Anda di halaman 1dari 95

0

HUKUM PERDATA I
1
2

BAB I
Prinsip-Prinsip Umum Dalam Hukum Perdata

A. Istilah dan Pengertian Hukum Perdata


Suatu kenyataan hidup bahwa manusia tidak dapat hidup
sendiri. Dan dalam kehidupan masyarakat, pasti diliputi oleh
norma-norma. Norma-norma tersebut bertujuan untuk mengatur
kehidupan manusia. Setiap anggota masyarakat harus
mengindahkan sejumlah aturan-aturan atau norma-norma. Selain
norma hukum, di masyarakat terdapat norma kesusilaan,
kesopanan dan norma agama. Norma hukum mengatur hak dan
kewajiban dan mengatur juga bagaimana cara melaksanakan dan
mempertahankan hak dan kewajiban tersebut.
Salah satu bidang norma hukum adalah hukum perdata. Pada
dasarnya hukum dapat dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yaitu
hukum publik dan hukum privat (Hukum Perdata). Hukum publik
merupakan ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur
kepentingan umum, sedangkan hukum privat (hukum perdata)
merupakan hukum yang mengatur kepentingan-kepentingan
perseorangan. Dan dalam arti luas hukum perdata materiil 1
meliputi hukum perdata umum, yang terdapat di dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) maupun
hukum perdata khusus yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Dagang (Wetboek van Koophandel).
Istilah hukum perdata pertama kali digunakan oleh Prof.
Djojodiguno sebagai terjemahan dari burgerlijkrecht. Sinonim

1
Disamping hukum perdata materiil, juga dikenal hukum perdata formil.
Hukum perdata formil lebih popular dengan sebutan hukum acara
perdata. Dan hubungan antara hukum perdata materiil dan hukum perdata
formil sangatlah erat, karena hukum perdata formil bertujuan untuk
menentukan dan mengatur cara bagaimana melaksanakan hak-hak dan
kewajiban-kewajiban perdata sebagaimana yang diatur dalam hukum
perdata materiil. Lihat Retnowulan Sutantio dan Iskandar
Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktik
(Bandung : Mandar Maju, 1995) hlm.1.
3
hukum perdata lainnya adalah civilrecht dan privatrecht.2 Dan
yang dimaksud dengan hukum perdata dalam buku ini adalah
hukum perdata yang tertulis, yakni yang diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek), yang untuk
selanjutnya penulisannya disingkat dengan KUH Perdata.
Dalam bidang hukum perdata di Indonesia masih berlaku
pluralisme hukum, dimana hukum perdata BW, hukum perdata
adat (tidak tertulis) dan hukum perdata Islam hidup berdampingan
di masyarakat. Dan hingga saat ini Undang-Undang yang mengatur
tentang hukum perdata secara unifikasi dan bersifat khusus di
Indonesia belum ada.
Menurut Vollmar, hukum perdata adalah aturan-aturan atau
norma-norma yang memberikan pembatasan dan oleh karenanya
memberikan perlindungan pada kepentingan-kepentingan
perseorangan dalam perbandingan yang tepat antara kepentingan
yang satu dengan kepentingan yang lain dari orang-orang dalam
suatu masyarakat tertentu terutama yang mengenai hubungan
keluarga dan hubungan lalu lintas. 3 Senada dengan pendapat
tersebut, Sudikno Mertokusumo mengartikan bahwa hukum
perdata adalah hukum perorangan yang mengatur hak dan
kewajiban orang perorangan yang satu terhadap yang lain di dalam
hubungan kekeluargaan dan di dalam pergaulan masyarakat, serta
pelaksanaannya diarahkan kepada masing-masing pihak. 4
Van Dunne, pada abad ke-19 mengartikan hukum perdata
sebagai suatu peraturan yang mengatur tentang hal-hal yang sangat
esensial bagi kebebasan individu, seperti orang dan keluarganya,
hak milik dan perikatan.5

2
Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW) (Jakarta : Sinar
Grafika, 2005) hlm. 5.
3
Vollmar, Pengantar Studi Hukum Perdata Jilid I, diterjemahkan oleh
I.S. Adiwimarta (Jakarta : Rajawali Press, 1989) hlm. 2.
4
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar)
(Yogyakarta: Liberty, 1986) hlm. 108
5
Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW) hlm. 5.
4
Dari definisi-definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa
hukum perdata adalah rangkaian peraturan yang mengatur
hubungan antara perorangan dengan perseorangan yang lain. Dari
sisi aspek perlindungan hukum dan ruang lingkupnya, hukum
perdata berkaitan dengan perlindungan perseorangan. Sedangkan
ruang lingkupnya mengatur hubungan kekeluargaan dan di dalam
pergaulan masyarakat.
Dalam pengertian hukum perdata, haruslah meliputi minimal 3
(tiga) unsur, yaitu : (1) peraturan hukum, yaitu rangkaian peraturan
baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, dan mengandung
sanksi yang tegas bagi yang melanggar (2) hubungan hukum, yaitu
hubungan yang berkait dengan hak dan kewajiban hukum setiap
person dalam hidup bermasyarakat (3). Orang (persoon), yaitu
subyek hukum atau pendukung hak dan kewajiban. Pendukung hak
dan kewajiban ini meliputi manusia pribadi dan badan hukum. 6
Sejalan dengan unsur hukum perdata tersebut, Salim HS
berpendapat bahwa dalam hukum perdata haruslah memenuhi
unsur-unsur yang ada dalam definisi, yaitu : (1) adanya kaidah
hukum (tertulis dan tidak tertulis) (2) mengatur hubungan hukum
antara subyek hukum yang satu dengan subyek hukum yang lain
(3) bidang hukum yang diatur dalam hukum perdata meliputi
hukum orang, hukum keluarga, hukum benda, hukum waris,
hukum perikatan dan hukum pembuktian dan kedaluarsa.7

B. Sejarah Terjadinya Hukum Perdata


Hukum perdata semula berasal dari bangsa Romawi yaitu
lebih kurang 50 sebelum masehi yaitu pada masa pemerintahan
Yulius Caesar. Hukum Romawi diberlakukan di Perancis dan
bercampur dengan hukum asli yang ada sebelum orang Romawi
menguasai Perancis. Hal ini terus berlangsung sampai pada
pemerintahan Louis XV, dimana pada waktu itu pertama kalinya
usaha ke arah adanya kesatuan hukum, yang kemudian
menghasilkan suatu kodifikasi “Code Civil Des Francois” pada
6
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia (Bandung : Citra
Aditya Bakti, 1993) hlm. 2.
7
Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW) hlm. 7.
5
tanggal 21 Maret 1804, yang kemudian pada tahun 1807
diundangkan kembali menjadi “Code Napoleon”.8
Kodifikasi tersebut sangat kental dengan hukum Romawi,
namun dalam penyusunannya dimasukan pula unsur-unsur hukum
asli yaitu hukum adat Perancis kuno (hukum German) yang telah
berlaku di Eropa Barat sebelum orang-orang Romawi menguasai
Perancis. Hukum gereja atau hukum Katolik juga merupakan unsur
pembentukan dari Code Civil pada waktu itu.
Pada tahun 1811 atau pada masa pemerintahan Napolion
Bonaparte, Perancis menjajah Belanda dan Code Civil
diberlakukan pula di Belanda. Setelah Belanda merdeka dari
kekuasaan Perancis, Belanda membentuk Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata sendiri, yang lepas dari pengaruh kekuasaan
Perancis.
Pada mulanya hukum perdata Belanda dirancang oleh suatu
panitia yang dibentuk pada tahun 1814, yang diketuai oleh Mr.
J.M. Kemper (1776-1824). Pada tahun 1816, J.M. Kemper
menyampaikan rencana code hukum tersebut kepada pemerintah
Belanda. Rencana code hukum Belanda didasarkan pada hukum
Belanda kuno, Code hukum ini diberi nama Ontwerp Kemper.
Namun Ontwerp Kemper ini mendapat tantangan yang keras dari
P.Th.Nicolai. Nicolai ini merupakan anggota parlemen yang
berkebangsaan Belgia dan juga menjadi presiden pengadilan
Belgia. Pada tahun 1824 Kemper meninggal dunia. Selanjutnya
penyusunan kodifikasi code hukum perdata diserahkan kepada
Nicolai. Akibat perubahan tersebut, hukum yang sebelumnya
didasarkan kepada hukum kebiasaan/hukum kuno, tetapi dalam
perkembangannya sebagian besar code hukum Belanda didasarkan
pada code civil Perancis. Code civil ini juga meresepsi hukum
Romawi, corpus civilis dari Justinianus. Jadi hukum perdata kuno
Belanda merupakan gabungan dari hukum kebiasaan/hukum kuno
Belanda dan Code Civil Perancis.9
8
C.S.T.Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia
(Jakarta : Balai Pustaka, 1986) hlm. 209.
9
Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan
di Indonesia (Jakarta : Sinar Grafika, 2006) hlm. 18.
6
Pada tanggal 1 Oktober 1838 Hukum perdata Belanda
(disebut Burgelijk Wetboek) diberlakukan dan sejak saat tersebut
merupakan dasar dari hukum perdata, walaupun pada saat itu
masih ada perubahan.
Terjadinya Wetboek ini (termasuk Wetboek-Wetboek yang
lain) merupakan akibat dari pikiran orang tentang kodifikasi.
Ajaran kodifikasi berasal dari Perancis, dan karena Belanda dijajah
oleh Perancis, maka asas ini juga berlaku di Belanda.
Hukum perdata tertulis yang berlaku di Indonesia saat ini
merupakan ketentuan produk pemerintah Hindia Belanda yang
diberlakukan berdasarkan asas konkordansi, artinya bahwa hukum
yang berlaku di negeri jajahan (Hindia Belanda) sama dengan
ketentuan hukum yang berlaku di Belanda, yaitu diberlakukan pada
tahun 1848, yang hanya diberlakukan bagi orang-orang Eropa dan
dipersamakan dengan mereka.
Hukum perdata yang berlaku di Indonesia saat ini didasarkan
pada pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945, yang
menyatakan bahwa segala badan negara dan peraturan yang ada
masih berlaku berlaku selama belum diadakan yang baru menurut
Undang-Undang Dasar ini. Berarti bahwa ketentuan yang ada pada
zaman Hindia Belanda, khususnya hukum perdata, masih berlaku
di Indonesia. Tujuannya untuk mencegah kekosongan hukum di
bidang hukum keperdataan.
Para ahli tidak pernah mempersoalkan secara mendalam
tentang mengapa KUH Perdata masih berlaku hingga saat ini. Dan
tata hukum Indonesia hendaknya tidak dilihat sebagai kelanjutan
tata hukum Hindia Belanda, tetapi sebagai tata hukum nasional.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa KUH Perdata sekarang
ini berlaku bagi bangsa Indonesia sepanjang tidak bertentangan
dengan Pancasila, UUD 1945, peraturan perundang-undangan dan
rasa keadilan yang ada di masyarakat.
Diharapkan pada masa yang akan datang, hukum perdata
yang berlaku di Indonesia adalah gabungan dari berbagai peraturan
perundang-undangan yang bersumber dari KUH Perdata, hukum
Islam, hukum adat dan berbagai kontrak-kontrak internasional
yang tumbuh dan berkembang saat ini.
7

C. Sistematika Hukum Perdata


1. Kodifikasi Hukum Perdata
Bidang hukum tertentu dapat dibuat dan dihimpun dalam
bentuk undang-undang biasa dan dapat juga dalam bentuk
kodifikasi. Contoh dari kodifikasi tersebut misalnya bidang hukum
perdata, dagang, pidana, dagang dan sebagainya. Undang-undang
biasa pada umumnya masih memerlukan peraturan pelaksanaan
yang dibuat terpisah, misalnya dalam bentuk Peraturan Pemerintah.
Jika tidak dibentuk dalam kodifikasi maka undang-undang dan
peraturan pemerintah tersebut berdiri sendiri. Sedangkan jika
dalam bentuk kodifikasi maka kedua peraturan tersebut dihimpun
dalam satu bundel, misalnya Undang-Undang Perkawinan.
Agar suatu undang-undang dapat dikategorikan dalam
bentuk kodifikasi jika memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
1. meliputi bidang hukum tertentu
2. tersusun secara sistematis
3. memuat materi secara lengkap
4. penerapannya memberikan penyelesaian tuntas. 10
Yang disebut dengan bidang hukum tertentu misalnya dalam
bidang hukum pidana, atau hukum perdata. Sedangkan yang
dimaksud dengan sistematis bahwa aturan tersebut harus tersusun
secara berurutan dan tidak tumpang tindih sehingga antara pasal
atau ayat yang satu, tidak bertentangan dengan pasal/ayat lainnya.
Dan syarat memuat materi lengkap artinya tidak ada masalah yang
tidak diatur serta dalam menyelesaikan suatu masalah tertentu,
aturan yang sudah dikodifikasi tersebut langsung dapat diterapkan
dan diikuti.
Dengan demikian kodifikasi adalah penghimpunan
ketentuan-ketentuan bidang hukum tertentu dalam satu kitab
undang-undang yang tersusun secara sistematis, lengkap dan
tuntas.

2. Susunan Hukum Perdata

10
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, hlm. 14
8
Susunan hukum perdata lebih poluler disebut sebagai
sistematika hukum perdata, yang artinya teratur. Apabila istilah
sistematika dihubungkan dengan kodifikasi, maka akan meliputi
bentuk dan isi kodifikasi.
Sistematika bentuk hukum KUH Perdata meliputi urutan
bentuk bagian terbesar sampai pada bentuk bagian terkecil yaitu:
-Kitab undang-undang tersusun atas buku-buku
-tiap buku tersusun atas bab-bab
-tiap bab tersusun atas bagian-bagian
-tiap bagian tersusun atas pasal-pasal
-tiap pasal tersusun atas ayat-ayat.
Sistematika isi KUH Perdata meliputi kelompok materi
berdasarkan sistem fungsional. Menurut sistem fungsional,
sistematika hukum perdata dapat dibedakan menjadi dua macam,
yaitu sistematika menurut ilmu pengetahuan dan sistematika
menurut KUH Perdata. Sistematika hukum perdata berdasarkan
ilmu pengetahuan yaitu :
-kelompok materi mengenai orang (personenrecht)
-kelompok materi mengenai keluarga (familyrecht)
-kelompok materi mengenai harta kekayaan
(vermogensrecht)
-kelompok materi mengenai pewarisan (erfrecht)11
Hukum tentang orang mengatur tentang subyek hukum,
kewenangan hukum, domisili dan catatan sipil. Hukum keluarga
adalah peraturan yang timbul karena adanya hubungan antara
orang tertentu : perkawinan, hubungan antara orang tua dan anak,
antara wali dengan anak dan hubungan antara orang yang diletakan
di bawah pengampuan karena gila atau pikiran yang kurang sehat
atau karena pemborosan, dan pengampunya (curatele). Hukum
harta kekayaan adalah suatu ketentuan hukum yang mengatur
tentang hubungan hukum yang menyangkut hak dan kewajiban
yang mempengaruhi nilai uang.
Sedangkan sistematika hukum perdata menurut pembagian
KUH Perdata adalah sebagai berikut:

11
Ibid. hlm. 16.
9
Buku I ; tentang orang (van personen)
Buku II ; tentang hukum benda (van zaken)
Buku III; tentang perikatan (van verbintenissen)
Buku IV; tentang pembuktian dan kedaluarsa (van bewijs
verjaring)
Mengenai sistematika isi, ada perbedaan antara sistematika
KUH Perdata dan sistematika ilmu pengetahuan hukum perbedaan
tersebut disebabkan latar belakang penyusunannya. Penyusunan
KUH Perdata didasarkan pada sistem individualisme sebagai
akibat dari revolusi Perancis. Hak dan kebebasan setiap individu
harus dijamin.
Sistematika hukum perdata tidak statis karena dalam
perkembangannya sistematika tersebut mengalami perubahan. Hal
ini tampak dalam sistematika hukum perdata Belanda yang
diundangkan pada tanggal 3 Desember 1987 dan mulai berlaku 1
April 1988. Hukum perdata di Belanda dibagi menjadi 5 (lima)
buku, yaitu :
Buku I: tentang hukum orang dan Keluarga (personen-en-
Famili-erecht)
Buku II : tentang badan hukum (Rechtspersoon)
Buku III: tentang hak kebendaan (van zaken)
Buku IV: tentang perikatan (van verbitenissen)
Buku V: tentang daluarsa (van verjaring)12
Jika dibandingkan kedua sistematika tersebut di atas terdapat
perbedaan atau ketidaktepatan-ketidaktepatan sebagai berikut:
1. KUH Perdata mengatur hukum keluarga sebagai bagian
dari buku I (hukum badan pribadi) dengan alasan bahwa di
dalam hukum keluarga terdapat hubungan-hubungan yang
mempengaruhi kecakapan bertindak dari subyek hak atau
person.
2. KUH Perdata mengatur hukum waris sebagai bagian dari
buku II (hukum benda) dengan alasan karena pembentuk
Undang-Undang memandang hak waris itu sebagai suatu hak
kebendaan atas boedel atau harta kekayaan dari orang yang

12
Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW)hlm. 14.
10
meninggal dunia. Pewarisan dianggap sebagai salah satu cara
untuk memperoleh eigendom adalah merupakan suatu hak
kebendaan.
3. Dalam sistematik ilmu pengetahuan hukum benda dan hukum
perikatan tidak diatur tersendiri sebab hukum harta kekayaan
sebagai aturan yang mengatur hubungan hukum yang dapat
dinilai dengan uang dapat ditimbulkan karena hak-hak
kebendaan yang diatur dalam buku II KUH Perdata maupun
yang ditimbulkan karena perikatan seperti diatur dalam buku
III KUH Perdata.
4. Pengaturan alat bukti dan lewat waktu dalam buku IV KUH
Perdata dipandang kurang tepat karena merupakan soal hukum
acara, sedang KUH Perdata mengatur tentang hukum perdata
materiil.

3. Sumber Hukum Perdata Tertulis


Pada dasarnya sumber hukum dapat dibedakan menjadi 2
(dua) macam yaitu sumber hukum materiil dan sumber hukum
formal. Sumber hukum materiil adalah tempat dari mana materi
hukum itu diambil. Sumber hukum materiil ini merupakan faktor
yang membantu pembentukan hukum, misalnya hubungan sosial,
kekuatan politik, situasi sosial ekonomi, tradisi keagamaan dan
kesusilaan, hasil penelitian ilmiah, perkembangan internasional dan
keadaan geografis. Sedangkan sumber hukum formal merupakan
tempat memperoleh kekuatan hukum. Ini berhubungan dengan
bentuk atau cara yang menyebabkan peraturan hukum formal itu
berlaku. Yang diakui umum sebagai hukum formal adalah undang-
undang, perjanjian antar negara, yurisprudensi dan kebiasaan..
Vollmar membagi sumber hukum perdata menjadi 4 (empat)
macam yaitu KUH Perdata, traktat, yurisprudensi dan kebiasaan.
Dari keempat sumber hukum perdata itu dapat dibagi lagi menjadi
2 (dua) macam, yaitu sumber hukum tertulis dan tidak tertulis.
Yang dimaksud dengan sumber hukum perdata tertulis adalah
tempat ditemukannya kaidah-kaidah hukum perdata yang berasal
dari sumber tertulis. Umumnya sumber hukum perdata tertulis
terdapat di dalam peraturan perundang-undangan, traktat dan
11
yurisprudensi. Sumber hukum perdata tidak tertulis adalah tempat
diketemukannya kaidah hukum perdata yang berasal dari sumber
tidak tertulis, seperti terdapat dalam hukum kebiasaan. 13
Adapun yang menjadi sumber hukum perdata tertulis adalah
sebagai berikut :
1. Algemene Bepalingen van Wetgeving (AB)
AB merupakan ketentuan-ketentuan umum pemerintah Hindia
Belanda yang diberlakukan di Indonesia dengan Stb. 1847
Nomor 23 tertanggal 30 April 1847, yang terdiri dari 36 pasal.
2. KUH Perdata (BW)
KUH Perdata merupakan ketentuan hukum yang berasal dari
produk pemerintah Hindia Belanda yang diundangkan pada
tahun 1848. Diberlakukan di Indonesia berdasarkan asas
konkordansi.
3. KUH Dagang
KUH Dagang diatur dalam Stb.1847 Nomor 23. KUH Dagang
terdiri atas 2 buku, yaitu Buku I tentang Dagang pada
umumnya dan Buku II tentang Hak-hak dan kewajiban yang
timbul dalam Pelayaran jumlah pasalnya, sebanyak 754 pasal.
4. Undang–Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang UU Pokok
Agraria, UU ini telah mencabut berlakunya Buku II KUH
Perdata, sepanjang mengenai hak atas tanah, kecuali mengenai
hipotek.
5. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo UU Nomor 16 Tahun
2019 tentang ketentuan–ketentuan Pokok Perkawinan.
Ketentuan ini telah dijabarkan lebih lanjut dalam berbagai
peraturan pelaksanaannya, seperti PP No. 9 Tahun 1975
tentang Peraturan Pelaksanaan UU Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan; PP No.10 Tahun 1983 tentang Izin
Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil Jo. PP
Nomor 45 Tahun 1983 tentang Perubahan dan Penambahan
atas PP Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan
Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil. Dengan berlakunya
ketentuan ini maka ketentuan–ketentuan yang tercantum

13
Ibid. hlm. 9
12
dalam buku I KUH Perdata, khususnya tentang perkawinan
menjadi tidak berlaku secara penuh.
6. UU Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah
beserta benda–benda yang berkaitan dengan Tanah. UU ini
mencabut berlakunya hipotek sebagaimana yang diatur dalam
Buku II KUH Perdata, sepanjang mengenai tanah dan
ketentuan mengenai Credietverband dalam Stb. 1908-542
sebagaimana telah diubah dalam stb.1937-190 Tujuan
pencabutan ketentuan yang tercantum dalam buku II KUH
Perdata dan Stb.1937-190 adalah karena tidak sesuai lagi
dengan kebutuhan kegiatan perkreditan, sehubungan dengan
perkembangan tata perekonomian Indonesia.
7. UU Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan fiducia
Ada tiga pertimbangan lahirnya UU Nomor 42 Tahun 1999,
yaitu 1. adanya kebutuhan yang sangat besar dan meningkat
bagi dunia usaha atas tersedianya dana, perlu diimbangi
dengan adanya ketentuan hukum yang jelas dan lengkap
yang mengatur mengenai lembaga jaminan. 2. jaminan fiducia
sebagai salah satu bentuk lembaga jaminan sampai saat ini
masih didasarkan pada yurisprudensi dan belum diatur dalam
peraturan perundang–undangan yang lengkap dan
komprehensif. 3. untuk memenuhi kebutuhan hukum yang
dapat lebih memacu pembangunan nasional dan untuk
menjamin kepastian hukum, serta mampu memberikan
perlindungan hukum bagi pihak yang berkepentingan, maka
perlu dibentuk ketentuan yang lengkap mengenai jaminan
fiducia, dan jaminan tersebut perlu didaftarkan pada kantor
Pendaftaran Fiducia UU ini terdiri atas 7 bab dan 41 pasal.
Hal-hal yang diatur dalam UU ini meliputi pembebanan,
pendaftaran, pengalihan dan hapusnya jaminan fiducia, hak
mendahului, dan eksekusi jaminan fiducia.
8. Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam,
yang mengatur 3 (tiga) hal yaitu hukum perkawinan, hukum
kewarisan dan hukum perwakafan. Ketentuan ini hanya
berlaku bagi orang-orang yang beragama Islam.
13
Sedangkan yang dimaksud dengan traktat adalah suatu
perjanjian yang dibuat antara dua negara atau lebih dalam bidang
keperdataan. Terutama erat kaitannya dengan perjanjian
internasional. Misalnya perjanjian bagi hasil yang dibuat oleh
pemerintah Indonesia dengan PT Freeport Indonesia Company
tentang bagi hasil tembaga dan emas.
Yurisprudensi atas putusan pengadilan merupakan produk
yudikatif, yang berisi kaidah atau peraturan hukum yang mengikat
pihak-pihak yang berperkara terutama perkara perdata, misalnya
putusan Hoge Raad 1919 tentang pengertian perbuatan melawan
hukum tidak menganut arti luas, tetapi arti sempit. Putusan tersebut
dijadikan pedoman oleh hakim di Indonesia dalam memutuskan
sengketa perbuatan melawan hukum.

