Anda di halaman 1dari 17

PERILAKU BISNIS YANG TERLARANG

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah

“Etika Bisnis Islam”

Dosen Pengampu:

Nugroho Noto Diharjo, M. E.

Disusun Oleh

Ekonomi Syariah I

Isma Nurul Sungaidah (401190267)

Ivan Fernando (401190268)

JURUSAN EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PONOROGO

2020
i

Daftar Isi

Daftar Isi...........................................................................................................

Bab I Pendahuluan............................................................................................

A. Latar belakang......................................................................................
B. Rumusan masalah.................................................................................
Bab II Pembahasan...........................................................................................
A. Riba ......................................................................................................
B. Penipuan (Ghisy)..................................................................................
C. Tathfif (Curang dalam Menimbang).....................................................
D. Qimaar atau Maysir (Judi)....................................................................
Bab III Penutup.................................................................................................
A. Kesimpulan...........................................................................................
Daftar Pustaka
1

BAB 1

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Islam sebagai ad-din mengandung yang komprehensif dan sempurna (syumul).
Islam mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, bukan hanya aspek ibadah, tetapi
juga aspek muamalah, khususnya Ekonomi Islam. Al-Qur’an secara tegas menyatakan
kesempurnaan Islam tersebut dalam banyak ayat, antara lain: QS. 5:3, QS.6:38, dan
QS. 16:89).
Salah satu ajaran Islam yang mengatur kehidupan manusia adalah aspek
ekonomi (mua’malah, iqtishodiyah). Ajaran Islam tentang ekonomi cukup banyak ini
menunjukkan bahwa perhatian Islam dalam masalah ekonomi sangat besar. Ayat
terpanjang dalam al-Qur’an justru berisikan tentang masalah perekonomian bukan
masalah ibadah (mahdhah) atau aqidah. Ayat yang terpanjang itu adalah ayat 282
surah al-Baqarah, yang menurut Ibnu Arabi ayat ini mengandung 52 hukum/masalah
ekonomi.
Sejak zaman Rasulullah saw, semua bentuk perdagangan yang tidak pasti
(uncertainty) telah dilarang, berkaitan dengan jumlah yang tidak ditentukan secara
khusus atas barang-barang yang akan ditukarkan atau dikirimkan. Bahkan
disempurnakan pada zaman kejayaan Islam (Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah)
dimana kontribusi islam adalah mengidentifikasi praktek bisnis yang telah dilakukan
harus sesuai dengan Islam, selain itu mengkodifikasikan, mensistematis dan
mempormalisasikan praktek bisnis dan keuangan ke standar legal yang didasarkan
pada hukum Islam yaitu al-Qur’an dan Sunnah. Pelarangan riba, gharar, dan maisir
semakin relevan untuk era modern ini karena pasar modern banyak mengandung
usaha memindahkan resiko(bahaya) pada pihak laindalam asuransi konvensional,
pasar modal dan berbagai transaksi keuangan yang mengandung unsur perjudian).
Dimana setiap usaha bisnis pasti memiliki resiko dan tidak dapat dihindari. Sistem
inilah yang dihapus oleh Islam agar proses transaksi tetap terjaga dengan baik dan
persaudaraan tetap terjalin dan tidak menimbulkan permusuhan bagi yang melakukan
transaksi dalam pasar keuangan. Dalam makalah ini akan membahas lebih lanjut
2

tentang konsep dasar dan definisi dari berbagai istilah yang berkaitan dengan “Riba,
Ghisy,Tathfif, dan Qimaar (judi)”.

B. RUMUSAN MASALAH

1) Bagaimana hukum riba dan jenisnya?


2) Apa yang dimaksud dengan penipuan (Ghisy)?
3) Bagaimana larangan tathfif (Curang dalam Menimbang)?
4) Apa yang dimaksud dengan qimaar/ maysir (Judi)?
3

