Anda di halaman 1dari 16

TUGAS MATA KULIAH IRIGASI DAN BANGUNAN AIR

PAPER TENTANG SUBAK

Oleh :

Kadek Ryo Aryawan

1905511137

Paralel 1 Teknik Sipil

PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS UDAYANA

2021
Subak

 Sistem Subak

Sistem irigasi subak adalah sebuah organisasi tradisional yang berdasarkan

konsep Tri Hita Karana yang bersumber dari ajaran agama Hindu. Sistem subak

adalah merupakan salah satu bentuk sistem irigasi yang mampu

mengakomodasikan dinamika sistem sosio-teknis masyarakat setempat. Air irigasi

dikelola dengan prinsip-prinsip keadilan, keterbukaan,harmoni dan kebersamaan,

melalui suatu organisasi yang fleksibel yang sesuai dengan kepentingan

masyarakat. Sementara itu keberadaan artefak pada sistem subak dibangun

sedemikian rupa sehingga mampu mendukung prinsip-prinsip sistem subak. Ini

berarti bahwa sistem subak pada hakekatnya adalah suatu teknologi yang telah

membudaya dalam dinamika kehidupan masyarakat Bali (Windia,dkk, 2015).

 Pengertian subak

Subak merupakan organisasi tradisional para petani di Bali yang terutama

bertujuan untuk berbagi tanggung jawab dalam pengelolaan irigasi air, dan pola

tanam padi di sawah. Subak sebagai sistem irigasi yang berbasis petani,

merupakan lembaga yang bersifat mandiri dan demokratis. Bangunan utama yang

ada dalam subak adalah bangunan saluran irigasi. Hal ini sesuai dengan sejarah

subak. Nama subak berasal dari kata “kasuwakan” atau saluran air.

Ada beberapa pendapat para pakar tentang pengertian subak yang ada di

Bali seperti : Menurut Windia (2006), subak merupakan organisasi pengairan


tradisional di bidang pertanian , yang berdasarkan atas seni dan budaya serta

diwarisi secara turun temurun oleh masyarakat di Pulau Dewata. Subak adalah

organisasi kemasyarakatan yang khusus mengatur sistem pengairan sawah yang

digunakan dalam bercocok tanam padi di Bali. Subak biasanya memiliki pura

yang dinamakan Pura Uluncarik, atau Pura Bedugul, yang khusus dibangun oleh

para pemilik lahan dan petani yang diperuntukkan bagi dewi kemakmuran dan

kesuburan yaitu Dewi Sri. Sistem pengairan ini diatur oleh seorang pemuka adat

yang juga adalah seorang petani di Bali yang disebut dengan “Pekaseh”

Menurut Peraturan Daerah Provinsi Bali No.9 Tahun 2012, subak adalah

organisasi tradisional dibidang tataguna air dan atau tatatanaman ditingkat

usahatani pada masyarakat adat di Bali yang bersifat sosio-agraris,religius,

ekonomis yang secara historis terus tumbuh dan berkembang. Definisi ini

ditetapkan oleh Gubernur Bali tanggal 17 Desember 2012.

Menurut Sutawan (2008) memberikan beberapa definisi tentang subak,

yaitu (1) subak sebagai lembaga irigasi dan pertanian yang bercorak sosio-

religius terutama bergerak dalam pengelolaan air untuk produksi tanaman

setahun khususnya padi berdasarkan prinsip Tri Hita Karana; (2) subak sebagai

sistem irigasi, selain merupakan sistem fisik juga merupakan sistem sosial.

Sistem fisik diartikan sebagai lingkungan fisik yang berkaitan erat dengan irigasi

seperti sumber-sumber air beserta fasilitas irigasi berupa empelan, bendung atau

dam, saluran-saluran air, bangunan bagi, dan sebagainya, sedangkan sistem

sosial adalah organisasi sosial yang mengelola sistem fisik tersebut ; (3) subak

sebagai organisasi petani pemakai air yang sawah-sawah para anggotanya


memperoleh air dari sumber yang sama dan mempunyai satu atau lebih Pura

Bedugul, serta mempunyai otonomi penuh baik ke dalam (mengurus

kepentingan rumah tangganya sendiri), maupun keluar dalam arti kata bebas

mengadakan hubungan langsung dengan pihak luar secara mandiri.

 Karakteristik subak

Menurut Sutawan (2008) ada beberapa karateristik dari subak yang

merupakan sistem irigasi tradisonal adalah sebagai berikut.

