PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sumber daya adalah segala sesuatu yang merupakan aset perusahaan
untuk mencapai tujuannya. Sumber daya yang dimiliki perusahaan dapat
dikategorikan atas empat tipe sumber daya, seperti Finansial, Fisik,
Manusia dan Kemampuan Teknologi. Sumber daya finansial merupakan
salah satu unsur penting dalam rangka membentuk perusahaan yang maju
dan terus berkembang karena berhubungan dengan saham yang
merupakan modal utama dalam membangun sebuah perusahaan dan
mengembangkan serta melanjutkan perusahaan tersebut. Sumber daya
fisik merupakan sumber daya yang menyangkut penunjang secara fisik
berdirinya suatu perusahaan seperti alat-alat kelengkapannya.
Sumber daya manusia merupakan sektor sentral dan penting dalam
rangka pencapaian tujuan di suatu perusahaan, karena dengan adanya
kemampuan skill para pekerja dan kualitas sumber daya manusia dapat
menggerakan perusahaan dengan baik dan benar.
Kemampuan teknologi juga merupakan unsur penunjang penting
dalam menggerakan perusahaan, karena dengan adanya kelengkapan
teknologi dan kecanggihan teknologi akan memudahkan berjalannya
suatu perusahaan. Dari keempat sumber tersebut aspek yang terpenting
yaitu manusia, karena manusia merupakan penggerak terpenting dalam
perusahaan. Maju dan tidaknya perusahaan tergantung pada pengelolaan
sumber daya manusia ini dapat dilakukan dalam suatu perusahaan itu atau
oleh suatu departemen tertentu.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Manajemen Sumber Daya Manusia?
2. Bagaimana pendekatan Manajemen Sumber Daya Manusia?
3. apa peran dan fungsi Manajemen Sumber Daya Manusia
3. apa saja komponen manajemen sumber saya manusia
C. Tujuan Penulisan
1. Sebagai pemenuhan tugas dalam perkuliahan
2. Sebagai sumber pengetahuan bagi penulis dan pembaca.
.
BAB II
PEMBAHASAN
Rta
Tidak ada satupun rumah tangga di kolong langit ini yang bebas sama sekali dari problem dan
permasalahan. Tidak satupun rumah tangga yang terlepas dari perselisihan. Tidak ada satupun
rumah tangga yang tidak pernah ada pertengkaran (meski kecil). Rumah tangga Rasulullah pun
tidak bebas dari pemasalahan. Problem dan masalah justru menjadi “alat pengukur” untuk
menguji kualitas iman pasangan suami istri.
Ada kalanya problem rumah tangga muncul dari pasangan, kadang dari orang tua/kerabat, dan
kadang pula dari orang lain. Semuanya adalah ujian untuk meningkatkan kualitas iman,
senyampang disikapi menurut cara yang diajarkan Allah dan RasulNya.
Hal yang harus diwaspadai saat terjadi masalah antara suami dengan istri adalah adanya pihak
ketiga yang berusaha mengipas-ngipasi/mengkompori dengan target memisahkan antara suami
istri tersebut. Aktivitas merusak rumah tangga orang dengan berupaya memisahkan pasangan
suami istri adalah dosa besar (Kaba-ir), kemunkaran berat, perbuatan para penyihir, dan diantara
program utama Iblis berikut tentaranya untuk menimbulkan fitnah dan kerusakan di tengah-
tengah manusia. Abu Dawud meriwayatkan;
dari Abu Hurairah, ia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:“Bukan dari
golongan kami orang yang merusak hubungan seorang wanita dengan suaminya, atau seorang
budak terhadap tuannya.” (H.R.Abu Dawud)
Merusak rumah tangga orang juga termasuk perbuatan para penyihir berdasarkan ayat berikut
ini;
dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman (dan
mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), Padahal Sulaiman tidak kafir (tidak
mengerjakan sihir), hanya syaitan-syaitan lah yang kafir (mengerjakan sihir). mereka
mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri
Babil Yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun
sebelum mengatakan: “Sesungguhnya Kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu
kafir”. Maka mereka mempelajari dari kedua Malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka
dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan isterinya (Al-Baqoroh;102)
Dalam ayat di atas dijelaskan bahwa diantara aktivitas sihir yang dipelajari dari Harut dan Marut
adalah sihir untuk memisahkan antara seorang lelaki dengan suaminya. Sihir menyeret pada
kekufuran, dan sudah diketahui dalam Islam bahwa perbuatan sihir termasuk salah satu dari tujuh
dosa besar yang pelakunya dihukum bunuh. Dalil ini semakin menguatkan bahwa merusak
rumah tangga orang adalah dosa besar (Kaba-ir) dan kemungkaran yang berat.
Memisahkan pasangan suami istri dan merusak rumahtangga mereka juga menjadi program
utama Iblis dan tentaranya utnuk menimbulkan fitnah dan kerusakan di muka bumi. Imam
Muslim meriwayatkan;
Sikap yang bijak yang menunjukkan kafakihan dalam dien, jika pihak ketiga melihat ada
permasalahan/pertengkaran dalam rumah tangga maka dia tidak boleh berbicara sebelum
terealisasi dua hal; pertama: Pasangan suami istri tersebut mengizinkan dan ridho pihak ketiga
itu menjadi Hakam (penengah) terhadap perselisihan mereka dan, kedua: Pihak ketiga tersebut
tidak berbicara kecuali setelah mendengar dengan seksama curahan hati dari kedua belah pihak
(bukan hanya satu pihak).
Jika dua hal ini tidak terealisasi, maka tidak ada hak apapun bagi pihak ketiga untuk turut
campur/mengintervensi urusan rumah tangga orang (meskipun dia kerabat dekat). Hal itu
dikarenakan Syariat telah mengajarkan mekanisme penyelesain rumah tangga yang berpulang
pada pasangan suami istri, bukan pihak ketiga. Islam telah menempatkan secara bijak dan hati-
hati terhadap peran pihak ketiga untuk ikut andil dalam menyelesaikan permasalahan rumah
tangga. Peran pihak ketiga hanya bisa dilakukan dengan permintaan, bukan intervensi.
Rumah tangga harus dihormati, karena rumah tangga punya kepala keluarga yang mendapatkan
hak dari Allah untuk mengatur rumah tangganya sesuai dengan kebijakannya. Suami adalah
kepala keluarga. Ia bagaikan nahkoda bagi sebuah kapal. Membiarkan pihak ketika
mengintervensi urusan rumah tangga secara fakta membuat ikatan pernikahan menjadi tidak ada
gunanya.
Jadi, sikap keluarga ibu yang menganjurkan untuk bercerai adalah sikap yang tidak benar. Hal
tersebut sudah terkategori intervensi (meski diatasnamakan nasihat), merusak rumah tangga,
dosa besar, kemunkaran berat, perbuatan tukang sihir, dan bagian tentara Iblis. Hal tersebut harus
dihentikan, dan merka wajib diingatkan untuk tidak turut campur. Seorang istri tidak boleh
mendengarkan ucapan provokasi/memanas-manasi/mengompori dari pihak manapun yang jelas
berefek rusaknya hubungan suami-istri.
Jika ada pihak ketiga yang telah diketahui ucapan/perbuatannya mengarah pada perusakan
hubungan dalam rumah tangga, maka mereka harus dijauhi dan suami berhak melarang istri
bertemu dengan mereka. Namun, menjauhi bukan bermakna memutus Shilaturrahim atau
memutus Ukhuwwah Islamiyyah. Menjauhi tidak lebih sekedar meminimalisasi interaksi, dan
membatasi interaksi pada hal-hal selain urusan rumah tangga. Jika pembicaraan/tindakan sudah
mengarah para urusan rumah tangga maka dihindari/dijauhi.
Syara’ mengajarkan bahwa asas perlakuan seorang istri terhadap suaminya adalah Tholabur
Ridho (mencari Ridho). Dalil yang menunjukkan adalah hadis berikut ini;
Tidaklah aku kabarkan pada kalian wanita-wanita kalian yang termasuk penghuni surga?
Wanita-wanita yang penyayang dan subur, yang apabila ia mendzalimi atau didzalimi ia
berkata,”tidaklah aku merasakan dapat memejamkan mata hingga engkau ridho” (H.R.An-Nasai)
Dalam hadis di atas diterangkan bahwa istri calon penghuni surga diantara sifatnya adalah jika
menyakiti suami atau disakiti suami maka dia akan meminta maaf kepada suami dan tidak bisa
tidur sebelum suaminya ridho/memaafkannya. Meminta maaf saat menyakiti suami dalam hadis
di atas tidak diterangkan apakah penyebabnya adalah kesalahan suami ataukah istri. Yang jelas,
ketika suami merasa disakiti oleh istri, baik dengan ucapan maupun perbuatan lalu istri meminta
maaf, maka sifat tersebut dipuji syariat. Lebih hebat lagi ternyata pujian Syara’ bukan hanya saat
sang istri yang menyakiti suami. Saat dia disakiti suami, (artinya suaminyalah yang zalim) istri
juga meminta maaf, dan sifat ini juga dipuji Syariat. Oleh karena itu, hadis ini bukan sekedar
bermakna wajibnya istri yang berbuat zalim untuk meminta maaf, tetapi lebih dari itu hadis ini
menunjukkan asas perlakuan seorang istri kepada suami yaitu berusaha selalu mencari
ridha/kerelaannya.
Dalil yang menguatkan adalah hadis berikut ini;
Dari Abu Umamah r.a beliau berkata, Rosuullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ,” tiga
orang yang sholat mereka tidak melampui telinga-telinga mereka yaitu seorang budak yang
melarikan diri hingga ia kembali, seorang wanita yang bermalam sementara suaminya marah
kepadanya, dan seorang imam suatu kaum sementara kaumnya membencinya”(H.R.At-
Tirmidzi)
Dalm hadis di atas, diterangkan bahwa istri yang membuat suaminya marah maka shalatnya tidak
naik ke langit. Penyebab marah dalam hadis di atas juga bersifat mutlak dan tidak diterangkan.
Maknanya, Syara’ tidak berkehendak istri membuat suaminya marah, sehingga bisa difahami
berdasarkan hadis ini pula bahwa Tholabur Ridho (mencari Ridho) adalah asas seluruh perlakuan
Istri kepada suami.
Dalil yang menguatkan adalah hadis tentang kecemburuan Hurul ‘In/Wanita surga/bidadari
berikut ini;
Dari Mu’adz bin Jabal dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda, “tidaklah seorang
wanita menyakiti suaminya di sunia melainkan istri-istri suaminya dari kalangan bidadari di
surga berkata, “engkau jangan menyakitinya, Allah melaknatmu, sesungguhnya ia (suami) di
sisimu hanyalah tamu yang hampir-hampir meninggalkanmu dan pulang kepada kami”.
(H.R.Ahmad)
Secara implisit hadis di atas juga mengajarkan kepada para wanita agar jangan sampai membuat
suaminya tersakiti. Maknanya Tholabur Ridho (mencari Ridho) adalah asas seluruh perlakuan
Istri kepada suami.
Berdasarkan alas fikir ini, peristiwa-peristiwa rumah tangga Insya Allah bisa disikapi secara
lebih tepat dan bijaksana yang lebih dekat dengan syariat yang diperintahkan Allah dan
RasulNya.
Ketika terjadi kesalahfahaman antara suami dengan sebagian kerabat istri, maka langkah
pertama agar masalah tidak meruncing dan memanas adalah taatnya istri terhadap semua
perintah dan pengaturan suami. Istri selalu berusaha mendapatkan ridha suami. Namun hal ini
tidak bermakna istri “berkubu” suami dan memusuhi kerabat. Namun sekedar menjalankan
perintah syara’ menaati suami dan mencari ridhanya seraya berusaha mendialogkan
kesalahfahaman tersebut dengan tetapn menjaga Shilaturrahim. Jangan sampai istri memaki
suami, memarahi apalagi merendahkannya. Karena hal tersebut terhitung dosa besar,
bertentangan dengan perintah syara’ dan malah akan memperkeruh keadaan.
Bukankah ibu sendiri telah merasakan bahwa suami sungguh sayang pada ibu?bukankah beliau
telah bersedia mengantar pergi, mengontrol kepulangan, mengkhawatirkan keselamatan, dll yang
semuanya adalah diantara tanda betapa suami mencintai istri? Terhadap suami yang jahat dan
zalim saja Syara’ masih memerintahkan taat, hormat, dan mencari ridhanya, bukankah suami
yang mencintai, menyayangi, memanjakan, memperhatikan (sampai kadang-kadang menitikkan
air mata) lebih punya alasan untuk ditaati, dihormati, dan dicari ridhanya?
Terakhir, perbanyaklah membaca doa berikut ini agar segala permasalahan dunia maupun akhirat
lekas selesai;
dari Abu Hurairah dia berkata; “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah berdoa sebagai
berikut:
“ALLOOHUMMA ASHLIH LII DIINII ALLADZII HUWA ‘ISHMATU AMRII, WA ASHLIH
LII DUN-YAAYA ALLATII FIIHAA MA’AASYII, WA ASH-LIH LII AAKHIROTII
ALLATII FIIHAA Meriwayatkan’AADZII, WAJ’ALIL HAYAATA ZIYAADATAN LII FII
KULLI KHOIRIN, WAJ’ALIL MAUTA ROOHATAN LII MIN KULLI SYARRIN
“Ya Allah ya Tuhanku, benahilah untukku agamaku yang menjadi benteng urusanku; benahilah
untukku duniaku yang menjadi tempat kehidupanku; benahilah untukku akhiratku yang menjadi
tempat kembaliku! Jadikanlah ya Allah kehidupan ini mempunyai nilai tambah bagiku dalam
segala kebaikan dan jadikanlah kematianku sebagai kebebasanku dari segala keburukan!”
(H.R.Muslim) Wallahua’lam.
n Islam
Dari Abî Hurairah –radhiyallâhu ‘anhu- ia berkata: “Rasulullâh – shallallâhu ‘alaihi wa sallam –
bersabda: ‘Siapa menipu dan merusak (hubungan) seorang hamba sahaya dari tuannya, maka ia
bukanlah bagian dari kami, dan siapa yang merusak (hubungan) seorang wanita dari suaminya,
maka ia bukanlah dari kami’”. [Hadîts shahîh diriwayatkan oleh Ahmad, Al-Bazzâr, Ibn Hibbân,
Al-Nasâ-î dalam al-Kubrâ dan Al-Baihaqî].
Teks Hadîts
Takhrîj Hadîts
Hadîts ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Al-Musnad [juz 2, hal. 397], Al-Bazzâr [lihat
Mawârid al-Zham’ân juz 1, hal. 320], Ibn Hibbân dalam shahîh [juz 12, hal. 370], Al-Nasâ-î
dalam Al-Sunan al-Kubrâ [juz 5, hal. 385], dan Al-Baihaqî dalam Al-Sunan al-Kubrâ [juz 8, hal.
13], juga dalam Syu’abu al-Îmân [juz 4, hal. 366, juz 7, hal. 496].
Syekh Nâshir al-Dîn al-Albânî menilai hadîts ini sebagai hadîts shahîh [Silsilah al-Ahâdîts al-
Shahîhah hadîts no. 325].
Kandungan Hadîts
Secara garis besar hadîts ini berisi kecaman keras terhadap dua perbuatan, yaitu:
1. Mengganggu seorang pelayan, atau pembantu atau budak yang telah bekerja pada seorang
tuan, sehingga hubungan di antara pelayan dan tuannya menjadi rusak, lalu sang pelayan pergi
meninggalkan tuannya, atau tuannya memecat dan mengusir sang pelayannya.
