Anda di halaman 1dari 8

OPS 

Fantasi Pasar Bebas dan Oligarki dalam UU Cipta Kerja (Omnibus Law) 
Pendahuluan 
Undang‐Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang ditetapkan pada 
tanggal 2 November 2020 adalah ujung dari suatu proses legislasi yang belakangan ini 
menyita  perhatian  publik.  Proses  tersebut  menjadi  berbeda  karena  adanya  penerapan 
konsep  Omnibus  Law  yang  dianggap  masih  baru  di  Indonesia.  Meskipun  diwarnai 
beberapa kontroversi seperti banyaknya versi draft RUU yang muncul di media, aksi unjuk 
rasa  penolakan  di  berbagai  daerah  hingga  pernyataan  beberapa  anggota  DPR  RI  yang 
belum  pernah  menerima  draft  RUU  tersebut,  Pemerintah  dan  DPR  tetap  kompak 
melanjutkan proses legislasi RUU Cipta Kerja (Omnibus Law) hingga secara resmi telah 
ditetapkan. Dalam prosesnya paling tidak terdapat lima versi RUU Cipta Kerja (Omnibus 
Law)  ini  yang  beredar  di  tengah  masyarakat  yaitu  versi  905  halaman,  1.028  halaman, 
1.035  halaman,  812  halaman  dan  1.052  halaman  (CNN  Indonesia,  2020).  Berdasarkan 
kondisi  tersebut  ditambah  dengan  kesan  terburu‐buru  dalam  proses  pengesahannya 
menimbulkan suatu pertanyaan besar bagi publik tentang kepentingan apa yang ada di 
dalam proses pengesahan UU sapu jagat tersebut.  
Omnibus Law sendiri adalah suatu undang‐undang yang substansinya merevisi dan/atau 
mencabut  banyak  undang‐undang  (Antoni  Putra,  2020).  Atas  definisi  tersebut  dapat 
disimpulkan  bahwa  omnibus  law  adalah  sama  seperti  undang‐undang  pada  umumnya 
namun ditujukan secara spesifik untuk merevisi secara sekaligus atas undang‐undang lain 
yang  saling  berkaitan.  UU  Nomor  12  Tahun  2011  tentang  Pembentukan  Peraturan 
Perundang‐undangan (PUU) memang belum mengakomodir konsep omnibus law dalam 
sistem perundangan yang ada namun hal tersebut tidak membuat bahwa konsep tersebut 
menjadi  suatu  yang  terlarang  (Antoni  Putra,  2020).  Konsep  omnibus  law  telah  lebih 
dahulu  diterapkan  di  negara‐negara  common  law  dengan  sistem  anglo  saxon  seperti 
Amerika Serikat, Kanada, Belgia dan Inggris.  
Perubahan  atas  berbagai  PUU  melalui  suatu  UU  Omnibus  Law  tentunya  dapat  dinilai 
sebagai suatu bentuk perubahan kebijakan pemerintah yang cukup ekstrim karena akan 
mengubah  sistem  dan  pelayanan  birokrasi  juga  secara  cepat  dan  ekstrim.  Konsep 
Omnibus Law ini menjadi suatu pilihan solusi penyerderhanaan atas terjadinya tumpang 
tindih  dan  kegemukan  regulasi  yang  terjadi  di  Indonesia.  Pemerintah  (Kemenko 
Perekonomian,  2020)  memberikan  gambaran  tiga  manfaat  dari  penerapan  konsep 
Omnibus  Law  ini  yaitu  menghilangkan  tumpang  tindih  PUU,  efisiensi  proses 
perubahan/pencabutan PUU dan menghilangkan ego sektoral. 
Pembentukan UU Cipta Kerja (Omnibus Law) ini didasari dari arahan kebijakan Presiden 
Jokowi yang menginginkan dalam lima tahun ke depan pemerintah fokus mengerjakan 
pembangunan  SDM  yang  pekerja  keras  dan  dinamis,  menyederhanakan  PUU  yang 
menghambat  penciptaan  lapangan  kerja  dan  pengembangan  UMKM  dan  prioritas 
investasi untuk membuka lapangan pekerjaan (Kemenko Perekonomian, 2020). Dengan 
UU  tersebut,  pemerintah  berharap  terjadi  pertumbuhan  ekonomi  minimal  6%  per 
tahunnya untuk membuka 2 juta lapangan kerja baru dan 7 juta pengangguran yang ada. 
Atas  target  pertumbuhan  ekonomi  tersebut,  pemerintah  memerlukan  investasi  baru 
senilai Rp4.800 Triliun (asumsi setiap pertumbuhan ekonomi 1% memerlukan investasi 
OPS 

