Anda di halaman 1dari 25

Di Alun-alun Banyubiru mereka berkumpul.

Di hadapan mereka Ki Ageng Sora


Dipayana berkata, ”Rakyat Pamingit yang berani.... Kenanglah masa-masa orang tuamu
dahulu menempa tanah ini menjadi daerah perdikan seperti yang kalian miliki ini. Karena
itu pertahankan tanah itu. Rakyat Pamingit, bagian dari tanah perdikan yang semula
bernama Pangrantunan, pasti akan tetap berdarah jantan. Orang-orang golongan hitam
bukanlah hantu yang harus kita takuti, tetapi mereka adalah setan-setan yang harus kita
musnahkan. Masa depan tanah kalian berada di dalam genggaman kalian.”

Orang yang semula ragu-ragu hatinya, kini menjadi teguh. Kalau ada di antara orang-
orang laskar Pamingit itu orang Pangrantunan, maka merekapun masih teringat, beberapa
tahun yang lampau, beberapa orang bawahan Sima Rodra selalu datang menarik tanda
panungkul kepada mereka. Mereka tak dapat berbuat sesuatu, sebab tanah itu telah
digadaikan oleh Lembu Sora. Tetapi sejak dua orang Lembu Sora terbunuh, berbedalah
keadaannya. Apalagi kemudian terjadi perubahan perhubungan antara Ki Ageng Lembu
Sora dan Sima Rodra, apalagi sepeninggal Sima Rodra muda suami-istri, sehingga gadai
tanah itu dicabut.

Kini mereka harus berhadapan dengan golongan hitam itu. Bekal dendam yang ada di
dalam dada mereka telah menyalakan semangat mereka untuk menumpas golongan hitam
itu habis-habisan, meskipun ada di antara laskar Pamingit itu yang pernah mengalami
suatu masa, dimana mereka harus bekerja bersama dengan laskar hitam itu.

Ketika matahari telah memanjat semakin tinggi di kaki langit, terdengarlah bunyi
sangkalala. Seperti air mengalir laskar Pamingit itu bergerak, meninggalkan Alun-alun
Banyubiru kembali ke kampung halaman, untuk mempertahankan tanah mereka dari
terkaman orang-orang yang tergabung di dalam suatu lingkaran hitam yang berhati
kelam.

Ki Ageng Lembu Sora dan Sawung Sariti, dengan kuda masing-masing, berjalan di
ujung pasukannya. Di belakangnya berjalan dengan tekad yang bulat, pemimpin
pengawal kepala daerah perdikan itu, Wulungan. Seterusnya beberapa orang pilihan,
yang tergabung dalam laskar pengawal itu. Barulah kemudian berbaris membujur ke
belakang, kelompok-kelompok laskar Pamingit.

Sebenarnya Lembu Sora pun mempunyai beberapa orang pilihan yang dapat
membantunya, menghadapi tokoh-tokoh hitam. Selain Wulungan, di dalam laskar
Pamingit itu terdapat orang-orang yang setingkat Galunggung, Welat Ireng, Pakuwon,
Sampir, dan beberapa orang lainnya.

Mereka mendapat tugas untuk mengawasi laskar Pamingit itu, memimpin mereka dan
mengolah mereka, disamping Lembu Sora dan Sawung Sariti sendiri. Kepada merekalah
Lembu Sora meletakkan harapannya atas laskarnya. Namun demikian, di sepanjang
perjalanan itu kepada Ki Ageng Lembu Sora dan Sawung Sariti selalu dikejar-kejar oleh
berbagai persoalan. Selain perasaan marah yang membakar dadanya, melontar pula
kecemasan di hatinya. Siapa sajakah yang turut serta di dalam laskar yang menduduki
Pamingit itu?

Yang sudah jelas baginya, adalah Joko Soka dari Nusakambangan. Betapa bencinya ia
kepada bajak laut yang gila itu. Kalau saja tak ada gerombolan lain yang membantunya,
maka ia yakin bahwa Jaka Soka bukanlah beban yang terlalu berat baginya. Ia yakin
bahwa jumlah laskarnya akan terlampau besar untuk menghadapi Ular Laut itu. Tetapi
adakah gurunya ikut serta.

NAMA Nagapasa adalah nama yang cukup menggetarkan. Meskipun nama itu telah
lama tenggelam, namun setiap orang tahu, bahwa Jaka Soka adalah murid dari bajak tua
yang terkenal dengan nama ilmunya yang mengerikan, Nagapasa. Apalagi kalau
golongan hitam yang lain ikut serta mengambil bagian dalam penyerbuan itu, maka
pekerjaannya akan menjadi berat sekali. Di dalam laskarnya tak seorangpun yang akan
dapat berhadapan seorang lawan seorang dengan Nagapasa itu. Kalau benar orang itu
ada, ia sendiri harus menghadapinya dengan bantuan sepuluh atau duapuluh orang
bersama-sama. Bahkan mungkin ia memerlukan lebih dari limapuluh orang, sedang yang
separonya pasti akan binasa. Bahkan mungkin dirinya pun akan binasa. Dalam keadaan
yang demikian, tiba-tiba terasa betapa kecil kekuatan Lembu Sora kini. Kalau saja
kakaknya, Gajah Sora, ada. Kalau saja ayahnya ada di antara laskarnya.

Kalau saja Arya Salaka....

”Tidak!” Tiba-tiba terdengar suara Lembu Sora tersentak.

Sawung Sariti terkejut. Ia menoleh kepada ayahnya.

”Apa yang ayah maksud?”

Lembu Sora menggeleng.

”Tak apa-apa.”

Meskipun jawaban itu sama sekali tidak memuaskannya, namun ia tidak bertanya lagi. Ia
sendiri sedang sibuk berangan-angan. Apakah yang kira-kira akan dilakukan nanti.
Sekali-kali ia menoleh kepada laskarnya yang mengalir tak putus-putusnya. Dengan
tersenyum ia berkata dalam hatinya, ”Betapa kuatnya orang perorang dari golongan
hitam, namun dengan ditimbuni mayat laskar Pamingit yang tak terhitung jumlahnya,
mereka pasti akan ngeri juga.”

Memang, bagi Sawung Sariti jumlah korban dari laskarnya bukanlah soal. Meskipun
demikian ia berpikir juga. ”Tetapi kalau terlalu banyak laskar ini akan berkurang nanti,
dengan apa aku harus melawan Arya Salaka?”

Ia pun menjadi bimbang. Sawung Sariti sadar bahwa ia harus bertempur, sebab ia tahu
benar bahwa orang hitam itu tak akan diajak berbaik hati. Ia sadar bahwa kalau selama ini
mereka berdiam diri, bahkan dalam berbagai hal mereka membantunya, itu karena
mereka mempunyai beberapa persamaan kepentingan.

Tetapi kemudian timbul pula angan-angannya, ”Ah, jumlah laskar anak itu, tak akan
seberapa kuat.”

Ia mencoba membesarkan hatinya sendiri, meskipun setiap kali ia ingat kepada nama-
nama Jaka Soka, Lawa Ijo, apalagi Nagapasa, mungkin juga Pasingsingan, Sima Rodra
tua, Bugel Kaliki, hatinya berdesir. Tetapi ia mencoba untuk menyembunyikan
perasaannya. Dan sekali lagi ia mencoba untuk membanggakan jumlah laskarnya.

”Satu seratus,” bisiknya di dalam hati.

”Laskarku pasti masih akan mempunyai banyak kelebihan.” Dengan demikian Sawung
Sariti menjadi sedikit tenang. Sekali-kali ia menatap langit yang biru. Sehelai-helai awan
yang putih mengalir ke utara, seperti kapuk dihanyutkan angin. Putih dan bersih. Tiba-
tiba di balik awan yang bersih itu terbayang wajah Arya Salaka. Alangkah cekatan
tangannya memainkan tombaknya. Disampingnya terbayang wajah yang meskipun
memancarkan kesejukan hatinya, namun suatu ketika wajah itu cepat menyala melampui
nyala api.

Mahesa Jenar.

Lalu apakah yang dapat dilakukan oleh seorang yang berwajah angker yang selalu
berada bersama-sama dengan Mahesa Jenar? Orang itu ternyata pernah menggemparkan
laskarnya, ketika ia melindungi Bantaran di tanah lapang, tempat orang-orang Banyubiru
menyelenggarakan tayub. Lalu terkenanglah ia kepada Wanamerta yang tua. Yang pada
masa kecilnya, pernah membelai kepalanya, mendukungnya di punggung dan
memberinya buah-buahan yang segar. Ketika awan yang putih itu telah menjalar semakin
jauh, muncullah segumpal awan yang lain. Tiba-tiba tampaklah seolah-olah
memandangnya dengan segan seorang wanita, yang dikenalnya bernama Rara Wilis.

Wanita inipun bukan wanita kebanyakan yang berlari seperti kijang apabila ia
mendengar dentang senjata. Bahkan wanita ini pernah diketahuinya, bertempur di antara
laskar Gedangan melawan laskarnya.

Yang muncul kemudian adalah wajah yang manis dari seorang gadis lincah. Endang
Widuri. Ia melihat gadis ini pertama-tama di Karang Tumaritis. Tetapi kemudian di
Gedangan, gadis ini dilihatnya pula sepintas.

Namun, dalam pertemuan yang sebentar itu, tertanamlah suatu perhatian yang aneh
kepadanya. Adakah gadis ini ikut serta di dalam laskar Arya Salaka? Agaknya gadis
inipun mampu mempermainkan senjata. Ketika angin yang kencang bertiup dari
pegunungan, awan yang putih itu pecah berserakan, seperti hati Sawung Sariti yang
pecah pula. Nama-nama itu, Arya Salaka, Mahesa Jenar, Putut Karang Jati, Wanamerta,
Rara Wilis dan Endang Widuri itupun pada suatu saat akan berdiri berhadapan untuk
dilawannya.

Apakah pekerjaan ini lebih ringan daripada melawan orang-orang golongan hitam?

”Satu seratus.” Kembali Sawung Sariti berdesis di dalam hatinya.

”Tetapi bagaimana dengan rakyat Banyubiru?” Suara hatinya membantah sendiri,


”Mereka agaknya masih tetap menunggu kedatangan Arya Salaka. Dan merekapun pasti
tak akan dapat diabaikan.”

”Persetan!” Tiba-tiba hati Sariti mengumpat.

”Semua harus aku musnahkan. Baik golongan hitam maupun Arya Salaka. Pamingit dan
Banyubiru harus jatuh ke tanganku. Kemudian akan aku kuasai Kedu Bagelan. Ke utara
sampai ke Bergoto. Apalagi kalau Kyai Nagasasra dan Sabuk Inten telah berada di
tanganku.”

