Anda di halaman 1dari 17

BERPASTORAL SECARA BARU DI KEVIKEPAN SULAWESI

TENGGARA DEMI MEWUJUDKAN JEMAAT VITAL

PROPOSAL TESIS
PATRIO TANDIANGGA
196312014
Latar Belakang

Faktor Sosial dan kultural membawa perubahan dalam iman dan Gereja.

Modernisasi adalah salah satu faktor yang paling mengambil peranan penting

dalam hal ini. Modernisasi di satu sisi membawa dampak yang positif di mana

banyak hal menjadi lebih mudah dan di sisi lain membawa efek negatif. Oleh

sebab itu perhatian terhadap pembangunan jemaat senantiasa dibutuhkan dan

memang selalu ada. Dengan adanya pembangunan jemaat yang tidak pernah

berhenti maka Gereja akan senantiasa menyadari dan memahami dengan sungguh

akan panggilannya sebagai umat Allah dan dalam masyarakat.

Adanya perubahan dalam hidup atau proses transisi maka diperlukan

pendampingan pastoral yang aktual. Hal ini penting agar karya-karya pastoral

tetap kontekstual dan membuat jemaat semakin hidup. Dengan kata lain,

perubahan zaman menuntut kita untuk melakukan pembangunan jemaat. Menurut

seorang teolog-praktis bernama Rob van Kessel pembangunan jemaat adalah

upaya yang bermanfaat, bahkan menentukan kehidupan dunia serta menampakkan

bahwa Gereja ada.

Pembangunan jemaat adalah intervensi sistematis dan metodis dalam

tindak-tanduk jemaat beriman setempat. Pembangunan jemaat menolong jemaat

beriman lokal untuk – dengan bertanggung jawab penuh – berkembang menuju

persekutuan iman, yang mengantarai keadilan dan kasih Allah, dan yang terbuka

terhadap masalah manusia di masa kini.1

1
P.G. van Hooijdonk, Batu-Batu Yang Hidup, Pengantar ke dalam pembangunan jemaat,
(Yogyakarta: Kanisius 1996), 32
Pembangunan jemaat dimaksudkan untuk merangsang pertumbuhan

jemaat baik dalam iman maupun dalam persekutuan. Dengan istilah lain,

pembangunan jemaat dimaksudkan demi terwujudnya jemaat yang vital.

Jemaat Vital adalah jemaat yang mampu berpartisipasi dengan senang hati

dan partisipasi itu memberikan hasil yang baik bagi diri mereka sendiri maupun

bagi realisasi tujuan-tujuan jemaat2. Vital berarti penuh daya hidup serta

kreativitas. Dengan kata lain, vitalitas jemaat tergantung pada apakah dan sejauh

manakah jemaat beriman menemukan dirinya dalam penghayatan Injil.

Selanjutnya, dalam jemaat yang vital terwujud relasi-relasi intern, tugas-tugas,

dan kompetensi-kompetensi yang terorganisasikan secara efisien. Terakhir,

Vitalitas jemaat terwujud jika Injil relevan, bermakna dan mencolok dalam

penampilan serta penghayatan anggota jemaat sendiri secara de facto.

Meskipun pembangunan jemaat merupakan disiplin pastoral yang paling

muda, namun pembangunan jemaat semakin menjadi perhatian sentral dalam

teologi praktis. Paroki dan jemaat-jemaat sebagai persekutuan Allah yang

berhimpun memiliki peranan penting dalam pengembangan hidup beriman. Oleh

karena itu, pengelolaan dan pengembangan paroki dan jemaat-jemaat perlu

mendapat perhatian yang lebih serius.

Rasul Paulus dengan tajam mengatakan: “Siapa yang berkata-kata dengan

bahasa roh, ia membangun dirinya, tetapi siapa yang bernubuat, ia membangun

jemaat.” (1Kor 14:4). Demikian pun dalam suratnya Paulus mengatakan bahwa

jemaat dibangun, “Demikian pula kamu: Kamu memang berusaha untuk


2
Jan Hendrik, Jemaat Vital & Menarik, (Yogyakarta: Kanisius 2002), 19
memperoleh Roh, tetapi lebih dari itu hendaklah kamu berusaha

mempergunakannya untuk membangun jemaat.” Secara eksplisit, Paulus memakai

istilah “membangun jemaat” karena bagi Paulus pembangunan jemaat bukan

untuk kepentingan perorangan melainkan kepentingan jemaat seluruhnya.