2. Mengganggu seorang wanita yang berstatus istri bagi seorang lelaki, sehingga hubungan di
antara suami istri itu menjadi rusak, lalu sang istri itu meminta cerai dari suaminya, atau sang
suami menceraikan istrinya.
Ada beragam bentuk dan cara seseorang merusak hubungan diantara suami istri, di antaranya
adalah:
1. Berdoa dan memohon kepada Allâh –subhânahu wa ta’âlâ- agar hubungan seorang wanita
dengan suaminya menjadi rusak dan terjadi perceraian di antara keduanya.
2. Bersikap baik, bertutur kata manis dan melakukan berbagai macam tindakan yang secara
lahiriah baik, akan tetapi, menyimpan maksud merusak hubungan seorang wanita dengan
suaminya (atau sebaliknya). Perlu kita ketahui terkadang sihir itu berupa tutur kata yang
memiliki kemampuan “menghipnotis” lawan bicaranya. Rasulullâh –shallallâhu ‘alahi wa
sallam- bersabda: “Sesungguhnya sebagian dari sebuah penjelasan atau tutur kata itu adalah
benar-benar sihir”. (H.R. Bukhârî dalam al-Adab al-Mufrad, Abû Dâwud dan Ibn Mâjah. Syekh
Albânî menilai hadîts ini sebagai hadîts hasan [silsilah al-ahâdîts al-shahîhah, hadîts no. 1731]).
3. Memasukkan bisikan, kosa kata yang bersifat menipu dan memicu, serta memprovokasi
seorang wanita agar berpisah dari suaminya (atau sebaliknya), dengan iming-iming akan dinikahi
olehnya atau oleh orang lain, atau dengan iming-iming lainnya. Perbuatan seperti ini adalah
perbuatan tukang sihir dan perbuatan syetan (Q.S. Al-Baqarah: 102). Rasulullâh –shallallâhu
‘alaihi wa sallam- bersabda: “Sesungguhnya Iblis menempatkan singgasananya di atas air, lalu
menyebar anak buahnya ke berbagai penjuru, yang paling dekat dengan sang Iblis adalah yang
kemampuan fitnahnya paling hebat di antara mereka, salah seorang dari anak buah itu datang
kepadanya dan melapor bahwa dirinya telah berbuat begini dan begitu, maka sang Iblis berkata:
‘kamu belum berbuat sesuatu’, lalu seorang anak buah lainnya datang dan melapor bahwa dia
telah berbuat begini dan begitu sehingga mampu memisahkan antara seorang suami dari istrinya,
maka sang Iblis menjadikan sang anak buah ini sebagai orang yang dekat dengannya, dan Iblis
berkata: ‘tindakanmu sangat bagus sekali’, lalu mendekapnya”. (H.R. Muslim [5032]).
4. Meminta, atau menekan secara terus terang agar seseorang wanita meminta cerai dari
suaminya atau agar seorang suami menceraikan istrinya dengan tanpa alasan yang dibenarkan
oleh syari’at. Rasulullâh –shallallâhu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Tidak halal bagi seorang
wanita meminta (kepada suaminya) agar sang suami mencerai wanita lain (yang menjadi
istrinya) dengan maksud agar sang wanita ini memonopli ‘piringnya’, sesungguhnya hak dia
adalah apa yang telah ditetapkan untuknya”. (Hadîts muttafaq ‘alaih).
Bentuk-bentuk seperti ini sangat tercela, dan termasuk dosa besar jika dilakukan oleh seseorang
kepada seorang wanita yang menjadi istri orang lain, atau kepada seorang lelaki yang menjadi
suami orang lain.
Dan hal ini semakin tercela lagi jika dilakukan oleh seseorang yang mendapatkan amanah atau
kepercayaan untuk mengurus seorang wanita yang suaminya sedang pergi atau sakit dan
semacamnya. Sama halnya jika dilakukan oleh seorang wanita yang mendapatkan amanah atau
kepercayaan untuk mengurus keluarga seorang lelaki yang istrinya sedang pergi atau sakit dan
semacamnya.
Rasulullâh –shallallâhu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Keharaman wanita (istri yang ditinggal
pergi oleh) orang-orang yang berjihad bagi orang-orang yang tidak pergi berjihad (yang
mengurus keluarga mujahid) adalah seperti keharaman ibu-ibu mereka, dan tidak ada seorang
lelaki pun dari orang-orang yang tidak pergi berjihad yang mengurus keluarga orang-orang yang
pergi berjihad, lalu berkhianat kepada orang-orang yang pergi berjihad, kecuali sang pengkhianat
ini akan dihentikan (dan tidak diizinkan menuju surga) pada hari kiamat, sehingga yang
dikhianati mengambil kebaikan yang berkhianat sesuka dan semaunya”. (H.R. Muslim [3515]).
Salah satu bentuk pengkhianatan yang dimaksud dalam hadîts Muslim ini adalah merusak
hubungan keluarga sang mujahid, sehingga bercerai dari suaminya.
Bentuk pengkhianatan yang lebih besar lagi adalah –na’ûdzu billâh min dzâlik- berzina dengan
keluarga sang mujahid.
Termasuk dalam pengertian mujahid ini adalah seseorang yang mendapatkan tugas dakwah, atau
menunaikan ibadah haji atau umrah, atau bepergian yang mubah, lalu menitipkan urusan
keluarganya (istri dan anak-anaknya) kepada orang lain. Dalam hal ini, jika yang mendapatkan
amanah berkhianat, maka, ia termasuk dalam ancaman hadîts Muslim ini.
Mirip-mirip dengan hal ini adalah jika ada seseorang yang karena kapasitasnya, mungkin karena
ia adalah seorang tokoh, atau pimpinan sebuah organisasi atau kiai, atau ustadz, atau
semacamnya yang diamanahi untuk mendamaikan hubungan suami istri orang lain yang sedang
rusak atau terancam rusak, akan tetapi, ia malah mengkhianati amanah ini.
a. Hukum Ukhrawî
Para ulama’ bersepakat bahwa hukum mengganggu dan merusak hubungan sebagaimana
dimaksud dalam hadîts nabi di atas adalah haram (lihat al-mausû’ah al-fiqhiyyah, pada bâb
takhbîb), maka siapa saja yang melakukannya, maka ia mendapatkan dosa dan diancam siksa di
neraka.
Bahkan Imam Al-Haitsamî mengkategorikan perbuatan dosa ini sebagai dosa besar.
Dalam kitabnya Al-Zawâjir ‘an Iqtirâf al-Kabâir beliau menyebutkan bahwa dosa besar yang ke
257 dan 258 yaitu merusak seorang wanita agar terpisah dari suaminya dan merusak seorang
suami agar terpisah dari istrinya.
Alasannya, hadîts nabi –shallallâhu ‘alaihi wa sallam – di atas menafikan pelaku perbuatan
merusak ini dari bagian umat beliau, dan ini terhitung sebagai ancaman berat. Juga para ulama’
sebelumnya, secara sharîh (jelas) mengkategorikannya sebagai dosa besar. (lihat Al-Zawâjir juz
2, hal. 577).
b. Hukum Duniawî
1. Jika ada seorang lelaki yang merusak hubungan seorang wanita dari suaminya, lalu sang
wanita itu meminta cerai dari suaminya, dan sang suami mengabulkannya, atau jika ada seorang
lelaki merusak hubungan seorang wanita dari suaminya, lalu sang suami marah dan menceraikan
istrinya, lalu sang lelaki yang merusak ini menikahi wanita tersebut, apakah pernikahannya sah?
Jumhur ulama’ berpendapat bahwa pernikahan sang lelaki perusak dengan wanita korban
tindakan perusakannya adalah sah. Alasannya adalah karena wanita tersebut tidak secara
eksplisit terhitung sebagai muharramât (wanita-wanita yang diharamkan baginya).
Namun, ulama’ Mâlikiyyah memiliki pendapat yang berbeda dengan Jumhur. Mereka
berpendapat bahwa pernikahan yang terjadi antara seorang lelaki perusak dengan wanita yang
pernah menjadi korban tindakan perusakannya harus dibatalkan, baik sebelum terjadi akan nikah
di antara keduanya atau sudah terjadi. Alasan Mâlikiyyah dalam hal ini adalah:
ii. Agar tidak menjadi preseden buruk bagi munculnya kasus-kasus lain yang serupa, demi
menjaga keutuhan rumah tangga kaum muslimin.
iii. Hal ini terhitung dalam kategori kaidah fiqih: man ta’ajjala syai-an qabla awânihi ‘ûqiba
bihirmânihi (siapa yang terburu-buru mendapatkan sesuatu sebelum saatnya, maka ia dihukum
dengan tidak diperkenankan mendapatkan sesuatu itu). Kaidah ini pada asalnya berlaku bagi
seseorang yang melamar dengan kata-kata sharîh seorang wanita yang masih dalam masa iddah
(tunggu) pasca kematian suaminya. (Q.S. Al-Baqarah: 235). Logikanya, jika melamar dengan
kata-kata sharîh terhadap seorang wanita yang masih dalam masa iddah karena kematian
suaminya saja tidak dibenarkan, padahal dalam hal ini tidak ada aspek perusakan yang berakibat
terciptanya perceraian wanita itu dari suaminya (karena memang suaminya telah meninggal),
maka, jika ada seseorang yang merusak seorang wanita yang masih bersuami, sehingga tercipta
perceraian wanita itu dari suaminya, hukumnya tentunya lebih berat daripada yang dimaksud
dalam kaidah fiqih ini. Untuk itulah, jika akan terjadi pernikahan antara sang lelaki perusak
hubungan dengan wanita “korban” tindakan perusakannya, maka, hal ini harus dicegah, dan jika
sudah kadung terjadi pernikahan di antara keduanya, maka, pernikahan itu harus dibatalkan.
Yang lebih menarik lagi dari pendapat Mâlikiyyah ini adalah: ada sebagian dari ulama’
Mâlikiyyah yang berpendapat bahwa wanita “korban” tindakan perusakan seorang lelaki,
menjadi haram selamanya bagi sang lelaki perusak tersebut.
Perbedaan pendapat ini kami sebutkan di sini sebagai peringatan keras bagi siapa saja agar tidak
melakukan perbuatan seperti ini, walaupun, secara hukum fiqih, pendapat Jumhur lebih kuat,
akan tetapi, pendapat Mâlikiyyah, perlu kita jadikan sebagai cambuk peringatan.
2. Jika ada seseorang yang melakukan perbuatan terlarang ini, adakah ia perlu mendapatkan
hukuman di dunia?
Para ulama’ berpendapat bahwa perbuatan terlarang seperti ini, jika ada yang melakukan, maka
hakim berwewenang menjatuhkan ta’zîr (hukuman yang ketentuannya ditetapkan oleh hakim
atau penguasa) dengan syarat tidak melebihi bobot 40 cambukan.
Di antara mereka ada yang berpendapat, hukumannya adalah kurungan penjara sampai ia
menyatakan tobat atau meninggal dunia (sebagian penganut Mazhab Hanafî)
Di antara mereka ada yang berpendapat, cukup diberi cambukan keras saja, dipublikasikan
perbuatannya, agar orang waspada darinya dan agar orang lain mengambil ibrah (sebagian
penganut madzhab Hanbalî).
Catatan Lain
Ada satu hal yang menarik untuk dicatat di sini, yaitu tentang sikap para ulama’ saat
menyebutkan hadîts ini.
Sebagian mereka mencantumkan hadîts yang sedang kita kaji ini dalam bab “orang yang
merusak hubungan suami istri”, tanpa embel-embel ancaman dalam kalimat babnya. Seperti
yang dilakukan oleh Imam Al-Nasâ-î dan Al-Bazzâr.
Akan tetapi, ada sebagian dari mereka yang mencantumkan hadîts yang sedang kita kaji ini
dalam bab yang mengandung kalimat ancaman, seperti: al-zajr (penjelasan untuk membuat jera),
al-tasydîd (peringatan keras), sebagaimana yang dilakukan oleh Imam Ibn Hibbân dan Imam Al-
Baihaqî.
Yang menarik adalah ada sebagian ulama’ yang mengkategorikan hadîts ini ke dalam bab makar
dan tipu daya, sebagaimana yang dilakukan oleh kitab kanz al-’Ummâl.
Semoga kita semua terhindar dari perbuatan yang sangat tercela ini, amin
37. Jangan Biarkan Orang Lain Mencampuri
Rumah Tangga Anda
Kehidupan rumah tangga adalah suatu kehidupan yang memiliki ciri dan karakteristik tersendiri,
sebagaimana ia memiliki kekhususan yang tidak pantas seorang yang tidak punya kepentingan
padanya mengetahuinya. Setiap bertambah nasihat terhadap salah seorang dari suami isteri, maka
bertambah pula masalah dalam rumah tangga, dan hilanglah kebahagiaan di dalamnya. Seorang
isteri tidak suka jika ada orang lain selain suaminya mencampuri urusan rumah tangganya,
umpamanya ibu suami atau bapaknya (mertua isteri) ikut campur dalam urusan rumah tangga
mereka berdua. Kemudian, masing-masing memberikan pendapat dalam urusan-urusan yang
menyangkut rumah tangga anaknya. Bahkan keduanya mengarahkan isteri dan anaknya itu
kepada urusan tertentu. Inilah yang dapat menambah sensitifitas isteri terhadap keduanya dan
mengakibatkan masalah-masalah keluarga menjadi sulit untuk dicarikan solusinya.
Pada umumnya hal tersebut terjadi pada suami isteri yang masih hidup menumpang pada kedua
orang tua suami (mertua isteri). Kadang-kadang isteri mendapati bapak mertuanya menyuruh
untuk mengerjakan sebagian urusan, sementara ia tidak bisa menyalahi apa yang dikatakannya.
Hal ini dikarenakan ia merasa tertekan olehnya. Atau bapaknya suami menyuruh anaknya untuk
mengerjakan sebagian pekerjaan yang dianggap pekerjaan khusus isterinya. Hal semacam ini
dianggap sebagai bentuk campur tangan dalam urusan rumah tangga yang menjadikan isteri
merasa bahwa suaminya sudah tidak mempunyai lagi kepribadian, atau orang yang lemah
kepribadiannya, hingga ia jatuh dalam pandangan isterinya !!
Tidak diragukan lagi bahwa taat kepada kedua orang tua suatu kewajiban, akan tetapi campur
tangan mereka dalam kehidupan rumah tangga anaknya, bisa menyebabkan rusaknya ikatan
suami isteri. Terkecuali bila orangtua melihat bahwa isteri anaknya (menantunya) umpamanya
bukan wanita yang shalihah, yang mana ia menjadi penyebab terjerumusnya sang anak dalam
problema dan lain sebagainya. Lalu keduanya memandang wajib untuk menasihati anaknya agar
menceraikan isterinya. Hal ini merupakan urusan yang penting untuk dilakukan.
Inilah yang dilakukan Ibrahim ‘alaihissalam saat menjenguk putranya, Ismail ‘alaihissalam,
tetapi beliau tidak mendapatkannya, yang ada hanya isterinya. Beliau kemudian menanyakan
tentang keadaan mereka, isteri Ismail mengadu kepadanya tentang percekcokan yang terjadi
antara ia dan suaminya.