Sawung Sariti tersenyum sendiri. ”Eyang akan tahu nanti, bahwa cucunya akan mampu
menggulung dunia.” Suara itu mengumandang di dalam otaknya, dibarengi oleh
mengumandangnya derap langkah laskarnya.

DI Banyubiru, sepeninggal laskar anaknya, Ki Ageng Sora Dipayana berdiri terpaku


memandang debu yang mengepul dibelakang laskar itu. Meskipun ia masih tegak di alun-
alun, namun hatinya serasa pergi bersama-sama dengan pasukan yang akan menghadapi
pekerjaan yang cukup berat. Melawan laskar golongan hitam.

Setelah ekor dari iring-iringan telah lenyap di balik tukungan, barulah ia beranjak dari
tempatnya, dan sambil menoleh kepada Mahesa Jenar ia berkata, ”Aku mengharap,
bahwa peristiwa ini akan dapat mendorong anak itu menyadari keadaannya.”

Mahesa Jenar tidak menjawab, tetapi ia mengangguk. ”Marilah Angger...” ajak Ki


Ageng Sora Dipayana, ”Kita kembali ke pendapa.”

”Aku sudah menduga bahwa golongan hitam akan mengambil kesempatan ini,” kata
Mahesa Jenar ketika mereka telah duduk kembali di pendapa Banyubiru. ”Bagaimana
Angger dapat mengetahuinya?” tanya Sora Dipayana, meskipun sebenarnya untuk
menduga hal itu tidaklah sulit. ”Bahkan aku hampir pasti,” jawab Mahesa Jenar, ”Karena
itu aku berusaha sedapat mungkin untuk menunda pertempuran.”

Mahesa Jenar berhenti sejenak sambil memandangi wajah Arya. Tetapi anak itu
menundukkan wajahnya. Kemudian terdengar Mahesa Jenar meneruskan, ”Namun darah
yang mengalir di dalam tubuh anak-anak muda memang masih terlalu panas. Bahkan
darah di dalam tubuhku inipun rasa-rasanya masih terlalu sering mendidih.”

Ki Ageng Sora Dipayana tersenyum. Kebo Kanigara pun tersenyum. Kemudian Mahesa
Jenar menceriterakan, apa yang selama ini dialaminya di sekitar Candi Gedong Sanga.
Kehadiran gerombolan Lawa Ijo dan seorang berkuda yang meninggalkan tempatnya
menghilang di balik cakrawala ketika orang itu melihat laskar Arya Salaka mendekati
Banyubiru, kemarin. ”Golongan hitam pasti mengira bahwa pagi ini pertempuran sudah
berkobar di Banyubiru antara laskar Kakang Lembu Sora melawan laskar Arya Salaka.”

Mahesa Jenar mengakhiri keterangannya.

”Angger benar,” jawab Ki Ageng Sora Dipayana. ”Untunglah bahwa pertempuran di


Banyubiru tertunda.”

”Tuhan Yang Maha Adil telah melaksanakan rencananya. Menyelamatkan rakyat


Banyubiru dan Pamingit dari kekuasaan golongan hitam,” desis Mahesa Jenar.

”Andaikata pertempuran telah berkobar pagi ini, maka kedua laskar Pamingit dan
Banyubiru akan sama-sama hancur. Pamingit hari ini telah jatuh ke tangan golongan
hitam, lalu besok atau lusa Banyubiru inipun akan mereka telan habis.”

Arya masih berdiam diri. Namun kini membayang kembalilah di dalam pelupuk
matanya, bagaimana gurunya berusaha mati-matian untuk menunda pertentangan yang
mungkin terjadi antara laskarnya dengan laskar pamannya. Arya kini dapat menyadari
sepenuhnya, bahaya apakah yang akan menimpa Pamingit dan Banyubiru apabila ia
benar-benar terlibat dalam pertempuran dengan pamannya. Di dalam hati Arya berkali-
kali mengucap syukur, serta berkali-kali ia menyebut kebesaran nama Tuhan yang telah
menunda pertempuran itu.

Dalam pada itu terasalah pada Arya Salaka beserta rombongannya, betapa Ki Ageng
Sora Dipayana menjadi gelisah. Agaknya ia benar-benar tidak sampai hati melepaskan Ki
Ageng Lembu Sora dan Sawung Sariti pergi. Sebab iapun tahu bahwa golongan hitam itu
mempunyai orang-orang yang tak akan dapat dilawan oleh anaknya, meskipun ia telah
berusaha untuk menempa anak serta cucunya siang dan malam.

Orang tua itu akhirnya berkata, ”Arya Salaka. Meskipun kau telah berjanji untuk
menunda persoalanmu sampai waktu yang tak ditentukan, tetapi aku minta kepadamu
untuk mengawasi Banyubiru. Sebab siapa tahu, ada orang-orang yang akan mengambil
kesempatan, mempergunakan kekosongan Banyubiru untuk memuaskan keinginan diri.
Merampas dan merampok. Jagalah keamanan Banyubiru atas nama pamanmu Lembu
Sora, sampai ada penjelasan yang mudah-mudahan tak perlu mempergunakan
kekerasan.”

Bagaimanapun juga, terasa dada Arya berdesir ketika ia harus menjaga keamanan
Banyubiru, tetapi atas nama pamannya. Meskipun demikian ia benar-benar tidak mau
mengecewakan kakeknya. Karena itu ia menjawab, ”Baiklah Eyang. Aku akan menjaga
Banyubiru sebaik-baiknya. Tidak hanya atas nama Paman Lembu Sora, tetapi atas nama
ayah Gajah Sora.”
Mahesa Jenar menarik nafas, sedang Ki Ageng Sora Dipayana tersenyum. ”Baiklah...”
katanya, ”Jagalah keselamatannya. Aku terpaksa meninggalkan kalian. Bawalah sebagian
dari laskarmu ke dalam kota, supaya kota ini tidak akan menjadi kota yang kosong, kota
yang sama sekali tak berkekuatan senjata. Siapa tahu, kalau ada hal-hal yang gawat.
Sebab golongan hitam itupun mempunyai otak-otak yang cukup berbahaya.”

”Baiklah Eyang,” jawab Arya, ”Akupun akan segera kembali ke tengah-tengah laskarku
sebelum tengah hari. Aku akan menyerahkan sebagaian mereka. Tetapi biarlah Paman
Wanamerta untuk sementara memimpin daerah ini. Aku akan tetap berada di antara anak
buahku.”

Ki Ageng Sora Dipayana mengangguk-anggukan kepalanya. Ia benar-benar menjadi


kagum kepada Arya, yang telah meluluhkan diri dengan laskarnya, sebagai ciri seorang
pemimpin yang merasa dirinya satu dengan anak buahnya. Sedang Wanamerta menjadi
terkejut karenanya.

Katanya, ”Apakah yang harus aku lakukan? Bukankah Cucu Arya Salaka telah berada di
sini?” ”Aku akan menepati kata-kataku,” jawab Arya.

”Biarlah aku melepaskan persoalan ini sampai Paman Lembu Sora selesai. Namun
demikian aku juga berjanji bahwa aku akan menyelenggarakan keamanannya sampai
paman selesai.” ”Cucu tidak perlu menarik garis pemisah antara yang memerintah dan
yang menyelenggarakan keamanannya,” Sahut Wanamerta, ”Sebab seorang kepala
daerah perdikan harus memegang kedua-duanya.

”TETAPI aku bukan kepala daerah perdikan, Eyang,” jawab Arya Salaka.

”Baiklah Wanamerta,” potong Sora Dipayana. Ia tahu benar perasaan apakah yang
bergolak di dalam dada anak itu. Arya Salaka agaknya benar-benar segan untuk mewakili
pamannya, sehingga baginya lebih baik untuk menyerahkannya saja kepada orang lain.

”Kau pun berhak untuk berlaku sebagai wakil Lembu Sora Wanamerta.”

Ki Ageng Sora Dipayana meneruskan. ”Hanya untuk beberapa saat. Aku kemudian akan
datang kembali. Mencoba menyelesaikan masalah tanah ini.”

Wanamerta, setelah pembicaraan itu selesai, minta diri kepada Ki Ageng Sora Dipayana
untuk menyusul anaknya ke Pamingit. Mungkin tenaganya akan sangat dibutuhkan untuk
menemui tokoh-tokoh hitam dari angkatan tua. Sementara itu Arya Salaka segera akan
kembali pula ke tengah-tengah laskarnya. Katanya, ”Eyang Wanamerta, biarlah eyang
tinggal di sini. Aku akan datang kemudian dengan membawa beberapa orang yang akan
membantu Paman di sini.”

Wanamerta tidak dapat berkata lain, kecuali mengiyakan. Maka sesaat kemudian
berangkatlah Ki Ageng Sora Dipayana, menyusul laskar Pamingit, berkuda seorang diri.
Sebagai seorang yang cukup berpengalaman, ia segera dapat mengetahui, apa yang harus
dilakukan. Sedang Arya Salaka pun kemudian bersama-sama dengan Mahesa Jenar dan
Kebo Kanigara, juga meninggalkan kota dengan kuda masing-masing.

Hanya Wanamerta lah yang terpaksa ditinggalkan seorang diri di pendapa Banyubiru
dengan dua tiga orang pengawal yang tak berarti, orang-orang Banyubiru yang selama ini
ikut serta di dalam barisan Lembu Sora. Tetapi mereka sama sekali belum pandai
memegang tangkai pedang. Ketika kemudian Wanamerta tinggal sendiri di pendapa itu,
dipanggilnya salah seorang dari para pengawal itu, katanya, ”Kemarilah. Aku ingin
mendapat keterangan dari kau.”

Orang itu menjadi ketakutan. Sebenarnya nyawa mereka serasa telah lepas sejak pasukan
Pamingit meninggalkan Banyubiru. Mereka merasa seperti cacing yang dilepaskan di
tengah-tengah abu hangat. Mereka menjadi takut, bahwa orang-orang Banyubiru akan
balas dendam kepada mereka.

Tetapi agaknya wajah Wanamerta sama sekali tidak menakutkan. Karena itu salah
seorang darinya datang mendekat dengan sangat hormatnya. ”Ada perintah, Kiai...?” ia
bertanya.

”Kemarilah, duduklah,” kata Wanamerta. Orang itu ragu sebentar. Namun ia akhirnya
naik, dan duduk di depan Wanamerta.

”Berapa orang kalian?” tanya Wanamerta. ”Tiga orang di regol Kiai, di ujung alun-alun
tiga orang di setiap jalan masuk,” jawabnya.

