Anda di halaman 1dari 25

seperti seekor garuda dengan sayap-sayapnya yang kokoh seperti baja namun trengginas

seperti sikatan.

SEPERTI Mahesa Jenar, Kebo Kanigara juga memiliki kekhususan. Ia benar-benar


tangguh sebagaimana ciri-ciri khusus Perguruan Pengging. Seakan-akan berkulit
tembaga, bertulang besi. Serta apabila keringatnya telah membasahi punggungnya,
tandangnya menjadi semakin garang, seperti banteng ketaton. Demikianlah, ketika
matahari memanjat langit semakin tinggi, pertempuran itupun menjadi semakin sengit.
Kebo Kanigara dan Nagapasa telah mengerahkan segenap kemampuan mereka. Namun
disamping kemarahan yang semakin memuncak, Nagapasa pun menjadi heran. Apakah ia
sebenarnya sedang bertempur melawan seorang manusia, ataukah tiba-tiba saja ada
malaikat yang menjelma dan melawannya?

”Persetan dengan malaikat. Aku tidak takut melawan malaikat seandainya ia benar-benar
ada.”

Nagapasa mengumpat di dalam hati, namun di dalam relung hatinya yang terdalam ia
mengeluh, ”Gila benar orang ini. Siapakah sebenarnya dia?”

Kebo Kanigara pun berjuang terus. Ia sadar bahwa lawannya adalah seorang yang luar
biasa. Hantu Laut yang memiliki kesaktian dan pengalaman yang mengerikan. Karena
itu, Kebo Kanigara pun cukup berhati-hati. Namun sedikit demi sedikit, akhirnya ia
berhasil mengetahui segi-segi kedahsyatan ilmu lawannya, tetapi juga segi kelemahan-
kelemahannya. Suatu hal yang tak dapat dilihat oleh orang biasa. Kebo Kanigara
memiliki daya pengamatan yang lebih tajam dari manusia kebanyakan. Dengan demikian,
apa yang selama ini tak diketahui orang, dapatlah diketahuinya, dan apa yang tak dapat
dikerjakan orang lain, ia dapat melakukannya.

Pertempuran di lereng Gunung Merbabu itupun menjadi semakin riuh. Percikan darah
berhambur-hamburan membasahi tanah pegunungan dan rumput-rumput liar. Kedua
belah pihak berjuang semakin gigih. Sebab tak ada pilihan lain, apabila seseorang telah
berada di tengah-tengah api peperangan. Debu mengepul semakin tinggi di udara. Putih
gelap, seperti kabut ampak-ampak di lereng-lereng bukit.

Ki Ageng Sora Dipayana masih bertempur melawan Bugel Kaliki. Silih ungkih, singa
lena. Desak-mendesak, serang-menyerang silih berganti. Tetapi keduanya sadar, bahwa
kesaktian mereka benar-benar berimbang. Sekali-kali, baik Ki Ageng Sora Dipayana
maupun Bugel Kaliki, berusaha untuk menebarkan pandangannya ke bagian-bagian
pertempuran yang lain, seperti juga apa yang dilakukan oleh Ki Ageng Pandan Alas dan
Pasingsingan, Titis Anganten dan Sura Sarunggi. Sekali-kali merekapun ingin
mengetahui apa yang telah terjadi di bagian-bagian yang lain. Dari celah-celah deru
senjata, Ki Ageng Sora Dipayana, yang bertempur seorang diri di antara laskar Banyubiru
dan Pamingit yang saling bertempur pula. Semula Ki Ageng Sora Dipayana
mencemaskan nasib Mahesa Jenar, tetapi kemudian ia menjadi heran. Mereka telah
cukup lama bertempur, namun agaknya Mahesa Jenar masih tetap bertahan dengan
gigihnya. ”Apakah yang telah terjadi dengan Angger Mahesa Jenar selama ini?” pikirnya.
Dan tiba-tiba sesaat kemudian orang tua itupun terkejut pula. ”Apakah yang sudah
dilakukan oleh Kebo Kanigara itu? Timbul pertanyaan pula di dalam hatinya. Bahkan ia
menjadi semakin heran ketika melihat, bahwa Kebo Kanigara dapat bertempur melawan
Nagapasa sebaik dirinya sendiri atau orang-orang seangkatannya. Bahkan karena darah
yang jauh lebih muda daripada darahnya dan orang-orang seangkatannya, Kebo Kanigara
tampak betapa tangkas dan perkasanya.

”Hem...” desisnya, ”Siapakah sebenarnya orang itu?”

Ternyata di bagian lainpun terdengar Ki Ageng Pandan Alas berdesis, ”Benar-benar


Angger Kebo Kanigara sakti tiada taranya.”

Di bagian lain lagi Titis Anganten bergumam, ”Aneh. Belum pernah aku mengenalnya.
Namun tiba-tiba ia telah mengejutkan kami.”

Bukan saja orang-orang Banyubiru dan Pamingit yang keheran-heranan melihat


keperkasaan Kebo Kanigara, namun orang-orang dari golongan hitampun menjadi cemas
melihat tandangnya. Ketika orang-orang lain sedang sibuk menilai dirinya, Kebo
Kanigara sempat menyaksikan betapa Mahesa Jenar berjuang di antara hidup dan mati.
Tanpa sesadarnya merayaplah perasaan bangga di dalam dirinya. Ia melihat benih subur
tumbuh di dalam tubuh Mahesa Jenar yang kemudian bahkan telah berkembang dengan
rimbunnya. Ia melihat Mahesa Jenar itu telah dapat menguasai ilmunya. Tidak saja
Mahesa Jenar itu telah dapat mensejajarkan diri dengan almarhum gurunya, namun dalam
penglihatan Kebo Kanigara, Mahesa Jenar bahkan telah melampauinya. Masa-masa
pembajaan diri yang dahsyat telah menempa Mahesa Jenar dan muridnya sedemikian
dahsyat pula. Dan sekarang Mahesa Jenar mencoba menerapkan ilmunya dalam suatu
perjuangan yang menentukan.

Dalam suatu kesempatan yang lain, Kebo Kanigara melihat bagaimana Arya Salaka
bertempur melawan Lawa Ijo. Anak muda itupun menunjukkan betapa gigihnya ia
berjuang melawan kejahatan. Tombaknya yang bernama Kyai Bancak itu menyambar-
nyambar seperti seribu mata tombak bersama-sama, melawan sepasang pisau belati
panjang yang berkilat-kilat ditangan Hantu Alas Mentaok. Namun Arya Salaka telah
tumbuh menjadi anak muda yang perkasa. Apapun yang dilakukan lawannya, dengan
baiknya Arya dapat melayaninya. Kegarangan dan kekasaran Lawa Ijo sama sekali tak
mempengaruhi langkahnya. Apalagi Arya telah membumbui ilmunya dengan segala
macam tingkah laku binatang-binatang liar yang pernah menarik perhatiannya.
Bagaimana seekor tikus berhasil menyelamatkan dirinya dari gigi-gigi ular berbisa, dan
bagaimana seekor kijang yang lemah berhasil membebaskan dirinya dari terkaman
serigala-serigala lapar. Namun Arya Salaka pun tahu, bagaimana seekor banteng dengan
tanduknya, dalam ketenangan yang luar biasa, berhasil merobek perut seekor harimau
yang justru menyerangnya dengan garang.

MELIHAT pertempuran itu Kebo Kanigara menarik nafas. Ia menjadi bertambah tenang,
sebab dengan demikian ia hampir pasti, bahwa setidak-tidaknya Lawa Ijo tidak akan
berhasil membunuh anak muda itu.

Mahesa Jenar pun sempat melihat bagaimana muridnya itu bertempur. Dengan semangat
yang menyala-nyala serta kepercayaan pada Keadilan yang Maha Tinggi. Arya Salaka
bertempur mati-matian berlandaskan pada suatu keyakinan bahwa bagaimanapun juga
kebenaran akan memenangkan kemungkaran.

Ki Ageng Lembu Sora pun bertempur dengan gigihnya di bagian lain. Dibebani oleh
rasa tanggungjawab atas tanah serta kampung halamannya, serta perasaan-perasaan lain
yang memburunya selama ini, kekhilafan-kekhilafan yang pernah dilakukannya serta
nafsu-nafsu yang memalukan telah mengetuk-ngetuk dinding hatinya. Seakan-akan
terdengar suara yang berputar di udara, ”Lembu Sora, kau harus mampu memperbaiki
kesalahan-kesalahan yang telah kau lakukan. Lihatlah betapa anak yang akan kau
singkirkan itu kini berjuang tanpa pamrih untukmu. Lalu apa yang akan kau lakukan?”

”Akan aku bunuh kawan-kawanku kini.” Lembu Sora menggeram. ”Mereka adalah
orang-orang yang menyeretku ke dalam tindakan-tindakan yang hina.”

Lawannya, Ular Laut dari Nusakambangan, terkejut mendengar Lembu Sora tiba-tiba
menggeram. Tetapi kemudia iapun tersenyum. Katanya, ”Hati-hatilah Ki Ageng Lembu
Sora, jangan melamun. Pedang tipisku ini dapat merobek dadamu.”

Kembali Lembu Sora menggeram. Betapa bencinya ia kepada Jaka Soka. Apalagi sejak
nyawanya berada di ujung kerisnya sendiri, yang ditekankan ke lambungnya oleh Mahesa
Jenar, pada saat laskarnya mencegat laskar Demak yang sedang membawa Gajah Sora.
Pada saat itu, seolah-olah ia telah bersumpah, bahwa pada suatu saat ia harus dapat
membunuh Jaka Soka dengan tangannya. Tetapi Jaka Soka itupun bukanlah anak-anak
yang baru mampu berdiri. Ia adalah seorang bajak laut yang buas. Meskipun wajahnya
selalu membayangkan senyuman yang menarik, namun di balik senyumnya itu
tersembunyi kejahatan dan kebengisan yang bertimbun-timbun. Hanya karena seorang
gadis yang cantik dalam penilaiannya, dan bernama Rara Wilis di hutan Tambakbaya, ia
berhasrat untuk membunuh semua orang yang berada di tempat itu, tanpa sebab. Hanya
karena mereka mengetahui bahwa ia menginginkan gadis itu.

Dengan demikian, maka pertempuran di antara merekapun menjadi semakin sengit.


Dendam yang membara di dalam dada Lembu Sora telah mendorongnya untuk berjuang
sekuat tenaga, sedang Jaka Soka menjadi semakin berani, karena saat itu gurunya yang
dibangga-banggakan berada pula di dalam pertempuran itu, Nagapasa.