Terinspirasi akan hal di atas dan berangkat dari berbagai macam

tantangan, kesulitan dan kendala yang dihadapi oleh Gereja Lokal Keuskupan

Agung Makassar khususnya paroki-paroki yang ada di Kevikepan Sulawesi

Tenggara dalam hal pembangunan jemaat, maka penulis dalam karya tulis ini

ingin mengangkat tema “BERPASTORAL SECARA BARU DI KEVIKEPAN

SULAWESI TENGGARA DEMI MEWUJUDKAN JEMAAT YANG VITAL

(tanggap zaman dalam berevangelisasi)”.

Berpastoral secara baru yang dimaksudkan oleh penulis adalah pastoral

yang berangkat dari pemahaman yang mendalam dan utuh mengenai keadaan

nyata jemaat. Dalam istilah lain, berpastoral secara baru yang dimaksudkan oleh

penulis adalah berpastoral berbasis data atau berpastoral dengan model

pendekatan empiris.

Berpastoral secara baru sangat perlu dan dapat dikatakan sebagai

kebutuhan yang mendesak bagi Keuskupan Agung Makassar khususnya di

Kevikepan Sulawesi Tenggara, di mana Kevikepan Sulawesi Tenggara

menghadapai pelbagai perubahan dan tantangan yang tidak ringan, baik ke dalam

Gereja (ad intra) maupun ke luar (ad extra). Hal ini tentu sejalan dengan visi dan

misi Keuskupan Agung Makassar yakni, menjadi Gereja Lokal yang bersosok
kawanan kecil yang tersebar, sebagai pelayan berdasarkan dan berpola Yesus

Kristus, yang terus menerus membarui diri, mewartakan Kerajaan Allah dengan

meresapi tata dunia sehingga segala-galanya menjadi baik.

Selanjutnya, penulis juga melihat beberapa alasan lain mengapa

berpastoral secara baru sangat dibutuhkan di Kevikepan Sulawesi Tenggara.

Pertama, penulis melihat bahwa Kevikepan Sulawesi Tenggara sebagai

Kevikepan yang potensial baik dari segi sumber daya alam maupun sumber daya

manusia. Dalam reksa pastoral Kevikepan Sulawesi Tenggara, terdapat berbagai

sumber daya alam seperti tambang nikel, emas, aspal, dan hasil tambang lainnya.

Dengan adanya hal ini, maka semakin banyak orang yang berdatangan dari luar

daerah, dan tak jarang mereka adalah anggota umat Gereja. Sayangnya, potensi-

potensi yang ada saat ini belum didukung dengan strategi pastoral yang baik,

sehingga potensi-potensi itu belum dimaksimalkan. Kedua, penulis melihat bahwa

Kevikepan Sulawesi Tenggara memiliki kekhasan jika dibandingkan dengan

kevikepan lain yang ada di Keuskupan Agung Makassar. Yang mana, jika di

kevikepan lain, budaya yang dominan adalah budaya Toraja, berbeda dengan di

kevikepan Sulwesi Tenggara, yang mana budaya yang dominan berkembang

adalah budaya Muna. Hal ini perlu diperhitungkan karena penulis melihat bahwa

dengan adanya kebudayaan berbeda yang berkembang, maka perlu juga untuk

membuat strategi berpastoral yang berbeda dengan yang sudah dilakukan di

kevikepan lainnya.

Dalam sejarah Gereja Katolik Sulawesi Tenggara, dapat diketahui bahwa

hadirnya Gereja Katolik di Sulawesi Tenggara yang pertama kali ditandai dengan
dibaptisnya seorang anak yang bernama Salmon pada tanggal 12 September 1912.

Jika dihitung dari tanggal tersebut, maka saat ini Gereja Katolik di Kevikepan

Sulawesi Tenggara hadir sejak 108 tahun yang lalu.

