Anda di halaman 1dari 25

mengharap tangan Arya menjadi sakit, dan bahkan ia mengharap tombaknya terlepas dari

tangannya. Tetapi ia menyesal. Tidak saja tombak anak muda itu yang terpental, tetapi
pedang Sawung Sariti pun ternyata seperti membentur dinding besi.

Bahkan Sawung Sariti terpaksa meloncat mundur untuk memperbaiki pegangannya atas
pedangnya. Karena itulah ia terpaksa melihat perkelahian itu dengan menegang nafas.

PERKELAHIAN yang sengit antara dua orang anak muda yang berdarah panas, yang
sedang dikuasai oleh kemarahan yang memuncak.

Demikianlah maka pada malam yang gelap itu, berkali-kali terdengar dentang senjata
beradu dibungai oleh percikan api yang meloncat-loncat dari titik benturan kedua senjata
itu.

Mereka masing-masing mencoba untuk menguasai keadaan. Bahkan masing-masing


telah mengerahkan segenap kekuatan dan ilmu mereka. Namun ternyata bahwa
penderitaan Arya selama ini, lahir dan batin, memberinya keteguhan lahir dan batin pula,
sehingga ia memiliki naluri yang lebih baik dalam pengerahan tenaga daripada Sawung
Sariti.

Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar adalah dua orang yang cukup masak untuk menilai
keadaan. Ketika ia mulai melihat bahwa keadaan Arya Salaka masih lebih baik daripada
keadaan Sawung Sariti, mereka menjadi cemas. Tidak aneh bahwa karena itu, maka Ki
Ageng Lembu Sora akan bertindak. Mengerahkan laskarnya untuk menangkap Arya.
Kalau demikian halnya, maka mereka berdua bersama Wanamerta terpaksa ikut pula
bermain-main, meskipun malam yang gelap itu dinginnya bukan main. Dengan demikian
Mahesa Jenar pun harus menilai keadaan di sekitar perkelahian itu. Iapun kemudian
mengamati Lembu Sora yang berdiri di pendapa.

Seperti Kebo Kanigara, iapun menaruh perhatian padanya. Kalau-kalau ia dengan tiba-
tiba bertindak, maka adalah kewajibannya untuk melindungi Arya Salaka. Meskipun ia
menjadi kecewa bahwa kedatangan rombongan kecil ini tiba-tiba telah berkisar dari
tujuan, namun Mahesa Jenar tidak dapat menyalahkan Arya Salaka.

Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara terpaksa berkisar pula ketika mereka melihat Lembu
Sora turun dari pendapa dan perlahan-lahan berjalan mendekati titik perkelahian. Dalam
usapan sinar obor, tampaklah garis-garis wajahnya yang tegang. Sekali-kali ia
mengangguk-anggukkan kepalanya, tetapi sekali-kali ia menahan nafasnya. Perkelahian
antara kedua anak muda itupun memang menjadi bertambah sengit. Kedua senjata itupun
menjadi semakin cepat bergerak dan semakin berbahaya.

Agaknya kedua-duanya telah memutuskan untuk menyelesaikan perkelahian itu dengan


membunuh lawannya atau dirinyalah yang terbunuh. Dengan demikian keadaan menjadi
semakin tegang.

Tetapi ketika ketegangan telah memuncak, muncullah seorang tua dari antara laskar
Banyubiru yang berdiri berjajar mengeliling perkelahian itu. Dengan suara yang nyaring
terdengarlah ia berkata, ”Berhentilah. Berhentilah berkelahi.”

Suara itu mengumandang memenuhi halaman rumah itu. Namun karena Arya Salaka dan
Sawung Sariti benar-benar telah kehilangan pengamatan diri, maka suara itpun hampir
tak mereka dengar. Sehingga orang tua itu terpaksa meloncat mendekati sambil
mengulangi kata-katanya.

”Berhentilah Sawung Sariti, berhentilah Arya Salaka.”

Bagaimanapun juga Sawung Sariti dan Arya Salaka memusatkan segala perhatian
mereka kepada lawan masing-masing, namun orang tua itu berdiri dekat di sisi mereka,
sehingga bagaimanapun juga suara itupun mempengaruhi gerak-gerak mereka.

Ketika gerak mereka menjadi kendor, orang tua itupun meloncat semakin dekat dan
mengangkat kedua tangannya sambil berkata, ”Sudahlah. Berhentilah. Lihatlah aku.”

Suara itu benar-benar berpengaruh. Sawung Sariti dan Arya Salaka itupun tak dapat
berbuat lain, karena kewibawaan orang tua itu, selain berloncatan mundur.

”Bagus,” kata orang tua itu kemudian.

”Kalian berdua benar-benar mengagumkan. Berbanggalah aku mempunyai dua cucu


yang perkasa tiada taranya. Kalian berdua telah menunjukkan, betapa darah orangtua
kalian mengalir di dalam tubuh kalian. Sawung Sariti bertempur sebagai seekor harimau
yang garang, sedang Arya Salaka dapat menjadikan dirinya burung rajawali yang
perkasa. Berbahagialah aku. Berbahagialah aku.”

Orang tua itu berhenti sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Sawung Sariti surut
beberapa langkah. Ia mengangguk kepada kakeknya. Tetapi ia tidak berkata sepatah
katapun. Namun demikian matanya yang merah, masih menyorotkan sinar kemarahan
kepada Arya Salaka yang diam terpaku di tanah.

Dengan seksama Arya mengamat-amati orang tua itu. Lima tahun lebih ia tidak bertemu.
Dan tiba-tiba orang tua itu kini berdiri dihadapannya dengan wajah sayu. Dan tiba-tiba
pula Arya teringat kepada maksud kedatangannya. Sebelum pecah perang antarsaudara
itu, ia benar-benar ingin bersujud di bawah kaki kakeknya serta mohon restu kepadanya.

Karena itulah maka tiba-tiba Arya meloncat maju. Betapa rasa haru menguasai dirinya
pada waktu itu, sehingga Arya Salaka pun kemudian menjatuhkan diri pada lututnya di
hadapan kakeknya sambil memeluk kaki orang tua itu. ”Eyang...” desisnya.

Lalu suaranya terputus oleh sesuatu yang seolah-olah menyekat kerongkongannya. Di


dalam dadanya banyak sekali kata-kata yang melingkar-lingkar, yang akan disampaikan
kepada kakeknya itu, namun hanya satu kata itulah yang dapat meluncur dari
mulutnya.(Bersambung)-m
Didalam dadanya banyak sekali kata kata yang melingkar lingkar, yang akan
disampaikan kepada kakeknya itu, namun hanya satu kata itulah yang dapat meluncur
dari mulutnya.

Ki Ageng Sora Dipayana memandang anak itu dengan mata suram. Didalam dadanya
tersimpan pula rasa rindu kepada anak itu, yang telah sekian lama hilang dari Banyu Biru.
Karena itu, maka mata orang tua itu menjadi redup.

Dibelainya kepala Arya Salaka dengan kasih sayang seorang kakek kepada cucunya.
Kemudian dipegangnya lengan anak itu dan ditariknya berdiri.

"Berdirilah Arya," katanya perlahan.

Aryapun kemudian berdiri. Tetapi wajahnya tunduk ketanah. ia merasa bahwa ia tak
berani memandang wajah kakeknya. Tetapi orang tua itu mengangkat wajah Arya sambil
berkata: "Aku kagum kepadamu cucu, seperti aku kagum kepada Sawung Sariti. Dengan
demikian, tidak sia sialah aku memiliki keturunan seperti kalian berdua."

Arya Salaka masih berdiam diri. Belum ada kata kata yang mampu melontar dari
mulutnya. Ketika tiba-tiba matanya menjadi panas. Arya menengadahkan wajahnya ke
langit seperti ia belum pernah melihat bintang yang bertaburan. Sementara itu Ki Ageng
Sora Dipayana (KASD) memandang berkeliling halaman. "Kakang Wanamerta,"
gumamnya.

Wanamerta mendekati KASD yang telah bersama-sama memerintah tanah perdikan ini
puluhan tahun. KASD menepuk bahu Wanamerta sambil berkata: "Sokurlah kalau kau
asuh cucuku ini dengan baik."

Wanamerta menggeleng: "bukan aku, tetapi tuan berdua ini."

KASD memandangi Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara dengan mata yang berkilat kilat.
Katanya: "tuan ternyata luar biasa. Cucuku benar benar telah menjelma menjadi murid
dari cabang perguruan Pengging yang perkasa. Ketika aku melihat caranya bertempur
dengan tombak pendeknya, segera aku teringat kepada sahabatku Ki Ageng Pengging
Sepuh. Namun karena sahabatku itu telah tiada lagi, maka aku yakin bahwa anggerlah
yang menjadi saluran ilmu itu."

Mahesa Jenar mengangguk sambil menjawab: "Sekedar untuk memenuhi permintaan


kakang GajahSora, supaya Arya Salaka mempunyai bekal buat masa depannya."

KASD mengangguk anggukkan kepalanya.

Kemudian kepada Lembu Sora ia berkata: "Lembu Sora, kenapa tidakkau persilahkan
tamu tamumu untuk naik ke pendapa?."
Lembu Sora menggeram. tetapi ia tidak dapat berbuat lain. Karena itu, dengan berat hati,
dipersilakan tamu tamunya untuk naik.

Ketika para tamu bersama sama dengan KASD dan KALS naik ke pendapa, Sawiung
Sariti menggigit bibirnya. Ia tidak ikut serta dengan mereka, tetapi segera masuk
rumahnya dengan wajah tegang.