D. Perubahan-Perubahan Terhadap Berlakunya BW di


Indonesia
Dalam mempelajari dan menerapkan ketentuan-ketentuan
hukum perdata perlu diperhatikan adanya ketentuan peraturan
perundang-undangan Indonesia yang mempengaruhi dan merubah
isi serta berlakunya KUH Perdata di Indonesia. Dengan demikian
dapat diketahui pasal-pasal yang dianggap tidak berlaku atau
dicabut dengan adanya peraturan-peraturan baru tersebut, antara
lain:
1. Dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
tanggal 24 September 1960, yaitu Undang-Undang Pokok
Agraria (UUPA) mencabut ketentuan-ketentuan mengenai hak-
hak kebendaan yang berhubungan dengan tanah dari buku II
KUH Perdata, kecuali mengenai hipotek. Dengan demikian
sepanjang berkait dengan tanah, maka pengaturannya di dalam
UUPA dan tidak menjadi obyek dari KUH Perdata lagi.
2. Dengan adanya Surat Edaran Mahkamah Agung tanggal 5
September 1963 Nomor 3 Tahun 1963, menyatakan beberapa
pasal yang ada di dalam KUH perdata tidak berlaku lagi, antara
lain:
-Pasal 108-110 KUH Perdata, tentang ketidakwenangan
seorang wanita yang telah terikat perkawinan
14
-Pasal 284 ayat (3) KUH Perdata, tentang pengakuan anak luar
kawin yang lahir dari seorang wanita Indonesia.
-Pasal 1682 KUH Perdata, tentang keharusan hibah harus
dengan akta notaris
-Pasal 1579 KUH Perdata, tentang penghentian sewa menyewa
dengan alasan akan memakai sendiri
-Pasal 1238 KUH perdata, tentang pengajuan gugat
pelaksanaan suatu perjanjian
-Pasal 1460 KUH Perdata, tentang risiko dalam perjanjian jual
beli barang
-Pasal 1603 ayat 1 dan 2 KUH Perdata, yang membedakan
antara orang Eropa dan bukan Eropa dalam perjanjian
perburuhan.
Melalui SEMA tersebut dinyatakan bahwa KUH Perdata tidak
sebagai kitab undang-undang (wetboek), melainkan sebagai
buku undang-undang (rechtsboek) karena dipandang sebagai
dokumen yang hanya menggambarkan suatu kelompok hukum
yang tidak tertulis.14
3. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tanggal 2 Januari 1974 jo. Perarturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun 1975 tanggal 1 April 1975 tentang Undang-
Undang Perkawinan, yang menganggap tidak berlaku lagi
semua peraturan-peratuan yang mengatur perkawinan
sepanjang telah diatur dalam undang-undang tersebut, yaitu:
-Ketentuan-ketentuan perkawinan dalam KUH Perdata.
-Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen, sebagaimana
tercantum dalam Staatsblad Tahun 1933 Nomor 74
-Peraturan Perkawinan campuran sebagaimana Staatblad
Tahun 1898 Nomor 158
-Peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan.

14
Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan
di Indonesia.hlm. 48-49.
15

BAB II
HUKUM ORANG (PERSONENRECHT)

Pengertian Hukum Orang


Hukum tidak dapat dilepaskan dari manusia. Kaidah-
kaidah yang berisi perintah dan larangan itu ditujukan kepada
anggota masyarakat. Hukum mengatur hubungan antara anggota
16
masyarakat dan antara subyek hukum. Adapun subyek hukum
adalah segala sesuatu yang dapat memperoleh hak dan kewajiban
dari hukum, yaitu hanyalah manusia. Dan hukum berurusan dengan
hak dan kewajiban, sehingga tidak ada hak tanpa kewajiban,
sebaliknya tidak ada kewajiban tanpa hak. Jadi manusia oleh
hukum diakui sebagai penyandang hak dan kewajiban sebagai
subyek hukum, atau sebagai orang.15
Istilah hukum orang berasal dari terjemahan kata
personenrecht (Belanda) atau personal law (Inggris). Di dalam
kamus hukum, hukum orang diartikan sebagai keseluruhan
peraturan hukum mengenai keadaan (hoedanigheden) dan
wewenang (bevoegdheden). Pengertian yang lain tentang hukum
orang adalah peraturan tentang manusia sebagai subyek dalam
hukum, peraturan-peraturan perihal kecakapan untuk memiliki hak
dan kewajiban untuk bertindak sendiri, melaksanakan hak-haknya
itu serta hal-hal yang mempengaruhi kecakapan itu. 16 Dari definisi
di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa hukum orang merupakan
pembawa hak atau subyek di dalam hukum. Kedudukan manusia
sebagai subyek hukum dirumuskan dalam Universal Declaration
of Human Rights maupun konstitusi yang berlaku di Negara kita.
Oleh karena itu segala perbuatan dan tindakan yang dapat
menjatuhkan harkat dan martabat manusia sebagai manusia
pribadi, seperti perbudakan, dilarang.

Dalam KUH Perdata manusia sebagai subyek hukum, tidak dapat


dilenyapkan begitu saja, walaupun dijatuhi hukuman atau pidana,
namun kewenangan berhaknya tetap melekat pada diri seseorang. 17

15
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar hlm. 67.
16
Subekti, Aspek-Aspek Hukum Perdata (Jakarta : Intermasa, 1984) hlm.
16.
17
Kewenangan berhak seseroang akan berakhir pada saat dirinya
meninggal dunia. Dengan demikian hanya kematian yang dapat
menghilangkan keperdataan seseorang. Hal ini disebabkan hak perdata
merupakan hak asasi yang melekat secara kodrati pada tiap diri pribadi.
Lihat Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia (Bandung :
Citra Aditya Bakti, 1993) hlm. 39.
17
Bila definisi di atas dikritisi ternyata ruang lingkupnya
terlalu sempit, karena hukum orang, jika dilihat dari aspek ruang
lingkupnya tidak hanya meliputi subyek hukum, kecakapan
hukum dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Ruang lingkup
penting lainnya meliputi domisili dan catatan sipil. Alasan lainnya
karena hukum orang berkait dengan wewenang hukum. Dan
kewenangan dalam hukum dapat dibagi menjadi 2 (dua) macam
yaitu wewenang untuk mempunyai hak (rechtsbevoegdheid) dan
wewenang untuk melakukan (menjalankan) perbuatan hukum dan
faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Pengaturan hukum orang sebagian besar diatur dalam
Buku I KUH Perdata. Dan di dalam Buku I KUH Perdata tidak
hanya mengatur tentang orang, tetapi juga hukum keluarga. Hal-hal
yang berkait dengan hukum orang dan keluarga diatur dalam pasal-
pasal sebagai berikut :
1. Menikmati dan kehilangan hak-hak kewarganegaraan (pasal 1
s/d 3 KUH Perdata). Di dalam pasal-pasal tersebut diatur
bahwa menikmati hak kewargaan tidak tergantung pada hak
kenegaraan (pasal 1), anak yang berada di dalam kandungan
seorang perempuan dianggap telah dilahirkan, bilamana
kepentingan si anak menghendakinya (pasal 2 ayat 1) dan
ketika janin tersebut mati sewaktu dilahirkan, maka ia
dianggap tidak ada (pasal 2 ayat 2), dan tiada satu hukumanpun
mengakibatkan kematian perdata atau kehilangan segala hak
kewargaan (pasal 3).
2. Akta catatan sipil (pasal 4 s/d 16 KUH Perdata). Hal-hal yang
diatur dalam bab ini meliputi register catatan sipil pada
umumnya, nama-nama atau perubahan nama depan, dan
pembetulan akta-akta catatan sipil serta tentang penambahan di
dalamnya.
3. Tempat tinggal (domisili) (pasal 17 s/d 25 KUH Perdata).
4. Perkawinan (pasal 26 s/d 249 KUH Perdata)
Yang diatur dalam bab Perkawinan meliputi ketentuan umum,
syarat-syarat dan segala sesuatu yang harus dipenuhi dalam
perkawinan, acara yang harus mendahului dalam perkawinan,
18
pencegahan perkawinan, pelaksanaan perkawinan, perkawinan
yang dilakukan di luar negeri dan bukti tentang perkawinan.
5. Hak dan kewajiban suami isteri (pasal 103 s/d 118 KUH
Perdata)
6. Percampuran harta perkawinan menurut KUH Perdata dan
pengurusannya (pasal 119 s/d 138 KUH Perdata). Hal-hal yang
diatur dalam bab ini meliputi: percampuran harta kekayaan
menurut KUH Perdata, pengurusan harta kekayaan campuran
dan pembubaran percampuran dan hak melepaskan diri.
7. Perjanjian kawin (pasal 139 s/d 179 KUH Perdata). Yang
diatur dalam bab ini meliputi : perjanjian kawin, persatuan
untung dan rugi dan persatuan hasil/pendapatan, hibah antara
calon suami isteri dan hibah yang dilakukan kepada calon
suami isteri atau kepada anak-anak dari perkawinan tersebut.
8. Percampuran atau perjanjian kawin dalam perkawinan
untuk kedua kalinya atau selanjutnya (paal 180 s/d 185 KUH
perdata)
9. Perpisahan harta perkawinan (pasal 186 s/d 198 KUH
Perdata)
10. Pembubaran perkawinan (pasal 199 s/d 232 KUH Perdata).
Yang diatur dalam bab ini antara lain : pembubaran
perkawinan pada umumnya, pembubaran perkawinan setelah
perpisahan meja dan ranjang dan perceraian.
11. Perpisahan meja dan ranjang (pasal 233 s/d 249 KUH
Perdata)
12. Kebapakan dan keturunan anak-anak (pasal 250 s/d 289
KUH Perdata). Dalam bab ini diatur antara lain: anak sah,
pengesahan anak luar kawin dan pengakuan terhadap anak luar
kawin.
13. Kekeluargaan sedarah dan samenda (pasal 290 s/d 297
KUH Perdata)
14. Kekuasaan orang tua (pasal 298 s/d 329 KUH Perdata).
Hal-hal yang diatur dalam bab ini meliputi : akibat kekuasaan
orang tua terhadap anak, akibat kekuasaan orang tua terhadap
harta kekayaan anak, pembebasan dan pemecatan dari
kekuasaan orang tua dan kewajiban-kewajiban timbal balik
19
antara kedua orang tua atau keluarga sedarah garis ke atas dan
anak-anak beserta keturunannya.
15. Belum dewasa dan perwalian (pasal 330 s/d 418 KUH
Perdata). Hal-hal yang diatur dalam bab ini antara lain keadaan
belum dewasa, perwalian pada umumnya, perwalian ayah atau
ibu, perwalian yang diperintahkan oleh ayah atau ibu,
perwalian atas perintah pengadilan negeri, perwalian oleh
perhimpunan, yayasan dan lembaga amal, perwalian pengawas,
alasan-alasan yang mempermaafkan diri dari perwalian,
pengecualian, pembebasan dan pemecatan perwalian,
pengawasan wali atas pribadi anak belum dewasa, tugas
mengurus wali, perhitungan tanggung jawab perwalian dan
Balai Harta Peninggalan (BHP) dan Dewan Perwalian.
16. Perlunakan (handlichting) (pasal 419 s/d 432 KUH
Perdata)
17. Pengampuan (pasal 433 s/d 462 KUH Perdata)
18. Keadaan tidak hadir (pasal 463 s/d 465 KUH Perdata),
yang meliputi hal-hal berikut : hal-hal untuk dikatakan sebagai
keadaan tidak hadir, pernyataan mengenai orang yang
diperkirakan meninggal dunia, hak dan kewajiban orang yang
diduga sebagai ahli waris dan orang-orang lain yang
berkepentingan setelah penyataan mengenai dugaan mengenai
kematian, hak-hak yang jatuh ke tangan orang tidak hadir yang
tak pasti hidup atau mati, akibat-akibat keadaan tidak hadir
berkenaan dengan perkawinan.18
Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan beserta aturan pelaksanaannya, pasal-pasal
tentang perkawinan yang ada dalam Buku I KUH Perdata tidak
berlaku secara keseluruhan. Artinya selama diatur dalam Undang-
Undang Perkawinan, maka yang diatur di dalam KUH Perdata
secara otomatis tidak berlaku. Sebaliknya jika tidak diatur, maka
KUH Perdata berlaku, misalnya tentang catatan sipil.

18
Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW) hlm. 20-22
20
B. Subyek Hukum
Istilah subyek hukum berasal dari terjemahan rechtsubject
(Belanda) atau law of subject (Inggris), yang berarti pendukung
hak dan kewajiban. Menurut hukum, setiap manusia merupakan
orang, yang berarti pembawa hak, yaitu segala sesuatu yang
mempunyai hak dan kewajiban.
Dari pengertian di atas nampak bahwa setiap orang
mempunyai hak dan kewajiban yang sama di bidang
keperdataan/sipil. Pada jaman dahulu seorang budak tidak
mempunyai kewenangan hukum, dan hanya digolongkan sebagai
obyek hukum. Karena merupakan obyek hukum, maka seorang
budak dapat diperdagangkan. Dengan perkembangan jaman, maka
perbudakan tidak ada lagi karena bertentangan dengan hak asasi
manusia.
Subyek hukum mempunyai peranan yang penting dalam
hukum, terutama dalam bidang hukum perdata. Di dalam literatur
subyek hukum terdiri dari dua macam yaitu :
1. Manusia (Natuurlijk Persoon)
Manusia sebagai subyek hukum merupakan subyek hukum
yang asli. Berlakunya manusia sebagai pendukung hak dan
kewajiban, dimulai sejak dilahirkan dan berakhir sampai
meninggal dunia. Dan setiap manusia yang dilahirkan hidup
menjadi subyek hukum.
Hak yang diperoleh karena kelahiran ini menurut KUH
Perdata berlaku surut untuk kepentingan janin yang belum lahir
(masih dalam kandungan).19 Misalnya seorang ibu sedang hamil,
dan pada saat itu suaminya meninggal dunia. Pada saat itu, warisan
yang didapatkan antara suami isteri menjadi terbuka. Pada saat
itulah anak tersebut berhak untuk memperoleh warisan dari
pewaris (ayah). Syaratnya, anak tersebut dilahirkan dalam keadaan

19
Hal ini diatur dalam pasal 2 ayat 1 KUH Perdata yang menyatakan
bahwa anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan dianggap
sebagai telah dilahirkan, apabila kepentingan si anak menghendakinya.
Ayat 2-nya menyatakan bahwa apabila dilahirkan mati, maka dianggap
tidak pernah ada
21
hidup, dan jika mati pada waktu dilahirkan, maka dianggap tidak
pernah ada.
Pada dasarnya setiap manusia mempunyai hak, namun tidak
semua manusia mempunyai kewenangan dan kecakapan untuk
melakukan perbuatan hukum. Orang yang dapat melakukan
perbuatan hukum adalah apabila seseorang sudah berumur 21
tahun atau sudah kawin.

2. Badan Hukum
Disamping manusia sebagai pembawa hak, badan atau
perkumpulan juga termasuk subyek hukum. Ketentuan badan
hukum di dalam KUH Perdata sangat sedikit. Penyebab sedikitnya
pasal yang mengatur badan hukum karena masyarakat
membicarakan badan hukum sesudah kodifikasi selesai dibuat.
Pada waktu itu masyarakat berpendapat bahwa cukup dengan
perkumpulan (zedelijk lichmaan), sehingga bentuk badan hukum
yang ada di dalam KUH Perdata adalah perkumpulan.
Badan hukum berasal dari bahasa Belanda yaitu
rechtpersoon. Badan hukum sebagai subyek hukum dapat
bertindak dalam lalu lintas hukum sehingga dapat melakukan
perbuatan-perbuatan hukum seperti manusia. Hal ini senada
dengan pendapat Rochmat Soemitro, yang mengartikan badan
hukum adalah suatu badan yang dapat mempunyai harta kekayaan,
hak dan kewajiban seperti orang-orang pribadi. 20 Pendapat lain
dikemukakan oleh Sri Soedewi Masjchoen, yang menyatakan
bahwa badan hukum adalah kumpulan orang-orang yang bersama-
sama bertujuan untuk mendirikan suatu badan yang: berwujud
himpunan, harta kekayaan yang disendirikan untuk tujuan
tertentu.21
Dari 2 (dua) definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan
bahwa unsur-unsur badan hukum yaitu :
1. berbentuk perkumpulan
20
Rochmat Soemitro, Hukum Perseroan Terbatas, Yayasan dan Wakaf
(Bandung : Erisco, 1993) hlm. 10.
21
Sri Soedewi Masjchoen, Hukum Badan Pribadi (Jogyakarta : Badan
Penerbit Gajah Mada, tt) hlm. 29.
22
2. mempunyai tujuan tertentu
3. mempunyai harta kekayaan
4. mempunyai hak dan kewajiban
5. mempunyai hak untuk menggugat dan digugat.
Badan hukum menurut bentuknya dibagi menjadi 2 (dua)
yaitu badan hukum privat dan badan hukum publik. Yang termasuk
badan hukum privat, misalnya perkumpulan, Perseroan Terbatas
(PT), Yayasan, Koperasi dan sebagainya. Sedangkan yang
termasuk badan hukum publik, misalnya negara, propinsi,
kabupaten, bank-bank negara dan sebagainya. Salah satu ciri utama
yang membedakan badan hukum publik dan privat, adalah dilihat
dari siapa yang mendirikan badan hukum tersebut. Jika didirikan
oleh pemerintah, maka dikategorikan sebagai badan hukum publik
dan sebaliknya jika tidak didirikan oleh pemerintah, misalnya
perseorangan badan hukum tersebut termasuk badan hukum privat.

C. Kecakapan Bertindak
Walaupun setiap orang tiada terkecuali sejak dilahirkan
merupakan subyek hukum, yang berarti memiliki kewenangan
hukum (rechtbevoegd), namun tidak selalu mampu atau cakap
melaksanakan sendiri hak dan kewajibannya.
Di dalam KUH Perdata ada beberapa golongan yang
dikategorikan sebagai orang yang tidak cakap melakukan
perbuatan hukum (handelingsonbekwaan), sebagaimana pasal 1330
KUH Perdata yaitu :
1. Orang-orang yang belum dewasa atau belum cukup umur, yaitu
mereka yang telah berumur 21 tahun.
2. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan, yaitu orang-orang
dewasa yang selalu berada dalam keadaan kurang ingatan,
sakit jiwa, mata gelap dan pemboros.
3. Orang perempuan yang telah kawin, sehingga untuk menghadap
ke pengadilan, memerlukan bantuan dari suaminya. 22
22
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, perempuan
yang sudah kawinpun tetap cakap untuk melakukan perbuatan hukum.Hal
ini dinyatakan dalam pasal 31, yang menyatakan bahwa hak dan
kedudukan isteri seimbang dengan hak dan kewajiban suami serta
23
4. Orang tertentu, yang oleh undang-undang telah melarang
melakukan perbuatan hukum, misalnya putusan pernyataan
pailit, mengubah status hukum seseorang menjadi tidak cakap
untuk melakukan perbuatan hukum.
Berdasarkan ketentuan di atas, subyek hukum orang
dianggap telah cakap bertindak untuk melakukan perbuatan hukum
apabila dirinya telah dewasa, sehat pikiran dan jiwanya, tidak
berada di bawah kekuasaan orang lain. Bagi mereka yang dianggap
tidak cakap bertindak dalam melakukan perbuatan hukum, maka
dalam melakukan perbuatan hukum di dalam dan di luar
pengadilan diwakili oleh orang lain yang ditunjuk oleh hakim
pengadilan yakni bisa orang tuanya, walinya atau pengampunya.
Untuk pengurusan dan pemberesan harta pailit dilakukan oleh
Balai Harta Peninggalan (weeskamer) dengan diawasi oleh hakim
Pengawas.
Seandainya orang yang termasuk tidak cakap tersebut
melakukan suatu tindakan hukum maka tindaknnya dianggap sah-
sah saja atau tetap berlaku, sepanjang para pihak tidak menuntut
pembatalan perbuatan hukum, yang dilakukan oleh hakim
pengadilan. Ini berarti menyebabkan perbuatan hukum yang
mereka lakukan menjadi batal dengan sendirinya, namun harus
dimintakan pembatalan terlebih dahulu kepada hakim pengadilan.
Pasal 1331 KUH Perdata menyatakan bahwa orang yang
tidak cakap melakukan perbuatan hukum, dapat menuntut
pembatalan perikatan-perikatan yang telah dilakukan. Apabila
terlanjur melakukan perbuatan hukum masih dapat menuntut
pembatalan perikatan-perikatan yang telah mereka lakukan kepada
hakim pengadilan.
Di dalam Pasal 47 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang menyatakan (1) anak yang
belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan
perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka
tidak dicabut dari kekuasaannya (2) orang tua mewakili anak
tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar

masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.