BAB 2

PEMBAHASAN

A. Pengertian, Hukum, dan Jenis-jenis Riba.


1. Pengertian Riba
Secara etimologi riba berarti Az-Ziyadah artinya tambahan. Sedangkan
menurut terminologi adalah kelebihan/tambahan pembayaran tanpa ada ganti/
imbalan yang disyaratkan bagi salah seorang dari dua orang yang membuat akad
(transaksi). Diantara akad jual beli yang dilarang keras antara lain adalah Riba.
Riba secara bahasa berarti penambahan, pertumbuhan, kenaikan, dan ketinggian.
Sedangkan menurut syara’, riba berarti akad untuk satu ganti khusus tanpa
diketahui perbandingannya dalam penilaian syariat ketika berakad atau bersama
dengan mengakhirkan kedua ganti atau salah satunya.
Dengan demikian riba menurut istilah ahli fikih adalah penambahan pada
salah satu dari dua ganti yang sejenis tanpa ada ganti dari tambahan ini. Tidak
semua tambahan dianggap riba, karena tambahan terkadang dihasilkan dalam
sebuah perdagangan dan tidak ada riba didalamnya hanya saja tambahan yang di
istilahkan dengan nama ‘riba’ dan al-Qur’an datang menerangkan
pengharamannya adalah tambahan yang diambil sebagai ganti rugi dari tempo
yang ditentukan. Qatadah berkata: “Sesungguhnya riba orang jahiliyah adalah
seseorang menjual satu jualan sampai tempo tertentu dan ketika jatuh tempo dan
orang yang berhutang tidak bisa membayarnya dia menambahkan hutangnya dan
melambatkan tempo.

2. Hukum Riba
Ayat yang melarang riba:
1) Surah Ali-Imran: 130
4

Terjemahannya : “Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu memakan


riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu
mendapat keberuntungan.”
2) Hadis “Dari Jabir, Rasulullah melaknat riba, yang mewakilkannya, penulisnya
dan yang menyaksikannya.” (HR. Muslim)
3) Hadis “Ubadah berkata: saya mendengar Rasulullah SAW melarang jual beli
emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, kurma
dengan kurma dan garam dengan garam, kecuali sama (dalam timbangan/
takaran dan kontan). Barangsiapa melebihkan salah satunya, ia termasuk
dalam praktek riba” (Ubadah bin Al-Shamit)
Larangan riba yang terdapat dalam al-Qur’an tidak diturunkan sekaligus,
melainkan diturunkan dalam empat tahap:
Tahap pertama, menolak amggapan bahwa pinjaman riba yang pada zhahirnya
seolah-olah menolong mereka yang memerlukan sebagai suatu perbuatan
mendekati atau taqarrub kepada Allah. Sebagaimana Surat Ar-Ruum: 39. Artinya:
“Dan suatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia menambah pada harta
manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu
berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah,
(maka yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan
(pahalanya).”
Tahap kedua, riba digambarkan sebagai suatu yang buruk. Allah mengancam
memberi balasan yang keras kepada orang Yahudi yang memakan riba. Seperti
tertera dalam al-Qur’an yaitu: “Maka disebabkan kezhaliman orang-orang Yahudi,
kami haramkan atas mereka yang (memakan makanan)” yang baik-baik (yang
dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi
(manusia) dari jalan Allah, dan disebabkan mereka memakan riba, padahal
sesungguhnya mereka stelah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan
harta orang dengan jalan yang bathil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang
kafir diantara mereka itu siksa yang pedih.” (QS. An-Nisa:160-161).
Tahap ketiga, riba diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu tambahan yang
berlipat ganda. Para ahli tafsir berpendapat, bahwa pengambilan bunga dengan
tingkat yang cukup tinggi merupakan penomena yang banyak dipraktekkan pada
masa tersebut, Allah berfirman yang terjemahannya:
5

“Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu memakan riba dengan berlipat
ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat
keberuntungan.” (Q.S. Ali Imran: 130).
Tahap terakhir, Allah dengan jelas dan tegas mengharam-kan apapun jenis
tambahan yang diambil dari pinjaman. Ini adalah ayat terakhir yang diturunkan
menyangkut riba. Dalam al-Qur’an surah al-Baqarah:278
Terjemahannya: “Hai orang-orang beriman, bertakwalah kepada Allah dan
tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang beriman,”
(Q.S al-Baqarah :278) Terjemahannya: maka jika kamu tidak mengerjakan
(meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasulnya akan
memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba) maka bagimu
pokok hartamu;kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya,” (Q.S al-
Baqarah :279) 3.

3. Jenis-jenis Riba

1) Riba Fadhl, yaitu tukar menukar dua barang yang sama jenisnya dengan kualitas
berbeda yang disyaratkan oleh orang yang menukarkan. Contoh: tukar-menukar emas
dengan emas, perak dengan perak, beras dengan beras dan sebagainya.