Wulungan serta anak buahnyapun menjadi seperti orang tersadar dari mimpi.
Pertempuran itu bagi mereka merupakan suatu pertunjukan yang mengagumkan. Dua
anak yang masih semuda itu, telah dapat menunjukkan kemampuan mereka yang luar
biasa.

"Yang seorang adalah murid KASD selain cucunya. karena itu wajar bahwa anak muda
itu menjadi perkasa," berbisik Wulungan kepada anak buahnya. "Namun yang seorang
itupun sangat mengagumkan. Siapakah gurunya itu?"

"Mahesa Jenar," jawab salah seorang anak buahnya.

"Aku sudah tahu," bentak Wulungan, namun perlahan lahan pula, "tetapi maksudku,
siapakah Mahesa Jenar itu? menurut dugaanku serta menurut cerita yang aku dengar
Mahesa Jenar memang memiliki kemampuan yang luar biasa, namun ia tidak lebih dari
pada Sora Dwipayana sendiri. lalu bagaimana mungkin muridnya menyamai murid Sora
Dwipayana yang sakti itu?."

Anak buahnya mengangguk anggukkan kepala mereka. Pemimpinnya menjadi heran


oleh kenyataan itu, apalagi mereka.

Di pendapa, Sora Dwipayana segera mempersilahkan tamunya untuk duduk melingkar


diatas tikar pandan yang putih. Dengan ramah ia menemui mereka seperti ia menemui
sahabat lama yang telah lama berpisah.

Apalagi kepada Arya Salaka. Betapa rindu seorang kakek terhadap cucunya, seperti juga
betapa rindu Arya kepada kakeknya. Dengan memandangi tubuh Arya, seperti tak akan
pernah puas, Sora Dwipayana berkata: "Tubuhmu mekar seperti ilalang di musim hujan
Arya. Meskipun diwajahmu tersirat, betapa keras derita yang kau alami selama ini,
namun demikian kau menjadi batu karang yang kokoh kuat, tak hanyut oleh banjir yang
bagaimanapun besarnya, tak goyah oleh angin yang bagaimanapun kencangnya."

Arya menundukkan wajahnya. Ia menjadi terharu kembali mendengar pujian itu, seperti
anak-anak yang terjatuh dan ditanyakan kepadanya; "apakah kau terjatuh, sayang."

Lembu Sora menjadi tidak senang mendengar pujian itu. Sebagai seseorang yang selalu
membanggakan diri serta putera satu satunya Sawung Sariti, maka baginya pujian itu
sangat menyakitkan hatinya. Karena itu, tiba-tiba ia minta diri kepada ayahnya, untk
sesuatu keperluan di belakang.
Sora Dwipayana mengerti perasaan putera bungsunya itu. Karena itu tidak melarangnya.

Sepeninggal Lembu Sora, Mahesa Jenar merasa lebih bebas untuk mengemukakan
pendapatnya sebab dengan demikian, ia dapat mengatakan apa saja yang tersimpan
didalam hatinya, didalam hati muridnya.

"Ki, Ageng," berkata Mahesa Jenar kemudian, "aku telah mencoba memenuhi perintah
ki Ageng, membawa Arya Salaka kemari. Mudah-mudahan Ki Ageng dapat menerima
bhaktinya. Selain suatu kemungkinan yang baik bagi masa depannya, dan bagi rakyatnya.
Tetapi aki menyesal bahwa kehadirannya telah ditandai oleh suatu perkelahian yang sama
sekali tak dikehendakinya. Namun itu sama sekali bukan salahnya."

Sora Dwipayana mengangguk anggukkan kepalanya.

KI AGENG Sora Dipayana mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya, ”Aku tahu


Angger. Memang Arya Salaka tidak dapat dipersalahkan kalau ia terpaksa turun dari
kudanya dan langsung terlibat dalam perkelahian itu. Sebagai anak muda yang pernah
aku alami pula, darahnya tak sedingin darah orang tua-tua ini.”

Mahesa Jenar mengangkat wajahnya, sahutnya, ”Jadi Ki Ageng melihat sejak awal
kejadian itu?”

”Ya,” jawab Ki Ageng Sora Dipayana.

”Aku melihat sejak semula dari antara laskar Lembu Sora. Tetapi sengaja aku
membiarkan mereka bertempur, sebab tiba-tiba timbullah keinginanku untuk mengetahui,
sampai di mana kemampuan Arya Salaka. Sudah sekian lama anak itu meninggalkan aku.
Dan sekarang ia dihadapankan pada suatu tugas yang berat, yang mungkin harus dihadapi
dengan tenaganya.”

”Sekarang Ki Ageng telah melihatnya,” kata Mahesa Jenar.

”Aku telah melihatnya. Dan aku kagum atas apa yang aku lihat.”

Ki Ageng Dipayana meneruskan, ”Seperti pernah aku katakan kepada Angger beberapa
saat yang lalu, bahwa aku harus menjadikan Lembu Sora dan Sawung Sariti benteng
pertahanan terakhir atas Banyubiru dan Pamingit sepeninggal Gajah Sora. Aku tak
mempunyai pilihan lain. Sebab orang-orang dari golongan hitam selalu mengarahkan
matanya ke daerah kami yang sangat kami cintai ini. Dengan sekuat tenaga aku telah
berhasil memisahkannya dari antara mereka, dari pergaulan yang menyedihkan. Aku asah
mereka pagi dan sore, siang dan malam. Dan aku berbangga atas hasilnya, meskipun
secara batin belum memenuhi tuntutan hatiku. Sayang bahwa selama itu, aku tidak
sempat menemukan Arya Salaka. Pernah aku meninggalkan Banyubiru untuk mencari
cucuku itu. Namun aku tak berhasil menemukan. Sedang daerah ini tak dapat aku
tinggalkan terlalu lama. Karena itu akupun segera kembali sebelum berhasil. Mangsa
kasanga tahun yang lewat, aku pernah menyusur pantai utara. Aku pernah menemukan
jejaknya, tetapi kemudian lenyap kembali.”

”Mangsa kasanga tahun lampau?” Mahesa Jenar mengulangi kata-kata itu di dalam
hatinya seperti juga Kebo Kanigara dan Arya Salaka sendiri. Masa itu adalah masa
pembajaan yang mahaberat. Dimana ia terpaksa bersembunyi di atas bukit Karang
Tumaritis, di bawah sejuknya rumpun-rumpun bambu yang bersih di Padepokan
Panembahan Ismaya.

”Aku terlalu tergesa-gesa...” Ki Ageng Sora Dipayana meneruskan, ”Karena aku tidak
sampai hati meninggalkan Banyubiru seperti kataku tadi. Apalagi pada saat-saat terakhir,
sekejappun aku tak berani. Namun suatu keyakinan telah tertanam di dalam hatiku bahwa
cucuku Arya Salaka masih selamat.”

Orang itu berhenti sejenak. Ia menarik nafas dalam-dalam, lalu sambungnya, ”Tetapi aku
belum tahu, apakah yang telah didapat anak itu selama perjalanannya di bawah asuhan
Angger Mahesa Jenar. Tiba-tiba aku menyaksikan sesuatu yang sama sekali membuat
hatiku mongkok. Arya Salaka telah menjadi anak muda yang luar biasa.”

Arya Salaka menundukkan wajahnya. Ia berbangga bukan karena ia merasa dirinya


perkasa, tetapi ia berbangga karena eyangnya merasa bangga kepadanya. Dalam pada itu
terdengar Mahesa Jenar berkata, ”Semuanya adalah karena pangestu Ki Ageng serta
karena darah yang mengalir di dalam tubuh anak itu. Apa yang aku lakukan hanyalah
sekadar memberinya petunjuk-petunjuk.”

Ki Ageng Sora Dipayana mengangguk-angguk sambil tersenyum. Namun di dalam


hatinya tersiratlah perasaan kagum dan heran. Mahesa Jenar ternyata mampu berbuat di
luar dugaannya pula. Kalau ia dapat menjadikan Arya Salaka sedemikian mengagumkan,
bagaimanakah dengan Mahesa Jenar itu sendiri? Pada saat ia berpisah dengan Mahesa
Jenar itu, beberapa tahun lampau, Mahesa Jenar baru berada dalam tingkatan yang sejajar
dengan Gajah Sora. Apakah yang sudah dicapainya selama ini? Sedang gurunya sudah
lama tidak dapat memberinya tuntunan, sejak Ki Ageng Pengging Sepuh itu meninggal
dunia.

”Ki Ageng...” Ki Ageng Sora Dipayana mengangkat mukanya mendengar Mahesa Jenar
berkata. ”Barangkali Ki Ageng telah mengetahui maksud kedatangan kami. Karena itu
kami serahkan persoalan kami kepada kebijaksanaan Ki Ageng. Bukankah maksud kami
telah kami kemukakan pada hari kedatangan kami yang pertama?”

”Ya,” jawab Ki Ageng.

”Aku sudah mengetahuinya. Dan aku menjadi berdebar-debar karenanya.”

”Mudah-mudahan Ki Ageng dapat menemukan kebijaksanaan,” sahut Mahesa Jenar.


”Bagi kami, pertumpahan darah harus dihindari sejauh-jauh mungkin.”

”Aku sependapat,” jawab Ki Ageng pula.

”Namun apakah yang dapat aku lakukan adalah suatu ikhtiar. Aku sudah mencoba
perlahan-lahan untuk mengubah pendirian Lembu Sora.”

