Buku 2 PKN
Buku 2 PKN
HUKUM KEWARGANEGARAAN
DAN KEPENDUDUKAN
Penyusun
I Nengah Suantra, S.H., M.H.
Made Nurmawati, S.H., M.H.
Ni Made Ari Yuliartini Griadhi, S.H.,M.H.
Nyoman Mas Aryani, S.H.,M.H.
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat karunia-
Nya, Buku Ajar Hukum Kewarganegaraan dan Kependudukan berhasil diselesaikan.
Buku Ajar ini merupakan hasil Revisi dari penggabungan block book Tahun 2012
dan Buku Ajar Tahun 2006 yang dimaksudkan untuk memperbaiki format,
mereformulasi jenis-jenis tugas serta pemutahiran substansi dan referensi. Buku
Ajar mata kuliah Hukum Kewarganegaraan dan Kependudukan ini dimaksudkan
sebagai buku pedoman pelaksanaan proses pembelajaran, baik untuk mahasiswa
maupun bagi dosen dan tutor, sehingga diharapkan pelaksanaan perkuliahan
berjalan sesuai dengan rencana dan jadwal yang ditentukan di dalam Buku Ajar.
Substansi Buku Ajar meliputi identitas mata kuliah, tim pengajar, deskripsi
mata kuliah, organisasi materi, metode dan strategi pembelajaran, tugas-tugas,
ujian-ujian, penilaian, dan bahan bacaan. Selain itu terdapat pula kegiatan
pembelajaran yang dilakukan pada setiap pertemuan berdasarkan pada jadwal
kegiatan pembelajaran. Buku Ajar ini dilengkapi dengan Kontrak Perkuliahan dan
Satuan Acara Perkulianan yang ditempatkan pada lampiran.
Dengan selesainya revisi ini, sepatutnya diucapkan terima kasih yang tulus
kepada:
1. Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana dan para Pembantu Dekan yang
telah berkomitmen dan konsisten untuk menerapkan metode problem based
learning dalam proses pembelajaran, sehingga setiap mata kuliah diupayakan
memiliki pegangan berupa block book dan buku ajar sebagaisalah satu reader.
2. Para pihak yang telah membantu penyelesaian buku ajar ini
Akhirnya, mohon maaf atas segala kekurangan dan kelemahan pada buku
ajar ini. Semoga bermanfaat terhadap pelaksanaan pembelajaran dan mencapai
hasil sesuai dengan kompetensi yang direncanakan.
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................................ii
DAFTAR ISI ............................................................................................................... iii
I IDENTITAS MATA KULIAH................................................................................ 1
II DESKRIPSI SUBSTANSI PERKULIAHAN......................................................... 1
III. CAPAIAN PEMBELAJARAN .............................................................................. 2
IV. MANFAAT MATA KULIAH ................................................................................. 2
V. PERSYARATAN MENGIKUTI MATA KULIAH ................................................... 3
VI. ORGANISASI MATERI ...................................................................................... 3
VII METODE, STRATEGI, DAN PELAKSANAAN PROSES PEMBELAJARAN ...... 4
VIII. TUGAS-TUGAS .................................................................................................. 5
IX. UJIAN-UJIAN DAN PENILAIAN ......................................................................... 5
X. BAHAN PUSTAKA ............................................................................................. 6
XI JADWAL PERKULIAHAN .................................................................................. 9
iii
2. Tugas: Discussion Task – Study Task ................................................................ 52
3. Penutup .............................................................................................................. 52
iv
PERTEMUAN XII: TUTORIAL KE-7 PENGERTIAN KEPENDUDUKAN,
PENGATURAN DAN PENDAFTARAN PENDUDUK ............................................... 88
1. Pendahuluan ....................................................................................................... 88
2. Tugas: Problem Task .......................................................................................... 89
3. Penutup .............................................................................................................. 89
Bahan Pustaka ......................................................................................................... 89
v
I IDENTITAS MATA KULIAH
1
III. CAPAIAN PEMBELAJARAN
2
V. PERSYARATAN MENGIKUTI MATA KULIAH
Materi kuliah terdiri dari beberapa pokok bahasan dan sub pokok bahasan,
yang dapat digambarkan secara sistematis, sebagai berikut :
1. Dasar-dasar Hukum Kewarganegaraan dan Kependudukan:
a. Peristilahan dalam Hukum Kewarganegaraan
b. Pengertian dan ruang lingkup Hukum Kewarganegaraan dan Kependudukan
c. Asas-asas Kewarganegaraan
2. Sejarah Hukum Kewarganegaraan :
a. Masa antara 1850-1892
b. Masa 1892-Kemerdekaan
c. Masa setelah kemerdekaan
3. Pengaturan Kewarganegaraan di Indonesia :
a. Prinsip-prinsip umum kewarganegaraan
b. Siapakah warga negara Indonesia
c. Cara-cara memperoleh kewarganegaraan
d. Cara-cara kehilangan kewarganegaraan
4. Diaspora
3
a. Pengertian Diaspora
b. Kewarganegaraan Diaspora
5. Kewarganegaraan dan Perkawinan Campuran:
a. Kewarganegaraan perempuan dalam perkawinan campuran
b. Kewarganegaraan anak dalam perkawinan campuran
c. Kewarganegaraan anak akibat putusnya perkawinan campuran
6. Kependudukan:
a. Pengertian Kependudukan
b. Pengaturan Kependudukan
c. Hak dan Kewajiban Penduduk
VIII. TUGAS-TUGAS
Ujian-ujian terdiri dari ujian tertulis dalam bentuk essay dalam masa tengah
semester dan akhir semester. Ujian tengah semester (UTS) dapat diberikan pada
saat tutorial atas materi perkuliahan nomor 1 dan 2. UTS dapat diganti dengan
menggunakan nilai tutorial 1, 2, 3 dan 4 dari perkuliahan 1 dan 2. Sedangkan ujian
akhir semester ( UAS ) dilakukan atas materi perkuliahan 3 dan 4 serta tutorial 5, 6,
7 dan 8 yang dilakukan pada pertemuan ke-15. Ujian dapat dilakukan secara lisan
jika memenuhi persyaratan pelaksanaan ujian lisan yang ditentukan dalam
Peraturan Akademik Fakultas Hukum Universitas Udayana.
Penilaian meliputi aspek hard skills dan aspek soft skills. Penilaian hard skill
dilakukan melalui tugas-tugas (TT), UTS, dan UAS. Penilaian soft skill meliputi
penilaian atas kehadiran, keaktifan, kemampuan presentasi, penguasaan materi,
argumentasi, disiplin, etika dan moral berdasarkan pada pengamatan dalam tatap
muka selama perkuliahan dan tutorial. Nilai soft skill ini merupakan nilai tutorial yang
dijadikan sebagai nilai tugas. Nilai Akhir Semester (NA) diperhitungkan
menggunakan rumus seperti pada Buku Pedoman Pendidikan FH UNUD 2013,
yaitu:
(UTS + TT ) + 2 (UAS)
2
NA =
3
5
Sistem penilaian mempergunakan skala 5 (0-4) dengan rincian dan
kesetaraan sebagai berikut:
X. BAHAN PUSTAKA
Bahan hukum yang digunakan dalam buku ajar ini terdiri dari Bahan Hukum
Primer dan Bahan Hukum Sekunder yang digunakan sebagai referensi dalam
perkuliahan. Bahan Hukum Primer, yaitu:
1. Indonesia, 2005, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, Sekretariat Jenderal MPR RI, Jakarta.
6
8. _______, Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI tentang Tata Cara Pendaftaran
Untuk Memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia Berdasarkan
Pasal 41 dan Memperoleh Kembali Kewarganegaraan Republik Indonesia
Berdasarkan Pasal 42 UU No. 12 Tahun 2006, Permen Hukum dan HAM
No. M.01.HL.03.01 Tahun 2006.
10. _______, Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI tentang Tata Cara Pendaftaran,
Pencatatan, dan Pemberian Fasilitas Keimigrasian Sebagai Warga Negara
Indonesia yang Berkewarganegaraan Ganda, Permen Hukum dan HAM RI
Nomor M. 80-HL.04.01 Tahun 2007.
5. Frans H Winata, 2007, Jalan Panjang Menjadi WNI, Cetakan 1, Penerbit Buku
Kompas, Jakarta.
6. FX Aji Samekto, 2009, Negara Dalam Dimensi Hukum Internasional, Cetakan ke-
1, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.
7
10. Hendarmin Ranadireksa, 2007, Arsitektur Konstitusi Demokratik, Cetakan
Pertama, Fokusmedia, Bandung.
11. Jimly Assidiqie, 2006, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Cetakan Pertama,
Sekretariat Jendral dan Kepanitraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta.
14. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, 1983, Pengantar Hukum Tata Negara, Sastra
Hudaya,Jakarta.
15. Kusnardi dan Bintan R Saragih, 1994, Ilmu Negara, Media Gaya
Pratama,Jakarta.
18. Suantra, 2006, Made Nurmawati, Buku Ajar Hukum Kewarganegaraan dan
Kependudukan, Fakultas Hukum Universitas Udayana.
19. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1995,
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, Departemen Pebndidikan
dan Kebudayaan Balai Pustaka, Jakarta.
20. Wahyu Effendi (Tjoa Jiu Tie), Prasetyadi, 2008, Tionghoa dalam Cengkraman
SBKRI, Cetakan pertama, Visimedia, Jakarta.
23. http://lisasuroso.wordpress.com/2007/09/12/benang-kusut-masalah-
kewarganegaraan/. 5 Oktober 2008.
8
XI JADWAL PERKULIAHAN
9
PERTEMUAN I: PERKULIAHAN KESATU
DASAR-DASAR HUKUM KEWARGANEGARAAN DAN KEPENDUDUKAN
1. Pendahuluan
Pada pertemuan pertama perkuliahan disajikan dasar-dasar Hukum
Kewarganegaraan dan Kependudukan. Bahan kajian ini memberikan pemahaman
kepada mahasiswa mengenai hakikat Hukum Kewarganegaraan dan
Kependudukan. Paparan materi diawali dengan pemahaman atas peristilahan dan
konsep-konsep; kemudian diberikan penekanan mengenai urgensi status
kewarganegaraan serta pengertian dan ruang lingkup Hukum Kewarganegaraan dan
Kepdendudukan. Selain itu, dideskripsikan juga substansi yang fundamental yaitu
asas-asas kewarganegaraan dan sejarah Hukum Kewarganegaraan dan
Kependudukan.
Capaian pembelajaran yang diharapkan dari pertemuan perkuliahan pertama
adalah mahasiswa mampu menguraikan mengenai peristilahan, pengertian, asas-
asas dan sejarah Hukum Kewarganegaraan dan Kependudukan. Selain itu,
mahasiswa dengan rasa tanggung jawab, jujur dan demokratis mendiskusikan
konsep-konsep, prinsi-prinsip, stelsel (sistem), ruang lingkup, dan asas-asas dalam
Hukum Kewarganegaraan dan Kependudukan.
Materi perkuliahan Dasar-dasar Hukum Kewarganegaraan dan
Kependudukan ini sangat penting dipahami untuk memudahkan mahasiswa dalam
menyelesaikan tugas-tugas tutorial dalam pertemuan kedua dan ketiga. Selain itu
juga menghindari terjadinya pengulangan penjelasan terhadap konsep-konsep yang
berulang kali diketemukan dalam bahan kajian pada perkuliahan kedua, ketiga dan
keempat.
1
Pasal 1: The State as a person of international law should possess the following qualifications:
(a) a permanent population; (b) a defined territory; (c) a government; and (d) a capacity to enter into
relation with other States. Dalam kaitan ini, Bagir Manan menyatakan bahwa warga negara
10
maka suatu negara tidak akan terbentuk. Sebaliknya, meskipun ada penduduk tetap,
akan tetapi tanpa adanya wilayah tertentu, pemerintahan dan kemampuan untuk
mengadakan hubungan dengan Negara lain sebagai unsur yang lain, maka negara
itu tidak akan ada. Jadi keempat unsur itu merupakan unsur konstitutif sebagai
persyaratan bagi terbentuknya suatu negara. Penduduk sebagai warga negara akan
memiliki hak dan kewajiban yang berbeda dengan mereka yang disebut orang asing
sebagai penduduk suatu negara. Bagi warganegara, mereka akan mempunyai hak
dan kewajiban penuh di bidang sipil maupun politik sebagaimana diatur dalam
peraturan perundang-undangan. Sementara itu, orang asing dalam kapasitas
sebagai penduduk suatu negara hanya memiliki hak dan kewajiban yang terbatas.
Hukum positif suatu negara membatasi hak dan kewajiban mereka di bidang hukum
privat dan hukum publik, pun di bidang politik. Di Indonesia, sesuaui dengan
peraturan perundang-undangan, orang asing tidak dapat mengklaim hak milik atas
tanah. Pasal 21 UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok
Agraria menentukan bahwa “hanya warga negara Indonesia yang dapat mempunyai
hak milik.” Selanjutnya pada ayat (3) dan (4) ditentukan bahwa, sesudah berlakunya
UU ini, orang asing yang memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau
percampuran harta karena perkawinan, dan Warganegara Indonesia yang
mempunyai hak milik tetapi kehilangan kewarganegaraanya sebagai akibat
berlakunya UU ini wajib melepaskan hak itu dalam jangka waktu satu tahun sejak
diperolehnya hak tersebut atau hilangnya kewarganegaraan itu. Kemudian
ditentukan lagi bahwa, jika sesudah jangka waktu tersebut lampau tetapi hak milik itu
tidak dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh pada
negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap
berlangsung. Warga Negara Indonesia yang memiliki kewarganegaraan asing,
selama berstatus kewarganegaraan ganda tersebut tidak dapat mempunyai tanah
dengan hak milik dan baginya berlaku ketentuan pada ayat 3 tersebut.
Warga Negara Indonesia memiliki hak dan kewajiban yang berbeda dengan
orang asing penduduk Indonesia. Berbagai peraturan perundang-undangan
menentukan hak dan kewajiban eksklusif bagi Warga Negara Indonesia, yang tidak
dapat dimiliki oleh orang asing penduduk Indonesia. Hak-hak eksklusif tersebut
merupakan unsur konstitutif keberadaan (eksistensi) negara. Namun terhadap Konvensi Montevideo
dinyatakan bahwa ditinjau dari perspektif nasional dan kenyataan, Konvensi itu tidaklah begitu
penting untuk keberadaan sebuah negara. Lihat: Bagir Manan, Hukum Kewarganegaraan Indonesia
dalam UU No. 12 Tahun 2006, Cetakan pertama, FH UII Press, Yogyakarta, 2009, hlm. 1-3.
11
antara lain: hak untuk memilih atau dipilih sebagai anggota badan perwakilan di
pusat maupun di daerah, sebagai presiden atau wakil presiden, diangkat menjadi
menteri atau pejabat negara lainnya, menjadi aparatur sipil negara (ASN) atau
anggota angkatan bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dan kepolisian negara
Republik Indonesia (POLRI) dan sector-sektor ekonomi yang hanya dimiliki oleh
Warga Negara Indonesia2
Selain UU No. 5 Tahun 1960 tersebut di atas, masih ada peraturan
perundang-undangan yang menentukan adanya larangan dan kewajiban bagi orang
asing di Indonesia. Misalnya larangan untuk melakukan pekerjaan apa pun dan
untuk mengikuti pendidikan tanpa adanya izin dari pemerintah Republik Indonesia,
kewajiban memiliki izin tinggal yang sah dan masih berlaku selama berada di
Indonesia dan kewajiban untuk membayar Pajak Orang Asing. Warga Negara asing
(orang asing) yang tinggal atau berniat tinggal di Indonesia lebih dari 183 hari dalam
satu tahun termasuk dalam pengertian wajib pajak orang pribadi dalam negeri,
sehingga atas penghasilan orang asing tersebut merupakan objek pajak penghasilan
(PPh) Pasal 21, kecuali terdapat Tax treaty yang mengatakan batasan 183 hari tidak
berlaku tetapi diatur tersendiri.
Siapakah yang dapat menjadi warganegara dari suatu negara? Hal itu
merupakan hak eksklusif masing-masing negara untuk menentukannya, karena
sepenuhnya merupakan yurisdiksi hukum nasional masing-masing negara namun
tidak boleh bertentangan dengan perjanjian internasional, hukum kebiasaan
internasional dan prinsip-prinsip hukum umum yang berkenaan dengan
kewarganegaraan.3
Istilah waganegara dan kewarganegaraan merupakan dua hal yang tidak
terpisahkan. Ada berbagai istilah terkait warganegara. Istilah Warga negara
merupakan terjemahan dari istilah Staatsburger (Belanda), Citizen (Inggris), dan
Citoyen (Prancis). Selain istilah warganegara juga ada istilah penduduk. Istilah
warga negara dan penduduk sering diartikan sama, padahal keduanya mempunyai
2
Saleh Wiramihardja, Perspektif Sejarah Hukum Kewarganegaraan Indonesia Perbandingan
dengan Hukum Kewarganegaraan di Beberapa Negara, Cetakan pertama, Direktorat Jenderal Imigrai
Departemen Hukum dan HAM Kerjasama dengan Forum Kajian Tematik Keimigrasian (FKTK),
Jakarta, 2008, hlm. 39.
3
IDG Palguna, makalah Doktrin “Genuine Link” Dalam Hukum Internasional Berkenaan dengan
Kewarganegaraan, Catatan dari Nottebohm Case (Liechtenstein v.Guatemala), disampaikan pada
Seminar Nasional Diaspora dan Dinamika Konsep Kewarganegaraan di Indonesia yang
diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Udayana bekerjasama dengan Indonesian
Diaspora Network, 14 Oktober 2014, hlm. 1.
12
arti yang berbeda. Warganegara adalah penduduk sebuah negara atau bangsa
yang berdasarkan keturunan, tempat kelahiran dan sebagainya yang mempunyai
kewajiban dan hak penuh sebagai seorang warga dari negara itu. Atau dengan kata
lain bahwa warga negara adalah pendukung atau anggota suatu negara.