Rp800 Triliun). Selain hal tersebut, pemerintah berharap UU Cipta Kerja nantinya dapat 
meningkatkan perlindungan dan kesejahteraan kepada pekerja yang ada. 
Faktanya memang saat ini regulasi yang ada dinilai menjadi hambatan utama proses bisnis 
yang terjadi di Indonesia (Ombudsman, 2020). Hal tersebut juga di dukung dengan kondisi 
Indonesia yang kalah bersaing dengan negara tetangga dalam hal kemudahan  berbisnis. 
Berikut adalah perbandingan kemudahan bisnis Indonesia dengan negara ASEAN lainnya.  
 
Perbandingan Tingkat Kemudahan Berbisnis Negara ASEAN
Tahun 2019 (Kata data, 2019)
100,0 86,2
90,0 81,5 80,1
80,0 70,1 69,8 69,6
70,0 62,8
60,0 53,8 50,8 46,8
50,0
40,0
30,0
20,0
10,0
0,0

 
 
Berdasarkan gambar tersebut diketahui tingkat kemudahan Indonesia berada di bawah 
sebagian  besar  negara  ASEAN  atau  diperingkat  ke  6.  Secara  global,  nilai  tersebut 
membuat Indonesia menduduki peringkat 73 dari 190 negara yang artinya masih jauh dari 
target  Presiden  Jokowi  yaitu  peringkat  40.  TMF  Group  dalam  rilisan  Global  Business 
Complexity  Index  2019  report  (The  Asean  Post,  2019)  bahkan  mendudukan  Indonesia 
dalam peringkat kedua sebagai negara dengan kompleksitas bisnis paling tinggi di dunia 
setelah Yunani.  
Latar belakang dan harapan yang disampaikan pemerintah melalui penerbitan UU Cipta 
Kerja tersebut tidak membuat serikat buruh lantas mau menerima hadirnya UU sapu jagat 
tersebut. Ada beberapa pasal yang menjadi sorotan dari pihak buruh atas pemberlakuan 
UU  yang  dapat  berpotensi  merugikan  kaum  buruh  dan  cenderung  berpihak  kepada 
pengusaha. Hal‐hal tersebut antara lain adalah permasalahan sistem kerja kontrak yang 
makin  masif,  pratik  outsourcing  yang  meluas,  mekanisme  PHK  hingga  permasalahan 
penurunan nilai pesangon (Kompas,2020). Atas hal tersebut selama proses legislasi pihak 
buruh meminta pemerintah untuk mencabut UU “Cilaka” tersebut.   
 
Suatu Fantasi Pasar Bebas 
Investasi asing yang diinginkan oleh pemerintah untuk dapat dialirkan masuk ke dalam 
negeri  sehingga  membuka  jutaan  lapangan  pekerjaan  baru  secara  tidak  langsung 
membuat Indonesia mengikuti suatu sistem global atau yang biasa disebut pasar bebas. 
Kondisi  dimana  kapital‐kapital  suatu  korporasi  atau  perorangan  dapat  bergerak 
melampau batas‐batas teritorial suatu negara untuk suatu tujuan keuntungan pribadi.  
OPS 