”Adakah Ki Ageng berhasil?” tanya Mahesa Jenar.

”Belum. Ia masih tetap pada pendiriannya,” jawab Ki Ageng Sora Dipayana.

”Aku belum berani memaksanya. Sebab ia akan dapat terjerumus ke dalam lingkaran
hitam, atau usaha yang lain. Meskipun aku tahu, bahwa pertentangan antara Lembu Sora
dengan golongan hitam itupun tak akan dapat dihindari pula.”

”Aku kira kemungkinan itu kecil sekali Ki Ageng,” sahut Mahesa Jenar.

”Bukankah golongan hitam telah mulai bertindak sendiri? Bahkan mereka telah mencoba
untuk memaksa Lembu Sora menyerahkan keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten
yang mereka duga berada di Banyubiru atau Pamingit?”

”Angger benar,” jawab Ki Ageng Sora Dipayana.

”Tetapi Angger belum mendengar perkembangan yang terakhir. Sejak Lembu Sora
terpaksa berdiri, ia telah membuat hubungan baru dengan para bangsawan yang tidak
puas atas pemerintahan Demak. Bukankah di Demak ada golongan yang merasa dirinya
disingkirkan oleh Sultan?”

”Sekar Seda Lepen?” tanya Mahesa Jenar terkejut.

”Ya. Dengan para emban dari Arya Penangsang,” jawab Ki Ageng Sora Dipayana.

”Sudah seberapa jauhnya hubungan mereka?” tanya Mahesa Jenar pula dengan cemas.

KI AGENG Sora Dipayana diam sejenak. Tampaklah alisnya berkerut.

"Untunglah..." jawabnya, "Belum terlalu jauh. Karena itu aku tidak akan mendesaknya
lebih dalam lagi."

Mahesa Jenar pun menjadi tertegun diam. Persoalan ini menjadi bertambah rumit.
Memang dengan tersisihkannya Arya Penangsang, Demak telah menyimpan sebuah
persoalan yang mungkin akan meledak pada suatu saat. Tetapi Mahesa Jenar yakin,
selama Sultan Trenggana masih memegang pimpinan pemerintahan, perpecahan itu akan
dapat dibatasi.

Tetapi bagaimanakah kemudian...? Yang dihadapi Mahesa Jenar sekarang adalah


persoalan Banyubiru. Di perbatasan kota ini telah berbaris dalam kesiagaan tempur laskar
Arya Salaka. Mereka menunggu sampai tengah malam atau sampai mereka melihat tanda
panah api naik ke udara. Sehingga dengan demikian waktu mereka tidak terlalu banyak.

"Ki Ageng..." kata Mahesa Jenar, "Laskar Arya Salaka telah siap di perbatasan. Mereka
menunggu keputusan sebelum tengah malam."

Sekali lagi wajah Ki Ageng Sora Dipayana berkerut-kerut.

Tampaklah betapa suram hati orang tua itu. Pada saat yang sempit, ia dihadapkan pada
pilihan yang sangat sulit. "Berilah aku waktu sampai besok," jawabnya.

"Sayang, Ki Ageng..." jawab Mahesa Jenar, "Kalau tengah malam ini Arya tidak datang
kembali, mereka akan bergerak."

Orang tua itu menarik nafas panjang. Tetapi ia belum menjawab.

Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Wanamerta dan Arya Salaka, kemudian menjadi iba
melihat orang tua itu menghadapi persoalan yang hampir tak terpecahkan. Tetapi apakah
yang dapat dilakukannya?

"Angger..." Tiba-tiba orang tua itu berkata, "Marilah kita usahakan agar setidak-tidaknya
pertempuran tidak berkobar besok pagi."

Mahesa Jenar tidak segera menjawab. Baginya sendiri, usaha ini adalah usaha yang
paling baik. Bahkan kalau mungkin untuk seterusnya. Tetapi bagaimana? "Persoalannya
akan menjadi sederhana kalau Lembu Sora dapat menarik diri dan menyerahkan tanah
ini."

Orang tua itu meneruskan, "Dan aku akan mengusahakannya. Tetapi tidak sekarang,
dimana ia baru saja dibakar oleh kemarahan melihat anaknya tak dapat menguasai
lawannya."

Ia berhenti sejenak. "Berilah aku waktu. Biarlah satu atau dua orang pengikutmu itu
kembali ke pasukanmu."

Ki Ageng Sora Dipayana berkata kepada Arya, "Biarlah ia membawa perintah darimu
supaya laskarmu menunggumu sampai besok."

"Apakah ia dapat melewati laskar Paman Lembu Sora?" tanya Arya, yang agaknya ingin
memenuhi permintaan kakeknya.

Mahesa Jenar menjadi agak berlega hati mendengar pertanyaan itu. Mudah-mudahan
Arya sempat menahan dirinya, sehari atau dua hari. Kalau anak itu yang memerintahkan,
ia mengharap laskarnya akan mentaatinya. "Ia akan diantar oleh orang-orang pamanmu,"
jawab Sora Dipayana.
Arya Salaka memandang wajah Mahesa Jenar minta pertimbangan. Maka berkatalah
Mahesa Jenar, "Tidakkah laskar Lembu Sora akan mendahului besok pagi?"

"Aku akan mencoba untuk mencegahnya. Setidak-tidaknya menunda sampai lusa,"


jawab orang tua itu.

Mahesa Jenar mengangguk-anggukan kepalanya. Kemudian kepada Arya Salaka ia


berkata, "Arya, kau dapat memerintahkan dua orangmu kembali. Eyangmu akan
menyelamatkan perjalanannya."

"Terserahlah kepada Paman," jawab Arya Salaka.

Mahesa Jenar menarik nafas. Timbullah kembali harapannya untuk menyelesaikan setiap
persoalan tanpa pertumpahan darah. Maka iapun kemudian berkata, "Kalau kau
sependapat Arya, kau dapat minta sehelai rotan, tulislah perintah itu."

Arya melaksanakan nasehat gurunya. Dari kakeknya ia mendapat sehelai rotan, yang
kemudian ditulisnya perintahnya, singkat namun jelas.

"Tunggu aku kembali, jangan bergerak sendiri-sendiri sebelum ada perintahku. Aku akan
berada di antara kalian sebelum tengah hari besok. Teruskan perintah ini ke sayap
pasukan. Laskar Pamingit tak akan bergerak besok."

Sebelum Arya memerintahkan dua orangnya yang semula membawa obor untuk kembali
ke induk pasukan, Ki Ageng Sora Dipayana memanggil Lembu Sora duduk di antara
mereka.

Dengan nada seorang ayah ia berkata, "Lembu Sora. Aku minta orangmu untuk
mengantarkan orang Arya Salaka kembali ke pasukannya dengan membawa pesan dari
kemenakanmu itu."

Lembu Sora memandangi ayahnya dengan tegang.

"Apakah pesan itu?" Terdengarlah ia bertanya. Ki Agng Sora Dipayana tidak menjawab.
Ia minta Arya menunjukkan pesannya, yang kemudian dibaca oleh Lembu Sora dengan
dahi yang berkerut. Mula-mula ia ingin menolak permintaan ayahnya itu, namun tiba-tiba
mendapat pikiran lain.

"Apakah maksud penundaan itu?" Ia mencoba menegaskan.

"Aku minta kepadanya," jawab ayahnya.

"Sebab ada yang ingin aku bicarakan dengan kau dan cucu Arya Salaka."

"Tak ada yang dapat dibicarakan," potong Lembu Sora.


"Ada," sahut ayahnya singkat.

"Tidak ada persoalan," ulang Lembu Sora.

"Ada!" kembali ayahnya menyahut.

Lembu Sora berdiam. Ia mengumpat di dalam hati. Adakah ayahnya akan memaksakan
pendapatnya kepadanya? Ia tidak akan pedulikan itu. Ia mempunyai pasukan yang cukup
banyak. Meskipun seandainya di dalam laskar Arya Salaka terdapat orang-orang yang
sakti, namun jumlah laskar dalam setiap pertempuran akan turut serta mengambil
peranan. Dalam penilaiannya, di dalam laskar Arya Salaka, tidak ada seorangpun yang
harus disegani.

MAHESA JENAR, Wanamerta dan orang yang datang bersama Mahesa Jenar itu, adalah
orang yang sama sekali tidak menakutkan, meskipun menurut laporan ada orang yang
pernah mempertunjukkan kesaktian, pada saat ia melindungi Bantaran. Namun, Lembu
Sora tidak cemas menghadapinya. Meskipun demikian, apabila ayahnya tidak berkenan
di hatinya, atas tindakannya itu, maka yang terbaik adalah memperkuat pasukannya,
memperbesar jumlah orang-orangnya. Karena itu, waktu yang sehari, yang diperlukan
oleh ayahnya itu akan menguntungkannya pula.

Malam nanti ia dapat memerintahkan orangnya kembali ke Pamingit. Ia harus kembali


dengan segenap laskar cadangan dan laskar remaja. Dengan demikian ia mengharap
bahwa ia akan berhasil memusnahkan Arya Salaka.

Karena pertimbangan itulah maka kemudian ia berkata, ”Terserahlah kepada ayah. Kalau
ayah memandang perlu untuk membiarkan laskar yang berkeliaran di perbatasan itu
memperpanjang umurnya dengan sehari lagi.”

Arya Salaka tersinggung benar mendengar kata-kata pamannya. Tetapi ketika ia akan
menjawab, terasa Mahesa Jenar menggamit tumitnya, sehingga akhirnya tak sepatah
katapun yang terucapkan.

