Anda di halaman 1dari 7

Dakwah Bil Qalam di Masa Pandemi (Hiwar 1)

JAKARTA – Dakwah bil qalam merupakan sebuah metode dakwah yang menggunakan tulisan dalam
menyampaikan sebuah pesan dakwah Islamiyah. Di masa pandemi Covid-19 ini, dakwah bil qalam
mendapatkan momentum yang tepat.

Penulis buku dan aktivis Nahdlatul Ulama (NU), Nur Khalik Ridwan mengatakan, jihad bil qalam atau
jihad dengan pena termasuk bagian dari jihad yang tidak banyak ditekuni secara massal. Padahal,
menurut dia, jihad bilqolam banyak dicontohkan oleh para ulama masa lalu.

Di masa pandemi, menurut dia, dakwah bil lisan yang kerap dilakukan umat Islam menjadi sangat
terbatasi. Karena itu, penikmat dunia sufi ini mengatakan, para dai perlu menggunakan metode
dakwah bil qalam dalam menyampaikan pesan-pesan Islam.

“Situasi sekarang memperjelas keadaan bahwa para dai perlu menyadari pentingnya menggunakan
dakwah bil qalam, baik melalaui media sosial ataupun cetak, ataupun tulisan ringan,” ujar pria yang
biasa dipanggil Pak Nur ini kepada Republika, Rabu (4/8).

Berikut wawancara lengkap wartawan Republika, Muhyiddin bersama Nur Khalik Ridwan:

1. Salah satu sarana dakwah yang masih kurang mendapatkan perhatian dari kalangan dai adalah
berdakwah bilqalam atau melalui tulisan. Apa itu yang disebut dakwah bilqalam?

Saya memaknai dakwah sebagai jihad untuk ikut terlibat mewujudkan kemaslahatan di tengah
masyarakat dan bangsa, melalui jalan ishlahiyah, perbaikan terus menerus, dan gradual. Jihad ini
menyangkut segala aspek yang dapat dilakukan, misalnya tenaga, fikiran, dan harta. Sehingga jihad
dalam pengertian ini adalah perbaikan terus menerus dalam segala dimensinya yang mampu
dilakukan di tengah masyarakat.

Jihad bil qalam atau jihad dengan pena, tulisan dan buku termasuk bagian dari jihad yang tidak
banyak ditekuni secara massal. Padahal, jihad bil qalam adalah bagian dari amal-amal naysrul ilmi
(menyebarkan ilmu) yang sangat penting dan dicontohkan oleh banyak masyayikh di masa lalu.

Aspek menyebarkan ilmu adalah aspek menyuluhi diri dan para audien dengan ilmu, sebagaimana
juga dengan dakwah bil lisan. Yang lebih penting dipahami dalam hal itu, bahwa menguasai ilmu itu
saja tidak cukup kalau hanya berhenti pada tataran perdebatan dan mengerti saja. Karena, ilmu itu
perlu diamalkan, dihayati, diulang-ulang dengan meminta keridhaan-Nya, sehingga ilmu melahirkan
adab-adab yang mencerminkan jamaliyah-Nya Allah.

Ilmu itu adalah nur, cahaya yang menerangi lapangan kehidupan dan perjalanan seseorang atau
masyarakat untuk memperoleh keridhaan-Nya, sehingga menyadari bagian ilmu yang menjadi nur ini
menjadi penting.

Ilmu sebagai nur dalam dakwah bil qalam itu akan menjadikan dakwah itu dilakukan dengan hati-
hati, bertanggungjawab, dan meletakkannya sebagai kasab-kasab dan amal-amal yang akan dimintai
pertanggungjawaban oleh Allah, sehingga niatnya perlu dibersihkan atau dijernihkan.

Sebagai kasab-kasab dan amal-amal, nasyrul ilmi tentu memiliki harapan perubahan dan perbaikan,
tetapi ijabahnya tetap diletakkan, dengan terus menerus kepada Sang Maha Pemberi ijabah, melalui
munajat dan kesungguhan dalam kasab-kasab.

