Anda di halaman 1dari 3

SITI NURAINI 11170321000051

RELASI GENDER DALAM AGAMA


KEL 5

PERAN PREMPUAN DALAM SEJARAH PERKEMBANGAN AGAMA BUDHA

Semenjak Buddha muncul di dunia dan menyebarkan Dhammanya, dia tak pernah
membedakan status sosial masyarakat. Peran wanita dalam agama Buddha sering kali dianggap
remeh bahkan sepele. Wanita juga dapat berperan besar dan memberi sumbangan kemanusiaan
yang tak terkira. Panannda susila dalam “Nasehat Sang Buddha Kepada Para Istri”
mengungkapkan bahwa sang Buddha sering menggunakan istilah “matugama” yang berarti
“ibu rakyat” atau “perhimpunan kaum ibu” sebagai gambaran betapa besarnya peranan wanita
dan juga menunjukan penghargaan yang tinggi Sang Buddha terhadap kaum wanita.
Di Indonesia sendiri peran wanita Buddha ditunjukan dengan berdirinya Sangha Wanita
Indonesia, Sangha ini di bawah naungan Sangha Agung Indonesia. Tugas mereka sebagai
Bhikkuni sama dengan Bhikku, mereka mengurus sendiri berdirinya vihara, cetiya, maupun
pembinaan baik wanita maupun pria. Demikian pula ditahbiskan para pendeta wanita yang
membantu dalam pekerjaan untuk umat, para upasika, samaneri maupun pengelolaan Sangha
wanita.
Dalam berbagai vihara, para pendeta wanita sebagai pembantu para bhikku dan bikhhuni
memberi pembinaan kepada umat baik pria maupun wanita, demikian pula dalam memberikan
upacara perkawinan, kematian, tidak ada perbedaan dengan pendeta pria, karena dibutuhkan
kerjasama yang sebaiknya untuk umat. Pada tahun 70-an Sangha Agung Indonesia
memberlakukan hukum waris serta membuat peraturan tata cara perkawinan yang disebut
hukum perkawinan yang disahkan 1 Januari 1977.
Semua umat Buddhayana yang berlindung dibawah Sangha Agung Indonesia
diharapkan mentaati peraturan tersebut. Perkawinan berasaskan monogamy. Harta benda
dalam perkawinan adalah hak bersama. Apabila bercerai, kelangsungan hidup dan pendidikan
anak harus diperhatikan sehingga pembagiannya adalah: 1/3 untuk suami, 1/3 untuk istri, 1/3
untuk anak. Anak pria atau wanita mempunyai hak yang sama. Wali tidak ada perbedaan pria
ataupun wanita, semua dapat menjadi wali bagi anak, asal masih ada hubungan kekeluargaan.
Peraturan-peraturan sesudahnya diatur dan dimusyawarahkan dengan Dewan Pandita yang
ditunjuk Sangha, dan tidak dibatasi pria ataupun wanita.
Jika ditarik lebih mundur lagi, sebenarnya peran wanita sudah ada sejak sang Buddha masih
hidup. Salah satu tokoh yang mewarnai sejarah Buddha ialah Prajapati Gautami, ibu dari
Sidarta Gautama. Ketika sang Buddha mendermakan ajarannya bahwa dunia ini ialah fana,
maka Prajapati bertekad untuk mengabdikan dirinya kepada Dharma, ia memohon kepada
Buddha agar bisa ditahbiskan menjadi bhikkkuni.
Dia mengajak 500 wanita untuk menghadap Sang Buddha. Tetapi Sang Buddha
menolak dengan alasan bahwa tidak ada tempat buat mereka. Prajapati dan 500 orang lainnya
tidak menyerah, mereka memohon kepada Buddha untuk mentahbis mereka. Sesudah
diuraikan peraturan Vinaya dan semua bersedia mengikutinya. Selesai mengucapkan,
ditahbiskan Gautami sebagai Bhikkuni yang pertama, kemudian di susul kelima ratus
pengikutnya. Dengan demikian terbentuklah Sangha Bikkhuni, organisasi waita yang
demokratis pertama dikalangan umat Buddha. Ketua dipilih dari mereka yang mahir dalam