Saat ini di kevikepan Sulawesi Tenggara terdapat 7 paroki yang mana

reksa pastoralnya tidak hanya di daratan Sulawesi Tenggara saja namun juga

mencakup 3 pulau kecil yakni Pulau Muna, Pulau Buton dan Pulau Wawonii. Ada

12 pastor yang melayani di Kevikepan Sulawesi Tenggara, dengan rincian vikep,

sekertaris kevikepan, 7 parochus, 1 kapelan Paroki Labasa, dan 2 kepelan Paroki

Unahaa.

Salah satu tantangan dalam berpastoral di Kevikepan Sulawesi Tenggara

adalah letak geografisnya yang sangat luas yakni terdiri dari wilayah daratan (4

paroki) dan wilayah kepulauan (3 paroki). Letak geografis tidak hanya membawa

kesulitan dalam hal jarak dan waktu bagi tenaga pastoral, tetapi lebih dari itu

perbedaan geografis banyak membawa pengaruh bagi pola pikir dan kebiasaan

umat setempat. Sederhananya, setiap paroki memiliki kebutuhan yang berbeda-

beda dan dengan demikian membutuhkan model atau pola pelayanan yang

berbeda-beda pula.

Rumusan Masalah

Dari latar belakang permasalahan tersebut di atas, disusunlah rumusan

masalah sebagai berikut:


1. Model pastoral keterlibatan seperti apakah yang efektif membangun

jemaat vital, guna mewujudkan Gereja seperti dalam misi Keuskupan

Agung Makassar?

2. Bagaimana mewujudkan pemberdayaan umat di Sulawesi Tenggara?

Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai oleh penulis dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut:

1. Menemukan gambaran umat Sulawesi Tenggara yang sudah dilayani saat

selama ini.

2. Menemukan cara berpastoral secara baru untuk membangun jemaat yang

hidup.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat yang positif bagi

segenap umat di Keuskupan Agung Makassar khususnya di Kevikepan Sulawesi

Tenggara, terlebih bagi segenap pelayan pastoral entah itu imam,

biarawan/biarawati dan pelayan umat awam. Manfaat atau sumbangan itu berupa

rancangan strategis berpastoral secara baru di Keuskupan Agung Makassar,

khususnya di Kevikepan Sulawesi Tenggara.


Landasan Teori

Dalam Konsili Vatikan II, telah ditegaskan bagaimana Gereja harus

senantiasa menyelidiki tanda-tanda zaman dan menafsirkannya dalam cahaya

Injil. (bdk. GS no. 4). Kompleksnya tantangan pastoral dewasa ini semakin

membutuhkan tindakan pastoral secara baru, di mana dalam pastoral tersebut

dibutuhkan partisipasi seluruh warga Gereja.3

Dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan teori tentang

membangun jemaat dengan metode 5 faktor yang dikemukakan oleh Jan Hendriks

dalam bukunya yang berjudul “Jemaat Vital dan Menarik”.

Menurut Jan Hendriks ada lima (5) faktor yang penting bagi vitalitas

jemaat. Kelima faktor itu adalah:4

1. Iklim yang membangkitkan semangat

2. Kepemimpinan yang membangun semangat

3. Struktur yang memberi ruang bagi perbedaan serta penghayatan kesatuan

4. Tujuan dan tugas konkret: sumber inspirasi

5. Konsepsi Identitas atau jatidiri.

Iklim yang dimaksud dalam hal ini adalah iklim positif, di mana anggota

jemaat dilihat sebagai subjek, sebagai manusia yang dipanggil untuk memikul

tanggung jawab dalam kebebasan. Iklim positif melihat jemaat tidak hanya

3
Gitowiratmo, St. S., Pastoral Berbasis Data, 44
4
Jan Hendrik, Jemaat Vital & Menarik, 40
sebagai pelaksana kebijakan melainkan pula atas perumusan kebijakan. Iklim

positif berfungsi dua: (1) semakin banyak orang berpartisipasi dengan lebih sering

dan senang, hal itu tampak dari absensi yang berkurang; (2) tujuan-tujuan

dijangkau dengan lebih sering dan dengan lebih baik. Maka baik dalam arti

kuantitatif maupun dalam arti kualitatif, ada prestasi yang lebih besar. Alasannya

dalam organisasi dengan iklim positif, orang berkomunikasi dengan lebih banyak,

dengan lebih terbuka, dan dengan lebih jujur; hal itu menguntungkan kualitas

karya. Pun pula orang lebih rela saling melayani dan membantu dalam

pelaksanaan tugas dengan berbagai bentuk dan cara, lebih mudah saling memberi

informasi yang penting, dan saling mengoreksi kekurangannya. Maka iklim yang

baik membuat orang lebih senang dalam berpartisipasi.