1. Mempunyai batas-batas yang jelas dan pasti menurut wilayah hidrologis

bukan wilayah administrasi desa. Di Bali ada pemisahan yang tegas

antara administrasi desa dengan administrasi subak dalam uruasan

mengatur irigasi;

2. Subak memiliki hak otonomi untuk mengurus rumah tangganya sendiri.

Hak otonomi ini sudah melekat sejak awal terbentuknya subak di Bali;

3 Melaksanakan ritual keagaamaan dalam kegiatan subak bagi anggota

yang tergabung dalam wadah organisasi subak. Melalui pelaksanaan

ritual keagamaan ini diharapkan berbagai potensi konflik antar anggota

dalam satu subak dan antara subak dengan subak lainnya dapat

diminimalisir. Pelaksanaan ritual agama ini agar dapat mewujudkan

ketentraman dan keharmonisan hubungan antara petani dengan Tuhan,

dengan sesamanya dan dengan lingkungan;

4. Subak memiliki struktur organisasi yang memadai sesuai dengan

keperluannya. Dalam struktur mengatur secara tegas tugas dan


tanggungjawab serta hak masing-masing pengurus;

5. Subak memiliki satu atau lebih sumber air bersama dan satu atau lebih

Pura Bedugul. Sumber mata air bersama ini diperoleh dari satu atau

lebih sumber mata air seperti empelan/bendung, mata air, tirisan atau

rembesan dari subak-subak diatasnya;

6. Setiap sistem irigasi subak mempunyai ciri dimana setiap hamparan

sawah garapan dari anggota subak mempunyai tembuku pengalapan

tempat masuknya air dan pengutangan tempat keluarnya air atau

tempat pembuangan air yang berlebih sendiri-sendiri;

7. Pengambilan keputusan di subak dalam pengelolaan sistem irigasi

dilakukan dengan demokratis, berkeadialan, transparansi dan

akuntabilitas.

 Struktur organisasi subak

Menurut Sutawan (1986), Subak sebagai organisasi tradisional di Bali

memiliki ciri-ciri sebagai berikut. (1) Mempunyai wilayah berupa areal

persawahan dengan batas-batas yang jelas. (2) Mempunyai krama subak

(anggota subak). (3) Mempunyai prajuru subak (pengurus). (4) Mempunyai

sumber air irigasi dari sebuah empelan (bendungan). (5) Mempunyai awig-awig

(peraturan- peraturan dasar). (6) Mempunyai otonomi penuh baik ke dalam

(mengurus rumah tangganya sendiri) maupun keluar (bebas mengadakan

hubungan langsung dengan pihak luar). (7) Mempunyai satu atau lebih Pura

tempat pemujaan Tuhan dalam manifestasinya sebagai Dewi Kesuburan. Ketujuh


ciri yang dimiliki tersebut dapat menjamin tercapainya tujuan subak.

Subak sebagai organisasi memiliki struktur organisasi subak yang

disajikan pada Gambar 2.1.

Pekaseh
(Ketua Subak)
Penyarikan (Sekretaris)
Juru Raksa/Petengen (Bendahara)
Juru Arah

Kelian Tempek
(Ketua Tempek)

Krama
Tempek/Anggota Subak

Gambar Struktur Organisasi Subak yang Memiliki Beberapa


Tempek tanpa Status Semiotonom (Sutawan, 2008)

 Sejarah subak

Keberadaan subak dapat dilihat pada beberapa prasasti, seperti Prasasti

Sukawana, Prasasti Trunyan, Prasasti Raja Purana dan Prasasti Bebetin. Dalam

Prasasti Trunyan tertulis bahwa tahun 881 masehi telah dikenal istilah makaraser

yang berart i pekaseh atau pengurus pengairan. Pada tahun 882 masehi dalam

Prasasti Sukawana ditemukan istilah huma (sawah) dan perlak (tegalan),

kemudian dalam Prasasti Bebetin tahun 896 masehi ditemukan istilah undagi

lancah (tukang pembuat perahu), undagi batu (tukang pembuat batu) dan undagi

pengarung (tukang membuat terowongan air). Pada masa itu sudah dikenal

adanya kilan (bangunan pembagi air) yang mengalirkan air masuk kepetakan
sawah. Tahun 1072 masehi, dalam Prasasti Raja Purana disebutkan telah ada

pembagian air yang masuk ke petak sawah secara baik dan adil yang berasal dari

satu sumber (Purwita, 1997 dalam Dewi, 2015).