2) Riba Yadd, yaitu berpisah dari tempat sebelum ditimbang dan diterima,
maksudnya: orang yang membeli suatu barang, kemudian sebelum ia menerima
barang tersebut dari si penjual, pembeli menjualnya kepada orang lain. Jual beli
seperti itu tidak boleh sebab jual beli masih dalam ikatan dengan pihak pertama.
3) Riba Nasi’ah yaitu riba yang dikenakan kepada orang yang berhutang disebabkan
memperhitungkan waktu yang ditangguhkan. Contoh: ‘Aisyah meminja cincin 10
gram pada Amina. Oleh Amina disyaratkan membayarnya tahun depan dengan cincin
emas sebesar 12 gram, dan apabila terlambat 1 tahun maka, maka tambah 2 gram lagi,
menjadi 14 gram dan seterusnya. Ketentuan melambatkan pembayaran satu tahun. 4)
Riba Qardh, yaitu meminjamkan sesuatu dengan syarat ada keuntungan atau
tambahan bagi orang yang meminjami atau yang memberi hutang. Contoh:
Muhammad meminjam uang sebesar Rp 25.000 kepada kepada Ali. Ali
mengharuskan dan mensyaratkan agar Muhammad mengembalikan hutangnya kepada
Ali sebesar Rp. 30.000 maka tambahan Rp. 5.000.

B. Ghisy atau Tadlis dalam Kualitas (Penipuan)


6

Transaksi jual beli terlarang Ghisy atau Tadlis Kualitas (Penipuan atau Kecurangan)
sehingga tidak ada pihak yang merasa dicurangi (ditipu) karena ada suatu yang (keadaan
dimana salah satu pihak tidak mengetahui informasi yang diketahui pihak lain, ini disebut
juga penipuan dalam bahasa fiqihnya atau hukum Islam disebut tadlis. Tadlis dalam jual-beli,
menurut fukaha, ialah menutupi aib barang, dan ini bisa terjadi baik oleh penjual maupun
oleh pembeli. Penjual dikatakan melakukan penipuan (tadlis) apabila ia menyembunyikan
cacat barang dagangannya dari pengetahuan pembeli. Sedangkan pembeli dikatakan
melakukan penipuan (tadlis) manakala ia memanipulasi alat pembayarannya atau
menyembunyikan manipulasi pada alat pembayarannya terhadap penjual. Dengan demikian,
tadlis itu bukanlah menjual barang cacat, tetapi menyembunyikan cacat barang sehingga
informasi yang dimiliki para pihak yang bertransaksi menjadi tidak simetris.

Penting juga diperjelas bahwa tadlis, melainkan upaya salah satu pihak yang
bertransaksi untuk menyembunyikan informasi yang menyebabkan terwujudnya kondisi
tersebut. Tadlis atau Ghisy jelas haram hukumnya. Syariat Islam menganjurkan kepada
semua pembeli agar menolak dan mengembalikan barang yang dibelinya jika ia mendapatkan
praktik transaksi semacam itu. Sebab, pada dasarnya pembeli rela mengeluarkan uang
belanjaannya karena tertarik pada sifat barang yang ditampakkan oleh si penjual. Melakukan
tadlis dalam bertransaksi adalah salah satu bentuk dari cara yang batil dalam mencari
keuntungan harta. Allah Swt melarang cara yang demikian itu dalam Al-Quran surat An-Nisa
ayat 29, yaitu: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan
suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah
adalah Maha Penyayang kepadamu.

Macam-macam Ghisy atau Tadlis Dalam praktiknya, tadlis itu bisa dapat
dikategorikan dalam beberapa jenis, yakni tadlis dalam kuantitas, tadlis dalam kualitas
(ghisy), tadlis dalam harga, dan tadlis dalam waktu.

a. Tadlis dalam Kuantitas Tadlis dalam kuantitas terjadi ketika pihak yang
bertransaksi menyembunyikan informasi berkenaan dengan kuantitas sesuatu yang
ditransaksikan. Misalnya baju sebanyak satu container. Karena jumlahnya banyak dan tidak
mungkin pembeli menghitungnya satu per satu, maka penjual mengirimkan barang itu kepada
pembeli dalam keadaan sudah dikurangi jumlah (kuantitas) nya. Tadlis dalam kuantitas ini
bisa juga dilakukan oleh pembeli, yaitu dengan cara mengurangi jumlah lembar uang yang
7

dibayarkannya kepada penjual. Jika penjual lalai, atau percaya saja pada pembeli, maka
pengurangan jumlah uang tadi bisa tidak terdeteksi atau tercium oleh penjual.