Mahesa Jenar pun sama sekali tak memberi tanggapan apa-apa atas kata-kata Lembu
Sora itu.

”Nah,” kata Ki Ageng Sora Dipayana, ”Berilah aku dua orang itu.”

Lembu Sora menebarkan pandangannya ke halaman. Ketika dilihatnya Wulungan, ia


berteriak memanggil. Wulunganpun kemudian berjalan mendekatinya, dan berdiri di
bawah tangga pendapa.

”Ada perintah Ki Ageng?”.

”Suruhlah dua orangmu mengantar kedua orang ini kembali ke induk pasukannya,”
perintah Lembu Sora.

Wulungan ragu sejenak, sampai Lembu Sora mengulanginya, ”Dua orang sampai
perbatasan, lewat penjagaan terakhir.”

Wulungan mengangguk hormat. Ia tidak perlu tahu, apakah yang terjadi. Yang dapat
dilakukan adalah memanggil dua orang dari laskarnya untuk mengantar dua orang laskar
Arya Salaka, melampaui penjagaan terdepan, supaya mereka berdua tidak mendapat
gangguan apapun.

Sepeninggal kedua orang yang bertugas untuk mengabarkan kelambatan Arya, Mahesa
Jenar bermaksud untuk mengadakan pembicaraan-pembicaraan pendahuluan. Namun Ki
Ageng Sora Dipayana berkata dengan tertawa, ”Jangan kita berbicara mengenai
persoalan-persoalan yang rumit. Aku akan berpesta karena aku telah menemukan kembali
cucuku yang hilang.”

Kepada Lembu Sora ia berkata, ”Lembu Sora, marilah kita lupakan sejenak. Untuk
malam ini saja pertentangan-pertentangan yang ada di dalam dada kita. Kalau aku besok
atau lusa, harus menghadap kembali kepada Yang Maha Esa, aku akan meninggalkan
kalian dengan senyum di bibirku. Aku akan mengenang peristiwa malam ini. Makan
bersama-sama dengan anak-cucuku, serta tamu-tamuku yang baik hati.”

Lembu Sora tidak dapat menolak permitaan ayahnya itu. Dengan hati berat, ia terpaksa
menyelenggarakan juga makan bersama seperti yang dikehendaki oleh ayahnya, bersama-
sama dengan tamu-tamu yang sama sekali tak dikehendaki kehadirannya, dengan Arya
Salaka, Sawung Sariti dan Wanamerta.

Lembu Sora terpaksa mempersilakan mereka masuk ke Pringgitan, dimana telah


disediakan makanan serta segala lauk pauknya di atas tikar pandan yang bersih. Tetapi
demikian kaki Arya melampaui tlundak pintu, demikian terasa jantungnya berdenyut. Di
situlah ia beberapa tahun yang lalu bermain-main. Di atas tlundak itu pula kadang-kadang
ia duduk. Dan di situ pula ia selalu melihat ayah bundanya duduk bersama-sama, kalau
malam turun, sehabis makan sore.

Tiba-tiba saja ia teringat pada ibunya. Kenapa baru sekarang? Agaknya semula hatinya
terampas oleh kemarahannya kepada Sawung Sariti, sehingga ia tidak ingat lagi kepada
kepentingan-kepentingan lain. Karena itulah maka tiba-tiba ia menjadi gemetar. Matanya
berkisar dari pintu ke pintu untuk menanti, barangkali dari sanalah ibunya akan keluar
untuk menjumpainya. Tetapi sampai ia duduk di atas tikar pandan menghadapi hidangan
makan, ibunya belum juga nampak.

Untuk sementara ia mencoba menahan hatinya. Namun akhirnya keluar juga pertanyaan
kepada kakeknya, ”Eyang, adakah Eyang memperkenankan aku untuk menemui ibuku?”

Ki Ageng Sora Dipayana tersentak mendengar pertanyaan itu. Untuk sesaat tiba-tiba ia
terpaku diam dengan wajah yang berkerut. Melihat perubahan wajah itu, Arya Salaka
terkejut pula.

Karena itu ia mendesak, ”Eyang, apakah Ibu selamat?”

Orangtua itu mengangguk-angguk. Jawabnya, ”Ya, ya, Arya, Ibumu selamat.”

Arya tidak puas dengan jawaban itu. Maka ia bertanya kembali, ”Tetapi kenapa Ibu tidak
datang menemui aku sekarang. Atau akulah yang harus menghadap?”

Ki Ageng Sora Dipayana melemparkan pandangannya kepada Ki Ageng Lembu Sora.


Dengan ragu-ragu ia berkata, ”Lembu Sora, jawablah pertanyaan kemenakanmu itu.”

Arya Salaka dan Mahesa Jenar menjadi gelisah karenanya.

Maka ketika Lembu Sora tidak segera menjawab, Arya mendesak lagi, ”Di mana Ibu,
Paman?”

Lembu Sora membetulkan letak duduknya. Kemudian ia berkata, meskipun sama sekali
tidak memandang wajah Arya Salaka.

”Ayah. Aku sudah berkata sebelumnya, bahwa mBakyu Gajah Sora perlu mendapat
perlindungan dan ketenteraman sepeninggal Kakang. Di Pamingit, Nyai Lembu Sora
akan dapat menemaninya, serta sekadar memberinya ketenteraman dan ketenangan.”

Sekali lagi Arya merasa tersinggung. Agaknya pamannya benar-benar tidak mau
mengakui kehadirannya. Meskipun demikian, hatinya berlega pula. Ternyata ibunya
masih selamat, meskipun tidak segera dapat ditemuinya. Namun dengan demikian, ia
masih mempunyai harapan bahwa pada suatu saat ia akan dapat membawanya kembali ke
Banyubiru.

Arya menarik nafas dalam. Kepada eyangnya ia berkata: "Eyang, betapa rindukupada
bunda. Namun kali ini kerinduanku terpakisa masih aku simpan didalam dada. Mudah-
mudahan aku akan segera dapat menemuinya.

"Mudah-mudahan Arya," jawab eyangnya singkat. Yang kemudian disambungnya


dengan cepat," tapi jangan lupakan permintaanku. Marilah kita makan bersama.
Lupakanlah segala persoalan, supaya aku tidak menyesal kelak."

Tak seorangpun menjawab. Ki Ageng Soradipayana mendahului menikmati hidangan


yang tak seberapa baik sebagaimana lajimnya makan yang disediakan didaerah darurat.
Dimana setiap saat peperangan dapat berkobar.

Meskipun demikian, orang tua itu makan dengan lahapnya seolah olah benar-benar
untuk yang terakhir kalinya. Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan Wanamertapun berusaha
untuk makan sebaik-baiknya, meskipun sore tadi mereka telah makan kenyang-kenyang.
Hanya Arya Salaka yang agaknya tidak dapat menekan perasaannya, sehingga setiap kali
ia menelan, setiap kali ia merasakan detak jantungnya semakin cepat.

"Betapa enaknya makanan yang kau sajikan Lembu Sora," ayahnya memuji. Lembu Sora
sama sekali tidak menaruh minat pada pujian itu. Sore tadi ayahnya juga sudah makan.
Makanan yang sama. Tetapi sore tadi ayahnya sama sekali tidak memujinya.

"Suatu peristiwa yang jarang-jarang terjadi," orang tua itu meneruskan. "Makan bersama
anak cucu. Alangkah nikmatnya. Kalau saja hal yang demikian ini dapat aku alami tidak
hanya sekali. Aku mengharap untuk dapat makan bersama dengan kedua anakku, kedua
menantuku dan kedua cucuku."

Tak seorangpun yang menjawab kata-kata itu. Maka orang tua itu meneruskan, "
memang agak berbedalah hidup diantara dinding rumah yang sempit, dengan hidup di
udara luas. Tetapi aku kira ada juga perasaan yang serupa dengan perasaanku ini. Apalagi
perasaan orang orang tua. Merekapun, aku kira, ingin selalu dapat menikmati hidup
mereka yang tinggal beberapa tahun lagi. Mereka ingin selalu dekat dengan anak-anak
mereka, menantu menantu mereka dan cucu cucu mereka. Mereka akan mengutuk setiap
usaha memisahkan mereka itu. Mereka akan bersedih hati kalau melihat anak cucunya
bercerai berai. Apalagi kalau orang orang tua itu tahu, bahwa anak cucunya bertengkar
satu sama lain. Sebab dalam pertengkaran itu, orang orang tualah yang pasti akan
kehilangan. Siapapun yang kalah dan siapapun yang menang."

Tiba tiba nasi dimulut Lembu Sora terasa betapa keras dan kering, sehingga ketika ia
menelannya, segera ia menyusulnya dengan minum hampir semangkuk penuh. Meskipun
demikian ia tak berkata sepatah katapun.

Tiba-tiba terdengarlah Sawung Sariti tertawa disusul dengan kata katanya:" Alangkah
pendeknya hidup bagi orang tua. Beberapa tahun lagi mereka harus meninggalkan dunia
ini. Tetapi bagi naka muda, hidup ini akan dihadapinya dengan penuh gairah."

Semua mata memandang kearah anak muda itu. Dengan sikap yang angkuh ia
meneruskan: "bagi orang orang tua, sisa hidup mereka menikmati sebaik baiknya. Tetapi
dengan demikian seharusnya mereka tidak menutup kemungkinan, bahwa anak anak
muda harus berusaha untuk mencapai suatu masa yang cemerlang. Cemerlang baginya,
sebagaimana yang dicita-citakan."