Kesadaran ini menjadi penting agar ilmu itu tidak terlepas dari puncaknya sebab, dan agar tidak
terjebak pada ilmu itu sendiri yang dianggap akan dapat menyelesaikan masalah-masalah yang
dibahasnya di tengah masyarakat, tanpa menyandarkannya kepada Sang Puncak Sebab, yaitu Al-
Muhawwil, Gusti Allah.

2. Para dai di masa pandemi ini tidak bisa melakukan ceramah secara offline, bagaimana
menjadikan masa pandemi ini sebagai momentum untuk dakwah bilqalam?

Masalah situasi sekarang, semoga wabah dan pendemi ini cepat teratasi dan cepat mengalami
pemulihan. Tapi, ini menjadikan situasi keterbatan dalam melakukan dakwah bil lisan, dan
karenanya menjadi tantangan untuk diperkuatnya dakwah bil qalam. Akan tetapi, dakwah bil qalam
memerlukan ketrampilan tersendiri, dan itu perlu disadari. Tidak semua orang yang ahli dalam
menulis, begitu pula sebaliknya.

Akan tetapi situasi sekarang memperjelas keadaan bahwa para dai perlu menyadari pentingnya
menggunakan dakwah bil qalam, baik melalaui media sosial ataupun cetak, ataupun tulisan ringan.
Ketika ruang offline untuk billisan semakin terbatasi, maka perlu mempelajari aspek bil qalam ini.

Saya sendiri kadang-kadang juga menulis di media sosial, terutama di FB. Ada saatnya setiap hari
sampai beberapa bulan, lalu berhenti mengambil jeda, lalu meneruskan lagi sampai stamina
mencukupi. Sesuatu yang selalu saya lakukan adalah menulis setiap hari, minimal dua sampai tiga
halaman untuk dijadikan sebuah buku, sambil tetap menjalani aktivitas lain.

3. Mana yang lebih lebih efisien antara dakwha bil lisan dengan dakwah bil qalam?

Dalam memahami dakwah billisan dan bilqolam, saya tidak memakai prinsip efisien atau tidak. Saya
memahami dakwah bil qalam atau bil lisan, semuanya perlu lakukan, sebagai bagian dari kasab dan
amal-amal. Ketika keadaan bil lisan memungkinkan dan ada amanah untuk itu, misalnya melalui
khutbah di masjid ketika situasi normal, ya harus dilakukan.

Jadi, saya memahami semuanya sebagai jalan tarekat menyempurnakan hidup, menghaluskan budi,
memperbaiki akhlak, pertama untuk diri saya sendiri, sehingga tidak saya melihat efisien atau tidak.
Karena, sesuatu yang kelihatan besar, bisa saja nilainya kecil, atau sebaliknya, sesuatu yang kelihatan
efisien bisa saja sebenarnya tidak efisien, ataupun sebaliknya. Yang penting dijalani secara ikhlas,
terus menerus. Hanya saja, tidak perlu dipungkiri perlunya tanzhim, sistematis, kontinyuitas, dan
menggerakkan komunitas.

Dalam dakwah bil qalam atau bil lisan pun berhubungan dengan orang lain, mereka yang
mendengar, dan mereka yang membaca, saya melihatnya bagian dari amal saling berwasiat, saling
mengingatkan, dan saling berbagi ilmu, dan karenanya saya tidak menempatkan sebagai objek.

Kadang ada orang yang tertarik setelah mendengar sebuah uraian lisan yang menyentuh hatinya,
tetapi kadang juga ada yang tertarik melalui uraian dari tulisan. Bukan tugas seorang dai untuk
menetukan orang bisa tertarik melalui lisan atau tulisan. Akan tetapi tugas dai adalah
menyampaikan melalaui prinsip biqodri uqulihim sesuai dengan tingkat akalnya, biqodri manazilihim
sesuai dengan tingkat kebudayaan buminya, biqodri alisnatihim sesuai dengan tingkat bahasa
penuturnya, dan melakukan apa yang dikerjakan sebagai amal nasrul ilmi, baik dengan lisan atau
tulisan.