Sedangkan Hector S. De Leon & Emilio E. Lugue J.R mengemukakan sebagai
berikut :“Citizen is a person having the title of citizenship. He is a member of
democratic community who enjoys full civil and political rights and accorded
protection inside and outside the territory of the state. Along with other citizens, they
compose the political community.”4
Pasal 1 angka 1 UU No 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik
Indonesia (selanjutnya ditulis UU No. 12 Tahun 2006) menentukan pengertian warga
negara adalah: “warga suatu negara yang ditetapkan berdasarkan peraturan
perundang-undangan.” Dengan demikian, tidak setiap orang dapat menjadi warga
negara suatu negara, melainkan hanya bagi mereka yang menenuhi persyaratan
sebagai warga negara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan
negara yang bersangkutan. Karena itu, tidak setiap penduduk dan rakyat Indonesia
berkedudukan sebagai warga negara Indonesia (selanjutnya ditulis WNI).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2009 Tentang
Kesejahteraan Sosial (Selanjutnya ditulis UU No. 11 Tahun 2009) dalam Pasal 1
angka 12 menentukan bahwa Warga Negara adalah warga negara Republik
Indonesia yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Dalam UU
itu, yang dimaksudkan dengan warga negara adalah WNI. Pertanyaannya adalah
apakah WNI? Dalam kaitan itu, Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Sosial Republik
Indonesia Nomor: 110/Huk/2009 tentang Persyaratan Pengangkatan Anak
(selanjutnya ditulis Permensos No. 110/Huk/2009) menentukan bahwa WNI adalah
orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan
dengan Undang-Undang sebagai warga negara. Definisi WNI seperti itu juga
ditentukan di dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24
Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006
tentang Administrasi Kependudukan (selanjutnya ditulis UU No. 24 Tahun 2013).
Sementara itu menurut Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim menyatakan
bahwa warga negara adalah rakyat yang menetap di suatu wilayah tertentu, dalam
4
BP.Paulus,Kewarganegaraan RI Ditinjau dari UUD 1945 Khususnya Kewarganegaraan
Tionghoa, Pradnya Paramita, Jakarta, 1983, hlm. 42.
13
hubungannya dengan negara tersebut.5 Sedangkan R.G. Kartasaputra menekankan
pada status rakyat sebagai warga negara dalam kaitannya dengan kewajiban untuk
patuh pada hukum (UUD). Dikatakan bahwa warga negara adalah sebagai orang-
orang yang berada dalam wilayah negara itu yang benar-benar tunduk dan
menjunjung tinggi UUD negara tersebut. Sedang orang-orang lainnya yang
bertempat tinggal di wilayah negara yang bersangkutan tetapi tidak tunduk kepada
UUD-nya adalah bukan rakyat dari negara itu.5 Jadi jelaslah bahwa, tidak setiap
rakyat dalam negara yang berstatus sebagai warga negara.
Usep Ranawijaya menyatakan bahwa rakyat adalah masyarakat kaula negara
yang mempunyai persamaan kedudukan sebagai objek pengaturan dan penataan
oleh negara dan mempunyai ikatan kesetiakawanan serta kesadaran sebagai
kesatuan dalam hubungan keorganisasian negara.6 Pengertian tersebut dapat
dipahami bahwa, kesetiakawanan dan kesadaran sebagai kesatuan menentukan
eksistensi rakyat. Rakyat merupakan pengertian sosiologis dari penduduk, yakni
sebagai sekumpulan manusia yang dipersatukan oleh suatu rasa persamaan dan
yang bersama-sama mendiami suatu sutu wilayah tertentu. Pengertian penduduk
akan diterangkan secara khusus di dalam pertemuan ke-11.
Ada beberapa prinsip penting terkait masalah kewarganegaraan yakni:
a. Sistim (Stelsel) Aktif dan Pasif.
Sistim (stelsel) aktif dan pasif merupakan dua cara untuk memperoleh dan
kehilangan kewarganegaraan. Stelsel Aktif, artinya bahwa seseorang dapat
memperoleh atau kehilangan kewarganegaraan suatu negara dengan cara ia harus
aktif melakukan suatu upaya-upaya hukum tertentu. Dalam hal ini seseorang secara
aktif mengajukan permohonan kepada negara untuk memperoleh atau menolak
suatu kewarganegaraan. Di sini negara bersifat pasif. Stelsel Pasif artinya bahwa
seseorang dapat memperoleh atau kehilangan kewarganegaraan tanpa melakukan
upaya-upaya hukum tertentu. Dalam hal ini negara bersifat aktif, yakni negara
mengeluarkan putusan yang menetapkan status hukum baru bagi seseorang,
dimana seseorang memperoleh atau kehilangan kewarganegaraan.
5
Kartasaputra, Sistimatika Hukum Tata Negara ,Bina Aksara, Jakarta, 1987, hlm.1.
6
Usep Ranawijaya, Hukum Tata Negara Indonesia Dasar-dasarnya, Ghalia Indonesi, Bandung,
1983, hlm.178.
14
b. Hak Opsi dan Hak Repudiasi.
Hak Opsi adalah hak seseorang untuk memilih atau menerima tawaran
kewarganegaraan dari suatu negara. Sedangkan Hak Repudiasi, adalah hak
seseorang untuk menolak tawaran kewarganegaraan oleh suatu negara. Kedua
jenis hak tersebut berkaitan dengan sistem aktif dan sistem pasif. Hak opsi dan hak
repudiasi merupakan hak untuk memilih satu di antara dua kewarganegaraan, hanya
saja yang satu bersifat positif, sedangkan yang lain bersifat negatif. Persetujuan
pembagian warga negara antara Republik Indonesia Serikat (RIS) dan Kerajaan
Belanda sebagai hasil dari Konferensi Meja Bundar (KMB), 27 Desember 1949
menggunakan stelsel aktif dengan hak opsi maupun stelsel pasif dengan hak
repudiasi.
15
diterima dalam sebagai asas dalam ekstradisi yaitu asas non extradition of
national.
f. Keberlakuan yurisdiksi hukum (pidana maupun lainnya).Misalnya dalam hal
yurisdiksi kriminal atau pidana.Hukum Pidana suatu negara berlaku terhadap
warganegaranya dimanapun ia berada. Ini dikenal dengan prinsip atau asas
nasional aktif.
5
Sudargo Gautama, Warga Negara dan Orang Asing, Alumni, Bandung, 1981, hlm.3.
6
Andi Mustari Pide, Pengantar Hukum Tata Negara, Gaya Media Pratama, Jakarta, 1999, hlm.
58.
16
Sutoprawiro,menegaskan bahwa Hukum Kewarganegaraan adalah seperangkat
kaidah yang mengatur tentang muncul dan berakhirnya hubungan antara negara
dan warganegara. Jadi Hukum Kewarganegaraan mempunyai pokok kajian tentang
cara memperoleh dan hilangnya kewarganegaraan7
7
Kurniatmanto Sutoprawiro, Op Cit, hlm..58.
8
BP. Paulus, 1983, Op. Cit. hlm. 26.
9
Ibid., hlm. 2.
17
5. Asas-asas Kewarganegaraan
Ada beberapa asas yang dapat dipakai sebagai dasar untuk menentukan
status kewarganegaraan seseorang. Suatu negara dengan yang lainnya adakalanya
tidak sama asas yang dipakai dalam menentukan status kewarganegaraan
warganya, hal itu tidak terlepas dari latar belakang dan letak suatu negara.
Kurniatmanto Sutoprawiro menyatakan bahwa asas kewarganegaraan adalah
pedoman dasar bagi suatu negara untuk menentukan siapakah yang menjadi warga
negaranya10
Dalam menentukan status kewarganegaraan maka secara umum ada dua
ukuran yang dipakai yaitu dari segi kelahiran dan dari segi perkawinan. UU No.12
Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan menentukan adanya asas-asas umum dan
asas khusus kewarganegaraan yang menjadi dasar untuk menentukan
kewarganegaraan seseorang.
10
Kurniatmanto Sutoprawiro, Op Cit, hlm. 109-112.
18
menganut asas ini adalah Amerika Serikat, Brazil, Argentina, Bolivia, Kamboja,
Kanada, Chili, Kolombia, Kosta Rika, Dominika, Ekuador, El Savador, Grenada,
Guatemala, Guyana, Honduras, Jamaika, Lesotho, Meksiko, Pakistan, Panama,
Paraguay, Peru, Uruguay, Venuzuela, dan lain-lain.
Asas Ius Sanguinis berasal dari kata “Ius” yang artinya hukum dan “
Sanguinis” yang berarti darah/keturunan. Jadi Ius Sanguinis,berarti bahwa
kewarganegaraan seseorang ditentukan berdasarkan keturunannya. Negara yang
menganut asas ini akan mengakui kewarganegaraan seorang anak sebagai warga
negaranya apabila orang tua dari anak tersebut adalah memiliki status
kewarganegaraan negara tersebut (dilihat dari keturunannya). Asas ini akan
berakbibat munculnya suatu negara dengan etnis yang majemuk. Contoh negara
yang menganut asas ini adalah negara-negara yang memiliki sejarah panjang
seperti negara-negara Eropa dan Asia. Contoh negara yang menganut asas ius
sanguinis misalnya: Brunai, Jordania, Malaysia, Belanda, Cina, Bulgaria, Belgia,
Replublik Ceko, Kroasia, Estonia, Finlandia, Jepang, Jerman, Yunani, Hongaria,
Islandia, India, Irlandia, Israel, Italia, Libanon, Filipina, Polandia, Portugal, Rumania,
Rusia, Rwanda, Serbia, Slovakia, Korea Selatan, Spanyol, Swedia, Turki, dan
Ukraina.
b. Dari segi Perkawinan.
19
Asas kewarganegaraan tunggal adalah asas yang menentukan satu
kewarganegaraan bagi setiap orang. Jadi, setiap warga negara hanya memiliki satu
kewarganegaraan, tidak bisa memiliki kewarganegaraan ganda atau lebih dari satu.
20
8. Asas publisitas adalah asas yang menentukan bahwa seseorang yang
memperoleh atau kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia
diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia agar masyarakat
mengetahuinya.
Jadi, pada asas kewarganegaraan khusus ini lebih membahas atau mengatur
berdasarkan hubungan timbal balik antara negara dan warga negaranya dalam hal
hak dan kewajiban di antara keduanya, seperti menjaga kedaulatan negara,
menjamin hak asasi manusia, dan sebagainya.
Perbedaan penggunaan asas-asas kewarganegaraan yang dianut oleh
negara yang satu dan negara yang lain dapat mengakibatkan seseorang tanpa
kewarganegaraan (apatride). Sebaliknya, bisa terjadi seseorang mempunyai
kewarganegaraan rangkap (bipatride), bahkan berkewarganegaraan banyak
(multipatride). Mengenai bipatride memang pada umumnya disebabkan oleh karena
perbedaan-perbedaan dalam peraturan kewarganegaraan berbagai negara. Namun
dapat pula terjadi karena persamaan peraturan kewarganegaraan.11
6. Sejarah Hukum Kewarganegaraan
11
Sudargo Gautama, Op Cit, hlm. 9.
21
Masalah kewarganegaraan di Belanda baru muncul pertama kali sekitar
Tahun 1814/1815, Berdasarkan Grondwet tahun 1838 dengan disusunnya
Nederlandsch Burgerlijke Wetboek (NBW). Menurut Pasal 5 NBW ditentukan bahwa
semua orang yang bertempat tinggal di Negeri Belanda dan koloninya berstatus
sebagai Nederlander (warga negara Belanda). Namun demikian status ini hanya
bersifat perdata, tidak membawa hak dan kewajiban publik sebagaimana status
warga negara umumnya.
Kemudian, baru pada tanggal 28 Juli 1850 diundangkan suatu wet yang
mengatur tentang Staatsrechtellijke Nederlanderschap (Stb. 1850 – 44) sebagai
pelaksanaan dari Pasal 7 Grondwet 1848. Pasal 1 Wet 1850 menentukan bahwa
“Warga Negara Belanda adalah mereka yang dilahirkan oleh orang tua yang
bertempat tinggal di Belanda”. Dengan demikian, maka timbul dualisme pengertian
tentang warga negara Belanda, yakni pengertian yang bersifat perdata yang diatur
dalam NBW, dan pengertian yang bersifat publik diatur dalam Wet 1850.
Sementara itu di Hindia Belanda pada Tahun 1847 pengaturan masalah
kependudukann berdasarkan pada Pasal 4 Algemene Bapalingen van Wetgeving
(AB), yang berlaku mulai tanggal 30 April 1847. Penduduk Hindia Belanda menurut
peraturan ini, terdiri atas :
22
109 Regerings Reglement (RR), yang merupakan konstitusi Hindia Belanda.
Penggolongan penduduk menurut RR sama dengan ketentuan dalam AB, hanya
sejak tanggal 1 Januari 1920 berdasarkan Stb.1907-205, istilah “yang
dipersamakan” tidak lagi digunakan, dan kriteria agama bukan lagi merupakan
ukuran satu-satunya. Pasal 106 menentukan bahwa “Penduduk Hindia Belanda,
kecuali pribumi adalah mereka yang tinggal di Hindia Belanda dengan seizin
pemerintah Hindia Belanda”.
Wet 1892 ini pada prinsipnya menganut asas ius sanguinis, tanpa
meninggalkan sama sekali asas ius soli, dimana asas ius soli dipakai sebagai
perkecualian guna menghindari terjadinya apatride.Dalam hal perkawinan Wet 1892
ini menganut asas kesatuan hukum, artinya bahwa wanita asing yang menikah
dengan pria Belanda dengan sendirinya akan menjadi warga negara Belanda (Pasal
5). Bahkan, setelah putusnya perkawinan, perempuan itu tetap berkewarganegaraan
Belanda. Kewarganegaraan Belanda tersebut dapat dilepaskan setelah satu tahun
perkawinan tersebut putus.
Selanjutnya pada tanggal 10 Februari 1910 diundangkan Wet op het
Nederladsch Onderdaanschap van Niet Nederlanders (Stb. Tahun 1910 No. 296),
atau yang terkenal dengan sebutan Wet 1910. Dalam Wet ini ditentukan bahwa yang
menjadi kaulanegara Belanda adalah ;
23
a. Mereka yang lahir di Hindia Belanda dari orang tua yang bertempat tinggal di
Hindia Belanda, atau dari seorang ibu yang bertempat tinggal di Hindia
Belanda apabila ayahnya tidak diketahui;
b. Mereka yang lahir di Hindia Belanda dari orang tua yang tidak diketahui;
c. Istri atau janda dari mereka yang termasuk kategori a dan b di atas, yang
tidak kawin kembali;
d. Anak dari mereka yang termasuk kategori a, yang lahir di luar Hindia Belanda,
selama belum berusia 18 tahun atau belum kawin;
e. Anak dari orang tua yang berstatus kaulanegara Belanda menurut wet ini,
yang lahir di luar Hindia Belanda, bila mereka telah berusia 18 tahun atau
telah kawin, bertempat tinggal di wilayah Kerajaan Belanda (Negeri Belanda,
Hindia Belanda, Suriname, Curasao) dengan istri dan anaknya yang belum
berusia 18 tahun, jika juga bertempat tinggal di wilayah Kerajaan Belanda;
dan
f. Mereka yang bertempat tinggal di Hindia Belanda setelah kehilangan
kekaulanegaraan Belandanya karena tidak menggunakan hak oisinya
sewaktu tinggal di luar negeri.
Dengan berlakunya wet tersebut, maka lahir istilah Nederlandsch
Onderdaandschap (Kekaulanegaraan Belanda), istilah yuridis dalam hukum
ketatanegaraan Hindia Belanda. Istilah ini menunjukkan hubungan hukum antara
penduduk Hindia Belanda, sebagai wilayah jajahan Belanda, dengan Kerajaan
Belanda.
1. Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan
orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan Undang-Undang sebagai
warga negara.
2. Syarat-syarat yang mengenai kewarganegaraan ditetapkan dengan undang-
undang.
Sebagai peraturan pelaksana dari Pasal 26 UUD 1945 tersebut maka
dikeluarkanlah UU No. 3 Tahun 1946. UU No. 3 Tahun 1946 mengatur tentang
Kewarganegaraan dan Kependudukan Republik Indonesia. Dalam kaitan ini, Gow
Giok Siong (1958;15) seperti dikutip oleh Harsono12 dan Kurniatmanto Sutoprawiro13
12
Harsono,Hukum Tata Negara Perkembangan Pengaturan Kewarganegaraan, Liberty,
Jogyakarta, 1992.
13
Kurniatmanto Sutoprawiro, Op Cit, hlm. 28.
24
menyatakan bahwa UU No. 3 Tahun 1946 mengutamakan menggunakan asas ius
soli dan ini juga memakai Asas Ius Sanguinis
Dari segi perkawinan, berdasarkan Pasal 2 UU No.3 Tahun 1946 ditentukan
bahwa, kewarganegaraan istri mengikuti kewarganegaraan suaminya. Demikian
pula anak yang belum dewasa mengikuti status keraganegaraan bapaknya (Pasal
3). Jadi dari ketentuan tersebut jelas bahwa asas yang dipakai untuk menentukan
status kewarganegaraan dari segi perkawinan adalah Asas Mengikuti atau Asas
Kesatuan Hukum, dimana perempuan yang melangsungkan perkawinan campuran
secara otomatis akan mengikuti status kewarganegaran dari suaminya.
UU No. 3 Tahun 1946 mengalami perubahan beberapa kali yakni dengan UU
No.6 Tahun 1947, UU No.8 Tahun 1947 dan UU No.11 Tahun 1948 . Perubahan
dengan kedua undang-undang yang terakhir ini dimaksudkan untuk memberi
kesempatan kepada mereka yang ingin menggunakan hak repudiasinya sampai
Tanggal 10 April 1948, dan selanjutnya diperpanjang lagi sampai dengan tanggal 17
Agustus 1948 oleh UU No.11 Tahun 1948.
Selanjutnya dengan digantinya UUD 1945, karena perubahan ketatanegaraan
di Indonesia maka, sejak tanggal 27 Desember 1949 berlaku KRIS. Dalam Pasal
194 KRIS ditentukan bahwa sambil menunggu pengaturan kewarganegaraan
dengan undang-undang yang termaksud dalam Pasal 5 ayat (1) tersebut, maka
yang sudah warga negara RIS, ialah mereka yang mempunyai kewarganegaraan itu
menurut persetujuan yang mengenai penentuan kewarganegaraan yang dilampirkan
pada Piagam Pemulihan Kedaulatan. bahwa untuk menentukan status
kewarganegaraan Indonesia dipakai Asas Ius Soli. Isi PPPWN adalah sebagian dari
hasil Konfrensi Meja Bundar, dimana ada tiga hal penting dalam persetujuan
tersebut yaitu14
14
Moh.Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara, Sastra Hudaya,
Jakarta, 1983., hlm. 299.