Menurut Purwita, 1997 (dalam Dewi, 2015), berdasarkan beberapa

prasasti tersebut,secara faktual pada tahun 1072 masehi di Bali sudah terbentuk

organisasi yang mengatur sistem pengairan di sawah beserta segala kegiatan

yang dilakukan oleh anggotanya yang dikenal dengan nama subak. Pada saat

Bali berada dibawah naungan Kerajaan Majapahit tahun 1343, diangkat asidahan

yang mengkoordinir subak-subak yang ada di Bali (sekarang bernama sedahan)

dan bertugas mengurus pungutan upeti atau tigasana (pajak) pertanian. Setiap

kabupaten/Kota yang ada di Provinsi Bali dibentuk Sedahan Agung yang

mengkoordinasikan sedahan-sedahan dalam konteks pembinaan subak dan

pemungutan pajak pertanian, pada masa pemerintahan Belanda di Bali. Selain itu,

Belanda juga membagi sawah-sawah menurut tingkat kesuburan tanah, sehingga

tanah-tanah yang ada di Bali menjadi berklas-klas. Pembagian tanah ini ada

hubungannya dengan besar kecilnya pajak yang dipungut. Pembayaran pajak

pertanian dilakukan dalam bentuk uang. Pemerintahan Belanda Dalam upaya

mengintensifkan pembayaran pajak, mengadakan pengukuran luas tanah secara

pasti yang disebut klasier (klasifikasi). Berdasarkan hasil klasifikasi dapat

diketahui luas sawah maupun tegalan sehingga besarnya pajak dapat ditetapkan.

 Fungsi subak

Pengelolaan subak bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan kepada


para anggotanya. Untuk mewujudkan tujuan tersebut pengelola dihadapkan pada

fungsi dan tugas pokok dalam subak. Fungsi dan tugas yang dilakukan oleh

subak dibagi atas fungsi internal dan eksternal. Secara eksternal, subak

mempunyai fungsi dan peranan yang sangat penting dalam pembangunan

pertanian dan pedesaan. Secara internal, subak mempunyai peranan, fungsi dan

tugas yang sangat penting dan mutlak bagi kehidupan organisasi subak maupun

anggota-anggotanya dalam hubungannya dengan pertanian. Berikut ini diuraikan

lima fungsi/aktivitas subak menurut Sutawan (2008).

1. Pencarian dan distribusi air irigasi

Sutawan (2008) membedakan pengertian pengalokasian air dan

pendistribusian air irigasi. Pengalokasian air irigasi adalah kegiatan menjatahkan

atau kegiatan memberikan hak pemanfaatan air yang tersedia kepada setiap

anggota subak. Pendistribusian air irigasi adalah penyaluran atau pemberian

jatah air yang telah ditetapkan itu dari saluran induk sampai kepada petak sawah

tiap anggota agar dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk produksi pangan

khususnya beras.

Sudarsana (1984) mengemukakan bahwa fasilitas irigasi yang dibangun

subak untuk mendapat air irigasi dari suatu sumber adalah empelan, aungan,

saluran,dan bangunan fisik lainnya. Air yang telah didapatkan oleh subak

kemudian didistribusikan ke sawah anggota subak sesuai dengan haknya.

Hak atas air anggota subak ditentukan berdasarkan luas sawah yang

diukur dengan tektek atau kecoran. Secara umum,air irigasi satu tektek diberikan

untuk sawah seluas antara 30 sd 40 are. Satu tektek adalah besarnya air yang
mengalir melalui penampang dengan lebar sekitar lima cm dan tinggi sekitar satu

cm. Satu tektek air berarti “satu porsi” air. Hak air satu tektek menuntut

kontribusi tenaga kerja (ayahan) sebanyak satu orang tenaga kerja pada setiap

kegiatan subak dan kontribusi materi atau uang (disebut peturunan) sebesar

“satu porsi” (Sutawan, 2008 dalam Dewi, 2015).