Akhirnya mataharipun perlahan-lahan melampau puncak langit. Semakin lama menjadi


semakin condong ke barat. Angin pegunungan berdesir lembut mengusap daun-daun
pepohonan di ujung-ujung senjata. Setiap orang dalam pertempuran itu berusaha untuk
memusnahkan lawan-lanan mereka secepat-cepatnya. Masing-masing berjuang dengan
gigih dan tanpa pengendalian diri. Namun tak seorangpun dari mereka yang dengan
senang hati menyerahkan nyawanya. Karena itulah maka pertempuran itu bertambah-
tambah riuh dan ribut. Keringat dan debu yang melekat pada tubuh mereka, bercampur
darah yang meleleh dari luka, sama sekali tak mereka hiraukan. Perasaan sakit dan pedih
yang ditimbulkan oleh goresan-goresan ujung senjata sama sekali tak terasa, selagi merka
masih dapat berdiri dan mengayunkan senjata-senjata mereka, maka tak ada kesempatan
untuk bermanja-manja.

Bagi mereka yang telah menjadi lemas karena darah yang terperas hilanglah harapan
mereka untuk dapat melihat matahari terbit esok hari. Mereka akan terjatuh dan diinjak-
injak. Mungkin oleh lawan dan mungkin oleh kawan. Meskipun demikian, apabila maut
belum saatnya datang, ada saja di antara mereka yang berhasil merangkak-rangkak
membebaskan diri dari kancah pertempuran, atau seorang kawan yang sempat
memapahnya dan menyingkirkannya.

Sawung Sariti tak pula kalah garangnya. Wadas Gunung, murid Pasingsingan yang muda
itu agaknya bertempur pula penuh nafsu dan kemarahan. Tetapi Wadas Gunung tidak
segarang Lawa Ijo. Karena itu ia sendiri segera terdesak oleh cucu dan sekaligus murid
Ki Ageng Sora Dipayana yang masih sangat muda itu. Namun tiba-tiba seorang yang
bertubuh pendek gemuk dengan otot-otot yang menonjol seperti orang hutan, datang
membantunya dengan senjata-senjata yang mengerikan.

Bola-bola besi yang bertangkai. Orang yang bertubuh bulat itu adalah Bagolan. Bola
besinya bergerak dengan garangnya, menyambar-nyambar di antara kilauan dua pisau
belati panjang di tangan Wadas Gunung.

PEDANG Sawung Sariti seolah-olah mempunyai mata. Ke mana keempat senjata


lawannya itu mengarah, terdengarlah dentang senjata mereka beradu. Seperti ayahnya,
Sawung Sariti dapat berbangga diri karena kekuatan tubuhnya. Meskipun Wadas Gunung
bertubuh tegap kuat dan Bagolan memiliki lengan yang berbongkah-bongkah seperti
orang hutan, namun Sawung Sariti dapat membentur kekuatan mereka dengan
keseimbangan yang cukup. Pedang Sawung Sariti seperti juga pedang ayahnya,
berukuran tidak wajar. Pedangnya lebih besar dan lebih panjang daripada pedang biasa.
Meskipun pedang itu tidak setajam pedang Jaka Soka, namun dengan pedang itu Sawung
Sariti mampu mematahkan besi gligen.

Dengan hadirnya Bagolan, maka pertempuran itu menjadi seimbang. Meskipun semula
Wadas Gunung agak malu-malu juga bertempur melawan anak semuda itu berdua.
Namun dalam saat-saat hidup dan mati menjadi taruhannya, maka perasaan itupun lenyap
tanpa bekas. Dengan baiknya mereka berdua bertempur berpasangan. Maju bersama-
sama dari arah yang berbeda. Tetapi pedang Sawung Sariti berputar seperti lingkaran
angin yang melindungi tubuhnya, sedemikian rapatnya sehingga tak seujung jarumpun
dapat ditembus oleh senjata lawannya.

Wulungan ternyata seorang jantan. Ia bertempur seperti seekor elang. Dengan garangnya
ia menggerakkan pedangnya menyambar-nyambar. Sedang di bagian lain, Galunggung
pun tidak mengecewakan. Orang itu bersenjata pedang pula seperti Wulungan. Dengan
tangkasnya ia meloncat kesana kemari, menggerakkan pedangnya dengan lincahnya,
mematuk-matuk seperti lidah api yang dihembus angin. Beberapa orang dari golongan
hitam telah mengenalnya. Mereka telah pernah bekerja bersama-sama dalam usaha
mereka memusnahkan Arya Salaka. Namun sekarang mereka harus berhadapan sebagai
lawan.

Seorang yang bertubuh pendek, kasar dan menjemukan, menempatkan diri sebagai
lawan Galunggung. Orang itu adalah Sakajon. Tokoh kepercayaan Sima Rodra dari
Gunung Tidar. Mereka berdua bertempur dengan penuh nafsu. Sakajon dengan pedang
pendek namun besar, bertempur seperti seekor babi hutan yang garang, sedang
Galunggung melayanipun seperti seekor serigala lapar. Laskar golongan hitam yang
bertempur berhadapan dengan sayap kiri laskar Banyubiru menjadi terkejut ketika
mereka merasa terbentur pada kekuatan yang tak mereka duga.

Sri Gunting dari Rawa Pening, yang semula dengan bangga dapat mendesak laskar
Pamingit dari Sumber Panas, kini benar-benar membentur dinding baja. Dengan
marahnya Sri Gunting mencoba untuk memusnahkan pimpinan kelompok lawannya.
Tetapi orang yang bersenjata tombak bermata dua itu benar-benar tangkas.

Jaladri, yang mempimpin kelompok di bagian tengah sapit kiri itu, dengan gigihnya
bertempur melawan tokoh pertama sesudah Uling Rawa Pening. Bahkan tiba-tiba Jaladri
menjadi bergirang hati. Setelah sekian lama ia menempa diri di bawah penilikan Ki
Dalang Mantingan dan Ki Wirasaba, yang kemudian ditambah dengan beberapa
pengetahuan yang berharga dari Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara, kini ia mendapat
kesempatan untuk mengamalkannya. Menumpas golongan hitam.

Demikian juga Bantaran yang berada di ujung Sapit kiri. Ia berusaha dengan gigih untuk
memotong gerakan lawannya yang mencoba melingkari ujung sayap itu, dan menyerang
dari samping dan belakang. Karena keprigelannya maka ia berhasil dalam usahanya itu.
Meskipun ia sendiri harus bertempur mati-matian melawan Welang Jrabang, salah
seorang kepercayaan Jaka Soka. Namun Bantaran telah memiliki pengetahuan yang
cukup untuk dapat menyelamatkan dirinya.

Di bagian yang lebih padat, tampaklah Penjawi bertempur dengan penuh tekad. Tak ada
persoalan hidup atau mati di dalam kepalanya. Ia hanya menyerahkan diri dalam satu
pengabdian. Seterusnya ia pasrah diri setelah berjuang sekuat kemampuannya. Namun
karena itu, ia menjadi tenang. Dan ketenangannya itulah yang menyebabkan Penjawi
menjadi seperti burung alap-alap, yang menyambar-nyambar dengan kuku-kukunya yang
runcing tajam.

Laskar Banyubiru benar-benar menakjubkan. Tidak saja lawan-lawan mereka menjadi


cemas, tetapi agaknya orang-orang Pamingit yang sempat melihat betapa anak-anak
Banyubiru itu bertempur, menjadi bersyukur di dalam hati. Bagaimanakah kiranya
seandainya mereka, orang-orang dari Pamingit terpaksa bertempur melawan laskar
Banyubiru itu? Laskar yang semula mereka anggap tidak lebih dari sekelompok pemuda
yang hanya pandai mencegat pedagang-pedagang yang pergi ke pasar, atau merampok
warung-warung penjual makanan untuk menyambung hidup mereka. Kini ternyata bahwa
laskar Banyubiru yang berada di sekitar Candi Gedong Sanga itu adalah benar-benar
pejuang yang mengabdikan diri pada cita-citanya.

Matahari kian lama menjadi semakin rendah. Awan yang putih tampak berarak-arak di
wajah langit yang biru. Burung gagak berterbangan berputar-putar di atas daerah
pertempuran yang menghamburkan bau darah. Burung-burung itu berteriak-teriak di
udara. Mereka menjadi tidak sabar menunggu lebih lama lagi. Betapa segarnya darah
yang mengalir dari luka. Mereka harus mendapatkannya lebih dahulu sebelum anjing-
anjing liar dan serigala-serigala lapar mendahuluinya. Tetapi pertempuran itu masih ribut.
Dan burung-burung itupun menjadi semakin tidak sabar dan berteriak-teriak tinggi.

Meskipun laskar Banyubiru dan Pamingit berhasil mendesak laskar golongan hitam,
namun pergeseran garis pertempuran itu tidak seberapa jauh. Bahkan dapatlah dikatakan
bahwa kekuatan mereka seimbang. Korban satu-satu jatuh. Dan masih banyak yang akan
menyusul. Setiap orang di dalam pertempuran itu mempunyai kemungkinan yang sama.
Mati di ujung senjata. Melihat semuanya itu Kebo Kanigara mengerutkan keningnya.
Betapa perasaan ngeri mengorek-orek jantungnya. Setiap ia melihat tubuh yang
terbanting di tanah dan setiap telinganya mendengar jerit kesakitan, terasa hatinya seperti
tertusuk sembilu.

TIBA-TIBA Kebo Kanigara berhasrat untuk menghentikan pertempuran itu segera.


Meskipun sebenarnya tidak saja Kebo Kanigara yang dijalari oleh perasaan yang
demikian itu, namun mereka sama sekali tidak mampu berbuat sesuatu, atau mereka
belum berhasil untuk berbuat sesuatu. Ki Ageng Sora Dipayana melihat dengan sedih,
korban-korban yang berjatuhan. Setiap kali ia melihat darah yang memancar dari luka,
setiap kali ia memperkuat serangan-serangannya, namun lawannya berbuat demikian
pula. Bugel Kaliki telah mengerahkan segenap kesaktiannya untuk melawan Ki Ageng
Sora Dipayana. Tak jauh berbeda pula perasaan Ki Ageng Pandan Alas dan Titis
Anganten. Merekapun telah berjuang sekuat-kuat tenaga mereka. Semakin cepat
pertempuran itu selesai, menjadi semakin baik bagi mereka dan laskar mereka. Jumlah
korban mereka, namun lawan mereka tak pula kalah saktinya. Apalagi kemudian, ketika
Pasingsingan benar-benar telah dilumuri oleh keringat yang mengalir dari setiap lubang
kulitnya, hatinya menjadi bertambah gelap.

Tiba-tiba saja di tangannya telah tergenggam pusaka saktinya, Ki Ageng Suluh, sebuah
pisau belati panjang kuning gemerlapan. Ki Ageng Pandan Alas terkejut melihat senjata
itu. Ia menyangka bahwa Pasingsingan akan melepaskan ilmu andalannya, Gelap
Ngampar atau Alas Kobar, atau kedua-duanya.