25
2. Orang-orang yang tergolong sebagai kawulanegara Belanda dari golongan
Indonesia asli, yang berada di Indonesia memperoleh kewarganegaraan
Indonesia, kecuali mereka yang bertempat tinggal di Suriname atau Antilen
Belanda dan dilahirkan di wilayah Kerajaan Belanda, yang kemudian juga
dapat memilih kewarganegaraan Indonesia.
3. Orang-orang yang menurut sistim hukum Hindia Belanda dulu termasuk
golongan Timur Asing – Kawulanegara Belanda keturunan asing – yang
bukan berstatus orang Belanda, yaitu dikenal dengan golongan Arab dan
Cina, maka terhadap mereka terdapat dua kemungkinan yaitu jika bertempat
tinggal di Belanda, mereka tetap berkewarganegaraan Belanda. Mereka yang
dinyatakan sebagai warga negara Indonesia, dapat menyatakan
penolakannya dalam waktu dua tahun.
KRIS tidak berlaku lama karena sejak Tahun 1950 diganti dengan UUDS
Tahun 1950. Pasal 5 KRIS beralih menjadi Pasal 5 UUDS 1950. Sedangkan Pasal
194 KRIS menjadi Pasal 144 UUDS 1950, yang menentukan bahwa sambil
menunggu undang-undang yang mengatur kewarganegaraan Indonesia, yang
menjadi Warga Negara Indonesia adalah ;
26
ini jelas tidak sesuai dengan prinsip-prinsip HAM yang diatur dalam konvensi
Internasional maupun dalam peraturan perundang-undangan nasional. Karena itulah
pada Tahun 2006 tanggal 1 Agustus 2006 disahkan UU baru yakni UU No. 12
Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia dan diundangkan pada
Lembaran Negara Tahun 2006 Nomor 63.
7. Penutup
Paparan materi perkuliahan di atas pokok-pokoknya akan dikemukakan
kembali dalam rangkuman untuk memudahkan mahasiswa memahami materi
secara komprehensip. Kemudian untuk mengetahui capaian pembelajaran, maka
akan diberikan latihan yang harus dikerjakan oleh mahasiswa.
Rangkuman.
Pada perkuliahan pertama ditunjukkan adanya istilah rakyat, bangsa,
penduduk, dan warga Negara yang dapat menimbulkan kesalah-pahaman sebab
pengertiannya hampir sama dan sering digunakan silih berganti antara satu istilah
dengan istilah yang lain, terutama istilah bangsa, penduduk dan warga Negara.
Berkaitan dengan itu, relevansi kapasitas seseorang entah sebagai penduduk atau
sebagai warga Negara berimplikasi dengan perbuatan hokum yang dilakukan. Selain
itu, terdapat pula istilah stelsel (sistem) aktif, stelsel pasif, hak opsi dan hak repudiasi
yang saling terkait satu dengan yang lain. Hak opsi dan hak repudiasi kedua-duanya
merupakan hak untuk memilih kewarganegaraan, namun berbeda karakternya yakni
hak opsi bersifat aktif sedangkan hak repudiasi bersifat pasif.
Hukum Kewarganegaraan dipahami tidak hanya ansih untuk menujukkan
adanya seperangkat aturan yang berkaitan dengan berbagai aspek hubungan warga
Negara dengan Negara, dan ruanglingkup bidang kajiannya. Namun menilik dari
pengertian kewarganegaraan maka, Hukum Kewarganegaraan juga menunjukkan
tempatnya dalam sistematika hukum – kewarganegaraan formal, substansinya
dalam kaitannya dengan bidang-bidang hukum lainnya – kewarganegaraan materiil,
dan relevansi ada atau tidaknya bukti-bukti tertulis (surat) untuk menunjukkan
kewarganegaraan seseorang – kewarganegaraan yuridis dan sosilogis).
Asas-asas kewarganegaraan merupakan materi yang patut mendapatkan
apresiasi lebih utama karena merupakan hardcore dari Hukum Kewarganegaraan.
Asas kewarganegaraan digunakan sebagai dasar untuk menentukan
kewarganegaraan seseorang, entah dari segi kelahiran atau dari segi perkawinan
27
sehingga selalu menjadi materi muatan peraturan kewarganegaraan. Dalam sejarah
Hukum Kewarganegaraan di Indonesia, asas ius soli dan asas ius sanguinis
keduanya dianut secara simultan sejak berlakunya UU No. 3 Tahun 1946 hingga UU
No. 12 tahun 2006 dengan pengutamaan pada salah satunya. Berbeda halnya
dengan asas kesatuan hukum atau kesatuan kewarganegaraan dan asas
persamaan derajat, yang selalu dipilih pengaturannya di dalam UU, sesuai dengan
perkembangan system politik dan HAM.
Latihan.
Diskusikan dalam kelompok dan buatlah jawaban atas pertanyaan di bawah ini:
Bahan Pustaka
3. Frans H. Winarta, 2007, Jalan Panjang Menjadi WNI, Cetakan 1, Penerbit Buku
Kompas, Jakarta.
28
6. _______, Undang-Undang Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, UU
No. 12, LN. Tahun 2006 No. 63, TLN. No. 4634.
8. Jimly Asshiddiqie, 2006, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Cetakan Pertama,
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta.
11. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim; 1983, Pengantar Hukum Tata Negara
Indonesia, Sastra Hudaya, Jakarta.
12. Kusnardi dan Bintan R Saragih, 1994, Ilmu Negara, Media Gaya Pratama,
Jakarta.
15. Sudargo Gautama; 1975, Warga Negara dan Orang Asing, Alumni, Bandung.
18. http://lisasuroso.wordpress.com/2007/09/12/benang-kusut-masalah-
kewarganegaraan/. 5 Oktober 2008.
29
PERTEMUAN II: TUTORIAL 1
PERISTILAHAN, PENGERTIAN, DAN ASAS-ASAS KEWARGANEGARAAN
1. Pendahuluan
Pada kegiatan tutorial 1, mahasiswa bediskusi di dalam kelompok atas tugas
Discussion task yang mengilustrasikan materi perkuliahan kesatu terutama
mengenai peristilahan, pengertian, dan asas-asas kewarganegaraan. Dengan
demikian diharapkan mahasiswa dengan rasa tanggung jawab, jujur dan demokratis
mampu:
a. menjelaskan status Putu Mahardika Utama sebagai rakyat, bangsa, dan
warga negara Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945; dan
b. mengidentifikasi dan menunjukkan pernyataan-pernyataan yang bermakna
istilah penduduk, kewarganegaraan sosiologis, kewarganegaraan yuridis,
stelsel pasif dan stelsel aktif serta asas kewarganegaraan yang inklusif di
dalam wacana.
2. Tugas: Discussion Task – Study Task
Putu Mahardika Utama ialah salah seorang rakyat Indonesia, yang secara
bersama-sama dengan diwakili oleh Soekarno dan M. Hata menyatakan sebagai
bangsa Indonesia sejak tanggal 17 Agustus 1945. Mereka semua – rakyat Indonesia
juga berstatus sebagai WNI (warga negara Indonesia). Kemudian, Putu Mahardika
Utama beserta seluruh rakyat Indonesia secara resmi memiliki kewarganegaraan
Indonesia sejak tanggal 10 April 1946. Mereka memperoleh kewarganegaraan
tersebut karena berstatus sebagai orang asli dalam daerah Indonesia maupun
dengan berlakunya UU (Undang-undang) No. 3 Tahun 1946.
Putu Mahardika Utama menikah dengan Enjelijk van de Groott, seorang
perempuan berkewarganegaraan Belanda pada tahun 1948. Dari perkawinan
tersebut dilahirkan dua orang putra, yang keduanya lahir di Amerika pada tahun
1949 dan tahun 1953, sehingga berkewarganegaraan Amerika Serikat. Pada Tahun
1972 diketahui bahwa kedua putra Putu Mahardika Utama berkewarganegaraan
Indonesia.
3. Penutup
Mahasiswa menyusun Laporan Hasil Diskusi dan dikumpulkan di akhir tutorial.
30
PERTEMUAN III: TUTORIAL 2
SEJARAH HUKUM KEWARGANEGARAAN
1. Pendahuluan
Pertemuan ketiga adalah kegiatan tutorial kedua. Kegiatan tutorial ini
merupakan pendalaman atas materi sejarah Hukum Kewarganegaraan dan
Kependudukan di Indonesia yang divisualisasi dengan masalah kewarganegaraan
yang dialami oleh seseorang dalam masa dengan topik “Benang Kusut Masalah
Kewarganegaraan”. Mahasiswa mendiskusikan dalam kelompok permasalahan
kewarganegaraan dan kependudukan yang terdapat di dalam wacana tersebut.
Setelah selesai tutorial ini, diharapkan mahasiswa dengan rasa tanggung
jawab, jujur dan demokratis mampu menjelaskan sejarah Hukum Kewarganegaraan
berkaitan dengan permasalahan status kewarganegaraan dan kependudukan yang
dialami oleh Liong Solan.
31
karena tidak pernah lagi diurus. “Saya pernah coba ikut bikin SBKRI tahun 1980 dan
1996, tapi gagal,” terangnya. “Nggak ada duit-nya.”
Dalam kebingungannya, pada 2003 Solan mengadu ke Komisi Ombudsman
Nasional. Berbekal surat pengantar RT dan KK Kelurahan Mangga Dua Selatan
yang ia miliki setelah menikah dengan suami yang juga tanpa dokumen
kewarganegaraan. Ia mengeluhkan mengapa membuat KTP sulit dan harus
membayar mahal. Selang sebulan, Komisi Ombudsman menindaklanjuti dan
menemukan fakta bahwa ia tak tercatat dalam master data penduduk Kelurahan
Mangga Dua Selatan.
Singkat cerita, datanglah oknum pegawai kelurahan menawarkan memproses
KTP berikut KK dengan biaya satu juta rupiah. Solan menawar dua ratus ribu rupiah,
jumlah yang ia sanggupi. Setelah tawar-menawar alot, akhirnya disepakati harga
empat ratus ribu rupiah. Dalam keluguannya, Solan meminta kwitansi pembayaran
yang tentu saja tidak diberi.
Setelah KTP dan KK-nya selesai pada Januari 2006, Solan mendengar
Gubernur Sutiyoso mengatakan bahwa biaya pembuatan KTP gratis. Maka Solan
pun menulis surat kepada Sutiyoso, menceritakan bagaimana proses pembuatan
KTP dan KK-nya yang begitu mahal plus mempermasalahkan mengapa ia tidak di-
beri kwitansi. Kasus ini akhirnya menjadi masalah besar. Gubernur Sutiyoso
mengusut oknum pegawai kelurahan tersebut. Akhirnya oknum tersebut ditindak.
Uang empat ratus ribu milik Solan dikembalikan. KTP berikut KK Solan ditarik kare-
na dianggap tidak sah. Solan pun diminta menandatangani surat perjanjian bahwa
ia takkan mempermasalahkan kasus ini lagi.
“Jadi sekarang saya harus bagaimana?” isaknya. “Mengapa tidak dikatakan saja dari
awal kalau saya tidak bisa mengurus KTP dan KK, beritahu saya bagaimana cara yang
benar dong...”
Sumber: http://lisasuroso.wordpress.com/2007/09/12/benang-kusut-masalah-
kewarganegaraan/. 5 Oktober 2008.
3. Penutup
Mahasiswa menyusun Laporan Hasil Diskusi. Laporan dikumpulkan pada saat
selesai tutorial.
32
PERTEMUAN IV: PERKULIAHAN KE-2
PENGATURAN KEWARGANEGARAAN
1. Pendahuluan
Materi perkuliahan pengaturan kewarganegaraan terdiri dari prinsi-prinsip
umum kewarganegaraan, siapa warga Negara Indonesia, cara memperoleh dan
kehilangan kewarganegaraan Indonesia. Prinsip-prinsip umum kewarganegaran
termasuk di dalamnya mengenai siapa WNI dideskripsikan berdasarkan UU No. 12
Tahun 2006. Cara memperoleh dan kehilangan kewarganegaraan ditelusuri
berdasarkan pada pendapat yang sudah diterima secara umum, pendapat para ahli,
dan berdasarkan ketentuan UU No. 12 Tahun 2006.
Capaian pembelajaran yang ingin diwujudkan dengan perkuliahan pengaturan
kewarganegaraan adalah mahasiswa mampu mengidentifikasi prinsi-prinsip umum
kewarganegaraan, siapa WNI, cara memperoleh dan kehilangan kewarganegaraan
Indonesia di dalam UU No. 12 Tahun 2006; dan mahasiswa dengan rasa tanggung
jawab, jujur dan demokratis mampu mensimulasikan dan menyelesaikan persoalan
cara memperoleh dan kehilangan kewarganegaraan Indonesia.
Materi perkuliahan pengaturan kewarganegaraan ini sangat penting dipahami
untuk memudahkan mahasiswa dalam menyelesaikan tugas-tugas tutorial dalam
pertemuan ketiga dan keempat. Selain itu, materi ini memberikan dasar-dasar bagi
bahan kajian diaspora dan perkawinan campuran dalam kaitannya dengan
kewarganegaraan yang akan diberikan dalam perkuliahan ketiga dan keempat.
33
pewarganegaraan dan cara memperoleh kewarganegaraan Indonesia akibat
perkawinan. Namun demikian Asas Persamaan Derajat dipergunakan pula untuk
menghindari status bipatride maupun aptride. Hal tersebut dapat dilihat dari
ketentuan Pasal 7 dan 8 UU No.62 tahun 1958. Dilihat dari segi materi yang diatur
dalam UU No. 62 tahun 1958, secara sistimatis dapat dikelompokkan menjadi 4
yaitu:15
15
Kurniatmanto Sutoprawiro, Op Cit, hal. 37.
34
menentukan status kewarganegaraan anak bukan lagi patriarchal, dan juga
kemungkinan hilangnya status kewarganegaraan Indonesia akibat perkawinan
campuran (Pasal 26).
16
. Dalam Penjelasan pasal tersebut disebutkan bahwaYang dimaksud dengan "orang-orang
hangsa Indonesia asli" adalah orang Indonesia yang menjadi Warga Negara Indonesia sejak
kelahirannya dan tidak pemah menerima kewarganegaraan lain atas kehendak sendiri.
35
l. anak yang dilahirkan di luar wilayah negara Republik Indonesia dari seorang
ayah dan ibu Warga Negara Indonesia yang karena ketentuan dari negara
tempat anak tersebut dilahirkan memberikan kewarganegaraan kepada anak
yang bersangkutan;
m. anak dari seorang ayah atau ibu yang telah dikabulkan permohonan
kewarganegaraannya, kemudian ayah atau ibunya meninggal dunia sebelum
mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia.
Dari rumusan tersebut maka tampak bahwa yang menjadi Warga Negara
Indonesia adalah mereka berdasarkan citizen by operation of law, mereka yang
lahir dari orang tua atau salah satu orang tua adalah WNI sebagai konsekwensi
penerapan asas ius sanguinis dan juga mereka yang lahir di Indonesia sebagai
konsekwensi penerapan asas ius soli dengan persyaratan tertentu. Selain itu yang
menjadi WNI adalah mereka berdasarkan citizen by registration.
1. karena kelahiran,
2. karena Pengakuan dan pengangkatan,
3. karena dikabulkannya permohonan,
4. karena pewarganegaraan,
17
Jimly asshidiqie sh, pengantar ilmu hukum tata Negara jilid II, sekretaris jenderal dan
kepaniteraan mahkamah konstitusi, Jakarta, 2006.,hal.145-148.
36
5. karena perkawinan,
6. karena turut ayah/ibunya,
7. karena pernyataan.
8. Kembali asal, dan
9. Pendaftaran
Memperoleh kewarganegaraan berdasarkan Kelahiran
Cara memperoleh kewarganegaraan melalui kelahiran adalah sebagaimana
yang telah dikemukakan di atas tertuang di dalam Pasal 4 UU No.12 Tahun 2006,
dimana seseorang dapat menjadi WNI jika salah satu orang tuanya adalah WNI, hal
ini merupakan penerapan dari asas ius sanguinis. Selain itu anak juga dapat
memperoleh WNI jika lahir di Indonesia (Lihat ketentuan Pasal 4 huruf I, k dan k).
Hal ini merupakan penerapan asas ius soli.
Akibat kelahiran seorang anak juga dapat memiliki kewarganegaraan ganda
(bipatride) jika hukum dari salah satu Negara orang tuanya atau dari tempat anak
dilahirkan memberikan kewarganegaraan pada anak tersebut. Hal ini ditentukan
dalam dalam Pasal 6 ayat (1) UU No.12 Tahun 2006, sebagai berikut:
Rumusan pasal tersebut jelas memberikan peluang bagi seorang anak untuk
memiliki kewarganegaraan ganda (bipatride). Kewarganegaraan ganda tersebut
dapat dimiliki sampai si anak berumur 18 tahun atau sudah kawin sebelum umur 18
(delapan belas) tahun. Setelah itu si anak wajib melakukan pilihan hukum untuk
memilih salah satu kewarganegaraan yang diinginkannya.
Namun demikian pada dasarnya UU No.12 Tahun 2006 tidak mengakui
adanya kewarganegaraan ganda. Hal ini dapat dilihat dalam Penjelasan Umum UU
Kewarganegaraan yang menyatakan bahwa: “pada dasarnya UU Kewarganegaraan
tidak mengenal kewarganegaraan ganda (bipatride) atau pun tanpa
37
kewarganegaraan (apatride). Kewarganegaraan ganda yang diberikan kepada anak
merupakan suatu pengecualian.
Apabila seorang WNI kemudian diketahui mempunyai kewarganegaraan
ganda, maka ia harus melepaskan salah satu kewarganegaraan yang ia miliki atau
harus memlih salah satu kewarganegaraan setelah berumur 18 (delapan belas)
tahun atau sudah kawin walaupun belum berumur 18 (delapan belas). Apabila dia
tidak mau melepaskan salah satu kewarganegaraan yang dimiliki, maka
konsekwensi hukumnya telah ditentukan dalam Pasal 23 UU No.12 Tahun 2006
yang menyebutkan bahwa: “Warga Negara Indonesia kehilangan
kewarganegaraannya jika yang bersangkutan”:
a. memperoleh kewarganegaraan lain atas kemauannya sendiri; dan
b. tidak menolak atau tidak melepaskan kewarganegaraan lain, sedangkan yang
bersangkutan mendapat kesempatan untuk itu;
c. ....................dst.
Bagir Manan18 menyatakan terdapat permasalahan pada Pasal 6 ini.
Bagaimana apabila anak (orang) tersebut tidak melaksanakan kewajiban tersebut?