Pasar  bebas  menurut  Noam  Chomsky  (1996)  menjadi  suatu  pardoks  atas  propaganda 
kaum kapitalis yang memberikan kesempatan sebesar‐besarnya setiap individu mencapai 
kesejahteraan pada suatu pasar bebas. Menurutnya, pasar bebas dalam arti sebenarnya 
adalah  bagaimana  cara  mempertahankan  “si  kaya”  tetap  menjadi  kaya.  Pasar  bebas 
adalah bagaimana kekuatan korporasi mereduksi pemerintahan dengan menggesernya 
kepada  kebijakan‐kebijakan  yang  menguntungkan  bagi  korporasi.  Kebijakan‐kebijakan 
yang  menggerakan  dana  publik  untuk  dapat  memfasilitasi  rencana  bisnis  yang 
menguntungkan  meskipun  harus  mengkompensasikannya  dengan  pemotongan  dana‐
dana sosial bagi kepentingan umum. Selain itu, perdagangan bebas sebenarnya adalah 
perdagangan yang 40%‐nya terjadi di dalam internal korporasi. Hal tersebut disamakan 
sebagai memindahkan barang dari satu rak ke satu rak lainnya. Suatu pertanyaan apakah 
itu  bisa  disebut  sebagai  suatu  perdagangan  yang  autentik?  Tentu  bukan.  Eksternalitas 
negatif  yang  muncul  dari  industri  perusahaan  asing  di  negeri  “dunia  ketiga”  harus 
ditanggung  oleh  masyarakat  negara  “dunia  ketiga”  dan  bukan  masyarakat  negara  asal 
perusahaan multinasional tersebut atau bahkan ditanggung perusahaan multinasional itu 
sendiri. Ekstrimnya, kekuasaan “si kaya” dapat menggerakan intervensi militarian kepada 
suatu  negara  untuk  menjaga  komoditasnya  tetap  efisien  dan  menguntungkan.  Hal 
tersebut  dapat  dilihat  bagaimana  Amerika  Serikat  menginvansi  Timur  Tengah  dengan 
membangun  propaganda  yang  ideologis  yang  sebenarnya  hanya  untuk  kepentingan 
ekonomi semata supaya harga komoditas minyak tetap di dalam range menguntungkan 
(Noam Chomsky, 1996).  
Sejak berakhirnya era Soekarno, Indonesia menjadi negara yang membuka pintu investasi 
bagi  negara‐negara  asing  kapitalis.  Harapannya  Indonesia  dapat  memperoleh 
kesejahteraan  dan  terbebas  dari  status  negara  terbelakang  dengan  mengikuti  suatu 
sistem  yang  disebut  pasar  bebas.  Ricardo  dalam  Nunuk  Dwi  Retnandari  (2014) 
menyatakan bahwa konsep pasar bebas telah dimanipulasi sehingga bagian yang tidak 
menguntungkan  bagi  negara‐negara  kapitalis  telah  dihilangkan.  Ada  dua  syarat  yang 
mutlak dan sebenarnya harus dipenuhi dalam konsep pasar bebas yang adil. Dua syarat 
tersebut  yaitu  terdapat  persamaan  modal  kapital  awal  dan  adanya  kesempurnaan 
informasi  bagi  setiap  peserta  pasar.  Namun  sayangnya,  hal  tersebut  tidak  pernah 
terpenuhi dalam realita pasar bebas. Dampaknya, Indonesia harus menjadi pelari yang 
pincang  dalam  kancah  persaingan  perlombaan  lari  global  yang  dilabeli  sebagai  “pasar 
bebas”.  
Sistem  global  pasar  bebas  yang  telah  diterima  tersebut  tidak  membuat  Indonesia  bisa 
seenaknya  saja  keluar  atau  berhenti  dari  sistem  tersebut.  Dalam  suatu  teori 
pembangunan  (Peet  dan  Hartwick,  2015),  Indonesia  telah  masuk  kepada  suatu 
ketergantungan  secara  finansial,  teknologi  dan  bahkan  juga  intelektual.  Secara  teori, 
negara  kapitalis  menetapkan  identitas  negara‐negara  pasarnya  untuk  dilabeli  sebagai 
negara berkembang sehingga perlu bantuan dan arahan dari negara‐negara barat (maju) 
untuk mencapai kesejahteraan.  Ketergantungan tersebut membuat kebutuhan negara 
ini  dari  pangan  sampai  teknologi  harus  diserahkan  kepada  kekuatan  pasar  global  dan 
ditambah pemikiran‐pemikiran barat yang telah menginvansi menjadi dasar pertimbangn 
logis oleh pembuat kebijakan di negeri ini. Konsep yang terbangun adalah langkah yang 
diarahkan oleh ide dan konsep barat adalah yang paling baik untuk diterapkan.  
OPS 

