Anda di halaman 1dari 25

”Ya,” jawab Arya.

”Aku orang Banyubiru sejak lahir,” katanya lantang penuh kebanggaan.

”Aku percaya, Ira. Kau memang lahir di Banyubiru, dibesarkan di Banyubiru, dan
dewasa di Banyubiru,” sahut Wanamerta, ”Dan agaknya kau sekarang sedang mencoba
untuk membalas budi kepada tanah yang telah memberikan kepadanya makan, di saat
lapar dan memberimu air di saat kau haus.”

Orang itu terkejut. Memang matanya agak kurang jelas di dalam gelap, sehingga ia
terlambat mengenal Wanamerta. Ketika ia mendengar suara itu, serta suara itu menyebut
namanya dengan tepat, barulah ia berusaha mengenalnya baik-baik.

Tiba-tiba terpekik dan berlari memeluk kaki orang tua itu.

”Bukankah Tuan... Kiai Wanamerta?”

”Akulah,” jawab Wanamerta.

”Maafkan aku Kiai. Aku kurang mengenal Kiai di malam yang gelap ini,” kata orang itu.

”He, Ira...” bentak pemimpin rombongan itu, ”Apa yang sedang kau lakukan?”

”Orang ini adalah Kiai Wanamerta,” jawab Ira, ”Ia adalah tetua tanah perdikan ini.”

”Tidak!” bentak pemimpin itu.

”Tak ada yang pantas disujudi di tanah ini selain Ki Ageng Lembu Sora.”

”Tetapi Kiai Wanamerta adalah emban kepala perdikan ini sejak aku lahir, sejak
pemerintahan tanah perdikan ini dipegang oleh Ki Ageng Sora Dipayana.”

”Jangan menggurui aku,” bentak pemimpin itu, yang ternyata orang Pamingit.

”Akupun kenal Kiai Wanamerta. Agaknya benar itulah orangnya. Semula memang aku
agak kurang mengenalnya kembali setelah ia menjadi bertambah tua. Tetapi Wanamerta
adalah orang yang tak berarti bagi Banyubiru.”

Orang Banyubiru yang bernama Ira itu agaknya kurang senang mendengar kata-kata
pemimpinnya itu. Maka iapun berkata, ”Jangan berkata begitu. Supaya aku tetap
menghormatmu.”

”Apa...?” jawab orang Pamingit itu sambil membelalakkan matanya.

”Kau akan melawan pemimpinmu?”


Oleh bentakan itu, sadarlah Ira, bahwa bagaimanapun juga ia berada di bawah perintah
orang Pamingit itu. Karena itu iapun terpaksa berdiam diri menahan hati. Tetapi dengan
demikian, sadarlah ia bahwa apa yang dilakukannya selama ini ternyata bertentangan
dengan suara hatinya.

Ia hanya sekadar hanyut dalam arus yang tak dimengertinya sendiri. Ia mendengar segala
macam ceritera dan caci maki terhadap orang-orang Banyubiru yang tidak mau menerima
Lembu Sora memegang pemerintahan atas Pamingit dan Banyubiru.

Pada saat itu ia mengira bahwa orang-orang itu memang benar-benar orang-orang yang
akan membuat kacau saja. Apalagi kemudian berita tentang kehadiran Bantaran di tanah
lapang di ujung kota, dan membuat onar tanpa mengetahui keadaan sebenarnya. Sebab
yang tersiar hanyalah berita tentang Bantaran ngamuk.

Tetapi tak ada yang mengatakan bahwa sebenarnya seorang Pamingit yang buas sedang
berusaha untuk merendahkan kehormatan seorang wanita Banyubiru, yang kebetulan
wanita itu adalah istri Panjawi.

Disusul kemudian berita tentang Wanamerta, Sendang Papat dan Sendang Parapat, yang
seolah-olah merupakan suatu kelompok yang akan merampok keramaian gila-gilaan
ditanah lapang yang sama, bahkan kemudian Sendang Papat telah membakar seperangkat
gamelan. Juga dalam kabar-kabar yang tersiar itu tak terdapat kata-kata, seorang telah
menusuk lambung Sendang Parapat ketika Sendang bersuadara itu sedang melindungi
seorang dari kemarahan orang-orang Banyubiru.

Tetapi sekarang ketika Ira berhadapan dengan Wanamerta, tiba-tiba terasa bahwa berita
itu sama sekali tidak benar. Orang seperti Wanamerta ini, tidak akan mungkin melakukan
kebiadaban atas rakyat yang dicintainya, atas rakyat yang dibelanya sejak ia
menempatkan dirinya di atas segala kepentingan pribadi.

Di dalam gelap malam itu terasa betapa sejuk wajah yang tua itu, dan betapa manis mata
itu memandangnya, seolah olah terasa udara sejuk menusuk sampai ke tulang
sungsumnya. Berbeda benar dengan pemimpinnya orang Pamingit, yang keras dan kasar
itu.

Keadaan yang hening itu tiba-tiba pecah oleh suara bentakan pemimpin rombongan
pengawal itu, ”Sekali lagi aku bertanya, siapakah kalian selain Kiai Wanamerta?”

Arya mengangguk perlahan, jawabnya lambat, ”Aku Arya Salaka.”

”Arya Salaka....” kembali Ira terpekik.

TIBA-TIBA rontoklah hati orang Banyubiru itu setelah berhadapan dengan Arya Salaka,
yang selama ini telah dianggap hilang.

Memang ada diantara orang-orang Banyubiru yang dengan sadar menempatkan dirinya
diantara orang-orang Pamingit, tetapi orang-orang seperti Ira inipun banyak sekali
jumlahnya. Orang yang tak tahu arti perbuatannya sendiri. Tetapi Ira takut pula kepada
pemimpinnya. Sebab dengan demikian, ia dapat kehilangan pekerjaan yang dapat
dipakainya sebagai alat untuk berbangga diri terhadap kawan-kawannya.

Berbeda dengan orang-orang Pamingit yang lain. Ketika mereka mendengar nama Arya
Salaka, merekapun segera mendesak maju.

Pemimpin pengawal itupun kemudian mendengus, "Jadi kaulah orang yang mengaku
bernama Arya Salaka?"

"Kenapa mengaku?" tanya Arya.

Orang Pamingit itu tertawa.

Kemudian kepada anak buahnya ia berkata, "Bersiaplah. Ada pekerjaan yang harus
kalian lakukan. Inilah dia orangnya yang mengaku bernama Arya Salaka. Tidakkah
kalian ingin menangkapnya?"

Para pengawal itupun semakin maju. Beberapa orang yang semula masih berdiri di pojok
desa segera mendekat pula dengan senjata terhunus.

"Satu, dua tiga, empat, lima enam."

Salah seorang diantara mereka menghitung jumlah rombongan kecil itu.

"Hanya enam orang. Aneh, apakah memang mereka ini sedang bunuh diri karena putus
asa?"

"Ki Sanak..." kata Arya Salaka tenang, "Jangan mengganggu kami. Sebab kamipun tidak
mengganggu kalian malam ini. Kami hanya ingin minta kesempatan menghadap Eyang
Sora Dipayana. Sesudah itu kami akan kembali."

"Apa perlunya kalian menghadap Ki Ageng Sora Dipayana?" tanya pemimpin pengawal
itu.

"Sebagai seorang cucu, aku harus berbakti kepadanya," sahut Arya Salaka.

Orang itu tertawa kembali. Masih dengan bertolak pinggang ia menjawab, "Jangan
membuat alasan yang aneh-aneh. Dengarlah anak muda yang menamakan diri Arya
Salaka, kalau kau lolos dari penjagaanku ini, kaupun akan binasa di gardu pengawal yang
kedua, yang lebih rapat dan keras. Lihat itu, di bawah rumpun wregu di sana. Itulah gardu
penjagaan kedua, dan disamping gardu itu pulalah laskar Pamingit bersiap untuk
menerima kedatangan laskarmu besok pagi."

"Tidakkah kita dapat menunda persoalan besok pagi, sampai pada waktunya?" tanya
Arya.

"Sekarang aku akan menghadap eyangku sebagai seorang cucu."

Orang itu menggeleng.

Perintahnya, "Turun dari kuda kalian. Aku harus menangkap kalian, hidup atau mati."

Diam-diam Wanamerta memanggil kedua orang yang membawa obor untuk mendekat.
Setiap saat ia perlukan api obor itu untuk menjalankan panah apinya apabila diperlukan.

Sesaat kemudian terdengarlah orang itu berkata pula, "Duapuluh lima bahu tanah yang
akan kami terima apabila kami berhasil menangkap orang yang menamakan diri Arya
Salaka."

