Fantasi Pasar Bebas Dan UU Cipta Kerja
Fantasi Pasar Bebas Dan UU Cipta Kerja
Fantasi Pasar Bebas dan Oligarki dalam UU Cipta Kerja (Omnibus Law)
Pendahuluan
Undang‐Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang ditetapkan pada
tanggal 2 November 2020 adalah ujung dari suatu proses legislasi yang belakangan ini
menyita perhatian publik. Proses tersebut menjadi berbeda karena adanya penerapan
konsep Omnibus Law yang dianggap masih baru di Indonesia. Meskipun diwarnai
beberapa kontroversi seperti banyaknya versi draft RUU yang muncul di media, aksi unjuk
rasa penolakan di berbagai daerah hingga pernyataan beberapa anggota DPR RI yang
belum pernah menerima draft RUU tersebut, Pemerintah dan DPR tetap kompak
melanjutkan proses legislasi RUU Cipta Kerja (Omnibus Law) hingga secara resmi telah
ditetapkan. Dalam prosesnya paling tidak terdapat lima versi RUU Cipta Kerja (Omnibus
Law) ini yang beredar di tengah masyarakat yaitu versi 905 halaman, 1.028 halaman,
1.035 halaman, 812 halaman dan 1.052 halaman (CNN Indonesia, 2020). Berdasarkan
kondisi tersebut ditambah dengan kesan terburu‐buru dalam proses pengesahannya
menimbulkan suatu pertanyaan besar bagi publik tentang kepentingan apa yang ada di
dalam proses pengesahan UU sapu jagat tersebut.
Omnibus Law sendiri adalah suatu undang‐undang yang substansinya merevisi dan/atau
mencabut banyak undang‐undang (Antoni Putra, 2020). Atas definisi tersebut dapat
disimpulkan bahwa omnibus law adalah sama seperti undang‐undang pada umumnya
namun ditujukan secara spesifik untuk merevisi secara sekaligus atas undang‐undang lain
yang saling berkaitan. UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang‐undangan (PUU) memang belum mengakomodir konsep omnibus law dalam
sistem perundangan yang ada namun hal tersebut tidak membuat bahwa konsep tersebut
menjadi suatu yang terlarang (Antoni Putra, 2020). Konsep omnibus law telah lebih
dahulu diterapkan di negara‐negara common law dengan sistem anglo saxon seperti
Amerika Serikat, Kanada, Belgia dan Inggris.
Perubahan atas berbagai PUU melalui suatu UU Omnibus Law tentunya dapat dinilai
sebagai suatu bentuk perubahan kebijakan pemerintah yang cukup ekstrim karena akan
mengubah sistem dan pelayanan birokrasi juga secara cepat dan ekstrim. Konsep
Omnibus Law ini menjadi suatu pilihan solusi penyerderhanaan atas terjadinya tumpang
tindih dan kegemukan regulasi yang terjadi di Indonesia. Pemerintah (Kemenko
Perekonomian, 2020) memberikan gambaran tiga manfaat dari penerapan konsep
Omnibus Law ini yaitu menghilangkan tumpang tindih PUU, efisiensi proses
perubahan/pencabutan PUU dan menghilangkan ego sektoral.
Pembentukan UU Cipta Kerja (Omnibus Law) ini didasari dari arahan kebijakan Presiden
Jokowi yang menginginkan dalam lima tahun ke depan pemerintah fokus mengerjakan
pembangunan SDM yang pekerja keras dan dinamis, menyederhanakan PUU yang
menghambat penciptaan lapangan kerja dan pengembangan UMKM dan prioritas
investasi untuk membuka lapangan pekerjaan (Kemenko Perekonomian, 2020). Dengan
UU tersebut, pemerintah berharap terjadi pertumbuhan ekonomi minimal 6% per
tahunnya untuk membuka 2 juta lapangan kerja baru dan 7 juta pengangguran yang ada.
Atas target pertumbuhan ekonomi tersebut, pemerintah memerlukan investasi baru
senilai Rp4.800 Triliun (asumsi setiap pertumbuhan ekonomi 1% memerlukan investasi
OPS
Rp800 Triliun). Selain hal tersebut, pemerintah berharap UU Cipta Kerja nantinya dapat
meningkatkan perlindungan dan kesejahteraan kepada pekerja yang ada.