Ibrahim ‘alaihissalam sebagai seorang Nabi yang diberi bimbingan langsung oleh Allah Ta’ala
semenjak kecilnya, beliau dapat memahami dari jawaban yang disampaikan oleh menantunya
tadi –sedangkan isteri Ismail tidak tahu bahwa beliau adalah mertuanya– bahwasannya ia bukan
isteri yang shalihah yang tidak pantas bagi anaknya Ismail ‘alaihissalam. Maka tidak ada yang
beliau lakukan kecuali menyuruh anaknya agar menceraikannya. Ibrahim ‘alaihissalam berkata
kepada menantunya, “Jika suamimu pulang, sampaikanlah olehmu, “Aku telah kedatangan orang
tua yang sifatnya begini dan begini, dan ia menyampaikan salam kepadamu, ‘Gantilah pintu
rumahmu.’ Ketika Ismail pulang, isterinya menyampaikan pesan yang diterimanya itu. Ismail
menjawab, ”Ia adalah ayahku yang memerintahkan aku untuk menceraikan kamu, maka pergilah
kamu kepada keluargamu”,1 dan beliau pun menceraikan isterinya.
Namun, orangtua yang terlalu banyak ikut campur terhadap urusan rumah tangga anak-anaknya
dan memberikan arahan kepada isteri anaknya (menantu) secara langsung, hal tersebut
merupakan suatu yang sangat berbahaya.
Yang harus tetap dijaga dalam kehidupan rumah tangga adalah jangan sampai ada campur tangan
pihak ketiga, baik dari pihak orang tua, terlebih lagi dari orang lain, apakah mereka itu teman,
saudara, atau yang lainnya. Hendaklah Anda tetap menjaga kekhususan [keunikan atau
keistimewaan] rumah tangga Anda dengan baik, sehingga Anda tetap merasakan kenikmatan
rumah tangga yang hakiki.
Salam….
Perkenalkan nama saya Rita Merlin. Umur 31 th dan sy seorang PNS. Saya telah menikah
selama 6 bulan terakhir ini. Ini pernikahan kedua saya…begitu juga dg suami sy ini pernikahan
yg kedua dan juga suami seorang PNS…di pernikahan dulu kami masing2 punya 1 orang anak
dan sekarang anak anak ikut tinggal bersama kami.
Yang ingin sy tanyakan bgmn saya menghadapi mantan kekasih suami yang sampai saat ini
selalu mengganggu rumah tangga kami. Kalau mantan istri yang dulu justru tidak ada masalah.
Mantan kekasih nya ini menganggap sy lah penyebab dia di tinggalkan….suami ini memilih
bersama saya padahal yang sebenar nya saya bertemu dan kenal dia disaat dia sdh clear dr
semua…mmg sih dg sang kekasih dulunya mereka pernah menikah secara siri….dan sebelum
menikahi ku sudah di talak nya dan ada pembicaraan ttg talak itu antara mereka di pesan
facebook….sy baca dan tertera tanggal nya….yaitu sebelum pernikahan kami. Tdk ada 1 kelg
pun yg menyaksikan pernikahan mereka itu…wlpn tidak ada surat legal tetapi wanita itu ada
dan masih menyimpan foto pernikahan mereka itu.Nah yg menjadi permasalahan nya skr wanita
itu dan kelg nya mulai mengganggu ketentraman rmh tangga kami. Suami tdk mau meladeni tp
sy sbg istri lama lama gerah juga dg kondisi ini. Sy di salahkan karena telah merebut. Anak dan
seluruh kelg suami ternyata tidak menyetujui hubungan mereka…terbalik keadaannya dengan
sy…mereka sangat nenyayangi juga berharap sy bisa membahagiakan suami sy. Jujur sy ingin
melaporkan wanita itu…tp suami mencegah mengingat suami punya kedudukan di pemerintahan
dan seorang publik figur. Jadi posisi sy jadi serba salah…diam sy sakit hati….mau bergerak
tapi akan membuat kacau posisi suami. Seantero kota ini dia membeberkan bahwa sy wanita
tidak baik,wanita perebut suami orang, sementara kalaupun memang dia sakit hati karena di
tinggalkan tapi suami sy tetap dia puji setinggi langit…tidak pernah dia jelek jelek an…kenapa
kok saya yg jadi korban dari semua ini…kenapa kok jadi saya yg di anggap buruk. Rumah
tangga kami sedang bahagia begitu juga dengan anak2 kami semua bahagia tapi karena
gangguan wanita itulah yang selalu memicu pertengkaran antara sy dan suami. Pertanyaan
sy…langkah apa yang harus sy ambil. Bisa kah sy melaporkan dia krn mengganggu rumah
tangga sy. Kemana sy harus melapor semua ini. Apakah sy bisa mendapatkan perlindungan
hukum Karena sy adalah istri yg di nikahi sah secara agama,hukum,dan kedinasan.
JAWABAN:
1. Menegur atau ajak bertemu dengan yang bersangkutan, dapat juga dengan melibatkan tokoh
masyarakat yang dianggap berpengaruh atau keluarga terdekat agar yang bersangkutan tesebut
tidak mengganggu rumah tangga saudari lagi, dengan menjelaskan masa lalu sudah berlalu, yang
sekarang dihadapi adalah kenyataan dan masing-masing pihak harus menerima, karena jodoh
itu sudah takdir dari Tuhan. Karena tidak seorang pun yang mengetahui dengan siapa seseorang
menikah. Sakit hati wajar, tapi kalau yang dicintai sudah terikat hubungan pernikahan dengan
orang lain, seharusnya sudah bisa merelakan agar tidak mengganggu keharmonisan rumah
tangga orang lain.
2. Jika cara pertama tidak berhasil, maka langkah hukum yang dapat diambil adalah dengan
mengadukan yang bersangkutan (orang yang mengganggu rumah tangga saudari tersebut) ke
pihak yang berwajib,,,, yang bersangkutan dapat dikenakan pasal “Perbuatan tidak
menyenangkan”.(pasal 335 KUHP).
Pasal 335 :
(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau denda paling banyak empat ribu
lima ratus rupiah:
1. barang siapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan
atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun
perlakuan yang tak menyenangkan, atau dengan memakai ancaman kekerasan, sesuatu
perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, baik terhadap orang itu sendiri
maupun orang lain;
2. barang siapa memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu
dengan ancaman pencemaran atau pencemaran tertulis.
(2) Dalam hal sebagaimana dirumuskan dalam butir 2, kejahatan hanya dituntut atas pengaduan
orang yang terkena
fendi tazkirah
HATI JADI MATI JIKA 40 HARI TIDAK MENUNTUT ILMU ISLAM DAN 3 HARI HATI
JADI SAKIT...KERANA IA MAKANAN HATI...HEBAH2KAN GAN KAWAN2 BLOG
NI..TK KERANA SERING MELAYARI BLOG INI. ْص ْد ِريْ َويَسِّرْ لِ ْي أَ ْم ِري َ َرب ِّْي ا ْش َرحْ لِ ْيTuhanku
(Allah) lapangkanlah dadaku dan permudahkanlah urusanku.. amin... ُ َو ْال َح ْم ُد هللِ َوالَ اِ ٰلهَ اِالَّ هللا،ُِسب َْحانَ هللا
ُ َوالـــــ َّسالَ ُم َعلَ ْي ُكـــ ْم َو َرحْ َمـــة ُهللاِ َوبَ َر َكاتُـــه....َوهللاُ اَ ْكبَرُالحول وال قوّة إالّ باهّلل العظيم
Setelah itu kamipun akhirnya bertengkar masalah itu, karena saya juga menghormati sikap adik (I) saya
mengenai prinsipnya haram berjabat tangan meskipun dengan ipar, akhirnya kamipun rukun setelah
berhari-hari tidak bertegur sapa, namun tidak ada solusi mengenai permasalahan ini, dan sayapun tidak
mengungkit-ungkit juga karena takut kami akan bertengkar lagi.
Namun suatu saat pada acara selamatan dirumah Ibu saya di desa, suami saya tidak mau datang ke
rumah,dia hanya mengantarkan ( naik Bis) sampai di ujung jalan rumah, alasannya karena dijika pulang
maka akan bertemu adik 1 saya suami saya akan malah marah dan takut malah menambah dosa, karena
sikapnya. Sayapun berusaha memahaminya, karena saya kira dia akan datang pas acaranya, namun
ternyata juga tidak datang, dia hanya mengirimkan sms dengan isi permohonan maaf tidak bisa datang
karena berat melangkah ke rumah saya di desa, dia juga meminta saya pulangnya minta antar saja sama
adik ke 2 saya.
Karena musim liburan Bis sangat penuh, akhirnya oleh adik @ saya, saya dipesankan tiket kereta,
ternyata juga habis, sayapun akhirnya ditawari sepupu( wanita) saya yang juga akan berangkat ke
Surabaya bersama menggunakan sepeda motor. Dan sayapun tidak meminta adik saya mengantarkan
saya karena dia juga akan kembali ke Malang, saya kasihan karena transportasi bis sangat ramai.
Sebelum saya berangkat sayapun memberi kabar kepada suami saya bahwa saya berangakat bareng
sepupu saya, namun mendengar kabar saya suami saya malah marah dan menelfon adik saya, karena
tahu suami saya sedang marah saya melarang adik saya mengangkat telepon tersebut, namun
berungkali suami saya tetap menelpon, akhirnya diangkat juga oleh adik saya, dengan marah serta
memaki adik saya dengan mengatakan adik saya tidak memiliki etika, karena sudah dibantu biaya kuliah
diminta bantuan mengantarkan saja adik saya tidak mau, tidak tahu terima kasih. Mendengar makian
itu saya juga sangat marah, dan sayapun mebela adik saya, ketika suami saya bertanya sebenarnya siapa
yang salah, saya jawab bahwa yang salah suami saya, kenapa harus memaki. mendengar itu suami saya
menuduh saya telah menginjak-injak harga dirinya.
Dan permasalahan inipun berlanjut sampai sekarang, suami saya meminta saya segera berhenti bekerja
dan akan mengatur semua keuangan saya, sayapun menolak karena dia memerintahkan saya dalam
keadaan sangat marah, saya takut saat saya benar-benar berhenti permasalahan ini berujung pada
perceraian, karena kata-kata suami saya sudah sangat kasar. Saat ini suami saya juga mendiamkan saya,
membiarkan saya entah pulang ke rumah atau tidak, dia sama sekali sudah tidak memperhatikan saya,
dan terus terang saya masih sangat mencintai suami saya, saat kami rukun dia selalu memanjakan saya,
saya juga sempat melihat dia sangat bersedih dan menitikkan air mata,
Di sisi lain keluarga saya meminta saya berpisah saja, jika terus-terusan bertengkar dan suami saya tidak
bisa akur dengan adik-adik saya, saya sangat bingung saat ini karena dalam sebuah hadis Rasulullah
bersabda, jika seandainya bersujud pada manusia diperbolehkan beliau akan memerintahkan istri
bersujud pada suami, di sisi lain suami saya tidak bisa akur dengan adik karena permasalahan di atas.
Ustadz bagaimana saya menyikapi permasalahan ini, apa yang harus saya lakukan saat ini ustadz?
Mohon bantuan Ustadz
Terima kasih sebelumnya.
Wassalamu’alaikum wr. Wbr.
Jawaban
Semoga ibu dan suami senantiasa dihimpun Allah dalam kebaikan dan berkah.
Ibu,
Tidak ada satupun rumah tangga di kolong langit ini yang bebas sama sekali dari problem dan
permasalahan. Tidak satupun rumah tangga yang terlepas dari perselisihan. Tidak ada satupun rumah
tangga yang tidak pernah ada pertengkaran (meski kecil). Rumah tangga Rasulullah صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم
َ pun
tidak bebas dari pemasalahan. Problem dan masalah justru menjadi “alat pengukur” untuk menguji
kualitas iman pasangan suami istri.
Ada kalanya problem rumah tangga muncul dari pasangan, kadang dari orang tua/kerabat, dan kadang
pula dari orang lain. Semuanya adalah ujian untuk meningkatkan kualitas iman, senyampang disikapi
menurut cara yang diajarkan Allah dan RasulNya.
Hal yang harus diwaspadai saat terjadi masalah antara suami dengan istri adalah adanya pihak ketiga
yang berusaha mengipas-ngipasi/mengkompori dengan target memisahkan antara suami istri tersebut.
Aktivitas merusak rumah tangga orang dengan berupaya memisahkan pasangan suami istri adalah dosa
besar (Kaba-ir), kemunkaran berat, perbuatan para penyihir, dan diantara program utama Iblis berikut
tentaranya untuk menimbulkan fitnah dan kerusakan di tengah-tengah manusia. Abu Dawud
meriwayatkan;
.» ب ا ْم َرأَةً َعلَى َز ْو ِج َها أَوْ َع ْبدًا َعلَى َسيِّ ِد ِه َ َع َْن أَبِى هُ َري َْرةَ ق
َ « لَ ْي-صلى هللا عليه وسلم- ِ ال قَا َل َرسُو ُل هَّللا
َ َّس ِمنَّا َمنْ َخب
dari Abu Hurairah, ia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Bukan dari golongan
kami orang yang merusak hubungan seorang wanita dengan suaminya, atau seorang budak terhadap
tuannya.” (H.R.Abu Dawud)
dari ‘Abdullah bin Buraidah dari ayahnya berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Tidak termasuk golongan kami orang yang bersumpah dengan amanah dan barangsiapa merusak
hubungan seorang wanita dengan suaminya atau budak dengan tuannyanya, maka ia tidak termasuk
golongan kami.” (H.R.Ahmad)
Orang yang berusaha merusak hubungan istri dengan suaminya dalam hadis di atas di vonis tidak
termasuk golongan Rasulullah صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم
َ . Jika bukan golongan Rasulullah صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم
َ maka
menjadi golongan siapakah selain golongan kaum Kuffar, Munafik, Fasik, ahli maksiat dan semua yang
tidak menempuh jalan yang lurus? Cukuplah hadis ini menajdi dalil bahwa merusak rumah tangga orang
termasuk hitungan dosa-dosa besar dan kemungkaran yang berat.
Merusak rumah tangga orang juga termasuk perbuatan para penyihir berdasarkan ayat berikut ini;
dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka
mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), Padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan
sihir), hanya syaitan-syaitan lah yang kafir (mengerjakan sihir). mereka mengajarkan sihir kepada
manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil Yaitu Harut dan Marut,
sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun sebelum mengatakan:
“Sesungguhnya Kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir”. Maka mereka
mempelajari dari kedua Malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara
seorang (suami) dengan isterinya (Al-Baqoroh;102)
Dalam ayat di atas dijelaskan bahwa diantara aktivitas sihir yang dipelajari dari Harut dan Marut adalah
sihir untuk memisahkan antara seorang lelaki dengan suaminya. Sihir menyeret pada kekufuran, dan
sudah diketahui dalam Islam bahwa perbuatan sihir termasuk salah satu dari tujuh dosa besar yang
pelakunya dihukum bunuh. Dalil ini semakin menguatkan bahwa merusak rumah tangga orang adalah
dosa besar (Kaba-ir) dan kemungkaran yang berat.