b. Tadlis dalam Kualitas (Ghisy) Tadlis dalam kualitas ini terjadi dalam bentuk
penyembunyian informasi tentang kualitas barang yang ditransaksikan. Misalnya dalam kasus
penjualan komputer bekas. Pedagang menjual komputer bekas dengan kualifikasi Pentium III
dalam kondisi 80% baik dengan harga Rp ,-. Kenyataannya, tidak semua komputer bekas
yang dijual memiliki kualifikasi yang sama. Sebagiannya ada yang lebih rendah
kualifikasinya, tetapi dijual dengan harga yang sama. Pembeli tidak dapat membedakan mana
komputer yang kualifikasinya rendah dan mana yang dengan kualifikasinya lebih tinggi.
Yang tahu pasti tentang kualifikasi komputer yang dijualnya adalah penjual.

c. Tadlis dalam Harga Tadlis dalam harga ini terjadi ketika sesuatu barang dijual
dengan harga yang lebih tinggi, atau sebaliknya lebih rendah, dari harga pasar karena penjual
atau pembeli memanfaatkan ketidaktahuan lawan transaksinya terhadap harga pasar.

Praktik transaksi ghisy yang sering ditemui di tengah masyarakat adalah kecurangan
atau penipuan dengan mencampurkan barang kualitas rendah dengan barang kualitas tinggi
lalu dijual dengan harga barang dengan kualitas tinggi.

Berikut contoh-contoh transaksi ghisy lainnya:

1) Seseorang memesan barang/baju satu mobil box besar kepada seorang penjual, karena
tidak mungkin memeriksa satu persatu baju tersebut, pembeli membuat kesepakatan
dengan penjual kalau sampai ada baju yang cacat maka akan dikembalikan kepada pihak
penjual. Ternyata kesepakatan tersebut dilanggar oleh penjual, tanpa sepengetahuan
pembeli, penjual memasukkan beberapa baju cacat ke dalam mobil tersebut dan ketika
pembeli ingin mengembalikan baju yang cacat penjual tidak mau menerimanya kembali.
2) Pedagang menjual beras dengan mencampurkan beras berkualitas rendah dengan barang
berkualitas tinggi, kemudian beras itu dijual sesuai dengan harga beras berkualitas tinggi.
3) Contoh transaksi ghisy yang sering terjadi di Indonesia adalah menjual daging oplosan
atau daging gelonggongan. Daging oplosan yaitu daging sapi yang dicampur dengan
daging celeng (babi hutan).

Langkah-langkah Prefentif Menghindari Transaksi Ghisy Untuk menghindari ghisy, atau


tadlis dalam bentuk apapun, para pelaku transaksi hendaknya lebih jeli/teliti untuk
memperhatikan beberapa unsur sebagai berikut:
8

1) Meswaspadai Mudharat Tujuan syari ah, dalam hubungannya dengan masyarakat umum,
adalah untuk manjamin kepentingan umum dan mencegah mudharat (keburukan) dari
masyarakat itu sendiri. Tujuan ini telah ditegaskan dalam berbagai aturan dan hukum Islam.
Aturan ini memberikan mekanisme bagi individu untuk melindungi dirinya sendiri dari
mudharat yang pasti, atau dari mudharat yang diperkirakan akan terjadi.

2) Mewaspadai Kezhaliman Artinya tidak ada pihak yang dirugikan dalam melakukan suatu
transaksi.

3) Adanya Transparansi Dalam jual-beli sudah menjadi hak bagi si pembeli untuk
mengetahui kualitas, kuantitas, juga harga barang yang akan dibelinya. Untuk itu, penjual
sudah sewajarnya melakukan transparansi kepada pembeli tentang segala sesuatu yang
berhubungan dengan barang yang ditawarkan. Dan pembeli juga melakukan transparansi
harga yang akan disepakati kedua belah pihak.

4) Adanya Perjanjian Sebelum adanya ijab-qabul (serah terima) antara pembeli dan penjual,
sebaiknya membuat suatu perjanjian dimana apabila adanya sesuatu yang merugikan salah
satu pihak terutama pembeli maka si pembeli mempunyai hak untuk menukar barang yang
cacat tersebut. Hak untuk menukar barang karena cacat ini lah yang dikenal dengan khiyar al
ayb. Khiyar al-ayb adalah suatu hak yang diberikan kepada pembeli dalam kontrak jual beli
untuk membatalkan kontrak jika si pembeli menemukan cacat dalam barang yang telah
dibelinya sehingga menurunkan nilai barang itu. Hak itu telah digariskan oleh hukum, dan
pihak-pihak yang terlibat tidak boleh melanggarnya dalam kontrak. Kebaikan dari hak ini,
pembeli yang menemukan cacat pada barang yang dibelinya mempunyai hak untuk
dikembalikan kepada penjual, kecuali dia mengetahui tentang cacat barang itu sebelum
dibelinya.

