Anda di halaman 1dari 3

Etika ‘Transenden’ Anti-Korupsi

Oleh Adi Fauzanto

Disampaikan dalam Diskusi ‘Strategi Islam Mencegah Korupsi’

Ketika berbicara pengentasan permasalahan dalam kehidupan bermasyarakat, salah satunya


korupsi. Dengan mudah dimulai dari lingkup terkecil yaitu diri kita, sebagai manusia. Bahwa setiap
manusia, pasti memiliki sebuah keyakinan –atau agama. Hampir tidak ada manusia yang tidak
memiliki keyakinan –bahkan seseorang yang tidak mempercayai apapun didunia ini, dia meyakini
konsep nihilis. Dengan keyakinan itulah manusia bekerja –dalam arti luas.

Keyakinan menghasilkan banyak turunan. Dari situlah muncul harapan, suatu cita-cita yang
digambarkan tentang keindahan –atau bahkan kehancuran. Dari keyakinan itu pulalah,
menghasilkan cara berperilaku. Misal, meyakini bahwasannya dosen merupakan seorang yang harus
dihormati, konsep dihormati tertanam dari kecil –mungkin hasil dokrtinasi- dari gambaran seorang
guru, lalu menghasilkan keyakinan.

Perilaku itulah menghasilkan pengelompokan baik dan buruk dari sebuah keyakinan. Misal, dosen
harus kita hormati bersifat baik dan sebaliknya, tidak menghormati dosen berarti tidak baik. Itulah
yang dinamakan dengan moral. Dan yang mempelajari praktik moral –perilaku baik dan buruk-
tersebut secara teori ialah etika. Haidar Bagir dalam kata pengantar Filsafat Etika Islam (2020)
mengatakan bahwa, etika berfungsi sebagai teori atau padanan dari perbuatan baik dan buruk.
Sedangkan moral adalah praktiknya. Dalam bahasa Islamnya ialah akhlak atau perilaku manusia.

Dalam kajian Islam, atau bahkan semua agama yang meyakini adanya Tuhan sang pencipta. Memiliki
keterhubungan yang bersifat vertikal antara manusia dan Tuhannya, yang bersifat metafisik –suatu
hal yang tidak dapat dijelaskan secara fisik atau terlihat. Dalam bahasa yang sederhana ialah
keimanan. Itulah yang dinamakan transendensi, dimana menempatkan nilai-nilai ketuhanan untuk
mengarahkan tujuan hidup manusia agar lebih bermakna (Shidarta, 2019). Dari hubungan itulah, kita
mendapatkan suatu keyakinan dalam hidup beraktivitas di masyarakat -dalam konsep yang utuh,
keterhubungan ini telah dijelaskan oleh Kuntowijoyo dengan Ilmu Sosial Profetik (humanusasi,
lebrasi, dan transendensi).

Dari hal yang bersifat baik dan buruk itulah kita melaksanakan aktivitas sebagai manusia dalam
kehidupan sehari-hari dan bermasyarakat. Dari situ jugalah kita menemukan dan melihat konsep
baik dan buruk dari kehidupan. Melihat ketidaksesuaian, yang menghasilkan kerusakan atau
kemunduran berdampak kepada orang banyak, bisa dikatakan kecurangan. Yang menghasilkan
ketimpangan, ketidakadilan bagi salah satu pihak, dan jika berkaitan dengan sumber daya
berhubungan dengan kesejahteraan.

Salah satu kecurangan yang berdampak penurunan dari ketidaksesuaian ialah korupsi. Apa itu
Korupsi? Aristoteles, sudah menyebutkan dalam bukunya “De Generatione et Corruptione” yang
mengkontekskan sebagai sifat alam yang berubah kualitas secara menurun. Lalu Lord Acton pada
1887 dalam suratnya kepada Uskup, mengatakan “power tends to corrupt and absolute power
corupts absolutely”. Dengan ini dia mengubah sifat korupsi yaitu menghubungkan dengan kekuasaan
dan merubah konsep korupsi dari akibat terjadinya penurunan kualitas menjadi sebab kenapa
terjadinya penurunan kualitas (Anantawikrama, Sosiologi Korupsi, 2019).
Dari penjelasan pendek itulah, diperlukan sebuah ajuan pertanyaan. Pertama, bagaimana etika yang
mempelejari baik dan buruk itu memandang sebuah permasalahan yang dalam hal ini korupsi. Atau
lebih dalam, mencari makna baik dan buruk itu sendiri. Kedua, bagaimana korupsi sebagai sebuah
permasalahan berdampak kepada masyarakat –dan negara- dari sejarah panjang awal mula
kehidupan, termasuk sejarah Islam dan Nabi Muhammad. Ketiga, bagaimana etika ‘transendensi’
menyelesaikan permasalahan korupsi.

Memahami Korupsi

Mula-mula kita perlu mengetahui dulu apa itu korupsi. Berbagai perspektif, mengenai konsep apa itu
korupsi dijelaskan panjang lebar oleh Herry Priyono dalam Korupsi, Melacak Arti, Menyimak
Implikasi (2018). Dalam arti menurut Oxford English Dictionary yang dibuat kategori nya oleh Arnold
Heidenheimer dan Michael Johnston terdapat tiga.

Pertama, secara fisik, Kerusakan atau kebusukan segala sesuatu. Kedua, secara moral,
penyelewangan atau penghancuran integritas dalam pelaksanaan kewajiban melalui suap dan
hadiah; keberadaan praktik curang dalam negara atau badan usaha publik; proses menjadi busuk
secara moral; kemerosoan atau kebusukan moral. Ketiga, penjungkirbalikan segala sesuatu dari
kondisi asali kemurnian misalnya penyelewenengan lembaga; situasi penjurkirbalikan.

