Anda di halaman 1dari 2

Tidak ada Pengecualian Jenis Kelamin Dalam Pelecehan Seksual

Seiring hari terdengarnya kasus pelecehan seksual yang terjadi semakin sering. Melalui
media sosial semakin banyak berita-berita yang memberi informasi mengenai terjadinya
pelecehan seksual. Perlu diketahui bahwa pelecehan seksual terjadi tanpa adanya
konteks/persetujuan salah satu pihak (korban). Apabila kedua belah pihak (pelaku & korban)
sama-sama menyetujui berarti tindakan yang berhubungan dengan seksual yang terjadi bukan
sebuah pelecehan seksual. Menurut Tulus Winarsunu dalam buku Psikologi Keselamatan
Kerja, pelecehan seksual merupakan segala macam bentuk perilaku yang berkonotasi seksual
yang dilakukan secara sepihak dan tidak dikehendaki oleh korbannya. Bentuknya dapat
berupa ucapan, tulisan, simbol, isyarat dan tindakan yang berkonotasi seksual. Kemudian apa
saja tindakan seseorang yang dapat dikatakan sebagai perilaku melecehkan orang lain?
Dilansir dari halodoc.com, bentuk tindakan yang dianggap sebagai pelecehan seksual yaitu:

a. Perilaku Menggoda
Perilaku menggoda ditandai dengan perilaku seksual yang menyinggung, tidak pantas, dan
tidak diinginkan oleh korban. Contohnya, menggoda seseorang hingga membuatnya risih,
memaksa seseorang untuk melakukan hal yang tidak disukainya, dan ajakan lain yang tidak
pantas atau diinginkan seseorang. Kalau dalam kehidupan sehari-hari, perilaku menggoda
yang kerap ditemukan misal dengan mengganggu orang lain baik korbannya laki-laki atau
perempuan dengan siulan, komentar terkait bentuk tubuh secara vulgar atau biasa disebut
catcalling.

b. Pelanggaran Seksual
Perilaku ini berupa pelanggaran seksual berat seperti, menyentuh, merasakan, atau meraih
secara paksa, serta penyerangan seksual yang tidak pantas atau diinginkan oleh seseorang.

c. Pelecehan Gender
Perilaku ini berupa pernyataan seksis yang menghina atau merendahkan seseorang karena
jenis kelamin yang dimilikinya. Contohnya, komentar yang menghina, gambar atau tulisan
yang merendahkan, lelucon cabul atau candaan tentang seks.

d. Pemaksaan Seksual

Perilaku ini terkait seks yang disertai ancaman hukuman. Artinya, seseorang dipaksa
melakukan perilaku yang tidak diinginkannya. Jika tidak, ia diberi ancaman hukuman
tertentu. Bisa berupa pencabutan promosi kerja, evaluasi kerja yang negatif, ancaman
terhadap keselamatan diri atau keluarga, hingga ancaman teror dan pembunuhan.

e. Penyuapan Seksual
Perilaku ini berupa permintaan aktivitas seksual dengan janji imbalan yang dilakukan secara
terang-terangan. Misalnya seorang wanita/pria mengajak seorang anak melakukan hubungan
intim dengan iming-iming uang, asalkan ia tidak memberitahukannya kepada orang lain.
Tidak hanya perempuan yang kerap menjadi korban pelecehan seksual, makin kesini korban
yang berjenis kelamin laki-laki mulai banyak yang turut berani untuk memberikan pengakuan
mereka terkait pelecehan seksual yang dialami. Ini berarti bahwa dalam faktanya korban
pelecehan seksual tidak selalu perempuan dan pelakunya adalah laki-laki tetapi juga dapat
berlaku sebaliknya tanpa kita sadari selama ini. Stigma yang masih beredar dimasyarakat saat
ini laki-laki lah yang sering menjadi pelaku pelecehan seksual, padahal dalam faktanya
perempuan juga bisa menjadi pelaku. Anggapan bahwa menjadi korban pelecehan seksual
merupakan hal yang tabu selama ini & respon masyarakat terhadap korban yang masih dapat
dikatakan banyak negatifnya membuat korban pelecehan seksual terkadang takut untuk
memberi tahu hal tersebut pada lingkungan sekitarnya. Maka dari ini tidak sedikit korban
yang baru memberi tahu keluarganya, temannya, lingkungan sekitarnya terkait pelecehan
seksual yang dialaminya ketika kejadian sudah lama berlangsung. Selama korban diam itulah
pelaku pelecehan seksual akan merasa aman padahal ada korban yang sedang mengalami
masa traumanya & ketika korban berani speak up respon masyarakat tentunya
bermacam-macam. Diantaranya ada yang menyalahkan pakaian korban ‘makannya kalau
pakai baju yang bener’ ‘enak ya mas dianu’ ‘alah masnya munafik banget segala ngelaporin’
‘ya gimana nggak dilecehin orangnya juga mancing-mancing sih’ dan berbagai respon negatif
lainnya. Bisa dilihat apabila ada berita mengenai pelecehan seksual, komentar yang paling
banyak adalah komentar negatif, sedangkan komentar positif bersimpati pada korban &
mendukung pelaku di hukum cukup sedikit atau bahkan tertutup komentar-komentar negatif.

Kasus yang cukup viral beberapa waktu lalu ‘gilang bungkus’ pelaku (gilang) pelecehan
seksual yang yang memiliki fetish kain jarik rata-rata korbannya adalah laki-laki. Kemudian
ada korban pelechan seksual di jalan daerah sleman, seorang pengendara motor perempuan
diperlihatkan kemaluan laki-laki oleh orang asing ketika berhenti dilampu merah. Tentunya
tidak hanya 2 kasus itu saja yang terjadi, masih banyak kasus-kasus pelecehan seksual yang
terjadi yang belum terungkap. Pelaku tidak selalu orang yang jauh dari kita, bahkan orang
terdekat pun dapat menjadi pelaku pelecehan seksual. Korban perempuan & laki-laki tidak
ada bedanya sekarang dalam kacamata pelaku. Tindak lanjut dari pihak yang berkewajiban
juga masih turut diperhatikan saat ini terkait kasus pelecehan seksual. Hal ini juga menjadi
faktor mengapa korban sulit mengungkapkan kejadian yang dialami karena pada akhirnya
banyak kasus yang sama yang tidak ada tindak lanjut atau berakhir dengan saran untuk
berdamai. Padahal tidak semudah itu untuk memaafkan, untuk menerima perlakuan yang
pada dasarnya sangat tidak kita inginkan terjadi. Ada korban yang justru dapat perlakuan
yang tidak jauh lebih baik di lingkungan sekitarnya, ada korban yang mengalami masa
trauma yang berkepanjangan, ada korban yang merasa tidak aman karena pelaku masih bisa
bersosialisasi di lingkungannya. Tidak ada pengecualian jenis kelamin/seks dalam pelecehan
seksual, baik laki-laki maupun perempuan sama-sama dapat menjadi korban pelecehan
seksual & pelaku pelecehan seksual.

Anda mungkin juga menyukai