Anda di halaman 1dari 59

SKRIPSI

PEMILIHAN DAN PENGANGKATAN PEMANGKU ADAT

(TO’ PARENGNGE’) DALAM MASYARAKAT HUKUM ADAT

KECAMATAN KESU KABUPATEN TORAJA UTARA

OLEH :

LEONI VONNI

B 111 13 579

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017

i
HALAMAN JUDUL

PEMILIHAN DAN PENGANGKATAN PEMANGKU ADAT (TO’ PARENGNGE’)


DALAM MASYARAKAT HUKUM ADAT KECAMATAN KESU KABUPATEN
TORAJA UTARA

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Tugas Akhir


Dalam Rangka Penyelesaian Studi Sarjana Hukum
Bagian Hukum Keperdataan Program Studi Ilmu Hukum

OLEH

LEONI VONNI
B111 13 579

KEPADA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017

i
ii
iii
iv
LEONI VONNI (B111 13 579), dengan judul “PEMILIHAN
DAN PENGANGKATAN PEMANGKU ADAT (TO’
PARENGNGE’) DALAM MASYARAKAT HUKUM ADAT
KECAMATAN KESU KABUPATEN TORAJA UTARA”. Di
bawah bimbingan: Aminuddin Salle selaku pembimbing I
dan Sri Susyanti Nur selaku pembimbing II.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sistem


pemilihan Kepala Adat (To’ Parengnge’) dalam Masyarakat
Hukum Adat Kecamatan Kesu Kabupaten Toraja Utara dan
sistem pengangkatan Kepala Adat (To’ Parengnge’) dalam
Masyarakat Hukum Adat Kecamatan Kesu Kabupaten Toraja
Utara.
Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Kesu Kabupaten
Toraja Utara. Metode penelitian yang digunakan dalam
pengumpulan data yaitu melalui penelitian kepustakaan
(Library Research) dan penelitian lapangan (Field Research).
Data primer diperoleh dari hasil wawancara, sedangkan data
sekunder diperoleh dari literatur, dokumen, webside serta
pendapat para ahli yang erat hubungannya dengan masalah
yang dibahas. Data yang diperoleh baik primer maupun
sekunder dianalisis secara deskriptif.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa pemilihan
Pemangku Adat (To’ Parengnge’) dalam Masyarakat Hukum
Adat Kecamatan Kesu Kabupaten Toraja Utara dipilih
berdasarkan hasil musyawarah mufakat besar (Kombongan).
Pemilihan dapat dilaksanakan apabila To‟ Parengnge‟ telah
meninggal atau dianggap tidak mampu lagi memikul jabatan
To‟ Parengnge‟.
Pengangkatan Pemangku Adat (To’ Parengnge’) dalam
Masyarakat Hukum Adat Kecamatan Kesu Kabupaten Toraja
Utara yaitu pelantikan saat acara pesta syukuran (Rambu
Tuka) berlangsung.

v
ABSTRACT

LEONI VONNI (B111 13 579), with title “ELECTION AND LEVITATION


CHIEF OF THE TRIBAL COUNCIL (TO’ PARENGNGE’) IN THE
COMMUNITY LEGAL ADULT OF KESU DISTRICT NORTH TORAJA”.
Under the guidance of Mr. Aminuddin Salle as first thesis advisor and
Mrs. Sri Susyanti Nur as second thesis advisor.

This research is intend to know the system of the election and


levitation chief of tribal council (To’ Parengnge’) in the community legal
adult of Kesu district North Toraja.

This research was conducted at Kesu district North Toraja. The


method of this research that used in data collection is trough library
research and field research. primary data was collected from interview
results while secondary data was collected from literature, documents,
websites, and also from the experts who closely related to the issues
discussed. data obtained both primary and secondary were analyzed
descriptively.

The results showed that the election and levitation chief of tribal
council (To’ Parengnge’) in the community legal adult of Kesu district North
Toraja chosen or selected based on the results of a large consensus
deliberation (kombongan). elections may be held if to 'parengnge' has died
or is seemed incapable of carrying the To' Parengnge'.

The election and levitation chief of tribal council (To’ parengnge’) in


the community legal adult of Kesu district North Toraja is the inauguration
during the celebration party (Rambu Tuka).

vi
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas

segala berkat, kasih tuntunan dan turut campur tangan Nya, sehingga

penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Pemilihan dan

Pengangkatan Pemangku Adat (To’ Parengnge’) Dalam Masyarakat

Hukum Adat Kecamatan Kesu Kabupaten Toraja Utara”. Skripsi ini

diajukan sebagai tugas akhir dalam rangka penyelesaian program studi

ilmu hukum pada bagian Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas

Hasanuddin.