24
pengadilan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa menurut
UU Perkawinan, anak yang sudah berumur 18 tahun tidak perlu
diwakili lagi oleh orang tuanya sehingga perbuatan hukum yang
dilakukan sah secara hukum.
Dari penjelasan di atas nampak bahwa ada perbedaan
penentuan kedewasaan menurut hukum perdata. BW menyatakan
21 tahun dan Undang-Undang Perkawinan menyatakan 18 tahun.
Mayoritas sarjana berpendapat bahwa yang berlaku yang diatur
dalam Undang-Undang Perkawinan dengan berlandaskan pada
asas lex posterior derogate legi priori (hukum yang lama
dikalahkan oleh hukum yang baru apabila mengatur hal yang
sama)

D. Pendewasaan
Menurut pasal 330 KUH Perdata seorang digolongkan
dewasa apabila sudah berumur 21 tahun atau sudah kawin. KUH
Perdata memakai kriteria umur untuk menentukan dewasa atau
belum dewasa. Tetapi ketentuan umur 21 tahun di atas, sifatnya
tidak mutlak, karena kenyataannya walaupun belum berumur 21
tahun, apabila kepentingannya menghendaki, maka dapat
dinyatakan sebagai dewasa dan memungkinkan pada orang
tersebut untuk bertindak sendiri dan menjalankan hak-haknya atau
bertindak untuk memperoleh hak-hak istimewa yang ditetapkan
oleh undang-undang. Orang yang belum dewasa dapat dinyatakan
sebagai dewasa oleh hukum. Pernyataan ini disebut
“pendewasaan”. Dengan demikian pendewasaan adalah suatu
tindakan hukum yang menjadikan seseorang yang belum dewasa
boleh dinyatakan dewasa atau diberikan kepada seseorang hak
kedewasaan tertentu, agar dapat melakukan perbuatan hukum
tertentu walaupun masih di bawah umur.
Dengan demikian lembaga pendewasaan bertujuan untuk
memberikan kedudukan yang sama, anak-anak yang dinyatakan
dewasa sama dengan orang dewasa sehingga dirinya dapat
melakukan kepentingannya atau perbuatan hukum tertentu.
Pendewasaan dapat dibedakan dalam 2 (dua) macam yaitu:
25
2. Pendewasaan untuk meniadakan minderjarig secara
keseluruhan, yang disebut sebagai handlichting yang sempurna
(pasal 426 s/d 431 KUH Perdata)
3. Pendewasaan untuk hal-hal tertentu, yang disebut handlichting
yang terbatas (pasal 426 s/d 431 KUH Perdata).
Kedua pendewasaan tersebut harus memenuhi syarat yang
ditetapkan oleh undang-undang. Untuk pendewasaan penuh,
syaratnya apabila sudah berumur 20 tahun. Sedangkan untuk
pendewasaan terbatas, syaratnya sudah harus berumur 18 tahun
(pasal 421, 426 KUH Perdata).
Untuk pendewasaan penuh, yang bersangkutan harus
mengajukan permohonan kepada Presiden, dengan melampirkan
akta kelahiran dan bukti-bukti pendukung lainnya. Sebelum
memutuskan, presiden terlebih dahulu harus mendengarkan
pertimbangan Mahkamah Agung. Akibat dari pendewasaan penuh
maka status hukum yang bersangkutan sama dengan status hukum
orang dewasa. Namun jika ingin kawin, masih harus meminta
persetujuan dari orang tuanya.
Sebaliknya, untuk pendewasaan terbatas, yang bersangkutan
harus mengajukan permohonan ke pengadilan negeri. Pengadilan
negeri akan memutuskan setelah mendengar keterangan dari orang
tua atau wali. Pada pendewasaan terbatas, maka ketika dikabulkan
oleh hakim, maka pengadilan hanya akan memberikan ketetapan
pernyataan dewasa dalam perbuatan-perbuatan hukum tertentu
saja, sesuai dengan yang dimohon, misalnya mengurus dan
menjalankan perusahaan, membuat surat wasiat dan sebagainya.
Subekti menyatakan bahwa dalam praktik, pendewasaan
sangat jarang digunakan, terutama setelah berlakunya Undang-
Undang Perkawinan, yang di dalam pasal 34-nya menyatakan
bahwa seorang dikatakan dewasa jika sudah yang berumur 18
tahun.23

23
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata (Jakarta : Intermasa, 1995) hlm.
43.
26
E. Pengampuan
Pengampuan (curatele) adalah suatu keadaan seseorang
(curandus) karena sifat-sifat pribadinya dianggap tidak cakap atau
tidak cakap untuk bertindak sendiri (pribadi) di dalam lalu lintas
hukum. Atas dasar tersebut dengan keputusan hakim dimasukan ke
dalam golongan orang yang tidak cakap bertindak. Karenanya
orang tersebut diberi seorang wakil menurut undang-undang yang
disebut pengampu atau curator.
Dengan demikian berdasarkan alas an tertentu, seseroang
yang sudah dewasa disamakan kedudukannya dengan yang yang
minderjarig, karenanya walaupun dewasa namun dianggap tidak
cakap untuk melakukan perbuatan hukum. Untuk melakukan
perbuatan hukum, haruslah diwakili oleh seorang pengampu yang
ditunjuk oleh pengadilan.24
Pengampuan diatur dalam pasal 433 s/d 462 KUH Perdata.
Pasal 436 KUH perdata menyatakan bahwa yang berwenang
menetapkan pengampuan adalah pengadilan negeri dalam wilayah
hukum domisili orang yang akan ditaruh di bawah pengampuan.
Alasan-alasan penempatan seseorang di bawah pengampuan
adalah :
1. Imbisil (tolol, bodoh, dungu)
2. Sakit otak/sakit ingatan atau gelap mata, meskipun kadang-
kadang cakap menggunakan pikirannya.
3. Pemborosan.
Adapun pihak-pihak yang berhak untuk mengajukan
penempatan di bawah pengampuan adalah:
1. Apabila karena alasan imbisil atau sakit ingatan,
maka pengampuan dapat diajukan oleh anggota keluarga
sedarah
2. Apabila lemah pikiran/lemah daya, yang
mengajukan adalah yang bersangkutan

24
Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan
di Indonesia.hlm.87.
27
3. Dalam hal pemborosan, yang dapat mengajukan
hanyalah keluarga sedarah dalam garis lurus dan garis samping
sampai derajat keempat atau diajukan oleh suami/isteri.
4. Dalam hal mata gelap, maka jaksa wajib memohon
penempatan curatele bilamana keluarga terdekat di atas tidak
mengajukan pengampuan. Atau jika yang bersangkutan tidak
memiliki keluarga, maka jaksa yang dapat mengajukannya.
Di dalam pengajuan permohonan penempatan di bawah
pengampuan, pemohon harus menyebutkan fakta-fakta dan alat-
alat bukti yang menyatakan keadaan orang-orang yang
dimohonkan pengampuan dan untuk mendukung fakta/alat bukti
tersebut, harus juga dihadirkan saksi-saksi. Apabila permintaan
pengampuan diajukan oleh orang yang besangkutan sendiri, maka
suami/isteri harus didengar pendapatnya.
Setelah permohonan diajukan, maka untuk melindungi
kepentingan orang yang bersangkutan, pengadilan mengangkat
seorang pengurus sementara. Tujuan diangkatnya pengurus
sementara tersebut untuk menyelamatkan pengelolaan harta
bendanya. Dan setelah pengadilan memutuskan, dan putusan
tersebut mempunyai kekuatan hukum tetap, maka ditetapkan
seorang pengampu/curator. Pengurus sementara wajib
menyerahkan perhitungan pertanggungjawaban atas
pengurusannya kepada curator. Pengangkatan pengampu tersebut
harus segera diberitahukan kepada Balai Harta Peninggalan (BHP)
yang berkedudukan sebagai pengampu pengawas.
Pengampuan yang diputuskan oleh pengadilan berakhir
karena;
1. dalam arti absolut : karena kematian curandus, atau bilamana
terdapat putusan pengadilan yang bersifat tetap yang
menyatakan bahwa sebab dan alasan-alasan pengampuan telah
dihapus.
2. dalam arti relatif : karena kematian curator, dipecatnya curator
atau karena diangkatnya suami/isteri sebagai curator, yang
sebelumnya merupakan curandus.
28
F. Domisili
Menurut hukum setiap subyek hukum (manusia maupun
badan hukum) harus memiliki domisili. Dengan domisili, tempat
tinggal atau tempat kediaman adalah tempat dimana seseorang
dianggap senantiasa berada/selalu hadir untuk melaksanakan hak-
haknya dan untuk melaksanakan kewajiban-kewajibannya.
Domisili disebut juga tempat kediaman, tempat kedudukan atau
alamat.25
Sebagaimana pengertian di atas, domisili berhubungan
dengan hak dan kewajiban, baik dalam bidang hukum publik
ataupun dalam hukum perdata. Pentingnya domisili bagi subyek
hukum antara lain:
1. untuk menentukan dimana seseorang harus
melakukan perkawinan.
2. kewajiban membayar Pajak Bumi dan Bangunan
(PBB) hanya dapat dipenuhi di tempat dimana yang
bersangkutan tinggal
3. untuk menentukan subyek hukum harus dipanggil
dan ditarik dimuka pengadilan
4. untuk menentukan pengadilan mana yang berkuasa
terhadap subyek hukum tersebut. Hal ini berhubungan dengan
azas actor sequitur forum rei, yang menentukan bahwa
gugatan diajukan di pengadilan dalam wilayah hukum tergugat
berdomisili.
Menurut pasal 17 KUH Perdata, setiap orang dianggap
bertempat tinggal dimana seseorang hidup atau dimana seseorang
menempatkan pusat kediaman. Apabila sulit ditetapkan maka
tempat tinggal yang senyatanya dapat dianggap sebagai domisili.
Perpindahan tempat tinggal dilakukan dengan memindahkan rumah
kediamannya ke tempat lain dengan maksud akan menempatkan
pusat kediamannya di tempat baru tersebut.
Selanjutnya pasal 18 KUH Perdata menyatakan bahwa
perpindahan tempat tinggal dilakukan dengan memindahkan rumah
kediamannya ke tempat lain. Dengan demikian berarti penetapan

25
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, hlm. 35
29
dan perpindahan domisili ditentukan oleh adanya kehendak
(animus) dan perbuatan (corpus) diri seseorang, apakah dirinya
berkendak dan berbuat untuk menentukan atau mengubah tempat
tinggalnya.26
Macam-macam domisili antara lain :
1. Domisili terikat/wajib, yaitu tempat kediaman yang tidak
tergantung pada keadaan-keadaan orang yang bersangkutan itu
sendiri, tetapi tergantung pada keadaan-keadaan orang lain.
Orang-orang yang memiliki domisili wajib misalnya : isteri
mempunyai domisili di tempat tinggal suami, anak yang belum
dewasa mempunyai domisili di tempat tinggal orang tua,
buruh mempunyai domisili di tempat tinggal majikan, dengan
syarat tinggal di rumah majikan dan orang yang ditaruh di
bawah pengampuan mempunyai domisili di tempat tinggal
curatornya.
2. Domisili bebas/berdiri sendiri, yaitu domisili seseorang yang
dalam menentukan domisilinya tidak berdasarkan
hubungannya dengan orang lain. Domisili bebas terdiri dari 2
(dua) macam yaitu:
a. Domisili yang sesungguhnya, yaitu tempat yang berkaitan
dengan hal melakukan wewenang perdata pada umumnya
(tempat kediaman seseorang sehari-hari)
b. Domisili pilihan, yaitu domisili yang ditentukan atau
dipilih oleh seseorang berhubung akan melaksanakan
perbuatan hukum tertentu, umumnya dalam suatu
perjanjian biasanya ditentukan domisili atau forum atau
hukum apabila terjadi pertikaian di dalam pelaksanaannya.
Misalnya dalam perjanjian jual beli, bahwa penjual dan
pembeli sepakat, bahwa jika nanti terjadi perselisihan,
keduanya memilih pengadilan negeri Surabaya. Untuk itu
dibuatkan sebuah akta.
Domisili juga berkait dengan tempat kematian seseorang
atau tempat tinggal terakhir. Menurut pasal 23 KUH Perdata
tempat/rumah kematian orang yang meninggal dunia adalah
26
Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan
di Indonesia.hlm.89.
30
tempat tinggal terakhir. Pada umumnya penentuan tempat kematian
berkait dengan hukum waris, hakim mana yang berwenang untuk
mengadili warisan itu dan berkait dengan peraturan yang
memperkenankan kepada para piutang untuk menggugat seluruh
ahli waris pada rumah kematian tersebut, untuk membereskan
urusan hutang pewaris, didalam waktu enam bulan sesudah
meninggalnya seseorang.27

G. Catatan Sipil
Istilah catatan sipil berasal dari Burgelijke Stand (Belanda),
yang diatur di dalam pasal 4 s/d 16 KUH Perdata. Catatan sipil
adalah lembaga yang bertujuan mengadakan perndaftaran,
pencatatan serta pembukuan yang selengkap-lengkapnya dan
sejelas-jelasnya serta memberi kepastian hukum yang sebesar-
besarnya atas peristiwa kelahiran, perkawinan dan kematian. 28
Di dalam art 16 NBW Baru di negara Belanda, catatan sipil
merupakan institusi untuk meregistrasi kedudukan hukum
mengenai pribadi seseorang terhadap kelahirannya,
perkawinannya, perceraiannya, orang tuanya dan kematiannya.
Dengan demikian ada 5 (lima) jenis register catatan sipil
yaitu :
1. Akta Kelahiran
Akta kelahiran adalah akta yang dikeluarkan oleh pejabat, yang
berkaitan dengan adanya kelahiran. Pencatatan kelahiran
sangat penting yaitu untuk memudahkan pembuktian dalam
masalah warisan. Selain itu biasanya akta kelahiran akan
menjadi syarat ketika seseorang akan menempuh pendidikan,
sejak Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi
2. Akta Perkawinan
Akta perkawinan adalah akta yang diterbitkan oleh pejabat
yang berwenang, yang isinya menerangkan bahwa telah terjadi
27
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata (Jakarta : Intermasa, 1979) hlm.
91.
28
Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW) hlm. 42.
31
perkawinan. Akta perkawinan yang dikeluarkan oleh Kantor
Catatan Sipil adalah perkawinan bagi orang yang non Islam
(Kristen, Budha, Hindu dan Katolik). Sedangkan bagi yang
beragama Islam pencatatannya dilakukan oleh Kantor Urusan
Agama (KUA).
3. Akta perceraian
Akta perceraian adalah akta yang diterbitkan oleh pejabat yang
berwenang setelah adanya putusan dari pengadilan. Pejabat
yang berwenang untuk menerbitkan akta perceraian bagi orang
yang beragama Islam adalah Pengadilan agama. Dan bagi
orang yang non Islam adalah Kantor Catatan Sipil, dengan
syarat bahwa perceraian dari pengadilan negeri tersebut telah
mempunyai kekuatan hukum yang tetap (inkracht).
4. Akta pengakuan dan pengesahan anak
Akta pengakuan dan pengesahan anak adalah akta yang
berkaitan dengan pengakuan dan pengesahan terhadap anak
luar kawin. Dengan adanya pengakuan tersebut maka akan
menimbulkan hubungan hukum antara anak dengan ayah yang
mengakuinya.
5. Akta Kematian
Akta Kematian adalah akta yang berkait dengan meninggalnya
seseorang. Fungsi dari akta kematian antara lain : menetapkan
wali bagi anak yang belum berusia 18 tahun, menetapkan
waris, menetapkan masa tunggu (iddah) bagi janda yang akan
melakukan perkawinan lagi.
Lembaga yang berwenang mengeluarkan register catatan
sipil itu adalah kantor Catatan Sipil di kabupaten/kotamadya.
Sebagaimana akta otentik lainnya, yang diberikan kepada yang
bersangkutan adalah salinan/turunannya, sedangkan aslinya
disimpan di kantor Catatan Sipil.

H. Ketidakhadiran
Jika seseorang tidak berada di tempatnya, maka dapatlah
dinyatakan bagaimana kedudukannya sebagai persoon. Keadaan
tidak berada di tempat tidak menghentikan wewenang berhaknya
seseorang. Akan tetapi keadaan demikian dapat menimbulkan
32
ketidakpastian hukum. Oleh karena itu pembuat undang-undang
perlu menganggap perlu mengatur hal tiada di tempat.
Yang disebut sebagai “ketidakhadiran atau keadaan tidak
hadir” adalah keadaan tidak adanya seseorang di tempat
kediamannya (domisili) karena bepergian atau meninggalkan
tempat kediaman baik dengan izin atau tanpa izin dan tidak
diketahui keberadaannya. Dengan meninggalkan domisili, orang
tersebut tidak melaksanakan hak-haknya dan menunaikan
kewajiban-kewajibannya. Tujuan dari lembaga ketidakhadiran ini
adalah memberikan kepastian hak-hak keperdataan seseorang, baik
bagi yang meninggalkan maupun yang ditinggalkan.29
Dari pengertian di atas maka seorang yang meninggalkan
tempat yang relatif lama, tetapi tidak menunjuk orang lain untuk
mengurus kepentingannya (baik hak maupun kewajiban), maka
dapat dinyatakan sebagai tidak hadir.
Untuk dapat dinyatakan dalam keadaan tidak hadir, haruslah
memenuhi unsur-unsur yang ditetapkan dalam pasal 463 KUH
Perdata, yaitu :
1. meninggalkan tempat kediaman
2. tidak memberi kuasa kepada orang lain untuk mewakilinya
3. dengan izin atau tanpa izin artinya dengan persetujuan dan
sepengetahuan keluarga atau tanpa persetujuan dan tanpa
diketahui oleh keluarga.
4. tidak diketahui dimana yang bersangkutan berada dan
tidak memberi kabar atau karena sulit komunikasi.
Misalnya tidak memberi kabar karena terjadi peperangan,
kecelakaan dan sebagainya.
Yang berhak untuk memohon penunjukan wakil antara lain :
orang-orang yang berkepentingan, misalnya kreditur, kejaksaan
dan dapat ditetapkan sendiri oleh pengadilan negeri karena
jabatannya. Sedangkan pihak yang dapat ditunjuk sebagai wakil
adalah Balai Harta Peninggalan (BHP) dan keluarga sedarah atau
samenda yang terdekat atau suami/isteri dari orang yang “tidak
hadir” bilamana nilai harta kekayaan tidak besar.
29
Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan
di Indonesia.hlm 91.
33
Mengenai tahap-tahap penyelesaian keadaan tidak hadir
seseorang, KUH Perdata mengatur sebagai berikut:
1. Menetapkan ketidakhadiran dan menunjuk wakil untuk
memelihara kepentingan orang yang tidak hadir, yang meliputi
kepentingan harta kebendaan dan kepentingan-kepentingan
mengenai pribadinya. Tindakan ini merupakan tindakan
sementara jika terjadi ketidakhadiran.
2. Penetapan tentang dianggapnya seseorang telah meninggal
dunia.
3. Menetapkan pewarisan secara definitif. Keadaan definitif ini
dapat diterima jika sudah ada kabar kepastian meninggal dunia
orang yang tidak hadir itu.
Adapun waktu selama beberapa lama seseorang dapat
dikategorikan tidak hadir, pasal 467 dan 470 KUH Perdata
mengatur sebagai berikut :
1. 5 tahun sejak keberangkatan dari tempat tinggal, atau 5
tahun setelah diperoleh kabar terakhir, dan jika yang tidak
hadir tidak mengangkat seorang kuasa untuk mengurusi
kepentingannya atau tidak mengatur pengurusannya.
2. 10 tahun apabila yang tidak hadir meninggalkan kuasa atau
mengatur pengurusan
3. 1 tahun apabila yang tidak hadir berpergian ke tempat yang
berbahaya, atau merupakan penumpang pesawat yang
dinyatakan hilang atau mengalami kecelakaan
Sebelum pengadilan memutuskan bahwa seseorang telah
meninggal dunia, terlebih dahulu harus diadakan pemanggilan
sebanyak 3 (tiga) kali, yang dicantumkan di tempat khusus untuk
pengumuman-pengumuman di pengadilan dan kantor Pemerintah
Daerah di tempat tinggal terakhir orang yang tidak hadir dan
diumumkan di surat kabar.
Setelah diumumkan ke khalayak, maka pengadilan
memutuskan bahwa orang yang tidak hadir tersebut dianggap
meninggal dunia. Akibat dari keterangan asumsi keterangan adalah
sebagai berikut :
1. hak-hak orang yang tidak hadir itu beralih secara sementara
beralih ke ahli warisnya
34
2. menuntut agar Balai Harta Peninggalan menyerahkan barang-
barang, rincian, perhitungan dan pertanggungjawaban
3. suami atau isteri yang ditinggalkan dan telah kawin dalam
perkawinan, harta perkawinan bersama atau dengan perjanjian
kawin, terdapat alternatif :
-meneruskan keadaan yang telah ada untuk waktu tertentu
(paling lama 10 tahun)
-secara langsung mengadakan pembagian harta kekayaan
Hak-hak orang yang tidak hadir akan beralih kepada ahli
waris secara definitif sesudah 30 tahun. Artinya apabila setelah 30
tahun orang yang tidak hadir tersebut datang, maka ia tidak dapat
mempersoalkan hak-haknya yang pernah ditinggalkannya.

BAB III
HUKUM BENDA (ZAKENRECHT)

A. Pengertian Benda dan Hukum Benda


Dalam kehidupan manusia, tidak dapat dilepaskan dari
benda. Dalam kehidupan sehari-hari “benda” (zaak) adalah segala
35
sesuatu yang dapat dihaki oleh orang. 30 Kata benda disebut juga
obyek sebagai lawan dari subyek atau orang di dalam hukum.
Istilah benda seringkali dihubungkan dengan kekayaan
seseorang, sehingga ruang lingkup benda juga meliputi barang-
barang yang tidak dapat dilihat, misalnya hak piutang. Di dalam
berbagai literatur dikenal 3 (tiga) macam pengertian benda, yaitu :
1. benda yang dapat dilihat dan berwujud
2. kekayaan seseorang yang berupa hak dan penghasilan
3. obyek hukum, yang merupakan lawan dari subyek hukum.31
Hal yang berkait dengan pengertian benda sebagaimana
diatur dalam pasal 499 KUH Perdata, yang menyatakan bahwa
kebendaan adalah tiap-tiap barang dan tiap-tiap hak yang dapat
dikuasai oleh hak milik. Dan pada umumnya benda dibedakan
menjadi 2 (dua) macam yaitu benda berwujud dan benda yang
tidak dapat diraba.32
Benda berwujud adalah benda yang dapat diraba dan dilihat
oleh panca indera, sebaliknya contoh benda yang tidak dapat
diraba, merupakan hasil pikiran manusia, misalnya hak pengarang,
hak tagihan dan sebagainya. Yang dimaksud benda menurut KUH
Perdata adalah pengertian obyek benda yang dapat diraba.
Sedangkan hak-hak yang bersifat inmateriil tidak diatur dalam
Buku II KUH Perdata, melainkan diatur dalam aturan
perundangan-undangan yang tersendiri.