Tetapi agaknya Pasingsingan sadar bahwa lawannya mempunyai cukup daya tahan untuk
melawannya. Karena itu, ia mengambil ketetapan hati, pusakanya itu akan dapat
menyelesaikan masalahnya dengan cepat. Setiap goresan yang dapat melukai kulit
Pandan Alas, adalah suatu alamat, bahwa Pandan Alas akan tinggal disebut namanya.
Tetapi Pandan Alas tidak mau melawan Kyai Suluh itu dengan tangannya.

Ketika pisau yang gemerlapan itu melingkar-lingkar di sekitar tubuhnya, dengan


tangkasnya ia menarik pusakanya pula, Kyai Sigar Penjalin. Sebilah keris yang tidak
kalah saktinya. Dengan demikian maka pertempuran antara keduanya menjadi semakin
sengit. Tanpa mereka kehendaki, menyingkirlah laskar Banyubiru, Pamingit dan laskar
golongan hitam dari daerah sekitar mereka berdua. Sehingga dengan demikian, seolah-
olah bagi mereka sengaja disediakan tempat yang cukup luas untuk mengadu kesaktian.

Daerah pertempuran, yang berupa padang rumput dan sawah-sawah yang terletak di
lereng bukit itu, merupakan daerah yang sama sekali tidak rata. Ada bagian yang cekung,
namun ada bagian-bagian yang menjorok naik, sehingga dengan demikian
memungkinkan bagi mereka untuk dapat melihat arena pertempuran itu seluas-luasnya.
Demikianlah agaknya maka hampir setiap orang di dalam pertempuran itu mempunyai
gambaran atas peristiwa yang terjadi di arena itu. Kalau mereka berkesempatan, dapatlah
mereka melihat betapa debu mengepul tinggi ke udara dari daerah sayap kiri, atau kilatan
ujung senjata di sayap kanan. Mereka dapat juga melihat daerah-daerah yang lengang di
tengah-tengah arena, yang merupakan pertanda bahwa di daerah itulah tokoh-tokoh sakti
sedang mengadu tenaga sehingga tak seorangpun yang berani mendekati.

Ketika matahari telah surut ke ufuk barat, Ki Ageng Sora Dipayana menjadi semakin
gelisah. Apabila malam tiba, dan pertempuran ini harus dihentikan, maka akan terulang
kembali perisitiwa ini besok pagi. Bertempur, bunuh-membunuh dan korban akan
berjatuhan. Demikian seterusnya. Mungkin berhari-hari, seperti ia sendiri akan
mengalaminya melawan Bugel Kaliki. Mungkin seminggu, dua minggu. Ia sendiri atau
Bugel Kaliki akan betahan terus, tetapi laskarnya akan semakin surut. Namun demikian,
apa yang dilakukan adalah batas tertinggi dari kemampuannya. Sebab Bugel Kaliki pun
berusaha untuk membunuhnya seperti apa yang diusahakannya atas orang itu. Demikian
juga Pandan Alas dan Titis Anganten. Tetapi di sapit sebelah kiri terjadilah hal yang agak
berbeda. Ketika Kebo Kanigara melihat warna lembayung membayang dilangit, ia
menarik keningnya. Ketika ia sekilas melihat Mahesa Jenar yang bertempur tidak
demikian jauh darinya, ia tersenyum kecil.

Memang pada saat itupun Mahesa Jenar dihinggapi oleh perasaan yang sama seperti
perasaan yang menjalar di dalam dada Ki Ageng Sora Dipayana, di dalam dada Ki Ageng
Pandan Alas, Titis Anganten dan Kebo Kanigara. Karena itulah maka, seperti mereka
pula, mencemaskan betapa korban akan berjatuhan besok pagi, lusa atau seterusnya,
apabila keseimbangan pertempuran tidak segera berubah.

Karena itu, ketika senja mewarnai langit, terdengar ia menggeram perlahan-lahan. Sekali
lagi dengan tajamnya ia memandang wajah Sima Rodra yang bertempur dengan
dahsyatnya sambil mengaum mengerikan. Tiba-tiba di wajah itu terbayanglah betapa keji
perbuatan-perbuatan yang pernah dilakukan. Kalau anak perempuannya telah melakukan
perbuatan yang terkutuk, apakah kira-kira yang pernah dilakukan oleh Harimau tua itu?
Berapa puluh gadis yang pernah dikorbankan untuk upacara-upacaranya yang aneh-aneh?

Sekali lagi Mahesa Jenar menggeram. Agaknya Sima Rodra pun sadar bahwa menjelang
malam, ia harus mengambil suatu kepastian, supaya besok pertempuran dapat dimulai
dengan permulaan yang berbeda. Karena itu Sima Rodra pun menjadi bertambah liar.
Akhirnya terjadilah suatu hal yang mengerikan.

Sima Rodra itu mengaum dengan dahsyatnya, serta menggerakkan seluruh tubuhnya
seperti orang yang menggigil kedinginan.

Mehesa Jenar pernah melihat gerakan-gerakan yang demikian. Pada saat itu ia
mengambil pusaka-pusaka keris Kyai Nagasasra dan Sabuk Inten dari Gunung Tidar.
Untunglah bahwa pada saat itu Titis Anganten datang menolongnya, sehingga kekuatan
aji Sima Rodra yang dinamainya Macan Liwung itu dapat dipunahkan. Dan keadannya
kini pun sudah tidak memerlukan pertolongan orang lain. Karena itu, selagi ia
berkesempatan, segera ia mengatur jalan pernafasannya baik-baik, memusatkan segenap
pancaindra dan pikirannya.

Diangkatnya satu kakinya, satu tangannya bersilang dada dan tangannya yang lain
diangkatnya tinggi-tinggi seperti akan menggapai langit.

DEMIKIANLAH, pada saat yang tegang itu terdengarlah bibir Mahesa Jenar bergumam,
”Dengan Nama Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang, tiada kekuasaan dan tiada
kekuatan kecuali dari Tuhan yang Maha Kuasa dan Maha Besar.”

Pada saat itulah ia melihat Sima Rodra itu meloncat dengan kecepatan dan kekuatan
yang tak dapat dikira-kirakan. Mahesa Jenar berusaha untuk tidak membenturkan diri
dengan kekuatan aji Macan Luwung itu. Dengan lincahnya ia meloncat selangkah ke
kanan, kemudian dengan satu putaran ia menghindari serangan Sima Rodra. Sima Rodra
yang telah melancarkan kekuatan yang tiada taranya, dengan kecepatan yang luar biasa
pula, menjadi kehilangan daya tahannya untuk menarik serangannya.

Ia terdorong selangkah ke depan, ketika pada saat yang bersamaan Mahesa Jenar
berputar lagi untuk kemudian dengan garangnya meloncat ke arah Harimau yang telah
menjadi gila itu. Semuanya itu terjadi hanya dalam waktu yang sangat singkat.

Nagapasa meluncur seperti seekor naga yang mematuk mangsanya secepat tatit, sedang
tak ada sekejap mata kemudian, Sima Rodra menerkam pula seperti seekor Harimau gila,
secepat petir menyambar. Ki Ageng Sora Dipayana, Ki Ageng Pandan Alas, Titis
Anganten dan Lembu Sora beserta Sawung Sariti, demikian juga Arya Salaka, hanya
sempat melihat betapa dua orang, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara bersikap serupa.
Kedua-duanya sedang menyalurkan aji yang sama dengan cara yang sama, Sasra Birawa.
Meskipun persamaan itu telah menimbulkan suatu teka-teki pada mereka, dan bahkan
tokoh-tokoh sakti dari golongan hitam, namun mereka tidak sempat menebak-nebak lagi,
ketika mereka melihat apa yang terjadi kemudian.

Ternyata Kebo Kanigara sama sekali tidak berusaha untuk menghindar. Dengan tatag
dan penuh kepercayaan kepada diri, ia membenturkan aji Sasra Birawa melawan aji
Nagapasa, sedang di lain pihak Mahesa Jenar telah menghemat tenaganya dan melakukan
suatu tindakan yang pasti, menghindari benturan dengan aji Macan Liwung, namun
dengan pasti ia berputar satu kali dan mengayunkan ajiannya Sasra Birawa.
Dalam keadaan yang demikian Sima Rodra hanya mampu untuk bertahan. Tetapi apa
yang terjadi benar-benar telah menggoncangkan setiap dada mereka yang menyaksikan.
Dua benturan yang hampir bersamaan disusul dengan bunyi yang gemuruh dua kali
berturut-turut. Kemudian apa yang mereka saksikan hampir-hampir tak dapat dipercaya.

Nagapasa, seorang yang sakti tanpa banding di sekitar pulau Nusakambangan, bahkan
yang tak terkalahkan oleh setiap tokoh sakti yang manapun dari golongan hitam maupun
lawan-lawan mereka, kini terbanting diam. Meskipun tak sempat semenitpun tampak luka
pada kulitnya, namun isi dadanya serasa hangus terbakar. Karena itu, Nagapasa tidak
usah mengaduh untuk kedua kalinya. Naga Laut yang mengerikan itu mati di tangan
Kebo Kanigara, orang yang sama sekali tak dikenal, baik oleh golongan hitam, maupun
oleh para pemimpin Banyubiru dan Pamingit.

Sedang tidak jauh darinya, Sima Rodra mengaum dahsyat, sekali ia menggeliat,
kemudian diam untuk selama-lamanya. Mati. Untuk beberapa saat, semua orang yang
menyaksikan peristiwa itu terpaku di tempatnya.

Lembu Sora dan Sawung Sariti tak begitu jelas melihat apa yang terjadi. Yang
diketahuinya kemudian adalah sorak-sorai yang membahana seperti benteng runtuh.
Sayup-sayup terdengar di antara gemersik angin senja, laskar Banyubiru berteriak-teriak,
”Nagapasa mati, Nagapasa mati...!” Kemudian disusul, ”Sima Rodra mati, Sima Rodra
mati...”

Teriakan-teriakan itu benar-benar hampir tak dipercaya. Bagaimana mungkin Nagapasa


dapat mati, dan Sima Rodra tua dari Lodaya itu pula. Apakah Mahesa Jenar dan
sahabatnya itu mampu membunuh mereka? Tetapi sorak itu masih mengumandang terus.
Bahkan kemudian menjalar hampir ke segenap daerah pertempuran. Namun
bagaimanapun juga berita itu sangat meragukan. Bahkan, Ki Ageng Sora Dipayana, Ki
Ageng Pandan Alas dan Titis Anganten, yang beruntung dapat melihat peristiwa itupun,
meragukan penglihatannya. Mereka saling memandang satu sama lain. Kemudian mereka
mengangguk-anggukkan kepala mereka dengan penuh kekaguman dan keheranan.