Pada kesempatan ini juga, dengan segala ketulusan dan

kerendahan hati, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang tak

terhingga kepada kedua orang tua tercinta, Simon Petrus Nani dan

Hermina Manaman atas segala pengorbanan, kasih sayang dan jerih

payahnya selama membesarkan dan mendidik penulis serta selalu

mendoakan yang terbaik untuk keberhasilan penulis. Demikian pula

saudaraku Angelina Inryani Nani dan Anselia Apriliani Nani, terima kasih

atas dukungan dan bantuannya selama ini, terkhususnya dalam

mendukung penulis menyelesaikan kuliah.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih

yang sebesar-besarnya atas bimbingan, arahan, bantuan moril maupun

materil, dukungan, dan semangat yang luar biasa kepada pihak-pihak

vii
yang telah membantu penulis selama proses pembuatan skripsi ini, terima

kasih kepada:

1. Ibu Prof. Dr. Dwia Aries Tina Palubuhu, MA., selaku Rektor

Universitas Hasanuddin;

2. Ibu Prof. Dr. Farida Patittingi, S.H., M.Hum., selaku Dekan

Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin;

3. Bapak Prof. Dr. Ahmadi Miru, S.H., M.H. selaku Wakil Dekan

Bidang Akademik dan Pengembangan Fakultas Hukum

Universitas Hasanuddin;

4. Bapak Dr, Syamsuddin Muchtar, S.H., M.H. selaku Wakil Dekan

Bidang Sarana dan Prasarana Fakultas Hukum Universitas

Hasanuddin;

5. Bapak Dr. Hamzah Halim, S.H., M.H. selaku Wakil Dekan

Bidang Kemahasiswaan dan Alumni Fakultas Hukum

Universitas Hasanuddin;

6. Bapak Prof. Dr. Aminuddin Salle, S.H., M.H. selaku pmbimbing I

dan Ibu Dr. Sri Susyanti Nur, S.H., M.H. selaku pembimbing II

yang telah dengan sabar membimbing dan mengarahkan

penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan, serta

merupakan kebanggan tersendiri bagi penulis telah dibimbing

oleh beliau;

7. Ibu Prof. Dr. Andi Suriyaman, M. P., S.H., M.Hum. selaku

penguji I, Bapak Prof. Dr. Ir. Abrar Saleng, S.H., M.H. selaku

viii
penguji II, dan Bapak M. Ramli Rahim, S.H., M.H selaku penguji

III yang telah memerikan saran serta masukan selama

penyusunan skripsi ini;

8. Bapak Dr. Winner Sitorus, S.H., M.H., LLM. Selaku Ketua

Departemen Hukum Keperdataan dan Ibu Dr. Sri Susyanti Nur,

S.H., M.H. selaku Sekretaris Departemen Hukum Keperdataan

Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin yang telah

memberikan kesempatan bagi penulis untuk menulis skripsi ini;

9. Seluruh dosen, pegawai, maupun staf civitas akademik Fakultas

Hukum Universitas Hasanuddin yang telah memberikan ilmu,

nasehat serta bantuan lainnya.

10. Pemerintah Kabupaten Toraja Utara dalam hal ini Kepala

Kecamatan Kesu, Lembang Kecamatan Kesu, segenap

Pemangku Adat Kecamatan Kesu serta masyarakat Kecamatan

Kesu yang telah membantu penulis dalam memberikan data

terkait skripsi ini;

11. Keluarga BEM Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Periode

2016/2017 dan teman-teman angkatan ASAS 2013 prodi Ilmu

Hukum dan Hukum Administrasi Negara terima kasih untuk

berbagai pengalaman non-akademik yang berkesan dan

semoga sukses;

12. Arisan Rempong: Andika Ratu Tangkerun, Dwi Utami Lestari

Batara, Febrianti Fransisca M, Jean Ayu Putri, Melly Anggraini

ix
M, Silvia A Batara, Tante Dina, dan Ibu Juneida. Terimakasih

atas ilmu serta pengalaman yang kalian berikan kepada penulis

selama masa perkuliahan;

13. Sahabat-sahabat ku tersayang Rabbani Ridho, Diah Ayu

Wardani, Rizka Isra, Mariyatul Kibtiyah, Nur hakimah, Qurotul

Ayuni, Norrika Theresia Sitio, Susan Meridian, Veriliana Try

Istiqomah, Vita Natalia Tambing dan keluaraga OPSOPUNG

yang selalu mengirimkan doa dan semangat yang tidak pernah

putus;

14. Teman-teman PMK FH-UH 2013, Iin, Natalia, Marselinda,

Sarce, Nara, Cecil, Yodi, Anggun, Dewina, Dikson, Kang Ono,

Edna, Kevin, Vian, Sonmen, Ucok, Yoan, dan Keluarga besar

Persekutuan Mahasiswa Kristen Fakultas Hukum Universitas

Hasanuddin, Terima kasih atas bantuan, kerja sama dan

kebersamaan selama masa perkuliahan;