Faktanya memang saat ini regulasi yang ada dinilai menjadi hambatan utama proses bisnis
yang terjadi di Indonesia (Ombudsman, 2020). Hal tersebut juga di dukung dengan kondisi
Indonesia yang kalah bersaing dengan negara tetangga dalam hal kemudahan berbisnis.
Berikut adalah perbandingan kemudahan bisnis Indonesia dengan negara ASEAN lainnya.
Perbandingan Tingkat Kemudahan Berbisnis Negara ASEAN
Tahun 2019 (Kata data, 2019)
100,0 86,2
90,0 81,5 80,1
80,0 70,1 69,8 69,6
70,0 62,8
60,0 53,8 50,8 46,8
50,0
40,0
30,0
20,0
10,0
0,0
Berdasarkan gambar tersebut diketahui tingkat kemudahan Indonesia berada di bawah
sebagian besar negara ASEAN atau diperingkat ke 6. Secara global, nilai tersebut
membuat Indonesia menduduki peringkat 73 dari 190 negara yang artinya masih jauh dari
target Presiden Jokowi yaitu peringkat 40. TMF Group dalam rilisan Global Business
Complexity Index 2019 report (The Asean Post, 2019) bahkan mendudukan Indonesia
dalam peringkat kedua sebagai negara dengan kompleksitas bisnis paling tinggi di dunia
setelah Yunani.
Latar belakang dan harapan yang disampaikan pemerintah melalui penerbitan UU Cipta
Kerja tersebut tidak membuat serikat buruh lantas mau menerima hadirnya UU sapu jagat
tersebut. Ada beberapa pasal yang menjadi sorotan dari pihak buruh atas pemberlakuan
UU yang dapat berpotensi merugikan kaum buruh dan cenderung berpihak kepada
pengusaha. Hal‐hal tersebut antara lain adalah permasalahan sistem kerja kontrak yang
makin masif, pratik outsourcing yang meluas, mekanisme PHK hingga permasalahan
penurunan nilai pesangon (Kompas,2020). Atas hal tersebut selama proses legislasi pihak
buruh meminta pemerintah untuk mencabut UU “Cilaka” tersebut.
Suatu Fantasi Pasar Bebas
Investasi asing yang diinginkan oleh pemerintah untuk dapat dialirkan masuk ke dalam
negeri sehingga membuka jutaan lapangan pekerjaan baru secara tidak langsung
membuat Indonesia mengikuti suatu sistem global atau yang biasa disebut pasar bebas.
Kondisi dimana kapital‐kapital suatu korporasi atau perorangan dapat bergerak
melampau batas‐batas teritorial suatu negara untuk suatu tujuan keuntungan pribadi.
OPS
Pasar bebas menurut Noam Chomsky (1996) menjadi suatu pardoks atas propaganda
kaum kapitalis yang memberikan kesempatan sebesar‐besarnya setiap individu mencapai
kesejahteraan pada suatu pasar bebas. Menurutnya, pasar bebas dalam arti sebenarnya
adalah bagaimana cara mempertahankan “si kaya” tetap menjadi kaya. Pasar bebas
adalah bagaimana kekuatan korporasi mereduksi pemerintahan dengan menggesernya
kepada kebijakan‐kebijakan yang menguntungkan bagi korporasi. Kebijakan‐kebijakan
yang menggerakan dana publik untuk dapat memfasilitasi rencana bisnis yang
menguntungkan meskipun harus mengkompensasikannya dengan pemotongan dana‐
dana sosial bagi kepentingan umum. Selain itu, perdagangan bebas sebenarnya adalah
perdagangan yang 40%‐nya terjadi di dalam internal korporasi. Hal tersebut disamakan
sebagai memindahkan barang dari satu rak ke satu rak lainnya. Suatu pertanyaan apakah
itu bisa disebut sebagai suatu perdagangan yang autentik? Tentu bukan. Eksternalitas
negatif yang muncul dari industri perusahaan asing di negeri “dunia ketiga” harus
ditanggung oleh masyarakat negara “dunia ketiga” dan bukan masyarakat negara asal
perusahaan multinasional tersebut atau bahkan ditanggung perusahaan multinasional itu
sendiri. Ekstrimnya, kekuasaan “si kaya” dapat menggerakan intervensi militarian kepada
suatu negara untuk menjaga komoditasnya tetap efisien dan menguntungkan. Hal
tersebut dapat dilihat bagaimana Amerika Serikat menginvansi Timur Tengah dengan
membangun propaganda yang ideologis yang sebenarnya hanya untuk kepentingan
ekonomi semata supaya harga komoditas minyak tetap di dalam range menguntungkan
(Noam Chomsky, 1996).
