Anda di halaman 1dari 4

Nama : Fajar Sidik

NIM : 19105010007

UAS : Filsafat Agama

1. Jelaskan menurut analisis anda, dimanakah letak perbedaan dan persamaan antara pandangan
Karl Marx dan F. Nietzsche tentang agama/Tuhan.
Jawaban :
Karl Marx menyatakan bahwa agama itu opium (candu, penawar rasa sakit),
sebab sependek pengetahuan saya konteks kehidupan era Marx kaum beragama menjadikan
agama sebagai pemenuh hasrat penguasa, dan penawar bagi kaum-kaum yang tertindas.
Sedangkan Nietzche, ia mengkritik segala hal yang membuat manusia tidak
mampu mengaktualisasikan/melakukan/berbuat apa yang membuat hidupnya lebih cerah
(baik). Dan Nietzche memasukan agama sebagai sesuatu yang membuat manusia hidup
terkungkung, rusak, terselimuti kebohongan dan ilusi semata.
Dari situ terang bahwa Marx mengkritik kaum beragama agar lebih kritis lagi
dalam beragama (tidak ikut-ikutan, dan tidak menjadikan agama sebagai alat untuk mencapai
sesuatu), sedangkan Nietzche mengkritik agamanya secara keseluruhan.

2. Geertz menggunakan pendekatan kelas untuk melihat praktik-praktik keagamaan di


Modjokuto yang sampai saat ini masih menjadi rujukan sebagian akademisi untuk melihat
Islam di Jawa. Apakah menurut anda pendekatan tersebut masih relevan? Jelaskan dengan
argumen yang kuat.
Jawaban :
Tidak, bahkan pembagian kelas yang Geertz cetuskan terkesan lemah dan banyak
celah. Saya menyimpulkan demikian berdasar pada beberapa artikel yang mencoba
mengkritisi pandangan Geertz sepanjang perjalanan dan kajiannya di Modjokuto.
Pengelompokan “Santri” sebagai kaum beragama yang terkesan berupaya
melaksanakan ajaran Islam secara murni; Kemudian varian “Abangan” yang terkesan
ditengah-tengah (moderat), dalam arti mereka menganut Islam namun dalam waktu yang
bersamaan mereka tidak meninggalkan kebudayaan-kebudayaan mistis (walaupun terang
bertolak belakang dengan ajaran agama Islam), dan varian “Priyayi” yang dianggap menganut
Islam namun kental dengan nuansa Hinduisme. Zainuddin Maliki dalam sebuah artikel yang
saya baca menyampaikan bahwa definisi yang Geertz utarakan sudah tidak relevan, atau
bahkan tidak relevan dari awal (penelitian Geertz); Mengingat pada kenyataannya, Zainuddin
mendapati ada kaum Priyayi yang menjalankan agama sepatuh kaum santri, ada kaum santri
yang moderat sebagaimana yang dilakukan abangan, dan lain sebagainya.
Musabab terang bahwa penggolongan kelas yang dicetuskan Geertz tidak terlalu
tepat, maka pendekatan kelas kepunyaan Geertz tidak relevan untuk saat ini. Sekurang-
kurangnya tidak relevan menurut saya pribadi.

3. Dari hasil bacaan anda dan diskusi kita di kelas, apakah menurut anda agama berperan di
dalam konflik/kekerasan? Sebutkan salah satu contoh konflik terkait agama, dan jelaskan
bagaimana (how) dan apa (what) peran agama dalam konflik tersebut.