”Siapakah pemimpinmu?” Wanamerta bertanya pula. ”Kerta Pitu,” jawab orang itu.
Wanamerta mengangguk-angguk. Kemudian katanya, ”Jalankan pekerjaanmu baik-baik,
tetaplah waspada. Laporkan yang perlu kepadaku.”

Orang itu mengangguk hormat. ”Baik Kiai,” jawabnya. ”Nah, kembalilah,” kata
Wanamerta selanjutnya. Orang itupun segera kembali ke tempatnya. Seorang yang lain
telah disuruh oleh Wanamerta memanggil Kerta Pitu untuk diberinya beberapa
keterangan. Kerta Pitu harus menempatkan di setiap gardu penjagaan seorang berkuda
yang harus menjadi penghubung setiap ada persoalan-persoalan penting.

Meskipun sebenarnya Wanamerta terlalu cemas, karena kira-kira limapuluh pengawal


yang belum mampu untuk bertempur itu bagi Banyubiru adalah kekuatan yang sama
sekali tak berarti. Beberapa orang yang telah cukup kuat, ternyata dibawa di dalam laskar
Lembu Sora untuk memperkuat laskar Pamingit. Meski demikian Wanamerta menjadi
sedikit tenang ketika diingatnya bahwa di perbatasan berbaris dalam kesiagaan tempur
laskar Arya Salaka yang selalu akan menolongnya apabila bahaya datang. Malahan Arya
Salaka telah menyanggupkan diri untuk membawa beberapa orang laskarnya ke dalam
kota dan menjaga keselamatan tanah ini dari segala yang mungkin akan mengancam.

Tetapi ia harus menunggu sampai laskar itu datang. Mungkin malam nanti, mungkin
besok pagi. Ia mengharap dalam waktu yang singkat tidak akan terjadi sesuatu. Ketika
Wanamerta telah selesai memberikan beberapa petunjuk, serta Kerta Pitu telah
meninggalkan pendapa itu untuk melaksanakan, Wanamerta pun masuk ke dalam rumah
kepala daerah perdikan Banyubiru itu. Beberapa orang pelayan, yang berada di dalam
rumah itu sejak masa Ki Ageng Gajah Sora, masih berada di rumah itu pula, sedang
beberapa orang lain adalah orang-orang baru. Namun demikian, apa yang dilihatnya kini,
adalah jauh berbeda dari kira-kira lima-enam tahun yang lalu. Dulu ia berada di dalam
rumah itu seperti di dalam rumahnya sendiri. Bahkan ia telah mengenal dengan baik
hampir segenap sudut-sudutnya.

Dulu, ketika Nyai Ageng Gajah Sora masih ada, tampaklah rumah ini bersih dan terawat
rapi. Tetapi kini rumah itu menjadi seakan-akan tak berpenghuni. Tampaklah sarang
labah-labah bergayutan di langit-langit, di setiap sudut dan bahkan hampir di setiap
lekuk-lekuk dindingnya. Hitam-hitam langes dari lampu-lampu minyak, membekas
mengotori dinding dan tiang-tiangnya.

MELIHAT perubahan itu Wanamerta menekan dadanya. Keadaan rumah ini benar-benar
menggambarkan keadaan seluruh tanah perdikan Banyubiru. Kotor dan tak terawat.
Tetapi ia tidak mempunyai wewenang untuk berbuat lebih jauh. Ia tidak berhak
mengumpulkan para bahu, kepala-kepala dukuh dan para pamong desa lainnya. Ia tidak
mempunyai kekuasaan untuk mengadakan peraturan-peraturan baru atau perubahan-
perubahan apapun. Sebab ia hanya berada di rumah itu untuk sementara. Mungkin sangat
singkat. Seandainya malam nanti Ki Ageng Lembu Sora telah selesai dengan
pekerjaannya, besok mereka pasti akan datang kembali. Mungkin dengan pasukan, dan
mungkin harus bertempur melawan orang itu. Karena itu, yang dapat dilakukan adalah
membiarkan segala sesuatu berjalan seperti biasa. Ia hanya dapat memecahkan persoalan-
persoalan yang timbul dalam batas-batas tertentu. Meskipun demikian, seandainya
Lembu Sora memerlukan waktu yang lama dalam perlawannya atas orang- orang hitam
itu, iapun bermaksud untuk berbuat lebih banyak lagi.

Ketika hari semakin siang, dan terik matahari seperti membakar rumput di alun- alun,
Wanamerta bermaksud untuk beristirahat. Tetapi baru saja ia meletakkan tubuhnya di
bale-bale bambu di pringgitan rumah itu, terdengarlah seorang pengawal naik ke
pendapa, sambil berdiri di depan pringgitan ia berkata, ”Kiai, seseorang ingin bertemu
dengan Kiai.”

”Siapa?” tanya Wanamerta sambil bangkit.

”Sontani,” jawab orang itu.

”Sontani...?” ulang Wanamerta, ”Apakah keperluannya?”

”Ya, Sontani. Aku tak tahu apa yang akan disampaikan kepada Kiai. Ia ingin berbicara
langsung,” jawab pengawal itu. Wanamerta berpikir sejenak. Apakah yang akan
dilakukan? Barangkali ia akan membalas dendam sakit hatinya, ketika ia terpaksa
menelan keadaan yang pahit di tanah lapang. ”Sendiri..?” tanya Wanamerta pula.
”Tidak Kiai,” jawab orang itu, ”Dengan anak-istrinya.”

”He...?” Wanamerta terkejut.

”Dengan anak-istrinya?” Orang itu mengangguk.

”Ya.”

”Baiklah, aku datang,” kata Wanamerta kemudian. Namun demikian ia masih ragu.
Apakah maksud kedatangan orang itu. Kalau saja ia bermaksud jahat, tak akan ia
membawa anak-istrinya. Meskipun demikian, iapun tidak boleh kehilangan kewaspadaan.
Tetapi Sontani bukanlah orang yang harus ditakuti.

Ketika Wanamerta muncul di pintu, dilihatnya Sontani benar-benar dengan istri dan
seorang anaknya duduk di pendapa. Demikian Sontani melihat Wanamerta, segera ia
berlari terbongkok-bongkok dan langsung bertiarap di kaki orang tua itu, sambil berkata
meratap, ”Kiai, ampunilah segala dosa-dosaku. Aku merasa bahwa aku telah bersalah
terhadap Kiai, terhadap Banyubiru dan terhadap Anakmas Arya Salaka. Tetapi semuanya
itu adalah karena terpaksa. Aku sebenarnya sama sekali tak ingin untuk sesuatu
kedudukan apapun. Dan sekarang aku menyerahkan kembali semua jabatan yang pernah
aku terima dari Lembu Sora, orang yang terkutuk itu. Orang yang telah merampas
ketentraman hidup keluargaku. Sebab bagiku, segala jabatan itu tak akan berarti, selama
aku tidak dapat menunjukkan kesetiaanku kepada kampung halaman ini. Biarlah Ki
Bakung kembali kepada jabatannya, Bahu Lemah Abang. Dengan demikian Lemah
Abang akan menjadi tentram kembali setelah Lembu Sora mengacaunya. Biarlah orang
terkutuk itu disambar petir, atau mati dicincang oleh orang-orang dari Gunung Tidar atau
Rawa Pening, atau ....”

Suara Sontani terputus oleh kata-kata Wanamerta, ”Jangan salahkan Lembu Sora,
Sontani. Dan jangan kau umpati orang itu, sebab Lembu Sora adalah paman Arya Salaka.
Putra Ki Ageng Sora Dipayana yang kita hormati.”

Sontani terkejut seperti disengat kelabang. Perlahan-lahan ia bangkit dan duduk di depan
Wanamerta yang masih berdiri dipintu. Ia tidak tahu kenapa Wanamerta tidak mau
mengutuk Lembu Sora. Bukankah Lembu Sora telah mengkhianati Banyubiru? Karena
itu tiba-tiba keringat dingin mengalir di seluruh tubuh Sontani. Sontani menjadi bingung.
Bagaimanakah tanggapan yang sebenarnya dari Wanamerta terhadap Lembu Sora?

Ketika untuk beberapa saat Wanamerta masih berdiam diri, berkatalah Sontani dengan
suara gemetar. ”Kiai, kenapa Kiai tidak mengutuk Lembu Sora yang telah memecah
belah rakyat Banyubiru?”

”Lembu Sora telah berjuang untuk suatu cita-cita. Dihadapinya segala akibat dari
perjuangannya. Ia tidak takut mati karena cita-citanya itu. Meskipun jalan yang
ditempuhnya tidak benar, malahan bertentangan dengan keadilan, namun ia dapat
dihormati karena keberaniannya,” jawab Wanamerta.
Kemudian ia melanjutkan, ”Sedang ada orang lain yang mencoba untuk mendapatkan
keuntungan dari perjuangan Lembu Sora itu. Ia bersujud di bawah kakinya selagi
kesempatan memungkinkan. Tetapi kalau keadaan menjadi suram, maka ia akan mencoba
untuk menghindar, meloncat untuk menyesuaikan diri dengan keadaan baru. Seperti
seekor bunglon yang dapat berwarna hitam kalau ia berada di cabang yang hitam, dan
berwarna hijau kalau ia hinggap di atas daun-daun yang segar.”

Sontani benar-benar menjadi gemetar. Sekali dua kali ia menoleh kepada istri dan
anaknya, yang memandangi dengan cemas. Tetapi Sontani masih belum berputus asa.
Ketika Wanamerta masih tegak berdiri, dan memandang ke arah cahaya terik matahari
yang berserak-serak dihalaman, maka tiba-tiba Sontani berkata, ”Kiai, entahlah apa yang
dibawa oleh istriku. Barangkali Kiai akan dapat menerimanya dengan senang hati,
sebagai persembahan seorang kawula yang setia mengabdi diri kepada Kiai.”

Wanamerta tidak sempat menjawab. Sontani dengan terbongkok-bongkok bangkit dan


melangkah turun dari pendapa. Ketika ia naik lagi, di tangannya telah tersangkut sebuah
bungkusan yang besar. ”Kiai...” katanya setelah ia berjongkok kembali di hadapan
Wanamerta, ”Terimalah tanda kesetiaanku ini.

WANAMERTA memandang Sontani dengan pandangan yang kosong. Ia bersedih hati,


ketika ia melihat kenyataan bahwa di Banyubiru ada seseorang yang berjiwa seperti
orang yang berjongkok dihadapannya itu. Ia lebih hormat kepada Lembu Sora, kepada
Sawung Sariti, yang dengan gigih bekerja keras untuk mencapai tempat yang setinggi-
tingginya buat dirinya sendiri, meskipun berdosalah mereka yang mengorbankan orang
lain untuk kepentingan dan kesenangan diri. Wanamerta masih belum berkata apapun
ketika Sontani membuka bungkusan itu dengan penuh harapan. Kalau Wanamerta
berkenan dihatinya, ia pasti dapat mempengaruhi Arya Salaka. Mungkin ia tidak akan
mendapat sesuatu hukuman, bahkan mungkin ia akan tetap berada pada kedudukan yang
sekarang, Bahu di Lemah Abang.