Sejak berakhirnya era Soekarno, Indonesia menjadi negara yang membuka pintu investasi
bagi negara‐negara asing kapitalis. Harapannya Indonesia dapat memperoleh
kesejahteraan dan terbebas dari status negara terbelakang dengan mengikuti suatu
sistem yang disebut pasar bebas. Ricardo dalam Nunuk Dwi Retnandari (2014)
menyatakan bahwa konsep pasar bebas telah dimanipulasi sehingga bagian yang tidak
menguntungkan bagi negara‐negara kapitalis telah dihilangkan. Ada dua syarat yang
mutlak dan sebenarnya harus dipenuhi dalam konsep pasar bebas yang adil. Dua syarat
tersebut yaitu terdapat persamaan modal kapital awal dan adanya kesempurnaan
informasi bagi setiap peserta pasar. Namun sayangnya, hal tersebut tidak pernah
terpenuhi dalam realita pasar bebas. Dampaknya, Indonesia harus menjadi pelari yang
pincang dalam kancah persaingan perlombaan lari global yang dilabeli sebagai “pasar
bebas”.
Sistem global pasar bebas yang telah diterima tersebut tidak membuat Indonesia bisa
seenaknya saja keluar atau berhenti dari sistem tersebut. Dalam suatu teori
pembangunan (Peet dan Hartwick, 2015), Indonesia telah masuk kepada suatu
ketergantungan secara finansial, teknologi dan bahkan juga intelektual. Secara teori,
negara kapitalis menetapkan identitas negara‐negara pasarnya untuk dilabeli sebagai
negara berkembang sehingga perlu bantuan dan arahan dari negara‐negara barat (maju)
untuk mencapai kesejahteraan. Ketergantungan tersebut membuat kebutuhan negara
ini dari pangan sampai teknologi harus diserahkan kepada kekuatan pasar global dan
ditambah pemikiran‐pemikiran barat yang telah menginvansi menjadi dasar pertimbangn
logis oleh pembuat kebijakan di negeri ini. Konsep yang terbangun adalah langkah yang
diarahkan oleh ide dan konsep barat adalah yang paling baik untuk diterapkan.
OPS
Berdasarkan konsep fantasi pasar bebas dan free trade yang tidak adil tersebut UU Cipta
Kerja menimbulkan suatu pertanyaan besar yaitu apakah kepentingan pasar bebas ini
mendominasi proses legislasi UU Cipta kerja ini. Sebagai perbandingan, ketika era
Soekarno bangsa ini bersikap atas dalam penolakan adanya investasi asing tetapi saat ini
melalui UU ini seakan‐akan pemerintah mempercantik diri untuk menggelar karpet
merah demi masuknya aliran investasi asing.
UU Cipta Kerja sebagai kebijakan Pro Oligarki?
Setiap orang berkepentingan dan setiap orang adalah “kapitalis” menurut cara‐caranya
sendiri dan mampu mengeskploitasi sesamanya (Kevin Nobel Kurniawan, 2020).
Pendapat tersebut menjadi sebuah refleksi bahwa setiap kebijakan yang ada harus bisa
memberikan keuntungan bagi pihaknya sendiri. Kali ini tentunya dalam setiap pasal yang
dituangkan dalam lembaran supremasi UU Cipta Kerja menjadi suatu ajang perbenturan
kepentingan baik dari kaum buruh, pemerintah dan pengusaha. Kaum buruh dengan
kepentingan bahwa kesejahteraannya tidak boleh disunat meskipun kondisi perusahaan
merugi, pemerintah dengan berbagai arus kekuatan politik didalamnya dan Pengusaha
yang digerakan suatu paradigma rasional tentang uang dan pasar membuat pasal‐pasal
dalam pembahasan UU sapu jagat ini menjadi suatu komoditas.