Kepemimpinan. Sifat jabatan adalah pelayanan dan gayanya ialah

kooperatif. Jabatan adalah karisma untuk melayani karisma-karisma atau dalam

bahasa Pengembangan Organisasi yang lebih sekular tetapi juga lebih operasional:

tugas sesungguhnya dari kepemimpinan ialah membantu dan menyokong

khususnya dengan:

 Menyediakan apa saja yang perlu untuk melaksanakan tugas dengan baik,

kepada orang dan kelompok yang menjalankan pekerjaan sesungguhnya

dan yang paling menentukan kualitasnya;


 Menyokong dan meneguhkan orang dan kelompok; artinya pimpinan

menolong supaya kapasitas orang dimanfaatkan dan dapat berkembang.;

 Menggarisbawahi arti tujuan-tujuan, tidak kurang sedikit melalui menyinari

pentingnya tujuan itu pada kelakuan sendiri;

 Mengembangkan paguyuban/komunitas

Agar dapat menjalankan pelayanan ini maka perlu bahwa seorang

pemimpin adalah orang yang mudah untuk dapat didekati, mendengarkan dengan

baik, rela melepaskan kuasa, antara lain dengan memperkecil jarak sosial dan

meninggalkan privilese khusus serta simbol status yang penting, terbuka terhadap

kritik, dan memiliki kemampuan.

Struktur. Secara ringkas dapat dilihat bersama bahwa sebuah struktur

dapat memajukan vitalitas jemaat kalau:

a. Kelompok jabatan, kategori dan aliran mempunyai ruang untuk

bergerak sendiri.

b. Secara konsekuen diadakan pendelegasian; yang mengimplisitkan

penyebaran kuasa. Ada efek positif kalau dibentuk kelompok jabatan untuk tugas

atau pelayanan lengkap.

c. Diadakan rapat jemaat dalam mana kebijakan ditentukan atau

dievaluasi.

d. Ada komunikasi intensif dan non formal antarkelompok dan antara

kelompok jemaat.
e. Dewan gereja tidak mengarahkan perhatian pokoknya kepada

koordinasi, melainkan kepada finalisasi.

f. Dewan Gereja disusun secara variasi menurut afinitas terhadap fungsi-

fungsi jemaat (kategori dan spiritualitas).

Tujuan. Vitalitas organisasi tidak hanya ditentukan oleh perwujudan

iklim, kepemimpinan, dan struktur, melainkan juga – ada yang mengatakan

malahan terutama- oleh kualitas tujuan dan tugas. Tujuan ialah sesuatu yang

dikejar. Tugas ialah pekerjaan yang disanggupi oleh seseorang atau kelompok.

Tujuan dan tugas itu erat hubungannya. Lewat tugas orang mengajar sesuatu:

itulah disebut tujuan. Tujuan mau dilaksanakan dan hal itu membawa perumusan

tugas – melalui tujuan-kerja.

Tujuan yang menggairahkan. Sebuah tujuan akan mengairahkan kalau

dihubungkan dengan kesadaran memenuhi misi dan mempunyai relevansi bagi

problematic tertentu. Selain itu perlu juga supaya pengejaran tujuan itu dihayati

sebagai usaha bermakna. Terhadap penghayatan itu ada dua faktor yang

berpengaruh: kepercayaan akan potensinya sendiri dan kepercayaan akan

kemungkinan mengubah situasi yang menjadi sasaran tujuan itu. Hal terakhir ini

penting juga karena kalau situasi ini tidak dapat diubah maka usaha kita sia-sia

saja. Tujuan akan menggairahkan, kalau ada hubungan dengan kesadaran akan

menggairahkan, kalau dihayati sebagai relevan dan terjangkau.