Dada Arya Salaka berdesir mendengar kata-kata itu. Namun demikian dengan tersenyum
ia berkata, "Ah, betapa mahalnya kepalaku yang tak berarti ini. Duapuluh lima bahu
tanah adalah cukup luas. Tetapi kalau yang duapuluh lima bahu itu tanah di sekitar Rawa
Pening, maka aku kira kau akan keberatan."

Tetapi hatinya berkata, "Suatu usaha yang tak kenal kesopanan. Janji itu agaknya telah
menutup kemungkinan untuk mengadakan pembicaraan wajar. Mereka pasti akan
mencari-cari alasan untuk menimbulkan pertengkaran, dan kemudian menangkapnya
hidup atau mati."

Diam-diam Arya Salakapun menghitung jumlah mereka. Tidak kurang dari limabelas
orang. Tetapi sebenarnya limabelas orang itu tak banyak berarti bagi rombongan kecil
yang hanya berjumlah enam orang itu.

Terdengar kemudian orang Pamingit yang sudah mulai kehilangan kesabaran itu
membentak, "Aku punya wewenang untuk menangkap kau. Kalau mungkin hidup, kalau
tidak, matipun tak akan mengurangi hadiah yang sudah dijanjikan."

"Bagaimana kalau kau yang mati? Adakah kau akan menerima hadiah pula?" Tiba-tiba
Wanamerta bertanya.

"Diam!" bentak orang Pamingit itu marah.

"Meskipun tak ada hadiah yang dijanjikan buat kau, namun aku ingin juga menyobek
mulutmu itu."

Wanamerta mengangkat alisnya yang sudah mulai keputih-putihan. Tetapi kesan


wajahnya masih tetap saja, sejuk. Bahkan wajah Ira lah yang menjadi tegang mendengar
kata-kata kasar dari pemimpinnya itu.

Tetapi sekali lagi ia tidak mau berbuat apa-apa yang dapat merugikan kedudukannya.
Dalam ketegangan itu terdengarlah Wanamerta berkata, "Adakah kau mendengar ceritera
tentang tanah lapang beberapa hari lampau? Pada saat itu aku dan Sendang Papat pun
telah hampir mati dikeroyok oleh orang-orang Pamingit. Tetapi tiba-tiba datang beberapa
orang pemuda. Salah seorang daripadanya dapat memecahkan kepala kuda dengan
tangannya. Waktu orang-orang Pamingit keheranan dan ketakutan, ia berkata, "Arya
Salaka pun mampu berbuat demikian. Nah, adakah kau dengar. Sekarang biarlah Arya
Salaka mencoba. Karena kau bersikap permusuhan biarlah kepalamu saja yang
dipecahkan."

ARYA SALAKA sendiri geli mendengar kata-kata itu, namun ternyata ada juga
akibatnya. Memang orang Pamingit itu pernah mendengar peristiwa dari kawan-
kawannya. Tanpa sadar Arya Salaka mengamat-amati tangan anak muda itu. Di dalam
gelap ia melihat tangan itu tidak lebih dari tangan-tangan yang lain. Tidak sebesar tangan
raksasa, dan tidak terbuat dari baja.

”Omong kosong!” Tiba-tiba pemuda itu bergumam, namun hatinya sendiri ragu. Tetapi
bukankah ia mempunyai banyak kawan? Dan bukankah dengan memukul kentongan,
gardu penjagaan kedua akan memberinya bantuan? Bahkan dengan isyarat ia dapat
menyiapkan laskar Pamingit yang nanti tengah malam akan membuat gelar perang, untuk
melawan laskar Arya Salaka.

Karena pikiran itu, pemuda itu menjadi tenang kembali.

Dengan beraninya ia berteriak, ”Sekali lagi aku peringatkan, turun dari kuda kalian.”

Kali ini agaknya orang Pamingit itu sudah tidak mau berbicara lagi. Mungkin ia akan
langsung menyerang atau akan memukul tanda bahaya. Kemungkinan yang kedua itulah
yang pasti akan dilakukan segera apabila ia tahu bahwa di dalam rombongan kecil itu ada
Mahesa Jenar dan ada orang yang pernah bertempur melawan beberapa orang berkuda
sekaligus ditanah lapang, Kebo Kanigara.

Arya Salaka pun tidak mau membuang-buang waktu, sebab tengah malam ia harus sudah
berada diantara laskarnya kembali. Karena itu ketika ia sudah tidak mempunyai pilihan
lain, kecuali dengan kekerasan atau tindakan-tindakan semacam itu, maka segera iapun
meloncat turun. Tetapi demikian ia menjejak tanah, demikian ia melangkah dengan
lincahnya menangkap pergelangan orang Pamingit itu.

Orang itu terkejut bukan main. Sama sekali tak diduganya bahwa anak muda itu dapat
bergerak sedemikian tangkasnya seperti burung lawet yang menari-nari di udara. Tetapi
segala sesuatu telah terlambat. Tangan orang Pamingit itu terasa seperti terhimpit besi.
Perasaan nyeri dari pergelangan tangan itu menjalari tubuhnya sampai ke ujung ubun-
ubun. Terdengar orang itu mendesah menahan sakit.

Tetapi ia adalah pemimpin rombongan pengawal. Tentu saja ia tidak mau menunjukkan
kelemahannya di hadapan anak buahnya. Dengan tangan kirinya ia mencoba
menghantam dada Arya Salaka. Arya melihat tangan yang terayun ke arah dadanya.
Namun kekuatan orang Pamingit itu sebagian besar telah lenyap karena perasaan
sakitnya. Dengan demikian, ayunan tangannya itu sama sekali sudah tak berarti.

Arya Salaka pun sama sekali tidak menghindar ketika dadanya dibentur oleh pukulan itu.
Bahkan dengan tertawa pendek ia berkata, ”Jangan meronta-ronta anak nakal. Sekali-kali
kau perlu mendapat pelajaran.”

Bukan main panasnya hati orang Pamingit itu mendengar kata-kata Arya Salaka. Dengan
mengerahkan tenaganya ia berusaha melepaskan tangannya. Tetapi semakin ia berusaha,
semakin sakit tangan Arya Salaka menghimpitnya.

Meskipun demikian ia tidak putus asa, dengan kakinya ia mencoba menyerang. Namun
dengan satu putaran, ia menjadi tidak berdaya. Orang-orang yang menyaksikan peristiwa
itu seperti terpaku di tempatnya. Mereka seperti melihat pertunjukan yang aneh. Tiba-tiba
saja mereka melihat pemimpinnya terpilin tangannya dan kemudian mengaduh tanpa
dapat melawan. Ketika mereka sadar, segera merekapun bergerak maju. Mereka sudah
siap menyerang bersama-sama.

Tetapi dalam pada itu terdengar Arya berkata, ”Tidakkah kau dapat mengajari anak
buahmu untuk tidak berbuat hal-hal yang dapat membawa bencana bagimu?”

Orang Pamingit itu tahu benar maksud Arya Salaka itu. Namun ia masih mencoba
menggertaknya, katanya, ”Biarlah kau merasakan betapa tajamnya tombak orang-orang
Pamingit. Kalau kau tak segera melepaskan tanganku, umurmu akan menjadi semakin
pendek.”

Arya Salaka tertawa. ”Kau dengar?” katanya kepada para pengawal, "Pemimpinmu akan
memberi perintah kepadamu.”

”Bohong,” bantah pemimpin pengawal itu, ia masih akan berkata lagi ketika tiba-tiba
Arya menekan lambungnya dengan tangkai tombaknya. Orang Pamingit itu menyeringai
kesakitan. Tangkai tombak itu benar-benar menyesakkan nafasnya.

Apalagi ketika terdengar Arya berkata, ”Tombak orang Banyubiru agaknya memang
tidak begitu tajam seperti tombak orang-orang Pamingit, namun tombak inipun akan
dapat merontokkan tulang igamu.”

Ternyata orang Pamingit itu masih sayang kepada tulang iganya. Dengan segan-segan ia
terpaksa berkata agak keras, ”Jangan berbuat sesuatu demi keselamatanku.”

Para pengawal itupun tertegun. Mereka jadi bingung, apa yang akan mereka lakukan.
Kalau mereka menyerang bersama-sama, mungkin pemimpinnya itu akan mati. Tetapi
kalau mereka tidak berbuat apa-apa, bukankah mereka telah berbuat kesalahan, dan
sekaligus mimpi mereka tentang tanah yang duapuluh bahu itu akan lenyap?
Dalam keraguan itu terdengarlah Arya berkata, ”Dengarlah para pengawal yang belum
mengenal kawan-kawan seperjalananku. Kecuali aku dan Eyang Wanamerta terdapat
juga seorang yang pernah kau dengar namanya, yaitu Paman Mahesa Jenar. Di
sampingnya adalah orang yang pernah menggemparkan tanah lapang itu pula. Ketika itu
orang-orang Pamingit mencoba menangkap Bantaran.”

Pemimpin pengawal itu menggeliat.