Meminjam pandangan Marx dalam Kevin Nobel Kurniawan (2020), pemilik alat produksi
lah yang disebut berkuasa maka oleh karena itu tidak dapat dihindari suatu fakta adanya
kecenderungan pasal‐pasal dalam UU Cipta Kerja akan berpihak pemerintah dan
pegusaha. Teriakan‐teriakan pengunjuk rasa penolak Omnibus Law tentang oligarki
menjadi menarik bilamana menilik konsep oligarki itu sendiri. Oligark dan oligarki adalah
dua hal yang berbeda secara konsep teori. Oligark (Winters, 2011) adalah individu yang
berkuasa dan mengendalikan secara masif atas konsentrasi‐konsentrasi sumber daya
material yang dikembangkan untuk mempertahankan dan meningkatkan kekayaannya
dan posisi eksklusifnya. Dalam definisi tersebut terdapat tiga hal yang menjadi unsur
utama yang secara konstan didefinisikan dalam berbagai jaman. Kedua, bentuk
kekuasaan material lain yang berbeda dan bisa terkonsentrasi pada minoritas. Ketiga,
penguasaan dan pengendalian sumber daya besar untuk kepentingan pribdai dan bukan
lembaga. Sedangkan Oligarki sendiri adalah merujuk pada bentuk politik pertahanan
kekayaan oleh para pemilik kekayaan minoritas/oligark.
Dalam konteks Indonesia kita pernah berada dalam suatu masa oligarki yang besifat
sultanistik yaitu saat masa pemerintahan Soeharto. Kondisi tersebut terjadi ketika terjadi
monopoli pemaksaan kepada salah satu oligark bukan negara yang terlembaga oleh
hukum. Sejak tergulingnya rezim Soeharto (Winters, 2011) Indonesia masuk ke dalam
sistem oligarki yang mengarah pada oligarki liar yang tak pernah terkendalikan oleh
hukum. Oligark‐oligark yang sempat dijinakan oleh rezim Soeharto kini tidak dapat
dikendalikan oleh lembaga formal hukum yang ada bahkan cenderung dilemahkan (isu
UU KPK dan RUU MK).
Kebijakan Omnibus Law Cipta Kerja membuat kesadaran publik akan posisi dalam
kekuasaan tersebut terlihat terlalu vulgar karena kesenjangan politik yang terjadi dalam
proses legislasinya. Hal tersebut membuat jadi rasional ketika mahasiswa, buruh dan
aktivis nekat memilih turun ke jalan meskipun berada di tengah ancaman pandemi ini.
OPS
Sayangnya pemerintah sebagai eksekutif dan DPR (6 dari 10 Anggota DPR adalah
pengusaha, Liputan 6, 2020) sebagai legislatif seperti telah memiliki kesepahaman di awal
sehingga hal tersebut tidak menggemingkan proses legislasinya. Presiden
mempersilahkan upaya penolakan dari pihak‐pihak yang tidak puas melalui uji materi ke
hadapan Mahkamah Konstitusi (Okezone, 2020) sebagai bentuk sikapnya. Sayangnya,
RUU Mahkamah Konstitusi baru juga telah juga disahkan yang kini menimbulkan suatu
pertanyaan apakah ini suatu kebetulan semata atau ada bagian strategi “wealth defense”
penguasa?.
Teori Trust Culture dari Francis Fukuyama
Akhirnya bangsa ini harus tetap menghadapi dan pasar bebas, mau tidak mau atau siap
tidak siap, karena ideologi pasar bebas yang kini telah kita adopsi telah mendunia. Francis
Fukyuma dalam bukunya Trust : Social Virtues and Creation of Prosperty (1996)
mengambil garis tengah dengan menyampaikan solusi 20%. Ketika ekonomi pasar bebas
menemukan suatu keberhasilan penting tentang hakikat uang dan pasar. Pasar bebas juga
menunjukkan suatu pemetaan perilaku manusia yang rasional dan swa‐kepentingan dan
bagi Fukuyama hal itu adalah hanya kebenaran yang baru mencapai 80%. Sedangkan 20%
yang tidak disadari saat ini adalah tentang faktor‐faktor kultural yang ada. Jepang dan
Jerman adalah suatu contoh yang menunjukkan bahwa kebijakan‐kebijakan yang diambil
tidak seluruhnya harus digerakan untuk suatu keuntungan semata tetapi ada faktor
kultural yang nampak irasional. Bank Jepang dan Jerman yang lebih memilih
menyelamatkan industri otomotifnya daripada hanya keuntungan rasional sebuah
hakikat sebuah bank. Hal tersebut dilakukan karena landasan kultural yang kuat pada
kedua bank tersebut bagi Jepang yang menyatakan bahwa kesejahteraan adalah juga
tentang kemuliaan negaranya dan bagi Jerman yang tidak ingin industri otomotifnya
dikuasai pemodal asing. Hal itu bisa disebut sebagai social capital yang merupakan konsep
berbeda daripada human capital yang ditawarkan dalam konsep ekonomi kontemporer.