15. Kakak-kakak, Teman-teman, dan adik-adik dalam UKM BSDK

Universitas Hasanuddin terimakasih atas suka dan duka yang

sangat mengesankan selama masa perkuliahan kalian memang

bengkel yang mempunyai cara tersendiri untuk memperbaiki

„barang‟ rusak dan menjadikannya „barang‟ baru;

16. Kakak senior yang telah membantu penyelesaian skripsi ini,

Lollyta Elisabeth, S.H., Chery Narpa, S.H., Rudi Hartono, S.H.,

Andre R Lembang, Adi R Parinding, Try Jauri Santoso, S.H.,

x
Muh. Fauzan Aries, S.H., M.H., Atanasius Tandirerung,

Oktavianus Patiung, S.H., M.H dan yang tidak sempat

disebutkan satu per satu, terimakasih atas arahan, bimbingan,

serta semangat yang diberikan;

17. Para-para patotoai, A. Windasari, S.H., Yusticia Zaharani, S.H.,

Fathur Marzuki, Aulia Panangari, dan Daniel Akhari, kalian

memberikan semangat yang luar biasa tak terlihat. Terimakasih.

18. Segenap keluarga besar BEM Periode 2014/2015, Periode

2015/2016, dan Periode 2016/2017 terkhusus Presiden BEM,

Sekertaris dan Wakil Sekertaris, Bendahara dan Wakil

Bendahara, serta para Mentri, Wakil Mentri dan anggota

terimakasih telah membagiakan pengalaman indah yang sangat

berkesan bagi penulis.

19. Seluruh teman-teman KKN Reguler Gelombang 93 Kecamatan

Enrekang Kabupaten Enrekang, khususnya, Kak Adinda Putri,

Kak Agung Setiawan, Kak Andre Rante Lembang, Dwi Utami L.

Batara, dan Fauziah Anwar atas bantuan dan kerja samanya

selama menjalani Kuliah Kerja Nyata;

20. Seluruh pihak-pihak yang ikut terlibat baik secara langsung

maupun dengan doa yang tidak dapat penulis rincikan satu per

satu dalam tulisan ini karena keterbatasan penulis dalam

mengingatnya.

xi
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak

terdapat kekurangan disebabkan keterbatasan kemampuan dan

pengetahuan yang dimiliki. Oleh karena itu, penulis berterima kasih

apabila ada kritik ataupun saran dari pembaca demi penyempurnaan

skripsi ini. Harapan penulis, semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat

bagi ilmu pengetahuan dan bagi yang membacanya.

Makassar, Juli 2017

Penulis

LEONI VONNI

xii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ........................................................................... i


LEMBAR PENGESAHAN ................................................................ ii
LEMBAR PERSETUJUAN MENEMPUH UJIAN SKRIPSI .............. iii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ....................................... iv
ABSTRAK ........................................................................................ v
ABSTRACT ...................................................................................... vi
KATA PENGANTAR ........................................................................ vii
DAFTAR ISI ...................................................................................... xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ......................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................. 6
C. Tujuan Penelitian ................................................................... 6
D. Kegunaan Penelitian .............................................................. 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Hukum Adat ........................................................................... 8
1. Pengertian Hukum Adat ............................................... 8
2. Sumber Hukum Adat .................................................... 11
3. Bentuk Masyarakat Hukum Adat ................................. 13
4. Corak - Corak Hukum Adat ......................................... 17
5. Sistem Hukum Adat ..................................................... 24
6. Kedudukan Hukum Adat .............................................. 27
B. Masyarakat Hukum Adat ........................................................ 29
C. Lembaga Adat ........................................................................ 36
1. Lembaga Adat Secara Umum ..................................... 36
2. Peran dan Wewenang Lembaga Adat ......................... 38
3. Tongkonan Sebagai Lembaga Adat ............................ 40
BAB III METODE PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian .................................................................... 45
B. Jenis dan Sumber Data Penelitian ......................................... 45

xiii
C. Teknik Pengumpulan Data .................................................... 46
D. Populasi dan Sample ............................................................. 47
E. Analisis Data .......................................................................... 48
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Kabupaten Toraja Utara ............................ 49
B. Latar Belakang Kecamatan Kesu Kabupaten Toraja Utara .... 56
C. Pemilihan Pemangku Adat (To‟ Parengnge‟) Dalam
Masyarakat Hukum Adat Kecamatan Kesu Kabupaten
Toraja Utara ........................................................................... 57
Pengangkatan Pemangku Adat (To‟ Parengnge‟) Dalam
Masyarakat Hukum Adat Kecamatan Kesu Kabupaten
Toraja Utara ........................................................................... 59
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................ 62
B. Saran ...................................................................................... 63
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

xiv
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hukum adat merupakan produk dari budaya yang mengandung

substansi tentang nilai-nilai budaya sebagai cipta, karsa, dan rasa

manusia. Dalam arti bahwa hukum adat lahir dari kesadaran atas

kebutuhan manusia untuk hidup secara adil dan beradab sebagai

aktualisasi peradaban manusia. Selain itu hukum adat juga merupakan

produk sosial yaitu sebagai hasil kerja bersama (kesepakatan) dan

merupakan karya bersama secara bersama (milik sosial) dari suatu

masyarakat hukum adat. Argumentasi ini telah melegitimasi pandangan

bahwa hukum tidak dapat dipisahkan dengan kata lin hukum tidak dapat

dilepaskan dari konteks sosial budaya.