”Suatu keajaiban,” desis Sora Dipayana. Tokoh-tokoh sakti itu terpaksa menahan gelora
perasaan mereka yang melonjak-lonjak. Meskipun ia telah menempa diri, serta sejak ia
melihat untuk pertama kali atas orang yang bernama Kebo Kanigara itu, sudah terasa
padanya betapa besar pengaruhnya terhadap Mahesa Jenar, namun sama sekali tak
diduganya bahwa Kebo Kanigara itupun memiliki ilmu keturunan Pengging yang
gemilang.

Bahkan sedemikian sempurnanya sehingga timbullah keraguan di dalam hatinya, bahwa


orang itu adalah murid Ki Ageng Pengging Sepuh, sebaya dengan mereka. Sedang orang
yang bernama Kebo Kanigara itu ternyata, sebagaimana terbukti, telah berhasil
membunuh Nagapasa dalam suatu benturan ilmu.

Dengan demikian dapatlah ditarik suatu kesimpulan, bahwa orang itu pasti memiliki
kesempurnaan Sasra Birawa lebih dahsyat daripada Ki Ageng Pengging Sepuh yang
perkasa. Sebab seandainya Ki Ageng Pengging Sepuh masih ada di antara mereka dalam
tatarannya, dan membenturkan diri melawan Nagapasa, belum dapat diambil suatu
kepastian bahwa ilmu Sasra Birawa itu akan dapat mengatasi, apalagi sampai membunuh
Nagapasa. Tetapi disamping itu, Mahesa Jenar pun ternyata dapat membunuh Sima
Rodra, pada saat Sima Rodra telah siap melawan Sasra Birawa yang diayunkannya.

Seandainya Mahesa Jenar telah berhasil menyusul kesempurnaan gurunya sekalipun,


Sima Rodra itu pasti tidak akan mati. Namun adalah suatu kenyataan. Nagapasa dan Sima
Rodra mati hampir pada saat yang bersamaan karena aji yang sama, Sasra Birawa. ”Dari
manakah anak-anak muda itu mendapat kedahsyatan dan kesempurnaan ilmunya?”
gumam Titis Anganten.

LEMBU SORA, setelah mendapat suatu kepastian tentang kematian Nagapasa dan Sima
Rodra, menjadi gemetar. Bulu-bulu tengkuknya serentak berdiri. Terasa betapa
punggungnya meremang.

Hampir saja ia terlibat dalam perkelahian melawan Mahesa Jenar, bahkan sampai
terulang beberapa kali. Dahulu ia tidak dapat mengalahkannya. Meskipun kemudian
ilmunya berkembang dengan pesat, namun apakah ia dapat berhadapan melawan Sima
Rodra...? Sedang Mahesa Jenar itu telah berhasil membunuh Harimau Lodaya itu. Dan
seandainya Sasra Birawa itu dikenakan pada tengkuknya, apakah kira-kira yang akan
terjadi? Mungkin lehernya akan patah, bahkan mungkin kepalanya akan terlontar dan
pecah berserak-serakan.

Diam-diam Lembu Sora mengucap syukur, dan sekaligus ia benar-benar tenggelam


dalam perasaan kagum dan hormat. Meskipun Mahesa Jenar telah memiliki kedahsyatan
ilmu Sasra Birawa, namun ia selalu menghindari bentrokan dengan dirinya. Benar-benar
suatu sikap yang jarang ditemuinya. Sesaat kemudian, di antara derai sorak-sorai laskar
Banyubiru, kembali terdengar dentang senjata beradu. Laskar Banyubiru menjadi
bertambah berani dan berbesar hati, sedang sebaliknya di laskar golongan hitam menjadi
ngeri. Dua tokoh sakti dari antara mereka telah mati. Dan kematian dua orang itu benar-
benar mempengaruhi keseimbangan pertempuran. Pasingsingan, Bugel Kaliki dan Sura
Sarunggi harus berpikir untuk kesekian kalinya. Meskipun lawan-lawan mereka tak akan
dapat membunuhnya dengan mudah, tetapi bagaimanakah kalau tiba-tiba Kebo Kanigara
atau Mahesa Jenar datang mendekat? Tokoh-tokoh sakti dari golongan hitam menjadi
gelisah.

Apalagi Jaka Soka. Sama sekali tak dimengertinya apa yang sebenarnya terjadi. Gurunya
yang diagung-agungkan selama ini, mati di tangan orang yang tak bernama. Alangkah
anehnya dunia ini. Ia menyesal bahwa gurunya melibatkan diri dalam persoalan ini. Atas
permintaannya. Gurunya, yang jarang-jarang menampakkan diri, terpaksa menyeberangi
selat Nusakambangan. Tetapi itupun bukan salahnya, sebab ternyata Lawa Ijo, Sima
Rodra Gunung Tidar, Uling Rawa Pening pun telah membawa guru mereka masing-
masing. Sehingga apabila kemudian mereka memperoleh kemenangan akan terdesaklah
dirinya, apalagi gurunya tidak ada di sampingnya. Tetapi kini gurunya itu sudah tidak ada
lagi. Karena itu hatinya menjadi kecut. Apapun yang terjadi, maka ia akan mengalami
kekalahan. Kemenangan golongan hitampun sama sekali tak berarti baginya. Sebab
kemenangan itu pasti akan dimiliki oleh Lawa Ijo dan Pasingsingan atau Sura Sarunggi,
bahkan mungkin Bugel Kaliki. Ia hanya dapat mengharap embun yang menetes dari
langit, apabila tokoh-tokoh sakti itu dalam pertentangan kemudian menjadi sampyuh.

Tetapi itu mustahil terjadi. Yang mungkin terjadi, mereka akan membagi kemenangan.
Dan Nusakambangan akan dipencilkan. Karena itu, Jaka Soka telah kehilangan nafsunya
untuk bertempur terus. Ia kini tinggal mempertahankan dirinya supaya tidak mati. Ketika
ia memandang langit yang telah hampir kehilangan cahayanya, ia menjadi gembira. Ia
tidak mau meninggalkan medan hanya karena keseganannya kepada kawan-kawannya.
Atau tuduhan-tuduhan lain yang semakin menyulitkan kedudukannya. Dalam pada itu,
matahari beredar terus. Ketika tokoh-tokoh sakti dari keduabelah pihak terlibat kembali
dalam pertempuran, warna-warna yang kelam mewarnai lembah-lembah yang cekung.
Perlahan-lahan warna itu merayapi tebing semakin tinggi. Angin pegunungan yang sejuk
terasa silirnya mengusap tubuh.

Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara yang telah kehilangan lawannya tidak segera berbuat
sesuatu. Mereka masih diam dan tegak di tempat masing-masing. Namun di daerah
sekitar mereka benar-benar telah menjadi sepi. Orang-orang dari Laskar golongan hitam,
jauh-jauh telah menyingkir dari kedua orang yang luar biasa itu. Akhirnya malampun
datang merebut waktu. Medan itu menjadi semakin gelap.

Dan mereka yang bertempur telah kehilangan pengamatan atas kawan dan lawan. Karena
itu, terdengarlah sebuah tengara atas perintah sasmita dari Ki Ageng Sora Dipayana.
Ketika sangkalala itu berbunyi, laskar Banyubiru dan Pamingit segera mempersiapkan
diri mereka untuk menghentikan peperangan. Mereka tidak lagi mengambil kesempatan-
kesempatan untuk menyerang, namun mereka tidak mau diserang dalam keadaan yang
demikian. Tetapi agaknya golongan hitam itupun benar-benar telah kehilangan semangat
mereka. Demikian mereka mendengar bunyi sangkalala, yang meskipun mereka tahu,
bahwa tanda itu diberikan oleh pimpinan laskar lawannya, namun dengan serta merta
mereka berloncatan mundur dan dengan serta merta pula pertempuran itu berhenti.
Laskar golongan hitam itu segera menarik diri. Seperti juga mereka datang, mereka pergi
demikian saja tanpa ikatan satu sama lain. Seolah-olah mereka tidak terdiri dari satu
pasukan yang baru saja bertempur. Tetapi seolah-olah mereka adalah rombongan orang
yang pulang nonton tayub dan menjadi mabuk tuak. Berbondong-bondong dengan
langkah gontai, mereka meninggalkan medan.

SATU-DUA orang mencoba menolong kawan-kawan mereka yang luka dan


memapahnya. Tetapi kebanyakan dari mereka sama sekali tidak ambil pusing kepada
mereka yang terpaksa berjalan sambil merintih-rintih, bahkan hampir merangkak-rangkak
sekalipun. Apalagi mereka yang terluka dan parah terbaring di bekas daerah pertempuran
itupun sama sekali tidak mendapat perhatian. Telah menjadi kebiasaan mereka, laskar
golongan hitam, untuk menjaga diri masing-masing. Bahkan untuk kepentingan rahasia
mereka, sama sekali mereka tidak segan membunuh kawan sendiri. Berbeda dengan
laskar Pamingit dan Banyubiru. Segera mereka berkumpul dalam kelompok masing-
masing.

Pemimpin-pemimpin kelompok yang tetap hidup segera menghitung laskar mereka,


sedang yang terpaksa gugur atau terluka, segera ditunjuk gantinya. Mereka segera
membentuk kelompok-kelompok yang mendapat tugas khusus, merawat kawan-kawan
mereka yang terluka dan gugur dimedan perjuangan menegakkan hak atas tanah mereka.
Bahkan tugas mereka melimpah pula kepada kawan-kawan mereka yang parah.
Merekapun berhak mendapat pertolongan dan pengobatan atas luka-luka mereka.

Demikianlah medan pertempuran itu segera menjadi sepi. Beberapa orang dengan obor
di tangan menjalankan tugas mereka. Sedang orang-orang lain, dalam satu barisan yang
tertib kembali ke perkemahan di Pangrantunan. Mereka harus mempergunakan waktu
istirahat mereka sebaik-baiknya.

Besok mereka masih harus bertempur lagi. Mungkin mereka akan mendesak maju.
Mereka merasa bahwa keseimbangan pertempuran telah berubah. Bahkan mungkin besok
mereka telah dapat memasuki Pamingit. Ki Ageng Sora Dipayana, Ki Ageng Pandan
Alas dan Titis Anganten, demikian pertempuran selesai, segera pergi bergegas-gegas
menemui Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara.

Ketika mereka telah berdiri di hadapan kedua orang itu, tiba-tiba tanpa sengaja mereka
mengangguk hormat. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara menjadi kaku karenanya.
Merekapun segera menghormat tokoh-tokoh sakti yang sebaya dengan Ki Ageng
Pengging Sepuh itu.

Namun segera terdengar Ki Ageng Sora Dipayana berkata, ”Sungguh luar biasa. Angger
Mahesa Jenar dan Angger Putut Karang Jati. Kami orang-orang tua ini, agaknya telah
kehilangan daya pengamatan atas cahaya teja yang memancar dari tubuh Angger berdua.
Sebagaimana terbukti, bahwa Angger telah melakukan sesuatu yang tak dapat kami duga
sebelumnya karena rasa sombong di hati kami. Seolah-olah tak ada orang lain yang dapat
menyamai kesaktian-kesaktian kami. Ternyata bahwa Angger berdua memiliki kesaktian
jauh di atas kesaktian kami orang-orang tua yang tak tahu diri.”