Ki Ageng Sora Dipayana mengerutkan dahinya, sambil mengangguk angguk, ia


menyahut: "Sawung Sariti benar, seharusnya orang orang tua tidak menghalangi cita cita
mereka. Cita cita yang luhur, cita cita yang ditandai oleh kehangatan jiwa menghadapi
alam. Namun seharusnya dengan suatu tanggung jawab yang masak pula. Kepada diri
sendiri, kepada angkatannya dan kepada cita-cita sendiri. Namun lebih daripada itu,
pertanggungan jawab tertinggi kepada Tuhan Yang Maha Esa. Karena itulah maka
pencapaian cita-cita betapapun indahnya, harus dilakukan di jalan Allah. Di jalan yang
telah dibatasi oleh hukum hukumnya."
Kembali ruang itu direnggut oleh kesepian. Tak seorangpun yang berkata-kata lagi.
Yang terdengar adalah mulut-mulut mereka mengunyah makanan yang disuapkan oleh
tangan tangan mereka. Tetapi mereka sudah tidak dapatmerasakan lagi, betapa asinnya
garam, dan betapa manisnya gula.

Sawung Sariti tidak senang mendengar kata kata kakeknya meskipun ia berdiam diri. Ia
tahu bahwa ayahnya telah melakukan beberapa kesalahan, meninggalkan kejujuran dan
kebenaran. Namun ia tidak menyesal bahwa ayahnya telah melakukannya. Meskipun
Sawung Sariti merasakan pula kemutlakan untuk memusnahkan golongan hitam, namun
tanpa disengajanya, ia telah melakukan hal hal yang serupa, sebagaimana pernah
dilakukan oleh golongan hitam.

Kiageng Sora Dipayanapun tidak berkata-kata lagi. Ia merasa bahwa keadaan belum
memungkinkan untuk menyalurkan pendapatnya. Meskipun ia merasa bahwa
kemungkinan masih ada. Tetapi yang tidak dapat dibacanya adalah ukiran didinding hati
anak serta cucunya. Ki Ageng Lembu Sora dan Sawung Sariti. Siapa yang menentang
arus harus disingkirkan.

SETELAH mereka selesai, Ki Ageng Sora Dipayana berkata, ”Tamu-tamuku yang


terhormat, beristirahatlah kalian di sini. Beristirahatlah dengan tenang. Sebab tak akan
terjadi apapun malam ini dan besok pagi. Bukankah begitu Lembu Sora?”

Lembu Sora tidak menjawab. Ia hanya mengangguk dengan sengaja.

”Bagus...” kata orang tua itu pula. ”Sebelum kau lupa Lembu Sora, perintahkan kepada
laskarmu. Jangan bergerak sampai besok.”

Lembu Sora juga tidak menjawab, selain mengangguk pula.

”Di manakah tamu-tamumu kau persilahkan beristirahat?” tanya Ki Ageng Sora


Dipayana.

" Di sana,” jawab Lembu Sora sambil menunjuk gandok wetan dengan dagunya.

Sikap itu memang sama sekali tidak menyenangkan, namun Mahesa Jenar, Kebo
Kanigara, Wanamerta dan Arya Salaka menahan kekecewaan di dalam hatinya. Mereka
sama sekali tidak memberikan kesan apapun atas kekecewaan itu, sebagai tanda terima
kasih mereka kepada Ki Ageng Sora Dipayana atas usahanya, memecahkan persoalan
antara kedua cabang aliran darahnya.

”Silahkan Angger.” Ki Ageng Sora Dipayana mempersilahkan. ”Aku mengharap Angger


berdua dan cucu Arya Salaka beserta Wanamerta besok pagi untuk mengadakan pesta
kembali. Pesta sederhana, namun berkesan di hati orang-orang tua seperti aku.”

Ki Ageng Sora Dipayana tidak menunggu jawaban. Ia berjalan mendahului, ke gandok


wetan. Tamu-tamunya segera mengikuti pula tanpa berkata sepatah katapun.
Di gandok wetan, beberapa orang Lembu Sora datang mengantarkan tikar pandan
rangkap, yang kemudian dibentangkan di lantai. Di sanalah Arya Salaka beserta
rombongannya akan beristirahat.

”Silahkan Angger.” Ki Ageng mempersilahkan kembali. ”Sedemikian adanya. Besok


aku akan mengajak Lembu Sora bertemu dengan kalian. Apapun yang akan kita putuskan
bersama. Agal atau alus. Namun yang harap kalian ketahui, kemampuanku sangat
terbatas. Aku menyesal bahwa Lembu Sora dan anaknya tak dapat aku kuasai lagi dengan
baik.”

”Mudah-mudahan kita tak perlu memeras keringat Ki Ageng,” sahut Mahesa Jenar,
”Apalagi darah.”

”Mudah-mudahan.” Orang tua itu bergumam. Kemudian setelah mempersilahkan


tamunya beristirahat sekali lagi, Ki Ageng Sora Dipayana meninggalkan mereka di
gandok wetan.

Tidak banyak yang mereka percakapkan. Mereka akan mempergunakan waktu istirahat
itu sebaik-baiknya. Mereka percaya kepada Ki Ageng Sora Dipayana, bahwa tak akan
terjadi sesuatu malam ini sampai besok.

Malam itu Ki Ageng Lembu Sora memerintahkan kepada laskarnya di garis pertama
untuk menunda gerakan mereka. Ada sesuatu yang sedang dipersiapkan. Bukan
kemungkinan untuk menyelesaikan masalah Banyubiru dengan baik, namun yang
dipersiapkan adalah memperbanyak jumlah laskarnya.

Sejalan dengan itu, dua orang telah diperintahkannya pula untuk pergi ke Pamingit.
Besok menjelang malam, laskar cadangan dan laskar remaja harus sudah masuk kota
Banyubiru, langsung menempatkan diri di garis pertahanan. Sebab menilik persiapan
laskar Arya Salaka, mereka akan memasuki kota dalam tiga gelar, lewat sebelah timur,
barat, dan induk pasukan akan menusuk dari utara.

Karena itu, Lembu Sora harus menyesuaikan diri dalam kesiagaan tiga gelar penuh.
Bahkan Lembu Sora menyiapkan kelompok-kelompok kecil yang harus mengacaukan
gelar sayap-sayap pasukan Arya Salaka dari lambung. Pasukan cadangan ini akan
merupakan pasukan penentu. Sebab menurut perhitungan Lembu Sora semula, laskar
Arya Salaka adalah laskar yang sama sekali tak teratur, dan tak memiliki daya tempur
yang baik. Menurut penilaiannya, laskar itu semula hanyalah laskar yang dipimpin oleh
Bantaran dan Penjawi. Apakah yang dapat diberikan oleh kedua orang itu kepada
laskarnya, sehingga ia tidak perlu mengerahkan segenap kekuatannya?

Tetapi kemudian Lembu Sora berpikir lain. Daripada ia harus mengulangi untuk kedua
atau ketiga kalinya, baiklah sekaligus dimusnahkan sajalah laskar Arya Salaka itu
bersama-sama dengan Arya Salaka, Wanamerta dan kedua orang yang menyertainya itu.
Tetapi adalah di luar perhitungan bahwa di dalam laskar Arya Salaka terdapat dua orang
yang harus diperhitungkan pula, Ki Dalang Mantingan dari Wanakerta dan gembala
bertenaga raksasa dari Karang Pandan di kaki gunung Kelut. Wirasaba, Bantaran dan
Panjawi itu jauh sebelum mereka bertemu kadang-kadang disebut Seruling Gading.
Apalagi kemudian datang bersama-sama dengan Arya Salaka, orang-orang seperti
Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan Wanamerta. Maka laskar Arya itu sebenarnya
merupakan laskar yang telah ditempa lahir dan batin.

Dalam hal itu, Ki Ageng Sora Dipayana lah yang mempunyai perhitungan yang
mendekati kebenaran. Karena itulah maka ia sudah dapat membayangkan bahwa apabila
terjadi peperangan antara kedua cabang aliran darahnya itu, maka akan habislah nama
yang pernah dipupuknya selama ini, perguruan Pangrantunan. Hancur seperti gunung
berapi yang kokoh kuat, namun pecah karena kekuatan yang terkandung di dalam
perutnya sendiri.

Ketika matahari kemudian menjenguk dari balik bukit, Mahesa Jenar dan Arya Salaka
beserta Kebo Kanigara dan Wanamerta segera membersihkan dirinya di sendang kecil di
sebalahnya. Tetapi mereka menjadi terkejut ketika terjadi hiruk pikuk di halaman.

Karena itulah maka sebelum mereka sempat berpakaian dengan baik, mereka terpaksa
berdiri merapat dinding gandok, untuk dapat mendengar apakah yang telah menyebabkan
keributan itu.

556

Dari pendapa terdengarlah suara Ki Ageng Lembu Sora keras: "adakah kau sudah
sampai di Pamingit?"

"Belum Ki Ageng di tengah perjalanan kami jumpai adi Sardu ini," jawab seseorang
yang berdiri dihalaman dengan memegangi kendali kudanya.

"Sardu," teriak Ki Ageng Lembu Sora.

"Ya Ki Ageng," jawab yang disebut Sardu dengan cemas. Ia melangkah maju.
Tangannya juga memegang kendali kudanya.