Di dalam masyarakat, hukum adat sudah ada sejak lama. Segala

permasalahan yang timbul dalam masyarakat hukum adat diselesaikan

secara musyawarah dan mufakat melalui lembaga-lembaga adat yang

biasa di sebut peradilan adat. Biasanya yang bertindak sebagai hakim

adat dalam lembaga tersebut adalah tokoh-tokoh adat (kepala adat) dan

pemuka agama. Kewenangan dari hakim peradilan adat ini tidak semata-

mata terbatas pada perdamaian saja, tetapi juga kekuasaan memutuskan

1
sengketa dalam bidang hukum yang tidak terbagi ke dalam pengertian

pidana, perdata dan publik.1

Salah satu kekhasan dari hukum adat adalah sifatnya yang tidak

tertulis, hal ini karena hukum adat ada dan hidup dalam masyarakat,

bukan hukum yang dikodifikasi layaknya hukum pada rechstaat yang

terkodifikasi oleh penguasa, rule of law yang ditetapkan oleh hakim

maupun hukum agama yang termasuk dalam kitab suci. Kekhasannya

inilah yang menyebabkan hukum adat susah untuk diterapkan dalam

kehidupan berbangsa dan bernegara, khususnya dalam hal

penyelenggaraan pemerintahan. Namun hukum adat tetap diperhitungkan

sebagai sebuah sistem hukum, karena defenisi hukum itu sendiri sangat

luas, bukan hanya sebatas hukum yang tertulis, tapi juga hukum yang

tidak tertulis seperti hukum adat juga termasuk defenisi hukum itu sendiri.

Keberadaan hukum adat, karena sifatnya yang tidak tertulis menjadi

masalah utama dalam pembentukan hukum Indonesia. Sebagian

berpendapat hukum itu tertulis dan salah satu ciri negara hukum adalah

adanya supremasi hukum. Sebaiknya kita melihat esensi dari tujuan

hukum itu sendiri, yaitu hukum bertujuan untuk menciptakan keadilan

serta ketertiban masyarakat. Hukum adat yang menitik beratkan tujuannya

pada kerukunan, keserasian, keseimbagan, dan keselarasan masyarakat

tidak bisa dibantah bahwa itulah keadilan dan ketertiban itu sendiri, sebab

1
H. Hilman Hadikusuma. Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia (bandung; Mandar Maju,2003)
hal.1

2
tidak akan ada kerukunan dan keseimbangan di tengah masyarakat kalau

keadilan dan ketertiban tidak tercapai. Terlepas dari persoalan yang ada,

sebagai hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat, hukum

adat menjadi sebuah subsistem hukum yang mengedepankan

penyelesaian sengketa atau persoalan masyarakat dengan asas

kerukunan atau keseimbangan masyarakat itu sendiri. Hukum modern

atau hukum dari Eropa lebih mengedepankan penyelesaian sengketa di

pengadilan dengan biaya mahal dan berbelit, sedangkan hukum adat

cukup mempertemukan pihak yang bersengketa dan dilanjutkan telaah

menurut hukum adat oleh para tetua adat, lalu diputuskan. Perkara

dengan hukum adat semacam ini sangat cepat, murah dan efisien.

Kembali kepada konsepsi negara hukum, Indonesia dengan konsepsi

Negara Hukum Pancasila memandang asas kerukunan sebagai asas

utama dalam penegakan hukum, dengan ini diharapkan akan adanya

keseimbangan, keserasian dan keselarasan antara hak dan kewajiban

antar seluruh komponen masyarakat. Sehubungan dengan konsepsi

tersebut, penegakan hukum di Indonesia sewajarnya diarahkan terlebih

dahulu melalui mekanisme adat atau kebiasaan masyarakat itu sendiri,

agar nantinya kerukunan itu akan tetap terjadi.

Demikian halnya di Kabupaten Toraja Utara sebagai salah satu

lingkungan hukum adat, yang mempunyai corak dan sifat khusus

dibandingkan dengan daerah-daerah lainnya yang ada di Indonesia

3
Penduduk asli Rantepao ialah orang-orang suku Toraja. Keadaan

geografis di Toraja Utara yang terdiri dari bukit barisan maka dipastikan

bahwa mata pencaharian rakyat pada umumnya adalah bertani. Selain

bertani juga mempunyai keahlian khusus yaitu mengukir (seni mengukir)

yang terkenal dengan Ukiran Toraja, yang dalam bahasa Toraja disebut

“Passura”.