Dharma, bukan karena kedudukan atau asalnya, karena ajaran Buddha, martabat manusia
ditentukan oleh perbuatannya.
Dalam Therigata, sastra Buddha kuno dicatat para Bhikkuni yang dapat menjadi teladan dan
diberi penghargaan pada 73 Their (yang sudah 10 tahun menjadi Bhikkuni) yang berhasil
mencapai titian tinggi tersebut. Jaman Buddha sudah banyak Bhikkuni yang mencapai tingkat
tinggi dalam kesucian tertera dalam kitab Bhikkuni Samyutu bagian Samyutu Nikaya dan
Apadana. Dengan terbukanya kehidupan sucii untuk mencapai kehidupan spiritual yang tinggi
bagi wanita, kedudukan wanita di masyarakat juga menjadi berubah.
Wanita tidak lagi ditindas sebagai objek pemuas keduniawian dan sekarang timbul
pilihan baru dalam kehidupannya untuk mencapai kesempurnaan, sebagai wanita terhormat.
Berdirinya perkumpulan Bhikkuni oleh Prajapati sebagai motivator, diteruskan putri
Sanghamitta anak raja Asokawardana yang menyebarkan Dharma ke Srilanka pada abad ketiga
sebelum masehi, yang kemudian diteruskan ke Cina dan sekitarnya. Kini terdapat sekitar
12.000 Bhikkuni di Korea dan 13.000 di Taiwan. Di Indonesia sejak abad kedelapan Masehi
telah pula terdapat peninggalan para Bhikkuni. Menurut Prof. Moh. Yamin, Candi Sewu
merupakan ashram para Bhikkuni. 1
Perempuan dalam agama Buddha bukan hanya berperan aktif pada masa klasik. Mereka
juga aktif di masa modern, dapat di ambil contoh, pada tanggal 9 Mei tahun 1979 telah berdiri
suatu organisasi agama Buddha yang bernama Perwalian Umat Buddha Indonesia (Waluba).
Organisasi ini dilandasi bagaimana umat Buddha di Indonesia yang telah menjadi beragam
sekte dapat bersatu. Maka tercetuslah organisasi tersebut. Kemudian Girirakkhito Mahathera
ketua umum DPP Waluba telah menugaskan dengan kepercayaan penuh Dra. Siti Hartati
Murdaya, untuk melaksanakan misi, untuk menyelesaikan kemelut yang terjadi di dalam
Perwalian Umat Buddha Indonesia.2
Dalam kehidupan masyarakat, Sang Buddha tidak membedakan peran laki-laki maupun
perempuan. Mereka memiliki kemampuan yang setara dan adil. Seperti laki-laki, perempuan
juga bisa menjadi majikan, atasan, guru (Brahamana) sesuai khotbah sang Buddha. Kesetaraan
gender dalam agam Budddha disadari kewajibn dan tanggung jawab bersama dalam rumah
tangga dan adanya kehendak bersama dalam menjalankan kehidupan berumah tangga. Menurut
agama Buddha, manusia terdiri dari laki-laki dan perempuan yang muncul bersama di dunia
ini. Dan Dia dapat terlahir sesuai dengan karmanya masing-masing.
Sehingga kedudukan antara laki-laki dan perempuan dalam agama Buddha tidak
dipermasalahkan. Agama Budddha membimbing umatnya untuk menghargai gender. Dalam
Paninivana Sutta, sang Buddha mengatakan seluruh umaat manusia tanpa tertinggal memiliki
jiwa Buddha. Laki-laki dan perempuan memliki tugas yang agunng, karenanya agar terjadi

1
Parwati Soepangat, Pengabdian Dalam Buddha Dharma, Team Penyusun Vihara Vimala Dharma, (Bandung:
cet. II 2005).
2
Oka Diputhera, Agama Buddha Bangkit, (Arya Suryacandra Okaberseri Cet. 1., Jakarta:2006). Hal:83.
keseimbangan dalam menjalankan fungsi kehidupannya, maka keduanya memiliki karakter
yang berlawanan, padahal justeru dari sinilah muncul keseimbangan.

Anda mungkin juga menyukai