa di dalamnya terdapat hadis dha’îf (lemah) atau maudhû’ (palsu). Ini
artinya, beliau tidak pernah memasukkan sebuah hadis pun yang dinilai sebagai hadis dha’îf atau
maudhû’, minimal menurut pandangan beliau.14
Apabila setelah hadis-hadis yang ada di dalam kitab Sunan al-Kubrâ diseleksi dengan teliti,
sesuai permintaan Amir Ramlah supaya beliau hanya menuliskan hadis yang berkualitas shahîh
semata. Dari sini bisa diambil kesimpulan, apabila hadis hasan saja tidak dimasukkan ke dalam
kitabnya, hadis yang berkualitas dha’îf dan maudhû’ tentu lebih tidak berhak untuk disandingkan
dengan hadis-hadis shahîh.
Namun demikian, Ibn Qayyim al-Jauzî, pengarang kitab al-Maudhû’ât (hadis-hadis palsu),
mengatakan bahwa hadis-hadis yang ada dalam kitab Sunan al-Sughrâ tidak semuanya
berkualitas shahîh, namun ada yang maudhû’ di dalamnya, sehingga memunculkan kritik tajam
terhadap kredibilitas Sunan al-Sughrâ.15
Adapun orang belakangan menilai hadis tersebut ada yang maudhû’, itu merupakan
pandangan subjektivitas penilai. Dan masing-masing orang mempunyain kaidah-kaidah mandiri
dalam menilai kualitas sebuah hadis. Demikian pula kaidah yang ditawarkan Imam al-Nasâ’i
dalam menilai kesahihan sebuah hadis tampaknya berbeda dengan kaidah yang diterapkan oleh
Ibn Qayyim al-Jauzî. Hal ini akan memunculkan pandangan yang berbeda, dan itu merupakan
sesuatu yang wajar terjadi. Sudut pandang yang berbeda akan menimbulkan kesimpulan yang
berbeda pula.
Kritikan pedas Ibn al-Qayyim al-Jauzî terhadap keotentikan karya monumental Imam al-
Nasâ’î ini tampaknya mendapatkan bantahan yang cukup keras pula dari pakar hadis abad ke-9,
yakni Imam Jalâl al-Dîn al-Suyûthî. Menurutnya, dalam Sunan al-Nasâ’î memang terdapat hadis
yang shahîh, hasan dan dha’îf. Hanya saja, jumlahnya relatif sedikit. Imam al-Suyûthî tidak
sampai menghasilkan kesimpulan bahwa ada hadis maudhû’ yang terdapat dalam Sunan al-
Nasâ’î, sebagaimana kesimpulan yang dimunculkan oleh Imam Ibn al-Qayyim al-Jauzî. Adapun
ulama yang mengatakan bahwa hadis yang terdapat di dalam kitab Sunan al-Nasâ’î semuanya

14
Fathur Rahmân, Ikhtishâr Musthalah al-Hadîts, (Bandung: PT. al-Ma’ârif, 1985), h. 76.
15
Ibn al-Qayyim al-Jauzî, I’lâm al-Mawâqi’în ‘an Rabb al-Alamîn, (Kairo: Al-Nîl, 1955), h. 234.