Undang-undang ini sama sekali tidak mengatur akibat tidak melaksanakan
kewajiban yang diharuskan Pasal 6. Hal ini semestinya ditentukan. Menurut beliau,
ada dua pilihan yang dapat dilakukan yakni:
1. dianggap memilih kewarganegaraan Indonesia; atau
2. dianggap memilih kewarganegaraan asing.
Dua pilihan tersebut sama-sama mengandung persoalan hukum. Terhadap
pilihan pertama, apakah anggapan secara hukum, anak (orang) tersebut memilih
kewarganegaraan Indonesia, mengikat Negara kewarganegaraan rangkap anak
(orang) tersebut? Hal ini akan tergantung kepada hukum kewarganegraan Negara
yang bersangkutan, atau atas dasar perjanjian bilateral antara Indonesia dan Negara
yang bersangkutan. Salah satu resiko yaitu menyangkut hak dan kewajiban
terhadap Negara yang tidak “mengakui” pelepasan secara sepihak tersebut. Pilihan
kedua juga mengandung persoalan hukum yaitu :
1. hal tersebut bertentangan dengan kewajiban melindungi warga Negara dan
prinsip tidak memberi kemudahan melepaskan kewarganegaraan Indonesia.
18
Bagir Manan, Hukum Kewarganegaraan Indonesia dalam UU Nomor 12 tahun 2006,FH UII
Press,Yogyakarta.2009. hlm. 83
38
2. hukum dan sikap Negara terhadap kewarganegaraan ganda anak(orang)
tersebut.
Karena itu perlu adanya pengaturan lebih lanjut mengenai batasan penggunaan
kewarganegaraan ganda terbatas ini, karena di dalam Undang-Undang tidak
mengatur akibat dari keadaan yang memungkinkan seseorang tidak memilih salah
satu kewarganegaraannya dalam hal orang tersebut memiliki status
kewarganegaraan ganda terbatas.
Dengan status kewarganegaraan ganda, dan berdasarkan prinsip
personalitas, maka tidak menutup kemungkinan timbulnya masalah hukum bagi
mereka yang berkewarganegaraan ganda tersebut, karena mereka akan tunduk
pada dua yurisdiksi hukum. Jika hukum antara Negara yang satu dengan yang
lainnya tidak berbeda maka hal ini mungkin tidak menimbulkan maslah, tetapi jika
berbeda maka ini dapat menimbulkan persoalan bagi anak tersebut, hukum Negara
mana yang akan diterapkan pada anak tersebut ?. Sisi positif dari kewarganegaraan
ganda, jelas bahwa anak tersebut mendapatkan hak-hak hukum dari kedua Negara
tersebut dan menutup kemungkinan terjadinya stateless (tanpa kewarganegaraan)
bagi anak tersebut.
(1) Anak Warga Negara Indonesia yang lahir di Iuar perkawinan yang sah, belum
berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin diakui secara sah oleh
ayahnya yang berkewarganegaraan asing tetap diakui sebagai Warga Negara
Indonesia.
(2) Anak Warga Negara Indonesia yang belum berusia 5 (lima) tahun diangkat
secara sah sebagai anak oleh warga negara asing berdasarkan penetapan
pengadilan tetap diakui sebagai Warga Negara Indonesia.
Selain itu dalam Pasal 21 ayat (1) juga ditentukan bahwa “Anak warga negara
asing yang belum berusia 5 (lima) tahun yang diangkat secara sah menurut
penetapan pengadilan sebagai anak oleh Warga Negara Indonesia memperoleh
Kewarganegaraan Republik Indonesia.
Dengan demikian pengakuan dan pengangkatan anak WNI oleh WNA tidak
merubah status kewarganegaraan dari anak yang berangkutan. Namun bagi anak
39
WNA yang diangkat oleh WNI maka si anak akan menjadi WNI. Dasar hukum
pengangkatan anak di Indonesia, antara lain diatur dalam Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak,
dimana dalam Pasal 7 PP ini ditentukan bahwa pengangkatan anak terdiri atas:
a. pengangkatan anak antar Warga Negara Indonesia; dan
b. pengangkatan anak antara Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara
Asing.
Di Indonesia pengaturan mengenai pengangkatan anak sampai saat ini belum diatur
secara khusus dalam undang-undang, melainkan masih diatur dalam beberapa
peraturan yang masih tersebar, antara lain:
1. Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia No. 41/HUK/KEP/VII/1984
tentang Petunjuk Pelaksanaan Perizinan Pengangkatan Anak.
2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 54 Tahun 2007 tentang
Pelaksanaan Pengangkatan Anak.
3. Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia No. 110/HUK/2009 tentang
Persyaratan Pengangkatan Anak.
4. Surat Edaran Mahkamah Agung No. 6 Tahun 1983 tentang Penyempurnaan
Surat Edaran No. 2 Tahun 1979.
5. Surat Edaran Mahkamah Agung No. 4 Tahun 1989 tentang Pengangkatan
Anak.
6. Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 2005 tentang Pengangkatan
Anak.
Jenis-Jenis Pengangkatan Anak.
Permensos RI No. 110/HUK/2009 tentang Persyaratan Pengangkatan Anak
menentukan bahwa pengangkatan anak terdiri dari 2 jenis yaitu :
1. Pengangkatan anak antar warga Negara Indonesia (Ps. 10);
A. Pengangkatan anak secara langsung; Pengangkatan anak secara
langsung adalah pengangkatan anak yang dilakukan oleh calon orang tua
anak terhadap anak calon anak angkat yang berada langsung dalam
pengasuhan orang tua
B. Melalui lembaga pengasuhan anak; Pengangkatan anak melalui lembaga
pengasuhan anak adalah pengangkatan anak yang dilakukan oleh calon
40
orang tua anak terhadap calon anak angkat yang berada dalam lembaga
pengasuhan anak yang ditunjuk oleh menteri.
2. Pengangkatan anak antar warga negara indonesia dengan warga negara
asing.
Pengadilan yang berwenang untuk mengesahkan suatu pengangkatan anak
adalah pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal atau tempat
kediaman anak yang akan diangkat (Butir IV SEMA No. 6 Tahun 1983 tentang
Penyempurnaan SEMA No. 2 Tahun 1979).
41
13. memperoleh izin mentri dan/atau kepala instansi sosial.
Untuk pengangkatan anak WNA diatur dalam PP No.2 Tahun 2007 tentang
Tata Cara Memperoleh Kewarganegaraan RI Bagi Anak Angkat diatur dalam Pasal
24-30. Pasal 24 menyebutkan bahwa: “Anak warga negara asing yang belum
berusia 5 (lima) tahun yang diangkat secara sah menurut penetapan pengadilan
sebagai anak oleh Warga Negara Indonesia memperoleh Kewarganegaraan
Republik Indonesia”. Selanjutnya tentang tata cara dan syarat pengangkatan anak
WNA oleh orang tua WNI diatur dalam Pasal 25-30 PP No.2 Tahun 2007.
42
kepentingan negara dapat diberi Kewarganegaraan Republik Indonesia oleh
Presiden setelah memperoleh pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia, kecuali dengan pemberian kewarganegaraan tersebut mengakibatkan
yang bersangkutan berkewarganegaraan ganda”.
Sedangkan dalam Pasal 13 dan Pasal 14 PP No.2 Tahun 2007 menyebutkan
bahwa:
Pasal 13:
3.5. Perkawinan
43
memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia dengan menyampaikan
pernyataan menjadi warga negara di hadapan Pejabat”.
Ketentuan pasal ini menunjukkan bahwa Indonesia menganut asas
persamaan derajat dari segi perkawinan . Seseorang yang berkewarganegaraan
asing tidak secara otomatis menjadi WNI karena melakukanperkawinan dengan
seorang WNI. Sedangkan mengenai tata cara pengajuan permohonan
pewarganegaraan diatur dalam Pasal 2-12 PP No.2 Tahun 2007.
1) Anak yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin, berada
dan bertempat tinggal di wilayah negara Republik Indonesia, dari ayah atau ibu
yang memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia dengan sendirinya
berkewarganegaraan Republik Indonesia.
2) Anak warga negara asing yang belum berusia 5 (lima) tahun yang diangkat
secara sah menurut penetapan pengadilan sebagai anak oleh Warga Negara
Indonesia memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia.
3.7. Pernyataan
Melalui pernyataan seseorang juga dapat menjadi WNI. Hal ini diatur dalam
Pasal 6 ayat (2 dan 3) terkait dengan Pernyataan untuk memilih kewarganegaraan
bagi mereka yang berkewarganegaraan ganda, juga dalam Pasal 21 ayat (3)
menyebutkan bahwa “dalam hal anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) memperoleh kewarganegaraan ganda, anak tersebut harus menyatakan
memilih salah satu kewarganegaraannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6.
Peraturan tentang tata cara menyampaikan pernyataan menjadi WNI diatur lebih
lanjut dalamPeraturan Menteri Hukum dan HAM No. M.02-HL.05.06 Tahun 2006
Tentang Tata Cara Menyampaikan Pernyataan Untuk Menjadi Warga Negara
Indonesia.Dalam Ps 19 menyatakan bahwa WNA yg kawin dengan WNI dpt menjadi
WNI dengan mengajukan pernyataan.
44
Pasal 23 huruf i, terkait bertempat tinggal diluar negeri selama 5 tahun/lebih tidak
melapor.
Pasal 25, terkait kehilangan kewarganegaraan bagi ayah/ibu
Pasal 26 ayat (1 dan 2), terkait kehilangan kewarganegaraan karena perkawinan
campuran
Cara untuk kembali asal untuk ketentuan pasal-pasal tersebut adalah dengan
pewarganegaraan sebagaimana diatur dalam Pasal 8-18 dan Pasal 22 (lihat Pasal
31 UU No.12 Tahun 2006)
Selain itu ketentuan tentang kembali asal juga diatur dalam Pasal 42 yang
menyebutkan bahwa” ‘
“Warga Negara Indonesia yang bertempat tinggal di luar wilayah negara
Republik Indonesia selama 5 (lima) tahun atau lebih tidak melaporkan diri kepada
Perwakilan Republik Indonesia dan telah kehilangan Kewarganegaraan Republik
Indonesia sebelum Undang-Undang ini diundangkan dapat memperoleh kembali
kewarganegaraannya dengan mendaftarkan diri di Perwakilan Republik Indonesia
dalam waktu paling lambat 3 (tiga) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan
sepanjang tidak mengakibatkan kewarganegaraan ganda.”
Pengaturan lebih lanjut tentang kembali asal untuk menjadi WNI diatur dalam Pasal
43-54 PP No.2 Tahun 2007.
3.9.Pendaftaran.
Perolehan kewarganegaraan RI dengan jalan pendaftaran ditentukan dalam
Pasal 41 UU No.12 Tahun 2006 yang menyebutkan:
“Anak yang lahir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c, huruf d, huruf
h, huruf I dan anak yang diakui atau diangkat secara sah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 sebelum Undang-Undang ini diundangkan dan belum berusia 18
(delapan belas) tahun atau belum kawin memperoleh Kewarganegaraan Republik
Indonesia berdasarkan Undang-Undang ini dengan mendaftarkan diri kepada
Menteri melalui Pejabat atau Perwakilan Republik Indonesia paling lambat 4 (empat)
tahun setelah Undang-Undang ini diundangkan”.
45
sepanjang tidak mengakibatkan kewarganegaraan ganda”.
Sebagai peraturan pelaksana pasal tersebut diatas,dan atas perintah Pasal
43 UU No.12 Tahun 2006 dikeluarkanlah Peraturan Menteri Hukum dan HAM No.
M.01-HL.03.01 Tahun 2006 Tentang Tata Cara Pendaftaran Anak untuk
memperoleh kewarganegaraan RI Berdasarkan Pasal 41 dan Memperoleh Kembali
Kewarganegaraan RI berdasarkan Pasal 42 UU NO. 12 Tahun 2006 Tentang
Kewarganegaraan RI .
1. anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah WNI dan ibu
warganegara asing.
2. anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah warganegara
asing dan ibu WNI.
3. anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu warganegara
asing yang diakui oleh seorang ayah WNI sebagai anaknya dan
pengakuan tersebut dilakukan sebelum anak tersebut berusia 18 tahun
atau belum kawin
4. anak yang lahir di luar wilayah Negara RI dari seorang ayah dan ibu WNI
yang karena ketentuan dari Negara tempat anak tersebut dilahirkan
memberikan kewarganegaraan kepada anak yang bersangkutan.
5. anak WNI yang lahir di luar perkawinan yang sah, belum berusia 18 tahun
dan belum kawin diakui secara sah oleh ayahnya yang
berkewarganegaraan asing;
6. anak WNI yang belum belum berusia 5 tahun diangkat secara sah sebagai
anak oleh warganegara asing berdasarkan penetapan pengadilan.
1. dilakukan oleh salah seorang dari orang tua atau walinya secara tertulis
dalam bahasa Indonesia di atas kertas bermaterai cukup.
46
2. permohonan pendaftaran dapat dilakukan di wilayah Negara RI atau di
Perwakilan RI yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal anak.
a. nama lengkap, alamat tempat tinggal salah seorang dari orang tua/wali
anak
d. Kewarganegaraan anak.
19
Ibid,hal.151
47
c. dinyatakan hilang kewarganegaraannya oleh Presiden atas permohonannya
sendiri, yang bersangkutan sudah berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah
kawin, bertempat tinggal di luar negeri, dan dengan dinyatakan hilang
Kewarganegaraan Republik Indonesia tidak menjadi tanpa kewarganegaraan;
d. masuk dalam dinas tentara asing tanpa izin terlebih dahulu dari Presiden;
e. secara sukarela masuk dalam dinas negara asing, yang jabatan dalam dinas
semacam itu di Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan hanya dapat dijabat oleh Warga Negara Indonesia;
f. secara sukarela mengangkat sumpah atau menyatakan janji setia kepada
negara asing atau bagian dari negara asing tersebut;
g. tidak diwajibkan tetapi turut serta dalam pemilihan sesuatu yang bersifat
ketatanegaraan untuk suatu negara asing;
h. mempunyai paspor atau surat yang bersifat paspor dari negara asing atau surat
yang dapat diartikan sebagai tanda kewarganegaraan yang masih berlaku dari
negara lain atas namanya; atau
i. bertempat tinggal di Iuar wilayah negara Republik Indonesia selama 5 (lima)
tahun terus-menerus bukan dalam rangka dinas negara, tanpa alasan yang sah
dan dengan sengaja tidak menyatakan keinginannya untuk tetap menjadi Warga
Negara Indonesia sebelum jangka waktu 5 (lima) tahun itu berakhir, dan setiap 5
(lima) tahun berikutnya yang bersangkutan tidak mengajukan pernyataan ingin
tetap menjadi Warga Negara Indonesia kepada Perwakilan Republik Indonesia
yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal yang bersangkutan padahal
Perwakilan Republik Indonesia tersebut telah memberitahukan secara tertulis
kepada yang bersangkutan, sepanjang yang bersangkutan tidak menjadi tanpa
kewarganegaraan;
48
atau dipalsukan, tidak benar, atau terjadi kekeliruan mengenai orangnya oleh
instansi yang berwenang, dinyatakan batal kewarganegaraannya”.
Namun, kewarganegaraan Indonesia tidak dapat dinyatakan hilang sesuai
dengan ketentuan Pasal 25 dan 27 UU No.12 Tahun 2006. Kehilangan
kewarganegaraan Indonesia dari ayah atau Ibu, dan bagi seorang ibu yang sudah
putus perkawinannya tidak mengakibatkan kehilangan kewarganegaraan Indonesia
bagi anaknya. Seorang anak yang berkewarganegaraan ganda sebagai akibat dari
ayah atau ibunya kehilangan kewarganegaraan Indonesia, harus memilih salah satu
kewarganegaraan setelah berumur 18 tahun atau sudah kawin. Kehilangan
kewarganegaraan bagi suami atau istri yang terikat perkawinan yang sah tidak
dengan sendirinya berpengaruh terhadap status kewarganegaraan istri atau suami.
5. Penutup
Paparan materi dikemukakan kembali dalam rangkuman untuk memudahkan
memahami secara komprehensip. Kemudian untuk mengetahui capaian
pembelajaran, maka akan diberikan latihan yang harus dikerjakan oleh mahasiswa.
Rangkuman.
UU N0.12 Tahun 2006 menganut asas ius sanguinis dari segi kelahiran dan
juga asas ius soli sebagai perkecualian. Sedangkan dari segi perkawinan dianut
asas persamaan derajat dan asas kesatuan hukum. Selain itu dianut prinsip
kewarganegaraan ganda terbatas, prinsip parental dalam menentukan status
kewarganegaraan anak bukan lagi patriarchal, dan juga kemungkinan hilangnya
status kewarganegaraan Indonesia akibat perkawinan campuran.
Kewarganegaraan Indonesia diperoleh sebagai konsekwensi penerapan asas
ius sanguinis dan asas ius soli dengan persyaratan tertentu. Selain itu ada pula yang
menjadi WNI berdasarkan prinsip citizen by operation of law dan citizen by
registration. UU No. 12 Tahun 2006 menentukan cara cara memperoleh
kewarganegaraan Indonesia melalui: kelahiran, pengakuan dan pengangkatan,
dikabulkannya permohonan, pewarganegaraan, perkawinan, turut ayah/ibunya,
pernyataan, pendaftaran, dan karena Kembali. Sedangkan yang menjadi WNI ialah
mereka ang memenuhi ketentuan Pasal 2 dan 4 UU No. 12 Tahun 2006.
Kewarganegaraan Indonesia yang dimiliki seseorang dapat dinyatakan hilang
sesuai dengan kualifikasi yang sudah diterima secara umum seperti renunciation,
49
termination, dan depriviation. UU No. 12 Tahun 2006 menentukan dengan tegas
mengenai kehilangan kewarganegaraan Indonesia di dalam Pasal 23, 26 dan Pasal
28. Tetapi, terdapat pula beberapa ketentuan yang menyatakan bahwa
kewarganegaraan Indonesia tidak dinyatakan hilang dalam hal-hal tertentu seperti
diatur dalam Pasal 25 dan 27 UU No. 12 Tahun 2006.