B. Macam-Macam Benda
Di dalam pasal 503, 504 dan 505 KUH Perdata mengatur
tentang pembagian benda. Dan secara garis besar benda dibagi
menjadi 2 (dua) macam, yaitu :
1. benda bertubuh dan tidak bertubuh
2. benda bergerak dan tidak bergerak33
30
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata , hlm. 60.
31
Ibid.
32
Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW) hlm. 96.
33
Ibid. hlm. 97.
36
Undang-undang membagi benda dalam beberapa macam
yaitu :
1. benda yang dapat diganti (misalnya uang) dan benda yang
tidak dapat diganti (misalnya lukisan)
2. benda yang dapat diperdagangkan (memiliki nilai ekonomis),
misalnya mobil dan benda yang tidak dapat diperdagangkan
(misalnya laut, jalan raya)
3. benda yang dapat dibagi (misalnya uang) dan yang tidak dapat
dibagi (misalnya kuda)
4. benda yang bergerak (misalnya meja, kursi) dan yang tidak
bergerak (misalnya tanah)
Pembagian benda yang paling penting jika dihubungkan
dengan hukum adalah pembagian “benda bergerak” dan “benda
tidak bergerak”
Suatu benda dapat digolongkan sebagai benda tidak
bergerak, pertama karena sifatnya, kedua karena tujuan
pemakaiannya dan yang ketiga karena memang ditentukan oleh
undang-undang. Benda tidak bergerak karena sifatnya, misalnya
tanah, yaitu segala sesuatu yang secara langsung atau tidak
langsung digabungkan menjadi satu dengan tanah. Tak bergerak
karena tujuan pemakaiannya, yaitu segala apa yang meskipun tidak
digabungkan dengan tanah atau bangunan, dimaksudkan untuk
mengikuti tanah atau bangunan itu untuk waktu yang relatif lama,
misalnya mesin di pabrik yang melekat di tanah. Dan benda tidak
bergerak karena undang-undang, adalah hak atau penagihan
mengenai suatu benda yang tidak bergerak, misalnya hak opstal,
hak erpacht dan sebagainya.
Suatu benda digolongkan sebagai benda bergerak karena
sifatnya atau karena ditentukan oleh undang-undang. Suatu benda
termasuk benda bergerak karena sifatnya yang tidak bergabung
dengan tanah atau bangunan, misalnya perabotan yang ada di
dalam rumah. Tergolong benda bergerak karena undang-undang
misalnya hak atas suatu karangan tulisan, surat-surat sero dan
sebagainya.
Pembagian benda bergerak dan tidak bergerak sangat penting
untuk menentukan dalam beberapa hal, misalnya :
37
1. berkait dengan penyerahan (livering). Hal ini disebabkan benda
yang tidak bergerak memerlukan pendaftaran, misalnya jual
beli tanah, maka harus didaftarkan ke Kantor Badan
Pertanahan Nasional. Sedangkan penyerahan benda bergerak
biasanya dilakukan dengan penyerahan nyata.
2. berkait dengan jaminan (pembebanan), karena jaminan benda
bergerak atau tidak bergerak, keduanya masing-masing
memiliki lembaga jaminan tersendiri.
Istilah hukum benda (zakenrecht) adalah kaidah-kaidah
hukum yang mengatur hubungan hukum antara subyek hukum
dengan benda dan hak kebendaan. Dengan demikian ruang lingkup
kajian hukum benda meliputi :
1. mengatur hubungan antara subyek hukum dengan benda
2. mengatur hubungan antara subyek hukum dengan hak
kebendaan
Hukum benda diatur dalam Buku II KUH Perdata, yang
jumlah pasalnya sebanyak 733 pasal. Hal-hal yang diatur dalam
hukum benda meliputi hal-hal sebagai berikut :
1. Kebendaan dan cara membedakannya (pasal 499 s/d 528 KUH
Perdata)
2. Bezit (pasal 529 s/d 568 KUH Perdata)
Ketentuan yang diatur di dalam bezit antara lain : sifat bezit
dan berang yang dapat dikuasai dengan bezit, cara
memperoleh, mempertahankan dan berakhirnya bezit dan hak-
hak yang timbul karena bezit
3. Hak milik(pasal 570 s/d 624 KUH Perdata)
4. Hak dan kewajiban antara pemilik dan tetangga (pasal 625 s/d
672 KUH Perdata)
5. Kerja rodi (pasal 673 KUH Perdata)
6. Pengabdian pekarangan (pasal 674 s/d 710 KUH Perdata)
7. Hak numpang karang (pasal 711 s/d 719 KUH Perdata)
8. Hak usaha (erfpacht) (pasal 720 s/d 736 KUH Perdata)
9. Bunga tanah dan hasil sepersepuluh (pasal 737 s/d 755 KUH
Perdata)
10. Hak pakai usaha (pasal 756 s/d 817 KUH Perdata)
11. Hak pakai dan hak mendiami (pasal 818 s/d 829 KUH Perdata)
38
12. Pewarisan karena kematian (pasal 830 s/d 873 KUH Perdata)
13. Surat wasiat (pasal 874 s/d 1004 KUH Perdata)
14. Pelaksanaan wasiat dan pengurus harta peninggalan (pasal
1005 s/d 1022 KUH Perdata)
15. Hak berpikir dan hak istimewa untuk merinci harta
peninggalan (pasal 1023 s/d 1043 KUH Perdata)
16. Menerima dan menolak harta peninggalan (pasal 1044 s/d
1065 KUH Perdata)
17. Pemisahan harta peninggalan (pasal 1066 s/d 1125 KUH
Perdata)
18. Harta peninggalan yang tidak terurus (pasal 1126 s/d 1130
KUH Perdata)
19. Piutang yang diistimewakan (privilige) (pasal 1131 s/d 1149
KUH Perdata)
20. Gadai (pasal 1150 s/d 1161 KUH Perdata)
21. Hipotik (pasal 1162 s/d 1232 KUH Perdata)34

C. Hak Kebendaan
Pada dasarnya, hak manusia dibagi menjadi 2 (dua) macam,
yaitu hak perorangan dan hak kebendaan. Pembagian hak tersebut
berasal dari hukum Romawi, yang membagi hak penuntutan, yaitu
actiones in personaam (penuntutan perorangan) dan actions in rem
(penuntutan kebendaan)
Penuntutan perorangan (hak perorangan) adalah hak untuk
memberikan suatu tuntutan atau penagihan terhadap seseorang,
sehingga hak tersebut hanya dapat dipertahankan kepada orang
tertentu saja.
Sebaliknya hak kebendaan (zakelijkrecht) adalah hak untuk
menguasai benda tertentu. Secara umum hak kebendaan dibagi
menjadi 2 (dua) macam, yaitu :
1. hak menikmati
2. hak jaminan
Yang disebut hak menikmati adalah hak dari subyek hukum
untuk menikmati suatu benda secara penuh (misalnya hak milik)

34
Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW)hlm. 94.
39
maupun secara terbatas (hak atas pengabdian pekarangan).
Sedangkan yang disebut hak jaminan adalah hak dari kreditur
untuk didahulukan untuk mengambil pelunasan dari hasil barang
yang dibebani dengan jaminan, misalnya hak tanggungan atas
tanah.
Hak kebendaan memiliki ciri-ciri, sebagai berikut:
1. Zaaksgevold (droit de suit), yaitu hak mengikuti, artinya benda
secara terus-menerus mengikuti benda tersebut dimanapun
benda itu berada.
2. Preference, artinya hak untuk mengambil pelunasan terlebih
dahulu atas penjualan barang tersebut
3. Zakelijke actie, artinya hak untuk menggugat apabila terjadi
gangguan atas hak tersebut.35

D. Hak Milik
1. Pengertian Hak Milik
Hak milik diatur dalam Buku II KUH Perdata dan Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Undang-Undang Pokok
Agraria. Hak milik di dalam KUH Perdata diatur dalam pasal 570
s/d 624 KUH Perdata, sedangkan di dalam Undang-Undang Pokok
Agraria diatur dalam pasal 20 s/d 27. Dengan demikian hak milik
yang diatur dalam KUH Perdata hanyalah menyangkut hak milik
benda bergerak dan barang tidak bergerak yang bukan tanah. 36
Menurut pasal 570 KUH Perdata, hak milik adalah hak
sepenuhnya dan untuk menguasai benda dengan sebebas-bebasnya,
asal tidak dipergunakan bertentangan dengan undang-undang atau
peraturan umum yang diadakan oleh kekuasaan yang mempunyai
wewenang untuk itu, semuanya itu dengan tidak mengurangi
kemungkinan pencabutan hak itu untuk kepentingan umum dengan
pembayaran ganti kerugian yang layak dan menurut ketentuan
undang-undang.
Dari isi pasal 570 KUH Perdata tersebut di atas nampak
bahwa hak milik adalah :

35
Ibid. hlm. 100.
36
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, hlm 143.
40
1. Hak yang paling utama, karena pemilik dengan sebebas-
bebasnya menikmati dan menguasai benda miliknya
2. Dapak menikmati, artinya pemilik dapat seluas-luasnya
memanfaatkan semaksimal mungkin dan mengambil hasil
yang sebanyak-banyaknya
3. Dapat menguasai sebebas-bebasnya, artinya pemilik dapat
melakukan apa saja tanpa batas terhadap benda miliknya,
misalnya mengalihkannya, merubah bentuk dan sebagainya.
4. Tidak dapat diganggu gugat, baik oleh orang lain maupun oleh
penguasa, kecuali dengan syarat-syarat dan menurut ketentuan
undang-undang.
5. Tidak dapat diganggu gugat artinya pemiliknya secara wajar
memperhatikan kepentingan orang lain (kepentingan umum).
Sedangkan menurut pasal 20 Undang-Undang Pokok
Agraria, hak milik diartikan sebagai hak turun temurun, terkuat dan
terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah dengan mengingat
ketentuan yang tercantum dalam pasal 6 UUPA.
Pada dasarnya, pemilik atas tanah dapat menggunakan
haknya sesuai dengan kehendaknya, namun undang-undang
membatasinya dengan memperhatikan fungsi sosial. Artinya
apabila kepentingan umum menghendakinya maka tanah itu dapat
dibebaskan dengan memberikan ganti rugi yang layak pada
pemiliknya.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa hak milik, baik
yang diatur dalam KUH Perdata, harus memperhatikan hal-hak
sebagai berikut:
1. Tidak bertentangan dengan undang-undang dan peraturan
umum yang berlaku, misalnya pemilik rumah dilarang
menggunakan rumahnya untuk tempat perdagangan narkotika
dan perjudian.
Di dalam praktik “bertentangan dengan undang-undang’ ini
telah diperluas dengan “bertentangan dengan hukum”. Dengan
demikian hak milik tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai
yang hidup di masyarakat dan keadilan. Misalnya suatu rumah
digunakan sebagai tempat pelacuran.
2. Tidak menimbulkan gangguan
41
Penggunaan hak milik tidak boleh menimbulkan gangguan
terhadap orang lain atau hak-hak orang lain. Misalnya pemilik
tape recorder membunyikan keras-keras di suatu kampung,
sehingga mengganggu ketentraman tetangga, pemilik pabrik
membuang limbah sembarangan sehingga air yang
dipergunakan oleh warga tercermar.
3. Tidak menyalahgunakan hak
Seseorang yang memiliki suatu benda, tidak berarti bahwa
dapat berbuat sekehendak hatinya, sehingga menyalahgunakan
haknya. Penggunaan hak dibatasi oleh hak orang lain, sehingga
idealnya hak milik harus dipergunakan secara wajar.
Menurut Prof A Pitlo, penyelahgunaan hak adalah
menggunakan hak, yang dapat menimbulkan kerugian yang
lebih besar pada orang lain, jika dibandingkan dengan manfaat
dari penggunaan hak milik tersebut.
4. Pembatasan hukum tetangga
Hukum tentangga adalah hukum yang membatasi kebebasan
seseorang dalam penggunaan penguasaan hak milik. Terlebih
jika konsep ini dihubungkan dengan pasal 6 Undang-Undang
Pokok Agraria, yang menyatakan bahwa hak milik mempunyai
fungsi sosial. Karena hidup bertetangga merupakan hidup
bermasyarakat maka hak milik perlu dibatasi. Pembatasan oleh
hukum tetangga bukan berarti mengurangi kenikmatan dari hak
milik seseorang tetapi untuk mewujudkan ketentraman dan
ketertiban dalam hidup bertetangga.
5. Pencabutan hak untuk kepentingan umum
Hak milik dapat dicabut apabila kepentingan umum
menghendaki, misalnya untuk pembangunan rumah sakit, jalan
raya, pasar dan sebagainya. Dalam pencabutan hak milik
haruslah memenuhi prosedur yang telah ditentukan oleh
Undang-Undang, sehingga pemerintah tidak dapat secara
gampang mencabut hak milik orang, tanpa alasan yang
dibenarkan.
Dan untuk keseimbangan dalam rangka memenuhi keadilan
dalam masyarakat, maka pencabutan hak milik untuk
kepetingan umum haruslah dengan ganti rugi yang layak dan
42
dengan prosedur yang benar dan konsisten dalam
pelaksanaannya.

2. Cara-Cara Memperoleh Hak Milik


Cara memperoleh hak milik diatur dalam pasal 584 KUH
Perdata, yang menyatakan bahwa ada 5 (lima) cara memperoleh
hak milik yaitu :
a. Pendakuan (toeeigening), yaitu memperoleh hak milik atas
benda-benda yang tidak ada pemiliknya (res nullius). Ciri
utama dari res nullius adalah hanya terbatas pada benda
bergerak saja. Misalnya memancing ikan di laut, mengambil
kayu kering di hutan dan sebagainya.
b. Perlekatan (natrekking), yaitu memperoleh hak milik suatu
benda yang semakin besar atau berlipat jumlahnya, yang
disebabkan karena alam. Misalnya pohon berbuah, kuda
beranak dan sebagainya
c. Daluarsa (verjaring) yaitu cara memperoleh hak
milik karena bebasnya suatu perikatan sebagai akibat lewatnya
waktu, dengan syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-
undang. Ada 2 (dua) macam daluarsa yaitu : (1) acquisitieve
verjaring, yaitu memperoleh hak milik karena lewatnya waktu
dan (2) extinctieve verjaring, yaitu membebaskan seseorang
dari penagihan atau tuntutan hukum karena lewat waktu. Di
dalam hukum ada 4 syarat kaduarsa yaitu : bezitter sebagai
pemilik, bezitter harus beritikat baik, terus-menerus dan tidak
terputus-putus dan telah berusia 20 tahun atau 30 tahun (pasal
1963 KUH Perdata)
d. Pewarisan, yaitu beralihnya hak milik atau harta warisan dari
orang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya. Pewarisan
dapat terjadi karena Undang-Undang dan karena wasiat
e. Penyerahan, yaitu perbuatan hukum yang
bertujuan untuk memindahkan hak milik kepada pihak lain. 37

3. Hapusnya Hak Milik

37
Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW)hlm. 102-103
43
Menurut hukum, walaupun hak milik merupakan hak yang
terkuat dan sempurna, namun hak tersebut dapat hilang/hapus,
yang disebabkan, yaitu :
a. Orang lain memperoleh hak milik dengan salah satu cara
memperoleh hak milik, sebagaimana dikemukakan di atas
b. Bendanya musnah
c. Pemilik melepaskan benda tersebut
d. Benda/binatang menjadi liar atau lari dari pemiliknya 38

E. Bezit
1. Pengertian bezit
Bezit adalah suatu hak kebendaan yang unik dalam hukum
Barat. Istilah bezit berasal dari kata zitten (Belanda), yang artinya
menduduki, menguasai. Di dalam KUH Perdata, bezit diatur dalam
pasal 529 s/d 568. Dan bezit sering dilawankan dengan pengertian
“eigendom” atau hak milik atas suatu benda.
Menurut pasal 529 KUH Perdata, bezit diartikan sebagai
suatu keadaan senyatanya, seseorang menguasai atau menikmati
suatu benda bergerak ataupun tidak bergerak, namun secara yuridis
formal benda itu belum tentu miliknya. Ini berarti bezitter hanya
menguasai benda secara materiil saja, sedangkan secara formal
benda itu milikk orang lain. Atau dengan redaksi yang lain, bezit
adalah keadaan lahir, dimana seseorang menguasai suatu benda
seolah-olah kepunyaannya sendiri, yang oleh hukum dilindungi,
dengan tidak mempersoalkan hak milik atas benda itu sebenarnya
ada pada siapa. Misalnya Amin secara lahir menguasai sebuah
sepeda. Namun secara yuridis Amin belum tentu pemilik dari
sepeda tersebut, sebab mungkin saja sepeda itu milik Budi yang
dititipkan kepada Amin. Maka pada contoh ini, Amin bertindak
sebagai bezitter atas sepeda tersebut.
Bezit adalah suatu keadaan yang senyatanya, dimana
seseorang menguasai suatu benda, baik benda bergerak maupun
tidak bergerak. Untuk dikategorikan sebagai bezit diharuskan
mempunyai 2 (dua) anasir yaitu kekuasaan suatu benda dan

38
Ibid. hlm. 104.
44
kemauan untuk memiliki benda tersebut. Karenanya bezit harus
dibedakan dengan detentie, dimana seseorang menguasai suatu
benda berdasarkan suatu hubungan hukum dengan seorang lain,
yaitu pemilik atau bezitter dari benda itu. Seorang penyewa
dikategorikan sebagai detentor, karena kemauan untuk memiliki
benda yang dikuasainya tersebut tidak ada.39
Unsur-unsur yang harus ada agar suatu penguasaan
dikatakan sebagai bezit, adalah :
a. adanya orang yang menguasai (bezitter)
b. adanya obyek hukum
c. penguasaan secara materiil
d. bezitter dilindungi oleh hukum
e. tidak dipersoalkan obyek itu milik siapa
Bezit dapat berada di tangan pemilik benda itu sendiri, dan
orang tersebut disebut bezitter eigenaar. Namun juga dapat berada
di tangan orang lain.
Bezit yang beada di tangan orang lain dapat dibedakan
menjadi 2 (dua) macam yaitu :
1. Bezitter yang jujur (to goeder trouw)
Bezit ini terjadi apabila bezitter memperoleh benda itu tanpa
adanya cacat-cacat di dalamnya. Seorang bezitter yang jujur
sungguh-sungguh mengira bahwa benda yang dikuasai itu adalah
miliknya sendiri, misalnya memperoleh benda dari waris atau
membeli secara sah dari tempat lelang umum.
Adapun hak-hak dari seorang bezitter yang jujur antara lain:
a. dianggap sebagai pemilik dari benda untuk sementara, sampai
ada putusan hakim yang menyatakan sebaliknya
b. memperoleh hak milik ketika sudah daluarsa
c. menikmati segala hasil dan keuntungan dari benda yang
dikuasainya
d. berhak mempertahankan barang tersebut bila ada gangguan
pihak lain atau memulihkannya kembali jika kehilangan
kedudukannya (pasal 549 KUH Perdata)

39
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata hlm. 63
45
2. Bezitter yang tidak jujur (to kwader trouw)
Terjadinya bezitter yang tidak jujur apabila bezitternya
sebelumnya sudah mengetahui bahwa benda yang dikuasainya
adalah bukan miliknya, misalnya dari awal sudah tahu bahwa
benda tersebut berasal dari hasil curian.
Namun demikian dalam hukum perlindungan terhadap bezitter
yang jujur dan tidak jujur adalah sama, karena dalam hukum
berlaku azas bahwa “kejujuran itu dianggap ada pada setiap orang,
sedangkan ketidakjujuran haruslah dibuktikan”.
Dan hak seorang bezitter yang tidak jujur antara lain :
a. dianggap sebagai pemilik barang untuk sementara
b. menikmati segala hasil atau keuntungan dari benda yang
dikuasainya
c. berhak mempertahankan barang tersebut jika ada gangguan dari
pihak lain.
Dari perbandingan bezitter yang jujur dan tidak jujur di atas
dapatlah ditarik kesimpulan bahwa keduanya sama-sama
dilindungi oleh hukum, namun hak-hak yang dinikmati oleh
bezitter tersebut hanya sementara, dan apabila terdapat putusan
hakim bahwa bezitter tidak berhak atas benda-benda yang ada di
tangannya, maka ia harus menyerahkan kepada pihak lain yang
berhak atas benda tersebut.

2. Cara Memperoleh dan Mempertahankan Bezit


KUH Perdata tidak menyatakan secara jelas tentang cara
memperoleh bezit atas suatu benda. Di dalam pasal 538 KUH
Perdata hanya dinyatakan bahwa cara melakukan perbuatan atau
tindakan hukum. Kata perbuatan/tindakan mengandung kelemahan,
karena tidak semua bezit diperoleh dengan perbuatan atau tindakan
hukum, tetapi adakalanya diperoleh dengan sendirinya, misalnya
warisan.
Di dalam literatur dikenal 2 (dua) cara memperoleh bezit,
yaitu :
a. Occupatie (menduduki)
Cara memperoleh bezit dengan occupatie disebut
memperoleh benda secara asli (originair). Occupatie artinya benda
46
secara mandiri tanpa bantuan orang yang membezit terlebih
dahulu. Pada occupatie dapat meliputi benda bergerak dan tidak
bergerak. Misalnya : mengambil buah-buahan di hutan, mengambil
ikan di laut atau membuka sawah di hutan, yang tidak dikuasai
oleh negara atau milik orang lain.
b. Traditio (penyerahan)
Memperoleh bezit dengan traditio adalah memperoleh benda
dengan bantuan dari yang membezit terlebih dahulu. Atau seorang
bezitter lama menyerahkan suatu benda kepada tangan bezitter
yang lain. Misalnya: A menerima warisan dari B. Sejak
meninggalnya B, maka sawah itu berpindah kepada B.

3. Hak-Hak Bezitter
Pada dasarnya pemegang tanah, pekarangan, bangunan
ataupun benda-benda lainnya, baik bezit yang beritikat baik
maupun yang beriktikat buruk, mendapat perlindungan hukum
karena bezitter mendapat hak atas benda yang dikuasainya, sampai
ada putusan hakim yang menyatakan lain.
Ada 4 (empat) macam hak yang dimiliki oleh bezitter yang
beriktikat baik yaitu:
a. dianggap sebagai pemilik barang untuk sementara, sampai ada
putusan hakim yang menyatakan sebaliknya
b. memperoleh hak milik karena kedaluarsa
c. menikmati segala hasil dari barang yang dikuasainya
d. berhak mempertahankan barang tersebut bila ada gangguan
dari pihak lain atau memulihkan kembali bilamana kehilangan
kedudukannya
Hak bezitter yang beriktikat buruk, adalah sebagai berikut ;
b. dianggap sebagai pemilik barang untuk sementara
c. menikmati segala hasil barang atau benda yang dikuasainya
d. berhak mempertahankan barang itu apabila ada gangguan dari
pihak lain
Semua hak-hak yang dinikmati oleh bezitter itu hanya
bersifat sementara karena apabila putusan hakim yang menyatakan
bahwa bezitter tidak berhak atas barang-barang yang ada di
47
tangannya, maka ia harus menyerahkan kepada pihak yang berhak
atas barang tersebut.