Ketika bungkusan itu telah terbuka, Wanamerta melihat beberapa potong kain lurik
didalamnya. Bahkan ia melihat sehelai sutera yang bagus dan mahal. Ia melihat sebuah
pendok keris dari emas, dan beberapa benda-benda lain yang berharga.

"Kiai", Sontani meminta, "adalah suatu karunia yang tiada taranya kalau Kiai sudi
menerima barang-barang yang sama sekali tak berarti ini."

Hati Wanamerta menjadi bertambah suram. Dan kesuraman hatinya itu terbayang
diwajahnya. Sekali lagi ia memandang bungkusan itu. Ketika berkilat cahaya intan
dibalik lipatan kain-kain itu, hatinya berdesir. Agaknya Sontani membawa pula timang
tretes intan berlian.

"Alangkah banyaknya barang-barang yang kau bawa Sontani", berkata Wanamerta.


Sontani menjadi bergembira mendengar perhatian itu. Apakah artinya barang- barang itu
dibanding dengan nyawanya? "Tidak seberapa Kiai. Aku bukanlah orang yang cukup
kaya untuk mempersembahkan barang-barang yang cukup bernilai", jawab Sontani.
Harapannya tiba-tiba menjadi tumbuh. "Hampir seluruh umurku aku bekerja keras.
Namun aku tak akan mampu mendapatkan barang-barang yang kau bawa itu", sahut
Wanamerta. "Mudah-mudahan lain kali aku dapat menambahnya dengan barang-barang
yang tak bernilai lainnya", jawabnya. Ia mengharap Wanamerta membungkuk dan
membuka lipatan-lipatan kain, mengamat-amati pendok emas dan timang tretes intan
berlian itu. Tetapi untuk beberapa saat Wanamerta masih tegak seperti tiang- tiang
pendapa rumah itu, sehingga akhirnya Sontani menjadi bingung. Bajunya telah basah
oleh keringat yang mengalir semakin deras. Kemudian Sontani menjadi kecewa. Sangat
kecewa, ketika Wanamerta berkata, "Sontani, darimanakah kau dapatkan barang-barang
itu?".

"Aku telah bekerja keras selama ini Kiai", jawab Sontani terbata-bata. "Aku juga bekerja
keras selama ini. Bantaran juga, Penjawi, Sendang Papat, Jaladri dan orang-orang lain.
Tetapi mereka tidak dapat, jangankan benda-benda serupa itu, sebagian kecilpun tak
dimilikinya", berkata Wanamerta. Sontani menjadi bingung. Ia tidak tahu apa yang akan
dikatakan. Dalam kebingungan itu terdengarlah Wanamerta berkata, "Sontani, aku
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas pemberianmu itu", Wanamerta
berhenti sejenak, sedang Sontani menengadahkan wajahnya. Tetapi Wanamerta
meneruskan, "Namun sayang, aku tak dapat menerimanya. Serahkanlah barang-barang
itu kembali kepada asalnya. Bukankah kau dapat membeli barang-barang itu karena kau
menjabat Bahu Lemah Abang. Karena kau memeras rakyat Lemah Abang untuk
kepentinganmu dan kepentingan Lembu Sora? Bukankah kau dapatkan barang-barang itu
karena rakyatmu kelaparan? Nah Sontani. Kalau kamu ingin menebus kesalahanmu,
setidak-tidaknya mengurangi, kembalikan barang-barang itu. Kepada mereka yang
berhak. Tidak kepadaku. Tidak kepada cucu Arya Salaka." Sontani menjadi semakin
bingung. Mulutnya kini benar-benar terkunci. Ia masih berjongkok pada kedua lututnya
dengan gemetar, dan Wanamerta masih berdiri dipintu pringgitan.

"Sontani", terdengar kembali suara Wanamerta, "ada seribu jalan yang dapat kau tempuh
untuk menyerahkan kembali barang-barangmu itu. Kau dapat membantu mereka dengan
alat-alat pertanian. Kau dapat mendirikan untuk mereka gubug-gubug yang lebih baik,
banjar-banjar desa dan tempat ibadah yang layak."

Mendengar kata-kata Wanamerta itu, jantung Sontani serasa membeku dan darahnya
serasa berhenti mengalir. Tetapi nafasnya satu-satu berloncatan lewat lubang- lubang
hidungnya. Betapa panas udara siang ini, namun rasa-rasanya hembusan nafasnya jauh
lebih panas dari panasnya udara. Tiba-tiba terdorong oleh kegelisahan yang bergelora
didalam dadanya ia berkata putus-putus, "Tetapi, tetapi Kiai, bukankah Kiai memerlukan
barang-barang ini?"

Wanamerta menggeleng lemah, jawabnya, "Tidak, Sontani." Dalam kebingungan


Sontani mendesak, "Kiai, bukankah Kiai sendiri berkata bahwa Kiai tidak pernah dapat
memiliki barang-barang serupa ini meskipun Kiai bekerja keras dan membanting tulang
hampir seumur hidup Kiai. Dan sekarang aku datang untuk mengantarkannya kepada
Kiai. Bukankah waktu yang pendek ini akan jauh lebih berharga daripada hampir seumur
hidup Kiai?" Wanamerta menarik nafas. Perlahan-lahan terdengar ia menjawab, "Sontani,
kau dan aku mempunyai perbedaan kebutuhan dalam menjalani hidup ini. Aku merasa
berbahagia karena aku tidak akan dapat memiliki benda-benda serupa itu. Sebab dalam
kemiskinan, aku akan dapat menikmati kekayaan. Miskin akan benda-benda duniawi,
tetapi aku merindukan kekayaan dihari-hari yang abadi. Sebab kekayaan duniawi melulu,
tak akan ada artinya di harapan Tuhan Yang Maha Esa, yang telah menentukan akan
datangnya masa, dimana manusia bertanggungjawab kepada-Nya."

WANAMERTA kembali melanjutkan kata-katanya, ”Kau agaknya telah terjerumus ke


dalam kekuasaan nafsu duniawi. Tetapi kau tak akan pernah merasa bahagia karenanya.
Bahagia yang abadi. Kebaktian kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan pengabdian kepada
titah yang dikasihi-Nya, manusia. Dengan demikian hidupmu akan menjadi terasing.
Terasing dari rasa kasih. Kasih antara manusia dan kasih yang dilimpahkan Tuhan
kepadamu. Karena itulah maka kau semakin dalam membenamkan dirimu ke dalam
timbunan benda-benda serupa itu.”

Sontani merasa seolah-olah terlempar ke dalam suatu keadaan yang tak dikenalnya.
Hitam dan kelam. Tetapi di titik yang sangat jauh tampaklah cahaya yang terang
menyorot langsung ke dalam jiwanya. Cahaya itu semakin lama menjadi semakin tenang,
bahkan kemudian ia menjadi silau karenanya.

Akhirnya sekali lagi ia bertiarap di hadapan kaki Wanamerta. Kali ini ia benar-benar tak
dapat menahan keharuannya. Sontani, yang pernah menjabat Bahu pedukuhan Lemah
Abang, yang pernah dengan kekerasan mendesak kedudukan Kiai Bakung itu, tiba-tiba
menangis tersedu-sedu. Dengan keduabelah tangannya ia menutup wajahnya. Ia menjadi
sangat malu karena usahanya untuk menyuap Wanamerta. Wanamerta sadar bahwa kata-
katanya tepat menyentuh perasaan Sontani, maka ia meneruskan, ”Sontani. Pulanglah.
Bawalah benda-benda yang sama sekali tidak berarti bagiku itu. Kembalikan mereka
kepada yang berhak dengan bijaksana. Cepatlah sebelum Arya Salaka datang dan melihat
caramu yang sama sekali tidak disukainya itu. Ia masih terlalu muda untuk dapat berbuat
seperti aku.”

Sontani perlahan-lahan bangkit dan duduk bersila di hadapan orang tua itu. Anak-
istrinya yang gelisah, memandanginya dengan penuh pertanyaan di dalam kepalanya.
Ketika detak jantung Sontani telah menjadi tenang kembali, maka hatinya menjadi
tenang. Tiba-tiba ia menjadi tidak takut lagi kepada Wanamerta, juga kepada Arya
Salaka. Tidak takut untuk menerima dendamnya. Di dalam dadanya, kini tersimpanlah
suatu tekad untuk menebus nodanya. Meskipun seandainya ia harus digantung di tengah-
tengah beringin kurung. ”Kiai...” katanya kemudian, ”Aku akan pulang ke Lemah Abang.
Aku akan coba untuk memenuhi pesan Kiai Wanamerta. Menyerahkan kembali barang-
barang ini kepada yang berhak. Seterusnya, seandainya Anakmas Arya Salaka datang,
dan menghendaki hukuman atas pengkhianatanku, aku tidak akan membela diri. Apapun
yang akan ditimpakan atasku, akan aku jalani dengan ikhlas, meskipun seandainya aku
akan dihukum mati.”

Wanamerta menggeleng. Jawabnya, ”Percayalah Sontani. Darah Banyubiru bukanlah


darah yang haus akan pembalasan dendam dan pembunuh. Mungkin kau akan terbunuh
oleh pedang yang bersarang di dalam dadamu, seandainya kau tetap pada pendirianmu.
Tetapi kau telah menemukan jalan kembali. Kembalilah. Tuhan Maha Pengampun.”

Sekali lagi Sontani bersujud di hadapan Wanamerta. Tetapi Wanamerta menahannya,


dan dengan ramah ia berkata, ”Jangan bersujud kepadaku. Duduklah bersama anak dan
istrimu, aku akan duduk bersama-sama dengan kalian.”

Tetapi Sontani menolaknya. Ia akan meninggalkan pendapa itu sebelum Arya Salaka
datang seperti yang dinasihatkan oleh Wanamerta. Sehingga dengan demikian iapun
segera minta diri beserta anak-istrinya yang sama sekali tidak mengerti persoalan yang
bergolak di dada suaminya.

Sepeninggal Sontani, kembali Wanamerta membaringkan dirinya untuk beristirahat.


Terbayanglah betapa kemunduran lahir dan batin dari tanah perdikan ini. Sontani adalah
salah satu dari sekitar banyak orang yang kehilangan kepribadiannya. Mungkin masih
banyak orang lain yang justru lebih parah daripadanya.