Bahan Pustaka
1. Bp.Paulus,1983, Kewarganegaraan Republik Indonesia ditinjau dari UUD
1945 Khususnya bagi Peranakan Tionghoa, Pradnya Paramita,Jakarta.
50
Kewarganegaraan Republik Indonesia, PP Nomor 2 Tahun 2007, LN. 2007
No. 2, TLN
51
PERTEMUAN V: TUTORIAL 3
PRINSIP- PRINSIP UMUM DAN SIAPA WARGA NEGARA INDONESIA
1. Pendahuluan
Tutorial ini merupakan pendalaman atas materi prinsip-prinsip umum
kewarganegaraan dan siapa WNI yang divisualisasikan dengan wacana bertopik
“Perjuangan Berat Perempuan Indonesia Menggapai Keadilan di Tengah Berbaai
Keterpurukan”. Mahasiswa mendiskusikan dan presentasi dalam kelompok
mengenai prinsip-prinsip umum kewarganegaraan dan siapa WNI yang terkandung
di dalam wacana tersebut. Setelah selesai tutorial ini, mahasiswa diharapkan
dengan rasa tanggung jawab, jujur dan demokratis mampu mengidentifikasi dan
menjelaskan prinsip-prinsip umum kewarganegaraan dan siapa WNI yang terdapat
di dalam wacana.
3. Penutup
Mahasiswa menyusun Laporan Hasil Diskusi. Laporan dikumpulkan pada saat
selesai tutorial.
1. Pendahuluan
Tutorial ini merupakan pendalaman atas materi cara memperoleh dan
kehilangan kewarganegaraan Indonesia yang divisualisasikan melalui 2 (dua)
wacana, yaitu: wacana 1 bertopik “Nasib TKI atas Kewarganegaraan” dan wacana 2
berjudul “12 Relawan Indonesia dapat Kewarganegaraan Palestina”. Mahasiswa
melakukan role play untuk menyelesaikan permasalahan kewarganegaraan yang
terdapat dalam wacana “Nasib TKI atas Kewarganegaraan” Dalam hal itu, setiap
mahasiswa membuat skrip role play yang mendeskripsikan adanya peran seorang
penasihat hukum dank lien. Sedangkan untuk wacana 2 supaya diselesaikan melalui
seven jump approacht dengan catatan bahwa tahap identifikasi dan inventarisasi
istilah atau kata-kata slt diabaikan – dilewati.
Setelah selesai tutorial ini, mahasiswa diharapkan dengan rasa tanggun
jawabujur dan demokratis mampu memainkan peran sebagai penasihat hukum dan
klien dalam menyelesaikan masalah kewarganegaraan dala wacana 1. Selain itu,
mahasiswa dengan rasa tanggung jawab, jujur dan demokratis mampu membangun
argumentasi dalam memberikan tanggak – pendapat terhadap relawan Indonesia
memperoleh kewarganegaraan Palestina.
2. Tugas
Role Play
Nasib TKI atas Kewarganegaraannya
Puluhan ribu hingga ratusan ribu warga negara Indonesia yang bermukim di
Malaysia menjadi tenaga kerja Indonesia terancam tidak memiliki kewarganegaraan
atau stateless (Kompas, 8/12/2005). Warga negara Indonesia (WNI) telah bermukim
di negara jiran itu belasan tahun hingga puluhan tahun dengan hanya memegang
surat akuan pengenalan (SAP) yang dikeluarkan Kantor Imigrasi Malaysia.
Sebagian lagi di antaranya hanya memiliki kartu penduduk tetap (permanet
resident/PR) Malaysia dan sebagian lainnya lagi tidak memiliki identitas karena
menjadi pendatang tanpa izin.
53
Apa yang dialami oleh jutaan TKI yang bekerja di luar negeri yang sering kali dalam
kondisi "tidak bebas" atau karena paksaan keadaan bekerja tanpa izin di negara lain
untuk dapat setiap saat "menyatakan diri" kepada perwakilan negara Indonesia atau
karena impitan kemiskinan untuk mengurus dokumen kewargaegaraannya ataupun
WNI yang terpaksa berdiam di negara lain karena persoalan politik masa lalu.
Di antara jutaan TKI tersebut ada seorang perempuan Indonesia yang bernasib
mujur tetap berkewarganegaraan Indonesia dan, bahkan, menikah dengan pemuda
kaya Malaysia. Pasangan suami – istri yang kawin campur tersebut telah dikaruniai
seorang putra berumur 17 tahun dan seorang putri berusia 13 tahun sejak UU No.
12 Tahun 2006 disahkan. Namun, wanita TKI tersebut bercerai dengan suaminya
dan kembali ke Indonesia tahun 2007. Kemudian, ia mendatangi kantor Penasihat
Hukum untuk berkonsultasi mengenai: status kewarganegaraan Indonesia atas
anak-anaknya yang masih di Malaysia dan factor penyebab TKI yang lainnya
kehilangan kewarganegaraan Indonesia dan kemungkinan kembali asal menjadi
WNI ?
Problem Task
12 Relawan Indonesia Dapat Kewarganegaraan Palestina
Duabelas relawan Indonesia yang bergabung dalam misi kemanusiaan "Freedom
Flotilla" mendapatkan kewarganegaraan Palestina sebagai bentuk apresiasi negara
itu terhadap relawan yang mencoba menerobos blokade Gaza oleh Israel.
Ia mengucapkan terima kasih pada para sukarelawan karena tanpa upaya mereka
kekejaman Israel terhadap rakyat Palestina tidak akan terungkap ke dunia
internasional.
Pada Selasa sore, Presiden bertemu dengan lima WNI yang menjadi sukarelawan
Gaza. Mereka adalah lima orang pertama yang kembali ke tanah air dari 12 WNI
tersebut.
Kelima sukarelawan itu adalah Ketua Komite Indonesia untuk Solidaritas Palestina
(Kispa) Ferry Nur, Muhendri Muchtar, Hardjito Warno, Muhammad Yasin, dan
Ocvianto Baharuddin. Mereka bagian dari 12 WNI yang turut dalam misi
kemanusiaan "Freedom Flotilla" ke Gaza, Mei. Kepulangan tujuh orang lainnya
menurut Teguh masih diatur oleh Kementerian Luar Negeri.
Rombongan pembawa bantuan kemanusiaan untuk Gaza itu disergap oleh militer
Israel di laut internasional. Insiden itu mengakibatkan sedikitnya sembilan
54
sukarelawan meninggal dunia. Dunia mengecam keras aksi berdarah yang
dilakukan Israel pada warga sipil itu.
3. Penutup
Mahasiswa menyusun Laporan Hasil Diskusi untuk problem task. Laporan
dikumpulkan pada saat selesai tutorial.
55
PERTEMUAN VIII: PERKULIAHAN KE-3
DIASPORA DAN KEWARGANEGARAAN
1. Pendahuluan
20
http://id.wikipedia.org/wiki/Diaspora
56
Sedangkan menurut Kamus Bahasa Indonesia diaspora berasal dari:
di.as.po.ra [n Pol] masa tercerai-berainya suatu bangsa yg tersebar di berbagai
penjuru dunia dan bangsa tersebut tidak memiliki negara, misal bangsa Yahudi
sebelum negara Israel berdiri pada tahun 1948.21 Dengan demikian dalam arti
sempit “Diaspora” adalah perantau yaitu orang yang meninggalkan tanah
kelahirannya untuk pergi ke daerah atau ke negara lain untuk mencari kehidupan
yang lebih baik, ketimbang di daerah atau negaranya sendiri. Sementara itu menurut
Cambridge Dictionary online menyebutkan bahwa arti diaspora adalah “the
spreading of people from one original country to other countries”22
Istilah “diaspora” berbeda dengan imigrasi. Istilah diaspora digunakan untuk
merujuk pada penyebaran kelompok agama atau kelompok etnis dari tanah air
mereka, baik dipaksa maupun dengan sukarela. Kata ini juga digunakan untuk
merujuk pada penyebaran orang-orang sebagai kelompok kolektif dan masyarakat.
Diaspora mengharuskan anggota suatu masyarakat pergi bersama dalam periode
waktu yang singkat, bukan pergi perlahan-lahan dalam waktu lama meninggalkan
kampung halaman. Masyarakat yang melakukan diaspora juga dicirikan dengan
usaha mereka untuk mempertahankan budaya, agama, dan kebiasaan lainnya di
tempat baru.23 Mereka biasanya hidup berkelompok dengan sesamanya, dan
kadang tidak mau berinteraksi dengan warga lokal.
Salah satu contoh diaspora yang terkenal adalah diaspora Yahudi yang
dimulai pada tahun 600 SM. Orang-orang Yahudi sering digunakan sebagai contoh
klasik diaspora karena telah berpindah beberapa kali, dengan banyak diantaranya
melalui paksaan. Meskipun beberapa kali berpindah tempat, orang Yahudi yang
mengalami diaspora tetap berusaha mempertahankan ikatan komunitas yang kuat
beserta dengan tradisi, budaya, dan agama mereka.
3. Sejarah Diaspora
Dilihat dari perkembangan istilah “diaspora” sebagaimana disebutkan di atas
diduga berasal dari Bahasa Yunani diaspeiro. Kata diaspeiro mulai digunakan pada
awal abad ke-5 SM oleh Sophocles, Herodotus dan Thuccydides. Penggunaan kata
“diaspora” sebagai kata, baru dilakukan oleh 70 sarjana Yahudi di Alexandriapada
21
http://kamusbahasaindonesia.org/diasporaKamusBahasaIndonesia.org
22
http://dictionary.cambridge.org/dictionary/english/diaspora#translations
23
http://www.amazine.co/25264/apa-itu-diaspora-fakta-sejarah-informasi-lainnya/
57
abad ke-3 SM ketika menterjemahkan alkiab Ibrani ke dalam Bahasa Yunani. 24
Dalam Kamus Wikipedia25 disebutkan bahwa asal usul kata diaspora diduga dari
Alkitab Septuaginta sebagaimana disebut dalam Kitab Ulangan 28:25, "sehingga
engkau menjadi diaspora (bahasa Yunani untuk penyebaran) bagi segala kerajaan
di bumi". Namun kata diaspora di sini tidak mengacu pada disperse bersejarah
(pergerakan dan penyebaran manusia dimasa lampau) tetapi diterjemahkan
kedalam beberapa kata Yunani seperti apoikia (imigrasi), paroikia (penyelesaian
diluar negeri), metoikia (emigrasi), metoikesia (transportasi) aikhmalosia (tahanan
masa perang) dan apokalupsis (wahyu).26
Istilah asli dari “diaspora " digunakan untuk merujuk secara khusus kepada
penduduk Yahudi yang dibuang dari Yudea pada 586 SM oleh Babel, dan
Yerusalem pada 135 M oleh Kekaisaran Romawi. Istilah ini digunakan berganti-ganti
untuk merujuk kepada gerakan historis dari penduduk etnis Israel yang tersebar,
perkembangan budaya penduduk itu, atau penduduk itu sendiri beberapa abad
kemudian orang Yahudi benpencar-pencar lagi, waktu Yarusalem dihancurkan bala
tentara Romawi di bawah Titus (70 Masehi), dengan tersebarnya orang Yahudi di
seluruh dunia.
Selanjutnya disebutkan bahwa secara akademik study “diaspora” yang
dimaknai sebagai “penyebaran” manusia terbentuk pada akhir abad ke-20. Jacob
Riis, seorang penulis pada masa itu, menyimpulkan bahwa diaspora terbentuk pada
pertengahan abad ke-20, namun pada kenyataannya makna diaspora yang
diperluas baru disediliki pada akhir abad ke-20. Pada abad ke-20 khususnya telah
terjadi krisis pengungsi etnis besar-besaran, karena peperangan dan bangkitnya
nasionalisme, fasisme, komunisme dan rasisme, serta karena berbagai bencana
alam dan kehancuran ekonomi. Pada paruhan pertama dari abad ke-20 ratusan juta
orang terpaksa mengungsi di seluruh Eropa, Asia, dan Afrika Utara. Banyak dari
para pengungsi ini tidak meninggal karena kelaparan atau perang, pergi ke benua
Amerika.
Para ahli bersepakat bahwa Tahun 1965 merupakan tahun munculnya istilah
Jewish Diaspora (penyebaran kaum Yahudi) dan Black /African diaspora.
24
M.Imam Santoso, Makalah Diaspora, Migrasi Internasional dan Kewarganegaraan
Ganda,makalah disampaikan pada Seminar Nasional Diaspora dan Dinamika Konsep
Kewarganegaraan di Indonesia yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Udayana
bekerjasama dengan Indonesian Diaspora Network, 14 Oktober 2014, hlm.1.
25
http://id.wikipedia.org/wiki/Diaspora.
26
M Imam Santoso, Op Cit
58
Secara umum sampai pertengahan Abad ke 20, pengertian diaspora di Eropa
hanya berkaitan dengan teologi, baru pada Tahun 1986, Gabriel Sheffer menulis
buku dengan judul: A New Field of Study: Modern Diasporas in International Politics
memberikan difinisi yang lebih luas tentang diaspora, dimana dia menambahkan
elemen mendasar yaitu pemeliharaan hubungan dengan tempat asal. Diaspora
modern adalah merupakan kelompok etnis minoritas migran asal yang bertempat
tinggal dan bertindak di negara tuan rumah, tetapi mempertahankan hubungan
sentimental dan material yang kuat dengan tanah air atau negara asal mereka.
Banyak diaspora terjadi sepanjang sejarah, dengan penyebab mulai dari
bencana alam, usaha mencari tempat yang lebih baik, hingga akibat paksaan. Selain
berusaha untuk mempertahankan identitas mereka, banyak anggota dari diaspora
berharap suatu saat nanti kembali ke tanah air mereka untuk sekedar berkunjung
atau untuk hidup permanen. Saat ini ada berbagai kelompok diaspora diberbagai
belahan dunia, yang disebabkan karena berbagai faktor misalnya27:
a. Bangsa Afghan yang meninggalkan negara mereka sepanjang abad ke-20
karena perang saudara yang berkepanjangan.
b. Diaspora Afrika yang terdiri atas penduduk pribumi Afrika dan keturunan
mereka, di manapun mereka berada di dunia di luar benua Afrika. Sebagian
kaum Pan-Afrikanis dan Afrosentris juga menganggap bangsa-bangsa
Negroid (atau "Afrikoid") Australoid (juga disebut "Vedoid"), dan bangsa-
bangsa Kaukasoid hitam sebagai "bangsa-bangsa Afrika" yang berdiaspora.
Kelompok-kelompok ini termasuk orang-orang Dravida dari India Selatan,
Aborijin Australia, suku Melanesia, Orang Asli di Malaysia, dan suku Negrito
di Filipina.
c. Orang-orang Arab yang bermigrasi keluar dari Dunia Arab, dan kini menetap
di Eropa Barat, benua Amerika, Australia dan tempat-tempat lainnya.
(diaspora Arab)
d. Bangsa Armenia yang hidup di tanah air leluhur mereka, yang telah berabad-
abad dikuasai oleh Kekaisaran Ottoman, yang melarikan diri dari
penganiayaan dan pembantaian selama beberapa periode emigrasi terpaksa,
sejak tahun 1880-an hingga 1910-an, termasuk Genosida Armenia1915.
Banyak orang Armenia menetap di California, Prancis dan Lebanon (Diaspora
Armenia).
e. Etnis Maluku di Indonesia yang melakukan perpindahan besar-besaran ke
Eropa pada tahun 1952 karena menolak bergabung dengan Indonesia. Selain
itu banyak yang mengungsi karena Perang Dunia II dan konflik bernuansa
SARA pada tahun 1999-2003. Kini dapat dijumpai dalam jumlah besar di
negara-negara Eropa Barat seperti Belanda, Belgia, Perancis kemudian
Portugal, Amerika Serikat, Jerman dan beberapa negara lainnya.
f. Diaspora Indonesia, mengacu pada kegiatan merantau yang dilakukan oleh
etnik-etnik di Indonesia.
27
http://indonesiaindonesia.com/f/90050-sejarah-diaspora/
59
a. Diaspora Minangkabau. Dalam sejarah, aktivitas perantauan telah
dilakukan oleh orang Minangkabau sejak abad ke-15. Menurut
sebagian sarjana, sistem matrilineal yang diterapkan dalam adat
Minang, menjadi faktor penyebab terjadinya perantauan orang Minang.
Kini, lebih dari 1 juta jiwa Minangkabau perantauan hidup di Malaysia
dan Singapura.
b. Diaspora Jawa. Terjadi pada abad ke-19 dan 20, yaitu ketika
pemerintahan kolonial Hindia Belanda, mengirim ribuan orang Jawa ke
Suriname, Kaledonia Baru, dan Sumatera Timur untuk menjadi kuli di
perkebunan milik Belanda.
g. Diaspora Yahudi dalam penggunaan historisnya, merujuk pada periode
antara kehancuran negara Yahudi oleh Kekaisaran Romawi pada tahun 137,
hingga pembentuk kembali negara Israel pada 1948. Dalam penggunaan
modern, 'Diaspora' merujuk kepada orang-orang Yahudi yang tinggal di luar
negara Israel sekarang. Dalam pemerintahan Israel ada 'Kementerian Urusan
Diaspora', misalnya.
4. Kategori Diaspora
Menurut Robert Cohen diaspora dapat dikelompokkan ke dalam 5 kategori ,
dengan menggunakan analogi tukang taman: 28
a. weeding (menyiangi), merujuk pada fenomena penyebaran penduduk karena
menjadi korban atau pengungsi karena konflik sosial maupun politik. Misalnya
diaspora orang Yahudi, Afrika, Armenia, Palestina dan Irlandia.
b. Sowing (menabur benih), merujuk pada diaspora yang terjadi karena
kolonialisme seperti yang terjadi pada orang-orang Yunani Kuno, Inggris,
Rusia, Spanyol, Portugis dan Belanda.
c. Transplanting (menyetek), merupakan diaspora yang berkaitan dengan
tenaga kerja dan pelayanan. Contohnya, Orang-orang India, China, Jepang,
Turki dan Italia.
28
Dalam Imam Santoso, Op Cit,hlm.4
60
d. Layering (melapisi), adalah diaspora yang terjadi karena perdagangan, bisnis
dan kerja profesional. Misalnya orang-orang Venesia, Lebanon, China, India
dan Jepang.
e. Cross-Pollinating (membiakkan serbuk), adalah diaspora yang berkaitan
dengan faktor budaya dan fenomena masyarakat postmodernisme seperti
yang terjadi pada orang-orang Karabia, China dan India.
61
4. adalah para pecinta Indonesia, di negara manapun, biasanya adalah orang-
orang yang pernah tinggal di Indonesia, baik diplomat atau para mahasiswa atau
pekerja yang pernah bekerja di Indonesia, kemudian mereka kembali ke negara
masing-masing dan biasanya ” jatuh Cinta” dengan masakan Indonesia dan
budaya Indonesia. Termasuk juga para peneliti atau pera cendiakawan yang tetap
ada di negara mereka, tapi punya hubungan baik dengan KBRI setempat.