4. Berakhirnya Bezit
Berakhirnya bezit diatur dalam pasal 543 s/d 547 KUH
Perdata. Benda yang dikuasai secara bezit akan berakhir atas
kehendak sendiri dari bezitter maupun tanpa kehendak sendiri.
Yang diartikan dengan berakhir atas kehendak sendiri dari bezitter
apabila bezitter menyerahkan benda yang dikuasainya secara
sukarela kepada orang lain atau meninggalkan barang yang telah
dikuasainya tersebut. Misalnya A menyerahkan kembali sepeda
yang telah dipinjamnya kepada B.
Dan berakhirnya bezit tanpa kehendak dari bezitter apabila
barang yang dikuasainya beralih kepada pihak lain tanpa kehendak
dari bezitter untuk menyerahkannya. Yang termasuk dalam
kategori berakhirnya bezit tanpa kehendak dari bezitter adalah :
a. pihak lain mengambil sebidang tanah, pekarangan atau
bangunan tanpa memperdulikan pemegang bezit (pasal 545
KUH Perdata)
b. sebidang tanah tenggelam karena banjir (pasal 545 KUH
Perdata)
c. barang tersebut dicuri oleh orang lain (pasal 546 KUH Perdata)
d. barang itu dihilangkan dan tidak diketahui keberadaannya
(pasal 546 KUH Perdata)
e. kedudukan atas benda tak bertubuh berakhir bagi bezitter
apabila orang lain selama 1 tahun telah menikmatinya tanpa
adanya gangguan dari siapapun (pasal 547 KUH Perdata). 40

F. Penyerahan (Levering)
a. Pengertian Penyerahan (levering)
Penyerahan (levering) diatur dalam pasal 612 s/d 620 KUH
Perdata. Dalam hukum perdata dikenal 2 (dua) macam levering
yaitu :

40
Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW) hlm. 107.
48
1. Feitelijke levering, yaitu penyerahan yang nyata dari suatu
benda sehingga benda itu dialihkan, dan menjadi kekuasaan
yang nyata dari pihak lawan
2. Juridische levering, yaitu penyerahan milik beserta hak untuk
memiliki suatu benda kepada pihak lainnya.

b. Penyerahan Benda Bergerak


Ada 3 (tiga) macam cara penyerahan benda bergerak, yaitu
sebagai berikut :
1. Penyerahan nyata
Yaitu penyerahan secara nyata terhadap suatu benda
bergerak berwujud yang dilakukan oleh pemiliknya terhadap orang
lain (pasal 612 KUH Perdata). Misalnya A membeli sebuah HP
dengan harga Rp 1.000.000. Setelah A membayar harga HP
tersebut, maka penjual harus menyerahkan secara nyata kepada A.
Cara penyerahan tersebut cukup dengan penyerahan barang yang
dibelinya.
2. Penyerahan kunci
Yang disebut dengan penyerahan kunci adalah penyerahan
suatu benda bergerak, yang disimpan dalam suatu gedung atau
gudang. Biasanya jumlah benda yang akan diserahkan adalah
banyak sehingga cukup menyerahkan kunci dari tempat
menyimpan barang tersebut. Misalnya: akan menyerahkan beras
sebanyak 3 ton, yang ada di sebuah gudang, maka ketika pemilik
akan menyerahkan beras tersebut kepada pembeli, maka cukup
dengan menyerahkan kuncinya saja.
3. Penyerahan tidak perlu dilakukan
Penyerahan tidak perlu dilakukan disebabkan benda yang
akan diserahkan telah berada di tangan/dikuasai oleh orang yang
hendak menerimanya.41 Pada jenis penyerahan yang ketiga ini, ada
2 (dua) cara macam penyerahan, yaitu :
a. Penyerahan dengan tangan pendek (traditio brevimanu), terjadi
jika orang yang akan mengambil alih bezit, sudah memegang
benda tersebut sebagai houder. Misalnya A meminjamkan

41
Ibid. hlm. 109.
49
sepeda motornya kepada B, tetapi karena A membutuhkan
uang, maka sepeda motor tersebut dijual kepada B. Penyerahan
benda tersebut tidak perlu dilakukan karena dengan jual beli
tersebut B yang semula merupakan houder berubah menjadi
pemilik sepeda motor.
b. Constitutum possesarium adalah suatu penyerahan, dimana
benda yang akan diserahkan masih digunakan oleh pemiliknya
untuk sementara waktu. Constitutum possesarium terjadi jika
orang yang mengoperkan bezit, berdasarkan perjanjian
diperbolehkan tetap memegang benda itu sebagai houder.
Misalnya : A pemilik sebuah sepeda motor, karena
membutuhkan uang ia menjualnya kepada B. Namun karena A
masih membutuhkan sepeda motor tersebut, kemudian A
meminjamnya kepada B. Dengan demikian kedudukan A yang
semula adalah pemilik, tetapi saat ini sebagai peminjam saja.

c. Penyerahan Benda Tidak Bergerak


Penyerahan benda tidak bergerak dilakukan dengan sebuah
akta penyerahan (akta transport). Akta penyerahan itu dapat
dilakukan dengan akta autentik atau akta di bawah tangan.
Untuk jual beli hak atas tanah dan Hak Tanggungan Atas
Tanah harus dilakukan di hadapan pejabat yang berwenang.
Pejabat yang berwenang tersebut adalah notaris dan Pejabat
Pembuat Akta Tanah.
Berdasarkan akta tersebut, maka pembeli atau kreditur
membawa akta tersebut ke Kantor Badan Pertanahan Nasional
yang ada di Kabupaten/Kotamadya setempat untuk didaftarkan.

d. Penyerahan Piutang atas Nama


Penyerahan hak-hak piutang atas nama, khususnya benda
yang bergerak dilakukan dengan cessie. Cessie merupakan
pengganti orang yang berpiutang lama (disebut cedent), dengan
seorang berpiutang baru (cessionaries). Misalnya A berpiutang
kepada B, tetapi A menyerahkan piutang itu kepada C, sehingga
saat ini C yang berhak atas piutang yang ada pada B.
50
Penyerahan piutang atas nama harus dilakukan dengan akta
otentik atau minimal dengan akta di bawah tangan. Penyerahan
secara lisan tidak sah (pasal 613 KUH Perdata). Ada 2 (dua)
persyaratan yang harus dipenuhi supaya sebuah cessie mempunyai
kekuatan atau daya berlaku terhadap debitur yaitu:
-pemberitahuan penyerahan secara nyata dari cedent kepada
debitur atau
-adanya pengakuan dari debitur secara tertulis.
Apabila penyerahan itu tidak dilakukan, debitur dapat
melakukan pembayaran terhadap cedent, asalkan debitur masih
menganggap cedent sebagai kreditur yang jujur.
Di samping ketiga penyerahan di atas, dikenal juga
penyerahan lainnya, yaitu levering piutang atas tunjuk. Penyerahan
piutang atas tunjuk dilakukan dengan penyerahan secara nyata atas
surat-surat itu (pasal 613 ayat 1 KUH Perdata), misalnya saham,
cek dan sebagainya.
Dari uraian di atas dapat dirumuskan bahwa syarat-syarat
levering benda tidak bergerak, bergerak maupun piutang atas nama
adalah :
a. harus ada perjanjian zakelijke yaitu perjanjian yang
menyebabkan pindahnya hak-hak kebendaan (zakelijke
rechten), misalnya eigendom, bezit, pand dan sebagainya.
b. harus ada title (alas hak) yaitu hubungan hukum yang
mengakibatkan levering. Hubungan hukum tersebut umumnya
terjadi perjanjian. Misalnya jual beli, sewa menyewa dan
sebagainya.
c. harus dilakukan oleh orang yang berwenang
d. harus ada penyerahan nyata atau yuridis. 42
Apabila salah satu syarat itu tidak terpenuhi, maka
penyerahan/levering benda itu menjadi obyek leveringnya tidak
sah dan dapat digugat di muka hakim.

42
Ibid. hlm. 110.
51

Pasal 1131 KUH Perdata menyatakan bahwa semua benda


atau kekayaan seseorang menjadi jaminan untuk semua hutang-
hutangnya, tetapi sering orang tidak puas dengan jaminan secara
umum itu.
Hubungan hutang-piutang antara debitur dan kreditur sering
disertai dengan jaminan. Jaminan tersebut dapat berupa barang dan
berupa orang. Dengan adanya benda jaminan itu, kreditur
mempunyai hak atas benda jaminan untuk pelunasan piutangnya
apabila debitur tidak membayar hutangnya.
Benda jaminan itu dapat berupa benda bergerak dan benda
tidak bergerak. Apabila jaminan berupa benda bergerak, maka hak
atas benda jaminan tersebut disebut gadai (pand). Sedangkan jika
jaminan tersebut adalah benda tidak bergerak, maka benda jaminan
itu disebut hipotik (sekarang Hak Tanggungan).
Pada dasarnya jenis jaminan dapat dibedakan menjadi 2
(dua) macam yaitu :
a. Jaminan materiil (kebendaan), yaitu jaminan yang berupa hak
mutlak atas suatu benda yang mempunyai ciri-ciri mempunyai
hubungan langsung atas benda tertentu dan dapat
dipertahankan terhadap siapapun serta selalu mengikuti
bendanya dan dapat dialihkan
b. Jaminan inmateriil (perorangan), yaitu jaminan yang
menimbulkan hubungan langsung pada perorangan tertentu,
hanya dapat dipertahankan terhadap debitur tertentu saja. 43
Jaminan kebendaan dapat dilakukan pembebanan dengan
hal-hal sebagai berikut :
1. Gadai (pand), yang diatur dalam Bab 20 Buku II KUH Perdata
2. Hipotik, yang diatur dalam Bab 21 Buku II KUH Perdata
3. Creditverband, yang diatur dalam Staatblad 1908 Nomor 542,
yang kemudian dirubah dengan Staatblad 1937 Nomor 190
4. Hak Tanggungan, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1996

43
Sri Soedewi Masjchoen, Hukum Benda (Yogyakarta : Gadjah Mada
Press, 1993) hlm. 46.
52
5. Jaminan Fiducia, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
Nomor 42 Tahun 1999.44
Sedangkan yang termasuk jaminan perorangan adalah
sebagai berikut :
1. penanggung (borg) yaitu orang lain yang dapat ditagih
2. tanggung menanggung, yang dasarnya sama dengan tanggung
renteng
3. perjanjian Garansi
Dari kedelapan jenis jaminan tersebut di atas, yang masih
berlaku adalah gadai, hak tanggungan, jaminan fiducia, borg,
tanggung menanggung dan perjanjian garansi. Sedangkan hipotik
dan creditverband tidak berlaku lagi, karena telah dicabut dengan
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan
atas Tanah Berserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah
dan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan
Fiducia.45

1. Hak Tanggungan
a. Pengertian, Dasar Hukum dan Asas-Asas
Pada awalnya pembebanan hak atas tanah diatur dalam Buku
II KUH Perdata dan Credietverband dalam Staatblad 1908 Nomor
542, yang kemudian dirubah dengan Staatblad 1937 Nomor 190,
pasal 57 Undang-Undang Pokok Agraria. Ketiga ketentuan tersebut
dicabut dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak
Atas Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan
Dengan Tanah, karena sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan
dunia perkreditan di Indonesia.
Ada beberapa pertimbangan dibentuknya Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1996 yaitu :
1. dengan meningkatnya pembangunan nasional yang bertitik
tolak pada bidang ekonomi, dibutuhkan penyediaan dana yang
44
Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW) hlm. 112.
45
Ibid. 113.
53
cukup besar, sehingga diperlukan lembaga hak jaminan yang
kuat dan mampu memberi kepastian hukum bagi pihak-pihak
yang berkepentingan, yang dapat mendorong peningkatan
partisipasi masyarakat dalam pembangunan untuk mewujudkan
masyarakat yang sejahtera, adil, makmur berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945.
2. bahwa sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1960, ketentuan yang lengkap mengenai Hak Tanggungan
sebagai lembaga hak jaminan yang dapat dibebankan atas
tanah berikut atau tidak berikut benda-benda yang berkaitan
dengan tanah, belum terbentuk.
3. bahwa ketentuan mengenai hipotik sebagaimana
yang diatur dalam Buku II KUH Perdata sepanjang mengenai
tanah, dan ketentuan creditverband, masih diberlakukan
sementara sampai terbentuknya Undang-Undang Hak
Tanggungan, yang sesuai dengan kebutuhan kegiatan
perkreditan.
4. bahwa pengaturan dan perkembangan hak-hak atas tanah serta
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat banyak, selain hak
milik, hak guna usaha, dan hak guna bangunan yang telah
ditunjuk sebagai obyek Hak Tanggungan oleh Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960, hak pakai atas tanah tertentu yang wajib
didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan, perlu
juga dimungkinkan untuk dibebani Hak Tanggungan.
5. Perlu dibentuk Undang-Undang Hak Tanggungan
atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah
untuk mewujudkan unifikasi hukum.
Yang dimaksud Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang
dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 atau tidak berikut benda-
benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu untuk
pelunasan hutang tertentu kepada kreditur tertentu terhadap
kreditur-kreditur lainnya.
Unsur-unsur yang harus ada dalam Hak Tanggungan, adalah
sebagai berikut:
1. hak jaminan yang dibebankan atas tanah
54
2. hak atas tanah berikut atau tidak berikut benda-benda
lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah
3. untuk pelunasan hutang tertentu
4. memberikan kedudukan yang didahulukan kepada
kreditur tertentu dibandingkan dengan kreditur lainnya.
Selain unsur-unsur di atas, Hak Tanggungan juga memiliki
ciri-ciri yang dimiliki oleh suatu hak kebendaan, yaitu :
1. memberikan kedudukan yang didahulukan kepada
pemegangnya. Hal ini dikenal dengan droit de preference.
Keistimewaan ini dinyatakan dalam pasal 1 ayat 1 jo. pasal 20
ayat 1 Undang-Undang Hak Tanggungan. Yang dimaksud
dengan droit de preference adalah bahwa pemegang Hak
Tanggungan melalui pelelangan umum dapat menjual dan
mengambil pelunasan terlebih dahulu dari kreditur-kreditur
lainnya yang bukan pemegang Hak Tanggungan.
2. selalu mengikuti obyek yang dijamin dalam tangan siapapun
benda itu berada atau disebut dengan droit de suit (pasal 7
Undang-Undang Hak Tanggungan). Artinya walaupun obyek
Hak Tanggungan sudah dipindahkan haknya kepada pihak lain,
kreditur Hak Tanggungan tetap berhak untuk menjual melalui
pelelangan umum jika debitur wanprestasi
3. memenuhi asas spesialitas dan publisitas sehingga dapat
mengikat pihak ketiga dan memberikan kepastian hukum bagi
yang berkepentingan, terutama pada pemegang hak jaminan
4. mudah dan pasti dalam pelaksaaan eksekusi
5. apabila debitur hak tanggungan dinyatakan pailit, maka obyek
Hak Tanggungan tidak termasuk dalam boedel kepailitan.
Di dalam Undang-Undang Hak Tanggungan (UUHT) terdapat
beberapa asas dalam Hak Tanggungan, yaitu :
1. dapat dibebankan selain tanah juga berikut benda-benda lain
yang berkaitan dengan tanah tersebut (pasal 4 ayat 4 UUHT)
2. dapat dibebankan atas benda lain yang berkaitan dengan tanah
yang baru akan ada kemudian, dengan syarat diperjanjikan
secara tegas (pasal 4 ayat 4 UUHT)
3. sifat perjanjiannya adalah accessoir (pasal 10 ayat 1 jo. pasal
18 ayat 1 UUHT)
55
4. dapat dijadikan jaminan untuk Hak Tanggungan mempunyai
kedudukan yang diutamakan bagi kreditur pemegang Hak
Tanggungan (pasal 1 ayat 1 UUHT)
5. tidak dapat dibagi-bagi (pasal 2 ayat 1 UUHT)
6. hanya dibebankan pada hak atas tanah yang telah ada (pasal 2
ayat 2 UUHT)
7. dapat dijadikan jaminan hutang baru akan ada (pasal 3 ayat 1
UUHT)
8. dapat menjamin lebih dari 1 hutang (pasal 3 ayat 2 UUHT)
9. mengikuti obyek dalam tangan siapapun obyek itu berada
(pasal 7 UUHT)
10. tidak dapat diletakan sita oleh pengadilan
11. hanya dapat dibebankan atas tanah tertentu (pasal 8 jo.
11 ayat 1 UUHT)
12. wajib didaftarkan (pasal 13 UUHT)
13. pelaksanaan eksekusi mudah dan pasti
14. dapat dibebankan dengan disertai janji-janji tertentu
(pasal 11 ayat 2 UUHT)
15. obyek tidak boleh diperjanjikan untuk dimiliki oleh
pemegang Hak Tanggungan bila pemberi hak tanggungan
wanprestasi.46

b.Obyek dan Subyek Hak Tanggungan


Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa Hak
Tanggungan adalah hak jaminan atas tanah. Namun tidak semua
tanah dapat dijadikan obyek tanggungan, melainkan haruslah
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
1. dapat dinilai dengan uang karena hutang yang dijamin berupa
uang
2. merupakan hak atas tanah yang didaftar dalam daftar umum
karena harus memenuhi syarat publisitas

46
Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW) hlm. 116.
56
3. dapat dipindahtangankan karena apabila debitur wanprestasi,
benda yang dijadikan jaminan hutang akan dijual di muka
umum.
4. memerlukan penunjukan dengan Undang-Undang47
Menurut pasal 4 s/d pasal 7 UUHT telah dinyatakan secara
tegas tentang hak atas tanah yang dapat dijadikan jaminan utang,
yaitu :
1. Hak milik
2. Hak Guna Bangunan
3. Hak Guna Usaha
4. Hak Pakai, baik hak milik maupun hak
atas negara
5. Hak atas tanah berikut bangunan,
tanaman dan hasil karya yang telah ada atau akan ada
merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut dan merupakan
hak milik pemegang hak atas tanah yang pembebanannya
dengan tegas dan dinyatakan di dalam akta pemberian hak
tanah.48
Sedangkan yang disebut sebagai subyek Hak Tanggungan
meliputi debitur dan kreditur, yaitu :
1. Pemberi Hak Tanggungan
Pemberi Hak Tanggungan dapat perorangan atau badan hukum
yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan
hukum terhadap obyek hak tanggungan, yaitu orang yang
meminjam uang di lembaga perbankan.
2. Pemegang Hak Tanggungan
Pemegang Hak Tanggungan terdiri dari perorangan atau badan
hukum yang berkedudukan sebagai pihak berpiutang, yaitu
orang atau badan hukum yang berkedudukan sebagai pihak
berpiutang.

c. Tata Cara Pemberian Hak Tanggungan


Tata cara pemberian Hak Tanggungan diatur dalam pasal 10
s/d pasal 15 UUHT. Dalam pasal 10 UUHT diatur tentang tata cara
47
Ibid. hlm. 117.
48
Ibid.
57
pemberian Hak Tanggungan oleh Pemberi Hak Tanggungan secara
langsung, sedangkan dalam pasal 15 UUHT diatur tentang
pemberian kuasa pembebanan Hak Tanggungan oleh Pemberi Hak
Tanggungan kepada penerima kuasa. Tata cara pemberian Hak
Tanggungan sebagai berikut :
1. Didahului janji untuk memberikan Hak Tanggungan sebagai
jaminan pelunasan hutang tertentu, yang merupakan bagian tak
terpisahkan dari perjanjian hutang-piutang
2. Dilakukan dengan pembuatan Akta Pemberian Hak
Tanggungan (APHT) oleh PPAT sesuai dengan perundang-
undangan yang berlaku
3. Obyek Hak Tanggungan berupa hak atas tanah yang berasal
dari konversi hak lama yang telah memenuhi syarat
didaftarkan akan tetapi belum dilakukan, pemberian Hak
Tanggungan dilakukan bersamaan dengan permohonan
pendaftaran hak atas tanah yang bersangkutan49
Ada 2 (dua) alasan pembuatan dan penggunaan Surat Kuasa
Memasang Hak Tanggungan (SKMHT) yaitu alasan subyektif dan
obyektif. Yang termasuk alasan subyektif, yaitu :
1. Pemberi Hak Tanggungan tidak dapat hadir sendiri di hadapan
notaris/PPAT untuk membuat akta Hak Tanggungan
2. Prosedur pembebanan Hak Tanggungan cukup tinggi
3. Biaya pembuatan Hak Tanggungan cukup tinggi
4. Kredit yang diberikan jangka pendek
5. Kredit yang diberikan tidak besar/kecil
6. Debitur sangat dipercaya/bonafid
Yang termasuk dalam kategori alasan obyektif dikemukakan
berikut ini :
1. Sertifikat belum diterbitkan
2. Balik nama atas tanah pemberi Hak Tanggungan belum
dilakukan
3. Pemecahan/penggabungan tanah belum selesai dilakukan atas
nama pemberi Hak Tanggungan
4. Roya/pencoretan belum dilakukan

49
Ibid. hlm. 119.
58
Prosedur pembebanan Hak Tanggungan yang menggunakan
surat kuasa pembebanan Hak Tanggungan sebagaimana yang
dimaksud dalam pasal 15 UU Nomor 4 Tahun 1996 adalah sebagai
berikut:
1. Wajib dibuatkan dengan akta notaris atau akta PPAT dan
memenuhi persyarakat sebagai berikut:
-Tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain
daripada membebankan Hak Tanggungan
-Tidak memuat kuasa substitusi
-Mencantumkan secara jelas obyek Hak Tanggungan, jumlah
hutang dan nama serta identitas krediturnya, nama dan
identitas debitur apabila debitur bukan pemberi Hak
Tanggungan.
2. Tidak dapat ditarik kembali atau tidak dapat berakhir oleh sebab
apapun juga kecuali karena kuasa tersebut telah dilaksanakan
atau karena telah habis jangka waktunya.
3. Surat kuasa membebankan Hak Tanggungan mengenai hak atas
tanah yang sudah terdaftar wajib diikuti dengan pembuatan
APHT selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sesudah diberikan.
4. Surat kuasa membebankan Hak Tanggungan mengenai hak atas
tanah yang belum terdaftar wajib diikuti dengan pembuatan
Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) selambat-
lambatnya 3 (tiga) dalam hal surat kuasa membebankan Hak
Tanggungan diberikan untuk menjamin kredit tertentu yang
ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan wajib
dicantumkan :
1. Nama dan identitas pemegang dan pemberi Hak Tanggungan
2. Domisili para pihak apabila diantara mereka ada yang
berdomisili di luar Indonesia, baginya harus pula dicantumkan
suatu domisili pilihan di Indonesia. Apabila domisili itu tidak
dicantumkan, kantor PPAT tempat pembuatan Akta Pemberian
Hak Tanggungan dianggap sebagai domisili yang dipilih
3. Nilai Tanggungan
Di samping itu di dalam obyek Akta Pemberian Hak
Tanggungan dapat dicantumkan janji-janji antara lain :
59
1. Janji yang membatasi kewenangan pemberi Hak
Tanggungan untuk menyerahkan obyek Hak Tanggungan
dan/atau menentukan atau mengubah jangka waktu sewa
dan/atau menerima uang sewa di muka, kecuali dengan
persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang Hak
Tanggungan.
2. Janji yang membatasi kewenangan pemberi Hak
Tanggungan untuk mengubah bentuk atau tata susunan obyek
Hak Tanggungan
3. Janji yang memberikan kewenangan kepada
pemegang Hak Tanggungan untuk mengelola obyek Hak
Tanggungan berdasarkan penetapan Ketua Pengadilan Negeri
yang daerah hukumnya meliputi obyek Hak Tanggungan
apabila debitur sungguh-sungguh cedera janji.
4. Janji yang memberikan kewenangan kepada
pemegang Hak Tanggungan untuk menyelamatkan obyek Hak
Tanggungan, jika hal itu diperlukan untuk pelaksanaan
eksekusi atau untuk mencegah menjadi hapusnya atau
dibatalkannya hak yang menjadi obyek Hak Tanggungan
karena tidak dipenuhi atau dilanggarnya ketentuan undang-
undang
5. Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan pertama
mempunyai hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri obyek
Hak Tanggungan apabila debitur cedera janji
6. Janji yang diberikan oleh pemegang Hak
Tanggungan pertama bahwa obyek Hak Tanggungan tidak
akan dibersihkan dari Hak Tanggungan
7. Janji atas obyek hak Tanggungan tanpa
persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang Hak
Tanggungan
8. Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan akan
memperoleh seluruh atau sebagian ganti rugi yang diterima
pemberi Hak Tanggungan untuk pelunasan piutangnya apabila
obyek Hak Tanggungan dilepaskan haknya oleh pemberi Hak
Tanggungan atau dicabut haknya untuk kepentingan umum.
60
9. Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan akan
memperoleh seluruh atau sebagian dari uang asuransi yang
diterima pemberi Hak Tanggungan untuk pelunasan
piutangnya, jika obyek Hak Tanggungan diasuransikan.
10. Janji bahwa pemberi Hak Tanggungan akan
mengosongkan obyek Hak Tanggungan pada waktu eksekusi
Hak Tanggungan
11. Janji bahwa sertifikat hak atas tanah yang telah
dibubuhi catatan pembebanan Hak Tanggungan dikembalikan
kepada pemegang hak atas tanah yang bersangkutan.
Janji yang tidak diperbolehkan dalam Akta Pemberian Hak
Tanggungan adalah janji yang memberikan kewenangan kepada
pemegang Hak Tanggungan untuk memiliki obyek Hak
Tanggungan apabila debitur cedera janji. Janji seperti itu batal
demi hukum, atau dari semula perjanjian itu dianggap tidak ada.