Ketika kemudian ia tertidur karena lelahnya, mendadak ia terbangun oleh derap kaki
kuda. Cepat ia bangkit dan meloncat ke pintu. Ia masih sempat melihat seekor kuda lari
dengan kencangnya memasuki halaman. Kemudian seorang pengawal meloncat turun dan
langsung datang kepadanya. Dengan tergesa-gesa pengawal itu berkata, ”Kiai, laskar di
perbatasan bergerak mendekati kota.”

Wanamerta tidak terkejut karenanya. Ia tahu persis, laskar Arya Salaka yang akan
membantu mengamankan kota. Karena itu ia bertanya, ”Semua...?”

”Tidak Kiai,” jawab orang itu. ”Hanya sebagian.”

” Kau tahu, siapa pemimpinnya?” tanya Wanamerta pula.

”Entahlah,” jawab orang itu sambil menggeleng.

”Jemputlah mereka, dan bawalah mereka kemari,” kata Wanamerta kemudian.

Orang itu ragu sebentar, tetapi kemudian iapun segera berangkat melakukan perintah itu.
Di sepanjang jalan, hatinya diliputi oleh kecemasan, seperti pada saat ia melihat laskar
Pamingit meninggalkan kota.

Apakah yang akan dilakukan oleh laskar di perbatasan itu atasnya, dan atas orang-orang
Banyubiru yang lain, yang ikut serta dalam kelaskaran Lembu Sora...? Ketika ia melewati
gardu penjagaan kedua, tiga orang yang bertugas di gardu itu telah menghilang. Pengawal
berkuda itu tahu bahwa mereka akan berusaha menyembunyikan diri mereka, karena
mereka takut akan pembalasan. Dengan demikian pengawal itu menjadi semakin ragu.
Dalam keraguan itu kudanya berlari terus. Maka sebelum ia mengambil keputusan,
pengawal itu telah sampai di gardu pertama. Ia menjadi berlega hati ketika di gardu itu,
masih dilihatnya empat orang berjaga-jaga.

Untuk meyakinkan pendiriannya, pengawal itu berhenti sejenak.

Kepada orang-orang di gardu itu ia berkata, ”Gardu kedua telah kosong.”

”Kosong?” tanya orang-orang di gardu pertama itu.

”Kenapa?”

”Aku kira mereka takut,” jawab pengawal berkuda itu.

”Takut apa?” tanya orang-orang di gardu.

”Kalau laskar Arya Salaka itu datang, ada kemungkinan mereka akan ditangkap dan
dihukum. Juga kita semua,” jawabnya.

TIBA-TIBA salah seorang dari mereka berempat itu tertawa. Dengan lantang ia berkata,
”Jangan takut. Mereka tidak akan berbuat apa-apa selama mereka masih berada di bawah
pimpinan Arya Salaka.”

”Kau yakin?” tanya pengawal berkuda itu.

”Jangankan kita, orang-orang Banyubiru. Terhadap orang Pamingit pun Arya Salaka
tidak berbuat sesuatu.

Pimpinan gardu ini semalam telah mengalami perlakuan yang tak disangka-sangka dari
Arya Salaka. Meskipun orang itu dibawa serta, namun ia akhirnya kembali dengan
selamat, justru pada saat kita telah memukul tanda bahaya untuk menangkap anak muda
itu.” Pengawal yang masih duduk di atas kudanya itu masih ragu-ragu juga. Ia
mendatangi orang yang berceritera itu, yang tidak lain adalah Ira, dengan sorot mata yang
bertanya-tanya. Sehingga terdengar Ira menjelaskan, ”Aku menjadi jaminan bagi kalian.
Kalau orang-orang yang ikut serta dalam laskar Arya Salaka itu mendendam kalian,
akulah yang pertama-tama akan naik ke tiang gantungan.”

Orang yang bertugas untuk menjemput laskar yang semakin lama semakin dekat itupun
menjadi percaya, meskipun hatinya masih gelisah.

”Baiklah...” katanya, ”Mudah-mudahan katamu benar.”

Kemudian ia memacu kudanya kembali, ke arah kepulan debu putih di depan mereka.
Kuda itupun melemparkan debu yang putih pula, yang kemudian lenyap dihembus angin
pegunungan. Semakin dekat orang berkuda itu dengan barisan yang mendatang, hatinya
menjadi semakin gelisah. Ketika kudanya telah berada beberapa ratus langkah lagi, ia
menghentikannya. Kembali ia menjadi ragu-ragu. Jangan-jangan orang-orang yang
berada di dalam barisan itu akan bersama-sama menyerangnya dan beramai-ramai
mencincangnya sebagai seorang pengkhianat.

Tetapi kalau diingatnya kata-kata Ira, ia menjadi agak tenang. Demikianlah ketika
barisan yang mendatang itu sudah semakin dekat, orang itu mengangkat tangan kanannya
tinggi-tinggi sebagai suatu pernyataan bahwa ia tidak sedang menggenggam senjata. Di
ujung barisan itu, seorang anak muda yang duduk di atas punggung kuda mengangkat
tangannya pula. Melihat anak muda itu, dada pengawal itu berdesir.

Ia tidak salah lagi. Pasti anak muda itulah Arya Salaka. Dengan demikian ia menjadi
berdebar-debar. Di samping anak muda itu, dilihatnya seorang gadis yang juga duduk di
punggung kuda. Tetapi ketika ia melihat seorang yang berjalan dibelakangnya, kembali ia
menjadi gelisah. Orang itu adalah Bantaran. Ketika barisan itu sudah semakin dekat lagi,
meloncatlah ia turun dari kuda, dan dengan hormatnya ia membungkukkan dirinya. Arya
memandang orang itu dengan seksama. Ia pun mengangguk.

”Tuan...” kata pengawal itu dengan hormatnya, ”Aku menjalankan perintah Kiai
Wanamerta untuk menjemput Tuan, dan membawa Tuan ke halaman rumah Ki Ageng
Lembu Sora.”

Arya menggelengkan kepalanya. Jawabnya, ”Haruskah aku pergi ke Pamingit?”


Pengawal itu menjadi heran, jawabnya, ”Tidak Tuan. Rumah Ki Ageng Lembu Sora di
Banyubiru.”

”Adakah Ki Ageng Lembu Sora mempunyai rumah di Banyubiru?” tanya Arya.

”Ada Tuan, di sebelah alun-alun,” jawab pengawal itu. Ia menjadi bingung oleh
pertanyaan Arya. ”Rumah itu adalah rumahku. Bukan rumah Ki Ageng Lembu Sora,”
jawab Arya.

Berdentanglah jawaban Arya Salaka itu ditelinganya. Benar, rumah itu memang milik
rumah Ki Ageng Gajah Sora. Maka dengan cepatnya ia membetulkan kata-katanya,
”Tuan benar. Kiai Wanamerta menunggu Tuan di rumah Tuan sendiri.”

”Apakah kau dari laskar Paman Lembu Sora?” tanya Arya. Pertanyaan itu sungguh tidak
menyenangkan. Tetapi itu adalah karena kesalahannya. Sebab selama ini ia memang
menganggap bahwa rumah itu adalah rumah Ki Ageng Lembu Sora. Pengawal itu
menjadi gelisah. Badannya mulai dialiri oleh keringat dingin dari punggungnya. Ternyata
dalam keadaan yang sulit itu ia kurang berhati-hati. Ia merasa bahwa ia telah menggali
lubang untuk dirinya sendiri. Akhirnya ketika ia tak dapat berbuat lain maka iapun
menjawab, ”Ya, Tuan.” Suaranya gemetar.

Kini ia tinggal menunggu apakah yang akan dilakukan oleh anak muda itu, atau oleh
orang yang berdiri di belakangnya, atau oleh seluruh barisan itu. Mungkin mereka akan
melemparinya dengan batu sampai mati, atau mungkin mengikatnya di belakang kuda itu
dan menariknya sepanjang jalan. Tetapi kalau demikian, ia tidak berteriak di gardu
pertama, bahwa Ira-lah yang pertama-tama akan naik ke tiang gantungan. Ketika untuk
beberapa saat Arya Salaka masih berdiam diri, ia menjadi semakin tegang dan gelisah.
Sekali-kali ia mencuri pendang ke arah wajah anak muda itu, namun ia tidak dapat
mengetahuinya, apakah yang tersirat di wajahnya itu.

Tiba-tiba di dalam kegelisahannya ia mendengar jawaban yang mengejutkan, bahkan


hampir tak dipercayainya.

”Marilah. Naiklah ke punggung kudamu. Berjalanlah di depan.” Untuk sesaat ia terpaku.


Dengan termangu-manggu ia memandang Arya Salaka yang masih duduk di atas
kudanya dengan tenang. Ketika tampak wajah anak muda itu tanpa berkesan kemarahan,
barulah ia percaya pada telinganya.

Perlahan-lahan ia mendekati kudanya, dan meloncat ke atasnya. Karena getar kakinya,


maka barulah loncatan kedua ia berhasil duduk di punggung kudanya. Kemudian
perlahan-lahan pula ia memutar kuda itu dan berjalan mendahuluinya. Kembali barisan
itu berjalan maju mendekati kota. Akhirnya mereka sampai juga di gardu pertama.
Keempat penjaganya berdiri berjajar dengan tegak. Ira lah yang bertanggung jawab atas
keselamatan mereka, sehingga meskipun dengan gemetar mereka tidak melarikan diri.

Arya melihat keempat orang itu. Tetapi ia tidak berbuat sesuatu. Bahkan ia segera dapat
mengenal Ira. Dengan tersenyum ia berkata, ”Ira, tidakkah kau ikut Paman Lembu Sora
ke Pamingit?”

IRA membungkuk hormat.

Lalu jawabnya, ”Tidak Tuan. Aku lebih senang menunggu kedatangan Tuan di sini.”

”Terima kasih,” jawab Arya, ”Agaknya Paman Lembu Sora memang tak memerlukan
kau.”

”Aku bersenang hati kalau demikian,” jawab Ira.

”Tetapi kau tidak akan bersenang hati kalau itu terjadi kemarin atau lusa,” sahut Arya
Salaka.

Ira diam. Memang ia tidak akan bersenang hati. Sebab dengan demikian berarti ia
kehilangan mata pencahariannya. Sungguh lucu. Tetapi ia diam saja. Ia tidak berkata apa-
apa ketika Arya menjadi bertambah jauh. Ia melihat di belakang Arya Salaka itu seorang
yang baginya sangat menakutkan. Bantaran. Mudah-mudahan Bantaran pun tidak
mendendamnya. Akhirnya barisan itu sampai juga di halaman rumah kepala perdikan
Banyubiru.