Dari pembagian tersebut maka nampak bahwa diaspora Indonesia mempunyai
pengertian yang luas, karena yang disebut “diaspora Indonesia” adalah mereka
yang mempunyai “keterikatan” dengan Indonesia baik secara yuridis maupun
sosiologis.
30
Dewasa ini menurut data tidak resmi di seluruh dunia Diaspora Indonesia
ternyata jumlahnya cukup banyak , berkisar antara 6- 10 juta orang.Yang terbanyak
memang ada di Malaysia dan di negara-negara Timur Tengah, kebanyakan mereka
sebagai TKW atau TKI. Dan jumlah tersebut ternyata tiga atau lima kali penduduk
Singapura. Sebuah potensi yang amat besar kalau digali dan pendapatan negara
dari Diaspora Indonesia yang tersebar di berbagai penjuru dunia hitungannya bukan
lagi jutaan rupiah, bahkan jutaan dollar atau milyaran, sebuah pendapatan yang
tidak kecil.
Jadi Diaspora Indonesia merupakan sebuah potensi yang besar sekali kalau
difungsikan di bidang ekonomi, sosial budaya, moral, dan lain sebagainya. Potensi
ini akan lebih besar lagi kalau pemerintah Indonesia dapat memberikan pelayanan
atau dukungan yang sebaik-sebaiknya bagi para pahlawan-pahlawan devisa negara
tersebut. Juga bisa digali dibidang teknologi, karena Diaspora Indonesia yang
berada di negara-negara maju yang sudah menjadi warga negara setempat ternyata
tetap Indonesianis dan teknologi mereka kuasai, tetapi cinta Indonesia. Sehingga
ada istilah jangan samakan Paspor dengan Nasionalis!.Maksudnya, walaupun
paspornya bukan lagi Indonesia, tapi rasa kebangsaan Indonesia tetap melekat
sepanjang hayat mereka, sehingga rasa cinta Indonesia tak akan pernah hilang bagi
Diaspora Indonesia walaupun lebih dari separuh hidup mereka tinggal atau menjadi
warga negara setempat.
30
http://luar-negeri.kompasiana.com/2012/09/07/diaspora-indonesia-sebuah-potensi-besar-
491473.html
62
Semakin banyaknya diaspora Indonesia di berbagai belahan dunia, sudah
tentu akan berpengaruh terhadap salah satu aspek yang penting dalam kehidupan
mereka yakni menyangkut masalah kewarganegaraan. Karena status
kewarganegaraan yang jelas akan memberikan jaminan bagi mereka untuk
mendapatkan hak-hak mereka maupun untuk mendapatkan perlindungan hukum.
Kelompok-kelompok diaspora Indonesia tersebut misalnya adalah diaspora
Malaisya, diaspora Singapore, diaspora Amerika dan sebagainya.Salah satu ciri
Diaspora Indonesia saat ini menurut Dino Patidjalal adalah masih belum
sepenuhnya terkoneksi satu sama lain, masih terpecah-pecah, belum terorganisir,
dan belum menjadi suatu kekuatan sosial budaya.31
Salah satu keinnginan diaspora Indonesia yang terus diperjuangkan hingga
saat ini adalah agar mereka diperkenankan memiliki status kewarganegaraan
ganda. Artinya selain mereka memiliki kewarganegaraan ditempat mereka tinggal
juga tetap memiliki kewarganegaraan Indonesia.
Diaspora Indonesia lengkap mulai dari berpaspor hijau, orang Indonesia yang
menjadi warga negara Rusia, keturunan Indonesia Rusia dan pecinta Indonesia di
Rusia. (Photo by Syaripudin Zuhri)32.
31
http://idn.kbrikualalumpur.org/index.php/80-template-details/general/110-
32
http://luar-negeri.kompasiana.com/2012/09/07/diaspora-indonesia-sebuah-potensi-besar-
491473.html. diakses tanggal 14 Mei 2015.
63
a. Undang-Undang Dasar Tahun 1945, hal ini dapat ditemukan dalam Pasal 26
ayat (1), 27 ayat (1), 28 D ayat (4), dan 28E ayat (1).
Pasal 26: Yang menjadi Warga Negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli
dan orang-orang bangsa lain yang disyahkan dengan undang-undang sebagai
Warga Negara.
Pasal 27 ayat (1): Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam
hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu
dengan tidak ada kecualinya.
Pasal 28D ayat (4): “Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan”
Pasal 28E ayat (1): Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut
agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih
kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan
meninggalkannya, serta berhak kembali.
(1) Warga negara asing yang kawin secara sah dengan Warga Negara Indonesia
dapat memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia dengan
menyampaikan pernyataan menjadi warga negara di hadapan Pejabat.
(2) Pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan apabila yang
bersangkutan sudah bertempat tinggal di wilayah negara Republik Indonesia
paling singkat 5 (lima) tahun berturut-turut atau paling singkat 10 (sepuluh) tahun
tidak berturut-turut, kecuali dengan perolehan kewarganegaraan tersebut
mengakibatkan berkewarganegaraan ganda.
64
(3) Dalam hal yang bersangkutan tidak memperoleh Kewarganegaraan Republik
Indonesia yang diakibatkan oleh kewarganegaraan ganda sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), yang bersangkutan dapat diberi izin tinggal tetap sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara menyampaikan pernyataan untuk
menjadi Warga Negara Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 26:
(1) Perempuan Warga Negara Indonesia yang kawin dengan laki-laki warga negara
asing kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia jika menurut hukum
negara asal suaminya, kewarganegaraan istri mengikuti kewarganegaraan
suami sebagai akibat perkawinan tersebut.
(2) Laki-laki Warga Negara Indonesia yang kawin dengan perempuan warga negara
asing kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia jika menurut hukum
negara asal istrinya, kewarganegaraan suami mengikuti kewarganegaraan istri
sebagai akibat perkawinan tersebut.
(3) Perempuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau laki-laki sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) jika ingin tetap menjadi Warga Negara Indonesia dapat
mengajukan surat pernyataan mengenai keinginannya kepada Pejabat atau
Perwakilan Republik Indonesia yang wilayahnya meliputi tempat tinggal
perempuan atau laki-laki tersebut, kecuali pengajuan tersebut mengakibatkan
kewarganegaraan ganda.
(4) Surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diajukan oleh
perempuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau laki-laki sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) setelah 3 (tiga) tahun sejak tanggal perkawinannya
berlangsung.
Pasal 16
65
(1) Laki-laki dan Perempuan yang sudah dewasa, dengan tidak dibatasi kebangsaan,
kewarganegaraan atau agama, berhak untuk menikah dan untuk membentuk keluarga.
Mereka mempunyai hak yang sama dalam soal perkawinan, di dalam masa
perkawinan dan di saat perceraian.
(2) Perkawinan hanya dapat dilaksanakan berdasarkan pilihan bebas dan persetujuan
penuh oleh kedua mempelai.
“Negara-negara peserta wajib memberi hak yang sama dengan pria untuk
memperoleh, mengubah atau mempertahankan kewarganegaraannya. Negara-
negara peserta khususnya wajib menjamin bahwa perkawinan dengan orang
asing maupun perubahan kewaranegaraan oleh suami selama perkawinan tidak
secara otomatis mengubah kewarganegaran istri, menjadikannya tidak
33
http://en.wikipedia.org/wiki/International_Covenant_on_Civil_and_Political_Rights
66
berkewarganegaraan atau memaksakan kewarganegaraan suaminya
kepadanya”.
7. Penutup
Bagian Penutup terdiri dari Rangkuman atasmateri perkuliahan yang
dikemukakan di atas, dan latihan untuk mengetahui capaian pembelajaran.
Rankuman
Istilah Diaspora berasal dari bahasa Yunani, diaspeiro untuk merujuk kepada
warga suatu kota kerajaan yang bermigrasi ke wilayah jajahan dengan maksud
kolonisasi untuk mengasimilasikan wilayah itu ke dalam kerajaan. Diapora itu
lazimnya diartikan sebagai para perantau yang meninggalkan Negara asalnya ke
negara lain untuk mencari kehidupan yang lebih baik.
Kata diaspeiro mulai digunakan pada awal abad ke-5 SM, namun
penggunaan sebagai kata, baru dilakukan pada abad ke-3 SM ketika
menterjemahkan alkiab Ibrani ke dalam Bahasa Yunani untuk merujuk secara
khusus kepada penduduk Yahudi yang dibuang dari Yudea pada 586 SM oleh
Babel, dan Yerusalem pada 135 M oleh Kekaisaran Romawi. Secara akademik
study “diaspora” yang dimaknai sebagai “penyebaran” manusia terbentuk pada
akhir abad ke-20. Namun, makna diaspora yang diperluas baru disediliki pada akhir
abad ke-20. Para ahli bersepakat bahwa Tahun 1965 merupakan tahun munculnya
istilah Jewish Diaspora (penyebaran kaum Yahudi) dan Black /African diaspora.
Secara umum sampai pertengahan Abad ke 20, pengertian diaspora di Eropa hanya
berkaitan dengan teologi. Diaspora modern baru dikenal pada Tahun 1986, sejak
Gabriel Sheffer menambahkan unsur mendasar pada diaspora yaitu pemeliharaan
hubungan dengan tempat asal. Diaspora modern adalah merupakan kelompok etnis
minoritas migran asal yang bertempat tinggal dan bertindak di negara tuan rumah,
tetapi mempertahankan hubungan sentimental dan material yang kuat dengan tanah
air atau negara asal mereka.
Banyak diaspora terjadi sepanjang sejarah, dengan berbagai ragam
penyebab antara lain mulai dari bencana alam, usaha mencari tempat yang lebih
baik, hingga akibat paksaan. Perbedaan latar belakang dan alasan timbulnya
diaspora berimplikasi pada kategorisasi diaspora, seperti yang dikemukakan oleh
Robert Chohen.
Diaspora Indonesia meliputi orang Indonesia yang berpaspor Indonesia,
meninggalkan tanah airnya untuk bekerja di luar negeri atau menetap di luar negeri;
67
orang Indonesia yang kemudian menjadi warga negara lain; orang-orang yang
menjadi keturunan dari Indonesia, atau blasteran; dan para pecinta Indonesia di
negara manapun, biasanya adalah orang-orang yang pernah tinggala di Indonesia.
Pengaturan konsep diaspora Indonesia dapat diketemuaan dalam hukum positip
maupun dalam instrument internasional.
Latihan
Berikan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan di bawah ini.
1. Jelaskan perbedaan makna kata diaspora antara konsep dalam bahasa Yunani
dan konsep modern.
2. Jelaskan faktor-faktor yang menjadi penyebab timbulnya diaspora.
3. Jelaskan, apakah Diaspora Indonesia dapat dimasukkan kedalam salah satu
kategori yang dikemukaka oleh Robert Cohen?
4. Jelaskan, apakah yang diamsudkan dengan para pecinta Indonesia sebagai
Diaspora Indonesia?
5. Jelaskan, apakah sebabnya Pasal 28E ayat (1) dapat digunakan senagai
landasan hukum diaspora Indonesia?
Bahan Pustaka
5. _______, Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI tentang Tata Cara Pendaftaran
Untuk Memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia Berdasarkan Pasal 41
dan Memperoleh Kembali Kewarganegaraan Republik Indonesia Berdasarkan
Pasal 42 UU No. 12 Tahun 2006, PERMEN HUKUM DAN HAM NO.
M.01.HL.03.01 Tahun 2006.
68
6. _______, Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI tentang Tata Cara
Menyampaikan Pernyataan Untuk Menjadi Warga Negara Indonesia, PERMEN
HUKUM DAN HAM NO. M.02.HL.05.06 Tahun 2006.
7. Jimly Asshiddiqie, 2006, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Cetakan Pertama,
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta.
11. -------, “Status Anak dalam Perkawinan Campuran”, Bali Travel News, Vol 1 No.
19, 9-22 Februari 2007.
PERTEMUAN X :TUTORIAL
DIASPORA DAN KEWARGANEGARAAN
1.Study Task.
69
PERTEMUAN XI
PERKULIAHAN KE 4
1. Pendahuluan
Pada perkuliahan ke-4 disajikan materi mengenai Kewarganegaraan dan
Perkawinan Capuran. Ruang lingkup materi meliputi: kewarganegaraan perempuan
dalam perkawinan campuran, kewarganegaraan anak dalam perkawinan campuran,
dan kewarganegaraan anak akibat putusnya perkawinan campuran. Materi
perkuliahan ini lebih banyak bersifat operasional, yang memberikan kemampuan
analisis kepada mahasiswa sehingga mampu mengidentifikasi dan menyelesaikan
persoalan kewarganegaraan dalam perkawinan campuran yang terdapat dalam
masyarakat. Mahasiswa secara bertanggung jawab, jujur dan demokratis mampu
memberikan nasihat apabila menghadapi seseoran yang mengalami permasalahan
tersebut.
34
Purnadi Purbacaraka, Sendi-sendi Hukum Perdata Internasional suatu orientasi, Rajawali,
Jakarta, 1983, hal. 49.
70
perkawinan itu dilangsungkan di negara yang bukan merupakan asal dari negara
mempelai35
Dengan berlakunya UU No.1 tahun 1974 tentang “Pokok-pokok Perkawinan”,
prihal pengertian perkawinan campuran diatur dalam Pasal 57 yang menentukan
bahwa: “Perkawinan Campuran adalah perkawinan antara dua orang yang di
Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan , karena perbedaan kewarganegaraan
dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia “.
Suatu perkawinan akan membawa konsekwensi yuridis tidak saja bagi pihak-
pihak yang melangsungkan perkawinan tetapi juga bagi anak-anak yang lahir dari
perkawinan tersebut, terutama berkaitan dengan status kewarganegaraan. Pasal 59
ayat (1) UU No.1 tahun 1974 menentukan bahwa: “Kewarganegaraan yang
diperoleh sebagai akibat dari perkawinan atau putusnya perkawinan menentukan
hukum yang berlaku, baik mengenai hukum publik maupun hukum perdata “. Dari
ketentuan tersebut, maka jelas bahwa suatu perkawinan akan membawa akibat
hukum terhadap para pihak, baik menyangkut hukum perdata maupun hukum publik.
Dalam bidang hukum publik, salah satu akibatnya adalah menyangkut masalah
kewarganegaraan.
Pada awal kemerdekaan dengan berlakunya UU No. 3 Tahun 1946 status
kewarganegaraan perempuan yang melangsungkan perkawinan campuran adalah
mengikuti suami. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 2 yang menentukan: “ Status
kewarganegaraan istri mengikuti suami”. Aspek positif penggunaan asas ini adalah
bahwa para anggota keluarga tunduk pada hukum yang sama, sehingga dapat
mendukung terciptanya keharmonisan dalam keluarga. Namun demikian dilihat dari
prinsip emansipasi wanita maka dapat dianggap sebagai sesuatu yang
21
merendahkan derajat wanita. Perempuan hanya dipandang sebagai benda mati,
tidak bebas memilih kewarganegaraannya. Keadaan ini menimbulkan pergerakan,
baik di negara Barat maupun Timur yang menghendaki adanya “persamaan” antara
pria dan wanita dalam menentukan status kewarganegaraan akibat terjadinya
perkawinan campuran.36
35
IGK.Mandra dan Sudarma Sumadi, Beberapa hal mengenai Hukum Antar Tata Hukum,
Setia Kawan, Denpasar, 1987, hal. 93.
21
Kurniatmanto Sutoprawiro, Op Cit, hal. 13.
36
Loc Cit.
71
Karena itulah kemudian PBB melalui perantara Economic and Social Council
tahun 1957 mengusulkan suatu resolusi dalam Convention on the Nationality of
Married Women yang menentukan, bahwa:
1. Tidak dibuat perbedaan berdasarkan atas sex (jenis kelamin) baik dalam
perundang-undangan maupun dalam praktek,
2. baik perkawinan atau pembubarannya tidak mempengaruhi kewarganegaraan
dari kedua mempelai, yang diterima adalah dibukanya kemungkinan untuk
menaturalisir secara sukarela oleh pihak asing yang menikah dengan seorang
warga.
Dalam perkembangan selanjutnya, Komisi Status Wanita di PBB berhasil
mengadopsi suatu instrumen internasional khusus tentang perlindungan hak-hak
perempuan yang disebut sebagai Convention on the Elimination of All types of
Discrimination against Women ( yang disingkat dengan “Womens Convention”
atau Konvensi Wanita ) pada tahun 1979. Konvensi wanita ini diratifikasi dengan UU
No.7 tahun 1984. Pasal 9 Ayat (1) konvensi ini menentukan;
Negara-negara peserta wajib memberi hak yang sama dengan pria untuk
memperoleh, mengubah atau mempertahankan kewarganegaraannya.
Negara-negara peserta khususnya wajib menjamin bahwa perkawinan
dengan orang asing maupun perubahan kewaranegaraan oleh suami selama
perkawinan tidak secara otomatis mengubah kewarganegaran istri,
menjadikannya tidak berkewarganegaraan atau memaksakan
kewarganegaraan suaminya kepadanya.
Dengan berlakunya UU No. 62 tahun 1958 membawa perubahan terhadap
prinsip-prinsip kewarganegaraan termasuk dalam bidang perkawinan campuran.
Dalam UU ini pada prinsipnya menganut asas kesatuan hukum – asas kesatuan
kewarganegaraan sebagaimana dapat dilihat dari ketentuan pasal 5, 9 dan 10.
Namun bilamana hal tersebut menimbulkan kelebihan kewarganegaraan –
kewarganegaraan ganda atau tanpa kewarganegaraan atau menghilangkan
kewarganegaraan seorang yang dirasakan berat, maka asas kesatuan
kewarganegaraan itu dilepaskan (Penjelasan UU No. 62 tahun 1958). Jadi jelas,
bahwa dalam perkawinan campuran, maka kepada wanita diberi kebebasan untuk
menentukan status kewarganegaraannya, apakah akan tetap pada status semula
atau mengikuti status kewarganegaraan suaminya. Hal tersebut dapat dilihat dari
ketentuan Pasal 7 dan Pasal 8 UU No.62 Tahun 1958.