d. Pendaftaran Hak Tanggungan


Pendaftaran Hak Tanggungan diatur dalam pasal 13 sampai
dengan 14 UU Nomor 4 Tahun 1996. Akta Pemberian Hak
Tanggungan yang dibuat PPAT wajib didaftarkan. Secara
sistematis tata cara pendaftaran tersebut adalah sebagai berikut:
1. Pendaftaran dilakukan di kantor Pertanahan
2. PPAT dalam jangka waktu 7 hari setelah ditandatangani
pemberi Hak Tanggungan wajib mengirimkan akta PHT dan
warkah lainnya kepada kantor BPN
3. Kantor pertanahan membuatkan buku tanah Hak
Tanggungan dan mencatatnya dalam buku tanah hak atas tanah
yang menjadi obyek Hak Tanggungan serta menyalin catatan
tersebut pada sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan
4. Tanggal buku tanah Hak Tanggungan adalah tanggal hari
ketujuh setelah penerimaan secara lengkap surat-surat yang
diperlukan bagi pendaftarannya. Jika hari ketujuh itu jatuh
pada hari libur, buku tanah yang bersangkutan diberi tanggal
hari kerja berikutnya.
5. Hak Tanggungan lahir pada hari tanggal buku tanah Hak
Tanggungan dibuat.
61
6. Kantor Pertanahan menerbitkan sertifikat Hak Tanggungan
menurut irah-irah dengan kata-kata “Demi Keadilan
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sertifikat Hak
tanggungan mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama
dengan putusan pengadilan.

e. Hapusnya Hak Tanggungan


Hapusnya Hak Tanggungan diatur dalam pasal 18–19 UU
Nomor 4 Tahun 1996. Dan yang dimaksud dengan hapusnya Hak
Tanggungan adalah tidak berlakunya lagi Hak Tanggungan. Hal-
hal yang dapat menghapuskan Hak Tanggungan , yaitu :
1. Hapusnya hutang yang dijamin dengan Hak Tanggungan
2. Dilepaskan Hak Tanggungan oleh pemegang Hak Tanggungan
3. Penbersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan
peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri
4. Hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan
Walaupun hak atas tanah itu hapus, namun pemberi Hak
Tanggungan tetap berkewajiban untuk membayar hutangnya.
Hapusnya Hak Tanggungan yang dilepas oleh pemegang Hak
Tanggungan dilakukan dengan pemberian pernyataan tertulis
mengenai dilepaskannya Hak Tanggungan tersebut oleh pemegang
Hak Tanggungan kepada pemberi Hak Tanggungan.
Hapusnya Hak Tanggungan karena pembersihan Hak
Tanggungan berdasarkan penetapan Ketua Pengadilan Negeri
terjadi karena permohonan pembeli hak atas tanah yang dibebani
Hak Tanggungan tersebut, agar hak atas tanah yang dibelinya itu
dibersihkan dari beban Hak Tanggungan.
f. Eksekusi Hak Tanggungan
Eksekusi Hak Tanggungan diatur dalam pasal 20 – 21 UU
Nomor 4 Tahun 1996. Apabila debitur cedera janji, maka :
1. Hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual benda
Hak Tanggungan
2. Title eksekutorial yang terdapat pada sertipikat Hak
Tanggungan.
Ada 2 (dua) macam cara eksekusi obyek Hak Tanggungan
yaitu melalui pelelangan umum dan eksekusi di bawah tangan.
62
Pada dasarnya setiap eksekusi harus dilaksanakan dengan
melalui pelelangan umum, karena dengan cara itu diharapkan dapat
diperoleh harga yang paling tinggi untuk obyek Hak Tanggungan.
Kreditur berhak mengambil pelunasan piutang yang dijamin dari
hasil penjualan obyek Hak Tanggungan. Dalam hal hasil penjualan
tersebut lebih besar daripada hutang tersebut, maka sisanya akan
menjadi hak dari pemberi Hak Tanggungan.
Eksekusi di bawah tangan adalah penjualan obyek Hak
Tanggungan yang dilakukan dengan pemberi Hak Tanggungan,
berdasarkan kesepakatan dengan pemegang Hak Tanggungan, jika
dengan cara ini akan diperoleh harga yang tertinggi.

2. Gadai (Pand)
a. Pengertian Gadai (Pand)
Menurut pasal 1150 KUH Perdata, gadai adalah hak
kebendaan atas suatu benda yang bergerak kepunyaan orang lain,
yang semata-mata dijanjikan dengan menyerahkan bezit atas benda
tersebut, dengan tujuan untuk mengambil pelunasan suatu hutang
dari pendapatan penjualan benda itu, lebih dahulu dari penagih-
penagih lainnya.
Sifat hak kebendaan dari gadai nampak dari kekuasaan orang
yang memegang barang tanggungan (pandnemer) untuk meminta
dikembalikannya barang yang ditanggungkan apabila barang
tersebut hilang dan lebih nyata lagi dari kekuasaannya untuk
menjual barang itu dengan tidak usah meminta dikembalikannya
barang yang ditanggungkan apabila barang itu hilang (pasal 1152
ayat 4 KUH Perdata). Dan dengan kekuasaannya dapat menjual
barang itu dengan tidak usah perantaraan hakim, untuk selanjutnya
mengambil pelunasan dari pendapatan penjualan itu dengan
mengecualikan orang-orang lain. Kedudukan pandnemer tidak
tergantung dari orang-orang tersebut, termasuk jika orang tersebut
pailit. Apabila pailit, pandnemer dapat melaksanakan haknya
tersendiri, lepas dari penagih-penagih lainnya. 50

50
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, hlm. 79.
63
Dari uraian di atas unsur-unsur dari gadai adalah sebagai
berikut :
1. hak yang diperoleh kreditur atas benda bergerak
2. benda bergerak tersebut diserahkan oleh debitur kepada
kreditur
3. penyerahan benda tersebut untuk jaminan hutang
4. hak kreditur adalah mengambil pelunasan hutang dengan
kekuasaan melelang benda jaminan apabila debitur tidak
membayar
5. pelunasan tersebut didahulukan dari kreditur-kreditur lainnya
6. biaya-biaya lelang dan pemeliharaan benda jaminan dilunasi
terlebih dahulu dari hasil lelang sebelum pelunasan piutang
Sebagai hak kebendaan atas benda jaminan, gadai
mempunyai sifat-sifat khusus yaitu :
1. bersifat asesor (accessoir), artinya sebagai pelengkap dari
perjanjian pokok yaitu perjanjian hutang-piutang. Adanya
perjanjian gadai tergantung pada adanya perjanjian pokok.
Tanpa adanya hutang-piutang tidak ada gadai.
2. Gadai merupakan jaminan hutang, dan benda jaminan harus
dikuasai dan disimpan oleh kreditur
3. Gadai bersifat tidak dapat dibagi-bagi, artinya sebagian gadai
tidak hapus dengan pembayaran sebagian hutang debitur (pasal
1160 ayat 1 KUH Perdata).

b. Hak dan Kewajiban Penerima gadai


Dalam KUH Perdata diatur mengenai hak-hak penerima
gadai yaitu antara lain:
1. Penerima gadai berhak menahan jaminan sampai piutangnya
dilunasi, baik jumlah pokok maupun bunga serta biaya-biaya
(pasal 1159 ayat 1 KUH Perdata)
2. Penerima gadai berhak mengambil pelunasan dan pendapatan
penjualan benda jaminan apabila debitur tidak membayar
hutangnya. Penjualan benda jaminan dapat dilakukan sendiri
atau juga dengan perantaraan hakim (pasal 1156 ayat 1 KUH
Perdata)
64
3. Penerima gadai berhak menggadaikan lagi benda jaminan,
apabila hak itu sesudah menjadi kebiasaan, seperti halnya
dengan penggadaian surat-surat saham atau obligasi (pasal
1153 KUH Perdata)51
Sebaliknya penerima gadai dibebani kewajiban-kewajiban
yang telah ditetapkan oleh undang-undang yaitu :
1. Penerima gadai bertanggung jawab atas hilangnya atau
kemorosotan nilai benda jaminan, karena kelalaiannya
2. Penerima gadai harus memberitahukan kepada pemberi gadai
(debitur) apabila hendak menjual benda jaminan untuk
pelunasan piutangnya (pasal 1156 ayat 2 KUH Perdata)
3. Penerima gadai harus memberikan perhitungan mengenai
pendapatan penjualan dan menyerahkan kelebihannya kepada
debitur setelah dikurangi pelunasan hutang debitur (pasal 1155
ayat 1 KUH Perdata)
4. Penerima gadai wajib mengembalikan benda jaminan apabila
hutang pokok, bunga dan biaya pemeliharaan benda jaminan
telah dibayar lunas.52

c. Hak Retensi
Salah satu keistimewaan dari gadai adalah hak untuk
menahan (rentensi) kepada pemegang gadai. Hak retensi adalah
hak untuk menahan benda sampai piutang yang berkait dengan
benda itu dilunasi. Tetapi berdasarkan azas kebebasan berkontrak
dapat juga berlaku di luar ketentuan Undang-Undang.
Di dalam pasal 1205 diberikan hak kepada pemegang gadai
untuk memegang benda yang digadaikan, apabila masih ada suatu
hubungan hutang antara pihak-pihak, yaitu hubungan hutang yang
diadakan kemudian. Sebenarnya pengaturan hak retensi tersebar
dalam banyak pasal di KUH Perdata, antara lain:
1. Pasal 715 KUH Perdata, yang menumpang
pekarangan berhak menahan segala sesuatu sampai
pembayaran harga bangunan, tanaman di atas pekarangan yang

51
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, hlm. 81
52
Ibid.
65
ditumpangi itu dilunasi oleh pemilik pekarangan, setelah hak
opstal berakhir.
2. Pasal 725 ayat 2 KUH Perdata, pemilik
tanah berhak menahan benda-benda sampai pemegang hak
erfpacht melunasi segala kewajiban terhadap pemilik tanah.
3. Pasal 1159 ayat 2 KUH Perdata, kreditur
berhak menahan benda jaminan sampai kedua piutangnya itu
dilunasi oleh debitur
4. Buruh yang memegang suatu benda milik
orang lain untuk mengerjakan sesuatu pada benda tersebut,
berhak menahan benda itu sampai biaya dan upah yang
dikeluarkan untuk benda itu dilunasi seluaruhnya (pasal 1616
KUH Perdata)
5. Pasal 1729 KUH Perdata, penerima titipan
berhak menahan benda titipan tersebut sampai segala yang
harus dibayar kepadanya karena penitipan tersebut telah
dilunasi.
6. Pasal 1812 KUH Perdata, penerima kuasa
berhak menahan segala milik pemberi kuasa yang berada di
tangannya sampai segala apa yang dapat dituntutnya sebagai
akibat dari pemberian kuasa itu telah dibayar lunas.

Hak retensi tidak termasuk hak kebendaan sebagaimana


gadai, namun hak retansi sangat berkait dengan hukum benda. 53
Keduanya memiliki persamaan yaitu antara lain :
1. Ada benda jaminan yang berkaitan dengan tagihan. Apabila
pada gadai, tagihan itu timbul karena adanya perjanjian hutang
piutang sebagai perjanjian pokok, sedangkan hak retensi,
tagihan itu timbul karena perjanjian selain hutang-piutang,
sebagai perjanjian pokok. Pada gadai, benda yang dijaminkan
diberikan pada waktu perjanjian pokok, sedangkan retansi
benda jaminan itu ditahan oleh kreditur karena perjanjian
pokok tidak terpenuhi.
53
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-
Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan (Yogyakarta : Bina
Usaha, 1980) hlm. 62.
66
2. Baik hak retensi dan gadai bersifat asesor (accessoir), artinya
ada tidaknya hak retensi atau gadai tergantung pada adanya
perjanjian pokok
3. Hak retensi tidak dapat dibagi-bagi, artinya pembayaran
sebagian dari tagihan tidak dapat membebaskan sebagian
benda yang ditahan. Sebagaimana yang telah diuraikan di atas,
gadai juga tidak dapat dibagi-bagi.
4. Hak retensi dan hak gadai pada umumnya terdapat larangan
untuk memakai benda tersebut.
Hak retensi dapat hilang/hapus, sebagaimana hak gadai, yang
dapat terjadi karena :
1. Apabila tagihan yang berhubungan dengan benda itu telah
dilunasi seluruhnya oleh pemilik benda
2. Benda yang ditahan dilepaskan dengan sukarela oleh penagih
3. Penagih (kreditur) menjadi pemilik benda karena alas hak
tertentu
4. Benda yang ditahan hilang atau musnah

BAB IV
HUKUM WARIS

A. Pengertian Hukum Waris


Hukum waris diatur di dalam Buku II KUH Perdata. Dan
jumlah pasal yang mengatur hukum waris sebanyak 300, yang
67
dimulai dari pasal 830 KUH Perdata sampai dengan pasal 1130
KUH Perdata. Disamping diatur dalam KUH Perdata, hukum waris
juga diatur di dalam Inpres Nomor 1 Tahun 1991.
Hukum waris menurut konsepsi KUH perdata, merupakan
bagian dari hukum harta kekayaan, oleh karena itu hanyalah hak
kewajiban yang berwujud harta kekayaan yang merupakan warisan
dan yang akan diwariskan. Hak dan kewajiban dalam hukum
publik, hak dan kewajiban yang timbul dari kesusilaan dan
kesopanan tidak akan diwariskan, demikian pula halnya dengan
hak dan kewajiban yang timbul dari hubungan hukum keluarga, ini
juga tidak dapat diwariskan. Dan fungsi dari yang mewariskan
yang bersifat pribadi atau yang bersifat hukum keluarga tidaklah
beralih.54
Di dalam KUH Perdata tidak diatur tentang pengertian
hukum waris. Yang ada hanya berbagai konsep-konsep tentang
pewarisan, orang yang berhak mewaris dan tidak berhak menerima
warisan, bagian masing-masing ahli waris dan lain-lain. Namun
dalam Kompilasi Hukum Islam, yaitu di dalam Inpres Nomor 1
Tahun 1991 telah diatur dan dimasukan pengertian hukum waris. 55
Pasal 171 huruf a Inpres Nomor 1 Tahun 1991 menyatakan bahwa
hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang
pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris,
menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa
bagian masing-masing.56
Pengertian di atas merupakan ruang lingkup hukum
kewarisan Islam. Hukum kewarisan ini hanya berlaku bagi orang

54
Vollmar, Pengantar Studi Hukum Perdata (Jakarta : RajaGrafindo
Persada, 1996 ) hlm. 376.
55
Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW) hlm. 137.
56
Pasal 171 huruf a Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tersebut diperkuat oleh
pasal49 ayat 1, yang menyatakan bahwa pengadilan Agama berwenang
menyelesaikan perkara waris antara orang yang beragama Islam, dan pada
ayat 3 diperjelas lagi bahwa ruang lingkup waris adalah penentuan siapa-
siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan,
penentuan bagian masing-masing ahli waris dan melaksanakan
pembagian harta peninggalan.
68
Islam. Ruang lingkupnya meliputi : pemindahan hak pemilikan,
penentuan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan
bagiannya masing-masing.
Di dalam berbagai literatur, banyak para ahli juga
mengemukakan pengertian hukum waris. Menurut Pitlo, hukum
waris adalah kumpulan peraturan yang mengatur mengenai
kekayaan karena wafatnya seseorang, yaitu mengenai pemindahan
kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati dan akibat dari
pemindahan itu bagi orang-orang yang memperolehnya, baik
dalam hubungan antara mereka dengan mereka, maupun dalam
hubungan antara mereka dengan pihak ketiga.57
Pengertian senada juga dinyatakan oleh Vollmar yang
berpendapat bahwa hukum waris adalah perpindahan dari sebuah
harta kekayaan seutuhnya, jadi keseluruhan hak-hak dan
kewajiban-kewajiban, dari orang yang mewariskan kepada
warisnya. Pendapat Vollmar tersebut lebih ditekankan pada
pemindahan harta kekayaan dari pewaris kepada ahli warisnya. 58
Yang dimaksud harta kekayaan menurut definisi di atas
adalah sejumlah harta kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang
meninggal dunia berupa kumpulan aktiva dan pasiva. 59
Kedua pendapat sarjana hukum perdata Belanda tersebut,
jika dihubungkan dengan pluralisme hukum waris di Indonesia
mengandung kelemahan, karena menurut KUH Perdata, hukum
waris hanyalah yang sebatas hukum waris tertulis saja. Dan hukum
waris yang tidak tertulis di dalam perundang-undangan, misalnya
hukum waris adat, maka tidak dapat dikategorikan sebagai hukum
waris. Padahal pada masyarakat Indonesia, hukum waris adat (yang
bersifat tidak tertulis) masih berlaku dan diterapkan oleh
masyarakat.
Dengan dimasukkannya hukum waris adat dalam pengertian
hukum waris, maka yang disebut dengan hukum waris adalah
keseluruhan kaidah-kaidah hukum, baik yang tertulis maupun yang
57
A. Pitlo, Hukum Waris Jilid I (Jakarta : Intermasa, 1979) hlm. 1.
58
Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW) hlm. 137.
59
Eman Suparman, Intisari Hukum Waris Indonesia (Bandung :Mandar
Maju, 1985) hlm. 21.
69
tidak tertulis, yang mengatur mengenai pemindahan harta kekayaan
pewaris kepada ahli warisnya, bagian yang diterima serta
hubungan antara ahli waris dengan pihak ketiga.60
Dari pengertian hukum waris tersebut dapat disimpulkan
bahwa di dalam hukum waris haruslah memenuhi unsur-unsur
sebagai berikut:
1. kaidah hukum
2. pemindahan harta kekayaan pewaris
3. ahli waris
4. bagian yang diterima
5. hubungan antara ahli waris dengan pihak ketiga.
Pada dasarnya proses beralihnya harta kekayaan seseorang
kepada ahli warisnya, terjadi hanya karena kematian oleh karena
itu pewarisan baru akan terjadi jika terpenuhinya 3 (tiga)
persyaratan yaitu :
1. ada seseorang yang meninggal dunia
2. terdapat orang yang masih hidup sebagai ahli waris yang akan
memperoleh warisan pada saat pewaris meninggal dunia
3. ada sejumlah harta kekayaan yang ditinggalkan pewaris.
Di dalam KUH perdata, yang dimaksud dengan pewarisan
karena kematian atau pewarisan karena undang-undang. Aturan-
aturan yang menguasai pewarisan itu disebut hukum waris karena
undang-undang atau dengan istilah asing hukum waris (ab)
intstaat. Kebalikan dari pewarisan karena undang-undang adalah
pewarisan berdasarkan surat wasiat (testamenter). Wasiat
pengangkatan waris dilakukan dengan penunjukan secara sepihak
dengan surat wasiat atau kehendak terakhir seorang waris atau
lebih oleh yang mewariskan
Dalam hukum waris berlaku azas, bahwa hanyalah hak-hak
dan kewajiban-kewajiban dalam lapangan hukum kekayaan harta
benda saja yang dapat diwariskan. Dengan kata lain dalam hukum
waris berlaku azas, bahwa hanyalah hak-hak dan kewajiban-
kewajiban dalam lapangan hukum kekayaan harta benda saja yang
dapat diwariskan. Atau hanya hak-hak dan kewajiban-kewajiban

60
Ibid. hlm. 138.
70
yang dapat dinilai dengan uang. Oleh karena itu hak-hak dan
kewajiban-kewajiban dalam lapangan hukum kekeluargaan atau
pada umumnya hak-hak dan kewajiban-kewajiban kepribadian,
misalnya hak-hak dan kewajiban-kewajiban sebagai seorang suami
atau sebagai seorang ayah tidak dapat diwariskan, begitu juga hak-
hak dan kewajiban-kewajiban seseorang sebagai anggota suatu
perkumpulan. Tetapi menyangkal sah anaknya dan di pihak lain
hak seorang anak untuk menuntut supaya ia dinyatakan sebagai
anak sah dari bapak atau ibunya, menurut undang-undang beralih
pada (diwarisi oleh) ahli waris dari masing-masing orang yang
mempunyai hak-hak itu. Sebaliknya ada juga hak-hak dan
kewajiban-kewajiban, yang terletak dalam lapangan hukum
perbendaan atau perjanjian, tetapi tidak dapat beralih pada ahli
waris si meninggal, misalnya suatu perjanjian perburuhan dimana
seorang hanya akan melakukan suatu pekerjaan dengan tenaganya
sendiri. Atau suatu perjanjian perkongsian dagang, baik yang
berbentuk perseroan menurut KUH Perdata maupun yang
berbentuk firma menuruh Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
(KUHD) yang menurut undang-undang diakhiri dengan
meninggalnya salah satu anggota atau pesero.61
Dalam hukum waris berlaku asas bahwa apabila seorang
meninggal, maka seketika itu juga segala hak dan kewajiban
beralih pada sekalian ahli warisnya. Asas ini tercantum dalam
pepatah Perancis yang berbunyi “le mort saisit le vif” sedangkan
pengoperan segala hak dan kewajiban dari yang meninggal oleh
ahli waris itu dinamakan “saisine”.62
Padal 834 KUH perdata menyatakan bahwa ahli waris yang
berhak untuk menuntut supaya segala yang termasuk harta
peninggalan si meninggal diserahkan kepadanya berdasarkan
haknya sebagai ahli waris. Hak menuntut tersebut tidak berbeda
dengan penuntutan seorang pemilik suatu benda kepada orang yang
menguasai satu benda warisan dengan maksud untuk memilikinya.
Oleh karena itu penuntutan tersebut tidak boleh ditujukan kepada
61
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata (Jakarta : Intermasa, 1982) hlm.
95- 96.
62
Ibid.
71
seorang yang hanya menjadi houder saja, yaitu menguasainya
benda itu berdasarkan suatu hubungan hukum dengan yang
meninggal, misalnya penyewa. Penuntutan tersebut tidak dapat
ditujukan pada seorang executeur testamentair atau seorang curator
atas suatu harta peninggalan yang tidak terurus. Ahli waris yang
mempergunakan hak penuntutan tersebut, cukup dengan
mengajukan dalam surat gugatan, bahwa ia adalah ahli waris dari
yang meninggal dan barang yang dituntut tersebut termasuk harta
peninggalan.
Dalam KUH perdata, pada asasnya seorang bayi yang baru
lahir adalah berhak untuk mewaris. Dan dalam Undang-Undang
juga telah ditetapkan orang-orang yang karena perbuatannya, tidak
patut (onwaardig) menerima warisan (pasal 838 KUH Perdata),
misalnya pewaris yang dengan putusan hakim telah mempunyai
kekuatan hukum tetap, telah dipersalahkan membunuh, mencoba
membunuh pewaris, atau pewaris telah menggelapkan,
memusnahkan, menganiata berat atau memalsukan surat wasiat
atau dengan menggunakan kekerasan atau ancaman telah
menghalang-halangi pewaris untuk membuat surat wasiat menurut
kehendaknya.
KUH perdata juga menetapkan bahwa ada orang-orang
tertentu yang berhubung dengan jabatan atau pekerjaannya,
maupun hubungannya dengan orang yang meninggal, tidak
diperbolehkan menerima keuntungan dari surat wasiat yang
diperbuat oleh orang yang meninggal, misalnya seorang notaris,
yang membuat surat wasiat tersebut serta saksi-saksi yang
menghadiri pembuat surat wasiat itu, pendeta yang melayani atau
dokter yang membuat surat wasiat orang yang meninggal selama
sakitnya yang terakhir. Bahkan pemberian warisan dalam surat
wasiat kepada orang-orang yang mungkin menjadi perantara dari
orang-orang tersebut dapat dibatalkan, misalnya anak-anak dan
isteri dari orang–orang yang tidak diperbolehkan menerima
warisan dari wasiat tersebut.
Dalam pasal 912 KUH Perdata ditentukan alasan-alasan
yang menurut pasal 838 KUH Perdata di atas, menyebabkan
seseorang tidak patut menjadi pewaris, berlaku juga sebagai
72
halangan untuk dapat menerima pemberian-pemberian dalam suatu
testament, kecuali dalam pasal 912 tidak disebutkan orang yang
telah mencoba membunuh orang yang meninggalkan warisan. Jika
orang yang meninggal ternyata dalam surat wasiatnya masih juga
memberikan warisan pada seseorang yang telah berbuat demikian,
hal tersebut dikategorikan sebagai bentuk pengampunan terhadap
orang tersebut.
Menurut undang-undang (ab intestate) dapat dibedakan
antara orang-orang yang mewarisi “uit eigen hoofede” dan mereka
yang mewarisi “bij plaatsvervulling”. Seorang dikategorikan
sebagai mewarisi uit eigen hoofede jika ia mendapat warisan
berdasarkan kedudukannya sendiri sebagai ahli waris. Dan
dikategorikan sebagai bij eigen plaatsvervulling jika sebenarnya
seorang lain yang berhak atas suatu bagian warisan, tetapi orang itu
telah meninggal lebih dahulu daripada orang yang meninggalkan
warisan. Apabila beberapa orang bersama-sama menggantikan
seseorang, maka dikatakan mereka mewarisi “bij staken” karena
mereka bersama-sama merupakan suatu ‘staak’ atau cabang.
Makin banyak anggota suatu cabang, semakin sedikit bagian
masing-masing. Dan dalam suatu cabang dapat terjadi satu atau
beberapa cabang lagi.