"Benarkah laporan itu?,"

"Benar, Ki Ageng"

Dari celah celah daun pintu gandok, Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Wanamerta dan
Arya Salaka dapat melihat bahwa wajah Lembu Sora menjadi merah padam.
Dibelakangnya berdiri Sawung Sariti dengan tegangnya. Sedang disampingnya tampak
Ki Ageng Soradipanaya dengan wajah suram.

"Aku sudah menduga," teriak Ki Ageng Lembu Sora, kemudian kepada ayahnya ia
berkata: " bukankah apa yang aku katakan itu benar benar terjadi?"

"Apa yang pernah kau katakan kepadaku?"

"Bukankah ini permainan kotor?," sahut Lembu Sora.

"Aku tak akan dapat dikelabuhi lagi. Persekutuan yang memuakkan dari orang gila."

Ki Ageng Sora Dipayana menggangguk angguk. Agaknya ia dapat menebak perasaan


yang berkobar di dalam dada anaknya. Karena itu ia berkata: " Jangan tergesa-gesa
Lembu Sora. Aku mempunyai sangkaan lain," ayahnya menyoba untuk menyabarkannya.

"Tak akan salah lagi," bantah Lembu Sora.

"Wulungan!!!," tiba tiba Ki Ageng Lembu Sora berteriak keras.

Dari regol halaman, Wulungan datang berlari lari. Pedang yang tergantung
dilambungnya berjuntai-juntai hampir menyentuh tanah. Dengan tangan kirinya ia
menyoba untuk menahan pedangnya, supaya tidak mengganggu langkahnya.

"Panggil mereka, siapkan laskarmu di halaman ini," teriak Lembu Sora.

"Baik Ki Ageng," jawab Wulungan. Ketika kemudian Wulungan memandang kearah


gandok wetan, berdebarlah hati Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Wanamerta serta Arya
Salaka.

"Apakah yang sudah terjadi?," pikir mereka. Tetapi melihat Wulungan itu benar benar
melangkah ke arah pintu gandok itu.

"Ada sesuatu yang tidak beres," bisik Kebo Kanigara. Mahesa mengangguk. Bersamaan
dengan itu Arya segera menyambar tongkatnya yang tersandar didinding.

"Apakah yang akan mereka lakukan?," bisiknya.

"Entahlah," jawab gurunya.

"Apakah mereka sengaja menunggu sampai pagi supaya kami tidak bisa memberikan
tanda anak panah api?" tanya Arya.

"Tapi panah Sendaren masih ada," kata Mahesa, "bukankah demikian paman
Wanamerta?"

"Ya, panah itu masih ada," jawab Wanamerta. Mereka tidak berkata-kata lagi ketika
Wulungan sudah berdiri dimuka pintu. Yang kemudian dengan sopan ia berkata: "Angger
Arya, ada pesan dari pamannda untuk anda."
Arya memperbaiki kainnya sambil melangkah keluar pintu. "Adakah sesuatu yag penting
sekali paman?"

"Aku tidak dapat mengatakannya," jawab Wulungan "Baiklah kami segera akan datang,"
jawab Arya

Tetapi Wulungan tidak segera pergi. Ketika Arya kemudian masuk kembali, terdengan
orang itu berkata dari luar pintu: "marilah ngger, pamanda agaknya tergesa-gesa."

Arya segera keluar kembali dengan tombak ditangannya. Dibelakangnya berjalan


Wanamerta.

Dipinggangnya tersangkut bumbung yang tidak saja berisi panah sendaren tetapi juga
panah berujung tajam. Sedang ditangan kanannya tergenggam busur yang besar, dengan
bola besi sebesar salak dikedua ujungnya. Busur itu dalam keadaan terpaksa akan dapat
dipergunakan sebagai senjata pemukul yang berbahaya. Ketika kedua orang pembantunya
diperintahkan untuk mendahului membawa perintah Arya, busur itu dimintanya.
Dibelakang mereka berjajar dua orang yang menguasai penuh ilmu perguruan Pengging,
Mahesa dan Kanigara. Sambil berjalan Wanamerta berharap mudah mudahan orang yang
telah ditentukan untuk menangkap bunyi panah sendaren tidak meninggalkan tempat
mereka, sehingga dengan demikian mereka akan dapat melangsungkan setiap berita yang
disampaikan apabila terjadi sesuatu.

Ketika Arya sampai diujung tangga, dan ketika ia hampir naik ke atas tangga itu, Lembu
Sora membentak; "Aku tidak mengharap kau naik!"

Arya terkejut, perlakuan itu terlalu kasar. Tapi ia ingin tahu persoalan apa yang membuat
pamannya bersikap demikian. Apakah persoalan itu masuk akal atau cuma suatu cara
memancingnya kedalam suatu pertengkaran. Karena itu iapun berhenti pula. Lembu Sora
memandangnya dengan mata menyala nyala.

Ketika Arya membalas pandangannya ia membentak; "Aku kira kau benar-benar lelaki
seperti yang aku duga. Sekarang katakan kepadaku apa yang sedang kau lakukan?"

Arya menjadi bingung, ia menjawab; "aku tidak tahu maksud paman."

Lembu menyibirkan bibirnya sambil sesekali meludah ke lantai; "kau berhasil menarik
sebagian laskarku ke Banyu Biru. Sekarang kau pergunakan laskar hitam untuk memukul
Pamingit."

KATA-KATA pamannya itu bagi Arya seperti suara petir yang meledak di ubun-
ubunnya. Bahkan Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan Wanamerta sampai bergeser maju
selangkah.

”Apa yang Paman katakan?” Arya ingin penjelasan.


”Sudah kau dengar,” jawab Lembu Sora.

”Bohong,” bantah Arya. Hatinya telah benar-benar panas. Apalagi dengan tuduhan
pamannya yang sangat menyakitkan hati itu.

”Tak ada yang akan memaksa kau mengakui perbuatan curang itu. Namun kau tidak
akan dapat mengingkari, bahwa laskar di perbatasan yang sama sekali tak berarti itu
ternyata hanya suatu cara untuk memancing laskar Pamingit,” sahut Lembu Sora keras.

”Tidak benar.” Arya menjadi gemetar, karena marahnya. Tetapi dengan demikian kata-
katanya seperti tertahan di kerongkongan.

”Katakan kepadaku,” sambung Lembu Sora, ”Apa sebabnya kalian tidak segera
menyerang sejak kemarin, sejak kemarin dulu atau sejak seminggu yang lalu? Apa
hubungan kalian dengan kedatangan orang-orang dari Nusakambangan beberapa minggu
lampau, kemudian menyusul orang yang bernama Mahesa Jenar itu kemari? Apa...?
Kalian tidak akan dapat membantah, bahwa kalian benar-benar telah bekerja bersama
dengan mereka. Kalau tidak, mereka tidak akan secara kebetulan menduduki Pamingit
menjelang ayam berkokok untuk yang kedua kalinya pagi tadi.”

”Bohong!” sekali lagi suara Arya yang bergetar terhenti di kerongkongannya. Mahesa
Jenar tahu hal itu, sebagaimana yang pernah terjadi. Arya bukan orang yang pandai
berbantah. Karena itu dengan tenang ia melangkah maju untuk mewakili muridnya
berkata, ”Ki Ageng Lembu Sora, jangan menuduh kami seperti menuduh pencuri. Kami
bukan sebangsa pengecut yang tidak percaya pada diri sendiri, sehingga kami telah
kehilangan harga diri, bekerja bersama dengan golongan hitam. Golongan yang akan
terkutuk sampai seribu keturunan.”

Lembu Sora tertawa terbahak-bahak. Tertawa untuk melepaskan kemarahan yang hampir
tak tertahan lagi. Kemudian dengan menunjuk kepada Sardu ia berkata keras-keras,
”Berkatalah kepadanya. Berkatalah bahwa kalian telah mencoba mencuci tangan. Namun
orang itu menyaksikan dengan mata kepala sendiri, orang- orang golongan hitam
menduduki Pamingit. Membakari rumah-rumah dan segala isinya. Orang itu mendengar
dengan telinga yang melekat di batok kepalanya, bahwa orang-orang golongan hitam itu
berteriak-teriak. Tak ada gunanya kalian mengirim orang ke Banyubiru. Banyubiru telah
dihancurkan oleh Arya Salaka dan Mahesa Jenar. Apa katamu?”

Tiba-tiba Mahesa Jenar teringat kepada seekor kuda yang berlari dengan meninggalkan
debu yang putih dan menghilang di cakrawala siang kemarin, ketika laskar Arya sedang
berjalan ke perbatasan. Karena itulah maka ia berkata di dalam hatinya, ”Gila. Orang-
orang golongan hitam itu benar-benar mempergunakan kesempatan ini.”

Namun kepada Lembu Sora ia menjawab, ”Kau terlalu tergesa-gesa mengambil


kesimpulan. Kalau orang-orang golongan hitam itu mempergunakan setiap kesempatan di
dalam kekeruhan, adalah mungkin sekali. Karena itulah maka aku selalu menganjurkan
kepada Arya Salaka, untuk menempuh jalan yang tidak memungkinkan golongan hitam
itu mengambil kesempatan. Tetapi kau telah memaksa untuk memagari kota ini dengan
pasukannya.”

”Kau sama sekali tidak bermaksud menyelesaikan masalah Banyubiru dengan baik. Kau
hanya ingin menjajagi keteguhan tekad kami untuk melindungi daerah ini. Ketika kau
merasa tidak mampu lagi untuk berbuat sesuatu, kau meleburkan dirimu ke dalam tubuh
golongan hitam itu.”