Sutawan (2008) berpendapat bahwa pendistribusian air ke sawah petani

pada umumnya menggunakan dua metode, yaitu (1) metode pengaliran kontinyu

(continuousflow) dan (2) metode bergilir. Dalam metode pengaliran kontinyu,

semua petani mendapatkan air secara serempak pada musim hujan dan musim

kemarau. Artinya, semua pintu air dalam keadaan terbuka terus menerus

sepanjang tahun. Sebaliknya, dalam metode bergilir tidak semua anggota subak

mendapatkan air pada suatu waktu tertentu. Oleh karena itu, dalam metode

bergilir, wilayah subak dibagi dalam dua atau tiga kelompok persawahan.

Dalam metode bergilir, setiap kelompok persawahan menerima air irigasi

pada waktu yang berbeda. Apabila wilayah subak di bagi dalam dua kelompok

persawahan maka pada musim hujan kedua kelompok menerima air irigasi (MT

Padi I), sedangkan pada musim kemarau untuk MT Padi II : kelompok I

menanam padi dan kelompok II menanam palawija, kemudian MT III :

kelompok I menanam palawija dan kelompok II menanam padi. Metode ini

disebut nugel bumbung (metode bergilir). Apabila persawahan dibagi dalam

tiga kelompok maka pada musim hujan semua kelompok menerima air irigasi,

tetapi pada musim kemarau kelompok hulu (persawahan di bagian hulu) berhak

menerima air yang pertama, kemudian digeser ke kelompok menengah


(maongin), dan terakhir digeser kekelompok hilir (ngasep). Dalam beberapa

subak, alokasi air dimulai dari bagian hilir, kemudian ke bagian tengah dan

terakhir ke bagian hulu (Sutawan, 2008 dalam Dewi, 2015).

Jaringan irigasi subak sudah dikonstruksi sedemikian lengkap seperti

dalam uraian berikut.

1. Empelan/buka/freeintake (bangunan pengambilan utama) disumber airnya

dilengkapi dengan langki atau tanjerig (pembatas aliran banjir).

2. Telabah (saluran pembawa) untuk mengalirkan air dari bangunan utama

yang dilengkapi dengan bangunan pelengkap seperti abangan (talang),

telepus (siphon), petaku (terjunan), pekiyuh (peluap samping).

3. Aungan (terowongan) yang dilengkapi dengan lubang udara dan lubang

kontrol, dimana bila lubang tersebut ditempatkan mendatar disebut dengan

calung dan bila tegak disebut dengan bindu.

4. Bangunan pembagi air dari pembagi utama sampai saluran pembawa

dipetak sawah, yaitu tembuku aya (bangunan bagi utama), tembuku

pemaron (bangunan bagi), tembuku daanan (bangunan sadap), tembuku

pengalapan (bangunan pembagi dipetak sawah).

5. Saluran irigasi dari tembuku pemaron disebut dengan telabah pemaron

(saluran sekunder), sedangkan saluran irigasi yang membawa air dari

tembuku daanan (bangunan sadap) ke petak sawah disebut dengan telabah

daanan (saluran tersier).

6. Telabah pengutangan (saluran pembuangan) yaitu saluran yang berfungsi

untuk membuang kelebihan air dari petak sawah yang dialirkan kembali ke
pangkung (lembah alam).

2. Pemeliharaan fasilitas irigasi

Berdasarkan Peraturan Menteri No.32/PRT/M/2007 tentang Pedoman

Operasi dan Pemeliharaan Jaringan Irigasi, operasi jaringan irigasi adalah upaya

pengaturan air irigasi pada jaringan irigasi yang meliputi penyediaan,

pembagian, pemberian, penggunaan, pembuangan dan konservasi air irigasi

termasuk kegiatan membuka dan menutup pintu bangunan irigasi, menyusun

rencana tata tanam, sistem golongan, menyusun rencana pembagian air,

pengumpulan data, pemantauan dan evaluasi. Pengertian pemeliharaan jaringan

irigasi adalah upaya menjaga dan mengamankan jaringan irigasi agar selalu

dapat berfungsi dengan baik guna memperlancar pelaksanaan operasi dan

mempertahankan kelestariannya (Peraturan Menteri No. 32/PRT/M/2007).

Menurut Sutawan (2008), berdasarkan tanggungjawab operasi dan

pemeliharaan jaringan irigasi, maka subak dapat dibedakan menjadi : (1) subak

yang sepenuhnya dikelola oleh petani, yaitu semua urusan persubakkan ditangani

oleh petani termasuk operasi dan pemeliharaan bendung, jaringan utama,

maupun jaringan tersier dan (2) subak yang dikelola secara patungan, yaitu

jaringan utama (jaringan primer dan sekunder) dikelola oleh pemerintah,

sedangkan jaringan tersier oleh subak.