Social capital adalah kemampuan masyarakat (termasuk pengusaha) dalam bekerja sama
untuk mencapai tujuan bersama dalam berbagai kelompok dan organisasi sedangkan
human capital hanya berbicara tentang pengetahuan dan keterampilan. Pencapaian
social capital tersebut hanya dapat dicapai dengan “trust” atau kepercayaan yang kuat.
Basis‐basis ekonomi yang rasional memang tetap menjadi suatu basis yang penting tetapi
tidak akan pernah cukup untuk mewujudkan stabilitas dan kesejahteraan masyarakat
pasca‐industrial.
Sayangnya, Indonesia yang tergolong low trust society tidak memiliki tingkat kepercayaan
umum yang ada pada masyarakat. Kepercayaan yang rendah tersebut muncul secara
vertikal dan horisontal di tengah masyarakat. Birokrasi yang dekat dengan berbagai kasus
korupsi dan suap tentunya membuat kepercayaan masyarakat kita tergolong rendah.
Politik identitas dan familistik yang kuat menjadi hambatan besar bagi terbangunnya
kepercayaan yang umum sebagai modal sosial. Pembentukan UU Cipta Kerja dan
penolakan publik secara keras meskipun telah juga disampaikan alasan rasional secara
resmi melalui Kemenko Perekonomian adalah menjadi contoh nyata. Hal tersebut
mengidentifikasikan bahwa pemerintah belum serius menginvestasikan pada
OPS
pembangunan suatu nilai trust melalui narasi dan juga kebijakan‐kebijakan yang
membangun kepercayaan masyarakat.
Selain itu, melihat maraknya kasus‐kasus penindasan atas hak‐hak masyarakat yang
dilakukan oleh atau atas nama keuntungan korporasi seperti perebutan lahan, kerusakan
lingkungan, isu pelanggaran ketanagakerjaan dan lainnya menjelaskan posisi pengusaha‐
pengusaha di negeri ini hanya digerakan oleh kebenaran “80%” yang rasional dan swa‐
kepentingan. Maka wajar lah UU Omnibus Law Cipta Kerja ini harus lahir dari tangan‐
tangan pemilik modal yang tidak memiliki “trust” kepada masyarakat bangsanya sendiri.
Penutup: Omnibus law dalam tantangan dan peluang
Realistisnya, UU Cipta Kerja (Omnibus Law) tersebut telah resmi diundangkan dan berlaku
mengikat. Asumsi, fakta dan “klise” yang dibangun oleh pemerintah untuk merasionalisasi
kebijakan ini telah menjadi bagian kelam sejarah proses legislasi yang tidak akuntabel.
Konsep teori ekstrim fantasi pasar bebas dan oligarki tetap menjadi bagian yang masih
tidak bisa lepas dari lahiranya kebijakan‐kebijakan bangsa ini. Modal sosial ditawarkan
dalam pendapat Fukuyama pun semakin menjadi jalan terjal untuk dicapai melihat tidak
ada komitmen dan trust pemerintah untuk mencapai sosiabilitas. Ketidakpercayaan
pemerintah atas masyarakat dengan terlihat dengan minimnya partisipasi dalam legislasi
pembuatan UU sapu jagad ini dan hal ini berlaku pula atas kondisi masyarakat kepada
pemerintah. Bahkan, ketidakpercayaan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah
menjadi jelas terlihat dari penarikan sejumlah kewenangan perijinan dalam UU Cipta
Kerja. Secara jangka panjang ini tidak akan menjadi baik, kepercayaan masyarakat perlu
kembali dibangun dengan serangkaian kebijakan yang “dekat” dan adil bagi masyarakat.
Kepercayaan juga perlu dibangun juga antar pemerintah daerah, pemerintah pusat dan
terhadap pelaku usaha. Modal sosial bila tercapai seharusnya dapat menjadi faktor
pembeda bagi Indonesia di tengah‐tengah persaingan global.