Memisahkan pasangan suami istri dan merusak rumahtangga mereka juga menjadi program utama Iblis
dan tentaranya utnuk menimbulkan fitnah dan kerusakan di muka bumi. Imam Muslim meriwayatkan;
ث َس َرايَاهُ فَأ َ ْدنَاهُ ْم ِم ْنهُ َم ْن ِزلَةً أَ ْعظَ ُمهُ ْم فِ ْتنَةً يَ ِجي ُء أَ َح ُدهُ ْم فَيَقُو ُل
ُ ض ُع َعرْ َشهُ َعلَى ْال َما ِء ثُ َّم َي ْب َعَ يس َيَ ِصلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ِإ َّن ِإ ْبل
َ ِ ال َرسُو ُل هَّللا
َ َق
َ َ
َت بَ ْينَهُ َوبَ ْينَ ا ْم َرأتِ ِه قَا َل فَيُ ْدنِي ِه ِم ْنهُ َويَقُو ُل نِ ْع َم أ ْنت ْ َ ُ
ُ ال ث َّم يَ ِجي ُء أ َح ُدهُ ْم فَيَقُو ُل َما تَ َر ْكتُهُ َحتَّى فَ َّرق
َ َصنَعْتَ َش ْيئًا ق َ ت َك َذا َو َك َذا فَيَقُو ُل َما ُ فَ َع ْل
dari Jabir berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda: “Sesungguhnya Iblis meletakkan
singgasananya di atas air lalu mengirim bala tentaranya, (setan) yang kedudukannya paling dekat
dengan Iblis adalah yang paling besar godaannya. Salah satu diantara mereka datang lalu berkata: ‘Aku
telah melakukan ini dan itu.’ Iblis menjawab: ‘Kau tidak melakukan apa pun.’ Lalu yang lain datang dan
berkata: ‘Aku tidak meninggalkannya hingga aku memisahkannya dengan istrinya.’ Beliau bersabda:
“Iblis mendekatinya lalu berkata: ‘Bagus kamu.” (H.R.Muslim)
Tampak jelas dalam hadis di atas, bahwa Iblis meremehkan banyak “prestasi” tentaranya yang
menimbulkan fitnah dan kerusakan ditengah-tengah manusia. Namun ketika diberitahu “prestasi”
memisahkan pasangan suami istri, iblis begitu gembira, mendekatkan Syetan tersebut di sisinya dan
memujinya. Dari sini bisa difahami, siapapun yang terlibat upaya memisahkan pasngan suami istri dan
merusak rumah tangganya (meski dia bersorban besar), sesungguhnya dia adalah bagian dari tentara
iblis, yang merealisasikan program-programnya, dan menjadi “anteknya” baik sadar maupun tidak.
. َوهُ َو ِم ْن أَ ْعظَ ِم فِع ِْل ال َّشيَا ِطي ِن، َوهُ َو ِم ْن فِع ِْل ال َّس َح َر ِة،ب ال َّش ِدي َد ِة ُّ يق بَ ْينَ ْال َمرْ أَ ِة َو َزوْ ِجهَا ِم ْن
ِ الذنُو ِ فَ َس ْع ُي ال َّرج ُِل فِي التَّ ْف ِر
Upaya seseorang untuk memisahkan istri dengan suaminya adalah diantara dosa-dosa berat, termasuk
perbuatan tukang sihir, dan sebesar-besar perbuatan Syetan (Al-Fatawa Al-Kubro, vol.2 hlm 313)
Merusak rumah tangga orang variasi caranya beragam. Kadang orang melakukannya dengan mengadu
domba pasangan suami istri tersebut, memprovokasi istri agar minta cerai kepada suami dengan cara
mencitraburukkan suami, memprovokasi suami agar menceraikan istri dengan cara mencitraburukkan
istri, intervensi saat terjadi masalah rumah tangga sehingga api kian membesar, meminta istri tua dicerai
sebelum menikahi istri muda, dll. Semuanya termasuk hukum merusak rumah tangga yang hukumnya
haram dan dihitung dosa besar.
Sikap yang bijak yang menunjukkan kafakihan dalam dien, jika pihak ketiga melihat ada
permasalahan/pertengkaran dalam rumah tangga maka dia tidak boleh berbicara sebelum terealisasi
dua hal; pertama: Pasangan suami istri tersebut mengizinkan dan ridho pihak ketiga itu menjadi Hakam
(penengah) terhadap perselisihan mereka dan, kedua: Pihak ketiga tersebut tidak berbicara kecuali
setelah mendengar dengan seksama curahan hati dari kedua belah pihak (bukan hanya satu pihak).
Jika dua hal ini tidak terealisasi, maka tidak ada hak apapun bagi pihak ketiga untuk turut
campur/mengintervensi urusan rumah tangga orang (meskipun dia kerabat dekat). Hal itu dikarenakan
Syariat telah mengajarkan mekanisme penyelesain rumah tangga yang berpulang pada pasangan suami
istri, bukan pihak ketiga. Islam telah menempatkan secara bijak dan hati-hati terhadap peran pihak
ketiga untuk ikut andil dalam menyelesaikan permasalahan rumah tangga. Peran pihak ketiga hanya bisa
dilakukan dengan permintaan, bukan intervensi.
Rumah tangga harus dihormati, karena rumah tangga punya kepala keluarga yang mendapatkan hak
dari Allah untuk mengatur rumah tangganya sesuai dengan kebijakannya. Suami adalah kepala keluarga.
Ia bagaikan nahkoda bagi sebuah kapal. Membiarkan pihak ketika mengintervensi urusan rumah tangga
secara fakta membuat ikatan pernikahan menjadi tidak ada gunanya.
Jadi, sikap keluarga ibu yang menganjurkan untuk bercerai adalah sikap yang tidak benar. Hal tersebut
sudah terkategori intervensi (meski diatasnamakan nasihat), merusak rumah tangga, dosa besar,
kemunkaran berat, perbuatan tukang sihir, dan bagian tentara Iblis. Hal tersebut harus dihentikan, dan
merka wajib diingatkan untuk tidak turut campur. Seorang istri tidak boleh mendengarkan ucapan
provokasi/memanas-manasi/mengompori dari pihak manapun yang jelas berefek rusaknya hubungan
suami-istri.
Jika ada pihak ketiga yang telah diketahui ucapan/perbuatannya mengarah pada perusakan hubungan
dalam rumah tangga, maka mereka harus dijauhi dan suami berhak melarang istri bertemu dengan
mereka. Namun, menjauhi bukan bermakna memutus Shilaturrahim atau memutus Ukhuwwah
Islamiyyah. Menjauhi tidak lebih sekedar meminimalisasi interaksi, dan membatasi interaksi pada hal-hal
selain urusan rumah tangga. Jika pembicaraan/tindakan sudah mengarah para urusan rumah tangga
maka dihindari/dijauhi.
Adapun penyikapan terhadap suami, jangan sampai salah ibu. Bersikap terhadap suami yang paling baik
adalah sikap yang diajarkan Allah dan RasulNya, bukan berdasarkan pertimbangan akal, selera, dan
perasaan.
Syara’ mengajarkan bahwa asas perlakuan seorang istri terhadap suaminya adalah Tholabur Ridho/ َُطلَب
ضىَ ِّ( الرmencari Ridho). Dalil yang menunjukkan adalah hadis berikut ini;
أال أخبركم بنسائكم من أهل الجنة الودود الولود العؤود على زوجها التي: عن عبد هللا بن عباس قال قال رسول هللا صلى هللا عليه و سلم
إذا آذت أو أوذيت جاءت حتى تأخذ بيد زوجها ثم تقول وهللا ال أذوق غمضا حتى ترضى
Tidaklah aku kabarkan pada kalian wanita-wanita kalian yang termasuk penghuni surga? Wanita-
wanita yang penyayang dan subur, yang apabila ia mendzalimi atau didzalimi ia berkata,”tidaklah aku
merasakan dapat memejamkan mata hingga engkau ridho” (H.R.An-Nasai)
Dalam hadis di atas diterangkan bahwa istri calon penghuni surga diantara sifatnya adalah jika menyakiti
suami atau disakiti suami maka dia akan meminta maaf kepada suami dan tidak bisa tidur sebelum
suaminya ridho/memaafkannya. Meminta maaf saat menyakiti suami dalam hadis di atas tidak
diterangkan apakah penyebabnya adalah kesalahan suami ataukah istri. Yang jelas, ketika suami merasa
disakiti oleh istri, baik dengan ucapan maupun perbuatan lalu istri meminta maaf, maka sifat tersebut
dipuji syariat. Lebih hebat lagi ternyata pujian Syara’ bukan hanya saat sang istri yang menyakiti suami.
Saat dia disakiti suami, (artinya suaminyalah yang zalim) istri juga meminta maaf, dan sifat ini juga dipuji
Syariat. Oleh karena itu, hadis ini bukan sekedar bermakna wajibnya istri yang berbuat zalim untuk
meminta maaf, tetapi lebih dari itu hadis ini menunjukkan asas perlakuan seorang istri kepada suami
yaitu berusaha selalu mencari ridha/kerelaannya.
اخطٌ َوإِ َما ُم قَوْ ٍم َوهُ ْم ْ ق َحتَّى يَرْ ِج َع َوا ْم َرأَةٌ بَات
ِ َت َو َزوْ ُجهَا َعلَ ْيهَا َس ُ ِصاَل تُهُ ْم آ َذانَهُ ْم ْال َع ْب ُد اآْل ب ِ صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ثَاَل ثَةٌ اَل تُ َج
َ او ُز َ ِ ال َرسُو ُل هَّللا
َ َق
ِ لَهُ ك
ََارهُون
Dari Abu Umamah r.a beliau berkata, Rosuullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ,” tiga orang
yang sholat mereka tidak melampui telinga-telinga mereka yaitu seorang budak yang melarikan diri
hingga ia kembali, seorang wanita yang bermalam sementara suaminya marah kepadanya, dan
seorang imam suatu kaum sementara kaumnya membencinya”(H.R.At-Tirmidzi)
Dalm hadis di atas, diterangkan bahwa istri yang membuat suaminya marah maka shalatnya tidak naik
ke langit. Penyebab marah dalam hadis di atas juga bersifat mutlak dan tidak diterangkan. Maknanya,
Syara’ tidak berkehendak istri membuat suaminya marah, sehingga bisa difahami berdasarkan hadis ini
pula bahwa Tholabur Ridho/ ضى َ ِّ( َطلَبُ الرmencari Ridho) adalah asas seluruh perlakuan Istri kepada
suami.
Dalil yang menguatkan adalah hadis tentang kecemburuan Hurul ‘In/Wanita surga/bidadari berikut ini;
Dari Mu’adz bin Jabal dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda, “tidaklah seorang
wanita menyakiti suaminya di sunia melainkan istri-istri suaminya dari kalangan bidadari di surga
berkata, “engkau jangan menyakitinya, Allah melaknatmu, sesungguhnya ia (suami) di sisimu hanyalah
tamu yang hampir-hampir meninggalkanmu dan pulang kepada kami”.(H.R.Ahmad)
Secara implisit hadis di atas juga mengajarkan kepada para wanita agar jangan sampai membuat
suaminya tersakiti. Maknanya Tholabur Ridho/ ضى َ ِّ( َطلَبُ الرmencari Ridho) adalah asas seluruh perlakuan
Istri kepada suami.
Berdasarkan alas fikir ini, peristiwa-peristiwa rumah tangga Insya Allah bisa disikapi secara lebih tepat
dan bijaksana yang lebih dekat dengan syariat yang diperintahkan Allah dan RasulNya.
Ketika terjadi kesalahfahaman antara suami dengan sebagian kerabat istri, maka langkah pertama agar
masalah tidak meruncing dan memanas adalah taatnya istri terhadap semua perintah dan pengaturan
suami. Istri selalu berusaha mendapatkan ridha suami. Namun hal ini tidak bermakna istri “berkubu”
suami dan memusuhi kerabat. Namun sekedar menjalankan perintah syara’ menaati suami dan mencari
ridhanya seraya berusaha mendialogkan kesalahfahaman tersebut dengan tetapn menjaga
Shilaturrahim. Jangan sampai istri memaki suami, memarahi apalagi merendahkannya. Karena hal
tersebut terhitung dosa besar, bertentangan dengan perintah syara’ dan malah akan memperkeruh
keadaan.
Bukankah ibu sendiri telah merasakan bahwa suami sungguh sayang pada ibu?bukankah beliau telah
bersedia mengantar pergi, mengontrol kepulangan, mengkhawatirkan keselamatan, dll yang semuanya
adalah diantara tanda betapa suami mencintai istri? Terhadap suami yang jahat dan zalim saja Syara’
masih memerintahkan taat, hormat, dan mencari ridhanya, bukankah suami yang mencintai,
menyayangi, memanjakan, memperhatikan (sampai kadang-kadang menitikkan air mata) lebih punya
alasan untuk ditaati, dihormati, dan dicari ridhanya?
Terakhir, perbanyaklah membaca doa berikut ini agar segala permasalahan dunia maupun akhirat lekas
selesai;
Wallahua’lam.
Jauhi Tiga Jenis Manusia Yang Akan
Mendapat Laknat Allah SWT
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Segala puji bagi Allah, Tuhan sekelian alam. Selawat serta salam buat junjungan mulia Nabi Muhammad
SAW keluarga serta para sahabat dan pengikut yang istiqamah menuruti baginda hingga ke hari kiamat.
Berdasarkan hadis di atas terdapat tiga macam manusia yang akan mendapat laknat Allah SWT iaitu :
Kedua : Seseorang yang berusaha menceraikan sepasang suami isteri, kemudian setelah isteri
tersebut dicerai ia menggantikannya sebagai suaminya.
Ketiga : Seseorang yang berusaha agar orang-orang mukmin saling membenci dan saling
mendengki antara sesamanya dengan hasutan-hasutannya.
Huraiannya :
Menurut Al Qurthubi, derhaka kepada kedua ibu bapa ialah menyalahi perintah keduanya, sebagaimana
bakti keduanya bererti mematuhi perintah mereka berdua. Berdasarkan ini jika keduanya atau salah
seorang dari mereka menyuruh anaknya, maka anaknya wajib mentaatinya, jika perintah itu bukan
maksiat. Meskipun pada asalnya perintah itu termasuk jenis mubah (harus), begitu pula bila termasuk
jenis mandub (sunat). Jika melanggar perintah kedua ibu bapa sudah dianggap derhaka apatah lagi
membenci keduanya terutama ketika mereka berdua telah tua dan memerlukan bantuan dan
pembelaan.
Dalam sebuah hadis dijelaskan, Rasulullah SAW bersabda: Dari Abdullah bin Amr, ia berkata: seorang
lelaki datang kepada Rasulullah, lalu berkata: "Wahai Rasulullah, aku datang untuk berjihad bersama
baginda kerana aku ingin mencari redha Allah dan hari akhirat. Tetapi aku datang kesini dengan
meninggalkan ibu bapaku dalam keadaan menangis". Lalu sabda baginda: "Pulanglah kepada mereka.
Jadikanlah mereka tertawa seperti tadi engkau jadikan mereka menangis". (Hadis Riwayat Ibnu Majah)
Jadi perintah ibu atau bapa yang bukan bersifat maksiat atau mempersekutukan Allah, maka kita wajib
mentaatinya. Namun jika perintah nya bersifat melawan kehendak dan hukum agama, maka tolaklah
dengan cara yang baik.
Di dalam Islam orang yang derhaka dan membenci kepada kedua ibu bapanya termasuk ke dalam
kategori dosa besar setelah mensyirikkan Allah, dan akan di masukkan ke dalam neraka. Firman Allah
SWT maksudnya: "Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan
hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapamu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara
keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, sekali-kali janganlah kamu
mengatakan kepada keduanya perkataan ah (uff) dan janganlah kamu membentak mereka dan
ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia". (Al Isra' 23)
Orang yang tidak menghormati ibu bapa akan dilaknat oleh Allah SWT.dan hidupnya di dunia ini tidak
akan ada keberkatan kerana reda Allah SWT bergantung kepada reda kedua ibu bapa kepada anaknya.