Mahesa Jenar menjadi semakin kaku. Ia tidak pernah melihat sikap yang sedemikian
merendahkan diri dari tokoh-tokoh tua itu. Karena itu ia menjadi bingung, bagaimana ia
harus menjawab. Yang kemudian terdengar adalah jawab Kebo Kanigara, ”Ada
kekuasaan di atas, kekuasaan-Nya, dan berterima kasih kepada-Nya pula. Kami tidak
lebih hanyalah lantaran-lantaran yang ditunjuknya.”

Tokoh-tokoh sakti yang mendengar kata-kata Kebo Kanigara itu langsung tersentuh
hatinya. Sebagai orang-orang yang taat beribadah, mereka langsung dapat merasakan
betapa Tuhan mengulurkan Tangan-Nya untuk menolong umatnya.

Sementara itu, mereka yang mendapat tugas di bekas medan pertempuran itu
menjalankan pekerjaan mereka dengan tertib. Mereka berusaha meringankan setiap
penderitaan dari mereka yang terluka. Ki Ageng Sora Dipayana dan kawan-kawannyapun
mendahului kembali ke perkemahan bersama-sama dengan Mahesa Jenar dan Kebo
Kanigara. Tak banyak yang mereka percakapkan di sepanjang perjalanan itu. Namun di
dalam dada tokoh-tokoh sakti itu masih tetap tersimpan berbagai pertanyaan mengenai
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara. Pagi tadi mereka masih menyangka bahwa kedua
orang itu masih harus bertempur dalam perlindungan mereka dan laskar-laskar mereka.
Tetapi tiba-tiba suatu kenyataan, kedua orang itu memiliki kesaktian melampaui
kesaktian mereka sendiri.

Sampai perkemahan, segera Ki Ageng Sora Dipayana mengatur penjagaan dan


pengawasan atas daerah perkemahan mereka dan pengawasan atas daerah lawan.
Beberapa orang mendapat tugas untuk mengamat-amati perkemahan dan setiap gerak-
gerik dari laskar golongan hitam. Apapun yang mereka lakukan, para pengawas itu harus
memberikan laporan setiap saat dengan tertib. Ketika Ki Ageng Sora Dipayana kemudian
bersama-sama dengan Mahesa Jenar pergi membersihkan diri, sambil mengambil air
wudlu, dari celah-celah pintu rumah tempat peristirahatannya mereka melihat Lembu
Sora sedang sembahyang.

Mahesa Jenar berhenti pula ketika tiba-tiba Ki Ageng Sora Dipayana berhenti. Orang tua
itu melihat anaknya bersembahyang, seperti orang yang sedang mengagumi sesuatu.
Mahesa Jenar menjadi heran. Bukankah sembahyang itu harus dilakukan setiap hari,
bahkan lima kali dalam keadaan wajar? Bahkan orang tua itu kemudian bergumam,
”Tuhan telah menerangi hatinya.”

Mahesa Jenar menjadi semakin heran, maka bertanyalah ia, ”Bukankah sudah
seharusnya dilakukan, Ki Ageng?”

Ki Ageng Sora Dipayana menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya, ”Aku hampir saja
putus asa. Lembu Sora lebih senang mengadu ayam dan berjudi daripada mendekatkan
diri kepada Tuhan. Beberapa tahun terakhir, ia seolah-olah sudah lupa sama sekali akan
kewajiban itu. Syukurlah, kini ia telah menemukan jalannya. Tetapi...” kata-kata orang
tua itu terputus oleh tarikan nafasnya. ”Tetapi...”

Tidak dengan sengaja Mahesa Jenar mengulangi kata itu.

KI AGENG Sora Dipayana memandangi wajah Mahesa Jenar dengan mata yang suram.
Terasa ada sesuatu yang menghimpit hatinya. Tanpa menjawab pertanyaan Mahesa Jenar,
Ki Ageng Sora Dipayana melangkah kembali untuk membersihkan dirinya. Mahesa Jenar
pun tidak bertanya lebih lanjut. Ia mengikuti saja langkah orang tua itu sambil berdiam
diri.

Ketika mereka bertemu dengan Arya Salaka, Ki Ageng Sora Dipayana bertanya, ”Dari
mana kau Arya?”

Arya berhenti, kemudian ia menjawab, ”Sesuci Eyang.” Orang tua itu mengangguk-
anggukkan kepalanya.
Katanya, ”Bagus. Di mana adikmu Sawung Sariti?” Arya Salaka menggeleng-gelengkan
kepalanya, jawabnya, ”Aku tidak melihatnya, Eyang. Barangkali ia bersama-sama Paman
Lembu Sora.”

”Kalau kau bertemu dengan anak itu nanti, berilah ia beberapa petunjuk. Ajaklah ia
kembali kepada Yang Maha Kuasa,” pinta orang tua itu.

”Baiklah Eyang,” jawab Arya. Kemudian Ki Ageng Sora Dipayana dan Mahesa Jenar
pergi pula ke pancuran dari sumber air di bawah pohon beringin tua.

”Angger Mahesa Jenar agaknya beruntung dapat membawa Arya Salaka ke jalan yang
gemilang, lahir dan batin. Tanpa keseimbangan itu, maka yang terjadi adalah
kekecewaan,” gumam Ki Ageng Sora Dipayana. Karena itulah segera Mahesa Jenar
mengerti, bahwa Ki Ageng Sora Dipayana sedang mencemaskan nasib cucunya, Sawung
Sariti. Malam itu, ketika semuanya telah selesai, Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan Arya
Salaka dengan nikmatnya menyuapi mulut masing-masing dengan nasi hangat dan
serundeng kelapa seperti pagi tadi.

Namun meskipun demikian, karena letih dan lapar, maka terasa seolah-olah hidangan
yang dimakannya itu adalah hidangan yang seenak-enaknya. Mereka duduk-duduk di
antara laskar mereka, di sekeliling perapian untuk menghangatkan diri. Beberapa kali
terdengar suara Bantaran, Penjawi, Jaladri dan beberapa orang lain tertawa ketika ia
mendengar Sendang Papat berceritera.

Anak itu memang pandai berkelekar. Namun lambat laun suara tertawa merekapun
semakin jarang dan lambat. Kemudian mereka tidak dapat menahan kantuk mereka.
Diatas anyaman daun kelapa mereka merebahkan diri. Tidur sambil memeluk senjata
masing-masing. Arya Salaka kemudian tertidur pula. Begitu nyenyaknya dibuai oleh
mimpi yang segar. Ketika Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara akan merebahkan dirinya
pula, mereka dikejutkan oleh langkah seseorang mendekati mereka.

Ketika mereka menoleh dilihatnya Lembu Sora datang kepada mereka. Mahesa Jenar
dan Kebo Kanigara bangkit, sambil mempersilahkan, ”Marilah Ki Ageng.”

Lembu Sora mengangguk hormat dengan tulusnya. Berbeda dengan saat-saat yang
lampau. Kemudian merekapun duduk pula didekat perapian yang masih menyala-nyala
itu. ”Adi Mahesa Jenar dan Kakang Putut Karang Jati...” Ki Ageng Lembu Sora mulai,
”Aku memerlukan datang kepada kalian berdua untuk memohon maaf atas segala
kekhilafan yang pernah aku lakukan, lebih-lebih kepada Adi Mahesa Jenar dan apabila
aku masih sempat untuk bertemu karena kepalaku tidak terpenggal pedang Jaka Soka
besok pagi, aku akan bersujud pula di bawah kaki Kakang Gajah Sora. Betapa besar dosa
yang telah aku lakukan. Atas ayah Sora Dipayana, Kakang Gajah Sora dan lebih-lebih
lagi atas Pamingit dan Banyubiru.”

Hati Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara tergetar mendengar pengakuan itu, dan terasa
betapa ikhlasnya Lembu Sora memandang kepada diri sendiri. Udara malam terasa
dingin, namun kehangatan yang dilemparkan oleh perapian di samping mereka terasa
betapa nyamannya. Sebelum Mahesa Jenar menjawab, Lembu Sora meneruskan, ”Dalam
keadaan-keadaan yang sulit seperti apa yang aku alami sekarang, baru dapat aku lihat,
betapa noda-noda telah melekat pada masa lampau itu. Mudah-mudahan aku belum
terlambat.”

Lembu Sora diam sesaat menelan ludah yang seolah-olah menyumbat kerongkongan.
”Tetapi Kakang, apabila besok aku terbunuh dalam mempertahankan tanah ini, biarlah
Kakang menyampaikan rasa penyesalanku kepada Kakang Gajah Sora kelak.”

”Tak ada kelambatan untuk menyatakan kesalahan diri,” sahut Mahesa Jenar. ”Meskipun
aku belum lama berkenalan, namun aku tahu bahwa dada Kakang Gajah Sora adalah
seluas samodra. Karena itu, kalau Ki Ageng menyatakan penyesalan diri dengan ikhlas,
maka Kakang Gajah Sora pun pasti akan memaafkannya.”

”Ya...” Lembu Sora menjawab, ”Aku tahu itu. Aku sadar betapa Kakang Gajah Sora
memanjakan aku sejak masa kanak-kanak kami. Tetapi apa yang aku lakukan telah
melampaui batas. Aku telah sampai pada usaha untuk membunuhnya atau
meniadakannya. Bahkan membunuh anaknya yang tak mengetahui sama sekali persoalan
di antara kami. Syukurlah bahwa Tuhan membebaskan aku dari pembunuhan-
pembunuhan itu.”

”Hal itu tidak akan mengurangi kelapangan dada Kakang Gajah Sora,” kata Mahesa
Jenar seperti kepada anak-anak yang betapa miskin jiwanya dalam menanggapi hidup dan
kehidupan.”

”Tetapi kalau aku tidak sempat karena aku terbunuh...?” Lembu Sora bertanya benar-
benar seperti orang yang sedemikian bodohnya.

”Tidak,” jawab Mahesa Jenar, ”Meskipun hidup dan mati berada di tangan Tuhan,
namun berdoalah agar Tuhan menyelamatkan Ki Ageng Lembu Sora. Saat ini Kakang
berada di pihak yang benar. Karena itulah maka kami dan Arya Salaka bersedia berdiri di
pihak Ki Ageng. Dan karena itu pula Tuhan akan melimpahkan rahmat-Nya.”