5) Lebih Teliti dalam Memilih Barang yang akan Dibeli Maksudnya, satu barang selalu
tersedia dalam berbagai alternatif kualitas juga harga, untuk itu sebelum terjadi kesepakatn
antara penjual dan pembeli, pembeli harus teliti untuk lebih mengenal barang apa yang akan
dibelinya, bagaimana kualitasnya, sesuai atau tidak antara kualitas dengan harga yag
ditawarkan penjual.

6) Mengadukan Komplain ke Lembaga Perlindungan Konsumen (Consumen Aware) Jika


pembeli merasa telah ditipu oleh penjual maka pembeli bisa mengadukan komplain kepada
lembaga perlindungan konsumen agar penjual yang telah melakukan penipuan bisa ditindak
9

lanjuti oleh lembaga perlindungan konsumen. Setelah pembeli yang merasa dirugikan
mengadukan komplainnya, lembaga perlindungan konsumen akan melakukan survei ke
lapangan agar dapat menindaklanjuti keadaan yang ada di lapangan.

C. Larangan Tathfif (Curang dalam Menimbang)

Kecurangan dalam menakar dan menimbang mendapat perhatian khusus dalam


larangan perilaku bisnis terlarang ini telah merampas hak orang lain. Selain itu, praktek
seperti ini juga menimbulkan dampak yang sangat vatal dalam dunia perdagangan yaitu
timbulnya ketidak percayaan pembeli terhadap para pedagang yang curang. Oleh karena itu,
pedagang yang curang pada saat menakar dan menimbang mendapat ancaman siksa di
akhirat.

Allah berfirman: “Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang
yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka
menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. Tidakkah orang-orang itu
yakin, bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan, pada suatu hari yang besar, (yaitu)
hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam? Hal ini menunjukkan bahwa
pedagang yang melakukan kecurangan dalam menakar dan menimbang akan mendapatkan
azab sehingga ditempatkan di lembah neraka Jahannam”. Oleh karena itu, setiap pedagang
hendaknya berhati-hati dalam melakukan penakaran dan penimbangan agar ia terhindar dari
azab.

Ilyas Ismail menyatakan bahwa ayat ini turun berkaitan dengan peristiwa yang terjadi
di Madinah. Setibanya di Yathrib (Madinah), Nabi Muhammad saw banyak mendapat
laporan tentang para pedagang yang curang. Abu Juhaynah salah seorang dari mereka. Ia
dikabarkan memiliki dua takaran yang berbeda, satu untuk membeli dan yang satu lagi untuk
menjual. Lalu, kepada Abu Juhaynah dan penduduk Madinah yang lain, Rasulullah saw
membacakan ayat di atas. Ayat ini memberi peringatan keras kepada para pedagang yang
curang. Mereka dinamakan mutaffifin. Dalam bahasa Arab, mutaffifin berasal dari kata tatfif
atau tafafah, yang berarti pinggir atau bibir sesuatu. Pedagang yang curang itu dinamai
mutaffif, karena ia menimbang atau menakar sesuatu hanya sampai bibir timbangan, tidak
sampai penuh hingga penuh ke permukaan. Dalam ayat di atas, perilaku curang dipandang
sebagai pelanggaran moral yang sangat besar. Pelakunya diancam hukuman berat, yaitu
masuk neraka wail. Ancaman ini pernah mengagetkan seorang Arab (Badui). Ia kemudian
menemui Abdul Malik bin Marwan, khalifah dari Bani Umayyah. Kepada khalifah ia
menyampaikan kegalauannya.