Tugas yang menarik. Daya tarik tugas ditentukan oleh faktor kerja

intrinsik (motivator). Namun demikian, faktor intrinsik itu baru dapat berfungsi
kalau perhatian yang cukup diberikan kepada faktor kerja ekstrinsik. Faktor

intrinsik: macamnya kerja, mempresentasikan sesuatu, memikul tanggung jawab,

dihargai orang. Faktor-faktor ini adalah satisfier (pemberi kepuasan) atau

motivator yang sesungguhnya. Faktor-faktor ini adalah ciri-ciri tugas yang

sesungguhnya (intrinsik). Faktor ekstrinsik: peraturan, prosedur umum, cara

memimpin, relasi dengan kepemimpinan, dan situasi kerja. Maka ini semua faktor

yang dibicarakan dalam bab mengenai iklim dan kepemimpinan. Ini semua ciri-

ciri situasi kerja dalam mana tugas dijalankan (ekstrinsik). Yang menjadi pusat di

antaranya adalah adanya kebutuhan akan keamanan dan kepastian. Pada intinya,

vitalitas jemaat tergantung – sebagian besar – dari kualitas tujuan dan tugas.

Tujuan terutama harus: manifes, bersama, konkret dan menggairahkan.

Identitas. Dalam buku ini, identitas yang dimaksudkan bukanlah dalam

pengertian sebagai suatu yang tetap sama dalam segala perubahan, yang khas,

yang membeda-bedakan. Tetapi yang dipakai adalah identitas dalam arti yang

lebih subjektif sebagai defenisi diri. Istilah identitas mengungkapkan dengan baik

bahwa kita berbicara mengenai pandangan tentang realitas; sesuatu yang harus

dikembangkan oleh grup.

Konsepsi identitas akan lahir jika jemaat dengan segala keterbukaan berani

bertanya siapakah kita dan apa misi kita dalam situasi kita dan kemudian

menghubungkannya dengan inti, konteks dan karisma yang ada. Refleksi itu

cocok dengan gambar jemaat yang baru dan dinamis; dalam gambar itu Gereja

dilihat sebagai drama yang berulang-ulang diaktulisasikan dan setiap kali dengan
cara baru. Dalam drama itu, inti keberadaan sebagai jemaat berulang-ulang

dapat dikenal sebagai basic pattern of events.

Secara singkat kita dapat mengatakan bahwa dalam usaha membangun

jemaat agar menjadi vital dan menarik, perhatian harus dipusatkan pada kelima

faktor di atas, dan karena mereka itu saling terkait erat, dalam mengembangkan

suatu kebijakan, kelima-limanya harus diperhatikan. Suatu iklim yang

membangkitkan semangat akan terjadi apabila orang dipandang sebagai subjek,

dengan kata lain mereka diperlakukan dan diakui sebagai pribadi. Juga karenanya

kunjungan rumah diakui sangatlah penting. Memperlakukan orang sebagai subjek

berarti juga memperhitungkan mereka, serta memberi mereka peluang untuk

mempunyai pengaruh. Namun semua ini akan menjadi sekadar teori, kecuali bila

kita bersedia merombak struktur yang ada. Contohnya adalah bentuk rapat jemaat.

Adanya paham identitas diri yang jelas juga baik demi iklim yang sehat.

Di situ, seyogianya termuat jawaban atas pertanyaan: Siapakah kita? Apa

tugas panggilan kita saat ini? Pertanyaan macam ini harus senantiasa diajukan,

dan karena itu adanya proses belajar secara terus-menerus mutlak perlu.

Selanjutnya proses semacam itu hanya mungkin terjadi dalam suatu iklim yang

positif, karena orang hanya dapat belajar kalau mereka merasa diterima.

Sebaliknya paham identitas diri yang jelas berdampak positif pada Iklim. Namun

sudah barang tentu itu hanya terjadi, bila kita seperti Petrus tidak memandang para

anggota jemaat sebagai “massa yang tuna hukum”, tetapi sebagai “imamat yang

Rajani”.
Paham identitas diri jelas tidak berkembang dengan sendirinya. Ia

terutama tumbuh sejalan dengan upaya untuk merumuskan tujuan dan tugas

konkret. Juga sebaliknya dipertimbangkan tujuan dan tugas dalam berbagai

masalah mengenai identitas diri adalah salah satu syarat untuk menggariskan

tujuan yang menggairahkan. Itulah sebenarnya tugas secara vertikal dari

kepemimpinan, Majelis Gereja, untuk menjaga agar identitas diri tetap

dipersoalkan.