8
berkualitas shahîh, merupakan pandangan yang menurut Muhammad Abû Syuhbah tidak
didukung oleh penelitian mendalam dan jeli, kecuali maksud pernyataan itu bahwa sebagian
besar isi kitab Sunan al-Nasâ’î berkualitas shahîh.16
Abû Alî al-Naisâbûrî pernah mengatakan, “Orang yang meriwayatkan hadis kepada kami
adalah seorang Imam hadis yang telah diakui oleh para ulama, ia bernama Abû Abdurrahmân
al-Nasâ’î.” Lebih jauh lagi, Imam al-Naisâbûrî mengatakan, “Syarat-syarat yang ditetapkan al-
Nasâ’î dalam menilai para periwayat hadis lebih ketat dan keras daripada syarat-syarat yang
digunakan Muslim bin al-Hajjâj.” Ini merupakan komentar subjektif Imam al-Naisâbûri
terhadap pribadi al-Nasâ’î yang berbeda dengan komentar ulama pada umumnya.
Ulama pada umunya lebih mengunggulkan ketetatan penilaian Imam Muslim ibn al-Hajjâj
daripada al-Nasâ’î. Bahkan, komentar mayoritas ulama ini pulalah yang memposisikan Imam
Muslim sebagai pakar hadis.nomor dua setelah al-Bukhârî. Namun demikian, bukan berarti
mayoritas ulama merendahkan kredibilitas Imam al-Nasâ’î. Imam al-Nasâ’î tidak hanya ahli
dalam bidang hadis dan ilmu hadis, namun juga mumpuni dalam bidang fikih.
Al-Dâruquthnî pernah mengatakan, “Beliau adalah salah seorang Syaikh di Mesir yang
paling ahli dalam bidang fikih pada masanya dan paling mengetahui tentang hadis dan para
rawi.” Al-Hâkim Abû Abdullâh berkata, “Pendapat-pendapat Abû Abdurrahmân mengenai
fikih yang diambil dari hadis terlampau banyak untuk dapat kita kemukakan seluruhnya. Siapa
yang menelaah dan mengkaji kitab Sunan al-Nasâ’î, ia akan terpesona dengan keindahan dan
kebagusan kata-katanya.”17
Tidak ditemukan riwayat yang jelas tentang afiliansi pandangan fikih Imam al-Nasâ’î,
kecuali komentar singkat Imam mazhab Syâfi’î. Pandangan Ibn al-Atsir ini dapat dimengerti dan
dipahami, karena memang Imam al-Nasâ’î lama bermukim di Mesir, bahkan merasa cocok
tinggal di sana. Beliau baru berhijrah dari Mesir ke Damsyiq setahun menjelang kewafatannya.18
Karena Imam al-Nasâ’î cukup lama tinggal di Mesir, sementara Imam Syâfi’î juga lama
menyebarkan pandangan-pandangan fikihnya di Mesir (setelah kepindahannya dari Baghdad),
maka walaupun antara keduanya tidak pernah bertemu, karena al-Nasâ’î baru lahir sebelas tahun
setelah kewafatan Imam Syâfi’î, tidak menutup kemungkinan banyak pandangan-pandangan
16
Muhammad Abû Syuhbah, al-Kutub al-Shîhah al-Sittah, (Kairo: Majma’ al-Buhûts al-Islâmiyah, 1995 ), h.
96.
17
Sholâhuddîn, Ulûm al-Hadîts..., h. 240.
18
Muhammad Ahmad, Ulûm al-Hadîts, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), h. 171.