Dalam hadis yang lain Nabi SAW bersabda yang bermaksud : “ Barangsiapa membuat ibu bapanya
gembira (memberi keredan), maka sesungguhnya ia membuat reda Allah. Barangsiapa menyakitkan hati
ibu bapanya, maka sesungguhnya ia membuat kebencian Allah” (Hadis riyawat Bukhari )
Anak derhaka tidak akan mencium bau syurga dan haram baginya untuk memasuki syurga Allah SWT.
Nabi SAW memberi wasiat kepada Sayyidina Ali k.wj : "Wahai Ali ! Saya melihat tulisan pada pintu
syurga yang berbunyi "Syurga itu diharamkan bagi setiap orang yang bakhil (kedekut), orang yang
derhaka kepada kedua orang tuanya, dan bagi orang yang suka mengadu domba (mengasut)."
Nabi SAW bersabda, “Aku beritahukan kepadamu tiga macam dosa yang paling besar, yakni: Mengada-
adakan sekutu bagi Allah SWT, tidak patuh kepada kedua orangtuamu, dan memberikan kesaksian
palsu.” (Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim)
Kedua : Seseorang yang berusaha menceraikan sepasang suami isteri, kemudian setelah isteri tersebut
dicerai ia menggantikannya sebagai suaminya.
Salah satu sifat orang fasik adalah suka kepada isteri orang dan dia berusaha untuk menceraikan
pasangan suami isteri tersebut. Mungkin bermula apabila wanita tersebut mengadu kepadanya bahawa
dia mempunyai masaalah dengan suaminya. Sepatutnya sebagai seorang mukmin dia menasihatkan
wanita tersebut supaya kembali mentaati suaminya dan melupakan perbalahan kecil urusan rumah
tangga bukannya menggalakkan wanita tersebut meminta cerai kepada suaminya dengan itu dia akan
berpeluang mengawininya. Akhlak lelaki seperti ini cukup buruk dan akan mendapat laknat Allah SWT di
dunia ini dan di akhirat akan mendapat azab yang besar.
Perlu diingatkan kepada para wanita yang sudah berkahwin kalian perlu berhati-hati apabila meluahkan
masaalah rumah tangga kepada lelaki yang kalian tidak kenal sepenuhnya hanya kenal di alam maya ini
kerana ramai lelaki mempunyai "penyakit hati" dan akan mengambil kesempatan untuk "meneguk di air
keruh" dan dikira berdosa kerana membuka aib suami kepada orang yang tidak berkenaan. Tetapi jika
kalian berhajat mendapatkan khidmat nasihat maka dapatkanlah daripada ustazah atau ustaz atau pakar
kaunseling maka hubungilah mereka yang berpengalaman dalam menyelesaikan masaalah rumah
tangga.
Bukan sahaja lelaki yang merosakkan rumah tangga orang lain akan mendapat laknat daripada Allah
SWT tetapi wanita tersebut yang tertarik dengan lelaki yang menghasutnya juga tidak akan masuk
syurga kerana meminta cerai tanpa alasan yang dibenarkan oleh syarak.
Rasulullah SAW bersabda maksudnya : “Mana-mana wanita yang meminta suaminya menceraikannya
dengan tiada sebab yang dibenarkan oleh syarak maka haramlah baginya bau syurga”. (Hadis Riwayat
Abu Daud dan Tarmizi)
Ketiga : Seseorang yang berusaha agar orang-orang mukmin saling membenci dan saling mendengki
antara sesamanya dengan hasutan-hasutannya.
Nabi SAW bersabda maksudnya : ''Sesungguhnya, orang-orang yang suka menghasut tidak akan masuk
syurga.'' (Hadis Riwayat Bukhari-Muslim).
Hakikat namimah ialah menyebarkan rahsia, mengadu domba dan mengumpat. Tidak seharusnya setiap
keadaan yang tak disukai disampaikan ke orang lain, kecuali jika ditujukan untuk kemaslahatan kaum
muslimin atau menolak kemaksiatan, seperti kesaksian di pengadilan.
Selain ancaman tidak masuk syurga, penghasut dikecam sebagai manusia paling buruk perilakunya. Nabi
SAW bersabda maksudnya : ''Maukah aku beritahukan kepada kalian tentang orang yang paling buruk
perilakunya di antara kalian? Yaitu, orang yang berjalan di atas muka bumi seraya menghasut, yang
merosak di antara orang-orang yang tadinya saling mencintai, dan hanya ingin memceritakan aib orang-
orang yang tidak bersalah.''
(Hadis Riwayat Ahmad).
Rasulullah SAW mengecam orang-orang munafik di Madinah kerana perilaku kotornya yang suka
menghasut ketika baginda berhijrah. Kebiasaan menghasut sepertinya sudah menjalar dan meluas di
negeri kita pada masa ini. Melahirkan banyak bloger-bloger politik yang tidak bermoral dan sanggup
menabur fitnah, maki hamun dan memecahbelahkan perpaduan umat Islam.
Dari Al-Zuhri bahawa Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam bersabda : "Tidak akan masuk syurga bagi
yang memutuskan silaturahim".
(Hadis Riwayat Muslim)
Nabi SAW bersabda maksudnya : “Tidak ada dosa yang lebih layak dipercepat hukumannya di dunia, dan
apa yang dipersiapkan Allah baginya di akhirat daripada tindakan kezaliman dan memutuskan hubungan
silaturrahim”. (Hadis Riwayat Ibnu Majah dan Tarmizi)
Nabi SAW bersabda maksudnya : "Sesungguhnya lelaki yang paling dibenci Allah ialah yang paling gigih
dalam permusuhan." (Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim)
Dari Abi Hurairah r.a, dari Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam baginda bersabda : "Seorang muslim
adalah seorang yang apabila orang lain terselamat daripada lidahnya dan tangannya dan seorang
mukmin adalah seorang yang apabila orang lain berasa aman daripadanya terhadap jiwa dan harta
benda mereka". (Hadis Riwayat an-Nasaie)
Oleh itu jauhilah daripada segala bentuk perbuatan, percakapan, tulisan dan amalan yang suka
memecahbelahkan perpaduan umat Islam dengan memutuskan silaturahim, mengadu domba,
menghasut, memfitnah, mengumpat dan menimbulkan permusuhan bukan sahaja mendapat dosa besar
tetapi akan mendapat laknat Allah SWT dan tidak akan mencium bau syurga.
Sahabat yang dikasihi,
Marilah sama-sama kita menjauhi diri kita daripada tiga jenis manusia yang akan mendapat laknat Allah
SWT di dunia dan akhirat seperti hadis di atas. Untuk menjauhi daripada laknat Allah SWT perlulah
kalian melakukan; pertama, mengasihi kedua ibu bapa kalian jangan menderhakainya dan berbaktilah
kepada mereka jika mereka masih hidup dan jika mereka sudah meninggal dunia doakan mereka dan
buatlah amal soleh untuk mereka. Kedua, jauhilah dan jangan cuba untuk mendekati wanita yang sudah
berkahwin dengan tujuan-tujuan yang tidak bermoral, jika terdapat ruang-ruang fitnah cubalah
menutupnya. Jika berhajat untuk mencari pasangan hidup carilah janda atau gadis yang masih belum
berpunya dan gunakanlah cara-cara yang diizinkan oleh syarak. Ketiga, janganlah sekali-sekali memecah
belahkan perpaduan umat Islam. Jadikanlah diri kita sebagai penyelamat umat, pendakwah yang jujur
dan ikhlas dan berjuang semata-mata mencari keredaan Allah SWT bukannya untuk mendapatkan nama,
pujian dan kedudukan dalam masyarakat.
Merusak Rumah Tangga Orang Lain
Musyafa Ahmad Rahim, Lc 10/07/07 | 22:19 Syarah Hadits
Dari Abî Hurairah –radhiyallâhu ‘anhu- ia berkata: “Rasulullâh – shallallâhu ‘alaihi wa sallam – bersabda:
‘Siapa menipu dan merusak (hubungan) seorang hamba sahaya dari tuannya, maka ia bukanlah bagian
dari kami, dan siapa yang merusak (hubungan) seorang wanita dari suaminya, maka ia bukanlah dari
kami'”. [Hadîts shahîh diriwayatkan oleh Ahmad, Al-Bazzâr, Ibn Hibbân, Al-Nasâ-î dalam al-Kubrâ dan Al-
Baihaqî].
Teks Hadîts
Rasulullâh –shallallâhu ‘alaihi wa sallam – bersabda:
Takhrîj Hadîts
Hadîts ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Al-Musnad [juz 2, hal. 397], Al-Bazzâr [lihat Mawârid al-
Zham’ân juz 1, hal. 320], Ibn Hibbân dalam shahîh [juz 12, hal. 370], Al-Nasâ-î dalam Al-Sunan al-Kubrâ
[juz 5, hal. 385], dan Al-Baihaqî dalam Al-Sunan al-Kubrâ [juz 8, hal. 13], juga dalam Syu’abu al-Îmân [juz
4, hal. 366, juz 7, hal. 496].
Syekh Nâshir al-Dîn al-Albânî menilai hadîts ini sebagai hadîts shahîh [Silsilah al-Ahâdîts al-Shahîhah
hadîts no. 325].
Kandungan Hadîts
Secara garis besar hadîts ini berisi kecaman keras terhadap dua perbuatan, yaitu:
1. Mengganggu seorang pelayan, atau pembantu atau budak yang telah bekerja pada seorang tuan,
sehingga hubungan di antara pelayan dan tuannya menjadi rusak, lalu sang pelayan pergi meninggalkan
tuannya, atau tuannya memecat dan mengusir sang pelayannya.
2. Mengganggu seorang wanita yang berstatus istri bagi seorang lelaki, sehingga hubungan di antara
suami istri itu menjadi rusak, lalu sang istri itu meminta cerai dari suaminya, atau sang suami
menceraikan istrinya.
Bentuk-Bentuk Gangguan dan Tindakan Merusak
Ada beragam bentuk dan cara seseorang merusak hubungan diantara suami istri, di antaranya adalah:
1. Berdoa dan memohon kepada Allâh –subhânahu wa ta’âlâ- agar hubungan seorang wanita dengan
suaminya menjadi rusak dan terjadi perceraian di antara keduanya.
2. Bersikap baik, bertutur kata manis dan melakukan berbagai macam tindakan yang secara lahiriah baik,
akan tetapi, menyimpan maksud merusak hubungan seorang wanita dengan suaminya (atau sebaliknya).
Perlu kita ketahui terkadang sihir itu berupa tutur kata yang memiliki kemampuan “menghipnotis”
lawan bicaranya. Rasulullâh –shallallâhu ‘alahi wa sallam- bersabda: “Sesungguhnya sebagian dari
sebuah penjelasan atau tutur kata itu adalah benar-benar sihir”. (H.R. Bukhârî dalam al-Adab al-Mufrad,
Abû Dâwud dan Ibn Mâjah. Syekh Albânî menilai hadîts ini sebagai hadîts hasan [silsilah al-ahâdîts al-
shahîhah, hadîts no. 1731]).
3. Memasukkan bisikan, kosa kata yang bersifat menipu dan memicu, serta memprovokasi seorang
wanita agar berpisah dari suaminya (atau sebaliknya), dengan iming-iming akan dinikahi olehnya atau
oleh orang lain, atau dengan iming-iming lainnya. Perbuatan seperti ini adalah perbuatan tukang sihir
dan perbuatan syetan (Q.S. Al-Baqarah: 102). Rasulullâh –shallallâhu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
“Sesungguhnya Iblis menempatkan singgasananya di atas air, lalu menyebar anak buahnya ke berbagai
penjuru, yang paling dekat dengan sang Iblis adalah yang kemampuan fitnahnya paling hebat di antara
mereka, salah seorang dari anak buah itu datang kepadanya dan melapor bahwa dirinya telah berbuat
begini dan begitu, maka sang Iblis berkata: ‘kamu belum berbuat sesuatu’, lalu seorang anak buah
lainnya datang dan melapor bahwa dia telah berbuat begini dan begitu sehingga mampu memisahkan
antara seorang suami dari istrinya, maka sang Iblis menjadikan sang anak buah ini sebagai orang yang
dekat dengannya, dan Iblis berkata: ‘tindakanmu sangat bagus sekali’, lalu mendekapnya”. (H.R. Muslim
[5032]).
4. Meminta, atau menekan secara terus terang agar seseorang wanita meminta cerai dari suaminya atau
agar seorang suami menceraikan istrinya dengan tanpa alasan yang dibenarkan oleh syari’at. Rasulullâh
–shallallâhu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Tidak halal bagi seorang wanita meminta (kepada suaminya)
agar sang suami mencerai wanita lain (yang menjadi istrinya) dengan maksud agar sang wanita ini
memonopli ‘piringnya’, sesungguhnya hak dia adalah apa yang telah ditetapkan untuknya”. (Hadîts
muttafaq ‘alaih).
Bentuk-bentuk seperti ini sangat tercela, dan termasuk dosa besar jika dilakukan oleh seseorang kepada
seorang wanita yang menjadi istri orang lain, atau kepada seorang lelaki yang menjadi suami orang lain.
Dan hal ini semakin tercela lagi jika dilakukan oleh seseorang yang mendapatkan amanah atau
kepercayaan untuk mengurus seorang wanita yang suaminya sedang pergi atau sakit dan semacamnya.
Sama halnya jika dilakukan oleh seorang wanita yang mendapatkan amanah atau kepercayaan untuk
mengurus keluarga seorang lelaki yang istrinya sedang pergi atau sakit dan semacamnya.
Rasulullâh –shallallâhu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Keharaman wanita (istri yang ditinggal pergi oleh)
orang-orang yang berjihad bagi orang-orang yang tidak pergi berjihad (yang mengurus keluarga mujahid)
adalah seperti keharaman ibu-ibu mereka, dan tidak ada seorang lelaki pun dari orang-orang yang tidak
pergi berjihad yang mengurus keluarga orang-orang yang pergi berjihad, lalu berkhianat kepada orang-
orang yang pergi berjihad, kecuali sang pengkhianat ini akan dihentikan (dan tidak diizinkan menuju
surga) pada hari kiamat, sehingga yang dikhianati mengambil kebaikan yang berkhianat sesuka dan
semaunya”. (H.R. Muslim [3515]).
Salah satu bentuk pengkhianatan yang dimaksud dalam hadîts Muslim ini adalah merusak hubungan
keluarga sang mujahid, sehingga bercerai dari suaminya.
Bentuk pengkhianatan yang lebih besar lagi adalah –na’ûdzu billâh min dzâlik- berzina dengan keluarga
sang mujahid.
Termasuk dalam pengertian mujahid ini adalah seseorang yang mendapatkan tugas dakwah, atau
menunaikan ibadah haji atau umrah, atau bepergian yang mubah, lalu menitipkan urusan keluarganya
(istri dan anak-anaknya) kepada orang lain. Dalam hal ini, jika yang mendapatkan amanah berkhianat,
maka, ia termasuk dalam ancaman hadîts Muslim ini.
Mirip-mirip dengan hal ini adalah jika ada seseorang yang karena kapasitasnya, mungkin karena ia
adalah seorang tokoh, atau pimpinan sebuah organisasi atau kiai, atau ustadz, atau semacamnya yang
diamanahi untuk mendamaikan hubungan suami istri orang lain yang sedang rusak atau terancam rusak,
akan tetapi, ia malah mengkhianati amanah ini.