Pada masa lalu, masa Rasulullah, pedagang tradisional mencuri kecil-kecilan dengan
korupsi timbangan. Pada masa sekarang, selain mengurangi takaran dan timbangan, para
pedagang mencuri dengan teknik yang lebih canggih dan dalam skala yang lebih besar.
Praktik-praktik seperti penggelembungan anggaran, mark up, dan proyek-proyek fiktif,
semuanya tergolong perilaku tercela yang dinamakan tatfif. Kecurangan pada dasarnya tidak
hanya dalam bidang ekonomi, tapi dalam semua bidang. Kecurangan adalah simbol
kebohongan. Setiap pembohong berarti telah berbuat curang. Orang yang tidak suka melihat
10

orang lain memperoleh kesuksesan, berarti ia curang. Orang yang hanya melihat aib
saudaranya dan tidak pernah melihat aib dirinya, ia juga curang. Begitu pula, orang yang
hanya menuntut haknya dan tidak pernah mampu melaksanakan kewajiban-kewajibannya, ia
juga dinilai curang.

Kecurangan merupakan sebab timbulnya ketidakadilan dalam masyarakat, padahal


keadilan diperlukan dalam setiap perbuatan agar tidak menimbulkan perselisihan. Pemilik
timbangan senantiasa dalam keadaan terancam dengan azab yang pedih apabila ia bertindak
curang dengan timbangannya itu. Pedagang beras yang mencampur beras kualitas bagus
dengan beras kualitas rendah, penjual daging yang menimbang daging dengan campuran
tulang yang menurut kebiasaan tidak disertakan dalam penjualan, pedagang kain yang ketika
kulakan membiarkan kain dalam keadaan kendor, tetapi pada saat menjual ia menariknya
cukup kuat sehingga ia memperoleh tambahan keuntungan dari cara pengukurannya itu,
semua itu termasuk kecurangan yang akan mendatangkan azab bagi pelakunya. Penghargaan
ajaran Islam terhadap mekanisme pasar berangkat dari ketentuan Allah bahwa perniagaan
harus dilaksanakan secara baik atas dasar suka sama suka.

Dalam al-Qur’an dinyatakan bahwa orang beriman dilarang memakan harta sesama
manusia dengan cara yang batil kecuali dengan cara perdagangan atas dasar suka sama suka.
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di
antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha
Penyayang kepadamu.14 Hendaknya orang beriman menyempurnakan takaran dan
timbangan. Allah berfirman: Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan
cara yang lebih bermanfa`at, hingga sampai ia dewasa. Dan sempurnakanlah takaran dan
timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar
kesanggupannya. Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil kendatipun
dia adalah kerabat (mu), dan penuhilah janji Allah. Yang demikian itu diperintahkan Allah
kepadamu agar kamu ingat. Karena menyempurnakan takaran dan timbangan dengan jujur
merupakan cara terbaik dalam melakukan transaksi. Dan sempurnakanlah takaran apabila
kamu menakar dan timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu)
dan lebih baik akibatnya.Sedangkan orang yang suka mengurangi takaran dan timbangan
akan mendapatkan siksa neraka.

Dengan demikian seluruh ayat tersebut menekankan pada pentingnya kejujuran dalam
menakar dan menimbang pada saat melakukan transaksi perdagangan sehingga tidak ada
pihak yang merasa dirugikan. Untuk itu seorang pedagang harus berhati-hati, jangan sekali-
kali dia berdusta, karena dusta itu merupakan bahaya bagi pedagang. Dusta itu sendiri dapat
membawa kepada perbuatan jahat, sedang kejahatan itu dapat membawa kepada neraka.
Karena setiap darah dan daging yang tumbuh dari barang haram maka neraka adalah tempat
yang tepat baginya. Selain itu hindari pula banyak sumpah, khususnya sumpah dusta, sebab
Nabi Muhammad saw pernah bersabda: Tiga golongan manusia yang tidak akan dilihat Allah
nanti di hari kiamat dan tidak akan dibersihkan, serta baginya adalah siksaan yang pedih,
yaitu orang yang sombong, orang yang suka mengungkit-ungkit kembali pemberiannya, dan
orang yang menyerahkan barang dagangannya (kepada pembeli) dengan sumpah palsu.
11