9
fikih mazhab Syâfi’î yang beliau serap melalui murid Imam Syâfi’î yang tinggal di Mesir.
Pandangan fikih Imam Syâfi’î lebih tersebar di Mesir daripada di Baghdad. Hal ini membuka
peluang bagi Imam al-Nasâ’î untuk bersinggungan dengan pandangan fikih Syâfi’î. Dan ini akan
menguatkan dugaan Ibn al-Atsîr tentang afiliasi mazhab fikih al-Nasâ’î.
Pandangan Syâfi’î di Mesir ini kemudian dikenal dengan qaul jadîd (pandangan baru). Dan
ini seandainya dugaan Ibn al-Atsîr benar, mengindikasikan bahwa pandangan fikih Syâfi’î dan
al-Nasâ’î lebih didominasikan pandangan baru (qaul jadîd) daripada pandangan klasik (qaul
qadim).19
Namun demikian, tidak menutup kemungkinan bahwa Imam al-Nasâ’i merupakan sosok
yang berpandangan netral, tidak memihak salah satu pandangan mazhab fikih manapun,
termasuk pandangan Imam Syâfi’î. Hal ini seringkali terjadi pada imam-imam hadis sebelum al-
Nasâ’i, yang hanya berafiliasi pada mazhab hadis. Dan independensi pandangan ini merupakan
ciri khas imam-imam hadis. Oleh karena itu, untuk mengklaim bahwa pandangan Imam al-
Nasâ’î telah terkontaminasi oleh pandangan orang lain, kita perlu menelusuri sumber sejarah
yang konkrit, bukan hanya berdasarkan dugaan.20
Dari kalangan ulama semasa beliau dan murid-muridnya banyak memberikan pujian dan
sanjungan kepada Imam al-Nasâ’i, di antara mereka yang memberikan pujian kepada beliau
adalah:
1. Abû ‘Ali al-Naisâbûrî menuturkan, “Beliau adalah tergolong dari kalangan Imam kaum
muslimin.” Sesekali waktu ia menuturkan, “Beliau adalah imam dalam bidang hadis dan tidak
ada pertentangan.
2. Abu Bakr al-Haddâd al-Syâfi’î menuturkan, “Aku ridha dia sebagai hujjah antara aku
dengan Allah swt.”
3. Manshûr ibn Ismâ’îl dan al-Thahâwî menuturkan, “Beliau adalah salah seorang Imam
kaum muslimin.”
4. Abû Sa’îd ibn Yûnus menuturkan, “Beliau adalah seorang Imam dalam bidang hadis,
tsiqah, tsabat dan hafizh.”
5. Al-Qâsim al-Muththarriz menuturkan, “Beliau adalah seorrang imam, atau berhak
mendapatkan gelar imam.”

19
Harun Nasution, Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1992), h. 254.
20
M. Syuhûdî Ismâ’îl, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis, (Jakarta: Bulan Bintang, 1998), h.70.

10
6. Al-Dâruquthnî menuturkan, “Abû Abdurrahmân lebih didahulukan dari semua orang
yang disebutkan dalam disiplin ilmu ini pada masanya.”
7. Al-Khalîl menuturkan, “Beliau adalah seorang hafizh yang kapabel, diridhai oleh para
hafizh, para ulama sepakat atas kekuatan hafalannya, ketekunannya, dan perkataannya bisa
dijadikan sebagai sandaran dalam masalah jarh wa ta’dîl.”
8. Ibn Nuqthah menuturkan, “Beliau adalah seorang Imam dalam disiplin ilmu ini.”
9. Al-Mizzi menuturkan, “Beliau adalah seorang Imam yang menonjol dari kalangan para
hafizh dan para tokoh yang terkenal.”21

D. Kelebihan dan Kekurangan Kitab Sunan al-Nasâ’î


1. Kelebihannya:
a. Dalam menilai integritas rijâl al-Hadîs seperti yang dikemukakan oleh Abû ‘Alî al-
Naisâbûrî, cenderung lebih berhati-hati dan lebih ketat daripada cara yang ditempuh oleh
Imam Muslim. Meskipun pendapat ini ditentang oleh ulama yang lain.22
b. Amat minim jumlah satuan perawi dalam Sunan al-Nasâ’î yang dicurigai lemah, terbukti
banyak perawi yang koleksi hadis-hadisnya oleh Imam Abû Dâwûd dan Imam Tirmidzî
justru dikesampingkan dan ditolak oleh Imam al-Nasâ’î. Demikian jika dilihat kritik Ibn al-
Qayyim al-Jauzî terhadap hadis-hadis koleksi Imam al-Nasâ’î lebih minim yang diduga
dha’îf (maudhû’). Ibn al-Qayyim al-Jauzî hanya mempermasalahkan 10 hadis, seperti yang
diketahui secara umum bahwa Ibn al-Qayyim al-Jauzî cenderung oper kritik, namun terhadap
Sunan al-Nasâ’î hasil evaluasi beliau demikian minim yang dha’îf.23
c. Dalam teori jarh wa ta’dîl yang dikembangkan oleh Imam al-Nasâ’i diperlukan sebagai
referensi baku bagi kalangan muhadditsîn generasi sesudahnya.