Hukum Merusak Rumah Tangga Orang Lain
a. Hukum Ukhrawî
Para ulama’ bersepakat bahwa hukum mengganggu dan merusak hubungan sebagaimana dimaksud
dalam hadîts nabi di atas adalah haram (lihat al-mausû’ah al-fiqhiyyah, pada bâb takhbîb), maka siapa
saja yang melakukannya, maka ia mendapatkan dosa dan diancam siksa di neraka.
Bahkan Imam Al-Haitsamî mengkategorikan perbuatan dosa ini sebagai dosa besar.
Dalam kitabnya Al-Zawâjir ‘an Iqtirâf al-Kabâir beliau menyebutkan bahwa dosa besar yang ke 257 dan
258 yaitu merusak seorang wanita agar terpisah dari suaminya dan merusak seorang suami agar
terpisah dari istrinya.
Alasannya, hadîts nabi –shallallâhu ‘alaihi wa sallam – di atas menafikan pelaku perbuatan merusak ini
dari bagian umat beliau, dan ini terhitung sebagai ancaman berat. Juga para ulama’ sebelumnya, secara
sharîh (jelas) mengkategorikannya sebagai dosa besar. (lihat Al-Zawâjir juz 2, hal. 577).
b. Hukum Duniawî
Ada dua hukum duniawi terkait dengan hadits ini, yaitu:
1. Jika ada seorang lelaki yang merusak hubungan seorang wanita dari suaminya, lalu sang wanita itu
meminta cerai dari suaminya, dan sang suami mengabulkannya, atau jika ada seorang lelaki merusak
hubungan seorang wanita dari suaminya, lalu sang suami marah dan menceraikan istrinya, lalu sang
lelaki yang merusak ini menikahi wanita tersebut, apakah pernikahannya sah?
Jumhur ulama’ berpendapat bahwa pernikahan sang lelaki perusak dengan wanita korban tindakan
perusakannya adalah sah. Alasannya adalah karena wanita tersebut tidak secara eksplisit terhitung
sebagai muharramât (wanita-wanita yang diharamkan baginya).
Namun, ulama’ Mâlikiyyah memiliki pendapat yang berbeda dengan Jumhur. Mereka berpendapat
bahwa pernikahan yang terjadi antara seorang lelaki perusak dengan wanita yang pernah menjadi
korban tindakan perusakannya harus dibatalkan, baik sebelum terjadi akan nikah di antara keduanya
atau sudah terjadi. Alasan Mâlikiyyah dalam hal ini adalah:
i. Demi menerapkan hadîts yang menjadi kajian kita kali ini.
ii. Agar tidak menjadi preseden buruk bagi munculnya kasus-kasus lain yang serupa, demi menjaga
keutuhan rumah tangga kaum muslimin.
iii. Hal ini terhitung dalam kategori kaidah fiqih: man ta’ajjala syai-an qabla awânihi ‘ûqiba bihirmânihi
(siapa yang terburu-buru mendapatkan sesuatu sebelum saatnya, maka ia dihukum dengan tidak
diperkenankan mendapatkan sesuatu itu). Kaidah ini pada asalnya berlaku bagi seseorang yang melamar
dengan kata-kata sharîh seorang wanita yang masih dalam masa iddah (tunggu) pasca kematian
suaminya. (Q.S. Al-Baqarah: 235). Logikanya, jika melamar dengan kata-kata sharîh terhadap seorang
wanita yang masih dalam masa iddah karena kematian suaminya saja tidak dibenarkan, padahal dalam
hal ini tidak ada aspek perusakan yang berakibat terciptanya perceraian wanita itu dari suaminya
(karena memang suaminya telah meninggal), maka, jika ada seseorang yang merusak seorang wanita
yang masih bersuami, sehingga tercipta perceraian wanita itu dari suaminya, hukumnya tentunya lebih
berat daripada yang dimaksud dalam kaidah fiqih ini. Untuk itulah, jika akan terjadi pernikahan antara
sang lelaki perusak hubungan dengan wanita “korban” tindakan perusakannya, maka, hal ini harus
dicegah, dan jika sudah kadung terjadi pernikahan di antara keduanya, maka, pernikahan itu harus
dibatalkan.
Yang lebih menarik lagi dari pendapat Mâlikiyyah ini adalah: ada sebagian dari ulama’ Mâlikiyyah yang
berpendapat bahwa wanita “korban” tindakan perusakan seorang lelaki, menjadi haram selamanya bagi
sang lelaki perusak tersebut.
Perbedaan pendapat ini kami sebutkan di sini sebagai peringatan keras bagi siapa saja agar tidak
melakukan perbuatan seperti ini, walaupun, secara hukum fiqih, pendapat Jumhur lebih kuat, akan
tetapi, pendapat Mâlikiyyah, perlu kita jadikan sebagai cambuk peringatan.
2. Jika ada seseorang yang melakukan perbuatan terlarang ini, adakah ia perlu mendapatkan hukuman
di dunia?
Para ulama’ berpendapat bahwa perbuatan terlarang seperti ini, jika ada yang melakukan, maka hakim
berwewenang menjatuhkan ta’zîr (hukuman yang ketentuannya ditetapkan oleh hakim atau penguasa)
dengan syarat tidak melebihi bobot 40 cambukan.
Di antara mereka ada yang berpendapat, hukumannya adalah kurungan penjara sampai ia menyatakan
tobat atau meninggal dunia (sebagian penganut Mazhab Hanafî)
Di antara mereka ada yang berpendapat, cukup diberi cambukan keras saja, dipublikasikan
perbuatannya, agar orang waspada darinya dan agar orang lain mengambil ibrah (sebagian penganut
madzhab Hanbalî).
Catatan Lain
Ada satu hal yang menarik untuk dicatat di sini, yaitu tentang sikap para ulama’ saat menyebutkan
hadîts ini.
Sebagian mereka mencantumkan hadîts yang sedang kita kaji ini dalam bab “orang yang merusak
hubungan suami istri”, tanpa embel-embel ancaman dalam kalimat babnya. Seperti yang dilakukan oleh
Imam Al-Nasâ-î dan Al-Bazzâr.
Akan tetapi, ada sebagian dari mereka yang mencantumkan hadîts yang sedang kita kaji ini dalam bab
yang mengandung kalimat ancaman, seperti: al-zajr (penjelasan untuk membuat jera), al-tasydîd
(peringatan keras), sebagaimana yang dilakukan oleh Imam Ibn Hibbân dan Imam Al-Baihaqî.
Yang menarik adalah ada sebagian ulama’ yang mengkategorikan hadîts ini ke dalam bab makar dan tipu
daya, sebagaimana yang dilakukan oleh kitab kanz al-‘Ummâl.
Semoga kita semua terhindar dari perbuatan yang sangat tercela ini, amin.
Pertengkaran dalam rumah tangga, hampir pernah terjadi dalam semua keluarga. Tak terkecuali
keluarga yang anggotanya orang baik sekalipun. Dulu keluarga Ali bin Abi Thalib dan Fatimah
radhiyallahu ‘anhuma, juga pernah mengalami semacam ini.
Dari Sahl bin Sa’d radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi rumah Fatimah radhiyallahu ‘anha, dan beliau tidak
melihat Ali di rumah. Spontan beliau bertanya: “Di mana anak pamanmu?” ‘Tadi ada masalah dengan
saya, terus dia marah kepadaku, lalu keluar. Siang ini dia tidak tidur di sampingku.’
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada para sahabat tentang keberadaan
Ali. ‘Ya Rasulullah, dia di masjid, sedang tidur.’ Datanglah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ke
masjid, dan ketika itu Ali sedang tidur, sementara baju atasannya jatuh di sampingnya, dan dia terkena
debu. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap debu itu, sambil mengatakan,
“Bangun, wahai Abu Thurab… bangun, wahai Abu Thurab…” (HR. Bukhari 441 dan Muslim 2409)
Tentu tidak ada apa-apanya ketika keluarga kita dibandingkan dengan keluarga Ali dan Fatimah
radhiyallahu ‘anhuma. Meskipun demikian, pertengkaranpun kadang terjadi diantara mereka.
Sebagaimana semacam ini juga terjadi di keluarga kita. Hanya saja, pertengkaran yang terjadi di keluarga
yang baik sangat berbeda dengan pertengkaran yang terjadi di keluarga yang tidak baik.
Apa Bedanya?
Keluarga yang tidak baik, mereka bertengkar tanpa aturan. Satu sama lain saling menguasi dan saling
mendzalimi. Setitikpun tidak ada upaya untuk mencari solusi. Yang penting aku menang, yang penting
aku mendapat hakku. Tak jarang pertengkaran semacam ini sampai menui caci-maki, KDRT, atau bahkan
pembunuhan.
Berbeda dengan keluarga yang baik, sekalipun mereka bertengkar, pertengkaran mereka dilakukan
tanpa melanggar aturan. Sekalipun mereka saling sakit hati, mereka tetap menjaga jangan sampai
mendzalimi pasangannya. Dan mereka berusaha untuk menemukan solusinya dari pertengkaran ini.
Umumnya sifat semacam ini ada pada keluarga yang lemah lembut, memahami aturan syariat dalam
fikih keluarga, dan sadar akan hak dan kewajiban masing-masing.
ُ; إِاَّل َك َّف َر هَّللا ُ ِب َها مِنْ َخ َطا َياه، َح َّتى ال َّش ْو َك ِة ُي َشا ُك َها، َوالَ َه ٍّم َوالَ ح ُْز ٍن َوالَ أَ ًذى َوالَ غَ ٍّم،ٍصب
َ ب َوالَ َو َ مِنْ َن،َما يُصِ يبُ المُسْ لِ َم
ٍ ص
“Tidak ada satu musibah yang menimpa setiap muslim, baik rasa capek, sakit, bingung, sedih, gangguan
orang lain, resah yang mendalam, sampai duri yang menancap di badannya, kecuali Allah jadikan hal itu
sebagai sebab pengampunan dosa-dosanya.” (HR. Bukhari 5641).
Pahami bahwa bisa jadi pertengkaran ini disebabkan dosa yang pernah kita lakukan. Kemudian Allah
memberikan hukuman batin dalam bentuk masalah keluarga. Di saat itu, hadirkan perasaan bahwa Allah
akan menggugurkan dosa-dosa anda dengan kesedian yang anda alami…lanjutkan dengan bertaubat dan
memohon ampun kepada-Nya.
Umar bin Abdul Aziz mengatakan,
“Musibah turun disebabkan dosa dan musibah diangkat dengan sebab taubat.” (Majmu’ Fatawa, 8/163)
ِ َواَل َتضْ ِر، َ أَ ِو ْاك َت َسبْت، َ; َو َت ْكس َُو َها إِ َذا ْاك َت َسيْت، َأَنْ ُت ْط ِع َم َها إِ َذا َط ِعمْت
َواَل َت ْهجُرْ إِاَّل فِي ْال َبيْت، ْ َواَل ُت َقبِّح،ب ْال َوجْ َه
“Kamu harus memberi makan kepadanya sesuai yang kamu makan, kamu harus memberi pakaian
kepadanya sesuai kemampuanmu memberi pakaian, jangan memukul wajah, jangan kamu
menjelekannya, dan jangan kamu melakukan boikot kecuali di rumah.” (HR. Ahmad 20011, Abu Daud
2142 dan dishahihkan Al-Albani).
Hadis ini merupakan nasehat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para suami. Meskipun
demikian, beberapa larangan yang disebutkan dalam hadis ini juga berlaku bagi wanita. Dari hadis mulia
ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menasehatkan untuk menghindari 3 hal:
Pertama, hindari KDRT
Dalam Al-Quran Allah membolehkan seorang suami untuk memukul istrinya ketika sang istri
membangkang. Sebagaimana firman Allah di surat An-Nisa:
ضا ِجع َواضْ ِربُوهُنَّ َفإِنْ أَ َطعْ َن ُك ْم َفاَل َت ْب ُغوا َعلَي ِْهنَّ َس ِبياًل ْ ُ َ َُوالاَّل تِي َت َخاف
ُ ون ُن
ِ َ وزهُنَّ َفعِظوهُنَّ َواهْ ُجرُوهُنَّ فِي ال َم
َ ش
Wanita-wanita yang kamu khawatirkan tidak tunduk, nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di
tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu
mencari-cari jalan untuk menyusahkannya..(QS. An-Nisa: 34)
Namun ini izin ini tidak berlaku secara mutlak. Sehingga suami bebas melampiaskan kemarahannya
dengan menganiaya istrinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan batasan lain tentang
izin memukul,
1. Tidak boleh di daerah kepala, sebagaimana sabda beliau, “jangan memukul wajah.” Mencakup kata
wajah adalah semua kepala. Karena kepala manusia adalah hal yang paling penting. Ada banyak organ
vital yang menjadi pusat indera manusia.
2. Tidak boleh menyakitkan
Batasan ini disebutkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam khutbah beliau ketika di
Arafah.
َ ِإِنْ َف َع ْل َن َذل
َ َّك َفاضْ ِربُوهُن
ضرْ بًا غَ ي َْر ُم َبرِّ ٍح
“Jika istri kalian melakukan pelanggaran itu, maka pukullah dia dengan pukulan yang tidak
menyakitkan.” (HR. Muslim 1218)
Keterangan ini juga disebutkan Al-Bukhari dalam shahihnya, ketika beliau menjelaskan firman Allah di
surat An-Nisa: 34 di atas.
Atha’ bin Abi Rabah pernah bertanya kepada Ibnu Abbas,
السواك وشبهه يضربها به: ما الضرب غير المبرح ؟ قال: قلت البن عباس
Saya pernah bertanya kepada Ibnu Abbas, ‘Apa maksud pukulan yang tidak menyakititkan?’ Beliau
menjawab, “Pukulan dengan kayu siwak (sikat gigi) atau semacamnya.” (HR. At-Thabari dalam tafsirnya,
8/314).
Termasuk makna pukulan yang tidak menyakitkan adalah pukulan yang tidak meninggalkan bekas,
seperti memar, atau bahkan menimbulkan luka dan mengeluarkan darah. Karena sejatinya, pukulan itu
tidak bertujuan untuk menyakiti, tapi pukulan itu dalam rangka mendidik istri.
Namun, meskipun ada izin untuk memukul ringan, tidak memukul tentu jauh lebih baik. Karena wanita
yang lemah bukanlah lawan yang seimbang bagi lelaki yang gagah. Anda bisa bayangkan, ketika ada
orang yang sangat kuat, mendapatkan lawan yang lemah. Tentu bukan sebuah kehormatan bagi dia
untuk meladeninya. Karena itu, lawan bagi suami yang sesunguhnya adalah emosinya. Suami yang
mampu menahan emosi, sehingga tidak menyikiti istrinya, itulah lelaki hebat yang sejatinya. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ب
ِ ض ُ ِ إِ َّن َما ال َّشدِي ُد الَّذِي َيمْ ل،ِْس ال َّشدِي ُد ِبالص َُّر َعة
َ ك َن ْف َس ُه عِ ْن َد ال َغ َ لَي
“Orang yang hebat bukahlah orang yang sering menang dalam perkelahian. Namun orang hebat adalah
orang yang bisa menahan emosi ketika marah.” (HR. Bukhari 6114 dan Muslim 2609).
Seperti itulah yang dicontohkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. A’isyah menceritakan,
هللا
ِ يل ِ ; إِاَّل أَنْ ي َُجا ِه َد فِي َس ِب، َواَل َخا ِدمًا، َواَل امْ َرأَ ًة،ِصلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َش ْي ًئا َق ُّط ِب َي ِده
َ هللا
ِ ب َرسُو ُل
َ ض َر
َ َما
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah memukul wanita maupun budak dengan tangan
beliau sedikitpun. Padahal beliau berjihad di jalan Allah. (HR. Muslim 2328).