Berdasarkan konsep fantasi pasar bebas dan free trade yang tidak adil tersebut UU Cipta 
Kerja  menimbulkan  suatu  pertanyaan  besar  yaitu  apakah  kepentingan  pasar  bebas  ini 
mendominasi  proses  legislasi  UU  Cipta  kerja  ini.  Sebagai  perbandingan,  ketika  era 
Soekarno bangsa ini bersikap atas dalam penolakan adanya investasi asing tetapi saat ini 
melalui  UU  ini  seakan‐akan  pemerintah  mempercantik  diri  untuk  menggelar  karpet 
merah demi masuknya aliran investasi asing.  
 
UU Cipta Kerja sebagai kebijakan Pro Oligarki? 
Setiap orang berkepentingan dan setiap orang adalah “kapitalis” menurut cara‐caranya 
sendiri  dan  mampu  mengeskploitasi  sesamanya  (Kevin  Nobel  Kurniawan,  2020). 
Pendapat tersebut menjadi sebuah refleksi bahwa setiap kebijakan yang ada harus bisa 
memberikan keuntungan bagi pihaknya sendiri. Kali ini tentunya dalam setiap pasal yang 
dituangkan dalam lembaran supremasi UU Cipta Kerja menjadi suatu ajang perbenturan 
kepentingan  baik  dari  kaum  buruh,  pemerintah  dan  pengusaha.  Kaum  buruh  dengan 
kepentingan bahwa kesejahteraannya tidak boleh disunat meskipun kondisi perusahaan 
merugi, pemerintah dengan berbagai arus kekuatan politik didalamnya dan Pengusaha 
yang digerakan suatu paradigma rasional tentang uang dan pasar membuat pasal‐pasal 
dalam pembahasan UU sapu jagat ini menjadi suatu komoditas.  
Meminjam pandangan Marx dalam Kevin Nobel Kurniawan (2020), pemilik alat produksi 
lah yang disebut berkuasa maka oleh karena itu tidak dapat dihindari suatu fakta adanya  
kecenderungan  pasal‐pasal  dalam  UU  Cipta  Kerja  akan  berpihak  pemerintah  dan 
pegusaha.  Teriakan‐teriakan  pengunjuk  rasa  penolak  Omnibus  Law  tentang  oligarki 
menjadi menarik bilamana menilik konsep oligarki itu sendiri. Oligark dan oligarki adalah 
dua hal yang berbeda secara konsep teori. Oligark (Winters, 2011) adalah individu yang 
berkuasa  dan  mengendalikan  secara  masif  atas  konsentrasi‐konsentrasi  sumber  daya 
material yang dikembangkan untuk  mempertahankan dan meningkatkan kekayaannya 
dan  posisi  eksklusifnya.  Dalam  definisi  tersebut  terdapat  tiga  hal  yang  menjadi  unsur 
utama  yang  secara  konstan  didefinisikan  dalam  berbagai  jaman.  Kedua,  bentuk 
kekuasaan  material  lain  yang  berbeda  dan  bisa  terkonsentrasi  pada  minoritas.  Ketiga, 
penguasaan dan pengendalian sumber daya besar untuk kepentingan pribdai dan bukan 
lembaga.  Sedangkan  Oligarki  sendiri  adalah  merujuk  pada  bentuk  politik  pertahanan 
kekayaan oleh para pemilik kekayaan minoritas/oligark.  
Dalam  konteks  Indonesia  kita  pernah  berada  dalam  suatu  masa  oligarki  yang  besifat 
sultanistik yaitu saat masa pemerintahan Soeharto. Kondisi tersebut terjadi ketika terjadi 
monopoli  pemaksaan  kepada  salah  satu  oligark  bukan  negara  yang  terlembaga  oleh 
hukum.  Sejak  tergulingnya  rezim  Soeharto  (Winters,  2011)  Indonesia  masuk  ke  dalam 
sistem  oligarki  yang  mengarah  pada  oligarki  liar  yang  tak  pernah  terkendalikan  oleh 
hukum.  Oligark‐oligark  yang  sempat  dijinakan  oleh  rezim  Soeharto  kini  tidak  dapat 
dikendalikan oleh lembaga formal hukum yang ada bahkan cenderung dilemahkan (isu 
UU KPK dan RUU MK).  
Kebijakan  Omnibus  Law  Cipta  Kerja  membuat  kesadaran  publik  akan  posisi  dalam 
kekuasaan tersebut terlihat terlalu vulgar karena kesenjangan politik yang terjadi dalam 
proses  legislasinya.    Hal  tersebut  membuat  jadi  rasional  ketika  mahasiswa,  buruh  dan 
aktivis nekat memilih turun ke jalan meskipun berada di tengah ancaman pandemi ini. 
OPS 