Mahesa Jenar akhirnya menjadi marah pula. Meskipun ia masih mencoba menahannya.
Katanya, ”Kami adalah orang-orang yang menempatkan diri kami di dalam lingkungan
yang menganggap bahwa golongan hitam harus dimusnahkan.”

Sekali lagi Lembu Sora tertawa untuk melepaskan kemarahannya yang semakin
memuncak. Sama sekali bukan tertawa karena ia menjadi gembira. Katanya meledak
seperti guruh, ”Mahesa Jenar. Sejak semula aku sudah curiga kepadamu. Kepada Kakang
Gajah Sora aku sudah pernah memperingatkan bahwa orang Pandanaran ini, kenapa
demikian mengikat diri di Banyubiru. Sejak lenyapnya Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk
Inten dari Walangkan di Banyubiru, sebenarnya aku sudah dapat mengambil kesimpulan,
bahwa kau adalah salah seorang dari mereka. Salah seorang dari golongan hitam.”

Dada Mahesa Jenar seperti akan meledak mendengar tuduhan itu. Ia benar-benar marah.
Karena itulah maka ia melangkah selangkah maju. Dalam pada itu Ki Ageng Sora
Dipayana pun menjadi sangat cemas. Tetapi ketika ia akan melangkah, Mahesa Jenar
telah berkata dengan lantangnya sambil menunjuk ke arah wajah Ki Ageng Lembu Sora,
”Ki Ageng Lembu Sora. Kau jangan mengada- ada. Siapakah yang pernah berhubungan
dengan golongan hitam untuk meniadakan Kakang Gajah Sora. Siapakah yang telah
mengikatkan diri dalam suatu perjanjian dengan Sima Rodra Muda atas tanah
Pangrantunan? Dan siapakah yang telah mengerahkan orang-orangnya untuk mencegat
pasukan dari Demak, pada saat Gajah Sora sedang berusaha untuk memecahkan
perselisihan yang ada antara Banyubiru dengan Demak? Siapakah yang dengan senang
hati menghadiri pertemuan golongan hitam di lembah Rawa Pening? Siapa? Mahesa
Jenar kah itu...?”

”Diam...!” bentak Lembu Sora. Tetapi Mahesa Jenar tidak mau diam. Ia berkata terus,
sambungnya, ”Kau takut melihat kenyataan itu.”

”Kau takut aku mendahului mengatakan itu kepadamu,” teriak Lembu Sora, ”Dengan
ocehanmu itu kau ingin mengaburkan kenyataan yang kau hadapi kini.”

”HUH,” Mahesa Jenar menyahut, ”Katakan kepadaku Lembu Sora. Siapakah yang telah
membunuh Sima Rodra Muda? Siapa pula yang telah membunuh jandanya, yang telah
kehilangan sifat manusianya? Kau tidak pernah melihat cara mereka bergembira. Sayang.
Barangkali kau akan tertarik pula pada upacara-upacara yang mereka adakan. Dan
siapakah yang telah membunuh sepasang Uling dari Rawa Pening? Bukan kau? Bukan Ki
Ageng Lembu Sora yang sekarang berdiri dengan gagahnya di pendapa Banyubiru?”
Lembu Sora terdiam untuk beberapa saat. Ia benar-benar tidak dapat menjawab
pertanyaan-pertanyaan Mahesa Jenar yang mengalir seperti banjir itu. Ia memang pernah
mendengar kabar, bahwa Sima Rodra suami-istri dan sepasang Uling Rawa Pening telah
terbunuh. Namun kabar itu sangat dirahasiakan oleh golongan hitam. Apalagi kegiatan-
kegiatan di Gunung Tidar maupun di Rawa Pening seolah-olah sama sekali belum
padam. Sehingga ia menjadi ragu atas kebenaran berita itu.

Dalam keragu-raguan ia mendengar Mahesa Jenar meneruskan, ”Ketahuilah Lembu


Sora, bahwa akulah yang membunuh Sima Rodra Muda. Sedang jandanya telah mati
terbunuh oleh anak tirinya. Kalau kau ingin tahu siapakah yang membunuh Uling Putih
dan Uling Kuning? Nah, lihatlah anak yang berdiri di hadapanmu itu. Kemenakanmu
sendiri.”

Yang mendengar kata-kata itu menjadi terkejut. Lembu Sora, Sawung Sariti, juga Sora
Dipayana. Apakah benar Arya Salaka telah dapat membunuh sepasang Uling Rawa
Pening? Tetapi mereka tidak bertanya.

Sehingga kemudian terdengar Mahesa Jenar meneruskan, ”Arya Salaka lah yang pada
masa orang-orang golongan hitam mabuk mencari keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk
Inten, dan kemudian keinginan mereka menelan Pamingit dan Banyubiru, selalu dikejar-
kejar sehingga sangat membahayakan jiwanya, dan yang kemudian tampil ke depan
melawan mereka. Itukah yang kau tuduh sekarang ini tertelan oleh golongan itu?”

Lembu Sora menjadi pening mendengar suara Mahesa Jenar seperti hujan tercurah dari
langit. Karena itu kemudian ia berteriak keras-keras, ”Cukup. Cukup...! Kebohongan
yang teratur memang kadang-kadang menimbulkan kesan, seolah-olah peristiwa-
peristiwa itu benar-benar telah terjadi. Tetapi aku tidak akan dapat kau kelabuhi. Aku
tidak buta dan aku tidak tuli. Aku melihat semua yang telah terjadi, dan aku
mendengarnya pula. Sekarang aku tidak akan banyak bicara. Kesempatan yang baik
bagiku untuk menumpas kalian di sini sekarang juga. Baru aku akan tenang kembali ke
Pamingit untuk memusnahkan orang-orang dari golongan hitam itu.”

Mahesa Jenar sadar, bahwa ia tidak perlu memberi keyakinan kepada Lembu Sora bahwa
ia sama sekali tidak mengadakan hubungan apapun dengan golongan hitam. Ia tidak perlu
mengabarkan bahwa yang terakhir ia bertempur mati-matian melawan Pasingsingan.
Sebab apapun yang dikatakan, tidak akan mempengaruhi maksud Lembu Sora untuk
memusnahkan mereka. Karena itu yang dapat dilakukan adalah mempersiapkan diri
sepenuhnya untuk menghadapi setiap kemungkinan yang akan terjadi.

Dalam pada itu tiba-tiba Ki Ageng Sora Dipayana melangkah maju. Agaknya ia dapat
mengambil kesimpulan dari pertengkaran antara anaknya dengan Mahesa Jenar. Maka
katanya kemudian, ”Lembu Sora. Jangan kehilangan pegangan. Yang penting sekarang
adalah menyelamatkan tanahmu, Pamingit. Kalau kau buang waktu dan tenagamu di sini,
maka aku kira keadaan tanahmu dan dirimu sendiri akan menjadi semakin parah.”

”Apa yang dapat dilakukan oleh empat orang itu, Ayah...?” bantah Lembu Sora.
Ki Ageng Sora Dipayana menyahut, ”Empat orang ini adalah orang-orang yang dapat
kau lihat berdiri di sini Lembu Sora. Tetapi di belakang mereka berdiri satu pasukan yang
kuat di perbatasan kota.”

”Pasukan itu tak akan berarti bagiku," jawab Lembu Sora dengan sombongnya.

”Berarti atau tidak berarti, namun itu telah mengurangi waktumu dan tenaga
laskarmu.Kau lihat apa yang tersimpan di dalam bumbung Wanamerta itu?Panah
sendaren, yang dapat menggerakkan laskar mereka dari jarak yang jauh. Dan kau dengan
apa yang dikatakan Angger Mahesa Jenar? Arya Salaka telah mampu membunuh
sepasang Uling dari Rawa Pening. Karena itu kau akan dapat mengira-irakan, apakah
yang dapat dilakukan oleh Angger Mahesa Jenar.”

”Aku tidak peduli,” potong Lembu Sora.

”Kau harus pedulikan itu,” sahut ayahnya.

Tetapi Ki Ageng Sora Dipayana tidak sempat meneruskan ketika di luar regol terdengar
suara ribut. ”Apakah itu?” tanya Lembu Sora keras-keras.

”Laskar diperbatasan mulai bergerak?” Seseorang berlari-lari datang kepadanya.

Dengan hormatnya ia berkata, ”Bukan Ki Ageng. Sama sekali bukan laskar dari
perbatasan. Tetapi mereka adalah rakyat Banyubiru.”

"Apa yang mereka lakukan? Adakah mereka sudah gila?” bentak Lembu Sora.

”Tidak Ki Ageng,” jawab orang itu. ”Mereka mencoba untuk memasuki halaman.”

”Kenapa?” Lembu Sora membentak-bentak.

”Mereka ingin melihat Arya Salaka,” jawabnya.

”Gila. Mereka telah benar-benar gila. Kenapa kau bilang tidak?” Lembu Sora menjadi
semakin marah. Persoalan itu menambah kepalanya menjadi pening.

”Bunuh mereka yang memaksa.”

”Jangan Lembu Sora,” ayahnya menyabarkan.

”Kau jangan menambah lawan. Rakyat Banyubiru adalah sebagian darimu selama kau
masih berdiri di sini. Karena itu dengarlah suaranya. Selama ini tak pernah mengerti apa
yang tersimpan di dalam hatinya. Kau paksa mereka berkata seperti apa yang kau
katakan. Sekarang kau benar-benar di dalam kesulitan. Biarlah aku menempatkan dirimu
pada tempat yang seharusnya. Pergilah ke Pamingit dan hancurkan golongan hitam yang
telah menodai kedaulatanmu.”