Gereja Kevikepan Sulawesi Tenggarra yang adalah bagian dari Keuskupan

Agung Makassar memiliki identitas yang termuat dalam visi dan misi keuskupan.

Adapun visi dan misi Keuskupan Agung Makassar yakni, menjadi Gereja Lokal

yang bersosok kawanan kecil yang tersebar, sebagai pelayan berdasarkan dan

berpola Yesus Kristus, yang terus menerus membarui diri, mewartakan Kerajaan

Allah dengan meresapi tata dunia sehingga segala-galanya menjadi baik.

Metode Penelitian

Penelitian ini mempergunakan metode kuantitatif dan kualitatif. Metode

kuantitatif digunakan untuk mengetahui realitas keadaan jemaat de facto.

Penelitian ini diawali dengan menganalisis kebutuhan-kebutuhan pastoral yang

tampak dari data-data yang dikumpulkan dalam sensus umat. Persoalan-persoalan

ini juga diperoleh melalui analysis terhadap Laporan Toper para frater AM di

kevikepan Sultra. Metode Kualitatif dilaksanakan dengan mewawancarai


beberapa informan yakni pastor dan anggota dewan pastoral untuk memverifikasi

data-data yang diperoleh. Refleksi pastoral akan dianalisis berangkat dari data-

data pastoral dan diiterangi oleh refleksi teologis berdasarkan buku Jemaat Vital

dan disesuaikan dengan visi dan misi Keuskupan Agung Makasar.

Sistematika Penulisan

Hasil penelitian dan Analisa terhadap masalah dalam karya tulis ini serta

pandangan penulis akan diuraikan secara sistematis.

Bab I: Pendahuluan. Pendahuluan ini menguraikan sejumlah bagian

penting yang mendasari seluruh uraian karya tulis ini. Diawali dengan uraian

tetang latar belakang masalah dan masalah pokok yang akan dibahas secara kritis,

tujuan, metode, sumbangan dan sistematika penulisan.

Bab II: Mengurai landasan materi teori dari penelitian ini, yang mana di

dalamnya menjelaskan secara teoritis tentang pengertian pembangunan jemaat dan

metode 5 faktor dalam pembangun jemaat. Bagian ini juga akan membahas Visi

dan Misi Keuskupan Agung Makasar.

Bab III: Dalam bab ini penulis akan membahas tentang klasifikasi data.

Penulis akan menjelaskan tentang profil tempat penelitian yakni Keuskupan

Agung Makassar khususnya Kevikepan Sulawesi Tenggara.

Bab IV: Berisi Analisa, yang mana di dalam bab ini dijelaskan Analisa

penelitian berdasarkan rumusan masalah yang telah ditentukan.


Bab V: Bab ini merupakan bab terakhir dari penelitian ini. Bab ini

membahas tentang penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran.


Daftar Acuan Sementara

Artikel-Artikel

The Mission of the Church. Report of the National Dialogue between the Roman

Catholic Church and the Uniting Church in Australia (2002-2008). With final

revisions as of 3 November 2008

Buku-Buku

De Jong, Kees, Menjadikan Segala-galanya Baik, (Yogyakarta: Kanisius 2002)

Hendriks, Jan, Jemaat Vital & Menarik (Yogyakarta: Kanisius 2002)

Kwary, Rudy, Pr., Buku Kenangan Sinode Diosesan KAMS 2012 (Makassar:

KAMS 2012)

Gitowiratmo, St. S., Gagasan Dasar Pastoral Berbasis Data, (Yogyakarta:

Kanisius 2017)

Van Hooijdonk, P.G., Batu-Batu yang Hidup, Pengantar ke Dalam Pembangunan

Jemaat (Yogyakarta: Kanisius 1996)

Van Kessel, Rob, 6 Tempayan Air, Pokok-pokok Pembangunan Jemaat

(Yogyakarta: Kanisius 1997)

Anda mungkin juga menyukai