Selain itu si pedagang harus menjauhi penipuan, sebab orang yang menipu itu dapat
keluar dari lingkungan umat Islam. Hindari pula pengurangan timbangan dan takaran, sebab
mengurangi timbangan dan takaran itu membawa celaka.Oleh karena itu, sikap kehati-hatian
dalam menakar dan menimbang ini perlu dilakukan karena kecurangan merupakan tindak
kezaliman yang sulit ditebus dengan taubat. Hal ini disebabkan kesulitan mengumpulkan
kembali para pembeli yang pernah dirugikan dengan mengembalikan hak-hak mereka. Oleh
karena itu, Rasulullah mengingatkan kepada pedagang sebagai berikut:20 Rasulullah dalam
hadith tersebut menyatakan bahwa bagi pedagang hendaknya bermurah hati untuk
memberikan tambahan kepada pembeli, bukan malah mengurangi berat timbangannya. Selain
kecurangan dalam penakaran dan penimbangan, pengawasan muhtasib juga diarahkan kepada
praktek penipuan kualitas barang. Pedagang seharusnya menunjukkan cacat barang yang
dijualnya. Jika ia menyembunyikan cacat barang yang dijualnya maka ia dapat dikategorikan
sebagai penipu, sedangkan penipuan itu diharamkan. Kondisi seperti inilah yang disaksikan
oleh Rasulullah saw ketika suatu menginspeksi pasar Madinah. Abu Hurayrahmeriwayatkan
inspeksi pasar yang dilakukan Rasulullah sebagai berikut: Hadis tersebut menyatakan bahwa
Rasulullah pada suatu hari berjalan ke pasar, kemudian beliau melihat pedagang menjual
setumpuk kurma yang bagus, Rasulullah tertarik dengan kurma tersebut, tetapi ketika beliau
memasukkan tangan ke dalam tumpukan kurma itu ternyata di bagian bawahnya busuk,
kemudian Rasulullah menanyakan kepada pedagangnya mengapa kurma yang dibawahnya
basah. Pedagang menjawab bahwa kurma yang basah tersebut karena hujan. Kemudian
Rasulullah bertanya lagi mengapa kurma yang basah tersebut tidak diletakkan di atas supaya
orang bisa melihatnya. Rasulullah menyatakan bahwa orang yang menipu dalam berdagang
bukan umatnya. Inspeksi yang dilakukan Rasulullah menunjukkan bahwa dalam transaksi itu
diperlukan kerelaan antara pedagang dan pembeli, sehingga tidak ada pihak yang merasa
dirugikan.

Perbuatan menyembunyikan cacat pada barang dagangan sebenarnya tidak akan


menambah rizki, bahkan bisa menghilangkan keberkahan sebab harta yang dikumpulkan
dengan penipuan sangat dimurkai oleh Allah. Rasulullah bersabda: “Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa harta tidak akan bertambah karena tindak kecurangan, sebagaimana harta
tidak akan berkurang karena disedekahkan”.

Bagi orang yang yang tidak mengenal pertambahan dan pengurangan harta kecuali
melalui ukuran material niscaya sulit menerima paham tentang keberkahan rizki. Sedangkan
orang yang meyakini adanya keberkahan rizki niscaya akan dengan mudah meninggalkan
tindak kecurangan karena bisa menghilangkan keberkahan rizkinya. Penipuan dalam
perdagangan merupakan perbuatan yang dilarang. Oleh karena itu tidak sepatutnya seorang
pedagang bersikap kurang peduli dengan kualitas barang yang diperdagangkannya. Hal ini
tentu saja dapat dikiaskan kepada pedagang sendiri, bagaimana apabila ditipu oleh pedagang
lain, tentu saja ia tidak mau menerimanya. Pemberitahuan cacat suatu barang, dengan
demikian, menjadi suatu keharusan bagi pedagang untuk menjaga kepercayaan pembeli demi
kelangsungan usaha mereka sendiri. Hal ini bisa dilakukan pedagang, apabila pada saat
kulakan ia selalu memilih barang yang berkualitas baik yang ia sendiri menyukai barang itu
dan tidak berlebihan dalam mengambil keuntungan. Kondisi seperti inilah yang
12

menyebabkan Allah akan menurunkan keberkahan dalam perdagangan, tanpa harus


melakukan penipuan. Penipuan sulit dihindari oleh para pedagang karena mereka tidak mau
mengambil sedikit keuntungan, sementara keuntungan yang besar jarang terhindar dari
penipuan.

D. Qimaar / Maysir (Judi)

1. Pengertian Qimaar/Maysir (judi)

Maisir adalah transaksi yang digantungkan pada suatu keadaan yang tidak pasti dan
bersifat untung-untungan. Identik dengan kata maisir adalah qimar. Menurut Muhammad
Ayub, baik maisir maupun qimar dimaksudkan sebagai permainan untung-untungan (game of
cance). Dengan kata lain, yang dimaksudkan dengan maisir adalah perjudian.