Keduanya, dengan lisan atau tidak, semua menjadi berat dan tidak mudah kalau kasab-kasab dan
amal-amal yang dilakukan ini dijadikan sebagai beban yang membebaninya. Akan tetapi kalau
dikerjakan sebagai jalan tarekat, semua akan menjadi ringan dan mudah. Bahwa setiap jalan tarekat
ada tikungan, ada hijab, adalah suatu yang wajar, dan ketika ada kesulitan-kesulitan, puncaknya
dimintakan tafrijul kurub-nya kepada Allah, dan yang terpenting juga perlunya ada pembimbing,
sampai pada batas tertentu dia sendiri menempati maqam itu.

4. Bagaimana Anda melihat prospek dan tantangan dakwah bil qalam sebagai metode komunikasi
dakwah?

Dakwah bil qalam saat ini sangat diperlukan, tanpa harus dikatakan ini prospek atau tidak, karena
kenyataannya masyarakat menjadikan media sosial sebagai sarana yang sangat penting dan bagian
dari kehidupannya, detik per detik. Kalau kita berbicara prospek, seperti ada nuansa menguntungkan
atau tidak menguntungkan. Kita bicara kenyataanya bahwa beberapa penelitian tentang
penggunaan internet di tengah masyarakat semakin hari semakin meningkat, memperkuat perlunya
digeluti dakwah bil qalam ini.

Tantangannya, bagaimana dakwah bil qalam bisa ikut berkontribusi memperbaiki masalah-masalah
kemasyarakatan menurut sudut pandang seorang dai yang tinggal di Indonesia, untuk kepentingan
masyarakat Indonesia. Seorang dai yang tidak hanya menjadi pengutip ayat dan hadits saja, tetapi
harus mengerti tahap perkembangan masyarakatnya, dan masalah dehumanisasi yang ditimbulkan
darinya, atau masalah karat-karat sosial yang muncul darinya.

Perlu direnungkan bahwa seorang dai, bila dia mendaras ayat Alqur’an sendirian, itu bagian dari
dirinya sendiri dengan Allah. Tapi, kalau sudah terjun ke dalam jihad pena, dia selain berhubungan
dengan dirinya dan Allah, juga bagian dari masyarakat dan bangsanya. Karena itu, dai perlu
menempatkan diri sebagai suluh dan menjadikan goresan ilmunya sebagi nur.

Tantangan dai adalah upaya untuk mengintegrasikan mereka yang berbeda sebagai satu bangsa dari
sudut agama, memperbanyak mencari titik temu, agar manusia-manusia Indonesia memperbanyak
melakukan tindakan baik, saling membantu, saling mendukung, bukan saling melemahkan dan
menghujat. Hal ini dicontohkan Kanjeng Nabi Muhammad saat membuat Perjanjian Madinah,
mempersatukan yang berbeda-beda, untuk meperoleh keadilan, kemakmuran, dan keamanan lahir
batin.

Aspek lain, tantangannya adalah perlunya penguasaan keterampilan media sosial. Sekarang ini,
dakwah dengan menggunakan buku cetak tetap jalan, tetapi audien dakwah melalui media sosial
lebih banyak. Generasi tahun 1980-an dan 1990-an akan lebih tertarik dengan buku-buku cetak,
tetapi generasi yang lebih muda sekarang, entah namanya Generasi Z atau Generasi alfa, lebih suka
menggunakan media sosial. Bagi dai, ini tentu kesempatan untuk terlibat, yang mensyaratkan
penguasaan terhadap media sosial, baik dilakukan melalui sebuah tim atau secara personal.

Tantangan berikutnya adalah soal pengemasan di media sosial, yang memerlukan keterampilan
sendiri, berbicara melalui tulisan secara padat ringkas dan tidak berbelit-belit, tetapi bisa menggugah
dengan poin-poin tertentu.