Maksud pernyataan A’isyah, “Padahal beliau berjihad di jalan Allah” untuk membuktikan bahwa
sejatinya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sosok yang pemberani. Beliau pemberani di
hadapan musuh, bukan pemberani di hadapan orang lemah. Beliau tidak memukul wanita atau orang
lemah di sekitarnya. Karena memukul orang lemah bukan bagian dari sifat ‘pemberani’.
Kedua, Hindari Caci-maki
Siapapun kita, tidak akan bersedia ketika dicaci maki. Karena itulah, syariat hanya membolehkan hal ini
dalam satu keadaan, yaitu ketika seseorang didzalimi. Syariat membolehkan orang yang didzalimi itu
untuk membalas kedzalimannya dalam bentuk cacian atau makian. Allah berfirman,
ُ ْاَل ُيحِبُّ هَّللا ُ ْال َجه َْر ِبالسُّو ِء م َِن ْال َق ْو ِل إِاَّل َمن
ظ ِل َم
Allah tidak menyukai Ucapan buruk (caci maki), (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh
orang yang dianiaya. (An-Nisa: 148)
Setidaknya, ketika dia tidak mampu memberi balasan secara fisik, dia mampu membalas dengan melukai
hati orang yang mendzaliminya.
Dalam ikatan rumah tangga, syariat memotivasi kaum muslimin untuk menciptakan suasana harmonis.
Sehingga sampaipun terjadi masalah, balasan dalam bentuk caci maki harus dihindarkan. Karena kalimat
cacian dan makian akan menancap dalam hati, dan bisa jadi akan sangat membekas. Sehingga akan
sangat sulit untuk bisa mengobatinya. Jika semacam ini terjadi, sulit untuk membangun keluarga yang
sakinah.
Karena itulah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menasehatkan jangan sampai seseorang mencaci
pasangannya. Apalagi membawa-bawa nama keluarga atau orang tua, yang umumnya bukan bagian dari
masalah.
Beliau bersabda, “jangan kamu menjelekannya”
Dalam Syarh Sunan Abu Daud dinyatakan,
ُ اَل َتقُ ْل لَ َها َق ْواًل َق ِبيحً ا َواَل َت ْش ُت ْم َها َواَل َقب ََّحكِ هَّللا
“Jangan kamu ucapkan kalimat yang menjelekkan dia, jangan mencacinya, dan jangan doakan
keburukan untuknya..” (Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abu Daud, 6/127).
Perlu kita ingat bahwa cacian dan makian kepada pasangan yang dilontarkan tanpa sebab, termasuk
menyakiti orang mukmin atau mukminah yang dikecam dalam Al-Qur’an. Allah berfirman,
ت ِب َغي ِْر َما ا ْك َت َسبُوا َف َق ِد احْ َت َملُوا ُب ْه َتا ًنا َوإِ ْثمًا م ُِبي ًنا
ِ ِين َو ْالم ُْؤ ِم َنا َ ِين ي ُْؤ ُذ
َ ون ْالم ُْؤ ِمن َ َوالَّذ
Orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka
perbuat, Maka Sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata. (QS. Al-Ahzab:
58)
Marah kepada suami atau marah kepada istri, bukan alasan pembenar untuk mencaci orang tuanya.
Terlebih ketika mereka sama sekali tidak bersalah. Allah sebut tindakan semacam ini sebagai dosa yang
nyata.
Ketiga, Jaga Rahasia Keluarga
Bagian ini penting untuk kita perhatikan. Hal yang perlu disadari bagi orang yang sudah keluarganya,
jadikan masalah keluarga sebagai rahasia anda berdua. Karena ketika masalah itu tidak melibatkan
banyak pihak, akan lebih mudah untuk diselesaikan. Terkait tujuan ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam menasehatkan,
Berdosa jalin hubungan dengan individu yang sudah berumah tangga, apatah lagi menyebabkan
berlaku perceraian
Kajian Lembaga Penduduk dan Pembangunan Keluarga Negara (LPPKN) pada 2004 mendapati antara
punca utama perceraian hari ini ialah suami curang atau isteri enggan dimadukan membabitkan 12
peratus, selain sikap suami yang tidak bertanggungjawab dengan 11.5 peratus.
Hakikatnya, keruntuhan hidup pasangan suami isteri sehingga berlaku perceraian sering dikaitkan
dengan kemunculan orang ketiga, sama ada campur tangan keluarga atau pasangan menjalin hubungan
dengan individu lain.
Mengulas isu orang ketiga ini, pakar motivasi terkenal, Wan Akashah Wan Abdul Hamid, berkata,
individu yang berniat untuk meruntuhkan rumah tangga orang lain adalah melakukan dosa, malah
menjalin hubungan dengan suami atau isteri orang juga haram hukumnya.
Ini termasuk mengirim khidmat sistem pesanan ringkas (SMS) atau mengadakan pertemuan dengan
seseorang yang sudah mendirikan rumah tangga.
“Menjalin hubungan dengan suami atau isteri orang haram hukumnya kerana pujuk rayu dalam
perhubungan itu punca kepada kejahatan sebab Allah sudah mengatakan jangan hampiri zina.
“Jika wanita mengetahui lelaki yang didampingi itu adalah suami orang, tetapi tetap meneruskan
perhubungan berkenaan, ia membuktikan wanita terbabit memiliki iman yang lemah dan hati yang
keras,” katanya ketika dihubungi, baru-baru ini.
Wan Akashah berkata, berdasarkan pengalaman, punca utama kepada permasalahan yang berlaku
dalam rumah tangga biasanya disebabkan lelaki yang menjerumuskan diri mereka dalam hubungan
terlarang seperti itu.
Katanya, kepercayaan isteri terhadap suami yang keluar rumah untuk mencari rezeki dikhianati apabila
suami menggunakan kesempatan berada jauh daripada isteri untuk bersama wanita lain.
“Suami yang berlaku curang sebenarnya sudah melanggar amanah Allah kerana isteri adalah amanah
yang diberi kepada mereka untuk dijaga sebaiknya.
“Malah, jika hati isteri disakiti, dikecewakan, dianiaya atau isteri berasa kecil hati sekalipun, itu adalah
satu penganiayaan dilakukan suami yang termasuk dalam pengabaian nafkah batin,” katanya.
Katanya, isteri yang tidak mampu menangani masalah seumpama itu diharuskan untuk menuntut cerai
daripada suami sama ada melalui cerai taklik, fasakh atau khuluk.
“Banyak kes membabitkan orang ketiga ini berlaku dan haram hukumnya jika orang ketiga ini merampas
hak wanita lain dan memisahkan hubungan antara suami dan isteri serta ayah dan anak-anak.
“Sebenarnya, lagi terkenal seseorang individu itu, lagi besar ujian yang dihadapinya dan ianya perlu
dilalui dengan penuh kesabaran.
“Untuk melepasi ujian yang mencabar hingga boleh menjejaskan nama baik, kita perlu menjaga
hubungan dengan Allah dan kecuaian dalam hal penting itu menjadi punca berlaku perkara tidak
diingini,” katanya.
Paling penting, katanya, pasangan yang berhadapan dengan masalah orang ketiga perlu bermuhasabah
diri, mencari kesilapan dan memperbaikinya.
“Selepas itu, perlu menjauhkan diri daripada orang ketiga ini dan tidak boleh menjadikannya sebagai
kawan sekalipun kerana jika niat baik, ia tetap menimbulkan fitnah. Kena tutup buku dan jangan buka
ruang langsung kepada orang ketiga ini,” katanya.
Penceramah agama, Datuk Siti Nor Bahyah Mahamood, pula berkata Islam sudah menetapkan
peraturan berhubung pergaulan antara lelaki dan wanita.
“Kita perlu tahu tanggungjawab dan pandai mengawal diri kerana jika dalam hati ada perasaan terhadap
orang lain, ia sangat berbahaya.
“Bagi pasangan yang diganggu orang ketiga, mereka perlu berbincang untuk mengatasi masalah itu bagi
mengelak perceraian dan untuk orang ketiga pula, dinasihatkan supaya tidak membina rumah tangga
atas kehancuran hati wanita lain.
“Jika orang ketiga itu sudah berkahwin dengan lelaki berkenaan, dia perlu memahami hati isteri pertama
yang rela berkorban untuk menerima kehadirannya kerana ia bukan satu keputusan yang mudah,”
katanya.
Hakikatnya, impian setiap pasangan yang mendirikan rumah tangga mahu bahtera yang dilayari itu kekal
sehingga ke akhir hayat, tetapi ada di antaranya yang rebah di pertengahan jalan. Cabaran kehidupan
berumahtangga diumpamakan seperti membina rumah di tepian pantai, yang akan dipukul gelora tanpa
mengira masa dan hanya mereka yang kental saja mampu mendepani cabaran itu.
Oleh Sariha Mohd Ali
Sesungguhnya di antara doa seorang mukmin yang diabadikan Allah Subhanahu wata’ala dalam al-
Qur’an adalah,
Menurut penafsiran salaf, maksud penyejuk mata di sini bukanlah bagusnya fisik, melainkan tumbuhnya
mereka dalam ketaatan kepada Allah Subhanahu wata’ala yang menyebabkan mata sejuk
memandangnya di dunia dan di akhirat. Al-Hasan al- Bashri rahimahullah berkata tentang ayat ini,
“Maknanya, Allah Subhanahu wata’ala memperlihatkan kepada hamba-Nya yang muslim ketaatan istri,
saudara, dan temannya kepada Allah Subhanahu wata’ala. Sungguh, demi Allah, tiada sesuatu yang
menyejukkan mata seorang muslim yang melebihi melihat anak, cucu, saudara, atau temannya taat
kepada Allah Subhanahu wata’ala.” (Tafsir Ibnu Katsir 3/342)
Kehidupan rumah tangga termasuk salah satu sisi kehidupan terpenting yang dilalui oleh pria dan wanita
karena telah mengambil bagian yang terbesar dalam kehidupan mereka. Karena itu, apabila rumah
tangga ini dibangun di atas ketaatan kepada Allah Subhanahu wata’ala dan cinta yang sejati, kecocokan
yang sempurna dan saling adanya pengertian, niscaya kehidupan mereka akan bahagia.
Ketenteraman dan cinta kasih akan senantiasa menaungi kehidupan mereka. Ini artinya bahwa suami
istri sedang membangun sebuah generasi yang tahu tentang arti kehidupan. Anak-anak mereka akan
tumbuh di tengah-tengah lingkungan yang kondusif dan dipenuhi cinta kasih.
Pernikahan bukan sekadar bersenangsenang menyalurkan kebutuhan biologis. Lebih dari itu, pernikahan
adalah sebuah bentuk ibadah kepada Allah Subhanahu wata’ala. Dengan pernikahan, jenis manusia
terus berlanjut keberadaannya untuk memakmurkan bumi ini sampai batas waktu yang Dia tentukan.
Dengan pernikahan pula, seseorang akan mendapatkan ketenteraman batin dan terhindar dari
penyimpangan seksual, dengan seizin Allah Subhanahu wata’ala. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
اج ا لِّتَ ْس ُكنُوا إِلَْي َه ا َو َج َع َل َبْينَ ُكم َّم َو َّد ًة و َز
ْ أ م ك
ُ سِ و ِمن آياتِ ِه أَ ْن خلَ ق لَ ُكم ِّمن أَن ُف
ً َ ْ ْ َ َ َ ْ َ
ات لَِّق ْوٍم َيَت َف َّكُرو َن
ٍ ورمْح ةً ۚ إِ َّن يِف َٰذلِك آَل ي
َ َ َ ََ
“Di antara tanda-tanda kekuasaan- Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri,
supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kalian rasa kasih
dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang
berpikir.” (ar-Rum: 21)
Pernikahan sebagai tali ikatan cinta yang suci antara pria dan wanita menuntut masing-masing pihak
untuk menunaikan kewajibannya terhadap yang lain. Setiap pihak menjalankan tugasnya dan mampu
memainkan perannya demi terwujudnya keharmonisan rumah tangga yang didambakan.
Suami, sebagai kepala keluarga berkewajiban memberikan bimbingan agama kepada istrinya serta
mencukupi nafkah lahir dan batin. Adapun istri, sebagai orang yang ditugasi mengurusi rumah,
diharuskan menjaga harta suami, menaatinya dalam perkara kebaikan, serta mengurusi anak dan
mendidiknya. Apabila suami istri tulus menjalankan tugasnya, pahala dari Allah Subhanahu wata’ala
telah menunggunya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, bersabda,
َحىَّت َم ا جَتْ َع ل يِف يِف،ت َعلَْي َه ا ر ِ اهلل إِاَّل أ
ُج ِ ك لَن ُتْن ِف ق َن َف َق ةً َتبتَغِي هِب ا وج ه َّ
ن ِإ
ُ َ ْ َ ْ َ َ ْ َ ْ َ
كَ ِْامَرأَت
“Sesungguhnya, tidaklah engkau memberikan suatu nafkah yang dengannya engkau mengharap wajah
Allah Subhanahu wata’ala kecuali engkau diberi pahala atasnya, sampaipun makanan dan minuman
yang engkau suapkan untuk mulut istrimu.” (Muttafaqun ‘alaihi dari hadits Sa’d bin Abi Waqqash
radhiyallahu ‘anhu)
ِ َّل
ْهَر َها ت َش ْ َام َ ْرأَةُ مَخْ َس َه َاو
ص ت الْ َم َ إِ َذ
اص
:ا ََل هَل قِْي،ا ت َز ْو َج َه
ْ اع
َ َا َوأَط ت َفْر َج َه ْ َن ص
َّ َو َح
ِ اب اجْل ن َِّة ِشْئ
ت ِ َي أ َْبو
ِّ أ ن ِ َْادخلِي اجْل نَّة
م
َ َ ْ َ ُ
“Apabila seorang wanita shalat lima waktu, puasa di bulan (Ramadhan), menjaga kemaluannya, dan
menaati suaminya, dikatakan kepadanya, ‘Masuklah engkau ke dalam surga dari pintu mana saja yang
engkau inginkan’.” (HR. Ibnu Hibban dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dan asy-Syaikh al-
Albani menyatakannya sahih dalam Shahih al-Jami’)
Di antara suami istri hendaknya ada saling pengertian dan tidak bersikap egois. Ketika melihat ada
kekurangan dari pihak lain, janganlah hal ini dijadikan sebagai sebab untuk menanam kebencian
kepadanya yang nantinya akan mengganggu keharmonisan. Ia hendaknya melihat banyak sisi
kebaikannya dan kelebihan yang disandangnya. Namun, tentu tak ada masalah apabila dia berusaha
memperbaiki kekurangannya dengan cara yang bijak. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, bersabda,
Asy-Syaikh as-Sa’di berkata, “Bimbingan dari Nabi n bagi suami dalam hal bergaul dengan istrinya ini
adalah faktor terbesar untuk (mewujudkan) hubungan rumah tangga yang harmonis. Di sini,
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, melarang seorang mukmin (suami) dari pergaulan yang jelek terhadap
istrinya.
Tentunya, larangan terhadap sesuatu (mengandung) perintah untuk melakukan yang sebaliknya. Beliau
memerintah suami untuk memerhatikan apa yang dimiliki oleh istrinya, berupa perangai yang indah dan
hal yang sesuai dengan dirinya, lalu ia jadikan hal ini sebagai pembanding terhadap perangai istrinya
yang tidak dia sukai….