Sayangnya  pemerintah  sebagai  eksekutif  dan  DPR  (6  dari  10  Anggota  DPR  adalah 
pengusaha, Liputan 6, 2020) sebagai legislatif seperti telah memiliki kesepahaman di awal 
sehingga  hal  tersebut  tidak  menggemingkan  proses  legislasinya.  Presiden 
mempersilahkan upaya penolakan dari pihak‐pihak yang tidak puas melalui uji materi ke 
hadapan  Mahkamah  Konstitusi  (Okezone,  2020)  sebagai  bentuk  sikapnya.  Sayangnya, 
RUU Mahkamah Konstitusi baru juga telah juga disahkan yang kini menimbulkan suatu 
pertanyaan apakah ini suatu kebetulan semata atau ada bagian strategi “wealth defense” 
penguasa?. 
 
Teori Trust Culture dari Francis Fukuyama 
Akhirnya bangsa ini harus tetap menghadapi dan pasar bebas, mau tidak mau atau siap 
tidak siap, karena ideologi pasar bebas yang kini telah kita adopsi telah mendunia. Francis 
Fukyuma  dalam  bukunya  Trust  :  Social  Virtues  and  Creation  of  Prosperty  (1996) 
mengambil garis tengah dengan menyampaikan solusi 20%. Ketika ekonomi pasar bebas 
menemukan suatu keberhasilan penting tentang hakikat uang dan pasar. Pasar bebas juga 
menunjukkan suatu pemetaan perilaku manusia yang rasional dan swa‐kepentingan dan 
bagi Fukuyama hal itu adalah hanya kebenaran yang baru mencapai 80%. Sedangkan 20% 
yang  tidak disadari  saat  ini  adalah tentang  faktor‐faktor  kultural  yang ada.  Jepang  dan 
Jerman adalah suatu contoh yang menunjukkan bahwa kebijakan‐kebijakan yang diambil 
tidak  seluruhnya  harus  digerakan  untuk  suatu  keuntungan  semata  tetapi  ada  faktor 
kultural  yang  nampak  irasional.  Bank  Jepang  dan  Jerman  yang  lebih  memilih 
menyelamatkan  industri  otomotifnya  daripada  hanya  keuntungan  rasional  sebuah 
hakikat  sebuah  bank.  Hal  tersebut  dilakukan  karena  landasan  kultural  yang  kuat  pada 
kedua  bank  tersebut  bagi  Jepang  yang  menyatakan  bahwa  kesejahteraan  adalah  juga 
tentang  kemuliaan  negaranya  dan  bagi  Jerman  yang  tidak  ingin  industri  otomotifnya 
dikuasai pemodal asing. Hal itu bisa disebut sebagai social capital yang merupakan konsep 
berbeda daripada human capital yang ditawarkan dalam konsep ekonomi kontemporer. 
Social capital adalah kemampuan masyarakat (termasuk pengusaha) dalam bekerja sama 
untuk  mencapai  tujuan  bersama  dalam  berbagai  kelompok  dan  organisasi  sedangkan 
human  capital  hanya  berbicara  tentang  pengetahuan  dan  keterampilan.  Pencapaian 
social capital tersebut hanya dapat dicapai dengan “trust” atau kepercayaan yang kuat. 
Basis‐basis ekonomi yang rasional memang tetap menjadi suatu basis yang penting tetapi 
tidak  akan  pernah  cukup  untuk  mewujudkan  stabilitas  dan  kesejahteraan  masyarakat 
pasca‐industrial.  
Sayangnya, Indonesia yang tergolong low trust society tidak memiliki tingkat kepercayaan 
umum  yang  ada  pada  masyarakat.  Kepercayaan  yang  rendah  tersebut  muncul  secara 
vertikal dan horisontal di tengah masyarakat. Birokrasi yang dekat dengan berbagai kasus 
korupsi  dan  suap  tentunya  membuat  kepercayaan  masyarakat  kita  tergolong  rendah. 
Politik  identitas  dan  familistik  yang  kuat  menjadi  hambatan  besar  bagi  terbangunnya 
kepercayaan  yang  umum  sebagai  modal  sosial.  Pembentukan  UU  Cipta  Kerja  dan 
penolakan publik secara keras meskipun telah juga disampaikan alasan rasional secara 
resmi  melalui  Kemenko  Perekonomian  adalah  menjadi  contoh  nyata.  Hal  tersebut 
mengidentifikasikan  bahwa  pemerintah  belum  serius  menginvestasikan  pada 
OPS 