Karena, audien ada yang memerlukan tulisan dengan karakter menggunakan dalil-dalil, dengan
memberikan sedikit wawasan dan ada yang menyukai menggunakan narasi cerita, dengan sedikit
dalil, dan meluaskan wawasan. Tidak perlu kita membuat kontradiski antara keduanya. Bahkan
kadang memerlukan pendekatan kesejarahan, sehingga semua yang dapat menunjang perlu
dilakukan.

Tantangan terpenting kembali kepada dai yaitu apa yang ditulis dai sama dengan kata-kata bil lisan.
Menurut Imam al-Ghazali dalam Kitab Bidayatul Hidayah, fa’innahu aqwa asbabi halakika fiddunya
wal akhirah (Maka sesungguhnya lisan adalah anggota tubuh yang paling dominan membinasakan
dirimu di dunia akhirat)
Nah, kalau itu dihubungkan dengan dakwah bil qalam adalah lisan melalui pena, yaitu bila isinya
tidak membawa maslahat, tidak menyadarkan orang pada keluhuran Asma, Sifat dan Afal-Nya Allah,
tidak mampu mengintegrasikan masyarakat yang berbeda-beda untuk melakukan kebaikan,
memperbanyak titik temu, tentu ada juga yang akan terjatuh pada afat-nya bahaya lisan pena.
Misalnya, pena yang sekadar digunakan untuk mengejek orang, untuk melaknat orang, dan
sejenisnya, termasuk aqwa asbabi halakika tadi.

5. Menurut Anda, apa saja yang perlu diperhatikan dalam melakukan dakwah bil qalaman melalui
media sosial?

Dakwah di media sosial saat ini, berarti akan berbicara kepada audien yang berbeda dengan
audien tahun 1990-an dan 1980-an. Mereka adalah anak-anak muda yang juga beragama,
sekalaigus menjadi manusia Indonesia, dan bagian dari dunia. Aspek sains dan ilmu pengetahuan
perlu diperkaya untuk saat ini, tetapi pada sisi lain, mereka yang merindukan dalil-dalil yang kuat
untuk beragama di tengah kegamangan menghadap laju perubahan, juga perlu dimengerti, tetap
perlu disapa, keduanya saling berjalan, tidak perlu saling menegasikan.

Penting dimengerti, agama bukan hanya urusan ritual, tetapi seluruh hidup manusia beriman
adalah bagian dari ibadah, bila diniatkan untuk mengabdi kepada Alloh, termasuk tentu, di dalam
dimensi media sosial. Juga penting dimengerti, menjadi muslim dan mukmin di Indonesia, juga
berarti menjadi manusia Indonesia dan masyarakat Indonesia yang beradab. Membela umat, juga
sama artinya dengan membela bangsa, jangan dipisah, dan karenanya menjadi muslim dan
mukmin, juga menghendaki adanya perubahan di masyarakat ke arah yang lebih maslahat, tetapi
tetap dengan tidak meninggalkan tradisi, komunitas, nilai-nilai yang sudah ada, titik temu., dan
kehendak bekerjasama dengan semua kelompok bangsa, meskipun masing-masing orang
berangkat dari komunitas yang berbeda. Hal-hal sepert ini perlu memperoleh perhatian.

Walhasil, kepedulian dan kemauan para da’i agar terlibat di media sosial sangat diperlukan, agar
media sosial tidak hanya diisi oleh para petualang yang hanya mencari keuntungan dari media
sosial. Inilah tantangan da’i agar mau terlibat ke dalam kancah jihad pena ini.

6. Sekarang banyak tulisan-tulisan keagamaan yang menyebar di media sosial yang belum tentu
kebenerannya, bagaimana masyarakat menyikapinya?