Kata maisir dalam bahasa Arab secara harfiah adalah memperoleh sesuatu dengan
sangat mudah tanpa kerja keras atau mendapat keuntungan tanpa bekerja. Yang biasa disebut
berjudi. Judi dalam terminologi agama diartikan sebagai “suatu transaksi yang dilakukan oleh
dua pihak untuk kepemilikan suatu benda atau jasa yang menguntungkan satu pihak dan
merugikan pihak lain dengan cara mengaitkan transaksi tersebut dengan suatu tindakan atau
kejadian tertentu”.

Dengan demikian, dalam transaksi judi terdapat tiga unsur:

a) pertama, adanya taruhan harta/materi yang berasal dari kedua pihak yang berjudi.
b) Kedua adanya suatu permainan yang digunakan untuk menetukan pemenang dan yang
kalah.
c) Ketiga, pihak yang menang mengambil harta (sebagian/seluruhnya) yang menjadi
taruhan, sedangkan pihak yang kalah kehilangan hartanya. Contoh maisir ketika jumlah
orang-orang masing-masing kupon togel dengan ‘harga’ tertentu dengan menembak
empat angka. Lalu diadakan undian dengan cara tertentu untuk menentukan empat angka
yang akan keluar. Maka ini adalah undian yang haram, sebab undian ini telah menjadi
bagian aktifitas judi. Didalamnya ada unsur taruhan dan ada pihak yang menang dan yang
kalah, dimana yang menang materi yang berasal dari pihak yang kalah. Ini tidak
diragukan lagi adalah karakter-karakter judi yang najis.

2. Hukum qimaar/Maysir (Judi)

Perjudian termasuk salah satu cara bagi seseorang untuk mengembangkan hartanya.
Cara ini telah diharamkan oleh Islam. Al-Maysir (perjudian) terlarang dalam syariat Islam,
dengan dasar alQur’an, as-Sunnah dan Ijma’. Dalam al-Qur’an terdapat firman Allah yang
artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi,
(berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syetan.
Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu beruntung.” (QS. Al-Maidah:90)

Dari as-Sunnah, terdapat sabda Rasulullah SAW “Barangsiapa yang menyatakan


kepada saudaranya, ‘mari aku bertaruh denganmu’ maka hendaklah dia bersedekah” (HR.
Bukhari- Muslim). Dalam hadis ini Nabi Muhammad SAW menjadikan ajakan bertaruh baik
13

dalam pertaruhan atau muamalah sebagai sebab membayar kafarat dengan sedekah, ini
menunjukkan keharaman pertaruhan.

BAB 3
PENUTUP

A.KESIMPULAN

Secara etimologi riba berarti Az-Ziyadah artinya tambahan. Sedangkan menurut


terminologi adalah kelebihan/tambahan pembayaran tanpa ada ganti/ imbalan yang
disyaratkan bagi salah seorang dari dua orang yang membuat akad (transaksi). Riba
dibedakan menjadi 3 yaitu riba fadl, riba yadd dan riba nasiah. Tadlis dalam jual-beli,
menurut fukaha, ialah menutupi aib barang, dan ini bisa terjadi baik oleh penjual maupun
oleh pembeli. Penjual dikatakan melakukan penipuan (tadlis) apabila ia menyembunyikan
cacat barang dagangannya dari pengetahuan pembeli. Sedangkan pembeli dikatakan
melakukan penipuan (tadlis) manakala ia memanipulasi alat pembayarannya atau
menyembunyikan manipulasi pada alat pembayarannya terhadap penjual. Kecurangan
dalam menakar dan menimbang mendapat perhatian khusus dalam larangan perilaku
bisnis terlarang ini telah merampas hak orang lain. Selain itu, praktek seperti ini juga
menimbulkan dampak yang sangat vatal dalam dunia perdagangan yaitu timbulnya
14

ketidak percayaan pembeli terhadap para pedagang yang curang. Oleh karena itu,
pedagang yang curang pada saat menakar dan menimbang mendapat ancaman siksa di
akhirat.

DAFTAR PUSTAKA

file:///C:/Users/isma_n.s/Downloads/Documents/Muhammad%20Arif_Sebelum
%20Revisi_2.pdf

https://mtaufiknt.wordpress.com/2012/01/24/hal-hal-terlarang-dalam-bisnis-2-perjudian-jual-
beli-terlarang/

https://docplayer.info/71334767-Transaksi-jual-beli-terlarang-ghisy-atau-tadlis-kualitas-
penipuan-atau-kecurangan.html

https://muslim.okezone.com/read/2019/07/09/614/2076549/ini-hukum-riba-dalam-islam
15

Anda mungkin juga menyukai