pembangunan  suatu  nilai  trust  melalui  narasi  dan  juga  kebijakan‐kebijakan  yang 
membangun kepercayaan masyarakat.  
Selain  itu,  melihat  maraknya  kasus‐kasus  penindasan  atas  hak‐hak  masyarakat  yang 
dilakukan oleh atau atas nama keuntungan korporasi seperti perebutan lahan, kerusakan 
lingkungan, isu pelanggaran ketanagakerjaan dan lainnya menjelaskan posisi pengusaha‐
pengusaha di negeri ini hanya digerakan oleh kebenaran “80%” yang rasional dan swa‐
kepentingan.  Maka  wajar  lah  UU  Omnibus  Law  Cipta  Kerja  ini  harus  lahir  dari  tangan‐
tangan pemilik modal yang tidak memiliki “trust” kepada masyarakat bangsanya sendiri.   
  
Penutup: Omnibus law dalam tantangan dan peluang 
Realistisnya, UU Cipta Kerja (Omnibus Law) tersebut telah resmi diundangkan dan berlaku 
mengikat. Asumsi, fakta dan “klise” yang dibangun oleh pemerintah untuk merasionalisasi 
kebijakan ini telah menjadi bagian kelam sejarah proses legislasi yang tidak akuntabel. 
Konsep teori ekstrim fantasi pasar bebas dan oligarki tetap menjadi bagian yang masih 
tidak bisa lepas dari lahiranya kebijakan‐kebijakan bangsa ini. Modal sosial ditawarkan 
dalam pendapat Fukuyama pun semakin menjadi jalan terjal untuk dicapai melihat tidak 
ada  komitmen  dan  trust  pemerintah  untuk  mencapai  sosiabilitas.  Ketidakpercayaan 
pemerintah atas masyarakat dengan terlihat dengan minimnya partisipasi dalam legislasi 
pembuatan UU sapu jagad ini dan hal ini berlaku pula atas kondisi masyarakat kepada 
pemerintah.  Bahkan,  ketidakpercayaan  pemerintah  pusat  kepada  pemerintah  daerah 
menjadi  jelas  terlihat  dari  penarikan  sejumlah  kewenangan  perijinan  dalam  UU  Cipta 
Kerja. Secara jangka panjang ini tidak akan menjadi baik, kepercayaan masyarakat perlu 
kembali dibangun dengan serangkaian kebijakan yang “dekat” dan adil bagi masyarakat. 
Kepercayaan juga perlu dibangun juga antar pemerintah daerah, pemerintah pusat dan 
terhadap  pelaku  usaha.  Modal  sosial  bila  tercapai  seharusnya  dapat  menjadi  faktor 
pembeda bagi Indonesia di tengah‐tengah persaingan global. 
Pelaksanaan  UU  Cipta  kerja  Omnibus  Law  tentunya  akan  menghadapi  beberapa 
tantangan dan peluang di masa yang akan datang.  Salah satu tantanganya, UU Cipta Kerja 
ini  akan  memaksa  birokrasi  berubah  haluan  secara  cepat  karena  perombakan  besar‐
besaran atas existing pelaksanaan peraturan di lapangan. Konsekuensinya, ASN dituntut 
untuk segera memahami perubahan dan juga sistem yang lama harus segera disesuaikan 
supaya  perubahan  radikal  ini  bisa  terimplementasi  sesuai  harapan.  Hal  yang  menjadi 
kekuatiran  adalah  apakah  birokrat  kita  siap  mengikuti  perubahan  yang  ekstrim  dalam 
hieraki yang cukup kompleks. Ini menjadi tantangan tersendiri dalam tubuh birokrasi yang 
ada  dengan  melihat  suatu  fakta  bahwa  sebanyak  1,6  juta  dari  4  juta  ASN  dinilai  tidak 
produktif (Liputan 6, 2020). Tantangan kedua yang dihadapi juga adalah terkait dengan 
kepercayaan  masyarakat  yang  runtuh  dengan  adanya  prosesi  legislasi  UU  ini.  Wajah‐
wajah oligarki yang makin kentara memberi kesadaran akan posisi kekuasaan bagi publik. 
Hal itu akan menambah ketidak percayaan publik pada apapun yang akan dihasilkan oleh 
pemerintah  termasuk  peraturan‐peraturan  teknis  turunan  dari  UU  Cipta  kerja.  Hal 
tersebut  tentunya  tidak  akan  memberikan  situasi  yang  kondusif  secara  sosial  dalam 
implementasi UU ini. Kedua tantangan tersebut menjadi konfirmasi atas suatu pendapat 
bahwa Omnibus Law dapat dilaksanakan dengan dua prasyarat yang wajib dipenuhi yaitu 
strong  institution  dan  high  trust  society  (Eko  Prasodjo,  2020).  Atas  hal  tersebut  maka 
OPS 