Wanamerta menerima mereka dengan perasaan lega. Kalau ada apa-apa kini, ia tidak
cemas lagi.

Segera dipersilakannya Arya Salaka naik ke pendapa. Di samping Arya Salaka, duduk
dengan wajah yang cerah, putri Kebo Kanigara, Endang Widuri. Ia mendapat izin dari
ayahnya untuk mengikuti anak muda itu mengantarkan laskarnya ke Banyubiru.

Kemudian Bantaran duduk bersama mereka. Sesudah mereka mengadakan pembicaraan


singkat, segera Bantaran membagi pekerjaan kepada laskarnya yang berjumlah 100 orang
itu. Mereka disebar di seluruh kota dengan pesan, pekerjaan mereka adalah
mengamankan dan melindungi rakyat Banyubiru. Bukan menakut-nakuti.

Terhadap laskar Banyubiru yang ditinggalkan oleh Lembu Sora, mereka harus bersikap
baik. Dengan demikian mereka harus memberi kesan, bahwa kehadiran mereka benar-
benar memberikan suasana baru. Suasana yang tenang, tentram dan damai.

”Kalian kali ini adalah tenaga-tenaga suka rela untuk membantu Ki Ageng Lembu Sora
menjaga ketentraman tanah ini. Namun kalian harus menunjukkan bahwa kalian
mempunyai tanggungjawab atas pekerjaan kalian. Kalian harus membuktikan bahwa jiwa
kalian berbeda dengan jiwa laskar Ki Ageng Lembu Sora sendiri. Junjung tinggi namamu
dan nama pemimpinmu.”

Arya Salaka menekankan setiap kata kepada laskarnya. Ketika laskar itu mulai
berpencaran, terdengarlah suara riuh hampir di seluruh jalan-jalan di dalam kota. Rakyat
Banyubiru menyambut kedatangan laskar itu dengan keriangan yang bergelora. Mereka
melihat laskar yang berjalan dalam kelompok-kelompok kecil itu sebagai pelindung
mereka. Kecuali laskar yang diserahkan kepada Wanamerta, yang dipimpin langsung
oleh Bantaran, Arya Salaka telah menugaskan Penjawi dan Jaladri untuk pergi ke
Pamingit. Mereka mendapat tugas untuk mengetahui, sampai di mana kekuatan golongan
hitam. Mereka harus menyaksikan pertempuran yang terjadi antara laskar Lembu Sora
dan laskar hitam, dan kemudian kembali kepada Arya Salaka untuk melaporkan hasilnya.

Malam itu Arya dan Endang Widuri bermalam di rumah Arya yang telah ditinggalkan
hampir enam tahun. Banyaklah yang dapat diceriterakan kepada gadis itu tentang rumah
ini. Ia dapat menunjukkan di mana ia pada saat itu berhasil membunuh seorang yang akan
mengambil pusaka-pusaka simpanan ayahnya, namun ia sendiri terpukul dan pingsan
karenanya. Ia dapat menunjukkan pula, ke mana ia melarikan diri ketika tiba-tiba rumah
ini diserang oleh laskar yang tak dikenalnya. Ketika ia telah berhasil membunuh salah
seorang dari mereka, tiba-tiba ia dikeroyoknya. Untunglah Penjawi datang tepat pada
saatnya.

Widuri mendengarkan ceritera itu, dengan penuh minat. Ia menjadi terharu


mendengarkan ceritera pengalaman yang pernah dijalani oleh Arya Salaka pada umurnya
yang masih sangat muda.

”Kalau malam ini mereka datang kembali...” kata Arya Salaka, ”Aku tak perlu berlari-
lari lagi.”

”Kau telah merasa dirimu tak terkalahkan? sahut Widuri.


”Tidak,” jawab Arya. ”Sebab sekarang ada kau. Bukankah kalungmu itu menakutkan
orang?” Widuri mencibirkan bibirnya, katanya kepada Wanamerta yang duduk bersama
mereka, ”Apakah Eyang takut juga kepada kalungku ini?”

Wanamerta tertawa. Jawabnya, ”Aku tidak. Sebab aku tak bermaksud jelek. Entahlah
cucu Arya Salaka.”

”Ah...” Tiba-tiba wajah gadis itu menjadi merah. Ia tidak tahu apa sebabnya. Sedang
Arya pun tiba-tiba menundukkan wajahnya. Ketika keadaan menjadi sepi, terdengarlah di
kejauhan gonggong anjing liar yang berkeliaran di lereng-lereng pegunungan. Dari
selatan mengalirlah angin pegunungan membawa udara yang sejuk.

”Cucu Widuri...” kata Wanamerta kepada gadis lincah itu, ”Aku persilakan Cucu
beristirahat di ruang sebelah. Biarlah aku dan Cucu Arya Salaka berjaga-jaga di sini.”

WIDURI memang sudah ngantuk. Karena itu segera iapun berdiri dan masuk ke ruang di
dalam rumah itu. Ia sama sekali tidak takut, karena di luar berjaga-jaga Arya Salaka,
Wanamerta dan Bantaran. Sedang di halaman belakang pun ada beberapa orang yang
mengawal. Sementara itu di perbatasan, Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Mantingan,
Wirasaba dan para pemimpin laskar Banyubiru yang lain sedang sibuk menyalakan api
untuk mematangkan kijang hasil buruan mereka.

Tidak jauh dari perapian itu, Rara Wilis bertiduran di atas rumput-rumput kering sambil
menganyam angan-angan. Sekali-kali angan-angannya itu membumbung tinggi,
membelit di antara bintang-bintang di langit, namun sekali-kali ia terlempar kembali ke
dunianya kini. Berbaring di antara batang-batang ilalang. Di antara laskar yang bersiaga
penuh untuk bertempur. Entah besok, entah lusa. Kemudian apakah sesudah pertempuran
itu berakhir ia masih dapat menikmati gemerlapnya bintang di langit...?

Atau kalau Tuhan masih mengurniakan umur panjang kepadanya, apakah ia masih dapat
bertemu dengan Mahesa Jenar...? Rara Wilis tiba-tiba tersentak karena angan-angannya
sendiri. Tidak sengaja ia memandang ke perapian. Dilihatnya di antara mereka, seorang
yang selama ini mengikat hatinya. Tetapi laki-laki itu tidak menoleh kepadanya. Bahkan
ia masih asyik menikmati daging kijang yang kadang-kadang diselingi oleh tertawanya
yang riang.

Agaknya Ki Dalang Mantingan adalah orang yang cukup jenaka, sehingga mereka
tertawa-tawa karena kelucuannya. Rara Wilis menarik nafas panjang. Sebagai seorang
gadis ia kadang-kadang ditakut-takuti oleh umurnya yang bertambah-tambah dari hari ke
hari. Apakah ia harus berjalan dari satu padang rumput ke padang rumput yang lain? Dari
satu perkelahian ke perkelahian yang lain sepanjang hidupnya...? Tidakkah pada suatu
saat ia akan dihadapkan kepada suatu kuwajiban yang seharusnya dijalani oleh setiap
wanita...?

Rara Wilis pada suatu saat pasti ingin melepaskan pedang dari pinggangnya dan
menggantinya dengan pisau dapur yang sederhana. Ia pada suatu saat pasti ingin
melepaskan ikat pinggang kulitnya, yang kasar, dimana pedangnya selalu menggantung,
dan menggantinya dengan selendang yang halus untuk mengemban bayinya.

Ya. Ia rindukan masa yang berbahagia. Masa ia tidak bermain-main dengan nyawanya,
tetapi bermain-main dengan anaknya. Akhirnya, sebagai seorang manusia yang lemah, ia
hanya dapat memanjatkan doa kepada Kekuasaan Yang Tertinggi, mudah-mudahan
sampailah ia pada saatnya, diperkenankan menikmati hidup ini sebagai manusia biasa,
sebagai wanita biasa.

Ketika sekali lagi ia memandang ke perapian, ia masih melihat mereka yang duduk
melingkari perapian itu bersenda-gurau. Karena itu iapun terbawa pula oleh suasana yang
gembira itu. Sehingga kemudian ketika ia mendengar Ki Dalang Mantingan berjenaka, ia
pun tersenyum sendiri.

Di langit, bintang gemintang satu-satu berjalan di dalam garis edarnya. Sedang mega
putih yang membayang di selatan, sebagai selimut yang putih, menaburi punggung bukit
Telamaya. Malam itu berjalan setapak demi setapak menjelang pagi. Baik yang berada di
Banyubiru maupun yang berserak-serak di perbatasan. Meskipun tidak meninggalkan
kewaspadaan, namun mereka dapat menikmati istirahat malam itu dengan baiknya.
Mereka sadar bahwa bahaya pasti tidak akan datang. Baik dari laskar Lembu Sora
maupun dari laskar golongan hitam. Sebab mereka selambat-lambatnya petang tadi, pasti
sudah saling berhadapan. Bahkan mungkin bagian-bagian dari laskar mereka sudah
terlibat dalam bentrokan-bentrokan.

Perhitungan mereka itupun benar. Tak ada apapun yang terjadi sampai matahari muncul
di timur, diantar oleh kicauan burung-burung liar yang hinggap di cabang-cabang pohon
perdu.

Ketika Mahesa Jenar membuka matanya, setelah beberapa saat ia tertidur dalam
kehangatan perapiannya, ia terkejut melihat sesosok tubuh yang berdiri tidak jauh
darinya. Dalam keremangan cahaya pagi, dilihatnya bayangan itu menggeliat dengan
nyamannya, kemudian tampaklah dadanya yang segar menggelombang dalam tarikan
nafas pagi.

Perlahan-lahan Mahesa Jenar bangkit. Seperti terpaku ia melihat bayang-bayang yang


mengesampingkannya. Ia menjadi heran sendiri. Seperti kisah dalam mimpi, bahwa di
tengah-tengah padang ilalang itu, dapat ditemuinya keindahan yang sempurna menurut
selera hatinya. Ketika bayangan itu perlahan-lahan melangkahkan kakinya, Mahesa Jenar
bangkit berdiri. Agaknya bayangan itu mendengar desis kakinya sehingga terputarlah
wajahnya, memandang Mahesa Jenar yang berjalan perlahan-lahan mengikutinya.

”Bintang pagi masih bersinar di tenggara,” tegur Mahesa Jenar dalam nada yang rendah.
Rara Wilis tersenyum.

”Tetapi matahari telah meninggalkan peraduannya.” Mahesa Jenar menengadahkan


wajahnya, memandang matahari pagi yang masih kemerah-merahan. Sambil tersenyum
pula ia berkata, ”Ia akan datang pada saat ia harus datang.”

”Dan ia akan pergi pada saat ia harus pergi,” sahut Wilis.