”Setan!” Ia mengumpat di dalam hati. Pada saat itu iapun ikut serta mengeroyok orang
itu. Tetapi tidak kurang dari sepuluh orang berkuda sama sekali tak berhasil
menangkapnya. Bahkan beberapa orang kawannya telah jatuh menjadi korban. Sedang
para pengawal yang lainpun pernah juga mendengar ceritera itu dari kawan-kawan
mereka atau dari pemimpinnya itu.

”Masihkah kalian akan melawan kami?” tanya Arya Salaka.

MEREKA diam seperti patung. Ternyata di dalam rombongan itu terdapat orang-orang
yang bagi mereka hanya pernah mereka kenal sebagai tokoh-tokoh dalam ceritera-ceritera
kepahlawanan yang sakti tiada taranya.

Hanya pemimpin rombongan pengawal itu sajalah yang benar-benar menyaksikan betapa
Kebo Kanigara bertempur melawan mereka. Karena itu nafsu perlawanan merekapun
menjadi lenyap.

Mereka memang dapat memukul tanda bahaya, dan mengundang kawan-kawan mereka
dengan tanda-tanda itu. Namun melawan tokoh-tokoh sakti yang seolah-olah sudah
bukan manusia biasa lagi, mereka agaknya menjadi segan, sebab sebelum kawan-kawan
mereka datang, nyawa mereka pasti sudah beterbangan.

Arya Salaka merasakan betapa dalam pengaruh kata-katanya itu. Karena itu segera ia
mempergunakan kesempatan. Katanya, ”Ki Sanak. Marilah antarkan aku sampai ke
rumah Paman Lembu Sora. Bukankah sudah tidak begitu jauh lagi? Setidak-tidaknya
untuk melampaui gardu penjagaan dan tempat-tempat pemusatan laskar Pamingit itu.”

Pemimpin rombongan itu menggeram. Ia menjadi marah sekali. Tetapi tak satupun yang
dapat dilakukan. Sebab ia tahu benar, bahwa tombak anak muda itu setiap saat dapat
menembus jantungnya. ”Marilah...” kata Arya, ”Berkuda bersama-sama dengan aku.”

Sungguh suatu pekerjaan yang tak menyenangkan. Tetapi ia masih ingin dapat melihat
bintang-bintang yang bertebaran di langit biru. Karena itu ia tidak membantah. Selagi ia
masih hidup, ia masih mempunyai harapan untuk melepaskan diri. Dengan langkah yang
kosong pemimpin pengawal itu didorong oleh Arya Salaka ke kudanya untuk kemudian
meloncat ke punggung kuda itu dan menaikinya bersama-sama. Kemudian kuda-kuda
itupun bergerak.
”Kau tahu apa yang harus kau lakukan untuk menyelamatkan jiwamu?” bisik Arya
kepada orang Pamingit itu. Orang itu tidak menjawab. Tetapi kupingnya serasa tersentuh
api.

Meskipun demikian ia berkata, ”Jangan berbuat sesuatu, supaya aku tidak memecatmu.”

”Padamkan obor,” perintah Arya seterusnya. Ketika obor-obor mereka telah padam,
mereka meneruskan perjalanan mereka yang penuh dengan bahaya. Sebab mereka sama
sekali tidak menduga bahwa telah diundangkan suatu hadiah yang menarik untuk
menangkap Arya Salaka. Hal itu akan sangat mempengaruhi cara berpikir orang-orang
Pamingit dan orang-orang Banyubiru yang berhati goyah.

Sementara itu Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara memuji di dalam hati mereka. Ternyata
Arya memiliki ketangkasan berpikir yang cukup. Dalam keadaan yang demikian, ia dapat
mengatasinya tanpa banyak keributan. ”Pandai juga anak itu menghemat tenaga,” bisik
Kebo Kanigara.

Mahesa Jenar tersenyum sambil mengangguk, jawabnya, ”Agaknya ia tidak mau


merepotkan orang-orang tua ini.”

Kemudian mereka berdiam diri, Wanamerta berada rapat di belakang Arya Salaka. Dua
orang yang membawa obor itupun kemudian dipanggilnya mendekat.

”Sediakan titikanmu,” perintah Wanamerta. ”Setiap saat kita perlukan api. Kalau
keadaan memburuk harus kita kirimkan tanda-tanda dengan panah sendaren dan panah
api.”

Orang itupun segera menyediakan titikan, emput dan dimik belerang. Supaya dalam
keadaan yang tergesa-gesa mereka dapat segera menyalakan tanda-tanda apabila
diperlukan.

”Kalau terjadi perkelahian jangan hiraukan lawan-lawan kita, tugasmu menyalakan api.”
Wanamerta meneruskan.

”Baik Kiai,” jawab orang itu. Perjalanan menyusur tepi desa itu semakin lama semakin
dalam masuk kota Banyubiru. Meski demikian alangkah sepinya. Tak ada nyala api sama
sekali dalam rumah-rumah di tepi jalan. Agaknya mereka dalam ketakutan yang sangat.
Atau barangkali rumah-rumah di tepi jalan itu sudah tidak berpenghuni. Barangkali
mereka telah mengungsi jauh-jauh untuk menghindarkan diri dari rumah-rumah mereka
yang mungkin akan menjadi ajang perang yang mengerikan.

Orang-orang Pamingit ternyata tidak mempunyai kebesaran tekad seperti orang-orang


Banyubiru. Mereka sedikit banyak menggantungkan pekerjaan yang dilakukan pada upah
yang mereka terima. Mereka bekerja pada Lembu Sora bukanlah karena jiwa pengabdian
mereka kepada tanah kelahiran mereka, atau kepada suatu keyakinan mereka terhadap
kebenaran yang dapat diperjuangkan oleh para pemimpinnya.

Mereka bekerja bukan semata-mata karena para pemimpinnya, tetapi mereka bekerja
semata-mata karena mereka menerima upah. Itulah sebabnya orang Pamingit yang
berkuda bersama-sama dengan Arya itupun lebih senang memelihara hidupnya daripada
melakukan tugasnya dengan jantan. Ia masih mengharap untuk dapat hidup dan
melepaskan diri. Pekerjaannya kemudian hanyalah mereka-reka alasan untuk
membebaskan dirinya dari kemarahan atasannya.

Ketika kuda-kuda itu menjadi semakin dekat dengan gardu penjagaan, hati orang itupun
menjadi semakin gelisah. Apakah yang akan dikatakan kepada mereka kalau orang-orang
di gardu penjagaan itu menghentikan rombongan ini. Sedang kalau mereka akhirnya tahu,
bahwa rombongan ini terdiri dari Arya Salaka dan kawan-kawannya, maka mereka pasti
akan mengambil tindakan. Dengan demikian, maka jiwanyapun terancam pula oleh ujung
tombak Arya Salaka.

Karena itu,demi keselamatan diri, ia berkata perlahan-lahan, ”Kita ambil jalan simpang.”

”Jangan menjebak kami,” sahut Arya Salaka.

”Aku belum gila,” bantah orang itu.

”Apakah yang akan kau katakan di hadapan gardu itu nanti kalau kita melewatinya?”

"Itu bukan urusanku tetapi urusanmu kalau kau masih ingin hidup seterusnya," jawab
Arya

"Karena itu, kita lewat jalan simpang yang sempit disamping pohon Wregu itu," sahut
orang itu.

"Apakah tidak mencurigakan?", tanya Arya.

"Lebih aman bagimu," jawab orang Pamingit itu.

"Dan bagimu juga," Arya meneruskan sambil tertawa.

Tiba tiba terdengar dari gardu penjagaan yang sudah tidak jauh lagi sebuah teriakan,"He,
kemana arah angin?".

Arya tahu bahwa kata-kata itu adalah pertanyaan sandi. Ketika orang Pamingit itu belum
menjawab, Arya meneruskan ujung tombaknya sambil berbisik," terserah kepadamu."

Orang itu semakin marah, tetapi mulutnya berteriak juga untuk keselamatannya,
"Kelaut!".

"Dimana letak bintang Waluku?" terdengar suara dari Gardu.


"Tenggara", jawab orang Pamingit itu.

"He!," kembali orang di gardu berteriak, "Siapa kau?"

Dari gardu pertama mengantar orang Banyubiru yang meninjau medan," jawab orang
yang berkuda bersama Arya itu berteriak.

"Kenapa lewat jalan sempit itu?," bertanya suara itu pula.

"Ia akan singgah kerumahnya sebentar. Makan dan mengambil kambingnya yang
tertinggal ketika keluarganya mengungsi," jawabnya.

Orang di gardu itu diam. Mereka membiarkan rombongan itu lewat meskipun didalam
hati bertanya tanya, "kenapa demikian banyak?," Tetapi karena mereka dapat menjawab
kata kata sandi itu, maka merekapun menjadi tidak bercuriga. Bahkan kemudian
terdengar salah seorang berteriak," Bawa kambing kemari, kita panggang disini."