LEMBU SORA terdiam. Matanya yang muram, merenungi api yang sedang menjilat-
jilat ke udara dengan lincahnya. Tetapi di dalam nyala yang seolah-olah menari- nari itu
dilihatnya betapa kelam masa-masa lampau yang pernah dijalaninya. Ketamakan,
kebencian, pemanjaan nafsu lahiriah, dan segala macam sifat-sifat yang tercela.
Dilihatnya betapa dirinya duduk di atas singgasana Demak, dengan Kyai Nagasasra di
tangan kanan dan Kyai Sabuk Inten di tangan kiri. Sedang kakinya beralaskan bangkai Ki
Ageng Gajah Sora dan Arya Salaka, dan sekitarnya berserak-serakanlah bangkai-bangkai
orang Banyubiru. Pandan Kuning, Sawungrana dan lain-lain.

Tiba-tiba ia menjadi ngeri pada gambaran cita-citanya waktu itu. Dengan tanpa disengaja
maka kedua tangannya diangkatnya menutupi wajahnya. Akhirnya wajah itu tertunduk
lesu.
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara mengetahui betapa rasa penyesalan bergolak di dalam
dada Ki Ageng Lembu Sora. Betapa ia mengutuki dirinya sendiri yang telah tersesat
terlalu jauh. Untunglah bahwa akhirnya ditemukannya jalan kembali.

Untuk sesaat suasana dicekam oleh kesepian. Malam menjadi semakin dalam dan sepi.
Namun terasa di sana sini para pengawas dan para penjaga bekerja dengan tekunnya. Di
tangan mereka terletak tanggungjawab atas keselamatan perkemahan Pangrantunan.
Sebab tidaklah mustahil laskar golongan hitam itu menyerang mereka pada malam hari
ketika mereka sedang nyenyak tertidur.

Tiba-tiba Arya Salaka menggeliat. Ketika ia membuka matanya, ia melihat pamannya


Lembu Sora duduk bersama-sama dengan gurunya dan Kebo Kanigara. Karena itu iapun
segera bangkit dan duduk pula. Lembu Sora melihat Arya bangun dekat di sampingnya.
Tiba-tiba terasa betapa hatinya bergelora. Dan tiba-tiba pula dengan serta merta diraihnya
kepala anak muda itu seperti masa anak-anak dahulu.

”Arya...” desisnya, ”Maafkan pamanmu.” Arya pun merasa betapa hatinya bergetar
mendengar kata-kata pamannya. Karena itulah maka mulutnya menjadi seolah-olah
terkunci. Namun hatinya berkata, ”Aku akan berusaha melupakannya, Paman.”
Kemudian ketika kepala itu dilepaskan, mata Arya menjadi panas. Seolah-olah ada yang
berdesakan hendak meloncat keluar. Karena itulah maka ditengadahkan kepalanya ke
langit. Sedang Ki Ageng Lembu Sora pun menarik nafas dalam-dalam.

Kembali suasana terlempar ke dalam heningnya malam. Dan kembali Lembu Sora
berangan-angan. Kini yang bergolak di dalam hatinya adalah anaknya, Sawung Sariti. Ia
menyesal telah membawa anak itu lewat jalan yang penuh dengan noda dan dosa.
Apalagi ketika ia sadar bahwa sampai saat ini anak itu masih tetap dalam pendiriannya.
Karena itu kemudian ia berkata, ”Arya, di manakah adikmu?”

Arya memalingkan kepalanya. Ia mendengar pertanyaan yang serupa dari eyangnya tadi.
Maka iapun menjawab, ”Aku tidak tahu, Paman. Tadi eyangpun menanyakan Adi
Sawung Sariti. Aku kira Adi bersama-sama dengan Paman.”

Kembali penyesalan melonjak-lonjak di dalam dadanya. Pasti anak itu pergi dengan
Galunggung. Seorang yang sama sekali tidak mempunyai harga diri dan kesopanan dalam
tata pergaulan manusia. Tetapi kembali Lembu Sora menimpakan kesalahan pada diri
sendiri. ”Mudah-mudahan ia terbentur pada kenyataan ini seperti aku sendiri,” gumam
Lembu Sora, lebih-lebih ditujukan kepada dirinya sendiri.

Kemudian kepada Arya Salaka ia berkata, ”Arya, adikmu telah terlampau jauh tersesat
seperti aku. Namun aku masih dapat melihat kenyataan ini. Mudah-mudahan Sawung
Sariti pun demikian. Dapatkah kau membantu aku membawanya kembali ke jalan yang
benar?”

”Mudah-mudahan, Paman,” jawab Arya, meskipun ia tidak tahu apa yang harus
dilakukan. Ia merasa adik sepupunya itu sedemikian membencinya, jauh lebih dalam
daripada pamannya itu sendiri. Namun demikian ia berjanji untuk berusaha. Dalam pada
itu, tiba-tiba datanglah Wulungan. Dengan heran ia melihat Mahesa Jenar, Kebo
Kanigara dan Arya Salaka masih enak-enak duduk di situ. Apakah ia belum mendengar
laporan yang disampaikan oleh beberapa orang pengawas? Tetapi karena persoalannya
sedemikian penting, maka Wulunganpun tidak segan- segan menanyakannya.

Maka iapun kemudian duduk pula di samping perapian itu sambil bertanya kepada
Mahesa Jenar, ”Tuan, apakah Tuan telah mendengar laporan para pengawas?”

Mahesa Jenar mengerutkan keningnya. ”Belum Wulungan,” jawabnya. ”Laporan tentang


apa?” ”Ataukah laporan ini disampaikan kepada Ki Ageng Sora Dipayana? Namun
meskipun demikian, Ki Ageng Sora Dipayana pasti segera memberitahukan kepada Tuan
dan Angger Arya Salaka,” sambung Wulungan.

”Penting sekalikah laporan itu?” tanya Arya.

”Ya, sangat penting bagi Angger,” jawab Wulungan. ”Kalau demikian...” ia


melanjutkan, ”Biarlah aku panggil orang itu.”

Wulungan segera berdiri dan berjalan dengan tergesa-gesa. Yang ditinggalkan di tepi
perapian itupun bertanya-tanya di dalam hati. Sesaat kemudian Wulungan kembali
bersama seorang pengawas dari Pamingit.

Diajaknya orang itu duduk pula, dan berkatalah ia, ”Inilah orang yang menyampaikan
laporan itu, Tuan.”

Lembu Sora memandangi orang itu dengan seksama. Kemudian berkatalah ia,
”Katakanlah apa yang kau lihat?”

Orang itupun mengingsar duduknya. Kepada Ki Ageng Lembu Sora ia berkata, ”Aku
adalah salah seorang yang mendapat tugas untuk mengawasi perkemahan laskar golongan
hitam. Aku telah melaporkan segala sesuatu kepada Angger Sawung Sariti dan Kakang
Galunggung.”

Wulungan tiba-tiba mengangkat dadanya sambil menarik nafas dalam-dalam. Pasti ada
sesuatu yang tidak pada tempatnya.

Laporan itu tidak diteruskan kepada Arya Salaka, Mahesa Jenar atau Ki Ageng Sora
Dipayana.

LEMBU SORA mengerutkan keningnya. Seperti Wulungan, ia dapat menduga kelicikan


anaknya. Namun sekali lagi dadanya dihantam oleh kegelisahan, penyesalan yang tiada
taranya. Seolah-olah terdengar suara berdesing ditelinganya. ”Kau jangan salah, Lembu
Sora. Anak itu memang kau didik demikian.”
”Di mana Sawung Sariti dan Galunggung itu?” tanya Lembu Sora menggeram. ”Aku
temui mereka di pojok teras. Mereka baru saja keluar dari rumah Kakang Badra Klenteng
Pangrantunan,” sahut orang itu.

”Apa kerjanya di sana?” Tiba-tiba mata Lembu Sora terbelalak. Orang itu menundukkan
kepalanya. Tetapi ia tidak menjawab. Karena orang itu tidak menjawab, Lembu Sora
mendesaknya, ”He, apa kerjanya di sana?”

Wulungan memalingkan wajahnya ke arah api yang memercik dengan riangnya.


Kebenciannya kepada anak kepala daerah perdikannya itu tiba-tiba semakin menyala
seperti nyala api yang dipandangnya itu. Badra Klenteng adalah orang yang sekotor-
kotornya di Pangrantunan.

Di rumahnya ada dua tiga orang gadis. Bukan gadis, tetapi yang disebutnya gadis penari.
Penari tayub yang terkenal. Bukan terkenal karena keindahannya menari, tetapi terkenal
karena keberaniannya menari. Menari dalam tataran yang melanggar tata kesopanan dan
kepribadian.

Kepala pengawas itupun menjadi semakin tunduk. Ia tahu apa yang harus dikatakan.
Tetapi mulutnya terkunci. Sehingga dengan demikian ia tetap berdiam diri. Akhirnya
terdengar Lembu Sora menggeram, ”Bagus, jangan kau katakan kepadaku sekarang apa
yang dikerjakan oleh anak itu. Terkutuklah mereka. Aku tidak tahu kemana mukaku aku
sembunyikan kalau Adi Mahesa Jenar, Kakang Putut Karang Jati dan Arya Salaka tahu
apa yang dikerjakan di sana. Tetapi apakah laporan itu?”

”Belumkah Angger Sawung Sariti menyampaikannya?” tanya pengawas itu. Lembu Sora
menggelengkan kepalanya.

”Belum.” ”Agak terlambat,” katanya. ”Aku telah melihat beberapa waktu yang lalu.”

”Ya, apakah itu?” desak Arya Salaka tidak sabar. ”Aku lihat serombongan kecil orang-
orang berkuda meninggalkan perkemahan mereka. Mereka menuju ke utara,” jawabnya.
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara tersentak. Mereka mendesak maju sambil bertanya,
”Siapakah mereka?”

”Tidak jelas. Tetapi mereka menuju ke jalan ke Banyubiru,” jawabnya.

”He...!” Arya hampir berteriak. ”Kau tahu benar?” ”Aku mengikuti beberapa langkah,”
jawabnya. ”Karena itu aku yakin mereka pergi ke Banyubiru. Di simpang tiga Banjar
Gede, mereka membelok ke timur.”

”Pasti ke Banyubiru,” desis Arya.

”Akupun pasti,” sahut pengawas itu, ”Tetapi aku tidak dapat mengikutinya terus. Ketika
salah seekor kuda mereka berhenti, akupun berhenti pula. Agaknya salah seorang telah
melihat aku. Sehingga ketika kudanya berputar, akupun memacu kudaku pula
meninggalkan mereka. Untunglah kudaku agak lebih baik sehingga aku tak ditangkapnya.
Sehingga akhirnya aku sampai pada gardu penjagaan. Aku tidak tahu apa yang dikerjakan
oleh pengejarku itu. Namun aku kemudian langsung melaporkan peristiwa itu kepada
Angger Sawung Sariti dan Kakang Galunggung.”