pemerintah  wajib  mengambil  kebijakan‐kebijakan  praktis  untuk  mengantisipasi 


tantangan  tersebut  supaya  UU  Cipta  Kerja  ini  tidak  menjadi  kontra  produktif  dalam 
sumbangsihnya untuk perekonomian negara.  
Peluang juga dihadirkan dalam pelaksanaan UU Cipta Kerja ini karena di tengah pandemi 
dan lesunya ekonomi dunia, UU ini menjanjikan suatu kemungkinan hadirnya lapangan 
pekerjaan baru. Lapangan pekerjaan baru tersebut tentunya menjadi sangat penting dan 
mendesak  karena  bisa  menjadi  urusan  hidup  dan  mati  masyarakat  yang  kehilangan 
pekerjaannya  karena  pandemi  ini.  Sehingga  dalam  jangka  pendek,  Omnibus  Law 
diharapkan mampu menjawab persoalan sosial yang hadir saat ini. Pemerintah dengan 
keterbatasan anggaran mungkin tidak punya cukup sumber daya keuangan untuk terus 
menerus membuat jaring pengaman sosial atas masyarakat yang rentan secara ekonomi. 
Belum lagi, ditambah kebutuhan penanganan kesehatan karena pandemi ini juga akan 
cukup dalam menguras anggaran pemerintah. Oleh karena itu, menggerakan kekuatan 
pasar untuk juga menopang hal ini dapat menjadi alasan rasional yang bisa diterima oleh 
akal sehat. Perlu ditekankan kembali bahwa hal tersebut adalah menjadi sebagai solusi 
jangka  pendek  karena  dalam  jangka  panjang  akan  ada  konsekuensi‐konsekuensi  yang 
harus dibayar kepada “pasar”. Oleh karena itu peluang ini selain perlu dimaksimalkan juga 
perlu kembali dipikirkan strategi apa yang harus dipersiapkan atas konsekuensi yang akan 
dihadapi di masa datang.  
 