"Baik," jawab orang Pamingit itu.

Dengan demikian, mereka selamat melampau penjagaan itu. Mereka menyususup jalan
sempit kemudian lewat beberapa halaman, mereka sampai ke jalan kecil yang lain.

"Terimakasih," bisik Arya, "Kau adalah penunjuk jalan yang baik. Tetapi dimanakah
pemusatan laskar Pamingit?"

"Sudah lampau. Diseberang gardu penjagaan tadi," jawabnya.

Arya percaya. Ita tertawa dalam hatinya. Beginilah nilai kesetiaan orang Pamingit.
Mereka tidak lebih daripada laskar bayaran yang tak kenal pengabdian.

Ketika mereka sudah mencapai jalan kecil itu, segera Arya mengenalnya, kemana ia
harus pergi.

Tetapi meskipun demikian ia masih belum melepaskan orang pamingit itu.

Suara telapak kuda terdengar gemeretak diatas tanah yang berbatu padas. Didalam
malam yang sepi terdengar seperti suara prajurit yang berpuluh jumlahnya maju ke
medan perang.

Tiba tiba ketika mereka masih asik berangan angan tentang diri masing masing,
terdengarlah dari arahgardu pertama, suara kentongan yang berbunyi dua kali tiga ganda,
sehingga orang dalam rombongan berkuda itu menjadi terkejut karenanya.

Orang Pamingit itu menjadi gelisah. Siapakah yang telah memberikan tanda. Bahkan
kemudian tanda itu disaut oleh gardu kedua.
"Tanda bahaya?" desis orang Pamingit itu.

"Bahaya apa?," desak Arya.

"Mereka bersiap siap," jawabnya.

"Bohong," potong Arya Salaka, "mereka memberi tanda bahwa ada musuh masuk
kedalam pertahanan mereka."

Orang Pamingit itu diam. Keringat dinginnya mengalir membasahi punggungnya. Ia


sama sekali tidak menduga bahwa anak buahnya akan membunyikan tanda itu, yang
baginya adalah tanda bahwa maut telah menerkamnya. Tiba tiba terasa tengkuknya
meremang seperti dirayapi oleh berjuta-juta semut. Apalagi ketika ujung tombak Arya
semakin lekat di lambungnya.

"Kau masih menduga bahwa tombak orang Banyubiru tidak setajam tombak orang
Pamingit?, tanya Arya.

Orang Pamingit yang semula marah itu kemudian kehilangan kemarahannya, bahkan
dengan menggigil ia menjawab: "Tidak, tidak. itu samasekali bukan salahku. Aku
melarang mereka untuk berbuat hal yang tidak kalian kehendaki."

"Bohong!," bentak Arya, "kau pasti memberikan tanda tanda rahasia kepada mereka."

"Tidak, tidak," orang itu benar benar menggtigil. Ia masih senang untuk tetap hidup.
Apalagi upahnya bulan ini masih belum diterimanya sama sekali. Alangkah
mengerikannya kalau malam ini ia terpaksa mati. Lalu bagaimana dengan anak
isterinya?.

"Bukan, bukan salahku. Aku masih ingin hidup. Bukankah aku telah membawa kalian
melampaui gardu kedua?"

Arya harus cepat mengambil keputusan. Suara kentongan itu menjadi semakin merata.
Untunglah bahwa ia sudah mengenal jalan jalan di Banyubiru itu dengan baik. Karena
itu, segera ia mengambil keputusan untuk secepat cepatnya sampai kerumah pamannya.
Mudah mudahan pamannya dapat mengerti alasan kedatangannya dan dapat
menerimanya untuk beberapa saat saja, untuk berbakti kepada kakeknya dan apabila
mungkin membawa ibunya keluar dari sarang sarang orang orang licik itu. Sebab tidak
mustahil kalau ibunya akan dijadikan kambing hitam kemarahan pamannya, atau
malahan dijadikan tanggungannya.

"Kita harus sampai secepatnya," katanya kepada Wanamerta.

Orang Pamingit itu menjadi semakin gemetar......


ORANG Pamingit itu menjadi semakin gemetar. Seolah-olah ujung tombak Arya itu
telah masuk sejari ke dalam perutnya.

”Bagaimana dengan kau?” bentak Arya kepada orang Pamingit itu.

”Bukan salahku. Aku masih ingin hidup,” pintanya dengan suara menggigil ketakutan.

Arya menjadi kasihan juga melihat orang itu.

”Anakku lima orang,” sambungnya, ”Yang terkecil baru berumur 3 bulan. Hidupilah
aku. Aku akan tunduk segala perintahmu.”

Kata-kata itu meluncur saja tanpa terkendali. Meskipun hatinya sendiri merasa ragu.
Sebab kalau ia menghadapi keadaan seperti itu, pasti orang itu akan dibunuhnya. Karena
itu ia mencoba meyakinkan, ”Anak-anakku akan kelaparan kalau aku mati. Aku tidak
punya sawah dan istriku bukan juragan. Karena itu aku harus bekerja menjadi laskar Ki
Ageng Lembu Sora, meskipun itu bertentangan dengan jiwaku sendiri. Sebenarnya
aku....”

Orang itu tidak sempat menyelesaikan kata-kata ketika tiba-tiba ia merasa tangan Arya
mendorongnya. Ia merasa terlempar dari punggung kuda itu dan sekali terguling.
Kemudian ia hanya dapat menyaksikan kuda-kuda itu berlari semakin kencang dan
meninggalkan kepulan debu yang putih. Untuk beberapa saat ia masih duduk di tanah.
Nafasnya bergelora tak teratur. Namun ketika ia meraba lambungnya, dan tidak terdapat
luka sama sekali, ia menarik nafas dalam-dalam. Rupa-rupanya ia masih tetap hidup.

Sambil mengangguk-angguk ia berkata kepada diri sendiri, ”Agaknya anak itu benar-
benar tidak mau membunuh aku. Aneh.”

Suara derap kuda itupun menjadi semakin lambat dan akhirnya menghilang di kejauhan.
Orang Pamingit itu berdiri perlahan-lahan. Punggungnya terasa sakit. Agaknya ia benar-
benar jatuh terbanting. Namun ia masih tetap hidup. Tiba-tiba ia menjadi sangat terharu.
Ia masih mempunyai harapan untuk bertemu dengan anak istrinya. Mudah-mudahan
kalau besok benar-benar terjadi pertempuran, ia dapat hidup pula. ”Tuhan Maha
Pengasih,” desisnya.

Ia terkejut sendiri mendengar kata-katanya. Sudah berapa tahun ia tidak pernah


menyebut nama Tuhan. Dan tiba-tiba ia berjanji pada diri sendiri, kalau ia masih
dikaruniai umur panjang, ia akan rajin mengunjungi masjid. Bahkan ia berjanji untuk
memperbaiki masjid di desanya yang selama ini tak terpelihara.

Ketika ia sedang mengusap air matanya yang tiba-tiba saja membasahi pipinya, tiba-tiba
terdengarlah hiruk pikuk. Ia mendengar langkah orang berlari-lari. Dari tikungan
muncullah beberapa orang bersenjata dan langsung datang kepadanya.

”Siapa kau?” bentak salah seorang.


”Srengga,” jawab orang Pamingit itu.

”Apa kerjamu di sini?” tanya orang itu pula. Orang Pamingit itu menjadi bingung. Lalu
ia menjawab saja sekenanya, ”Aku terjatuh di sini, lihat ini luka di kakiku.”

”Terjatuh dari mana?” tanya orang itu. Srengga semakin bingung ketika tiba-tiba
seseorang bertanya, ”Kau yang melampaui gardu kedua bersama-sama dengan orang-
orang Banyubiru?”

”Ya,” jawabnya kosong.

Akhirnya ia sadar bahwa ia harus menyelamatkan diri pula. ”Aku ditipunya.”

”Bohong,” bentak orang itu.

”Anak buahmu datang kepada kami dan menceriterakan apa yang sudah terjadi.”

Dada orang itu berdesir. Namun ia masih mencoba untuk mengurangi kesalahannya.

Katanya, ”Nah, kalau kau sudah tahu kenapa kalian bertanya. Coba katakan kepadaku
kalau salah seorang dari kalian mengalami keadaan seperti yang aku alami. Apa yang
akan kalian lakukan? Membunuh diri dan membiarkan orang itu lari sesudah mengetahui
keadaan medan? Apakah kalian dengan kaki-kaki kalian dapat mengejar derap lari kuda
mereka?”

”Pengecut,” bentak salah seorang.

”Berapakah jumlah mereka? Dan berapakah jumlah kalian di gardu pertama?”

”Jumlah kami ada 15 orang,” jawab Srengga.