2. Kekurangannya:

21
Subhi al-Shâlih, ‘Ulûm al-Hadîts wa Musthalâhuhû, (Beirut: Dâr al-Ilmi al-Malayîn, 1998), h. 172.
22
Al-Mubarakfuri, Tuhfah al-Ahwâdzî, (Jakarta: Pustaka Azzam, 1997), h. 131.
23
Muhammad ibn ‘Alawî al-Mâlikî al-Hasanî, al-Minhâj al-Lathîf fi Ushûl al-Hadîs al-Syarîf, (Beirut: Dar al-
Fikr, 1398 H/1978 M), h. 305.

11
a. Dalam jajaran rijâl al-Hadîs sepanjang koleksi Sunan al-Nasâ’î terdapat orang-orang yang
digolongkan majhûl (tidak dikenal pribadi dan keahliannya) dan terdapat pula perawi yang
majrûh (ternoda sifat keadilan pribadinya).
b. Banyak perawi thabaqah ketiga yang menjadi pendukung sanad hadis-hadis inti dan justru
terdiri atas perawi yang ramai diperdebatkan ulama segi diterima atau ditolak
periwayatannya, seperti Mu’âwiyah ibn Yahyâ al-Sadafî, Ishâq ibn Yahyâ al-Kilbî,
Musannah ibn Ansabah dan lain sebagainya.
c. Dalam Sunan al-Nasâ’i sebenarnya banyak dijumpai hadis dhâ’îf, mu’allal, dan munkar.
Erosi mutu hadis mungkin disebabkan banyaknya riwayat perawi thabaqah keempat,
sekalipun hadis mereka hanya menempati posisi muttaba’ dan syawâhid.24

BAB III
PENUTUP
24
Al-Mubarakfuri, Al-Mubarakfuri, Tuhfah al-Ahwâdzî..., h. 93.

12
A. Kesimpulan
Imam al-Nasâ’î yang memiliki nama lengkap Ahmad ibn Syuaib ibn ‘Ali ibn Sinan ibn Bahar
ibn Dinar Abu Abdurrahman al-Khurasani al-Nasâ’î al-Qâdhî al-Hâfizh. Beliau dilahirkan di satu
desa yang bernama Nasâ’ di daerah Khurasan pada tahun 215 H/830 M.
Sunan al-Nasâ’î ini disusun berdasarkan metode sunan. Sedangkan sistematika penyajian
hadis dalam Sunan al-Nasâ’î menyerupai tertib sistem kitab fikih, dan kandungannya berisikan
fikih mazhab Syâfi’î.
Ibn Qayyim al-Jauzî, pengarang kitab al-Maudhû’ât (hadis-hadis palsu), mengatakan bahwa
hadis-hadis yang ada dalam kitab Sunan al-Nasâ’î ada yang maudhû’ di dalamnya. Menurut
Imam Jalâl al-Dîn al-Suyûthî, dalam Sunan al-Nasâ’î memang terdapat hadis yang shahîh, hasan
dan dha’îf. Adapun ulama yang mengatakan bahwa hadis yang terdapat di dalam kitab Sunan al-
Nasâ’î semuanya berkualitas shahîh, tidak didukung oleh penelitian mendalam dan jeli, kecuali
maksud pernyataan itu bahwa sebagian besar isi kitab Sunan al-Nasâ’î berkualitas shahîh.
Kelebihan kitab Sunan al-Nasâ’î
a. Dalam menilai integritas rijâl al-Hadîs cenderung lebih berhati-hati dan lebih ketat
daripada cara yang ditempuh oleh Imam Muslim. Meskipun pendapat ini ditentang oleh ulama
yang lain.
b. Amat minim jumlah satuan perawi dalam Sunan al-Nasâ’î yang dicurigai lemah.
c. Dalam teori jarh wa ta’dîl yang dikembangkan oleh Imam al-Nasâ’i diperlukan sebagai
referensi baku bagi kalangan muhadditsîn generasi sesudahnya
Kekurangannya kitab Sunan al-Nasâ’î
a. Terdapat orang-orang yang digolongkan majhûl (tidak dikenal pribadi dan keahliannya)
dan terdapat pula perawi yang majrûh (ternoda sifat keadilan pribadinya).
b. Banyak perawi thabaqah ketiga yang ramai diperdebatkan ulama segi diterima atau ditolak
periwayatannya.
c. Dalam Sunan al-Nasâ’i sebenarnya banyak dijumpai hadis dhâ’îf, mu’allal, dan munkar.