Sebelum datangnya kaum penjajah yaitu Belanda dan Jepang, maka

di daerah Toraja Utara yang dahulunya hanya dikenal dengan Tana

Toraja, tetapi semenjak tahun 2008 Tana Toraja telah terpecah menjadi

dua Kabupaten yaitu Tana Toraja dan Toraja Utara. Di Tana Toraja dari

sebelum penjajah masuk ke Indonesia, masyarakat adatnya telah memiliki

susunan organisasi yang merupakan suatu sistem kepemimpinan yang

disusun secara teratur menurut tingkatan dari yang tertinggi sampai yang

terendah. Masing-masing tingkatan memilki jabatan dan fungsi tertentu,

yang mana merupakan turun-temurun dari satu rumpun keluarga yang

bersumber dari suatu Tongkonan. Susunan organisasi yang ada di Tana

Toraja yang dimaksud adalah sebagai berikut:

1. Toparengnge‟ adalah Badan pemerintah adat yang bertanggung

jawab atas jalannya pemerintahan secara adat,

2. Takinan La‟bo adalah Badan pertahanan keamanan dalam

masyarakat,

4
3. Tominaa adalah Imam/penghulu Aluk todolo sebagai pembinaan

Aluk todolo (kepercayaan masyarakat Toraja kepada arwah leluhur

mereka),

4. To Indok adalah yang memimpin jalannya Aluk Patuoan dan Aluk

Tananan (Badan yang memimpin Pertanian, apabila masyarakat

Toraja melakukan ucapan syukur atas hasil pertanian mereka),

5. To Mabalun adalah bertugas untuk mengatur dan menjaga jalannya

Upacara pemakaman dan pembungkusan mayat.

Seluruh jabatan ini diwariskan secara turun-temurun dalam rumpun

keluarga yang bersumber dari masing-masing Tongkonan, sehingga dapat

diganti oleh turunan yang memiliki hak.2

Dari kelima susunan organisasi yang ada di Tana Toraja, To‟

Parengnge‟ menempati tempat yang sangat tinggi dalam transformasi

nilai-nilai adat maupun nilai-nilai kebudayaan di dalam masyarakat. Nilai-

nilai adat ini berada di dalam ruang ekspresi bahasa dan ritual-ritual Aluk

Todolo, sehingga masyarakat Tana Toraja mengenal istilah “Aluk Sipori

Pemali, Ada’ Sipori Batang Kale”. Peristilahan ini menjadi sedemikian

rumit karena di dalamnya terdapat pembagian nilai dari lima stuktur

organisasi adat yang ada.

To‟ Parengnge‟ memiliki kewenangan yang lebih luas untuk menjaga

dan melestarikan “Aluk Sipori Pemali”. Secara umum berarti hal yang

2
L. T. Tangdilintin, Toraja dan Kebudayaan, (Tana Toraja: Yayasan Lepongan Bulan, 1978), hlm.
159-160.

5
boleh dan tidak boleh dilakukan. Hal tersebut terlihat dari adanya

wejangan-wejangan yang harus diikuti oleh masyarakat hukum adat

Toraja Utara sebelum melaksanakan upacara-upacara adat seperti,

Rambu Tuka‟ yang terdiri dari acara pernikahan, syukuran rumah adat

tongkonan dan juga acara-acara sebelum menanam padi dan acara adat

syukuran atas hasil panen. To‟ Parengnge‟ lah yang menentukan hari,

tanggal, bulan, dan tahun yang tepat untuk melangsungkan ritual-ritual

adat di dalam masyarakatnya. Sehingga dapat disimpulkan hanya orang-

orang yang memahami adat istiadat secara sempurna yang bisa

memangku jabatan To‟ Parengnge‟. Kewenangan strategis dan teknis

inilah yang mendorong penulis untuk melakukan penelitian mengenai

pemilihan dan pengangkatan To‟ Parengnge‟.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana sistem pemilihan Kepala Adat (To‟ Parengge‟) dalam

Masyarakat Hukum Adat Kecamatan Kesu Kabupaten Toraja Utara?

2. Bagaimana sistem pengangkatan Kepala Adat (To‟ Parengge‟)

dalam Masyarakat Hukum Adat Kecamatan Kesu Kabupaten Toraja

Utara?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui sistem pemilihan Kepala Adat (To‟ Parengge‟)

dalam Masyarakat Hukum Adat Kecamatan Kesu Kabupaten Toraja

Utara.