”Limabelas orang dengan orang-orang seperti Ira, Prana, Wreditama yang hanya bisa
jual tampang, Sungsang yang bermata merah tetapi takut melihat darah.”

”Dipimpin oleh Srengga, yang lebih senang memeluk daging panggang daripada
senjatanya,” potong seseorang.

”Jangan banyak bicara,” Srengga mulai marah.

”Kau belum tahu siapa mereka. Coba katakan berapa orang di gardu kedua? Berapa?”

”Juga 15 orang. Tetapi 15 orang di gardu kedua tidak takut melawan limabelas orang
berkuda. Jangankan empat,” jawab yang ditanya.

”Omong kosong,” bentak Srengga.


”Dengar. Dengan apa yang telah aku lakukan, aku telah menyelamatkan kalian. Kau tahu
siapa yang berkuda tadi?”

Orang-orang dari gardu kedua itu tertawa terbahak-bahak. Salah seorang berkata
mengejek, ”Menyelamatkan kami? Apakah yang empat orang itu terdiri dari jin? Atau
setan, hantu... atau tetekan?” ”Lebih dari itu,” potong Srengga.

”Mereka adalah Arya Salaka.”

”He...?” semuanya terkejut mendengar nama itu. ”Kalau benar kau benar-benar gila.
Duapuluh lima bahu dijanjikan untuk menangkapnya, hidup atau mati. Dan duapuluh
lima bahu itu kau sia-siakan?” ”Aku belum selesai,” sahut Srengga, ”Yang lain adalah
Kiai Wanamerta, yang mempunyai takaran tiga empat orang darimu.”

”Masih cukup banyak?” sela seseorang.

”Yang lain lagi...,” Srengga meneruskan, ”Orang itu tidak lain adalah Mahesa Jenar.”
”Mahesa Jenar...?” Mereka berbareng mengulang.

”Ya,” jawab Srengga.

”Dan yang seorang lagi adalah orang yang melindungi Bantaran di tanah lapang
beberapa minggu yang lalu.”

ORANG dari gardu kedua itu tiba-tiba terdiam.

”Nah...” Srengga meneruskan, ”Hitunglah berapa orang harus disiapkan untuk melawan
mereka. Paling-paling kalian hanya berani melawan orang-orang yang membawa obor
itu. Mahesa Jenar dan yang seorang lagi, ditambah dengan Arya Salaka agaknya akan
dapat membunuh kami tigapuluh orang tanpa kesukaran sebelum kami sempat memukul
tanda bahaya.”

Mereka masih tetap diam. Srengga merasa bahwa orang-orang itu membenarkan
sikapnya.

Katanya meneruskan, ”Nah, aku bekerja dengan otakku. Aku tidak melawan mereka.
Aku antarkan mereka masuk lebih dalam ke daerah Banyubiru. Maksudku aku akan
membawanya ke alun-alun. Di sana laskar kita akan berpesta. Bukankah Ki Ageng
Lembu Sora, Sawung Sariti, dan kalau perlu Ki Ageng Sora Dipayana ada?”

Orang dari gardu itu mengangguk-angguk.

Salah seorang dari mereka berkata, ”Agaknya kau pandai bersiasat, Srengga.”

”Itulah,” jawab Srengga, ”Karena ketololan kalian dengan membunyikan tanda-tanda itu,
mereka melarikan diri. Aku dilemparkan dari punggung kuda tanpa dapat berbuat
sesuatu.”

”Ke mana mereka?” tanya orang-orang dari gardu kedua.

”Kau akan mengejar mereka?” tanya Srengga pula.

Orang-orang di gardu kedua itu diam.

”Kembalilah ke gardu kalian.” Tiba-tiba Srengga memerintah. ”Aku akan kembali ke


garduku. Lupakan mimpi burukmu. Tanah duapuluhlima bahu itu. Sebab kalau kepalamu
telah terpisah dari lehermu, kau tidak akan dapat menikmatinya.”

Srengga tidak menunggu jawaban. Ia langsung kembali ke gardunya. Di sepanjang jalan


sempit itu tiba-tiba ia teringat pada kata-katanya sendiri. Kalau Arya Salaka pergi ke
alun-alun, ia benar-benar dapat dikeroyok oleh laskar Pamingit, bahkan mungkin dengan
Lembu Sora dan Sawung Sariti.

Tanpa sadar, merayaplah suatu perasaan yang belum pernah dirasakan Srengga
sebelumnya. Ia tiba-tiba merasa cemas terhadap keselamatan lawannya. Baru kali ini hal
itu terjadi. Namun ia tidak mampu berbuat apa-apa, kecuali tanpa sadar pula ia berdoa di
dalam hatinya, semoga Tuhan Yang Maha Esa melindungi Arya Salaka dan kawan-
kawannya.

Dalam pada itu, laskar Banyubiru yang sedang beristirathat tidak jauh dari perbatasan
kota, mendengar pula tanda-tanda yang dibunyikan oleh orang-orang Pamingit di
Banyubiru. Demikian mereka mendengar bunyi itu, demikian mereka menjadi gelisah.
Sebelum pemimpin-pemimpin mereka memberikan perintah apapun, mereka telah
menyiapkan diri. Semua orang di dalam pasukan itu, apalagi orang-orang yang telah
dipilih oleh Sendang Papat untuk menjadi pelopor laskarnya, telah bersiap diri. Mereka
berdiri tegak dengan tekad yang teguh memandangi lambung bukit di hadapannya. Di
leher mereka melingkar kain putih memplak bergambar gajah berwarna kuning emas
sebagai pertanda kesediaan mereka untuk mati bagi tanah mereka.

Yang paling depan dari mereka itu adalah Sendang Papat sendiri. Tangannya yang
gemetar telah melekat di tangkai pedangnya. Tetapi ia belum melihat tanda apapun. Ia
belum mendengar bunyi sendaren atau melihat panah api naik ke udara. Namun karena
itulah ia menjadi semakin gelisah, jangan-jangan Arya Salaka tidak sempat memberikan
tanda-tanda itu.

”Mustahil,” gumamnya. Di sayap kiri, Bantaran pun menjadi gelisah. Meskipun Ki


Dalang Mantingan tampaknya tenang-tenang saja, namun di dalam dadanya pun bergolak
perasaan cemasnya, dan di tangannya tergenggam erat-erat trisulanya.

Di sayap kanan, Penjawi berjalan hilir mudik di hadapan anak buahnya yang telah
memegang senjata masing-masing. Wirasaba duduk di atas sebuah batu, dan meletakkan
dagunya pada tangkai kapaknya. Sesekali dua kali ia menarik nafas dalam-dalam untuk
mencoba menekan hatinya yang gelisah. Namun merekapun belum melihat tanda apapun
yang melontar ke udara.

Sedang pada saat itu kuda Arya Salaka beserta rombongan meluncur lewat jalan-jalan
sempit di dalam kota. Mereka menjadi semakin dekat dengan alun-alun Banyubiru,
tempat Arya bermain pada masa kanak-kanaknya. Suara kaki-kaki kuda itu berderak-
derak memukul jalan-jalan berbatu memecah sepinya malam.

Beberapa orang yang masih tinggal di rumah masing-masing menjadi semakin ngeri.
Seolah-olah mereka mendegar gemuruhnya gunung yang meledak di hadapan mereka.
”Adakah laskar Arya Salaka telah datang...” bisik mereka.

Seorang ibu sambil memeluk anaknya di pembaringan bergumam, ”Apakah kira-kira


yang akan terjadi...?”

Suaminya, lelaki tua yang duduk di sisinya menjawab lirih, ”Pertempuran akan berkobar
di perbatasan. Mudah-mudahan mereka tidak akan menginjak halaman rumah kita.”

LELAKI tua itu berdiri dan berjalan ke amben di sebelah. Ia melihat selosin anak-
anaknya yang lain sedang tidur nyenyak. Ia menarik nafas panjang. Kalau rumahnya itu
terpaksa dibakar orang, entah orang Pamingit entah orang Banyubiru, dan dirinya sendiri
terpaksa diseret di sepanjang jalan, entah oleh orang Pamingit entah oleh oleh orang
Banyubiru, lalu apakah yang akan terjadi dengan anak-anak itu.

Peperangan adalah sesuatu yang terkutuk. lebih-lebih bagi anak-anak. Anak-anak yang
ingin menikmati kebesaran alam, yang diperuntukkan bagi mereka oleh Maha
Penciptanya. Dalam bentrokan-bentrokan yang demikian itu segala sesuatu dapat terjadi.
Orang yang tangannya telah dibasahi darah, kadang-kadang menjadi kehilangan
kesadaran. Orang-orang yang dalam hidupnya sehari-hari tidak sampai hati membunuh
seekor tikus pun, dalam peperangan kadang-kadang akan dapat melakukan perbuatan-
perbuatan terkutuk. Membunuh, menyiksa dan bahkan terhadap anak-anak.