B. Saran
Mahasiswa harus mencontoh bagaimana kegigihan imam al-Nasa’i mencari ilmu keagamaan.
DAFTAR PUSTAKA

13
Abû Syuhbah, Muhammad. Al-Kutub al-Shîhah al-Sittah. Kairo. Majma’ al-Buhûts al-Islâmiyah.
1995.
Abû Zahwu, Muhammad. Al-Hadîts wa al-Muhadditsûn: Inâyah al-Ummah al-Islâmiyah bi al-
Sunnah al-Nabawiyah. Beirut. Dâr al-Fikr al-‘Arabî,1984.
Ahmad, Muhammad .Ulûm al-Hadîts. Bandung. Pustaka Setia. 2000.
Al-‘Asqalânî, Ibn al-Hajar . Kitab Tahdzîb al-Tahdzîb, ed. Shiqî Jamîl al-Aththâr. Beirut: Dâr al-
Fikr, 1995.
Al-Aththâr, Shidqî Jamîl. Tarjamah al-Imam al-Nasâ’î. Beirut: Dâr al-Fikr, 1995.
Al-Hasanî, Muhammad ibn ‘Alawî al-Mâlikî. Al-Minhâj al-Lathîf fi Ushûl al-Hadîs al-Syarîf,
Beirut: Dar al-Fikr. 1398 H/1978 M.
Al-Jauzî, Ibn al-Qayyim. I’lâm al-Mawâqi’în ‘an Rabb al-Alamîn. Kairo. Al-Nîl. 1955.
Al-Khathîb. Muhammad ‘Ajjâj. Ushûl al-Hadîts ‘Ulûmuhû wa Mushtalâhuhû,. Libanon. Dâr al-
Fikr. 1975.
Al-Mahdi, Abu Muhammad Abdullah Turuqu Takhrîj Al-Hadis. al-Azhar. Dâr al-ittiishâm. Tth.
Al-Mubarakfuri. Tuhfah al-Ahwâdzî. Jakarta. Pustaka Azzam, 1997.
An-Nasâ’î, Sunan al-Nasâ’î. Riyadh. Dâr al-Hadhârah li al-Nasyr wa al-Tauzî’. 1436 H.
Al-Shâlih, Subhi.‘Ulûm al-Hadîts wa Musthalâhuhû. Beirut. Dâr al-Ilmi al-Malayîn. 1998.
Ismâ’îl, M Syuhûdî. Kaidah Kesahihan Sanad Hadis. Jakarta. Bulan Bintang. 1998.
Jalâl al-Dîn al-Suyûthî, Jalâl al-Dîn. Sunan Aal-Nasâ’î. Beirut. Dâr al-Fikr 1430 H.
Nasution, Harun. Ensiklopedi Islam Indonesia. Jakarta. Djambatan. 1992.
Rahmân, Fathur. Ikhtishâr Musthalah al-Hadîts. Bandung. PT. al-Ma’ârif 1985.
Ridwan, Muhtadi. Studi Kitab-kitab Hadis Standar. Malang. UIN Maliki Press. 2012.
Sholâhuddîn, Agus. Ulûm al-Hadîts. Bandung. Pustaka Setia,.2008.
Ya’qûb, Alî Mushthafâ.. Kritik Hadis. Jakarta. Pustaka Firdaus. 2000.
Yuslem, Nâwir. Kitab Induk Hadis al-Kutub al-Tis’ah,. Jakarta. Hijri Pustaka Utama. 2011.

14

Anda mungkin juga menyukai