B. Hak Mewaris Menurut Undang-Undang


Untuk menetapkan pewaris menurut undang-undang, kerabat
orang yang meninggal dunia dibagi dalam beberapa golongan yang
bersama-sama berhak mewarisi semua harta peninggalan.
Sedangkan anggota keluarga lainnya yang tidak mendapat bagian.
Jika terdapat kerabat dari golongan pertama, maka barulah orang-
orang yang termasuk golongan kedua tampil sebagai ahli waris.
Seterusnya, jika tidak terdapat keluarga dari golongan kedua,
barulah orang-orang dari golongan ketiga tampil sebagai ahli
waris.
Ahli waris karena undang-undang adalah orang yang berhak
menerima warisan, sebagaimana yang telah ditentukan dalam
perundang-undangan. Ahli waris karena UU ini diatur di dalam
73
pasal 832 KUH Perdata. Orang-orang yang berhak menjadi ahli
waris menurut undang-undang adalah :
-para keluarga sedarah, baik sah maupun luar kawin
-suami atau isteri yang hidup terlama
Ahli waris karena hubungan darah ini ditegaskan kembali
dalam pasal 852 KUH Perdata. Ahli waris karena hubungan darah
ini adalah anak atau sekalian keturunan mereka, baik anak sah
maupun anak luar kawin. Sebagaimana pengurutan di atas, Pitlo
membagi ahli waris menurut UU menjadi 4 (empat) golongan,
yaitu:
1. golongan pertama, terdiri dari suami/isteri dan keturunannya
2. golongan kedua, terdiri dari orang tua, saudara dan keturunan
saudara
3. golongan ketiga, terdiri dari leluhur lain-lainnya
4. golongan keempat, terdiri dari sanak saudara lainnya dalam garis
menyimpang sampai dengan derajat keenam.
Apabila semua golongan ahli waris tersebut tidak ada, maka
semua harta peninggalan dari yang orang yang meninggal menjadi
milik negara. Dan negara wajib melunasi hutang-hutang dari orang
yang meninggal sepanjang harta yang ditinggalkan mencukupi.
Harta peninggalan tersebut disebut sebagai harta peninggalan yang
tidak terurus. Apabila terjadi demikian maka Balai Harta
Peninggalan (Weeskamer) tidak perlu lagi menunggu putusan
hakim, dan wajib mengurus warisan itu, dengan memberitahukan
kepada Kejaksaan Negeri setempat.
Apabila terjadi perselisihan, apakah harta benda tersebut
termasuk tidak terurus atau tidak, hal tersebut harus diputuskan
oleh hakim. Dan jika setelah lewat 3 (tiga) tahun terhitung mulai
terbukanya warisan belum juga ada seorang yang mengaku dirinya
sebagai ahli waris, maka Weeskamer akan melakukan
pertanggungjawaban tentang pengurusan harta peninggalan itu
kepada negara, yang akan berhak untuk mengambil penguasaan
atas segala barang warisan dan kemudian harta peninggalan itu
akan menjadi milik negara.
Di Indonesia yang masih berlaku pluralisme hukum waris di
masyarakat, masing-masing sistem hukum mempunyai konsep
74
yang berbeda tentang kapan mulai warisan itu dibagikan kepada
ahli waris. KUH perdata dan hukum Islam menganut prinsip bahwa
warisan itu baru dapat dibagikan kepada ahli waris apabila ahli
waris meninggal dunia.63 Demikian juga yang berkait dengan
bagian yang akan diterima ahli waris, masing-masing sistem
hukum juga berbeda antara satu dengan lainnya.
Dalam hukum waris KUH Perdata telah ditentukan bagian-
bagian yang akan diterima ahli waris. Besarnya bagian yang
diterima ahli waris, adalah sebagai berikut:

1. Bagian Keturunan dan Suami Isteri


Dalam pasal 852 KUH perdata telah ditentukan bahwa pihak
yang paling berhak untuk menerima warisan adalah anak-anak dan
suami atau isteri. Bagian yang diterima oleh mereka adalah sama
besar antara satu dengan lainnya. Tidak ada perbedaan antara anak
laki-laki dengan anak perempuan dan juga tidak ada perbedaan
antara yang lahir pertama kali dengan yang lahir berikutnya.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa keturunan, suami atau
isteri mendapat bagian yang sama besar diantara yang lainnya.

2. Bagian Bapak, Ibu, Saudara Laki-laki dan Saudara Perempuan


Pasal 854 KUH Perdata mengatur secara tegas tentang hak
bapak, ibu, saudara laki-laki dan perempuan. Apabila pewaris
tidak meninggalkan keturunan maupun suami atau isteri,
sedangkan bapak dan ibunya masih hidup, maka mereka (bapak
ibu) mendapat bagian 1/3 dari warisan, sedangkan saudara laki-laki
dan perempuan 1/3 bagian. Di dalam pasal 855 KUH perdata juga
ditentukan bagian bapak atau ibu yang hidup terlama. Bagian

63
Salah satu perbedaan antara hukum waris Islam dan KUH Perdata, jika
dibandingkan dengan hukum adat, adalah tentang waktu terjadinya
warisan. Dalam hukum waris Islam dan KUH Perdata, pewarisan terjadi
jika ada orang yang meninggal dunia. Sedangkan dalam hukum adat,
proses pewarisan sudah dapat dilakukan ketika pewaris masih hidup,yaitu
dengan jalan hibah. Dan nantinya hibah tersebut akan diperhitungkan
sebagai waris.
75
mereka tergantung pada kuantitas dari saudara laki-laki dan
saudara perempuan dari pewaris.
-apabila pewaris meninggalkan seorang saudara laki-laki dan
seorang saudara perempuan, maka hak dari bapak atau ini
yang hidup terlama adalah ½ bagian
-apabila pewaris meninggalkan dua orang saudara laki-laki
dan perempuan, maka yang menjadi hak bapak dan ibu yang
hidup terlama adalah 1/3 bagian
-apabila pewaris meninggalkan lebih dari dua saudara laki-
laki dan saudara perempuan, maka yang menjadi hak dari
bapak atau ini yang hidup terlama adalah ¼ bagian64
Sisa dari harta warisan tersebut menjadi hak dari saudara
laki-laki dan saudara perempuan dari pewaris. Bagian saudara laki-
laki dan saudara perempuan adalah sama besar diantara mereka.
Bagian dari saudara laki-laki dan saudara perempuan ditentukan
lebih lanjut dalam pasal 856 KUH Perdata. Apabila pewaris tidak
meninggalkan keturunan, suami atau isteri, sedangkan bapak atau
ibu telah meninggal dunia terlebih dahulu, maka yang berhak
menerima seluruh harta warisan dari pewaris adalah saudara laki-
laki dan saudara perempuan.

3. Bagian Anak Luar kawin


Terhadap anak luar kawin tidaklah hanya ditentukan sampai
dimana mereka dapat maju sebagai ahli waris, tetapi juga diatur
kepada siapakah warisan anak luar kawin itu sendiri akan jatuh
menurut undang-undang.65
Hak anak luar kawin yang diakui sah oleh bapak atau ibunya
adalah tidak sama dengan anak sah. Menurut pasal 862 KUH
perdata, hak anak luar kawin yang diakui sah diatur sebagai
berikut:
-jika yang meninggal, meninggalkan keturunan yang sah
atau seorang suami atau isteri maka bagian dari anak luar
64
Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW) hlm. 143.
65
Vollmar, Pengantar Studi Hukum Perdata hlm. 391.
76
kawin adalah 1/3 bagian dari yang sedianya diterima,
seandainya mereka anak yang sah (pasal 863 KUH perdata)
-jika pewaris tidak meninggalkan keturunan maupun suami
atau isteri, akan tetapi meninggalkan keluarga sederajat
dalam garis ke atas ataupun saudara laki-laki dan perempuan
atau keturunan mereka, maka anak luar kawin mendapat ½
bagian dari warisan (pasal 863 KUH Perdata)
-jika pewaris hanya meninggalkan sanak keluarga dalam
derajat yang lebih jauh, maka bagian dari anak luar kawin
adalah ¾ bagian (pasal 863 KUH Perdata)
-jika pewaris tidak meninggalkan pewaris lainnya, maka
anak luar kawin mendapat seluruh warisan (pasal 865 KUH
perdata)
-jika salah seorang keluarga sedarah tersebut meninggal
dunia dengan tidak meninggalkan sanak saudara dalam
derajat yang mengizinkan pewarisan maupun suami atau
isteri yang hidup terlama, maka anak luar kawin berhak
untuk menuntut seluruh warisan dengan mengenyampingkan
negara (pasal 873 KUH Perdata)66
Dalam pasal 866, 870 dan 871 KUH Perdata mengatur
tentang warisan yang ditinggalkan oleh anak luar kawin.
Pembagian anak luar kawin, adalah sebagai berikut :
-Jika anak luar kawin meninggal terlebih dahulu, maka anak
dan keturunannya yang sah berhak mendapat warisan dari
pewaris (pasal 866 KUH Perdata)
-Jika anak luar kawin meninggal dunia tidak meninggalkan
keturunan maupun suami atau isteri, maka yang berhak
mendapat warisan itu adalah bapak atau ibu yang
mengakuinya dan mereka masing-masing mendapat ½
bagian (pasal 870 KUH Perdata)
-jika anak luar kawin meninggal dunia dengan tidak
meninggalkan keturunan maupun suami atau isteri,
sedangkan orang tua yang mengakuinya telah meninggal
dunia terlebih dahulu, barang-barang yang diwariskan dari

66
Ibid.
77
orang tua itu, diserahkan kepada keturunan yang sah dari
bapak atau ibu yang mengakuinya (pasal 871 KUH Perdata)
-Apabila anak luar kawin meninggal dunia, dan tanpa
meninggalkan suami atau isteri, bapak atau ibu yang
mengakuinya maupun saudara laki-laki atau saudara
perempuan atau keturunan mereka tidak ada, dengan
mengenyampingkan negara, warisan itu diwariskan oleh para
keluarga sedarah yang terdekat dari bapak atau ibu yang
mengakuinya, dengan catatan, hak dari keluarga dari garis
bapak atau ibu, masing-masing ½ bagian (pasal 873 KUH
Perdata).67

4. Anak Zina
Pada dasarnya anak zina tidak mendapat warisan dari
pewaris, tetapi anak zina hanya berhak untuk mendapatkan nafkah
sepantasnya. Nafkah harus disesuaikan dengan kemampuan bapak
atau ibunya, dan dikaitkan dengan jumlah dan keadaan para ahli
waris yang sah.68

C. Menerima dan Menolak Warisan


Jika terbuka suatu warisan, seorang ahli waris dapat memilih
apakah akan menerima atau menolak warisan itu, atau ada pula
kemungkinan untuk menerima tetapi dengan ketentuan tidak akan
diwajibkan membayar hutang-hutang orang yang meninggal dunia,
yang melebihi bagiannya dalam warisan itu.
Penerimaan secara penuh (zuivere aanvaarding) dapat
dilakukan dengan tegas atau secara diam-diam. Dengan tegas, jika
seorang dengan suatu akta menerima kedudukannya sebagai ahli
waris. Secara diam-diam, misalnya dengan melakukan suatu
perbuatan, misalnya mengambil atau menjual barang-barang
warisan atau melunasi hutang-hutang orang yang meninggal dunia,
dapat dikategorikan telah menerima warisan itu secara penuh.
67
Ibid.
68
Ibid.
78
Penolakan harus dilakukan dengan suatu pernyataan kepada
panitera pengadilan negeri setempat, dimana warisan itu telah
terbuka. Baik penerimaan ataupun penolakan selalu dihitung
berlaku surut sejak hari meninggalnya orang yang meninggalkan
warisan.
Undang-undang tidak menetapkan suatu waktu, seorang
waris harus menentukan sikapnya. Oleh karena itu, tiap pihak yang
berkepentingan berhak untuk menggugat para ahli waris agar
menyatakan sikapnya. Seorang ahli waris yang dituntut untuk
menentukan sikap ini, mempunyai hak untuk meminta suatu waktu
untuk berpikir selama 4 (empat) bulan.Akibatnya selama waktu itu
pewaris tidak dapat dipaksa untuk melakukan kewajiban-kewajiban
seorang ahli waris. Terhadap dirinya tidak dapat dimintakan
putusan hakim. Apabila sudah ada putusan, pelaksanaannya harus
ditunda terlebih dahulu. Jika ia digugat sebagai ahli waris, maka
dapat mengajukan perlawanan yang bertujuan untuk
menangguhkan perkara sampai habisnya waktu berpikir.
Selama waktu berpikir, ahli waris diwajibkan mengurus
harta peninggalan itu sebaik-baiknya. Ahli waris tidak boleh
menjual, sebab perbuatan tersebut dapat diartikan sebagai
penerimaan penuh secara diam-diam.
Kemungkinan yang ketiga bagi ahli waris, yang merupakan
suatu jalan tengah antara menerima dan menolak disebut sebagai
“menerima dengan voorrecht van boedelbechrijving (beneficiaire
aanvaarding. Jika pewaris hendak memilih jalan tersebut maka ia
harus menyatakan kehendaknya kepada Penitera pengadilan negeri
setempat dimana warisan tersebut terbuka. Akibat dari beneficiaire
aanvaarding adalah kewajiban si waris untuk melunasi hutang-
huang dan beban-beban lainnya dibatasi sehingga pelunasan itu
hanyalah dilakukan menurut kekuatan warisan sehingga ahli waris
tidak usah menanggung pembayaran hutang-hutang dengan
kekayaannya sendiri.
Dengan demikian, tidak terjadi percampuran antara harta
peninggalan dengan kekayaan ahli waris. Benda-benda warisan
harus diperlakukan sebagai suatu kekayaan tersendiri dan harus
diurus untuk kepentingan semua penagih. Menurut peraturan-
79
peraturan yang ditetapkan oleh undang-undang. Apabila hutang-
hutang orang yang meninggal dunia telah dilunasi dan masih ada
sisa dari harta peninggalan, maka sisa itulah yang nantinya akan
dibagi diantara ahli waris.
Pendapat yang pada umumnya menyatakan bahwa apabila
semua ahli waris menerima warisannya secara beneficiair, maka
hal tersebut sama dengan suatu penyitaan umum (pailisemen)
untuk kepentingan semua orang-orang berpiutang, sehingga
tidaklah diperbolehkan sementara orang yang datang menagih
lebih dahulu menerima pembayaran penuh, sedangkan orang-orang
lain yang datang kemudian tidak menerima pembayaran atau hanya
mendapat pembayaran untuk sebagian saja.
Adapun kewajiban-kewajiban seorang ahli waris beneficiair
adalah :
1. melakukan pencatatan adanya harta peninggalan dalam waktu 4
(empat) bulan setelahnya ia menyatakan kehendaknya kepada
Panitera Pengadilan Negeri, bahwa pewaris menerima
warisannya secara beneficiair.
2. mengurus harta peninggalan sebaik-baiknya
3. dengan segera membereskan urusan warisan
Apabila diminta oleh semua orang berpiutang harus memberikan
tanggungan untuk harga benda-benda yang bergerak beserta
benda-benda yang tidak bergerak yang tidak diserahkan kepada
orang-orang berpiutang yang memegang hypotik (sekarang : Hak
Tanggungan)
4. memberikan pertanggungjawaban kepada semua penagih hutang
dan orang–orang yang menerima pemberian secara legaat. Hal
yang harus dilakukan adalah menghitung harga beserta
pendapatan/keuntungan yang mungkin akan diperoleh, jika
barang-barang warisan dijual dan sampai berapa persen piutang-
piutang dan legaten itu dapat dipenuhi
5. memanggil orang-orang berpiutang yang tidak dikenal melalui
surat kabar resmi.
Peraturan yang diatur dalam undang-undang mengenai
pemberesan harta peninggalan dalam hal penerimaan warisan
secara beneficiair ini adalah sangat sederhana dan kurang jelas.
80
Namun dalam praktik tidak terdapat kesulitan, karena apabila
sudah terang suatu warisan tidak akan mencukupi untuk melunasi
hutang-hutang orang yang meninggal dunia, maka biasanya
meminta hakim pangadilan agar warisan itu dinyatakan pailit. Hal
tersebut menurut peraturan pailisemen diperbolehkan. Dan
peraturan pailisemen ini sangat lengkap dan teliti.
Peraruran-peraturan yang berlaku dalam hal penerimaan atau
penolakan warisan adalah sebagai berikut :
1. Orang yang meninggalkan warisan, tidak diperbolehkan
membatasi hak seorang ahli waris untuk memilih antara 3
(tiga) kemungkinan tersebut, yaitu apakah akan menerima
penuh, menolak atau menerima warisan dengan bersyarat,
yaitu dengan voorrecht van boedelbeschrijving.
2. pemilihan antara ketiga kemungkinan tersebut oleh seorang
waris tak dapat dilakukan selama warisan belum terbuka
3. pemilihan tidak boleh digantungkan pada suatu ketetapan waktu
atau suatu syarat. Kepentingan umum, terutama kepentingan
orang-orang yang menghutangkan orang yang meninggal dunia
menghendaki dengan pemilihan itu sudah tercapai suatu
keadaan yang pasti yang tidak akan berubah lagi.
4. Pemilihan tidak dapat dilakukan hanya mengenai sebagian saja
dari warisan yang akan diterima oleh seseorang, artinya jika
seorang ahli waris menerima atau menolak, perbuatan itu
selalu mengenai seluruh bagiannya dalam warisan. Kecuali,
bagi seorang yang selain statusnya sebagai ahli waris – baik
menurut undang-undang ataupun surat wasiat – juga mendapat
legaat untuk menerima legaatnya, tetapi menolak warisannya.
5. menyatakan menerima atau menolak suatu warisan, adalah
suatu perbuatan hukum yang terletak dalam lapangan hukum
kekayaan. Oleh karena itu, seorang yang oleh undang-undang
dianggap sebagai tidak cakap untuk bertindak sendiri, harus
diwakili atau dibantu oleh orang yang berkuasa untuk itu.
6. Jika seorang ahli waris sebelum menentukan sikapnya
meninggal dunia, maka haknya untuk memilih beralih kepada
ahli warisnya.
81
D. Wasiat (Testament)
Suatu wasiat atau testament adalah suatu pernyataan dari
seseorang tentang apa yang diinginkan setelah orang tersebut
meninggal dunia. Pada asasnya suatu pernyataan yang demikian,
adalah bersifat dari satu pihak (eenzijdig) dan setiap waktu dapat
ditarik kembali oleh orang yang membuatnya. Dan menurut
undang-undang tidak semua yang dikehendaki oleh seseorang
untuk diletakkan dalam wasiatnya, diperbolehkan atau dapat
dilaksanakan. Pasal 874 KUH Perdata menyatakan bahwa surat
wasiat tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan
dan nilai-nilai keadilan dalam masyarakat. Pembatasan lainnya
bahwa misalnya pada ketentuan legitieme portie yaitu bahwa
warisan yang sudah ditetapkan menjadi hak para ahli waris dalam
garis lurus dan tidak dapat dihapuskan oleh orang yang
meninggalkan warisan.
Suatu testament berisi tentang penunjukan seorang atau
beberapa orang menjadi ahli waris yang akan mendapat seluruh
atau sebagian dari warisan. Hal ini disebut dengan erfstelling.
Orang yang ditunjuk tersebut dinamakan testamentaire erfgenaam,
yaitu ahli waris menurut wasiat memiliki kedudukan yang sama
dengan seorang ahli waris menurut undang-undang, memperoleh
segala hak dan kewajiban orang yang meninggal dunia. 69
Suatu testament, juga dapat berisikan legaat yaitu suatu
pemberian kepada seorang. Adapun yang dapat diberikan dalam
suatu legaat dapat berupa :
1. satu atau beberapa benda tertentu
2. seluruh banda dari satu macam atau beberapa jenis, misalnya
hanya meliputi benda yang bergerak
3. hak vruchtgebruik atas sebagian atau seluruh warisan
4. sesuatu hak lain terhadap boedel, misalnya hak untuk
mengambil satu atau beberapa benda tertentu dari boedel. 70
Orang yang menerima suatu legaat dinamakan “legataris’,
dan orang tersebut bukanlah ahli waris. Karenanya ia tidak
menggantikan orang yang meninggal dalam hak-hak dan
69
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata hlm. 106.
70
Ibid.
82
kewajiban-kewajibannya (misalnya membayar hutang-hutangnya).
Legataris hanya berhak menuntut penyerahan benda atau
pelaksanaan hak yang diberikan kepadanya dari seluruh ahli waris.
Suatu legaat memberikan suatu hak penuntutan terhadap boedel.
Dan ada kalanya seorang legataris yang menerima beberapa benda
diwajibkan memberikan salah satu benda tersebut kepada orang
lain yang ditunjuk dalam testament. Pemberian suatu benda yang
harus ditagih dari seorang legataris dinamakan suatu sublegaat. 71
Dalam suatu testament biasanya menunjuk beberapa orang
untuk menjadi waris, dan disebutkan pula bagian dari masing-
masing. Jika dalam satu testament beberapa orang bersama-sama
ditetapkan menjadi waris, dengan tidak disebutkan bagian-
bagiannya, dan kemudian salah seorang meninggal dunia, maka
bagian orang yang meninggal dunia ini akan jatuh pada pewaris
lainnya yang bersama-sama ditunjuk, sehingga bagian mereka yang
masih hidup akan bertambah. Sebaliknya, jika dalam satu
testament diberikan satu benda yang tidak dapat dibagi-bagi,
misalnya sebuah televisi kepada dua orang bersama-sama dan
kemudian salah seorang meninggal dunia, maka televisi tersebut
akan menjadi milik orang yang masih hidup secara keseluruhan.
Dalam KUH perdata hal tersebut disebut dengan “aanwas”.
Isi testament tidak terbatas pada hal-hal yang berkait dengan
kekayaan harta saja. Dalam suatu testament dapat juga dengan sah
dilakukan, penunjukan seorang wali untuk anak-anak si meninggal,
pengakuan seorang anak yang lahir di luar perkawinan atau
pengangkatan seorang yang dikuasakan mengawasi dan mengatur
pelaksanaan testament.
Suatu erfstelling atau suatu legaat, dapat disertai dengan
suatu “beban/last” misalnya seorang dijadikan waris dengan beban
untuk memberikan suatu pensiun pada ibu orang yang meninggal
dunia atau seorang diberikan seekor kuda dengan beban untuk
memberikan gaji pada seorang bujang yang sudah lama
memelihara kuda tersebut. Suatu beban mengikat seorang waris
atau legataris, memberikan pada seorang suatu hak penuntutan