Audien itu bukan objek, audien adalah kawan dan sahabat dalam bergesekan ilmu yang baik dan
bertukar pengalaman, melalui lisan qolam. Tidak semua yang ada di media sosial harus ditelan
mentah-mentah, perlu dicerna, difikir, ditimbang, kalau perlu di-tabayyun; tidak perlu terburu-
buru,. dan bila memang sulit, perlu ditanyakan kepada ahlinya. Dalam soa bimbingan keagamaan,
apa yang ada di media sosial, perlu dilihat hanya salah satu saja dari bahan referensi dan bahan
gesekan ilmu tadi. Yang diperlukan untuk bimbingan keberagamaan, adalah mencari guru, atau
meguru kepada orang yang dipercayai ahli di bidang itu, kalau bisa yang arif dan memiliki ilmu
lahir dan batin mendalam. Guru yang demikian, dalam setiap pertemuan Kn dirasakan
manfaatnya, karena menyadarkan untuk meluhurkan asma’ Alloh, melalui tiundakan-tindakan
kita, dalam lapangan pengabdian di seluruh kasab-kasab kita.

7. Siapapun sekarang bisa menulis di media sosial, apa dampak positif dan negatif dakwah melalui
media sosial?

Setiap sesuatu memiliki sisi negatif dan positif, ada masalahat dan tidaknya. Dampak positifnya
dari media sosial, semua orang dapat mengakses apa yang diperlukan dari ruang-ruang pribadi
mereka, di kamar, di kasur, dan di meja makan, tetapi tetap harus punya kuota lho; sebaliknya,
media sosial juga menyediakan semua hal yang kurang baik, atau bahkan tidak baik sama sekali,
dalam bentuk narasi pengetahuan atau gambar yang bisa diakses oleh anak-anak sekalipun, dan
hal ini tidak bisa dibendung, kecuali perlu kehati-hatian penggunanya. Membekali audien, agar
mengakses sesuatu yang perlu dan masalahat sangat penting, tetapi mencegahnya untuk tidak
menggunakan media sosial adalah tidak tepat.

n/Muhyiddin

Tulisan kedua.

Latar belakang, dorongan menulis, tantangan menulis buku keagamaan

1. Latar belakang pendidikan

Pendidikan saya dimulai dari Pondok Pesantren, di ujung timur Pulau Jawa, di PP. Darunanajah,
Tanjungsari Banyuwangi, diasuh oleh KH Dardiri Salam, dan KH Thoha Muntaha yang mengasuh
Pesantren Futhiyyah; sambil sekolah formal sampai tingkat MTsN; dan sambil berguru kepada kyai-
kyai kampung, mengambil hikmah dan ijazah ilmu dari mereka. Saya kemudian melanjutkan ke
jenjang menengah atas di Jember, di MANPK Jember, sambil berguru kepada beberapa kyai di
Jember, dan ikut MAPABA IPNU di Jember; lalu melanjutkan ke IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,
sambil nyantri kepada Habib Mashyur Ridho dan KH. Dr. Thoifur MSc di PP. Inayatulloh, dan berguru
kepada beberapa kyai untuk mengambil ijazah wirid dan tarekat, dan ngangsu kaweruh kepada
banyak guru aktivis untuk belajar gerakan sosial. Pendidikan formal terakhir, drop out dari S2 di
Sanata Dharma, jurusan Religi Budaya.

2. Menulis Buku Keagamaan

Sejak masih di MANPK Jember, saya sudah menulis catatan-catatan harian, tetapi tidak
dipublikasikan. Tekun menulis kemudian ketika mahasiswa. Awalnya menulis di kolom debat
mahasiswa, opini, dan resensi di koran-koran, jurnal, dan bahkan majalah. Akan tetapi kemudian
memilih fokus menulis buku, sampai saat ini. Saya diwasiati oleh guru saya, agar menyebarkan ilmu-
ilmu yang telah dipelajari dengan kesabaran dan ikhlas. Ini saya pegangi, sehingga dimuat di media
sosial, di koran atau di majalah atau tidak, saya tetap saja menulis, dicetak menjadi buku atau tidak,
saya pun tetap menulis. Bahkan pernah selama 5 tahun saya off mempublikasikan tulisan, tetapi
tetap menulis.