 Referensi 
 Antoni,  Putra.  (2020).  Penerapan  Omnibus  Law  dalam  Upaya  Reformasi  Regulasi. 
Jurnal Legislasi Indonesia Volume 17 No 1.  
 CNN Indonesia. (2020, 13 Oktober) 5 Versi Draf Omnibus Law Ciptaker Usai Disahkan 
DPR. Diakses pada tanggal 15 Desember 2020 dari https://www.cnnindonesia.com 
/nasional/20201013091525‐32‐557717/5‐versi‐draf‐omnibus‐law‐ciptaker‐usai‐
disahkan‐dpr 
 Fukuyama, Francis. (1996). Trust : Social Virtues and Creation of Prosperty. New York: 
Free Press Paperbacks. 
 Kata  Data.  (2020,  19  Oktober)  Regulasi  Batu  Sandungan  Terbesar  Investasi  di 
Indonesia.  Diakses  pada  tanggal  20  November  2020  dari 
https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2020/10/19/regulasi‐terkait‐lisensi‐
jadi‐batu‐sandungan‐terbesar‐investasi‐di‐indonesia 
 Kata  Data.  (2019,  30  Oktober).  Peringkat  Kemudahan  Berbisnis  Indonesia  Jalan  di 
Tempat.  Diakses  tanggal  27  November  2020  dari 
https://katadata.co.id/ariayudhistira/infografik/5e9a4e56ae877/peringkat‐
kemudahan‐berbisnis‐indonesia‐jalan‐di‐tempat 
 Kementerian  Koordinator  Bidang  Perekonomian.  (2020,  17  Januari).  Paparan 
penjelasan lengkap Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja. Jakarta. 
 Kurniawan, Kevin Nobel. Kisah Sosiologi: Pemikiran yang Mengubah Dunia dan Relasi 
Manusia. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor. 
 Kompas.(2020, 3 November). 8 Poin UU Cipta Kerja yang Disorot Buruh, dari Sistem 
Kerja Kontrak hingga Alasan PHK. Diakses pada tanggal 27 November dari  
OPS 

https://nasional.kompas.com/read/2020/11/03/16492141/8‐poin‐uu‐cipta‐kerja‐
yang‐disorot‐buruh‐dari‐sistem‐kerja‐kontrak‐hingga?page=all. 
 Kompas  TV.  (2020,  13  Februari).  Untung  Rugi  Omnibus  Law  –  ROSI.  Youtube, 
diunggah oleh KOMPASTV. 
 Liputan 6 . (2020, 8 Juli)  1,6 Juta PNS Dinilai Tak Produktif. Diakses pada tanggal 30 
November  2020  dari  https://www.liputan6.com/bisnis/read/4299983/16‐juta‐pns‐
dinilai‐tak‐produktif 
 Liputan  6.  (2020,  9  Oktoer).  Ternyata,  6  dari  10  Anggota  DPR  adalah  Pengusaha. 
Diakses  pada  tanggal  8  Desember  dari  https://www.liputan6.com 
/bisnis/read/4378385/ternyata‐6‐dari‐10‐anggota‐dpr‐adalah‐pengusaha 
 Majalah  Gempur.  (2020,  4  Maret).  Pakar  Analisis  Kebijakan  Kritik  Omnibus  Law. 
Diakses  pada  tanggal  1  Desember  2020  dari  https://www.majalah‐gempur.com 
/2020/03/pakar‐analisis‐kebijakan‐kririk‐omnibus.html 
 Okezone. (2020, 9 Oktober). Tidak Puas UU Cipta Kerja, Jokowi: Silakan Uji Materi ke 
MK.  Diakses  pada  tanggal  15  Desember  2020  dari  https://nasional.okezone.com 
/read/2020/10/09/337/2291216/tidak‐puas‐uu‐cipta‐kerja‐jokowi‐silakan‐uji‐
materi‐ke‐mk 
 Peet,  Richard  dan  Hartwick,  Elane.  (2015)  Theories  of  Development:  Contentions, 
Arguments, Alternatives. New York. The Guilford Press. 
 Retnandari,  Nunuk  Dwi.  (2013).  Pengantar  Ilmu  Ekonomi  Dalam  Kebijakan  Publik. 
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 
 The ASEAN Post. (2019, 20 juni). Easy to do business in ASEAN?. Diakses pada tanggal 
27 November 2020 dari https://theaseanpost.com/article/easy‐do‐business‐asean 
 Tirto.ID. (2020, 15 Oktober) Kronologi Omnibus Law Disahkan hingga Jokowi Terima 
UU  Cipta  Kerja.  Diakses  pada  tanggal  20  November  2020  dari 
https://tirto.id/kronologi‐omnibus‐law‐disahkan‐hingga‐jokowi‐terima‐uu‐cipta‐
kerja‐f5YM 
 Winters, Jeffrey A. (2011).Oligarchy. New York: Cambridge University Press. 
 

Anda mungkin juga menyukai