”Peredaran jinantra alam yang tak terkendalikan oleh kekuatan apapun, selain oleh Maha
Penciptanya,” kata Mahesa Jenar.

”Karena itu, milikilah yang harus kau miliki,” potong Wilis.

”Matahari...?” tanya Mahesa Jenar sambil tersenyum. ”Ya,” jawab Wilis ”Matahariku
adalah mataharimu,” kata Mahesa Jenar pula. Keduanya tersenyum. Hanya mereka
berdualah yang dapat merasakan betapa indahnya senyum mereka masing-masing.
Seindah bintang pagi di tenggara, seindah matahari pagi di puncak bukit.

”Aku akan mencuci muka di mata air sebelah,” kata Rara Wilis kemudian. ”Pergilah.
Aku akan menyiapkan api,” jawab Mahesa Jenar.

RARA WILIS berjalan semakin cepat. Di pinggangnya masih tergantung pedang


tipisnya. Mahesa Jenar memandangi bayangan itu sampai hilang di balik sebuah batu
padas. Disanalah Rara Wilis mendapatkan mata air yang kecil.

Hari itupun tak mereka jumpai persoalan-persoalan yang penting. Bahkan mereka dapat
hilir-mudik dari perbatasan masuk ke dalam kota. Kebo Kanigara telah menjemput
puterinya, sedang Mahesa Jenar dan Arya Salaka malam berikutnya bermalam di
Banyubiru. Seperti malam kemarin. Malam inipun berlalu begitu saja. Namun mereka
mengharap bahwa hari berikutnya Penjawi dan Jaladri telah dapat datang kembali dengan
keterangan-keterangan yang mereka perlukan.

Sebelum fajar menyingsing di pagi yang dingin, datanglah orang yang mereka harap-
harapkan itu. Derap dua ekor kuda yang lari dengan kencangnya, memukul-mukul jalan
yang berbatu-batu menuju ke rumah kepala daerah perdikan Banyubiru. Para pengawal
perbatasan segera berloncatan dari gardu mereka yang bersiaga. Tetapi ketika mereka
melihat Penjawi dan Jaladri yang duduk di punggung-punggung kuda itu, maka mereka
biarkan berlalu. Debu yang dihambur-hamburkan oleh kaki-kaki kuda itu seperti tumbuh
dari dalam tanah, sejalan dengan pertanyaan-pertanyaan yang tumbuh di dalam dada para
pengawal itu.

Kabar apakah yang dibawa oleh Penjawi dan Jaladri...?

Arya Salaka dan Mahesa Jenar pun kemudian mendengar derap kuda yang semakin
dekat. Segera mereka bangkit dari pembaringan mereka sambil menebak-nebak, siapakah
orang-orang yang berkuda di pagi-pagi buta ini. Demikian juga Wanamerta dan Bantaran
yang berada di pendapa pun segera bersiaga. Kalau-kalau ada sesuatu yang tak mereka
harapkan terjadi. Tetapi hati mereka menjadi kendor kembali setelah mereka melihat
Penjawi dan Jaladri masuk ke halaman. Demikian ketika kuda-kuda itu berhenti,
berloncatanlah mereka turun dan langsung naik ke pendapa. Tampaklah wajah-wajah
mereka yang kotor karena debu yang tak sempat mereka usap. Sedang di punggung
membekaslah keringat mereka yang mengalir deras. Namun demikian tampaklah senyum
mereka membayang di bibir mereka.

Wanamerta menerima mereka dengan tergopoh-gopoh. Dipersilahkanlah mereka duduk,


dan kepada seorang pelayan, Wanamerta minta untuk segera disediakan bagi mereka,
minum yang hangat.

”Terima kasih Kiai,” kata Penjawi di antara desah nafasnya yang mengalir cepat.

”Selamatkah kalian?” tanya Wanamerta kemudian. ”Baik Kiai,” jawab mereka hampir
bersamaan. ”Syukurlah,” sambung Wanamerta. Bersamaan dengan itu muncullah Mahesa
Jenar dan Arya Salaka lewat pintu pringgitan. Mereka langsung duduk di hadapan
Penjawi dan Jaladri. Dari wajah-wajah kedua orang itu, Mahesa Jenar dan Arya Salaka
mendapat kesan, bahwa mereka telah menempuh perjalanan yang berat. Merekapun
kemudian menanyakan keselamatan kedua orang itu.

”Perjalanan yang menyenangkan.”

Namun terdengarlah suara itu amat perlahan-lahan. Dengan senyum lucu Jaladri
memandang Penjawi, sambil menyebut, ”Cemasnya yang tak terduga-duga.” Yang
mendengar ikut tersenyum pula. ”Kalian tentu punya ceritera yang panjang,” kata Arya
Salaka. ”Tetapi aku lihat kalian tak sempat mandi di perjalanan. Karena itu, apabila
keadaan tidak mendesak, mandilah kalian dahulu. Kemudian setelah makan pagi, biarlah
kalian berceritera panjang lebar. Akan aku panggil semua pimpinan laskar Banyubiru,
Paman Kebo Kanigara, Bibi Wilis dan Endang Widuri. Aku kira mereka akan senang
pula mendengar ceriteramu.”

”Baiklah,” jawab Penjawi.

”Kami akan mandi dahulu, makan pagi, lalu kami akan berceritera, supaya ceritera kami
tidak terlalu banyak tertinggal.” Jaladri tertawa, sambungnya, ”Urutan yang bijaksana,”
Kemudian setelah minum teh hangat dengan gula aren, Penjawi dan Jaladri segera turun
ke mata air di sebelah rumah itu. Mereka mendapat pinjaman beberapa potong pakaian
untuk mengganti pakaian yang telah basah oleh keringat, dan kotor oleh debu tebal.

Dalam kesempatan itu, Arya Salaka telah memerintahkan untuk menjemput para
pemimpin laskar Banyubiru yang berada di perbatasan, termasuk Mantingan dan
Wirasaba. Ketika matahari telah naik di ujung cemara, pendapa Banyubiru itupun telah
dipenuhi oleh para pemimpin laskar Banyubiru. Mereka semua mengharap dapat
mendengarkan langsung ceritera Penjawi dan Jaladri. Meskipun masih agak payah, di
pendapa itu hadir juga Sendang Parapat. Penjawi dan Jaladri duduk berjajar di samping
Arya Salaka. Kemudian duduk pula Wanamerta, Bantaran, Mahesa Jenar, Kebo
Kanigara, Mantingan, Wirasaba, Rara Wilis dan Endang Widuri.

”Nah...” kata Arya Salaka kemudian, ”Mulailah dengan kisah cemasmu.”


Penjawi membetulkan letak duduknya, sambil menarik nafas ia berkata, ”Baiklah.
Setelah perutku kenyang, ingatanku menjadi baik, sehingga banyaklah yang akan aku
ceriterakan kepada kalian.” Yang hadir di pendapa itu telah siap untuk mendengar apakah
yang telah terjadi di Pamingit.

PENJAWI segera mulai ceritanya, ”Lusa aku dan Adi Jaladri berangkat ke Pamingit,
beberapa saat setelah Ki Ageng Sora Dipayana meninggalkan Banyubiru. Namun
demikian, kami masih dapat mendahului laskar Pamingit itu. Kami titipkan kuda kami
dirumah paman Derpa, dan mulailah kami dengan pekerjaan kami. Ki Ageng Lembu Sora
ternyata benar-benar seorang yang memiliki ketangkasan berpikir. Kami terkejut ketika
kami diketahui, bahwa beberapa bagian laskarnya langsung menerobos lewat Randu
Putih, dan menduduki Kepandak. Sedang induk pasukannya masih tetap menuju pusat
pemerintahan Pamingit, dan setelah terlibat dalam bentrokan tak berarti, induk pasukan
itu bermalam di Sumber Panas. Ini adalah suatu keadaan yang sama sekali tak diduga
oleh golongan hitam. Karena itu, dengan mudahnya mereka dapat didesak dari tempat-
tempat itu. Tetapi karena itu pulalah maka mereka agaknya menjadi marah. Menjelang
pagi, aku dan adi Jaladri melihat-lihat pertempuran yang akan berkobar di Kepandak.
Kami berjanji bahwa malam hari kami bertemu di rumah Paman Darpa, setelah kami
mendapat gambaran dari kedua garis pertempuran itu. Pekerjaan kamipun menjadi agak
sulit, sebab kami tidak mau diketahui oleh kedua belah pihak. Untunglah bahwa aku
dapat menghubungi beberapa orang Banyubiru yang berada di dalam Laskar Lembu Sora,
ketika mereka sedang mengambil air untuk keperluan laskar itu. Tetapi pekerjaan Adi
Jaladri agak lebih sulit.”

Penjawi berhenti sejenak. Ia memandang kepada Jaladri, katanya, ”Tidak ada orang yang
lebih mengetahui daripada Adi sendiri. Nah ceriterakanlah.”

Jaladri mengangguk. Sambil tertawa kecil ia berkata, ”Bukan lebih sulit. Tetapi aku
justru lebih beruntung.”

Jaladri berhenti sebentar lalu meneruskan, ”Pagi-pagi buta aku mencoba untuk mencari
tempat yang baik. Aku ingin tahu, siapakah yang berada di dalam kedua pasukan yang
akan bertempur itu. Tetapi baru saja aku mendapat tempat yang baik menurut pikiranku,
tiba-tiba terdengar suara berdesir di belakangku. Aku terkejut, dan aku menjadi berdesir
ketika tiba-tiba aku ketahui, menurut ciri-ciri yang pernah aku dengar, seorang tua,
bertubuh bongkok dengan wajah yang mengerikan.”

”Bugel Kaliki?” potong Wanamerta.

”Ya, Bugel Kaliki,” sahut Jaladri. ”Dengan mata yang mengandung kebencian ia
memandang kepalaku. Akhirnya ia tertawa terkekeh-kekeh dan berkata, - "Hai kelinci
yang malang. Siapakah namamu, dan apakah kerjamu di sini?" - Aku menjadi gemetar.
Aku tahu siapakah orang itu. Karena itu tiba-tiba terbayanglah di dalam otakku,
gambaran Yamadipati datang untuk menagih janji. Mengambil kembali nyawa yang
dititipkan di dalam raga ini.”
”Apa yang dikerjakan oleh hantu itu? - bertanya Sendang Papat tidak sabar.

”Menakut-nakuti aku,” jawab Jaladri. ”Dan aku benar-benar takut kepadanya. Apalagi
kemudian ia bertanya kepadaku pula - Kenalkah kau kepadaku?” ”Aku tahu bahwa aku
bukan musuhnya. Karena itu aku tidak mau kehilangan kesempatan. Tanpa menjawab
pertanyaannya, segera aku menarik kerisku, dan langsung aku menusuk ke arah
telungkup. Nah, kau lihat jalur-jalur di mukaku ini?”