”Gila,” desah Lembu Sora. ”Sawung Sariti dan Galunggung tidak menyampaikan itu
kepadaku, kepada ayah Sora Dipayana atau kepada Kakang Mahesa Jenar.”

”Wulungan...” tiba-tiba Lembu Sora berteriak, ”panggil mereka!”

Wulungan yang menjadi marah pula di dalam hati, segera bangkit. ”Baik Ki Ageng,”
jawabnya. Dan iapun kemudian hilang di dalam gelap.

”Siapakah mereka itu?” tanya Arya Salaka.

”Aku tidak tahu,” jawab orang itu. ”Tetapi aku kira salah seorang di antaranya adalah
orang yang berjubah abu-abu.”

”Pasingsingan...?” desis mereka bersamaan Tiba-tiba meloncatlah Arya Salaka dari


tempat duduknya. Tanpa berkata apapun juga ia berlari kencang-kencang.

”Arya...” panggil Mahesa Jenar, ”Apa yang akan kau lakukan?”

”Kuda!” Hanya kata-kata itulah yang meloncat dari bibirnya. Mahesa Jenar yang tahu
betapa watak muridnya itupun kemudian berdiri pula sambil berkata kepada Ki Ageng
Lembu Sora, ”Adi, tolong sampaikan kepada Ki Ageng Sora Dipayana, kami mendahului
perintah supaya tidak terlalu lambat.”

Kebo Kanigara kemudian berdiri pula. Ia tidak sampai hati melepaskan Arya Salaka
berdua dengan Mahesa Jenar saja. Kalau di dalam rombongan Pasingsingan itu ada Bugel
Kaliki dan Sura Sarunggi, maka celakalah Arya Salaka.

Mahesa Jenar sendiri mungkin dapat mempertahankan dirinya beberapa lama meskipun
ia harus berhadapan dengan dua tokoh hitam itu sekaligus, namun bagaimana dengan
Arya? Karena itu ia berkata, ”Mahesa Jenar, aku pergi bersamamu.”

”Baiklah Kakang,” jawab Mahesa Jenar singkat. Iapun sadar akan bahaya yang setiap
saat dapat mengancam keselamatan muridnya. Justru pada taraf terakhir dari
perjuangannya. (Bersambung)-m

Serial Bersambung 04 November 2000 Diambil Dari Harian Kedaulatan Rakyat-


Yogyakarta NAGASASRA DAN SABUK INTEN Karya SH. Mintarja No. 610

BANTARAN, Penjawi, Jaladri dan Sendang Papat telah terbangun pula. Dengan gelisah
ia bertanya, ”Ada apa Tuan-tuan?”
”Aku akan pergi sebentar, Bantaran. Jagalah laskar baik-baik. Tempatkan dirimu
langsung di bawah perintah Ki Ageng Sora Dipayana apabila besok pagi-pagi aku belum
kembali,” kata Mahesa Jenar dengan tergesa-gesa. Ia tidak sempat memberi banyak
penjelasan. ”Aku titipkan laskar Banyubiru kepadamu Ki Ageng,” katanya kepada
Lembu Sora.

”Baik Adi,” jawab Lembu Sora. ”Tetapi tidakkah Adi perlu membawa pasukan?”

”Tidak,” sahut Mahesa Jenar, ”Di Banyubiru masih ada separo laskar Arya Salaka.”
Lembu Sora mengangguk sambil berdiri. Ia tidak sempat berkata-kata lagi. Mahesa Jenar
dan Kebo Kanigara dengan tergesa-gesa berjalan mengikuti jalan yang dilewati Arya tadi.
Mereka tahu benar ke mana muridnya itu pergi. Arya pasti pergi ke tempat kuda-kuda
dipersiapkan. Mereka masih dapat melihat Arya melarikan kudanya seperti angin.
Dengan demikian, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara segera meloncat ke punggung kuda-
kuda yang mereka anggap cukup baik. Para penjaga kuda itu memandang mereka dengan
heran.

Yang mereka dengar hanyalah kata-kata Arya tadi, ”Aku ambil seekor.” Lalu anak itu
pergi dengan cepatnya. Sekarang mereka melihat Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara pun
mengambil masing-masing kuda dengan tergesa-gesa. ”Apa yang terjadi Tuan?” tanya
seorang penjaga. ”Tidak apa-apa,” jawab Mahesa Jenar, ”Kami sedang berlatih berpacu
kuda.”

Penjaga itu tersenyum. Tetapi ia tidak percaya. Meskipun demikian ia tidak bertanya-
tanya lagi. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara pun segera memacu kudanya. Suara derap
kakinya berdetak-detak memecah kesepian malam. Beberapa orang yang mendengar
suara derap kaki kuda itupun terkejut.

Namun mereka tidak sempat bertanya, apakah dan kemanakah mereka pergi. Meskipun
demikian, mereka terpaksa meraba-raba senjata-senjata mereka, kalau-kalau ada hal-hal
yang penting akan terjadi di perkemahan itu.

Sementara itu dengan geram Lembu Sora berjalan ke tempat peristirahatan ayahnya. Ia
benar-benar marah kepada Sawung Sariti dan Galunggung. Karena perbuatan mereka itu,
telah membuka kemungkinan terjadinya peristiwa-peristiwa yang mengerikan.
Sedangkan Bantaran, Jaladri, Penjawi dan Sendang Papat beserta beberapa orang
Banyubiru yang lain bertanya-tanya dalam hati pula.

Mereka mendengar dari Ki Ageng Lembu Sora apa yang terjadi. Tetapi mereka tidak
diperkenankan meninggalkan laskar mereka. Karena itu merekapun menjadi gelisah.
Apakah yang akan terjadi di Banyubiru. Namun mereka menjadi agak tenang ketika
mereka sadar bahwa di Banyubiru masih ada Wanamerta, Ki Dalang Mantingan,
Wirasaba dan separo dari laskar Banyubiru. Mudah-mudahan mereka dapat mengatasi
kesulitan yang akan timbul.

Ketika Ki Ageng Lembu Sora sampai ke tempat Ki Ageng Sora Dipayana dilihatnya
Sawung Sariti dan Galunggung telah berada di sana. Dengan wajah yang merah, ia masuk
ke ruangan itu sambil menggeram, ”Apa kerjamu Sawung Sariti?”

Sawung Sariti menoleh kepada ayahnya. Ia terkejut. Belum pernah ia melihat mata
ayahnya memancarkan sinar yang demikian kepadanya. ”Mungkin ayah sedang marah
kepada seseorang,” pikirnya.

Tetapi ternyata Lembu Sora itu memandangnya terus seperti hendak menelannya hidup-
hidup.

”Duduklah Lembu Sora,” ayahnya mempersilahkan. ”Sawung Sariti sedang


menyampaikan kabar yang aku kira penting.”

Lembu Sora duduk di samping ayahnya, namun pandangan matanya masih saja melekat
kepada anaknya.

”Terlambat,” geram Lembu Sora. ”Apa yang terlambat Lembu Sora?” tanya Ki Ageng
Sora Dipayana. ”Kabar itu,” jawab Lembu Sora. ”Mungkin sesuatu telah terjadi sekarang
di Banyubiru. Pembunuhan dan pembalasan dendam.”

”Sabarlah,” potong ayahnya, Apakah yang sebenarnya terjadi?”

”Apa yang disampaikan oleh Sawung Sariti?” Lembu Sora ganti bertanya. ”Tokoh-tokoh
sakti dari golongan hitam telah meninggalkan perkemahan mereka,” jawab ayahnya.

”Ke mana?” desak Lembu Sora.

”Ke mana...?” ulang Ki Ageng Sora Dipayana. Sawung Sariti dan Galunggung menjadi
bingung.

Agaknya Ki Ageng Lembu Sora telah mengetahui apa yang terjadi. Sejenak mereka
saling berpandangan. Tetapi mereka terkejut ketika Lembu Sora membentaknya sambil
berdiri, ”Kemana? Tidakkah kau sampaikan laporan itu selengkapnya setelah kau ulur
waktu hampir seperempat malam supaya segala sesuatu menjadi semakin jelek?”

Sawung Sariti menjadi bertambah bingung. Adakah ayahnya bersungguh-sungguh,


ataukah ayahnya hanya ingin menghilangkan kesan bahwa ayahnya akan berterima kasih
kepadanya. Tetapi tiba-tiba ayahnya bersikap lain.

Namun Sawung Sariti adalah anak yang cerdik. Ia tidak kehilangan akal. Karena itu ia
menjawab, ”Aku belum selesai ayah. Aku baru menyampaikan sebagian.” ”Berapa lama
kau perlukan waktu untuk menyampaikan laporan yang dapat kau ucapkan dengan
beberapa kalimat saja?” bentak ayahnya.

”Sudahlah Lembu Sora.” Ki Ageng Sora menengahi, ”Biarlah anakmu meneruskan


laporannya. Memang ia belum lama datang kepadaku.”
Tetapi kemarahan Lembu Sora telah memenuhi dadanya. Kemarahan yang bercampur-
baur dengan penyesalan dan perasaan yang menekan hatinya. Karena itu ia berkata lagi,
”Jadi kau belum lama menghadap eyangmu?”

Sawung Sariti tidak tahu maksud ayahnya, karena itu ia menjawab, ”Ya ayah.”

”Ke mana kau selama ini?” desak Lembu Sora.

SAWUNG SARITI menjadi ragu. Ia tidak berani berkata kepada ayahnya, dari mana ia
pergi, karena ada eyangnya. Biasanya ia tidak perlu berahasia kepada ayahnya, tetapi
terhadap eyangnya, Sawung Sariti tidak berani berterus terang. Karena itu tanpa
disengaja ia berpaling kepada Galunggung, seakan-akan minta supaya Galunggung
menjawab pertanyaan ayahnya itu. Ternyata Galunggungpun mengerti pula, karena itu ia
menjawab, ”Kami dari nganglang daerah medan, Ki Ageng.”

”Medan mana?” Lembu Sora mendesak terus.

Galunggung pun menjadi ragu. Kenapa Ki Ageng Lembu Sora tidak seperti biasa. Pada
saat-saat lampau ia tidak pernah mengurus ke mana ia pergi, dan apa saja yang dilakukan.

Tiba-tiba seperti disambar petir Sawung Sariti mendengar ayahnya berteriak, ”Kau pergi
ke rumah Badra Klenteng kan...?”

Ki Ageng Sora Dipayana mengerutkan keningnya, seperti mimpi ia mendengar kata-kata


Lembu Sora tentang cucunya itu. Mulut Sawung Sariti tiba-tiba seperti terkunci. Ayahnya
benar-benar marah kepadanya. Tidak kepada orang lain. Kemarahan yang belum pernah
dialaminya.