KEMUDIAN kepada Arya Salaka, kakeknya itu berkata, ”Arya, aku minta kepadamu,
tundalah persoalanmu. Sebab setiap pertengkaran di antara kita hanya akan memberi
kesempatan kepada golongan hitam untuk melumpuhkan kita. Kau mau?”

Arya ragu sejenak. Tiba-tiba ia dihadapkan pada suatu pilihan yang sulit. Hampir-hampir
ia tidak dapat lagi meredakan kemarahannya, seandainya bukan kakeknya yang bertanya
kepadanya. Karena itu, berdasarkan pada pertimbangan-pertimbangan yang lebih jauh,
Arya merasa tidak berkeberatan. Meskipun demikian ia memandang juga kepada
gurunya. Ketika gurunya mengangguk, Arya pun menjawab, ”Aku akan bersedia dengan
sepenuh hati, Eyang.”

Ki Ageng Sora Dipayana mengangguk-angguk gembira.

Sambil tersenyum ia berkata, ”Bagus. Aku memang sudah menduga bahwa hatimu
bersih sebersih hati ayahmu.”

Kembali Lembu Sora menjadi sakit hati mendengar pujian itu. Dengan lantangnya ia
berkata, ”Ayah terlalu memberi hati kepadanya. Biarlah ia tahu bahwa ia sama sekali tak
cukup bernilai untuk mempersoalkan kedudukan Kakang Gajah Sora.”

”Eyang...” sahut Arya yang hampir kehilangan kesabarannya kembali, ”Biarlah paman
memilih.”

”Jangan, jangan....” potong Sora Dipayana cemas. Suaranya terputus oleh keributan yang
semakin menjadi-jadi di luar regol.

Terdengarlah suara rakyat Banyubiru itu berteriak-teriak, ”Berilah kami jalan. Biarlah
kami melihat Arya Salaka.”

Para penjaga menjadi semakin sibuk. Mereka merapatkan diri dengan senjata terhunus
untuk menahan arus rakyat yang sedemikian lama semakin banyak.

”Dari mana mereka tahu, bahwa Arya Salaka ada di sini?” tanya Sora Dipayana kepada
salah seorang pengawal.

”Entah Ki Ageng,” jawabnya.

”Lembu Sora.” Ki Ageng Sora Dipayana berkata kepada anaknya, ”Kesetiaan mereka
kepada kampung halamannya harus kau perhitungkan pula. Mereka dapat menjadi lunak,
namun dapat menjadi liar melampaui serigala.”

Lembu Sora terdiam. Ia menjadi benar-benar ngeri menghadapi keadaan. Golongan


hitam dengan ganasnya telah melanda Pamingit. Sekarang rakyat Banyubiru seperti orang
mabuk berbondong-bondong datang untuk melihat Arya Salaka.
”Arya...” kata Ki Ageng Sora Dipayana, ”Hanya kau yang mampu menenangkan
mereka. Pergilah kepada mereka, dan berjanjilah bahwa kau akan menunda persoalan
sampai pamanmu dengan orang-orang golongan hitam itu selesai.”

Kembali Arya ragu. Namun sekali lagi ia melihat gurunya menganggukkan kepalanya.
Maka Arya pun menjawab,”Baiklah Eyang.”

”Aku percaya kepadamu.” Kakeknya berkata seterusnya. Lalu kepada Mahesa Jenar ia
berkata, ”Apalagi kepada Angger Mahesa Jenar sebagai penerus perguruan Pengging
yang terkenal. Aku percaya kepada Angger seperti aku percaya kepada setiap kata yang
diucapkan oleh Ki Ageng Pengging Sepuh.”

Mahesa Jenar sadar, bahwa kata-kata itu sama sekali bukanlah pujian, tapi baginya, Ki
Ageng Sora Dipayana menyatakan permintaannya yang sedalam-dalamnya, supaya ia
dapat mengendalikan Arya Salaka. Namun demikian ia menjawab, ”Mudah-mudahan aku
dapat menjunjung kepercayaan itu.”

Kemudian kepada Lembu Sora ia berkata, ”Kau dapat pergi dengan tenang Lembu Sora.
Anggaplah bahwa di Banyubiru sekarang tidak ada persoalan apapun. Dengan demikian
kau dapat mencurahkan segenap perhatianmu kepada tanahmu.”

Lembu Sora masih ragu. Baginya sebenarnya akan sama saja akibatnya. Dalam keadaan
payah, ia masih harus menghadapi lawan lain. Tetapi akhirnya ia benar-benar mengharap,
agar Arya menunda tuntutannya sampai ia dapat menyegarkan laskarnya kembali. Ketika
di luar suara rakyat Banyubiru seolah-olah hendak membelah langit, maka sekali lagi Ki
Ageng Sora Dipayana berkata kepada Arya, ”Arya, tenangkan mereka. Syukurlah kalau
mereka mau kau minta pulang ke rumah masing-masing, supaya tidak menambah beban
pembicaraan kita di sini. Sementara itu biarlah pamanmu dan adikmu Sawung Sariti
mempersiapkan keberangkatannya.”

Arya membungkuk hormat. Kemudian ia melangkah ke regol halaman diikuti oleh


Wanamerta, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara. Demikian ia sampai di depan regol,
terdengarlah suara rakyat Banyubiru itu. ”Itukah Arya Salaka? Itukah...?”

Kemudian suara itu menjadi semakin riuh. Akhirnya meledaklah suara mereka, ”Arya
Salaka...! Arya Salaka....!”

Kemudian Arya berdiri di atas sebuah dingklik kayu. Mula-mula yang menyentuh
perasaannya adalah keharuan yang mendalam. Untuk sesaat ia tak dapat berkata sepatah
katapun. Seolah-olah lidahnya menjadi beku. Baru kemudian ia berkata, ”Berbahagialah
aku, karena kesempatan yang aku peroleh, berhadapan muka dengan rakyat Banyubiru
yang setia.”

Suara rakyat itu semakin menggemuruh, seperti lebah berpindah sarang. Arya Salaka
mengangkat tangannya. Suara itupun menjadi semakin berkurang, dan akhirnya hilang
sama sekali. Para pengawal masih saja berdiri rapat dengan ujung senjata yang rapat pula.
(Bersambung)-m

”AKU datang kembali ke Banyubiru, karena rinduku kepada kampung halaman dan
kepada kalian,” sambung Arya Salaka.

Suaranya terputus oleh tepuk tangan gemuruh.

”Tetapi...” sambung Arya Salaka, ”Maafkanlah bahwa aku belum mempunyai banyak
waktu untuk menyambut kalian dengan tanggapan yang lebih baik. Karena itu aku
janjikan, lain kali aku akan menerima kalian, seluruh rakyat Banyubiru di alun- alun ini.
Sekarang, setelah terpenuhi permintaan kalian, berhadapan muka dengan aku, aku harap
kalian sudi meninggalkan tempat ini, kembali ke tempat kalian masing-masing.”

Rakyat Banyubiru menjadi kecewa. Mereka ingin mendengar kabar, apakah yang telah
terjadi di dalam lingkaran dinding rumah itu. Mereka ingin mendengar, apakah Ki Ageng
Lembu Sora masih akan tetap menguasai Banyubiru.

Namun sekali lagi Arya minta mereka untuk bubar, dengan janji secepat-cepatnya ia
akan memberikan kabar itu kepada rakyat Banyubiru. Sehingga dengan demikian,
meskipun hati mereka belum lapang seperti harapan mereka, namun setidak- tidaknya
mereka telah bertemu dengan anak muda yang mereka rindukan.

Yang telah mereka dengar kehadirannya dari Ira, yang sengaja menyebar kabar
kedatangan Arya Salaka. Ketika rakyat yang berjejalan itu telah surut, dan semakin lama
semakin hilang, maka siaplah Lembu Sora beserta putranya Sawung Sariti. Beberapa
orang berkuda telah disebar untuk menarik pasukan Pamingit dari perbatasan. Penarikan
itu disambut dengan berbagai pertanyaan di dalam hati.

Mula-mula, mereka yang menyandang senjata karena gemerincingnya uang, merasa


berbahagia sekali ketika mereka mendengar bahwa pasukan itu ditarik dari garis
pertempuran. Sebab mereka memang sama sekali tidak mengharapkan darah mereka
menetes, menyiram tanah yang tak memberikan harapan apa-apa bagi mereka.

Dengan demikian mereka mengharap untuk dapat segera bertemu dengan anak istrinya
atau dengan kekasihnya, atau dengan orang tua mereka yang telah pikun dan meletakkan
harapan mereka kepada anak-anaknya.

Tetapi ketika mereka mendengar kabar, bahwa mereka harus berhadapan dengan
golongan hitam lebih dahulu, mereka menjadi kecewa. Bagi mereka, orang-orang
golongan hitam pasti akan jauh lebih buas dan biadab daripada orang-orang Banyubiru.
Tetapi ketika mereka teringat anak-istri mereka, sawah dan ladang dimana mereka
meletakkan harapan mereka untuk memberi anak-anak mereka makan, maka tiba-tiba
timbullah semangat mereka. Terasalah perbedaan tanggapan, bahwa mereka akan lebih
ikhlas berkorban apabila mereka mempertahankan sawah ladang mereka, daripada
mereka harus merampas sawah ladang orang lain.

Anda mungkin juga menyukai