Di rumah sebelah, lelaki tua itu mendengar tangis bayi melengking-lengking. Tanpa
sesadarnya ia menoleh kepada anak kecilnya yang tidur di pelukan ibunya.

”Jangan menangis,” desisnya kepada anak yang tidur itu. Anak itu memang tidak
menangis. Tetapi hati lelaki itulah yang menangis.

Istrinya tahu bahwa suaminya sedang berpikir tentang bayi yang menangis itu, katanya,
”Mengungsi di rumah sebelah.”

Suaminya tidak menjawab. Perlahan-lahan ia duduk di amben beserta empat anak-


anaknya tidur berjajar. Wajah anak-anak itu tampak bersih bening; sebening udara pagi
hari. Tetapi mereka besok akan menggigil ketakutan; seandainya perang benar-benar
berkobar di perbatasan.
Suara kaki-kaki kuda Arya masih menggemuruh, seperti suara guruh yang menjalar
sepanjang jalan, menuju ke alun-alun. Dalam kegelapan malam, Arya tidak sempat
melihat apakah di alun-alun itu banyak berjaga-jaga laskar Lembu Sora. Yang dilakukan
adalah menerobos alun-alun itu tepat di tengah-tengah. Di antaranya sepasang beringin,
yang tumbuh di tengah-tengah alun-alun itu. Agaknya alun-alun itu memang sepi. Laskar
Lembu Sora hampir seluruhnya telah dikerahkan di pemusatan-pemusatan laskar di garis
pertempuran.

Namun di muka rumahnya, Arya masih melihat segerombolan orang yang agaknya
bertugas menjaga rumah itu. Mereka telah berada dalam kesiagaan penuh, ketika mereka
mendengar tanda kentongan yang mengumandang di garis perbatasan. Ketika mereka
mendengar derap kuda mendekati, merekapun segera memencar. Dari ujung alun-alun
itupun muncul pula segerombolan laskar cadangan.

Tetapi demikian mereka siap, demikian Arya telah berada di hadapan hidung mereka.
Ketika ujung-ujung senjata mengarah kepadanya, Arya menghentikan kudanya.
Demikian juga orang-orang lain dalam rombongan itu.

Dengan tangan kirinya, Arya memegang tombak kebesarannya, sedang tangan kanannya
diangkatnya tinggi-tinggi, sebagai suatu pertanda bahwa ia datang untuk tujuan tanpa
kekerasan. Sebelum mendengar sebuah pertanyaan pun, para penjaga agaknya telah
mengenal beberapa orang diantara rombongan itu.

Wanamerta dan Mahesa Jenar. Karena itu mereka menjadi sangat berhati-hati. Salah
seorang dari mereka kemudian melangkah maju. Ia berhenti beberapa langkah di hadapan
kuda Arya. Dengan seksama ia mencoba memperhatikan anak muda itu. Tetapi malam
cukup gelap dan cahaya obor di kejauhan hanya samar-samar sampai.

Sedang Arya Salaka telah lenyap beberapa tahun semasa ia masih terlalu kecil untuk
datang dengan tombak di tangan. Sekarang, di punggung kuda itu duduk seorang anak
muda yang perkasa. Karena itu orang itu tidak segera dapat mengenal, bahwa anak muda
yang memegang tombak itu adalah Arya Salaka.

Kemudian terdengarlah suara orang itu dengan garangnya, ”Siapakah kau yang datang
bersama-sama dengan Kiai Wanamerta dan Mahesa Jenar?”

Arya Salaka tersenyum. Ia kenal orang itu. Ketika masa kecilnya ia sering datang ke
Pamingit, dan pernah dikenalnya pengawal pribadi pamannya itu.

Jawab Arya, ”Selamat malam Paman Wulungan. Apakah Paman lupa kepadaku?”

Wulungan mengerutkan keningnya.

Sekali lagi ia mengamat-amati anak muda itu.


Namun sampai beberapa lama ia masih belum dapat mengenalnya kembali.

Tetapi akhirnya ia tidak perlu mengingat-ingatnya. Ia dapat bertanya kepadanya.


Tidakkah mustahil bahwa di Banyubiru dan Pamingit ini semua orang mengenalnya
sebagai seorang yang dipercaya untuk menjadi pemimpin pengawal pribadi Lembu Sora
beserta keluarganya? Karena itu sekali lagi ia berkata garang, ”Jawab pertanyaanku.
Siapakah kau?”

Arya masih tersenyum.

Namun ia menjawab, ”Arya Salaka.”

”He...?” Orang itu terkejut, ”Jadi kaukah Angger Arya Salaka?”

”Ya,” jawab Arya.

Orang itu mengangguk-anggukan kepalanya.

Untuk beberapa saat ia terbenam dalam ingatannya beberapa tahun yang lalu. Ia selalu
baik dan hormat terhadap anak ini, sebagai putra Ki Ageng Gajah Sora.

Tiba-tiba kali inipun ia bersikap hormat pula.

Sambil mengangguk ia berkata, ”Aku benar-benar pelupa. Tetapi Angger telah tumbuh
demikian cepatnya.”

Tiba-tiba ia ingat akan tugasnya. Ia ingat tentang apa yang dikatakan Lembu Sora
kepadanya, bagaimanakah ia harus bersikap terhadap keturunan Gajah Sora atau
pengikut-pengikutnya.

Karena itu dengan tiba-tiba pula ia mengubah sikapnya. Ia mencoba untuk berkata
dengan garang seperti semula, meskipun kewibawaan

Arya mempengaruhinya.

”Jadi kau yang menamakan diri Arya Salaka?”

Arya sudah tidak tersenyum lagi.

Ia melihat perubahan sikap itu.

Dengan tenang ia menjawab, ”Ya. Akulah Arya Salaka.”

”Apa perlumu datang kemari?” Wulungan bertanya.

”Aku ingin mengunjungi Kakek Sora Dipayana,” jawab Arya.


”Kau datang dengan laskarmu?” tanya orang itu pula.

Kembali Arya tersenyum, jawabnya, ”Sebagaimana Paman Wulungan lihat. Aku datang
hanya berenam.”

WULUNGAN mengerutkan keningnya. Arya Salaka memang hanya berenam. Tetapi ia


menegaskan, ”Siapakah yang berbaris rapat di perbatasan?”

”Laskarku,” jawab Arya Salaka pendek.

”Apakah dengan demikian kau hanya berenam saja?” tanya Wulungan mendesak.

”Kalau aku datang dengan seluruh laskarku, maka pertempuran pasti sudah berkobar,”
jawab Arya.

”Bukankah maksudmu memang demikian?” sahut Wulungan.

Arya memandang Wulungan dengan seksama. Perubahan sikapnya yang tiba-tiba, serta
pertanyaannya yang mendesak, mengingatkannya kepada kata-kata Srengga di gardu
pertama. ”Duapuluhlima bahu buat menangkap Arya Salaka. Hidup atau mati.”

”Janji yang terkutuk,” desis hatinya.

Kemudian kepada Wulungan ia berkata, ”Memang. Maksudku adalah kembali ke


Banyubiru. Disetujui atau tidak oleh Paman Lembu Sora. Karena itu pertempuran bisa
saja berkobar setiap saat. Nah, sebelum aku dibunuh atau membunuh, aku ingin
menghadap Eyang Sora Dipayana untuk menyampaikan baktiku sebagai seorang cucu,
serta mohon restu sebelum aku mulai dengan tugas beratku ini.”

Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara terpaksa menahan napasnya mendengar jawaban Arya
Salaka. Agak terlalu keras. Namun mereka cukup mengerti, bahwa Arya berbicara
dengan Wulungan, pimpinan laskar pengawal pribadi Lembu Sora, tidak lagi kepada
Srengga. Dengan demikian Arya tidak perlu terlalu banyak merendahkan dirinya.

Terhadap orang seperti Wulungan, Arya memang harus mempertegas maksudnya. Tetapi
berbeda dengan dugaan Arya Salaka, Wulungan tidak mendesaknya lagi seperti semula.
Di dalam dada orang itu, timbullah kembali rasa hormatnya.

Memang Arya Salaka sejak kecil menunjukkan sifat jantannya. Dengan demikian maka
Wulungan menjadi percaya, bahwa Arya Salaka itu benar-benar Arya Salaka yang
dikenalnya pada masa kecilnya.

Karena itulah, maka ia menjadi lunak.

Permintaan Arya untuk bertemu dengan eyangnya bukanlah permintaan yang berlebih-
lebihan. Apakah yang akan dilakukan, kalau ia hanya datang berenam? Di hadapan Ki
Ageng Sora Dipayana yang sakti, Ki Ageng Lembu Sora dan Sawung Sariti, mereka pasti
tidak akan dapat berbuat sesuatu kecuali benar-benar seperti apa yang dikatakan, mohon
restu dan menyampaikan bakti seorang cucu.