Secara normatif, dalam Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Koruspi. Secara garis
besar dibagi menjadi tujuh. Pertama, perbuatan yang merugikan negara. Kedua, suap. Ketiga,
gratifikasi. Keempat, penggelapan dalam jabatan. Kelima, pemerasan. Keenam, perbuatan curang.
Ketujuh, benturan kepentingan dalam pengadaan.

Jika, melihat kasus banyak sekali yang menjadi contoh. Terbaru, kasus dugaan korupsi Nurdin
Abdullah, gubernur sulawesi selatan. Dimana polanya ialah konflik kepentingan pengadaan
infrastruktur dengan menggunakan suap untuk memenangkan tender infrastruktur.

Jika ditarik lebih lama lagi pada era Nabi Muhammad, terdapat beberapa kasus. Istilah korupsi pada
era itu, dinamakan ghulul (penggelapan); suht atau risywah (penyuapan); dan pemberian tidak sah
kepada para pejabat (hadaya al-ummal). Dalam kajian lengkapnya, Muhammadiyah dan Nahdlatul
Ulama membahas ini dalam buku khusus, Fikih Anti Korupsi Perspektif Ulama Muhammadiyah
(2007) oleh Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah dan Jihad NU Melawan Korupsi (2016) oleh
Lakpesdam NU. Kedua lembaga ini juga menulis buku yang berjudul Koruptor Itu Kafir, Telaah Fiqih
Korupsi dalam Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama.

Setelah membaca ringkasannya, saya sendiri menemukan, diantara banyak kasus ialah pola ‘gila’
harta, yang dalam hal ini tercermin dalam perang-perang yang menghasilkan harta rampasan, dan
etika pejabat terhadap publik, yang dalam hal banyak dicontohkan pengelola zakat yang bermasalah.
Disinilah peran Nabi Muhammad, menjadi sosok yang memiliki etika profetik atau etika kenabian
-jika meminjam istilah Kuntowijoyo. Yaitu dengan menyampaikan wahyu, dan bertanggung jawab
atas kondisi sosial umatnya pada saat itu.

Etika ‘Transenden’ Anti Korupsi

Lalu pertanyaan besarnya bagaimana menghapus semua itu –masalah korupsi. Yang memang sudah
ada bahkan sebelum Agama Islam yang dibawa Muhammad lahir. Yang berhubungan dengan harta
atau sumber daya dan kekuasaan atau kewenangan. Sejujurnya saya sendiri bingung, bagaimana
merumuskan hal besar itu, tentu dengan perbaikan sistem.

Tetapi ada satu hal yang menjadi pintu masuk. Ialah bagaimana membangun etika anti-korupsi
disemua lapisan masyarakat, dari bawah hingga atas. Etika itu bisa bersandar kepada hal apapun,
misal huminisme, membangun etika melalui cara pandang melihat manusia lain yang dirugikan oleh
korupsi.

Atau etika transenden. Bagaimana membangun hubungan dengan Tuhan, untuk memperbaiki
keadaan, dimulai dari sekitar kita. Etika itu tumbuh secara murni, dari hati. Jika meminjam Socrates,
etika yang fitri, dimana hal tersebut sesungguhnya telah ada pada sifat pembawaan manusia tentang
konsep yang ideal (Haidar dalam Amin Abdullah, 2019).

Dari etika atau hal yang mempelajari baik dan buruk, lalu dipraktekan menjadi moral. Menuju
kepada perbaikan sistem atau struktur di masyarakat yang bersifat horizontal dengan sesama
manusia, disegala lini kehidupan. Hal tersebut, seperti tanggung jawab sosial terhadap sistem ‘yang
buruk’ di lingkungan sekitar, dimanapun.

Lalu pertanyaan nya bagaimana jika kita sendiri sebagai pelaku? Dalam konsep tasawuf mensucikan
diri, dengan tanggung jawa sosial nya sebagai penebus dosa. Dan pertanyaan selanjutnya bagaimana
memutus dan merubah sistem ‘dari dalam'? Dalam konsep perubahan, menurut Aristoteles,
menggambarkan bentuk perubahan dengan analogi membuat patung.

Dimana patung dapat dirubah jika ada pemahat (aktor), batu (objek bahan materi dasar) dan
gambaran dia tentang patung yang dibuat (idea tentang perubahan bentuk objek batu menjadi
patung). Dengan itu, menempatkan akan adanya aktor, objeknya, gambaran bentuk yang dingingkan
(Setyo Wibowo, Sejarah Filsafat Yunani Kuno, 2016). Hal tersebut tentu dibungkus dengan etika
‘transenden’ semangat vertikal Ketuhanan, yang meminta perbaikan atas tanggung jawab kita di
dunia.

Daftar Pustaka

Amin Abdullah. 2020. Filsafat Etika Islam, Antara Al Ghazali dan Kant. Penerbit IRCiSoD: Yogyakarta.

Anantawikrama Tungga. 2019. Sosiologi Korupsi, Kajian Multiperspektif, Integralistik, dan


Pencegahannya. Prenamedia Group: Jakarta

Sidharta. 2019. Hukum Profetik: Antara Humanisasi, Liberasi, dan Transendensi. Binus University

Herry Priyono. 2018. Korupsi, Melacak Arti Menyimak Implikasi. Gramedia: Jakarta.

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Pemberantasa Tindak Pidana Korupsi

Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Buku Muhammadiyah. 2007. Fikih Anti Korupsi
Perspektif Ulama Muhammadiyah. Jakarta

Lakpesdam Nahdlatul Ulama. 2016. Jihad NU Melawan Korupsi. Jakarta

Setyo Wibowo. 2016. Sejarah Filsafat Yunani Kuno: Aristotelisme. Salihara Arts Center: Jakarta

Anda mungkin juga menyukai