Pelaksanaan UU Cipta kerja Omnibus Law tentunya akan menghadapi beberapa
tantangan dan peluang di masa yang akan datang. Salah satu tantanganya, UU Cipta Kerja
ini akan memaksa birokrasi berubah haluan secara cepat karena perombakan besar‐
besaran atas existing pelaksanaan peraturan di lapangan. Konsekuensinya, ASN dituntut
untuk segera memahami perubahan dan juga sistem yang lama harus segera disesuaikan
supaya perubahan radikal ini bisa terimplementasi sesuai harapan. Hal yang menjadi
kekuatiran adalah apakah birokrat kita siap mengikuti perubahan yang ekstrim dalam
hieraki yang cukup kompleks. Ini menjadi tantangan tersendiri dalam tubuh birokrasi yang
ada dengan melihat suatu fakta bahwa sebanyak 1,6 juta dari 4 juta ASN dinilai tidak
produktif (Liputan 6, 2020). Tantangan kedua yang dihadapi juga adalah terkait dengan
kepercayaan masyarakat yang runtuh dengan adanya prosesi legislasi UU ini. Wajah‐
wajah oligarki yang makin kentara memberi kesadaran akan posisi kekuasaan bagi publik.
Hal itu akan menambah ketidak percayaan publik pada apapun yang akan dihasilkan oleh
pemerintah termasuk peraturan‐peraturan teknis turunan dari UU Cipta kerja. Hal
tersebut tentunya tidak akan memberikan situasi yang kondusif secara sosial dalam
implementasi UU ini. Kedua tantangan tersebut menjadi konfirmasi atas suatu pendapat
bahwa Omnibus Law dapat dilaksanakan dengan dua prasyarat yang wajib dipenuhi yaitu
strong institution dan high trust society (Eko Prasodjo, 2020). Atas hal tersebut maka
OPS
https://nasional.kompas.com/read/2020/11/03/16492141/8‐poin‐uu‐cipta‐kerja‐
yang‐disorot‐buruh‐dari‐sistem‐kerja‐kontrak‐hingga?page=all.
Kompas TV. (2020, 13 Februari). Untung Rugi Omnibus Law – ROSI. Youtube,
diunggah oleh KOMPASTV.
Liputan 6 . (2020, 8 Juli) 1,6 Juta PNS Dinilai Tak Produktif. Diakses pada tanggal 30
November 2020 dari https://www.liputan6.com/bisnis/read/4299983/16‐juta‐pns‐
dinilai‐tak‐produktif
Liputan 6. (2020, 9 Oktoer). Ternyata, 6 dari 10 Anggota DPR adalah Pengusaha.
Diakses pada tanggal 8 Desember dari https://www.liputan6.com
/bisnis/read/4378385/ternyata‐6‐dari‐10‐anggota‐dpr‐adalah‐pengusaha
Majalah Gempur. (2020, 4 Maret). Pakar Analisis Kebijakan Kritik Omnibus Law.
Diakses pada tanggal 1 Desember 2020 dari https://www.majalah‐gempur.com
/2020/03/pakar‐analisis‐kebijakan‐kririk‐omnibus.html
Okezone. (2020, 9 Oktober). Tidak Puas UU Cipta Kerja, Jokowi: Silakan Uji Materi ke
MK. Diakses pada tanggal 15 Desember 2020 dari https://nasional.okezone.com
/read/2020/10/09/337/2291216/tidak‐puas‐uu‐cipta‐kerja‐jokowi‐silakan‐uji‐
materi‐ke‐mk
Peet, Richard dan Hartwick, Elane. (2015) Theories of Development: Contentions,
Arguments, Alternatives. New York. The Guilford Press.
Retnandari, Nunuk Dwi. (2013). Pengantar Ilmu Ekonomi Dalam Kebijakan Publik.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
The ASEAN Post. (2019, 20 juni). Easy to do business in ASEAN?. Diakses pada tanggal
27 November 2020 dari https://theaseanpost.com/article/easy‐do‐business‐asean
Tirto.ID. (2020, 15 Oktober) Kronologi Omnibus Law Disahkan hingga Jokowi Terima
UU Cipta Kerja. Diakses pada tanggal 20 November 2020 dari
https://tirto.id/kronologi‐omnibus‐law‐disahkan‐hingga‐jokowi‐terima‐uu‐cipta‐
kerja‐f5YM
Winters, Jeffrey A. (2011).Oligarchy. New York: Cambridge University Press.