Dalam UU No.12 Tahun 2006 ada 2 pasal yang terkait dengan perkawinan
campuran yakni Pasal 19 dan Pasal 26. Pasal 19 ayat (1) menentukan : “Warga
72
negara asing yang kawin secara sah dengan Warga Negara Indonesia dapat
memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia dengan menyampaikan
pernyataan menjadi warga negara di hadapan Pejabat“. Sedangkan Pasal 26
menentukan:
(1) Perempuan Warga Negara Indonesia yang kawin dengan laki-laki warga
negara asing kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia jika menurut
hukum negara asal suaminya, kewarganegaraan istri mengikuti
kewarganegaraan suami sebagai akibat perkawinan tersebut.
(2) Laki-laki Warga Negara Indonesia yang kawin dengan perempuan warga
negara asing kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia jika menurut
hukum negara asal istrinya, kewarganegaraan suami mengikuti
kewarganegaraan istri sebagai akibat perkawinan tersebut.
Rumusan pasal tersebut menunjukkan bahwa ada 2 asas yang dipakai dalam
perkawinan campuran, yakni asas persamaan derajat yang tertuang dalam Pasal 19
dan asas kesatuan hukum/mengikuti dalam Pasal 26 ayat (1) dan (2) UU No.12
Tahun 2006.
Suatu perkawinan campuran selain membawa akibat hukum bagi istri, juga
akan membawa akibat hukum bagi anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan
campuran. Mengenai status anak dalam perkawinan campuran dapat kita lihat
ketentuan dalam Pasal 62 UU No.1 tahun 1974 yang menentukan: “Dalam
perkawinan campuran kedudukan anak diatur sesuai dengan Pasal 59 ayat (1)
undang-undang ini”. Sedangkan Pasal 59 ayat (1) menentukan: “kewarganegaraan
yang diperoleh sebagai akibat perkawinan atau putusnya perkawinan menentukan
hukum yang berlaku baik mengenai hukum publik maupun hukum perdata”. Dari
ketentuan pasal tersebut, maka jelas bahwa status kewarganegaraan seorang anak
ditentukan berdasarkan pada status kewarganegaraan dari orang tuanya, yang
diperoleh sebagai akibat perkawinan campuran.
Ketika belakunya UU No. 62 Tahun 1958 maka status kewarganegaraan
anak adalah ikut pada status kewarganegaraan ayahnya. Apabila seorang anak
mempunyai hubungan hukum dengan ayahnya, maka status ayah tersebut yang
akan menentukan kewarganegaraan anak ( Pasal 1 sub b dan c UU No. 62 tahun
1958). Sedangkan bilamana si ayah tidak mempunyai kewarganegaraan, atau tidak
73
diketahui kewarganegaraan ayah, maka yang menentukan kewarganegaraan itu
adalah ibunya ( Pasal 1 sub d).
Jadi kalau dilihat ketentuan dalam pasal-pasal tersebut, maka UU No. 62
tahun 1958 tidak memberi hak pada seorang wanita untuk menentukan status
kewarganegaraan anaknya di dalam perkawinan campuran. Anak secara otomatis
akan ikut pada status kewarganegaraan ayahnya. Ketentuan tersebut menurut
Nursyahbani Katjasungkana sudah out of date, karena UU tersebut secara
otomatis telah menempatkan ayah sebagai penentu status kewarganegaraan anak-
anak dan tidak memberi kesempatan kepada ibu untuk ikut menentukan status
kewarganegaraan anak-anaknya37
Prinsip-prinsip dalam UU No. 62 Tahun 1958 tersebut kemudian dirubah
dalam UU No. 12 Tahun 2006. Misalnya Pasal 5 ayat (1), seorang anak WNI yang
lahir di luar perkawinan yang sah , tetapi diakui secara sah oleh ayahnya seorang
WNA, maka anak tersebut tetap diakui berkewarganegaraan RI, selama anak itu
belum berusia 18 (delapan belas) tahu atau belum kawin. Demikian pula halnya
dengan anak WNI yang diangkat secara sah sebagai anak oleh WNA berdasarkan
penetapan pengadilan, tetap diakui sebagai WNI sebelum anak itu berusia 5 (lima)
tahun. Bahkan, UU ini memberikan hak kepada anak berstatus kewarganegaraan
ganda sampai dengan anak berumur 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin.
37
Nursyahbani Kantjasungkana, “ Tata Cara Mengubah Kewarganegaraan Anak”, Majalah
Nova, Tanggal 3 Mei 1998.
74
a.Kematian
Perkawinan adakalanya tidak berjalan sebagaimana diharapkan, salah satu
sebab adalah karena kematian dari salah satu pihak yaitu ayah atau ibu. Jika anak
lahir akibat perkawinan campuran maka kematian tidak akan merubah status
kewarganegaraan anak. Hal ini dapat dicermati dari ketentuan Pasal 4 UU No.12
Tahun 2006, yang pada dasarnya menegaskan bahwa anak adalah WNI jika salah
satu dari orang tuanya adalah WNI.
b. Perceraian.
5. Penutup
Rangkuman.
Perkawinan antara seorang WNI dengan orang asing – warga Negara asing
(WNA) berimplikasi terhadap status kewarganegaraan dan perbuatan hukum yang
dilakukan oleh masing-masing pihak. Di samping itu, berpengaruh juga terhadap
24
Happy Marpaung, Masalah Perceraian, Tonis, Bandung, 1983, hal. 15.
25
R.Soebekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, 1989, hal. 42.
75
status kewarganegaraan anak. Demkian juga halnya dengan putusnya perkawinan
campuran.
Status kewarganegaraan seseorang dalam perkawinan campuran akan tetap
atau hilang tergantung pada asas kewarganegaraan dan prinsip-prinsip mum yang
diterapkan, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. UU No. 3
Tahun 1946 dan UU No. 62 Tahun 1958 menganut asas kesatuan hukum sehingga
apabila seorang laki-laki Indonesia kawin dengan perempuan WNA, maka dalam
perkawinan campuran tersebut diakui satu kewarganegaraan yaitu
kewarganegaraan Indonesia. Tetapi, sebagai akibat UU tersebut menganut prinsip
patriarkhat, maka seorang perepuan Indonesia akan kehilangan kewarganegaraan
apabila kawin dengan laki-laki WNA. Hal yang sama berlaku terhadap satus
kewarganegaraan anak.
UU No. 12 tahun 2006 menganut asas persamaan derajat, sehingga masing-
masing pihak dalam hal perkawinan campuran dapat mempertahankan
kewarganegaraannya. Tetapi, UU ini bersifat permisif kepada laki-laki maupun
perempuan Indonesia untuk melepaskan kewarganegaraannya dalam perkawinan
campuran apabila hukum di Negara WNA tersebut menentukan demikian. UU juga
memperkenankan anak yang lahir dari perkawinan campuran untuk memiliki dua
kewarganegaraan. Demikian pula status kewarganegaraan anak dalam hal putusnya
perkawinan campuran. Namun, di situ berlaku prinsip kewarganegaraan ganda
terbatas.
Bahan Pustaka
1. FX. Aji Samekto, 2009, Negara dalam Dimensi Hukum Internasional, Cetakan
ke I, PT CitraAditya Bakti, Bandung.
76
2. Kurniatmanto Sutoprawiro; Hukum Kewarganegaraan dan Keimigrasian
Indonesia, Gramedia, Jakarta, 1994.
9. _______, Undang-Undang Hak Asasi Manusia, UU No. 39, LN Tahun 1999 No.
165, TLN No. 3886.
13. _______, Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI tentang Tata Cara Pendaftaran
Untuk Memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia Berdasarkan Pasal
41 dan Memperoleh Kembali Kewarganegaraan Republik Indonesia
Berdasarkan Pasal 42 UU No. 12 Tahun 2006, PERMEN HUKUM DAN HAM
NO. M.01.HL.03.01 Tahun 2006.
14. _______, Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI tentang Tata Cara
Menyampaikan Pernyataan Untuk Menjadi Warga Negara Indonesia, PERMEN
HUKUM DAN HAM NO. M.02.HL.05.06 Tahun 2006.
77
15. -------, “Status Anak dalam Perkawinan Campuran”, Bali Travel News, Vol1, No.
19, 9 – 22 Februari 2007.
1. Pendahuluan
Tutorial ke-5 merupakan pendalaman atas materi “Kewarganegaraan
Perempuan dalam Perkawinan Campuran”. Bahan kajian menggunakan visualisasi
bertopik “Kawin Campur”, yang di dalamnya memuat permasalahan-permasalahan
kewarganegaraan. Mahasiswa agar melakukan diskusi di dalam kelompok untuk
mengidentifikasi dan menyelesaikan permasalahan tersebut.
Dengan selesainya tutorial ini diharapkan mampu mewujudkan capaian
pembelajaran yaitu mahasiswa secara bertanggung jawab, jujur, dan demokratis
mampu berdiskusi untuk menyelesaikan permasalahan kewarganegaraan dalam
perkawinan campuran yang terdapat di dalam wacana. Dengan demikian, dapat
dievaluasi aspek hard skills dan soft skills mahasiswa.
78
ini?(http://www.mail-archive.com/bumi
serpong@yahoogroups.com/msg00300.html)
Berbeda dengan masalah yang dialami perempuan WNI di Cile, di bawah ini
diilustrasikan kasus fiksi sebagai berikut.
Seorang laki-laki WNI, Gede Dapdap Juniada , kawin dengan pria perempuan
Amerika Serikat, Shania Largory, pada tanggal 1 Agustus 1995 di Denpasar, Bali,
Indonesia. Perkawinan tersebut dilangsungkan secara adat Bali dan didaftarkan di
Kantor Catatan Sipil Denpasar. Sejak perkawinan itu, mereka tinggal menetap di
Ubud, Bali. Pada tanggal 1 Desember 1999 perkawinan mereka dikaruniai seorang
putra, Gede Daveid Juniada yang lahir di Ubud.
Pada Tahun 2001 sampai dengan Tahun 2006 keluarga tersebut tinggal di Amerika
Serikat. Karena itu, Gede Dapdap Juniada memiliki kartu identitas diri yang
menunjukkan kewarganegaraan Amerika Serikat. Pada tanggal 25 Desember 2006
Shania melahirkan seorang putri, Kadek Christiania Juniada.
Pada awal Tahun 2007 mereka kembali tinggal di Ubud, Bali. Namun, pada tanggal
1 Desember 2008 perkawinan tersebut dilanda badai perceraian, sehingga Shania
Largory dengan memboyong kedua putra dan putrinya kembali ke negerinya,
Amerika Serikat.
3. Penutup
Mahasiswa menyusun Laporan Hasil Diskusi. Laporan dikumpulkan pada saat
selesai tutorial.
Bahan Pustaka
sama dengan Bahan Pustaka Perkuliahan 3
PERTEMUAN X: TUTORIAL 6
KEWARGANEGARAAN ANAK DALAM PERKAWINAN CAMPURAN DAN
PUTUSNYA PERKAWINAN CAMPURAN
1. Pendahuluan
Tutorial ke-6 diselenggarakan untuk melakukan pendalaman pengetahuan
mahasiswa atas bahan kajian “Kewarganegaraan Anak dalam Perkawinan
Campuran dan Putusnya Perkawinan Campuran”. Materi tutorial divisualisasikan
dalam wacana bertopik “I Gede Gunung Aditya” yang mengilustrasikan adanya
permasalahan kewarganegaraan anak yang lahir dari dan sebagai akibat putusnya
perkawinan campuran.
79
Mahasiswa agar memainkan peran sebagai penasiha hukum dan klien untuk
menyelesaikan permasalahan yang terkandung di dalam wacana. Untuk itu, setiap
mahaiswa harus menyusun skrip role play tersebut. Dengan demikian, capaian
pembelajaran yang dicapai adalah selain kompetensi atas penguasaan pengetahuan
mengenai kewarganegaraan anak dalam perkawinan campuran dan putusnya
perkawinan campuran juga, keterampilan menulis, mengemukakan pendapat,
berdiskusi, dan aspek soft skills lain.
3. Penutup
Mahasiswa mengumpulkan skrip role play pada saat berakhirnya tutorial.
Dosen memberikan resposi atas pelaksanaan role play.
Bahan Pustaka
Lihat Bahan Pustaka Perkuliahan 3.
80
81
PERTEMUAN XI: PERKULIAHAN KE-4
KEPENDUDUKAN
1. Pendahuluan
2. Pengertian Kependudukan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diterangkan mengenai pengertian
kependudukan adalah hal atau sifat-sifat sebagai penduduk, atau urusan mengenai
penduduk38 Sebagai ilustrasi, di dalam Kamus tersebut kata penduduk diartikan
sebagai orang atau orang-orang yang mendiami suatu tempat (kampung, negeri,
pulau dsb).
Sementara itu dalam Pasal 1 angka 2 UU No. 52 Tahun 2009 tentang
Perkembangan kependudukan Dan Pembangunan Keluarga menyebutkan bahwa
Kependudukan adalah hal ihwal yang berkaitan dengan jumlah, struktur,
pertumbuhan, persebaran, mobilitas, penyebaran, kualitas, dan kondisi
kesejahteraan yang menyangkut politik, ekonomi, sosial budaya, agama serta
lingkungan penduduk setempat. UU No. 52 Tahun 2009 mengubah UU No.10
Tahun 1992 tentang Perkembangan kependudukan Dan Pembangunan Keluarga
Sejahtera.
2. Pengaturan Kependudukan
Masalah kependudukan telah diatur di dalam Konstitusi (UUD) dan peraturan
perundang-undangan lainnya sejak tahun 1945. UUD 1945 yang disahkan tanggal
18 Agustus 1945 tidak secara eksplisit mengatur mengenai penduduk. Bahkan, tidak
ada satu pasal pun yang menentukan mengenai hal itu. Namun demikian, tidak
berarti masalah kependudukan tidak mendapatkan jaminan perlindungan secara
konstitusional. Penjelasan terhadap Pasal 28, 29 ayat (2), dan Pasal 34 UUD 1945
menegaskan bahwa “Pasal-pasal ini mengenai kedudukan penduduk”. Dengan
demikian, satu aspek kependudukan, yakni hak atas penduduk diakui secara
konstitusional. Hak-hak atas penduduk tersebut seperti hak bidang politik, yaitu
kemerdekaan berserikat, kemerdekaan berkumpul, dan kemerdekaan mengeluarkan
pikiran. Hak yang lain yaitu kemerdekaan untuk memeluk agama, beribadat, dan
38
Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1995, hlm. 245.
82
berkepercayaan pada Tuhan Yang Maha Esa; dan hak atas kesejahteraan sosial
terutama bagi penduduk yang fakir miskin dipelihara oleh negara.
Berbeda dengan UUD 1945, Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) 1949
menentukan secara khusus mengenai kependudukan dalam Bab IV tentang
“Kewarganegaraan dan Penduduk Negara” dan secara tersebar di dalam pasal-
pasal dari Bab V tentang “Hak-hak dan Kebebasan-kebebasan Dasar Manusia”.
Pada Pasal 6 ditentukan mengenai penduduk negara Indonesia ialah mereka yang
diam di Indonesia menurut aturan-aturan yang ditetapkan dengan undang-undang
federal. Kemudian, mengenai hak penduduk ada ditentukan pada Pasal 20, yakni
hak kebebasan untuk berkumpul dan hak kebebasan berapat yang dijamin dengan
peraturan perundang-undangan, dan hak-hak lain yang inklusif di dalam hak-hak
dan kebabasan-kebebasan dasar manusia. Namun demikian, selama berlakunya
Konstitusi RIS 1949 belum ada undang-undang federal dan peraturan perundang-
undangan yang dimaksudkan untuk menjamin kedudukan penduduk.
UUD Sementara (UUDS) 1950 mengatur mengenai penduduk sama persis
dengan yang ditentukan di dalam KRIS 1949. Beberapa peraturan perundang-
undangan ditetapkan selama berlakunya UUDS 1950, antara lain UU Drt. No. 9
tahun 1955 yang telah disahkan menjadi undang-undang dengan UU No. 1 Tahun
1961, dan UU No. 62 tahun 1958. UUD 1945 berlaku kembali pada periode kedua
pada 5 Juli 1959 menggantikan UUDS 1950. Namun, UU No. 62 tahun 1958 yang
ditetapkan berdasarkan UUDS 1950 masih tetap berlaku. Ketentuan-ketentuan lain
mengenai penduduk pada masa itu seperti Instruksi Presidium Kabinet No.
37/U/IN/1967 tentang “Kebijaksanaan Pokok Penyelesaian Masalah Cina”, UU No. 3
tahun 1972 tetang “Ketentuan-ketentuan Pokok Transmigrasi”, Keputusan Presiden
(KepPres) No. 52 tahun 1977 tentang “Pendaftaran Penduduk”, dan UU No. 10
tahun 1992.Pasca amandement ke II UUD Tahun 1945 pada tanggal 18 Agustus
Tahun 2000 , masalah warganegaraan dan kependudukandiatur dalam Bab X yakni
dalam Pasal 26 UUD Tahun 1945. Sebagai peraturan pelaksana pasal tersebut
kemudian dikeluarkan UU No. 12 Tahun 2006 berkaitan dengan masalah
warganegara dan UU No. 52 Tahun 2009 yang menggantikan UU No.10 Tahun
1992, dan pada tahun 2013 dikeluarkan UU No. 24 Tahun 2013 Tentang Perubahan
atas UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi kependudukan. Dalam Pasal 64
ayat (7) UU 24 Tahun 2013 ditentukan bahwa e KTP berlaku seumur hidup. Sebagai
tindak lanjut atas berlakunya UU No. 24 Tahun 2013 tersebut Mendagri Tjahjo
83
Kumolo telah menerbitkan dua surat edaran pada Jum’at (29/01/2016) terkait masa
berlaku KTP elektronik (KTP-el) seumur hidup, yaitu:
Pertama, Surat Edaran Nomor 470/295/SJ tanggal 29 Januari 2016 perihal KTP
Elektronik (KTP-el) Berlaku Seumur Hidup, ditujukan kepada para Menteri Kabinet
Kerja dan para pimpinan lembaga non kementerian.
Kedua, Surat Edaran Nomor 470/296/SJ tanggal 29 Januari 2016 perihal KTP
Elektronik (KTP-el) Berlaku Seumur Hidup, ditujukan kepada para Gubernur dan
Bupati/Walikota seluruh Indonesia. Dalam Surat edaran tersebut ditegaskan bahwa
KTP yang dikeluarkan sebelum keluarnya UU 24 Tahun 2013 juga berlaku untuk
seumur hidup.
Selanjutnya Tahun 2016 dikeluarkan Permendagri No. 2 Tahun 2016 tentang
Kartu Identitas Anak, dengan Permendagri ini seorang anak diwajibkan memiliki
Kartu Identitas Aak (KIA) sampai menginjak usia 17 tahun.