Seorang yang adil akan menutup mata dari kekurangan (istrinya) karena telah lebur dalam kebaikannya
yang banyak. Dengan demikian, hubungan akan tetap langgeng. Akan tertunaikan pula hakhaknya yang
wajib dan yang sunnah. Boleh jadi, (dengan sikap seperti ini) seorang istri akan berusaha memperbaiki
apa yang tidak disukai oleh suaminya. Adapun orang yang menutup mata dari kebaikan istrinya dan
(hanya) melihat kejelekannya walaupun kecil, hal ini tentu bukan sikap yang adil. Orang seperti ini kecil
kemungkinannya akan bisa hidup harmonis bersama istrinya.” (Bahjah Qulubil Abrar hlm. 101)
Demikian pula sikap seorang istri ketika melihat kekurangan yang ada pada suaminya. Adapun menuntut
penampilan yang selalu prima dan pelayanan yang selalu sempurna tentu sulit, bahkan hampir-hampir
mustahil.
Kadang ketenteraman rumah tangga terusik dengan adanya problem yang berasal dari pribadi suami
atau istri. Hal ini membutuhkan perhatian serius dan penanganan yang tepat agar bahtera rumah tangga
tetap terkendali. Apabila kita telusuri, banyak sekali faktor yang memicu munculnya problem.
Dari pihak suami, misalnya, terkadang ia tidak perhatian terhadap istrinya dari sisi pemberian nafkah,
pembagian giliran bermalam yang tidak adil bagi yang beristri lebih dari satu, hubungan ranjang yang
tidak memuaskan (egois), kasar dan kakunya perangai terhadap istri, anak, atau mertuanya, serta kurang
memedulikan kebutuhan istri dan anakanaknya berupa perasaan aman dan nyaman.
Adapun dari pihak istri, terkadang seorang suami merasa tidak mendapatkan pelayanan yang
memuaskan dari istrinya. Terkadang seorang istri sibuk dengan aktivitas di luar rumah sehingga
kebutuhan suaminya kurang terpenuhi. Demikian pula pendidikan terhadap anak kurang maksimal. Bisa
juga karena perangai istri yang buruk dan tidak tahu persis apa yang harus dia lakukan terhadap
suaminya.
Intinya, apa pun faktor pemicu ketidakharmonisan tersebut sangat membutuhkan solusi yang cepat dan
tepat. Mereka yang sedang dilanda masalah keluarga harusnya menyadari butuhnya mempelajari
kembali kewajibankewajiban yang harus ditunaikan terhadap yang lainnya. Mereka membutuhkan
bimbingan agama dan nasihat orang yang berilmu. Seorang suami hendaknya ingat firman Allah
Subhanahu wata’ala,
Seorang suami yang baik akan menyadari kekurangannya dan berusaha memperbaikinya. Dia akan
membuang sikap egois dan siap menjadi suami yang perhatian terhadap istrinya, sekaligus bapak yang
sayang terhadap anakanaknya dan tahu kebutuhan mereka. Seorang istri yang salehah akan selalu ingat
besarnya hak suami atasnya sebagaimana sabda Nabi n yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu,
ت الْ َم ْرأَةَ أَ ْن يَ ْس ُج َد لَِز ْو ِج َها ٍ لَو ُكْنت ِآمرا أَح ًدا أَ ْن يسج َد أِل
ُ َحد أَل ََم ْر
َ ُ َْ َ َ ُ ْ
“Seandainya aku boleh memerintah seorang untuk sujud kepada seseorang, niscaya aku perintahkan
wanita untuk sujud kepada suaminya.” (Sahih, HR. at-Tirmidzi dan selainnya)
Dia juga tidak melakukan suatu aktivitas yang sifatnya tidak mendesak yang menyebabkan suaminya
terhalangi mengungkapkan gejolak cinta yang terpendam dalam hatinya atau setidaknya mengurangi
kenikmatannya. Istri salehah teringat sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,,
Istri yang salehah juga siap mengoreksi diri demi tergapainya kebahagiaan rumah tangga. Sudah saatnya
bagi suami istri untuk mempelajari agama ini secara umum dan hal-hal yang berkaitan dengan
kewajiban-kewajiban dalam berumah tangga secara khusus, lalu mempraktikkannya dalam kehidupan
rumah tangga mereka. Suami istri juga perlu selalu membangun komunikasi yang baik. Dengan
demikian, ketegangan dalam rumah tangga akan hilang, setidaknya bisa diminimalisir mudaratnya.
Keharmonisan hidup berumah tangga adalah nikmat yang besar. Dan, setiap merasakan nikmat duniawi
pasti akan selalu ada orang yang tidak menyenanginya. Inilah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,.
Kehidupan rumah tangga beliau yang harmonis sempat diguncang oleh dahsyatnya isu yang ditiupkan
oleh orang-orang munafik.
Alkisah, Rasulullah n dan para sahabat dalam perjalanan pulang ke Madinah. Beliau waktu itu juga
membawa istrinya. Di tengah perjalanan, istri beliau, Aisyah, ingin buang hajat. Rombongan pun
berhenti menunggu Aisyah. Setelah selesai hajatnya, Aisyah kembali ke tengah rombongan dan naik di
atas sekedupnya.
Tetapi, ia ingat bahwa kalungnya tertinggal. Dia pun turun kembali dan mencarinya. Setelah kembali
lagi, ia dapatkan rombongan telah pergi jauh tak terkejar. Aisyah memutuskan untuk tetap di situ.
Secara kebetulan, lewatlah sahabat Shafwan bin Mu’aththal radhiyallahu ‘anhuma yang tertinggal di
belakang rombongan karena suatu keperluan. Ia pun melihat seorang wanita yang tertinggal dari
rombongan.
Setelah mendekat ia pun tahu bahwa ia adalah Aisyah radhiyallahu ‘anha. Shafwan mendudukkan
kendaraannya lalu Aisyah menaikinya. Shafwan lantas menuntun kendaraannya hingga masuk kota
Madinah tanpa ada pembicaraan antara keduanya. Orang-orang munafik memanfaatkan kejadian ini
untuk menebarkan isu miring bahwa Aisyah berbuat yang tidak baik dengan Shafwan. Keharmonisan
rumah tangga Nabi n pun terguncang dalam beberapa hari dan para sahabat pun ikut bersedih
karenanya. Lalu Allah Subhanahu wata’ala menurunkan ayat yang menegaskan kesucian
Aisyah radhiyallahu ‘anha dari apa yang dituduhkan kepadanya. (Lihat Tahdzib Sirah Ibni Hisyam hlm.
109—195)
Dari kisah tersebut kita bisa mengambil faedah, di antaranya bahwa keharmonisan rumah tangga bisa
terancam karena adanya faktor dari luar. Berikut di antara faktor tersebut:
1. Setan
Kedengkian setan terhadap manusia yang sudah tertanam semenjak Allah Subhanahu wata’ala
memuliakan Adam di hadapan para malaikat terus muncul dari waktu ke waktu. Di antara bukti
nyatanya sebagaimana tersebut dalam hadits (yang artinya),
“Setan telah berputus asa untuk disembah oleh orang yang shalat di Jazirah Arab, tetapi ia (berusaha)
untuk mengadu domba di antara mereka.” (HR. Muslim)
Juga disebutkan dalam hadits riwayat Jabir radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam, bersabda (yang artinya),
“Sesungguhnya iblis meletakkan singgasananya di atas air lalu ia mengutus pasukannya. Yang paling
dekat kedudukannya dari iblis adalah yang paling besar upaya menggodanya. Salah satu pasukannya
datang (kepada iblis) lalu berkata, ‘Aku telah melakukan ini dan itu.’ Iblis berkata, ‘Kamu belum berbuat
apa-apa.’ Datang (lagi) salah satu dari mereka lalu berkata, ‘Aku tidak tinggalkan ia (manusia) hingga
aku memisahkan antara ia dan istrinya.’ Iblis mendekatkannya dan berkata, ‘Kamu bagus’.” ( HR. Ahmad
3/314 dan Muslim)
Tujuan Iblis terbesar adalah memutuskan keturunan manusia sehingga lenyap keberadaannya dan
menjatuhkan manusia ke dalam perzinaan yang merupakan dosa besar yang paling jahat. (Faidhul Qadir
2/517)
Oleh karena itu, hendaknya seseorang senantiasa meminta perlindungan kepada Allah Subhanahu
wata’ala dari godaan setan.
2. Orang yang iri dan tidak suka melihat keharmonisan rumah tangga orang lain
Rasa iri orang semacam ini terkadang semata-mata ingin agar suami istri itu ribut dan bercerai. Ada pula
orang yang sifat irinya diikuti keinginan untuk terjadinya perceraian lalu ia akan menikah dengan salah
satunya. Orang yang iri terkadang tega melakukan cara-cara yang bengis dan keji, seperti pembunuhan
atau menyampaikan berita dusta kepada salah satu dari suami istri, sehingga timbul percekcokan yang
berujung perceraian padahal berita itu belum ditelusuri kebenarannya. Nabi Shallallahu ‘alaihi
wasallam, bersabda,
س ِمنَّا
َ ي
َْل ف
َ ه
ُ ك
َ و
ْ ل
ُْمَم َو
ْ أ ه
ُ ت
َ ج
َ و
ْ ز
َ ٍ من َخبَّب َعلَى ْام ِر
ئ َ َْ
“Barang siapa merusak istri seseorang atau budaknya, ia bukan termasuk golongan kami.” (HR. Ahmad,
asy-Syaikh al-Albani menyatakan sahih dalam ash-Shahihah no. 325)
Semoga Allah Subhanahu wata’ala melindungi kita dari kejahatan orang yang hasad/iri dengki.
Tidak sedikit suami bermudah-mudah dengan saudara perempuan istrinya, demikian pula seorang istri
dengan saudara laki-laki suaminya. Terkadang mereka masuk kepada yang lain berduaan saja padahal
bukan mahramnya. Dalam benak sebagian orang, hal itu dianggap perkara lumrah dan tidak akan terjadi
apa-apa, toh itu hanya ipar. Kenyataannya, tidak sedikit keharmonisan keluarga menjadi hancur
berantakan karena sikap bermudah-mudah yang seperti ini.
Bahkan, dalam kondisi tertentu sampai terjadi pertumpahan darah karenanya dan terputusnya tali
silaturahmi. Ini semua akibat melanggar tuntunan agama. Sahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma
mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, bersabda,
“Hati-hatilah kalian dari masuk kepada para wanita!” Ada seorang lelaki dari Anshar bertanya, “Apa
pendapat Anda tentang al-hamwu (ipar dan kerabat suami)?” Nabi bersabda, “Al-hamwu itu maut.”
(Muttafaqun ’alaihi)
Maksudnya, masuknya ipar atau kerabat suami kepada wanita itu seperti maut, yaitu membinasakan.
Al – Munawi rahimahullah berkata ,“Diserupakan dengan maut dari sisi sama kejelekannya dan
merusaknya sehingga hal ini sangat diharamkan…. Masuknya ipar kepada wanita akan mengantarkan
kepada kematian agama atau kematian (berakhirnya) wanita itu karena diceraikan saat suaminya
cemburu atau dirajamnya ia apabila berzina dengan ipar.” (Faidhul Qadir 3/160)
4. Mertua
Terkadang seorang mertua mendengar problem anaknya dengan suami/istrinya. Tidak jarang, seorang
mertua memberikan pembelaan terhadap anaknya tanpa melihat yang benar. Karena campur tangan
mertua yang tidak mencarikan solusi yang terbaik, permasalahan semakin melebar dan perselisihan
semakin tajam. Padahal yang seharusnya dilakukan oleh mertua adalah mencari jalan agar suasana
menjadi sejuk.
Sahabat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu pada suatu hari marah kepada istrinya, Fathimah, putri
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,. Ali keluar menuju masjid dan berbaring dengan bersandar ke tembok
masjid. Nabi n datang menemui Ali yang saat itu punggungnya penuh dengan debu. Rasulullah n
mengusap debu dari punggung Ali dan memintanya untuk duduk. (lihat Shahih al-Bukhari no. 6204)
Seperti inilah seorang mertua yang bijak, berusaha untuk memadamkan api kemarahan dan
mendinginkan suasana.
Tidak semua orang pantas untuk dijadikan teman bergaul karena ada jenis manusia yang memiliki
perangai jahat. Sementara itu, agama seseorang sangat dipengaruhi oleh teman sepergaulannya.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, bersabda,
Parahnya, seorang lelaki terkadang menjalin pertemanan dengan perempuan yang bukan mahram,
demikian pula sebaliknya. Terkadang juga mereka bercerita/curhat tentang problem rumah tangga
masing-masing. Akibatnya, seorang wanita berani bersikap kasar terhadap suaminya dan seorang suami
sudah tidak peduli lagi dengan istrinya. Bahkan, ada yang sampai terjadi perzinaan dengan teman
curhatnya. Wal ‘iyadzu billah.
Sungguh, ketika keimanan telah menipis dan nyaris hilang serta sifat malu menjadi suatu yang langka,
sudah semestinya seseorang berhati-hati demi keselamatan agamanya dan keharmonisan rumah
tangganya. Jangan menjadi orang yang latah dan hanya ikut-ikutan.
Waspadalah dari bahaya yang mengancam, seperti bergabung dengan situs jejaring sosial yang kadang
dimanfaatkan untuk kejahatan. Akhirnya, semoga Allah Subhanahu wata’ala memberi taufik kepada
seluruh muslimin baik rakyat maupun penguasanya untuk kembali kepada jalan-Nya yang lurus demi
tercapainya kebahagiaan dunia dan akhirat. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Mengabulkan
Doa.
Kewajipan sosial
Menyayangi dan memelihara anak yatim adalah kewajipan sosial setiap orang Islam. Dan ia
adalah salah satu usaha perjuangan Islam yang jarang dilakukan orang. Justeru masalah sosial
timbul kerana empat sebab, iaitu tidak memuliakan anak yatim, tidak memberi makan orang
miskin, memakan warisan (kekayaan) alam dengan rakus, dan mencintai harta benda secara
berlebihan (lihat surah al-Fajr, ayat 15-20).
• "Nabi junjungan pernah bersabda, kalau seseorang itu berjumpa anak yatim kemudian dengan
hati yang ikhlas dia menyapu tangan pada kepala anak yatim, perbuatan itu sangat-sangat disukai
Allah. Ini menunjukkan betapa kita disuruh mengasihi anak yatim. Mengusap kepala dengan
niat sahaja sudah dimuliakan Allah apalagi melindungi mereka."
“Demi yang mengutus aku dengan hak, ALLAH tidak akan menyeksa orang yang mengasihi dan
menyayangi anak yatim, berbicara kepadanya dengan lembut dan mengasihi keyatiman serta
kelemahannya…” (At-Tabhrani)
• Sabda Nabi lagi, Anak-anak yatim akan mempunyai kedaulatan besar di akhirat kelak.
Menyakiti dan menzalimi mereka dosanya tidak terhingga, Kita amatlah digalakkan memberikan
pertolongan apa saja termampu.
RENUNGAN
Rasulullah s.a.w bersabda, maksudnya:"Sebaik-baik rumah kaum muslimin ialah rumah yang
ada anak yatim yang diasuh dengan baik dan sejahat-jahat rumah kaum muslimin adalah rumah
yang ada anak yatim yang selalu diganggu dan disakiti hatinya." Riwayat Ibnu Majah