71
Ibid. hlm. 108.
83
terhadap seorang waris atau legataris secara perseorangan. Jadi
tidak terhadap boedel. Dengan demikian apa yang dimaksud
dengan sublegaat tidak lain adalah suatu beban.
Jika suatu beban tidak dipenuhi, maka warisan atau legaat
dapat dibatalkan atas permintaan pihak yang berkepentingan atau
atas pemintaan waris yang lainnya.
Suatu erfstelling atau suatu legaat dapat juga digantungkan
pada suatu syarat atau voorwaarde, yaitu suatu kejadian di
kemudian hari pada saat pembuatan testament itu belum tentu akan
datang atau tidak, misalnya seorang dijadikan waris atau diberikan
suatu barang warisan dengan syarat atau voorwaarde, bahwa dari
perkawinannya akan dilahirkan seorang anak laki-laki. Tidak
diperbolehkan suatu syarat yang pelaksanaannya berada dalam
kekuasaan si waris atau legataris sendiri, misalnya syarat bahwa di
waris atau legataris itu akan pergi melihat saudaranya ke Jakarta.
Juga tidak diperbolehkan suatu syarat yang sama sekali tidak
mungkin dilaksanakan, misalnya dengan syarat tidak makan
apapun selama 30 hari. Jika dalam suatu testament dicantumkan
suatu syarat yang tidak diperbolehkan, maka syarat itu adalah
batal. Artinya dianggap tidak tertulis dan testament berlaku seolah-
olah tidak mengandung suatu syarat (pasal 888 KUH perdata).
Suatu erfstelling atau suatu legaat dapat juga digantungkan
pada suatu ketetapan waktu. Menurut bentuknya ada 3 (tiga)
macam testament, yaitu :
1. Openbaar testament
Disebut juga wasiat umum, yaitu suatu testament yang dibuat
oleh seorang notaris. Orang yang akan meninggalkan warisan
menghadap notaris dan menyatakan kehendaknya. Notaris
tersebut membuat suatu akta dengan dihadiri oleh 2 (dua)
orang saksi. Bentuk openbaar testament adalah bentuk yang
paling umum dan merupakan bentuk yang ideal, karena notaris
mengawasi isi surat wasiat sehingga dapat memberikan nasihat
supaya isi testament tidak bertentangan dengan undang-
undang. Jenis umum ini bersifat otentik dan sejak dibuat
84
sampai yang bersangkutan meninggal dunia, surat wasiat akan
disimpan di Kantor notaris.72
2. Olographis testament
Yaitu surat wasiat yang harus ditulis dengan tangan orang
yang akan meninggalkan warisan itu sendiri (eigenhanding),
dan harus diserahkan sendiri kepada seorang notaris untuk
disimpan. Penyerahan tersebut harus dihadiri oleh 2 (dua)
orang saksi. Sebagai tanggal testament itu berlaku diambil
tanggal akte penyerahan pada notaris. Penyerahan kepada
notaris dapat dilakukan secara terbuka atau secara tertutup,
ditetapkan bahwa apabila pembuat testament meninggal
dunia, testament tersebut harus diserahkan oleh notaris
kepada Balai Harta Peninggalan (Weeskamer), yang akan
membuka testament tersebut. Pembukaan testament tersebut
harus dibuat proses verbal. Jikalau si pembuat testament
hendak menarik kembali wasiatnya, cukuplah ia meminta
kembali surat wasiat yang disimpan oleh notaris tersebut.
3. Testament rahasia
Yaitu testament yang dibuat sendiri oleh orang yang akan
meninggalkan warisan, tetapi tidak diharuskan menulis
dengan tangannya sendiri. Suatu testament rahasia harus
selalu tertutup dan disegel. Penyerahannya kepada notaris
harus dihadiri oleh 4 (empat) orang saksi. Orang yang
menjadi saksi pada pembuatan atau penyerahan suatu
testamant kepada seorang notaris, harus orang yang sudah
dewasa, penduduk Indonesia dan memahami bahasa yang
digunakan dalam testament atau akte penyerahan itu.
Disamping 3 (tiga) macam testament tersebut, undang-
undang mengenal juga “codicil”, yaitu suatu akta di bawah tangan,
dimana orang yang akan meninggalkan warisan itu menetapkan
hal-hal yang tidak termasuk dalam pemberian atau pembagian
warisan itu sendiri.73

72
Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia (Jakarta : Rajawali,
1984) hlm. 164.
73
Ibid. hlm. 110.
85
Untuk membuat suatu testament, seorang harus sudah
berumur 18 tahun atau sudah dewasa, atau sudah kawin, meskipun
belum berumur 18 tahun. Orang yang membuat testament harus
mempunyai pikiran yang sungguh-sungguh sehat. Jika nantinya
dapat dibuktikan bahwa pada saat membuat testament ternyata
pikirannya tidak sehat atau terganggu, maka testament tersebut
dapat dibatalkan oleh hakim.
Sebuah testament dapat ditarik kembali (heroepen) setiap
waktu. Hanya pemberian warisan yang telah diletakan dalam suatu
perjanjian perkawinan,yang tidak boleh ditarik kembali. Hal ini
disebabkan sifat perjanjian perkawinan hanya satu kali dibuat dan
tidak dapat diubah atau ditarik kembali. Seperti halnya membuat
testament, menarik kembali suatu testamentpun seseorang harus
mempunyai pikiran yang sehat. Penarikan kembali suatu testament
dapat dilakukan dengan secara tegas atau secara diam-diam.
Pencabutan secara tegas terjadi dengan dibuatnya testament baru
dimana diterangkan secara tegas bahwa testament yang dahulu
ditarik kembali.
Pencabutan dengan secara diam-diam, tejadi dengan
dibuatnya testament baru yang menyatakan pesan-pesan yang
bertentangan dengan testament yang lama. Selanjutnya perlu
dicatat, bahwa pengakuan seorang anak yang lahir di luar
perkawinan, yang dicantumkan dalam suatu testament, tidak dapat
ditarik kembali.
Pembuatan testament sangatlah terikat oleh bentuk dan cara-
cara tertentu, yang jika tidak diindahkan dapat menyebabkan
batalnya testament itu. Jadi daripada pembuatan suatu perjanjian
yang pada umumnya tidak terikat oleh bentuk atau cara.
Berhubungan dengan itu, timbul pertanyaan tentang apa saja yang
perlu dilekatakan dalam bentuk testament. Sebagai pedoman dapat
dipakai : segala perbuatan yang bersifat hanya keluar dari satu
pihak saja (eenzijdig) yang baru akan berlaku atau mendapat
kekuatan bilamana si pembuat itu meninggal dunia, harus
diletakkan dalam bentuk testament.
Sifat pertama itulah yang menentukan sebab tidak semua
perikatan yang digantungkan pada matinya seorang harus
86
dikategorikan sebagai suatu testament, misalnya suatu perjanjian
bahwa hutang baru akan dapat ditagih apabila si berhutang
meninggal dunia atau suatu perjanjian sewa-menyewa rumah, yang
baru akan berakhir apabila penyewa telah meninggal. Perjanjian-
perjanjian tresebut meskipun digantungkan pada matinya salah satu
pihak, tetapi merupakan suatu perikatan karena mengikat kedua
belah pihak, dan suatu perikatan tidak dapat ditiadakan dengan
begitu saja tanpa disetujui oleh kedua belah pihak

E. Feidei Commis
Feidei commis adalah suatu hal yang diperkenankan bagi
orang yang mewariskan untuk menentukan dalam batas undang-
undang dengan perantaraan “penetapan-kehendak terakhir’ seluruh
atau sebagian harta kekayaannya harus diserahkan kepada orang
ketiga yang sudah ditetapkan dalam surat wasiat atau testament. 74
Penyerahan ini dapat digantungkan pada waktu tertentu, atau suatu
peristiwa tertentu, misalnya jika anaknya sudah dewasa atau
kawin.75
Orang yang akan menerima warisan kemudian tersebut
dinamakan verwachter. Karena seorang verwachter menerima
warisan itu dengan melewati tangan waris yang pertama, maka cara
pemberian warisan semacam ini oleh undang-undang disebut juga
erfstelling over de hand (pemberian warisan secara melangkah).
Istlah feidei commis berasal dari kata “fides” yang berarti
kepercayaan. Warisan itu seolah-olah dipercayakan pada waris
yang pertama ditunjuk. Pada umumnya suatu feidei commis
dilarang oleh undang-undang, karena ada benda-benda yang tidak
bergerak, yang untuk waktu lama dan tidak tertentu akan tersingkir
dari lalu lintas hukum.76 Hal tersebut dapat dinilai sebagai suatu
rintangan bagi kelancaran lalu lintas hukum, dan sebagai
perkecualian dalam undang-undang ada 2 (dua) macam feidei
commis yang diperbolehkan yaitu:
74
Vollmar, Pengantar Studi Hukum Perdata Jilid I hlm. 401.
75
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Warisan di Indonesia (Bandung :
Sumur, 1980) hlm. 100.
76
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata hlm. 110.
87
1. yang pertama, untuk memenuhi dari seorang pewaris yang
hendak mencegah kekayaannya agar tidak dihabiskan oleh
anak-anaknya. Dalam testament ini orang diperbolehkan
membuat ketentuan atau syarat agar anaknya tidak boleh
menjual benda-benda warisan dan supaya benda-benda itu
kemudian diwariskan lagi kepada anak-anak si pewaris (cucu).
2. yang kedua, yang lazim dinamakan feidei commis de residuo,
yang menetapkan bahwa seorang seorang waris harus
mewariskan lagi di kemudian hari apa yang masih merupakan
sisa dari warisan yang pernah diperolehnya. Jadi hanya sisanya
saja yang diberikan kepada orang lain yang sudah ditetapkan.

F. Legitieme Portie.
Dalam KUH Perdata, legitieme portie merupakan bagian
yang sangat penting dalam hukum waris. Para legitimaris adalah
ahli waris dalam garis lurus baik ke bawah maupun ke atas, yaitu
suatu hak bagian tertentu dari harta peninggalan yang tidak dapat
dihilangkan atau tidak diberi bagian oleh orang yang meninggalkan
warisan. Hak atas legitimatie portie baru akan timbul apabila
seseorang dalam keadaan sungguh-sungguh menjadi ahli waris
menurut undang-undang. Misalnya jika orang yang meninggal
mempunyai anak-anak atau cucu-cucu, maka orang tua tidak akan
menjadi ahli waris. Karenanya juga tidak berhak atas suatu
legitimatie portie. Seorang legitimaris dapat minta pembatalan tiap
testament yang melanggar hak-haknyanya tersebut. Ia juga berhak
untuk menuntut supaya diadakan pengurangan (inkorting) terhadap
segala macam pemberian warisan, baik yang berupa erfstelling
maupun yang berupa legaat, atau segala pemberian yang bersifat
schenking yang mengurangi haknya.77
Sebagian para sarjana berpendapat bahwa aturan tentang
legitimatie portie ini oleh undang-undang dipandang sebagai suatu
pembatasan kebebasan seseorang untuk membuat wasiat atau
testament menurut kehendak sendiri. Karena itu aturan-aturan
tentang legitimatie portie ini dimasukkan dalam bagian mengenai

77
Ibid. hlm. 113.
88
hak mewarisi menurut wasiat (testamentaie erfrecht). Menurut
Wirjono Prodjodikoro, undang-undang menentukan legitimatie
portie untuk melindungi anak di peninggal warisan terhadap
kecenderungan si wafat akan menguntungkan orang lain.78
Persoalan dapat timbul, yakni apakah seorang keluarga yang
dicabut hak-haknya sebagai ahli waris, tetapi berhak atas suatu
legitimatie portie, mempunyai hak-hak dari seorang ahli waris
ataukah hanya berhak menuntut pemberian benda atau kekayaan
seharga bagiannya dalam warisan yang oleh undang-undang
ditetapkan sebagai legitimatie portie itu, tetapi sekarang boleh
dikatakan bahwa tidak ada orang lagi yang menyangkal bahwa
seorang legitimaris mempunyai hak-hak sepenuhnya sebagai ahli
waris.79
Seorang suami atau isteri meskipun menurut undang-undang
dipersamakan dengan seorang anak sah mengenai hak-haknya
untuk mewarisi, tidak termasuk golongan orang yang berhak atas
suatu legitimatie portie, sehingga dapat dihapuskan haknya untuk
menerima warisan. Begitu pula seorang saudara yang termasuk
golongan ahli waris yang kedua, bukan seorang legitimaris.
Karenanya dapat juga dihapuskan haknya untuk mewarisi
meskipun ia sebenarnya sebagai ahli waris berhubung dengan tidak
terdapatnya ahli waris dari golongan pertama.
Besarnya legitimatie portie bagi anak-anak yang sah
ditetapkan oleh pasal 914 KUH Perdata, yakni :
1. jika hanya ada seorang anak yang sah, maka legitieme portie
berjumlah separuh dari bagai yang sebenarnya, akan
diperolehnya sebagai ahli waris menurut undang-undang.
2. Jika ada dua orang anak yang sah, maka jumlah legitieme portie
untuk masing-masing 2/3 dari bagian yang sebenarnya akan
diperolehnya sebagai ahli waris menurut undang-undang
3. Jika ada tiga orang anak sah atau lebih, maka jumlah legitieme
portie itu menjadi ¾ dari bagian yang sebenarnya akan

78
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Warisan di Indonesia hlm. 72.
79
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata hlm. 115.
89
diperoleh masing-masing sebagai ahli waris menurut undang-
undang.80
Jika ada, seorang anak yang meninggal dunia terlebih
dahulu, haknya atas suatu legitieme portie beralih pada seluruh
anaknya bersama-sama dengan pengertian bahwa anak-anak
berhak atas dengan dasar “penggantian posisi waris”.
Bagi seorang ahli waris dalam garis lurus ke atas, misalnya
orang tua atau nenek, menurut pasal 915 KUH Perdata jumlah
legitieme portie separuh dari bagiannya sebagai ahli waris menurut
undang-undang. Begitu pula menurut pasal 916 jumlah legitieme
portie bagai seorang anak yang lahir di luar perkawinan yang telah
diakui, adalah separuh dari bagiannya sebagai ahli waris menurut
undang-undang.
Sebagai dasar dari segala perhitungan tersebut di atas, harus
dipakai jumlah harga yang diperoleh dengan menaksir harga
benda-benda warisan pada waktu orang yang meninggalkan
warisan itu meninggal, dan bila ada ditambah dengan piutang-
piutang yang ada dan setelah itu dikurangi dengan jumlah hutang-
hutang yang ada selama pewaris hidup dan belum dibayar. Dan
untuk memenuhi rasa keadilan, segala perhitungan itu harus
didasarkan pada harga-harga pada waktu orang yang meninggalkan
warisan itu meninggal.

G. Pembagian Warisan
Ketika seseorang meninggal dunia maka terbukalah waris.
Dan pada umumnya para waris bersama-sama memperoleh suatu
warisan, maka warisan itu harus diadakan pembagian. Peraturan-
peraturan yang termuat dalam Buku II KUH Perdata perihal
boedelscheiding (pasal 1066 dst) oleh undang-undang ditetapkan
berlaku untuk segala macam pembagian dari tiap kekayaan
bersama yang belum terbagi. Jadi tidak saja untuk pembagian
warisan, tetapi juga misalnya untuk pembagian kekayaan bersama
yang terjadi karena perkawinan atau karena beberapa orang
80
Ibid. Dan Bandingkan pula dengan pendapat Eman Suparman tentang
bagian masing-masing ahli waris dalam Hukum Waris Indonesia
(Bandung : Refika Aditama, 2007) hlm. 36.
90
bersama-sama telah mendirikan suatu persekutuan dagang. Karena
itu istilah boedel scheiding diartikan sebagai suatu perbuatan
hukum yang bermaksud untuk mengakhiri suatu keadaan, dimana
terdapat suatu kekayaan bersama yang belum terbagi. 81
Hak untuk menuntut pembagian suatu kekayaan bersama,
adalah suatu hak yang tidak boleh dikurangi, apalagi dihapuskan.
Tiadapun orang yang dapat dipaksa untuk menerima saja suatu
keadaan dimana ia bersama-sama dengan orang-orang lain
mempunyai suatu kekayaan yang tidak terbagi. Bahkan suatu
perjanjian yang mengandung suatu larangan untuk mengadakan
pembagian suatu kekayaan bersama, adalah batal demi hukum.
Sebaliknya kepada orang-orang yang mempunyai piutang-
piutang terhadap orang yang meninggal, oleh undang-undang
diberikan hak untuk mengadakan perlawanan terhadap pembagian
warisan selama piutang-piutang itu belum dilunasi. Hak untuk
menentang pembagian ini, diberikan kepada mereka, karena
mereka hanya dapat menyita harta peninggalan selama kekayaan si
meninggal belum terbagi antara para ahli waris.
Tentang cara mengadakan boedelscheiding, oleh undang-
undang ditetapkan, bahwa itu tergantung pada situasi dan keadaan
tertentu. Apabila semua ahli waris sudah cakap untuk bertindak
sendiri dan semuanya berada di tempat, artinya dapat hadir sendiri
(atau bagi yang tidak hadir memberikan kuasa kepada orang lain),
maka cara melakukan pembagian itu dilakukan sendiri oleh para
ahli waris. Hal penting yang harus adalah adanya 2 (dua)orang
saksi, yang akan melihat pembagian waris tersebut.
Apabila diantara para ahli waris ada anak-anak yang masih
di bawah umur atau ada yang ditaruh di bawah curatele, maka
pembagian warisan itu harus dilakukan dengan suatu akta notaris
dan dihadapkan weeskamer. Hal ini didasarkan pada pemikiran
untuk melindungi kepentingan mereka.
Hal yang terkait dengan pembagian warisan adalah soal yang
disebut dengan “inbreng’ yaitu pengembalian benda-benda ke
dalam boedel. Apabila orang yang meninggal dunia pada waktu

81
Ibid. hlm. 116.
91
masih hidupnya telah memberikan benda-benda secara schenking
(hibah) sementara waris. Pemberian semacam itu dapat dianggap
sebagai “voorschot” atas bagian warisan yang akan diperhitungkan
kemudian. Perhitungan ini dapat dilakukan dengan mengembalikan
benda yang telah diterima itu atau dengan memperhitungkan
harganya menurut taksiran. Apabila cara yang kedua yang akan
digunakan maka apabila schenking yang diterima lebih, maka
harus memberikan kepada yang lain, dan sebaliknya jika dinilai
kurang, maka masih dapat menuntut kekurangan hak tersebut.
Menurut undang-undang, yang wajib untuk melakukan
inbreng tersebut adalah para ahli waris dalam garis lurus ke bawah,
dengan tidak membedakan apakah mereka itu mewarisi menurut
undang-undang atau ditunjuk dalam testament, dan tidak
membedakan apakah mereka menerima warisannya secara penuh
atau menerima sebagian. Dan orang yang meninggalkan warisan
berhak untuk menetapkan, bahwa ahli waris-ahli waris yang telah
menerima pemberian sewaktu orang yang meninggal tersebut
masih hidup, akan dibebaskan dari inbreng.
Dasar pikiran tentang inbreng ini adalah bahwa orang yang
meninggal, harus memperlakukan secara adil terhadap anak-anak
atau cucu-cucunya. Sedangkan terhadap ahli waris-ahli waris yang
bukan anak atau cucu, kehendak untuk berlaku adil itu dianggap
tidak ada.
Aturan mengenai inbreng mempunyai perbedaan dalam
sifatnya dengan peraturan perihal legitimatie portie. Legitimatie
portie bertujuan untuk melindungi kepentingan ahli waris, yang
sangat rapat hubungannya dengan orang yang meninggal. Karena
itu peraturan-peraturan tersebut mempunyai sifat memaksa, artinya
tidak dapat disingkirkan. Sedangkan peraturan perihal inbreng
masih dapat disingkirkan. Seorang yang pernah menerima suatu
pemberian benda sewaktu orang yang meninggal masih hidup,
tidak perlu melakukan inbreng jika ia bukan ahli waris. Hanya saja
masih dapat dituntut untuk pengurangan atas pemberian itu, jika
terbukti dengan pemberian itu merugikan ligitimatis.
Jika salahah seorang ahli waris berhutang pada orang yang
meninggal maka terdapat pendapat yang menyatakan bahwa
92
hutang itu harus juga diperhitungkan, seolah-olah suatu inbreng.
Sebab pembayaran hutang kepada boedel memang diharuskan
terhadap tiap orang yang berhutang, sedangkan inbreng berlaku
terhadap seorang ahli waris dalam garis lurus ke bawah.

Daftar Pustaka

Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta : Rajawali,


1984,

Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Bandung :


Citra Aditya Bakti, 1993.

A. Pitlo, Hukum Waris Jilid I, Jakarta : Intermasa, 1979.

C.S.T.Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia,


Jakarta : Balai Pustaka, 1986.

Eman Suparman, Intisari Hukum Waris Indonesia, Bandung :


Mandar Maju, 1985.

______________, Hukum Waris Indonesia, Bandung : Refika


Aditama, 2007,
93
J. Satrio, Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak
Tanggungan Buku 2, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1998.

R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, Bab-Bab


tentang Hukum Benda, Surabaya : Bina Ilmu, 1984.

Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perorangan dan


Kekeluargaan di Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika, 2006.

Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum


Acara Perdata Dalam Teori dan Praktik, Bandung : Mandar
Maju, 1995.

Rochmat Soemitro, Hukum Perseroan Terbatas, Yayasan dan


Wakaf, Bandung : Erisco, 1993.

Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Jakarta :


Sinar Grafika, 2005.

Sri Soedewi Masjchoen, Hukum Badan Pribadi, Jogyakarta :


Badan Penerbit Gajah Mada, tt .

_____________________, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-


Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan,
Yogyakarta : Bina Usaha, 1980.

Subekti, Aspek-Aspek Hukum Perdata, Jakarta : Intermasa, 1984.

_______, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta : Intermasa, 1995.


Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar)
Yogyakarta: Liberty, 1986.

Vollmar, Pengantar Studi Hukum Perdata Jilid I, diterjemahkan


oleh I.S. Adiwimarta, Jakarta : Rajawali Press, 1989.
94
________, Pengantar Studi Hukum Perdata Jilid II, diterjemahkan
oleh I.S. Adiwimarta Jakarta : Rajawali Press, 1996.

Wirjono Prodjodikoro, Hukum Warisan di Indonesia, Bandung :


Sumur, 1980.

Anda mungkin juga menyukai