”Angger Arya Salaka...” jawab Wulungan, ”Permintaan Angger akan kami sampaikan
kepada Ki Ageng Sora Dipayana. Terserah keputusan yang akan diambilnya. Menerima
atau tidak menerima kehadiran Angger.”

Arya Salaka, Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, dan Wanamerta menarik nafas panjang
mendengar keputusan Wulungan.

Terdengar Arya Salaka perlahan-lahan berkata, ”Terimakasih Paman Wulungan.”

Tetapi ketika Wulungan memanggil seseorang untuk menyampaikan pesan itu kepada Ki
Ageng Sora Dipayana, terdengarlah suara tertawa nyaring, meskipun tidak terlalu keras.

Kemudian dari dalam regol halaman terdengar suara, ”Agaknya kau mempunyai
pimpinan baru Paman Wulungan.”

Wulungan terkejut seperti juga Arya Salaka, Wanamerta, Mahesa Jenar dan Kebo
Kanigara. Karena itu tiba-tiba Wulungan terhenti di tempatnya seperti patung. Perlahan-
lahan ia menoleh dan mencoba melihat, siapakah yang berkata itu, meskipun dengan
mendengar suaranya ia sudah dapat menebaknya.

Sesaat kemudian muncullah seorang anak muda dengan pedang yang besar di
pinggangnya. Sawung Sariti.

Wulungan mengangguk hormat kepadanya, dan bertanya, ”Apakah maksud Angger?”

”Akulah yang berhak memberikan perintah, mengubah dan mencabut perintah, selain
ayah Lembu Sora,” katanya.

”Apa perintahku yang aku ulangi sore tadi?” Wulungan menarik nafas panjang, sebab
tiba-tiba nafasnya terasa berhenti di kerongkongan.

Terhadap Sawung Sariti sebenarnya Wulungan agak kurang senang. Sikapnya yang
sombong, keras dan menghina orang lain. Meskipun anak muda ini berhati baja pula.
Namun ia merasakan perbedaan sifat antara kedua anak muda yang kebetulan dua
bersaudara sepupu. Tetapi ia adalah pimpinan laskar pengawal pribadi Lembu Sora.
Karena itu ia harus menjalankan pekerjaannya baik-baik.

Maka jawabnya, ”Angger memerintahkan, tak seorangpun boleh memasuki kota, apalagi
halaman rumah ini.”

”Bagus,” sahut Sawung Sariti sambil menarik bibirnya. ”Apa yang akan Paman
kerjakan?” ”Mencoba menyampaikan pesan angger Arya Salaka untuk Ki Ageng Sora
Dipayana,” jawab Wulungan.

”Bagaimanakah seharusnya Paman menjawab?” desak Sawung Sariti.

”Menolak permintaan itu,” jawab Wulungan.

Namun ia meneruskan, ”Tetapi ia adalah Angger Arya Salaka, yang sekadar ingin
bertemu dengan kakeknya.”

”Justru ia menamakan diri Arya Salaka!” bentak Sawung Sariti. Wulungan terdiam. Ia
tahu sifat anak muda itu. Ia biasa membentak-bentaknya di hadapan laskarnya dengan
kata-kata yang menyakitkan hati.

Bahkan kemudian Sawung Sariti berkata, ”Malahan ayah Lembu Sora menyanggupkan
hadiah duapuluhlima bahu bagi mereka yang dapat menangkap anak muda yang
menamakan diri Arya Salaka. Nah sekarang anak itu telah datang menyerahkan dirinya.”

Wulungan masih terdiam. Duapuluhlima bahu baginya sama sekali tidak berarti. Di
Pamingit ia memiliki tanah yang berlebihan. Bahkan tenaganya tak mampu lagi untuk
menggarap seluruhnya. Namun yang penting baginya, sikap yang demikian bukanlah
sikap yang jantan. Bukankah Arya Salaka dengan jantan datang tanpa pasukan untuk
menyampaikan sujudnya kepada kekeknya? Meskipun kakeknya berada di pusat
kekuasaan lawannya.

Tetapi kemudian ia mencoba untuk melupakan tanggapannya itu. Bukankah sudah


sekian lama ia sendiri hanyut dalam arus ketidakjantanan sikap Lembu Sora? Akhirnya ia
sadar bahwa sikap Sawung Sariti lah yang telah mendesaknya untuk menilai kembali
setiap perbuatan yang pernah dilakukan.

SEBAGAI orang yang jauh lebih tua, Wulungan kadang-kadang merasa sangat terhina
oleh pokal anak muda itu. Namun ia tidak dapat berbuat sesuatu, sebab Sawung Sariti
adalah putra Ki Ageng Lembu Sora, putra seorang yang memberinya kedudukan dan
pangkat. Demikian juga kali ini. Ia tidak dapat berkata apapun, selain menundukkan
kepala.

"Tidakkah Paman berusaha menangkapnya?" tanya Sawung Sariti.

"Sekarang Angger ada di sini," jawab Wulungan, "Aku menunggu perintah Angger."

"Kalau aku tidak datang bagaimana?" bentak Sawung Sariti.

Kembali Wulungan terdiam.

Arya Salaka, Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan Wanamerta, yang menyaksikan
peristiwa itu, perasaan mereka ikut tersinggung pula. Sikap yang demikian bukanlah
sikap yang tahu adat. Wulungan, meskipun ia adalah seorang bawahan saja, namun ia
berumur jauh lebih tua dari Sawung Sariti. Apalagi Arya menganggap bahwa sikap
Wulungan adalah bijaksana.

Karena itu tiba-tiba timbullah keinginan untuk menarik perhatian Sawung Sariti,
katanya, "Adi Sawung Sariti. Baiklah aku langsung minta ijin kepadamu, untuk
menghadap Kakek Sora Dipayana."

Sawung Sariti menoleh kepada Arya Salaka. Tetapi sesaat saja. Kemudian ia kembali
memandangi Wulungan. "Paman. Baiklah kalau aku harus memberikan perintah berulang
kali. Meskipun Paman seorang anggota laskar pengawal ayah Lembu Sora yang sudah
kenyang makan garam. Dengarlah Paman, tak seorangpun aku ijinkan masuk ke dalam
kota, apalagi ke dalam halaman rumah ini. Siapapun dan dengan alasan apapun."

Wulungan masih menundukkan kepalanya.

"Kau dengar, Paman...?" tanya Sawung Sariti dengan lantang.

"Ya, aku dengar," jawab Wulungan. "Nah. Laksanakan," perintah Sawung Sariti.
Wulungan mengangkat mukanya. Dipandanginya wajah Arya Salaka yang masih duduk
di atas kudanya. Kemudian katanya dengan tenang, "Angger, Angger telah mendengar
perintah Angger Sawung Sariti. Tak seorangpun boleh memasuki halaman ini, dengan
alasan apapun."

"Alangkah liciknya anak muda itu," pikir Arya. Ia hanya berkesempatan untuk berbicara
dengan Wulungan, yang hanya dapat menjalankan perintah. Namun demikian ia mencoba
untuk sekali lagi berbicara langsung kepada Sawung Sariti, katanya, "Adi, dapatkah Adi
Sawung Sariti berlaku bijaksana? Aku hanya ingin sekadar menghadap Eyang Sora
Dipayana."

Sawung Sariti diam saja. Dengan senyum yang menyakitkan hati ia berkata kepada
Wulungan, "Lakukan tugasmu baik-baik. Aku akan naik ke pendapa."

"Gila!" Arya Salaka berdesis. Ia adalah anak muda pula. Darahnya masih hangat-hangat
panas. Karena itu ia benar-benar merasa terhina. Maka ia berteriak keras-keras, "Tak
seorangpun yang dapat menghalangi aku masuk ke halaman rumahku sendiri. Minggir
kalian, atau aku harus membunuh kalian."

Tiba-tiba pula, tombaknya telah berpindah di tangan kanannya. Ujungnya telah tunduk
setinggi dada orang yang berdiri di atas tanah.

Semua yang mendengar suara Arya Salaka itupun terkejut. Sawung Sariti terhenti pula.
Cepat ia memutar tubuhnya dan tangannya telah melekat di tangkai pedangnya. Ia
melihat Arya telah siap menyerangnya.

Tetapi sebelum Arya Salaka mendorong kudanya menyerbu, terasa Mahesa Jenar
menangkap lengannya.

Dengan tenang gurunya itu berkata, "Tahan dirimu Arya."

Arya menarik nafas. Wajahnya telah memerah darah, sedang darahnya rasa-rasanya telah
mendidih membakar seluruh tubuhnya. Dengan gemetar ia berkata, "Apa yang dapat aku
lakukan. Aku datang ke kampung halamanku sendiri. Kenapa aku harus mengalami
penghinaan itu?"