”Tetapi kau tetap hidup,” sela Bantaran ingin tahu.

”Ya. Aku tetap hidup,” sambung Jaladri, ”Bukan karena aku sekarang telah mampu
melawan Bogel Kaliki, atau aku dapat melepaskan diri dari tangannya.”

”Ya. Lalu kenapa?” Sendang Parapat menjadi tidak sabar, ”Apakah kau dibiarkan
pergi?”

Jaladri tertawa. ”Jangan terlalu tergesa-gesa. Dengar urutan ceriteraku. Aku kemudian
bangkit, dan dengan tekad yang bulat aku akan mati sebagai laki-laki. Berjuang dengan
tenaga yang ada padaku. Tetapi tiba-tiba Tuhan menyelamatkan aku. Ketika Bugel Kaliki
itu dengan marahnya menggeram, dan hampir menerkam kepalaku, terdengar suara di
belakangku. -Jangan Kaliki. Jangan mengganggu anak-anak. Bugel Kaliki terkejut. Aku
juga terkejut. Kalau seseorang dapat hadir di tempat itu tanpa diketahui oleh Bugel
Kaliki, maka aku mengharap bahwa setidak-tidaknya orang itu akan dapat
menyelamatkan aku.”

”Siapakah orang itu?” tanya Sendang Parapat.

”Aku tidak tahu,” jawab Jaladri.

”Hus!” sahut orang yang berada di pendapa itu hampir berbareng. ”Jangan teka-teki.”

”He...” jawab Jaladri, ”Siapa yang berteka-teki? Aku benar-benar tidak tahu, Kakang
Penjawi juga tidak tahu. Siapakah dia.”

Arya tertarik pada ceritera itu. Tampak alisnya berkerut. Demikian juga Mahesa Jenar,
Kebo Kanigara dan orang-orang lain.

”Apa yang dilakukan?” tanya Arya Salaka kemudian. Jaladri mengingsar duduknya, ia
meneruskan, ”Bugel Kaliki terkejut atas kehadirannya. Ia mengurungkan niatnya untuk
memecahkan kepalaku. Tetapi segera ia bersiaga untuk menghadapi musuh barunya. -
Jangan ganggu aku- ia berdesis. Tetapi orang yang datang itu tertawa. Suaranya nyaring.
-Aku mengembara dari satu tempat ke tempat lain tanpa tujuan. Karena itu akupun
kadang-kadang melakukan pekerjaan-pekerjaan tanpa tujuan. Antara lain
mengganggumu.- Bugel Kaliki benar-benar marah. Terdengar suaranya menggeram
seperti serigala. Namun orang asing itu masih tertawa-tawa saja. Demikianlah akhirnya
keduanya terlibat dalam satu perkelahian tanpa kata-kata lain. Aku tidak tahu bagaimana
aku harus menilai pertempuran itu. Mereka bergerak-gerak dengan cepatnya. Kadang-
kadang mereka melontarkan diri mereka seperti bintang beralih. Sambar-menyambar.
Aku pernah menyaksikan dua ekor elang berkelahi. Gagah benar. Namun itu lebih cepat
seperti Sikatan. Si Bongkok itupun sungguh luar biasa. Aku heran kenapa bongkoknya itu
sama sekali tidak mengganggu.”

JALADRI diam sejenak. Kemudian meneruskan ceriteranya, ”Melihat perkelahian itu


aku menjadi malu pada diri sendiri. Apakah yang terjadi seandainya aku yang harus
bertempur melawan Bugel Kaliki itu. Namun demikian aku tidak mau lari. Aku akan
menunggu sampai pertempuran itu berakhir.Kalau penolongku itu kalah dan binasa,
biarlah aku binasa pula. Tetapi kalau ia menang, biarlah aku sempat mengucapkan terima
kasih kepadanya. Tetapi pertempuran itu kemudian terganggu. Aku melihat bayangan
lain yang datang di tempat itu pula. Bersamaan dengan kehadiran orang kedua itu, aku
lihat Bugel Keliki berteriak nyaring, untuk kemudian melontar mundur dan lenyap di
dalam keremangan pagi. Orang yang bertempur melawannya sama sekali tidak
mengejarnya. Ia, sekarang berhadapan dengan orang yang datang terakhir. Namun
agaknya mereka tidak akan bertempur. Bahkan mereka berdua tampaknya seperti dua
orang sahabat yang baru bertemu. Mereka saling mengguncang tangan masing-masing.”

”Siapakah yang datang kemudian? Juga tidak tahu?” tanya Wanamerta.

Jaladri tertawa. Penjawi pun tertawa.

”Kiai...” jawab Jaladri, ”Kepada orang yang terakhir itu, aku sudah mengenalnya.
Bahkan kalian juga mengenalnya.”

”Ya, siapa? Kalau kau sudah mengenal, kami mengenal pula.” Sendang Parapat semakin
tidak sabar. ”Ki Ageng Sora Dipayana,” jawab Jaladri.

”Oh....” Terdengar orang-orang yang mendengar bergumam. Mereka menarik nafas lega,
seolah-olah merekalah yang terlepas dari ancaman maut. Jaladri berhenti pula untuk
sesaat. Kemudian ia meneruskan, ”Aku hanya sempat mengucapkan terima kasih kepada
orang yang tak kukenal itu. Tetapi aku tidak sempat bertanya tentang dirinya sebab
kemudian Ki Ageng Sora Dipayana bertanya kepadaku, -Apa kerjamu di sini Jaladri?”

Aku menjadi ragu sebentar. Tetapi kepada Ki Ageng Sora Dipayana aku tak dapat
berkata lain, kecuali mengatakan yang sebenarnya. Mula-mula aku menjadi cemas,
jangan-jangan hal itu tak dikehendaki oleh Ki Ageng, namun tiba-tiba Ki Ageng Sora
Dipayana berkata, -Marilah. Hari hampir pagi. Sebentar lagi pertempuran akan dimulai.-
Aku tak dapat membantah. Aku ikuti Ki Ageng kembali ke pasukan Pamingit. Agaknya
Ki Ageng Sora Dipayana berada di dalam laskar yang menduduki Kepandak. Laskar ini
dipimpin oleh Wulungan. Sedang menurut Ki Ageng Sora Dipayana, induk pasukan yang
berada di Sumber Panas dipimpin langsung oleh Ki Ageng Lembu Sora sendiri. Ketika
kami hampir sampai, aku hanya mendengar orang asing itu berkata, -Kau biarkan anakmu
sendiri? - -Tak ada pilihan lain- jawab Ki Ageng Sora Dipayana. -Kalau aku tak ada di
sini, dan ada salah seorang dari setan-setan itu datang kemari, seperti apa yang dilakukan
oleh Bugel Kaliki itu, maka laskar ini akan habis ludas.- -Kalau mereka beberapa orang
menempatkan diri mereka untuk melawan anakmu?- jawab orang asing itu. -Ia membawa
laskar lebih banyak. Aku sudah menasehatkan untuk bertempur dalam kelompok-
kelompok, untuk menghadapi mereka. Dengan senjata jarak jauh atau senjata bertangkai
panjang. Dan Lembu Sora telah menyiapkan laskar panah sebaik-baiknya.-

-Belum cukup- jawab orang asing itu. - Untuk sementara, tak ada cara yang lebih baik.
Tetapi aku percaya, kalau Lembu Sora berotak cair, maka sedikit demi sedikit ia akan
dapat mengatasi keadaan- jawab Ki Ageng Sora Dipayana. Ternyata ia kemudian
meneruskan, -Soalnya terserah kepada nasibnya. Mudah-mudahan Tuhan memaafkan
kesalahan-kesalahannya.-

-Kalau begitu...- orang asing itu menjawab, -biarlah aku ikut serta dalam permainan ini.
Aku akan bekerja bersama-sama dengan anakmu.-

Ki Ageng Sora Dipayana terkejut, sampai langkahnya terhenti. - Kau...- terdengar


suaranya dalam. Orang itu mengangguk, lalu terdengarlah ia tertawa. Sebelum Ki Ageng
Sora Dipayana menjawab orang itu telah melontarkan dirinya sambil berkata, -Sebelum
pagi, mudah-mudahan aku tidak terlambat.-

Ki Ageng Sora Dipayana hanya dapat menggeleng-gelengkan kepala. Perlahan-lahan


terdengar gumamnya, -Terimakasih, terima kasih.-

Tiba-tiba saja Ki Ageng Sora Dipayana terkejut oleh suara kentongan jauh di Pamingit.
Agaknya laskar orang-orang hitam itu telah mempersiapkan diri mereka. -Ayolah,
sebelum kita digilas oleh hantu-hantu yang tak kenal perikemanusiaan itu.- Aku
mengikuti di belakang Ki Ageng. Di Kepandak, laskar Pamingitpun telah siap. Di
hadapan mereka berdiri dengan gagahnya, Wulungan. Di pinggangnya terselip sebuah
pedang panjang, sedang dilambungnya tampaklah sebilah keris. Ketika ia melihat Ki
Ageng Sora Dipayana datang, segera ia membungkukkan dirinya, tetapi ketika ia melihat
aku, tampaklah perubahan di wajahnya. Ki Ageng Sora Dipayana tahu perasaannya,
katanya, -Jangan hiraukan kehadiran Jaladri. Aku yang membawanya. Ia tidak akan
mengganggu kalian. - Wulungan tidak membantah, ia hanya mengangguk hormat. Ketika
cahaya merah di atas bukit-bukit sebelah timur telah semakin merata, mulailah laskar
Pamingit bergerak. Laskar inipun seperti laskar yang dipimpin oleh Ki Ageng Lembu
Sora, bergerak dalam kelompok-kelompok, dan bersenjata jarak jauh. Agaknya mereka
benar dipersiapkan untuk menghadapi setiap tokoh dari golongan hitam itu, kelompok
demi kelompok. Aku sendiri, yang tidak tergabung dalam laskar itu, hanya selalu
mengikuti kemana Ki Sora Dipayana pergi. Dan Ki Agengpun sama sekali tidak
keberatan.

JALADRI meneruskan ceriteranya, ”Akhirnya Ki Ageng itu memberi aku sebatang


tombak sambil berkata, ”Kalau kau terpaksa mempertahankan dirimu Jaladri, pergunakan
tombak ini. Kerismu terlalu pendek untuk melawan Lawa Ijo atau Jaka Soka, atau kalau
kau bertemu sekali lagi dengan Bugel Kaliki.- Hatiku jadi berdebar-debar mendengar

Anda mungkin juga menyukai