3. Penggalian dana dan mobilisasi sumberdaya

Dana subak secara umum sumbernya adalah (1) peturunan, yaitu iuran

yang dibayar oleh anggota subak secara insidental sesuai dengan kebutuhan

subak. Bentuk peturunan dapat berupa uang atau material; (2) dedosan atau
denda, yaitu pelaku pelanggaran awig-awig didenda sesuai dengan besar kecilnya

pelanggaran ; (3) sarin tahun, yaitu iuran yang dibayar oleh anggota subak setiap

habis panen padi. Pada umumnya Sarin tahun diberikan dalam bentuk gabah

yang besarnya sesuai dengan luas sawah atau hak atas air; (4) pengoot; dan (5)

bantuan pemerintah, yaitu pemerintah membantu subak dalam merehabilitasi

sarana dan prasarana (Pitana, 1997; Sudarta, 2002 ; dan Sutawan, 2008).

Dana subak yang terkumpul dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan

subak, meliputi pemeliharaan dan perbaikan fasilitas air irigasi (bendungan,

saluran air irigasi dan terowongan), pemeliharaan dan perbaikan pura subak,

upacara keagamaan, administrasi, rapat-rapat subak, imbalan pengurus subak,

dan keperluan-keperluan lainnya (Sudarta dkk. 1989; Pitana, 1997 dan Sutawan,

2008),

4. Penanganan persengketaan

Subak sebagai lembaga irigasi sering mengalami konflik terkait dengan air

irigasi. Konflik yang dialami juga dapat bersumber pada batas-batas tanah

sawah, adanya pepohonan diperbatasan sawah yang menaungi sawah orang lain,

hewan peliharaan yang merusak tanaman orang lain, dan sebagainya (Sutawan,

2008).

Menurut Sutawan (2008), konflik yang tidak dapat diselesaikan secara

kekeluargaan akan dibawa dalam rapat subak. Umumnya konflik yang terjadi

tidak sampai menimbulkan benturan fisik dan dapat diselesaikan baik ditingkat

tempek maupun di tingkat subak.


5. Penyelenggaraan kegiatan keagamaan

Salah satu keunikan subak dibandingkan dengan organisasi petani

pemakai air di luar Bali adalah adanya upacara keagamaan dengan frekuensi

yang cukup tinggi. Upacara keagamaan mengikuti siklus kehidupan padi, ada

yang dilakukan di tingkat petani dan adapula di tingkat tempek (Sutawan, 2008).

Menurut Sutawan (2008), upacara keagamaan di tingkat petani adalah

(1) ngendagin (memasukkan air ke sawah); (2 ) ngurit (saat menabur benih di

pembibitan); (3) nuasen (menanam padi); (4) neduh (saat padi berumur 35 hari);

(5) biyukukung (saat padi bunting); (6) banten manyi (saat mulai panen); (7)

mantenin (setelah padi disimpan di lumbung). Pada umumnya, upacara

keagamaan yang dilaksanakan petani di tingkat tempek baik di subak-gede

maupun non subak-gede adalah (1) mendak toya, yaitu upacara pada saat mulai

mencari air untuk pertama kalinya sebelum musim tanam padi; (2) mebalik

sumpah, yaitu upacara yang dilakukan pada saat padi berumur sekitar dua

minggu; (3) merebu, yaitu upacara dilakukan menjelang panen; (4) ngusaba,

yaitu upacara yang dilaksanakan setelah selesai panen; (5) nangluk merana, yaitu

upacara yang dilakukan apabila padi diserang hama dan penyakit yang

dipandang membahayakan; (6) pakelem, yaitu upacara yang dilakukan sewaktu-

waktu bergabung dengan subak lain; dan (7) odalan, yaitu upacara yang

dilakukan di berbagai pura yang disungsung oleh subak.

Keterikatan dan kekompakan dalam kelompoktani dikawasan subak tidak

semata-mata karena kepentingan air irigasi, tetapi disebabkan adanya nilai-nilai

religius yang berkaitan dengan filosofi dan ditaati oleh anggota subak.(Sutawan,
2008 dalam Dewi, 2015).