6
2. Untuk mengetahui sistem pengangkatan Kepala Adat (To‟

Parengge‟) dalam Masyarakat Hukum Adat Kecamatan Kesu

Kabupaten Toraja Utara

D. Kegunaan Penelitian

Pembahasan ini kemudian diharapkan untuk :

1. Menjadi bahan acuan dan referensi dalam rangka pengembangan

ilmu pengetahuan, terutama yang berkaitan dengan Hukum Adat

terkhusus Kepala Adat (To‟ Parengnge‟) dalam Masyarakat Hukum

Adat Kecamatan Kesu Kabupaten Toraja Utara

2. Menjadi bahan acuan atau perbandingan bagi yang akan melakukan

penelitian lebih dalam mengenai sistem pemilihan dan pengangkatan

kepala adat (To‟ Parengnge‟) dalam Masyarakat Hukum Adat

Kecamatan Kesu Kabupaten Toraja Utara

7
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Hukum Adat

1. Pengertian Hukum Adat

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1999) memberi batasan

adat dalam ragam pengertian sebagai berikut:

a. Adat sebagai aturan (perbuatan dan sebagainya) yang lazim

diturut atau dilakukan sejak dahulu kala.

b. Adat sebagai kebiasaan; cara (kelakuan dan sebagainya) yang

sudah menjadi kebiasaan.

c. Adat sebagai cukai menurut peraturan yang berlaku (di

pelabuhan).

d. Adat sebagai wujud gagasan kebudayaan yang terdiri atas nilai-

nilai budaya, norma, hukum, dan aturan-aturan yang satu dengan

lainnya berkaitan menjadi suatu sistem.3

Hukum Adat adalah aturan kebiasaan manusia dalam hidup

bermasyarakat. Sejak manusia itu diturunkan Tuhan ke muka bumi, maka

ia memulai hidupnya berkeluarga, kemudian bermasyarakat dan kemudian

bernegra. Sejak manusia itu berkeluarga mereka telah mengatur dirinya

dan anggota keluarganya menurut kebiasaan mereka, misalnya ayah

pergi berburu atau mencari akar-akaran untuk bahan makanan, ibu

3
I Gede A.B. Wiranata. Hukum Adat Indonesia Perkembangan dari Masa ke Masa (Bandung; PT.
Citra Aditya Bakti, 2005) hal. 3

8
menghidupkan api untuk membakar hasil buruan kemudian bersantap

bersama. Perilaku kebiasaan itu berlaku terus menerus, sehingga

merupakan pembagian kerja yang tetap.4

Menurut Seminar Hukum adat di Yogyakarta tanggal 15-17 Januari

1975 yang diselenggarakan oleh Badan Pembina Hukum Nasional

(BPHN) dan UGM berkesimpulan bahwa, Hukum Adat adalah Hukum

Indonesia asli yang tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan

Republik Indonesia yang di sana sini mengandung unsur agama.5

Hukum adat sebagaimana yang disampaikan Ter Haar dalam pidato

Dies Natalies Rechtshogeschool, Batavia 1937, yang berjudul Het Adat

recht van Nederlandsch Indie in wetenschap, pracktijk en onderwijs,

menurutnya hukum adat adalah seluruh peraturan yang ditetapkan dalam

keputusan-keputusan dengan penuh wibawa yang dalam pelaksanaannya

“diterapkan begitu saja”, artinya tanpa ada seluruh peraturan yang dalam

kelahirannya dinyatakan mengikat sama sekali.6 Keputusan tersebut

bukan hanya keputusan mengenai suatu sengketa yang resmi, tetapi juga

konflik kemasyarakatan yang dapat diselesaikan, berdasarkan nilai-nilai

kearifan yang hidup sesuai dengan alam rohani dan hidup

kemasyarakatan anggota-anggota persekutuan tersebut.7

4
H. Hilman Hadikusuma. Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia (bandung; Mandar Maju,2003)
hal.1
5
Bahan Ajar Hukum Adat,
repository.unimal.ac.id/2044/1/BAHAN%20AJAR%20HUKUM%20ADAT.doc, 5 Mei 2017, pukul
10.47
6
A. Suryaman Mustari Pade. Hukum Adat Dahulu, Kini, dan Akan Datang (jakarta:Prenada Media
Group, 2014) hal.4.
7
Ibid hal.5

9
Definisi Ter Haar tersebut kemudian dikenal dengan nama

“blslissingenleer”. Menurut ajaran ini, hukum adat itu mengabaikan bagian-

bagiannya yang tertulis yang terdiri dari peraturan-peraturan desa, surat-

surat perintah raja, adalah keseluruhan peraturan-peraturan yang

menjelma dalam keputusan-keputusan para fungsionir hukum (dalam arti

luas). Kekuatan tersebut memiliki kekuatan wibawa (match) serta

pengaruh (invloed) yang dalam pelaksanaanya berlaku dengan serta

merta (spontan) dan tak seorang pun yang berani membangkang.