84
penyelenggaraan perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga, setiap
penduduk mempunyai hak:
a. membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah;
b. memenuhi kebutuhan dasar agar tumbuh dan berkembang serta mendapat
perlindungan bagi pengembangan pribadinya untuk memperoleh pendidikan,
mencerdaskan dirinya, dan meningkatkan kualitas hidupnya;
c. mendapatkan informasi, perlindungan, dan bantuan untuk mewujudkan hak-hak
reproduksi sesuai dengan etika sosial dan norma agama;
d. berkomunikasi dan memperoleh informasi kependudukan dan keluarga yang
diperlukan untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya;
e. mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan
informasi perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga dengan
menggunakan sarana yang tersedia;
f. mengembangkan dan memperoleh manfaat ilmu pengetahuan dan teknologi,
seni dan budaya tentang perkembangan kependudukan dan pembangunan
keluarga;
g. bebas bergerak, berpindah dan bertempat tinggal dalam wilayah negara Republik
Indonesia;
h. mendapatkan perlindungan, untuk mempertahankan keutuhan, ketahanan, dan
kesejahteraan keluarga;
i. menetapkan keluarga ideal secara bertanggung jawab mengenai jumlah anak,
jarak kelahiran, dan umur melahirkan;
j. membesarkan, memelihara, merawat, mendidik, mengarahkan dan membimbing
kehidupan anaknya termasuk kehidupan berkeluarga sampai dengan dewasa;
k. mengangkat anak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
l. mewujudkan hak reproduksinya dan semua hal yang berkenaan dengan
kehidupan perkawinannya;
m. hidup di dalam tatanan masyarakat yang aman dan tenteram, yang menghormati,
melindungi, dan melaksanakan sepenuhnya hak asasi manusia;
n. mempertahankan dan mengembangkan nilai-nilai adat yang hidup dalam
masyarakat;
o. memperjuangkan pengembangan dirinya baik secara pribadi maupun kelompok
untuk membangun bangsa dan negara;
p. memperoleh dan mempertahankan ruang hidupnya;
q. mendapatkan identitas kewarganegaraan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
r. memiliki, memperoleh, mengganti, atau mempertahankan status
kewarganegaraannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
s. diperhitungkan dalam penyusunan, pelaksanaan, evaluasi perkembangan
kependudukan dan pembangunan keluarga; dan
t. memperoleh kebutuhan pangan, tempat tinggal, pelayanan kesehatan,
pendidikan, keterampilan dan bantuan khusus atas biaya negara bagi penduduk
rentan.
85
Sedangkan dalam Pasal 6 ditentukan bahwa: setiap penduduk wajib:
4. Penutup
Rangkuman
Pengertian kependudukan dapat dipahami secara gramatika, etimologi
maupun secara normatif. UU No. 24 Tahun 2013 telah menentukan secara normatif
pengertian kependudukan adalah hal ihwal yang berkaitan dengan jumlah, struktur,
pertumbuhan, persebaran, mobilitas, penyebaran, kualitas, dan kondisi
kesejahteraan yang menyangkut politik, ekonomi, sosial budaya, agama serta
lingkungan penduduk setempat.
Pengaturan kependudukan dalam peraturan perundang-undangan mengalami
pasang surut. Dalam masa berlakukanya UUD 1945 pada periode pertama dan
kedua tidak ada pengaturan, namun ditentukan di dalam peraturan pelaksanaan.
Dalam masa reformasi, diadakan pengaturan di dalam Pasal 26 UUD 1945.
Implementasinya dilakukan di dalam UU No. 24 Tahun 2013 tentang Perubahan
atas UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi kependudukan. Sebagai tindak
lanjut atas berlakunya UU No. 24 Tahun 2013, pada tanggal 29 Januari 2016
diterbitkan dua surat edaran (SE), yaitu: SE No. 470/295/SJ perihal KTP Elektronik
(KTP-el) Berlaku Seumur Hidup, ditujukan kepada para Menteri Kabinet Kerja dan
para pimpinan lembaga non kementerian; dan SE No. 470/296/SJ perihal KTP
Elektronik (KTP-el) Berlaku Seumur Hidup yang ditujukan kepada para Gubernur
dan Bupati/Walikota seluruh Indonesia. Dalam SE tersebut ditegaskan bahwa KTP
yang dikeluarkan sebelum UU 24 Tahun 2013 juga berlaku untuk seumur hidup.
Hak dan kewajiban penduduk meliputi semua matra penduduk yaitu sebagai
diri pribadi, sebagai anggota keluarga, sebagai anggota masyarakat, sebagai warga
negara, dan sebagai himpunan kuantitas. Pengaturan tentang hak dan kewajiban
penduduk selain inklusif di dalam ketentuan mengenai “Hak Asasi Manusia” di
86
dalam UUD 1945, ditentukan juga di dalam Instruksi Presidium Kabinet No.
37/U/IN/1967 tentang “Kebijaksanaan Pokok Penyelesaian Masalah Cina”, UU No.
10 tahun 1972 tentang “Ketentuan-ketentuan Pokok Transmigrasi”, UU No. 9 tahun
1998, UU No. 39 tahun 1999, UU No. 52 Tahun 2009, dan UU No. 24 Tahun 2013.
Bahan Pustaka
2. Frans H. Winarta, 2007, Jalan Panjang Menjadi WNI, Cetakan 1, Penerbit Buku
Kompas, Jakarta.
3. FX. Aji Samekto, 2009, Negara dalam Dimensi Hukum Internasional, Cetakan ke
I, PT CitraAditya Bakti, Bandung.
8. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, 1983, Pengantar Hukum Tata Negara, Sastra
Hudaya,Jakarta.
9. Kusnardi dan Bintan R Saragih, 1994, Ilmu Negara, Media Gaya Pratama,
Jakarta.
87
11. Sudargo, 1975, Warga Negara dan Orang Asing, Alumni, Bandung.
12. Usep Ranawijaya, 1982, Hukum tata Negara Indonesia Dasar-dasarnya, Ghalia
Indonesia, Bandung.
13. Radar Bali Selasa, 6 Oktober 2009, halaman 29, kolom 2-3.
14. Radar Bali Rabu, 7 Oktober 2009, halaman 32, kolom 2-4
1. Pendahuluan
Tutorial ke-7 merupakan pendalaman atas materi Pengertian Kependudukan,
Pengaturan dan Pendaftaran Penduduk. Permaslahan berkaitan dengan itu
divisualisasikan melalui wacana “Operasi Duktang Mentok di Kota”. Mahasiswa
supaya mendiskusikan di dalam kelompok mengenai pengertian penduduk,
penduduk pendatang, persyaratan dan prosedur pendaftaran penduduk, persyaratan
dan prosedur pembuatan KTP baru dan KTP Perpanjangan, perbedaan KTP dan
KIPEM, persyaratan dan prosedur mendapatkan KIPEM kontekstual dengan
wacana.
Capaian pembelajaran yang diharapkan dari tutorial ini adalah mahasiswa
secara bertanggung jawab, jujur dan demokratis mampu:
a. menjelaskan perbedaan penduduk dengan penduduk pendatang, serta
perbedaan KIPEM dan KTP;
b. mengidentifikasi persyaratan pendaftaran penduduk, pembuatan KTP baru,
perpanjangan KTP dan persyaratan mendapatkan KIPEM; dan
c. menyusun prosedur operasional standar pembuatan KTP baru, KTP
Perpanjangan, dan mendapatkan KIPEM.
88
2. Tugas: Problem Task
3. Penutup
Mahasiswa mengumpulkan skrip role play pada saat berakhirnya tutorial.
Dosen memberikan resposi atas pelaksanaan role play.
Bahan Pustaka
Lihat Bahan Pustaka Perkuliahan ke-4.
89
PERTEMUAN XIII: TUTORIAL KE-8
1. Pendahuluan
Tutorial ke-8 merupakan pendalaman atas materi Hak, Kewajiban, dan
Pembinaan Penduduk. Permaslahan berkaitan dengan itu divisualisasikan melalui
wacana “Waspadai Penyusup Jebol Jalur Tikus”. Mahasiswa supaya mendiskusikan
di dalam kelompok mengenai permasalahan yang terkandung di dalam wacana
berkaitan dengan materi tutorial. Mahasiswa berdiskusi menyelesaikan permaslahan
melalui seven jump approacht dengan catatan bahwa, tahap identifikasi dan
inventarisasi istilah atau kata-kata sulit diabaikan – dilewati.
Setelah tutorial diharapkan mahasiswa secara bertanggung jawab, jujur dan
demokratis mampu menemukan capaian pembelajaran yang terkandung di dalam
wacana.
2. Study Task
Waspadai Penyusup Jebol Jalur Tikus
GILIMANUK – Upaya Pemkab Jembrana memperketat pengawasan
penduduk pendatang (duktang) yang masuk Bali melalui pelabuhan Gilimanuk
tampaknya hanya focus di Pos KT. Sedangkan jalur tikus yang biasa dijadikan jalan
untuk meloloskan diri para duktang, luput dari pengawasan. Benyaknya duktang
yang bias meloloskan diri melalui jalur tikus terbukti Senin (5/10) kemarin ketika
komunitas intelejen daerah (Kominda) Kabupaten Jembrana melakukan survey di
pelabuhan Gilimanuk. Ketika sedang memantau di dermaga MB 1, tim memegoki
seorang loper Koran yang baru turun dari kapal dengan santainya melompati pagar
jalan dermaga. Selanjutnya, loper Koran itu berjalan menyusuri pinggiran pantai
menuju parker mnuver.
Selain melalui pantai, pendatang yang tidak melengkapi diri dengan KTP juga
bisa keluar pelabuhan tanpamelalui pos pemeriksaan barang maupun pemeriksaan
KTP dengan cara melalui pagar besi pelabuhan. Persisinya di tempat pembuangan
sampah yang bisa dibuka dan ditutup dengan alasan sebagai pintu membuang
sampah. Pendatang yang melewati pagar ini setalah keluar dari pagar lalu
90
menyelinap di celah tembok parkir manuver. Jalur lain yang bisa dilalui pendatang
untuk menghindari pemeriksaan petugas yakni keluar melului loket tiket.
Dua orang pendatang setelah turun dari kapal sambil memikul barang
bawaan kepergok melalui loket tiket yang sebenarnya hanya untuk jalur masuk
pelabuhan dan tidak diperbolehkan dipakai pintu keluar. Jalur tikus lain yang bisa
dilewati pendatang tanpa identitas yakni melalui ujung pagar di dermaga kapal
barang atau di depan Pura Segara.
..............................................................................................................................
(Radar Bali Selasa, 6 Oktober 2009, halaman 29, kolom 2-3).
3. Pentup
Mahasiswa menyusun laporan hasil diskusi. Laporan dikumpulkan saat
selesai waktu tutorial. Dosen memberikan resposi atas pelaksanaan tutorial.
Bahan pustaka
Lihat bahan pustaka perkuliahan ke-4.
91
LAMPIRAN I: SILABUS
SILABUS
92
8. CapaianPembelajaran :
9. Bahan Kajian
10. Referensi
93
4) _______, Undang-Undang Republik Indonesia tentang Kewarganegaraan
Republik Indonesia, UU No. 12, LN. Tahun 2006 No. 63, TLN. No. 4634.
10) _______, Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI tentang Tata Cara
Pendaftaran, Pencatatan, dan Pemberian Fasilitas Keimigrasian Sebagai
Warga Negara Indonesia yang Berkewarganegaraan Ganda, Permen Hukum
dan HAM RI Nomor M. 80-HL.04.01 Tahun 2007.
94
17) Djohan Tunggal, Arief, 1998, Peraturan Perundang-undangan
Kewarganegaraan Republik Indonesia Tahun 1950-1986, Harvarindo,
Jakarta.
18) Frans H Winata, 2007, Jalan Panjang Menjadi WNI, Cetakan 1, Penerbit
Buku Kompas, Jakarta.
21) -------------, 1975, Warga Negara dan Orang Asing, Alumni, Bandung.
24) Jimly Assidiqie, 2006, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Cetakan
Pertama, Sekretariat Jendral dan Kepanitraan Mahkamah Konstitusi RI,
Jakarta.
27) Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, 1983, Pengantar Hukum Tata Negara,
Sastra Hudaya,Jakarta.
28) Kusnardi dan Bintan R Saragih, 1994, Ilmu Negara, Media Gaya
Pratama,Jakarta.
31) Suantra, 2006, Made Nurmawati, Buku Ajar Hukum Kewarganegaraan dan
Kependudukan, Fakultas Hukum Universitas Udayana.
95
32) Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1995,
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, Departemen Pebndidikan dan
Kebudayaan Balai Pustaka, Jakarta.
33) Wahyu Effendi (Tjoa Jiu Tie), Prasetyadi, 2008, Tionghoa dalam
Cengkraman SBKRI, Cetakan pertama, Visimedia, Jakarta.
36) http://lisasuroso.wordpress.com/2007/09/12/benang-kusut-masalah-
kewarganegaraan/. 5 Oktober 2008.
96
LAMPIRAN II: RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP)
RPP PERTEMUAN KE I
8. Indikator Pencapaian
a. Mahasiswa mampu menguraikan mengenai peristilahan, pengertian, asas-
asas dan sejarah Hukum Kewarganegaraan dan Kependudukan.
b. Mahasiswa dengan rasa tanggung jawab, jujur dan demokratis mampu
mendiskusikan konsep-konsep, prinsi-prinsip, stelsel (sistem), ruang lingkup,
dan asas-asas dalam Hukum Kewarganegaraan dan Kependudukan.
9. Materi Pokok
a. Peristilahan dalam Hukum Kewarganegaraan.
b. Pengertian dan ruang lingkup Hukum Kewarganegaraan dan Kependudukan.
c. Asas-asas Kewarganegaraan.
d. Sejarah Hukum Kewarganegaraan dan Kependudukan dalam Masa antara
1850-1892, Masa 1892-Kemerdekaan, dan Masa setelah kemerdekaan.
97
10. Metode Pembelajaran
a. Pendekatan: Stundent Centered Learning (SCL).
b. Metode: Problem Based Learning (PBL).
c. Tenik: Ceramahan, diskusi, presentasi, dan tanya jawab.
98
Hukum Kewarganegaraan dan Kependudukan untuk
memahami materi dalam tutorial pada pertemuan
berikutnya.
13. Tugas
99
No Aspek yang Dinilai 3 2 1 Keterangan
1 Kejujuran
2 Tanggung jawab
3 Disiplin
4 Kreativitas
5 Berkomunikasi
100
q. Usep Ranawidjaya; 1983, Hukum Tata Negara Indonesia Dasar-dasarnya,
Ghalia Indonesia, Jakarta.
r. http://lisasuroso.wordpress.com/2007/09/12/benang-kusut-masalah-
kewarganegaraan/. 5 Oktober 2008.
101
LAMPIRAN III: KONTRAK KULIAH
KONTRAK KULIAH
102
repudiasi; dan asas-asas kewarganegaraan. Sejarah pengaturan kewarganegaraan
dan kependudukan di Indonesia merupakan suatu keniscayaan sehingga dijadikan
kajian pada bab tersendiri dalam Hukum Kewarganegaraan dan Kependudukan.
Substansi pokok dalam mata kuliah yaitu: cara memperoleh, cara kehilangan, dan
kembali asal kewarganegaraan Indonesia; status kewarganegaraan perempuan dan
anak dalam perkawinan campuran; serta pengaturan, hak dan kewajiban penduduk.
Mata kuliah ini berusaha sejauh mungkin untuk menghubungkan konsep-konsep
hukum yang ada di bidang kewarganegaraan dan kependudukan dalam instrument
hukum nasional dan inernasional dengan dengan realitas yang terjadi di dalam
masyarakat. Karena itu, dalam perkuliahan dan tutorial dipergunakan berbagai
contoh kasus yang terjadi di dalam masyarakat untuk membantu memahami
ketentuan-ketentuan normatif yang terdapat di dalam produk hukum mengenai
kewarganegaraan dan kependudukan.
9. CapaianPembelajaran:
Pada akhir perkuliahan mata kuliah ini mahasiswa menguasai pengetahuan
mengenai konsep-konsep dan peristilahan dalam Hukum Kewarganegaraan dan
kependudukan, asas-asas kewarganegaraan, sejarah Hukum Kewarganegaraan,
pengaturan kewarganegaraan, diaspora dan kewarganegaraan, kependudukan di
Indonesia, dan kemanfaatannya bagi masyarakat. Mahasiswa dengan rasa
tanggung jawab, jujur dan demokratis terampil dalam menalisis penerapan
ketentuan-ketentuan mengenai cara memperoleh, cara kehilangan, dan kembali asal
kewarganegaraan Indonesia; status kewarganegaraan perempuan dan anak dalam
perkawinan campuran; dan mengembangkan sikap religius, rasa ingin tahu, kritis,
logis dalam menyelesaikan masalah-masalah kewarganegaraan serta peduli
terhadap lingkungan masyarakat.
103
a. Masa antara 1850-1892
b. Masa 1892-Kemerdekaan
c. Masa setelah kemerdekaan
3. Pengaturan Kewarganegaraan di Indonesia :
a. Prinsip-prinsip umum kewarganegaraan
b. Siapakah warga negara Indonesia
c. Cara-cara memperoleh kewarganegaraan
d. Cara-cara kehilangan kewarganegaraan
4. Diaspora
a. Pengertian Diaspora
b. Kewarganegaraan Diaspora
5. Kewarganegaraan dan Perkawinan Campuran:
a. Kewarganegaraan perempuan dalam perkawinan campuran
b. Kewarganegaraan anak dalam perkawinan campuran
c. Kewarganegaraan anak akibat putusnya perkawinan campuran
6. Kependudukan:
a. Pengertian Kependudukan
b. Pengaturan Kependudukan
c. Hak dan Kewajiban Penduduk
12. Tugas-tugas
Tugas-tugas dalam perkuliahan dalam satu semester terdiri dari:
104
a. tugas-tugas latihan yang terdapat pada setiap sesi penutup kegiatan
pembelajaran seagai media evaluasi atas capaian pembelajaran atas satu
bahan kajian; dan
b. tugas-tugas yang terdapat pada setiap kegiatan tutorial yang divisualisasi
dengan kasus-kasus untuk mencapai capaian kemampuan akhir yang
direncanakan pada setiap pertemuan.
………………………………………. …………………………………
Mengetahui
Ketua Bagian HTN,
………………………………………..
105