6. Peraturan subak (Awig-awig dan pararem subak)

Subak merupakan suatu lembaga yang otonom dengan ketentuan-

ketentuan yang mengatur para anggotanya dalam melakukan kegiatan-kegiatan

organisasi yang menjadi pedoman bagi seluruh anggota subak termasuk

pengurus agar tidak adanya suatu penyimpangan. Aturan-aturan yang berlaku

dalam organisasi subak disebut dengan awig-awig maupun pararem. Awig-awig

merupakan anggaran dasar dalam suatu organisasi, sedangkan pararem

merupakan anggaran rumah tangga dalam suatu organisasi. Substansi pada awig-

awig menyangkut mengenai hal-hal yang pokok saja, sebaliknya substansi pada

pararem menyangkut mengenai hal-hal yang lebih rinci. Jika pernyataan diawig-

awig sudah jelas, maka pada pararem akan dikatakan cukup jelas, serta jika di

awig-awig ada yang tidak jelas, maka akan dibahas di pararem. Awig-awig dan

pararem digunakan sebagai pedoman bertingkah laku oleh anggota subak,

sehingga awig-awig dan pararem dipatuhi.

Adapun isi peraturan subak tersebut yang dirangkum secara garis besar

memuat hal-hal sebagai berikut

1. Petunjuk singkat dan garis-garis besar tentang keanggotaan dan

kepengurusan subak beserta tugas dan tanggung jawab masing-masing;

2. Dalam peraturan ini dibedakan istilah krama pekaseh dengan krama subak.

krama subak bertanggungjawab untuk pengelolaan jaringan tersier, krama

pekaseh bertanggung jawab untuk pengelolaan jaringan primer dan

sekunder;
3. Dimungkinkan adanya anggota pengoot (berstatus pasif atau tidak ikut

sebagai anggota krama subak atau krama pekaseh) dengan membayar harga

air;

4. Petunjuk tentang larangan sanksi dan besarnya denda yang harus dibayar

oleh pelaku pelanggaran;

5. Adanya ketentuan bahwa pejabat seperti perbekel, kelian desa, kelian banjar,

kelian tempek, kelian pekaseh, kelian subak dan kelian tempekan subak

dapat dibebaskan dari kewajiban membayar pengoot.

Peran awig-awig dan pararem sangat penting bagi kelestarian dan

keberlanjutan subak baik secara sekala (nyata dan kasat mata) maupun niskala

(tidak kasatmata). Secara sekala, awig-awig dan pararem mengatur perilaku

krama (anggota) subak menyangkut tata cara berinteraksi sosial dengan sesama

anggotanya. Hal-hal yang diatur biasanya menyangkut hak dan kewajiban

anggota dan pengurus subak, larangan dan sanksi yang dikenakan jika terjadi

pelanggaran, penanganan konflik antar anggota, pengaturan pola tanam,

pengaturan pembagian air irigasi, dan pengerahan tenaga dan sumberdaya

lainnya bagi kepentingan subak. Secara niskala awig-awig dan pararem

mengatur tata cara upacara agama yang berkaitan dengan siklus hidup tanaman

padi disawah dan di Pura subak baik menyangkut penentuan hari baik, tata

urutan upacara dan larangan-larangan perilaku yang melanggar. Peran awig-awig

dan pararem sangat penting dalam mengendalikan perilaku sosial anggota

subak, mengatur keharmonisan, ketentraman dan ketertiban dalam lingkungan

subak (Sutawan, 2008).


2.1.6. Keanggotaan Subak

Anggota subak umumnya dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu sekehe yeh

(anggota aktif), sekehe pengempel (anggota tidak aktif) dan sekehe luput atau

leluputan (anggota khusus). Anggota aktif adalah mereka yang wajib terlibat

secara aktif dalam kegiatan-kegiatan subak seperti bergotong-royong dalam

perbaikan dan pemeliharaan jaringan irigasi dan bangunan suci (pura subak),

rapat-rapat subak, menjaga air irigasi agar tidak terjadi pencurian oleh pihak-

pihak tertentu. Krama pengempel (anggota pasif) adalah mereka yang tidak

diharuskan ikut terlibat dalam kegiatan-kegiatan subak. Sebagai gantinya

mereka diwajibkan membayar sejumlah uang sebagai ganti ayahan. Anggota

leluputan (anggota kehormatan) adalah anggota yang luput/bebas dari

kewajiban tanpa harus menggantinya dengan sejumlah uang. Hal ini disebabkan

oleh kedudukannya sebagai pengabdi masyarakat (Sutawan, 2008).

Anda mungkin juga menyukai