Pelaksanannya di penuhi secara sungguh-sungguh tanpa pilih kasih.8

Menurut Bushar Muhammad hukum adat adalah hukum yang

mengatur tingkah laku manusia Indonesia dalam hubungan satu sama lain

baik yang merupakan kelaziman, kebiasaan dan kesusilaan yang benar-

benar hidup di masyarakat adat karena dianut dan dipertahankan oleh

anggota masyarakat itu, maupun yang merupakan keseluruhan peraturan-

peraturan yang mengenai sanksi atas pelanggaran yang ditetapkan dalam

keputusan para penguasa adat (mereka yang mempunyai kewajiban dan

berkuasa memberi keputusan dalam masyarakat adat yaitu dalam

keputusan lurah, penghulu, wali tanah, kepala adat dan hakim.

Menurut Soediman Kartohadiprodjo hukum adat adalah suatu jenis

hukum yang tidak tertulis yang memiliki dasar pemikiran yang khas yang

prinsipil berbeda dari hukum tertulis lainnya. Hukum adat bukan hukum

adat karena bentuknya tidak tertulis, melainkan hukum adat adalah hukum

8
A. Suriyaman Mustari Pade. Hukum Adat Dahulu, Kini, dan Akan Datang (jakarta:Pelita Pustaka,
2009) hal.7.

10
adat karena tersusum dengan dasar pemikiran tertentu yang prinsipil

berbeda dari dasar pemikiran hukum barat.9

2. Sumber Hukum Adat

Istilah hukum adat sebenarnya bersal dari bahasa Arab, “Huk’m” dan

“Adah” (jamaknya, Ahkam) yang artinya suruhan atau ketentuan.

Hukum adat adalah aturan kebiasaan manusia dalam hidup

bermasyarakat. Sejak manusia itu diturunkan Tuhan ke muka bumi, maka

ia memulai hidupnya berkeluarga, kemudian bermasyarakat dan kemudian

bernegara. Terjadinya hukum dimulai dari pribadi manusia yang diberi

Tuhan akal pikiran dan perilaku. Perilaku yang terus menerus dilakukan

perorangan menimbulkan “kebiasaan pribadi”. Apabila kebiasaan pribadi

itu ditiru orang lain maka ia juga akan menjadi kebiasaan orang itu.

Lambat laun di antara orang yang satu dan orang yang lain di dalam

kesatuan masyarakat ikut pula melakukan kebiasaan itu, maka lambat

laun kebiasaan itu menjadi “adat” dari masyarakat itu. Hukum adat

merupakan produk dari budaya yang mengandung substansi tentang nilai-

nilai budaya cipta, karsa, rasa manusia. Dalam arti bahwa hukum adat

lahir dari kesadaran atas kebutuhan dan keinginan manusia untuk hidup

secara adil dan beradab sebagai aktualisasi peradaban manusia. Selain

itu hukum adat juga merupakan produk social yaitu sebagai hasil kerja

9
C. Dewi Wulansari. Hukum Adat Indonesia-Suatu Pengantar (bandung;PT Refika Aditama, 2012)
hal.5

11
bersama (kesepakatan) dan merupakan karya bersama secara bersama

(milik sosial) dari suatu masyarakat hukum adat.10

Jadi adat adalah kebiasaan masyarakat, dan kelompok-kelompok

masyarakat lambat laun menjadikan adat itu sebagai adat yang

seharusnya berlaku bagi semua anggota masyarakat sehingga menjadi

“hukum adat”. Jadi hukum adat adalah adat yang diterima dan harus

dilaksanakan dalam masyarakat bersangkutan11. Hukum adat adalah

sistem hukum yang dikenal dalam lingkungan kehidupan sosial di

Indonesia. Hukum adat adalah hukum asli bangsa Indonesia. Sumbernya

adalah peraturan-peraturan hukum tidak tertulis yang tumbuh dan

berkembang dan dipertahankan dengan kesadaran hukum

masyarakatnya. Karena peraturan-peraturan ini tidak tertulis dan tumbuh

kembang, maka hukum adat memiliki kemampuan menyesuaikan diri dan

elastis. Selain itu dikenal pula masyarakat hukum adat yaitu sekelompok

orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama

suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas

dasar keturunan.12

10
Dr. Djamanat samosir, 2013, Hukum Adat Indonesia, Bandung: penerbit Nuansa Aulia, hlm2
11
H. Hilman Hadikusuma, 2003, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia,(Bandung: Penerbit
Mandar Maju) hlm.1
12
Djaren Saragih,1996, Pengantar Hukum Adat Indonesia, (Bandung: Tarsito), hlm. 32 11

12
Hukum Adat berbeda di tiap daerah karena pengaruh:

a. Agama : Hindu, Budha, Islam, Kristen dan sebagainya.

Misalnya : di Pulau Jawa dan Bali dipengaruhi agama

Hindu, Di Aceh dipengaruhi Agama Islam, Di Ambon dan

Maluku dipengaruhi agama Kristen.

b. Kerajaan seperti antara lain: Sriwijaya, Airlangga, Majapahit.

c. Masuknya bangsa-bangsa Arab, China, Eropa.