Namun Galunggung tiba-tiba berkata membela diri, ”Tidak, Ki Ageng. Siapakah yang
mengatakan?” Mata Lembu Sora bertambah menyala, ”Kau mau bohong Galunggung.
Kau kira aku tidak tahu?” ”Demi Allah,” sahut Galunggung, tetapi ia tidak sempat
melanjutkan kata-katanya, karena tiba-tiba Ki Ageng Lembu Sora meloncat dengan
garangnya, dan menampar mulut Galunggung sambil berteriak, ”Jangan sebut kata-kata
itu. Mulutmu terlalu kotor untuk mengucapkannya.”

Galunggung terdorong ke samping. Hampir saja ia jatuh kalau tubuhnya tidak


membentur dinding. Ketika ia berusaha tegak kembali, terasa cairan yang hangat meleleh
dari mulutnya. Darah merah menyala, seperti kemarahan yang menyala di dalam
dadanya. Tetapi ia tidak berani berbuat sesuatu. ”Lembu Sora...” Ki Ageng Sora
Dipayana memanggil anaknya, ”Duduklah. Biarlah aku bertanya kepada mereka.”

Nafas Lembu Sora menjadi semakin memburu. Tetapi ia duduk pula di samping
ayahnya. Sawung Sariti sama sekali tidak berani menatap wajah ayahnya, apalagi
eyangnya yang telah mendengar bahwa ia baru saja pergi ke rumah Badra Klenteng.
Tiba-tiba merayaplah dendam dadanya kepada orang yang menjumpainya waktu itu.
Pengawas yang melaporkan peristiwa orang-orang golongan hitam itu. Demikian juga
Galunggung. Berkatalah di dalam hatinya, ”Kalau aku temui orang itu, aku sobek
mulutnya dan akan aku kubur ia hidup-hidup.”

Ketika Galunggung pun telah duduk kembali dan mengusap darah yang meleleh dari
mulutnya dengan lengan bajunya, terdengar Ki Ageng Sora Dipayana berkata sareh,
”Sudahlah Lembu Sora, segala sesuatu bukanlah terjadi dengan tiba-tiba. Apalagi watak
dan kelakuan. Sekarang tenangkan hatimu. Hari masih panjang. Mudah-mudahan aku
mengalami masa-masa yang cerah. Masa-masa yang cerah bukan bagiku sendiri, tetapi
bagimu, bagi cucuku Sawung Sariti, dan bagi cucuku Arya Salaka. Kesempatan untuk
membersihkan diri masih terbuka, apalagi bagi anak semuda cucuku Sawung Sariti.”

Lembu Sora menundukkan wajahnya. Sekali lagi ia terlempar pada kenyataan akan
kesalahan diri. Penyesalan yang memukul-mukul dinding hatinya menjadi semakin deras.
”Nah, Sawung Sariti...” Ki Ageng Sora Dipayana melanjutkan, ”Apakah yang kau
katakan tentang orang-orang dari golongan hitam itu?”

Sawung Sariti mengangkat wajahnya, namun segera tertunduk kembali. Perlahan-lahan


terdengar ia berkata dengan suara yang gemetar penuh dendam kepada pengawas yang
telah melaporkan keadaan, ”Orang-orang dari golongan hitam itu pergi ke Banyubiru,
Eyang.”

Ki Ageng Sora Dipayana terkejut. ”Ke Banyubiru?” ulangnya.

”Ya,” jawab Sawung Sariti yang kemudian mengulangi laporan yang didengarnya dari
pengawas itu. ”Kapan kau dengar laporan itu?” tanya Ki Ageng Sora Dipayana.
”Beberapa saat yang lalu,” jawab Sawung Sariti.

”Kenapa baru sekarang kau sampaikan kepada eyangmu?” bentak Lembu Sora. Sawung
Sariti tidak menjawab. Galunggung pun tidak. Tetapi seperti berjanji mereka berteriak di
dalam hati, ”Mati kau pengawas gila.”

Ki Ageng Sora Dipayana menjadi gelisah. Kemudian kepada Sawung Sariti ia berkata,
”Panggillah kakakmu Arya Salaka.”

Sawung Sariti ragu sebentar, kemudian ia menjawab, ”Baiklah Eyang.” Sesaat kemudian
iapun berdiri, dan bersama-sama dengan Galunggung ia meninggalkan rumah itu. Ketika
mereka keluar dari pintu, mereka melihat Wulungan berdiri tegak dengan tangan
bersilang dada. Sawung Sariti berhenti sejenak, kemudian ia bertanya, ”Kau lihat Kakang
Arya?” Wulungan menggelengkan kepala. ”Tidak Angger.” Kemudian Sawung Sariti
melangkah pula dengan tergesa-gesa. Galunggung sama sekali tidak mengucapkan
sepatah katapun. Ketika mereka telah menjauh, Wulungan pun pergi di belakang mereka.
Di dalam perkemahan itu Lembu Sora berkata, ”Tak akan dijumpai Arya di sini.”
Ki Ageng Sora Dipayana mengerutkan keningnya. Sambil menoleh kepada anaknya ia
bertanya, ”Kenapa?” ”Arya telah pergi ke Banyubiru belum lama,” jawab Lembu Sora.

”He...?” Ki Ageng Sora Dipayana terkejut.

”Sendiri?”

”Tidak. Dengan Adi Mahesa Jenar dan Kakang Putut Karang Jati,” sahut Lembu Sora.
”Mengapa?” tanya ayahnya pula.

”Ia sudah tahu apa yang terjadi,” jawab Lembu Sora.

KI AGENG Sora Dipayana mengangguk-anggukkan kepalanya perlahan-lahan.


Kemudian ia bertanya pula, ”Dari mana anak itu mendengar?”

”Langsung dari pengawas itu,” jawab Lembu Sora. Diceriterakannya apa yang
diketahuinya mengenai pengawas itu, serta kelambatan Sawung Sariti. Diceriterakannya
pula bagaimana Arya Salaka langsung meloncat ke kandang kuda dengan tombaknya
dalam genggaman. ”Anak itu sadar akan tanggungjawabnya,” desis kakeknya.

”Namun sayang ia terlalu tergesa-gesa. Bukankah yang pergi ke Banyubiru itu


Pasingsingan? Untunglah Anakmas Mahesa Jenar dan anak Putut Karangjati
mengetahuinya, sehingga mereka segera menyusul.”

Kepada ayahnya, Lembu Sora menyampaikan pesan Mahesa Jenar, bahwa mereka
terpaksa mendahului perintah.

”Mereka tahu benar apa yang harus mereka lakukan,” gumam Ki Ageng Sora Dipayana.
”Mereka orang-orang yang memiliki firasat dan daya pengamatan melampaui kami
semuanya di sini. Bahkan mereka adalah orang-orang sakti yang tak ada bandingnya di
antara kita.”

”Sayang, laporan yang sampai kepada mereka agak terlambat,” desah Lembu Sora.

”Mudah-mudahan segala sesuatu tidak menjadi lebih buruk karena pokal anakku.

Arya dan Banyubiru telah banyak mengalami kesusahan dan kerusakan karena pamrih
yang berlebih-lebihan, dan apakah sekarang harus mengalami bencana yang lebih dahsyat
lagi?”

”Tenanglah Lembu Sora,” ayahnya menenangkan. ”Mahesa Jenar dan Putut Karangjati
akan dapat melakukan pekerjaannya dengan baik. Sekarang beristirahatlah. Kita belum
tahu apa yang harus kita lakukan besok pagi. Suruhlah Sawung Sariti beristirahat pula.
Demikian juga seluruh laskarmu. Malam tinggal setengahnya lagi. Ki Ageng Pandan
Alas dan Titis agaknya telah tidur nyenyak pula.”
”Baiklah ayah,” jawab Lembu Sora sambil berdiri. Kemudian iapun melangkah pergi ke
pondoknya untuk beristirahat, meskipun kepalanya masih dipenuhi oleh penyesalan yang
melonjak-lonjak. Setiap ia berusaha melupakan, setiap kali dadanya bergetar, kenapa
bayang-bayang masa lampaunya datang berturut-turut. Namun demikian ia berusaha
untuk beristirahat dengan merebahkan dirinya di atas bale-bale bambu yang direntangi
tikar mendong.

Pada saat yang bersamaan, Sawung Sariti sedang mondar-mandir mencari Arya Salaka.
Namun sebenarnya yang ingin dijumpainya pertama-tama adalah pengawal yang
dianggapnya tumbak-cucukan itu, yang suka melaporkan kesalahan orang lain. Sawung
Sariti dan Galunggung sama sekali tidak menyesalkan perbuatan mereka, tetapi mereka
menyesalkan pengawas itu. Ketika tiba-tiba mereka melihat pengawas itu duduk
bersandar batang nyiur di antara kawan-kawannya yang berbaring tidur, Sawung Sariti
menggeram, ”Jahanam.” Ia mengumpat. Kemudian dengan satu loncatan ia telah berdiri
di hadapan pengawas itu sambil membentak, ”He bangsat kau masih di sini?”

Pengawas itu terkejut, sehingga ia meloncat berdiri. ”Kenapa kau tidak kembali ke
tugasmu?” bentak Sawung Sariti. ”Seseorang telah menggantikan tugasku,” jawab orang
itu kecemasan. ”Bohong!” sanggah Sawung Sariti.

Orang itu menjadi bingung. ”Benar angger,” jawabnya. ”Aku telah bebas dari tugasku
itu.”

”Ha, agaknya kau lebih senang di sini. Mengadu domba antara aku dengan Kakang Arya
Salaka,” bentak Sawung Sariti. Orang itu mula-mula tidak mengerti maksud Sawung
Sariti itu. Tetapi kemudian disadarinya apa yang terjadi. Sawung Sariti agaknya menjadi
marah kepadanya, karena ia telah berkata sebenarnya kepada Ki Ageng Lembu Sora.
Mungkin Ki Ageng Lembu Sora itu telah memarahinya. Karena itu ia berkata, ”Angger,
jangan menyalahkan aku kalau aku terpaksa mengatakan apa yang aku lihat demi
kewajibanku.”

”Pandainya tikus ini,” potong Sawung Sariti. ”Kau bisa berkata hijau atas warna merah,
dan kau bisa berkata merah atas warna hijau.”

Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Apa yang harus dikatakan? Ia menjadi semakin
cemas ketika tiba-tiba Galunggung melangkah maju dengan mata yang menyala-nyala.
Katanya, ”Lihatlah, karena mulutmu yang lancang itu, aku ditampar oleh Ki Ageng
Lembu Sora.”

Pengawas itu masih tetap berdiam diri. Beberapa orang kawan-kawannya menjadi
terbangun karenanya. Tetapi tak seorangpun yang berani mencampurinya. Tiba-tiba
Galunggung itu berkata, ”Ikuti aku.”

”Ke mana?” orang itu menjadi ketakutan. ”Ikuti aku!” bentak Galunggung.

Orang itu tidak berani membantah lagi. Ia berjalan saja di belakang Galunggung dan di

Anda mungkin juga menyukai