Jawaban :
Dalam masalah ini saya sejalan dengan apa yang disampaikan kaum
instrumentalist. Dimana pandangan ini menjabarkan bahwa sebetulnya agama tidak memiliki
karakter bawaan yang mampu memicu terjadinya perpecahan, konfilk, kerusakan, dan atau
kekerasan. Pandangan kaum instrumentalist mengindahkan bahwa agama hanyalah alat atau
instrumen yang dipergunakan oknum tertentu untuk mencapai, memuaskan, dan atau
mewujudkan kepentingannya sendiri. Sederhananya, agama hanyalah kambing hitam atas
segala kerusakan dan kekerasan yang terjadi.
Namun nada pertanyaan berikutnya memaksa saya sepaham dengan primordialist,
karena saya diperintahkan untuk mencontohkan konflik terkait agama dan bagaimana peran
agama dalam konflik tersebut.
Salah satu kasus yang lumrah kita temukan membincang agama sebagai pemicu
konflik adalah terorisme, semisal bom bunuh diri di Makassar yang terjadi dalam waktu yang
terbilang masih hangat, tepatnya 28 Maret 2021. Bom bunuh diri tersebut dilakukan oleh
anggota Jamaah Ansharut Daulah dan tercatat dua jamaah Gereja Katedral setempat
meninggal.---(sumber: arsip terorisme Indonesia dalam portal Wikipedia).
Kasus diatas jelas seakan-akan mengikat agama (Islam). Para pelaku terorisme
biasanya melakukan hal demikian musabab sependek pengetahuan mereka Jihad adalah
memusnahkan golongan selain agama Islam (akra dengan sebutan kafir) sebagaimana yang
mereka peroleh dalam ayat-ayat al-Quran. Walaupun sebenarnya pengambilan kesimpulan
ayat yang mereka ambil adalah besar kelirunya, mereka melupakan konteks ataupun asbabun
nuzul turunnya ayat jihad tersebut.
Terlepas dari itu, aktivitas terorisme yang mengikat agama ini sedikit banyak
membenarkan ungkapan kaum primordialist yang berpendapat bahwa agama dengan karakter
bawaannya (inherent) memang berpotensi menimbulkan benturan dengan peradaban atau
kepercayaan (agama) lainnya. Mengingat, agama adalah motivator terkuat seorang individu
maupun kelompok untuk melakukan sesuatu.
Lebih rinci lagi, jika saya dipaksa sepakat bahwa agama menjadi salah satu
instrumen pemicu konflik, dalam kasus terorisme di atas, peran agama disana adalah adanya
doktrin kehidupan bahagia (ideal) bagi mereka yang taat dan patuh terhadap perintah agama.
Dimana dalam agama Islam sendiri, masyhur tentang sebuah statement “bagi mereka yang
melakukan jihad maka balasannya adalah surga.”

4. Setelah mengikuti perkuliahan Filsafat Agama selama satu semester ini, uraikan hal-hal baru
yang anda dapat, atau hal-hal yang mengubah pandangan anda terkait agama.

Jawaban :

Lewat materi Agama sebagai sistem budaya (Clifford Geertz) saya mendapatkan
kesan bahwa agama itu tidak kaku, dan ketidak kakuannya berakibat positif. Perlu diketahui
definisi agama sebagai sistem budaya. Maksud agama sebagai sistem budaya adalah agama
dengan segala simbol, sistem, ajaran, dan doktrinnya mampu memotivasi penganutnya untuk
melakukan sebuah aktivitas/tindakan. Aktivitasnya tidak terbatas, bahkan mencakup segala
hal yang dirasa baik dan mampu menyelesaikan problem kehidupan seseorang.
Ketidakkakuan agama musabab ia dipandang sebagai sistem budaya tercermin
lewat corak Islam di Jawa dan Maroko yang Geertz paparkan. Dimana agama Islam Jawa dan
Maroko seperti hal yang berseberangan, namun sama-sama baik, dan sama-sama positif.
Islam maroko dengan kekhasannya yang tidak kompromi dalam hukum/syari’at keagamaan
(beribadah), kemudian Islam yang baik di Maroko adalah mereka yang taat pada
pemimpinnya. Sedangkan Geertz menyampaikan bahwa Islam di Indonesia cenderung
bergerak dengan batin, dalam arti Islam yang baik di Jawa adalah mereka yang sabar, jujur,
dan cenderung mengedepankan nilai-nilai keagamaan yang lembut, Islam di Jawa juga
cenderung mudah dan luwes menghadapi perbedaan dalam hukum/syari’at.

Dari situ saya memahami bahwa Tuhan (lewat agamanya), ia hanya pemberi
aturan, penentu batas; Sedangkan pengaplikasiannya atau interpretasi nilai-nilai keagamaan
yang Tuhan telah berikan, itu diserahkan kepada hamba/penganutnya, menyesuaikan latar
belakang kehidupan, pemikiran, problem kehidupan yang dihadapi, dan banyak faktor
lainnya.

Anda mungkin juga menyukai