"Sawung Sariti...!" teriaknya, "Jangan berperisai orang setua Paman Wulungan.


Hadapilah kedatanganku. Kasar atau halus."

Sawung Sariti maju beberapa langkah. Jawabnya, "Turunlah. Aku bukan pengecut
seperti yang kau sangka."

Hampir saja Arya meloncat turun, kalau sekali lagi Mahesa Jenar tidak mencegahnya.

"Jangan Arya," katanya, "Sawung Sariti bukanlah orang yang harus memberi keputusan
terakhir."

Nafas Arya menjadi berdesakan meloncat dari hidungnya. Amat sulitlah baginya untuk
dapat menahan diri. Apalagi ketika kemudian terdengar Sawung Sariti berteriak.

"Minggir semua. Biarlah anak itu tahu bahwa Sawung Sariti mampu menjaga daerahnya.
Mampu melakukan pekerjaan yang diperintahkan kepada orang lain."

Tetapi Mahesa Jenar memegangi lengan Arya erat-erat.

"Jangan layani. Kita tunggu perkembangan keadaan. Dengan teriakan-teriakan itu,


mungkin pemanmu Lembu Sora akan turun ke halaman dan akan memberikan
kesempatan kepadamu."

Tubuh Arya telah benar-benar gemetar. Tetapi ia masih mencoba menahan diri seperti
nasihat gurunya, meskipun ia terpaksa menggigit bibirnya. Wulungan dan anak buahnya
menyaksikan peristiwa itu dengan berdebar-debar.

Tiba-tiba saja mereka meloncat mundur, ketika Sawung Sariti memerintahkan mundur.
Yang dilihatnya kemudian adalah Sawung Sariti tegak di tanah, dengan dada tengadah. Ia
memandang Arya Salaka dengan pandangan menghina seolah-olah Arya Salaka adalah
seorang yang sama sekali tidak patut mendapat pelayanan. Sedang di atas punggung
kuda, Arya duduk dengan tubuh menggigil menahan diri. Sekali-kali terdengar giginya
gemertak. Sedang dari matanya memancar api kemarahan.

Sekali lagi terdengar Sawung Sariti menantang, "Turunlah. Atau kau akan bertempur di
atas kudamu? Seperti cara para penyamun menyerang korbannya, supaya ia dapat cepat
melarikan diri?"
ARYA SALAKA benar-benar terbakar. Ia benar-benar lupa diri. Dengan tidak diduga-
duga Arya merenggut lengannya dari pegangan gurunya. Dan sekali loncat ia sudah
berdiri di atas tanah dengan tombak Kyai Bancak siap di tangannya.

Pada saat yang bersamaan, berkilat-kilatlah pedang Sawung Sariti yang besar dan
panjang dalam genggaman jari-jarinya yang kokoh. Keadaan berkembang sedemikian
cepatnya. Ketika Mahesa Jenar menyusul, meloncat turun dari kudanya, ia sudah
terlambat. Kedua anak muda itu telah terlibat dalam suatu perkelahian.

”Arya....” Terdengar Mahesa Jenar memanggil.

Tetapi Arya Salaka tidak mendengar suara gurunya. Dengan garangnya ia meloncat
langsung menghadapi pedang Sawung Sariti yang berputar-putar seperti baling-baling.
Arya Salaka pun dengan lincahnya menggerakkan tombak pusakanya. Sekali-kali
melingkar dan sekali-kali mematuk. Cahayanya yang kebiru-biruan memancar berkilau-
kilau memantulkan sinar-sinar obor yang samar-samar sampai. Keduanya bertempur
dengan kemarahan yang menekan dada masing-masing.

Wulungan dan anak buahnya berdiri saja seperti patung. Mereka memang pernah
mengenal cara Sawung Sariti bertempur. Tangkas, tangguh dan lincah. Sebagai seorang
cucu dari Ki Ageng Sora Dipayana yang langsung mendapat tuntunan darinya, Sawung
Sariti benar-benar tidak mengecewakan.

Seperti ayahnya, ia mampu menggerakkan pedang yang sedemikian besarnya, seperti


menggerakkan lidi. Karena itu, alangkah berbahayanya pedang itu. Menyambar seperti
burung elang, tetapi sekali-kali memagut seperti ular, disertai angin yang berdesis
mengerikan. Betapa kuatnya tangan anak muda itu.

Tetapi mereka menjadi kagum pula melihat lawan Sawung Sariti itu. Dengan tombak
pendek di tangan, ia mirip seperti burung rajawali yang bertempur dengan kuku-kukunya
yang tajam. Sekali Arya meloncat menjauhi lawannya, tetapi tiba-tiba ujung tombaknya
sudah menyambar dada Sawung Sariti, bahkan tombak itu seperti menyerangnya dari
segenap arah. Cahaya kebiru-biruan yang dipancarkan dari mata tombak itu tampak
melingkar-lingkar membingungkan.

Demikianlah kedua anak muda itu bertempur dengan sengitnya. Masing-masing


memiliki ketangkasan, ketangguhan dan keteguhan hati, disertai keahlian mereka
menguasai senjata masing-masing. Sehingga senjata-senjata mereka itu seperti dapat
bergerak dengan sendirinya, bahkan di ujung-ujung senjata itu seperti terdapat biji-biji
mata.

Mahesa Jenar pun kemudian terikat pada pertempuran itu. Ia menempatkan dirinya di
muka regol halaman untuk menanti kemungkinan-kemungkinan yang tak diharapkan.
Sedang Kebo Kanigara untuk sementara masih berada di atas kudanya. Ia masih sempat
melihat berkeliling. Melihat para pengawal yang berdiri dengan mulut ternganga.
Melihat Wulungan yang tegak seperti patung, namun tangannya telah meraba hulu
pedangnya. Di halaman itupun ternyata para pengawal telah siap dengan senjata masing-
masing. Apalagi jatuh perintah Sawung Sariti untuk bergerak, mereka akan serentak
bergerak.

Di pendapa, Kebo Kanigara melihat seorang yang bertubuh besar, berdada bidang
dengan kumis yang lebat di atas bibirnya. Ia tidak begitu jelas, apakah tanggapannya
terhadap perkelahian yang terjadi itu.

Namun segera Kebo Kanigara mengenal orang itu, Ki Ageng Lembu Sora. Ia melihat
sepintas kepada Wanamerta. Wanamerta pun kemudian meloncat turun. Demikian juga
kedua orang anak buahnya. Mereka segera meloncat turun pula. Di tangan mereka erat
tergenggam masing-masing sebuah obor, dan di dada mereka tersangkut sebuah gendewa.

”Nyalakan obor,” perintah Wanamerta.

”Obor akan dapat menjadi senjata yang baik kalau diperlukan. Siapkan gendewamu dan
anak panah yang mungkin akan kita pergunakan.”

Kedua orang itupun segera mempersiapkan alat-alat mereka. Yang seorang kemudian
menyalakan obornya, yang seorang lagi menyiapkan bumbung panahnya, dan
menyangkutkan bumbung itu di ikat pinggangnya. Gendewanya telah siap di tangannya
pula.

Di halaman itu pertempuran semakin bertambah sengit. Sawung Sariti yang bersenjata
pedang, bertempur dengan garangnya. Bahkan kemudian tampaklah pedangnya seperti
gulungan sinar putih yang mengerikan menyerang Arya Salaka dari segala arah.

Namun di antara sinar putih itu tampaklah cahaya yang kebiru-biruan, sekali-kali
melingkar dan sekali-kali meluncur dengan cepatnya seperti anak panah yang lari dari
busurnya mengarah ke tubuh lawannya. Kebo Kanigara pun kemudian turun dari
kudanya.

Ia mengambil tempat yang cukup baik, menghadap ke arah pendapa. Dengan demikian
ia dapat langsung melihat apakah Ki Ageng Lembu Sora akan mengambil sikap. Tetapi
untuk sekian lama, orang itu tetap tegak tanpa bergerak. Agaknya ia benar-benar tertarik
melihat perkelahian itu. Kalau semula ia yakin bahwa Sawung Sariti memiliki kekuatan
dan keteguhan ilmu yang membanggakan, namun dengan kenyataan itu ia melihat bahwa
anak yang bernama Arya Salaka itupun mampu mengimbanginya. Dengan permainan
tombak yang manis dan cepat, Arya Salaka sama sekali tidak dapat ditembus oleh
serangan Sawung Sariti. Bahkan kalau Sawung Sariti merasa memiliki kekuatan yang
mengagumkan, tiba-tiba ia harus mengakui bahwa kekuatannya setidak-tidaknya tidak
melampaui kekuatan Arya.

Lembu Sora terkejut, ketika ia melihat pedang anaknya membentur tombak Arya, ia

Anda mungkin juga menyukai