Soal menulis buku-buku keagamaan, karena latar belakang saya berasal dari jurusan keagamaan
(ilmu hukum Islam) dan ilmu-ilmu sosial (Religi dan Budaya), juga tradisi tarekat yang saya anut,
maka yang bisa dan paling mungkin bisa saya tulis yang berhubungan dengan aspek-aspek
keagamaan, semisal pribumisasi Islam, tarekat, diskursus keagamaan, gerakan keagamaan, babad
para sufi, dan lain-lain. Saya sendiri menyadari aspek dan bidang apa pun, memerlukan perspektif,
dan sudut pandang keagamaan itu akhirnya saya rasa penting untuk digeluti dalam medan jihad
pena.

3. Tantangan Tantangan Menulis Buku Keagamaan

Tantangan utama adalah mengalahkan kemalasan untuk duduk tekun dan membaca mutholaah agar
kita sendiri tidak menjadi bodoh, dengan otodidak atau yang sudah dipelajari dari guru. Ini harus
dilewati, dengan tabah dan kuat, agar semakin luas dan kaya dalam melihat sesuatu. Kedua,
tantangan jasmani, semakin lama semakin menurun, bila tidak memiliki pulsa rohani yang cukup,
akan cepat putus asa dan meninggalkan jalan menulis, yang pulsa rohani itu atau kuota, itu
didapatkan melalaui penghayatan terhadap hidup dan wirid-wirid. Itu penting dimiliki seorang
penulis, terutama yang bergelut dalam bidang-bidang keagamaan, agar tulisan-tulisan yang kita
buat, tidak justru melawan diri kita sendiri.

Ketiga, kalau terlalu berekspektasi bahwa tulisan yang telah dibuat akan diterima banyak kalangan,
itu adalah suatu yang akan melawan dirinya sendiri, karenanya, yang penting menulis menurut apa
yang sudah kita maksimalkan, tetapi lalu kita bertawakkal kepada Alloh, yang penting terus menerus
menulis. Dibaca atau tidak dibaca kita berserah diri setelah maksimal dalam menulisnya. Keempat,
meluruskan niat, ketika menulis dan menekuni jalan menulis. Kelima, memiliki perspektif di tengah
banyak sengkerut, aliran, dan faham keagamaan, dan siap melakukan perbaikan-perbaikan seiring
dengan perjalanan waktu dan umur. Kalau menulis tidak memiliki perspektif, sama seperti menanam
yang tidak ditancapkan ke dalam tanah yang dalam.

Keenam, musuh utama penulis adalah khayalannya sendiri, termasuk dalam bidang keagamaan,
karena muharabatu ahli ilmi (mujahadahnya ahli ilmu adalah minal fikrat lewat aqalnya sendiri,
sehingga khayal khayal perlu dilembutkan agar menyatu dengan nilai-nilai yang dipegangi supaya
tidak terlepas dari upaya meluhurkan Asma, Sifat dan Af`al-Nya Gusti Alloh. Kalau jalan ini ditekuni
insya Alloh akan menghantarkannya menjadi rijal yang fihi qalbun wa fihi lisanun.

Nur Khalik Ridwan, lahir di Banyuwangi 15 Maret 1974)

Beberapa buku yang telah ditulis

Ensiklopedia Khittah NU (4 jilid).

Suluk dan Tarekat (ada 4 jilid)

Tafsir Surat Al-Maun

Regenerasi NII

Gerakan Wahhabi

Masa Depan NU

Dalil-Dalil Agama Gus Dur

Suluk Gus Dur

Syarah 9 Nilai Gus Dur

Gus Dur dan Negara Pancasila

Pribumisasi Islam di Jawa 1300-1500 M. (segera terbit)

Babad Para wali Sufi di Jawa 1300-1500 M. (segera terbit)

Gerakan Tarekat di Asia 1300-1500 M. (segera terbit)

Dll.
JAKARTA –

1. Bisa diceritakan sedikit tentang latarbelakang pendidikan Anda?

2. Anda kan termasuk penulis produktif dari kalangna muda NU, khususnya dalam bidang
keagamaan. Apa yang membuat Anda menulis buku tentang keagamaan?

3. Apa tantangan menulis buku-buku keagamaan?

Anda mungkin juga menyukai