Ciri-ciri dari hukum adat yaitu:

a. Tidak tertulis dalam bentuk perundangan dan tidak

dikodifikasi.

b. Tidak tersusun secara sistematis.

c. Tidak dihimpun dalam bentuk kitab perundangan.

d. Tidak tertatur.

e. Keputusannya tidak memakai konsideran (pertimbangan).

f. Pasal-pasal aturannya tidak sistematis dan tidak mempunyai

penjelasan.13

3. Bentuk Masyarakat Hukum Adat

a. Masyarakat Hukum Teritorial

Masyarakat hukum teritorial adalah masyarakat yang tetap dan

teratur, yang anggotaanggota masyarakatnya terikat pada suatu daerah

13
Muhammad Bushar, 2004, Pokok-Pokok Hukum Adat, (Jakarta: PT Penebar Swadaya), hlm. 5

13
kediaman tertentu, baik dalam kaitan duniawi sebagai tempat

kehidupan maupun dalam kaitan rohani sebagai tempat pemujaan

terhadap roh-roh leluhur. Para anggota masyarakatnya merupakan

anggota-anggota yang terikat dalam kesatuan yang teratur baik ke luar

maupun ke dalam. Di antara anggota yang pergi merantau untuk waktu

sementara masih tetap merupakan anggota kesatuan territorial itu.

Begitu pula orang yang datang dari luar dapat masuk menjadi anggota

kesatuan dengan memenuhi persyaratan adat setempat.

b. Masyarakat Hukum Genealogis

Masyarakat atau persekutuan hukum yang bersifat genealogis

adalah suatu kesatuan masyarakat yang teratur, di mana para

anggotanya terikat pada suatu garis keturunan yang sama dari satu

leluhur, baik secara langsung karena hubungan darah (keturunan) atau

secara tidak langsung karena pertalian perkawinan atau pertalian adat.

Menurut para ahli hukum adat di masa Hindia Belanda masyarakat

yang genealogis itu dapat dibedakan dalam tiga macam yaitu yang

bersifat patrilinial, matrilinial dan bilateral atau parental.

c. Masyarakat Teritorial-Geneologis

Masyarakat hukum teritorial-genealogis adalah kesatuan

masyarakat yang tetap dan teratur di mana para anggotanya bukan

saja terikat pada tempat kediaman pada suatu daerah tertentu, tetapi

14
juga terikat pada hubungan keturunan dalam ikatan pertalian darah dan

atau kekerabatan.

d. Masyarakat Adat-Keagamaan

Diantara berbagai kesatuan masyarakat adat akan terdapat

kesatuan masyarakat adat yang khusus bersifat keagamaan di

beberapa daerah tertentu. Jadi ada kesatuan masyarakat adat-

keagamaan menurut kepercayaan lama, ada kesatuan masyarakat

yang khusus beragama Hindu, Islam, Kristen/Katolik, dan ada yang

sifatnya campuran. Di lingkungan masyarakat yang didominasi

kepercayaan dan agama tertentu, maka para anggotanya selain

merupakan warga kesatuan desa menurut perundangan, tetapi juga

juga merupakan warga adat yang tradisional dan warga keagamaan

yang dianutnya masing-masing. Tetapi ada kalanya kita melihat adanya

suatu desa atau suatu daerah kecamatan yang tidak terdiri dari suatu

kesatuan masyarakat adat atau masyarakat agama tertentu, melainkan

berbeda-beda, sehingga karena adanya perbedaan itu maka diantara

masyarakat itu di samping sebagai anggota kemasyarakatan yang

resmi, membentuk kesatuan masyarakat adat keagamaan yang khusus

sesuai dengan kepentingan adat keagamaaan mereka. Jadi ada

masyarakat yang merupakan kesatuan masyarakat “desa umum”

berdasarkan ketentuan perundangan dan ada “desa adat” yang khusus.

e. Masyarakat Adat Perantau

15
Masyarakat desa adat keagamaan Sadwirama tersebut merupakan

suatu bentuk baru bagi orang-orang Bali untuk tetap mempertahankan

eksistensi adat dan agama Hindunya di daerah perantauan. Lain halnya

dengan masyarakat adat Melayu, seperti orang Aceh, Batak,

Minangkabau, Lampung, Sumatera Selatan, Kalimantan, Sulawesi,

Maluku dan lainnya, yang berada di daerah perantauan cenderung

membentuk kelompok-kelompok kumpulan kekeluargaan seperti “rukun

kematian”, atau membentuk sebagai “kesatuan masyarakat adat” yang

berfungsi sebagai pengganti kerapatan adat di kampung asalnya. Di

dalam organisasi perkumpulan tersebut duduk para tua-tua adat dari

masyarakat adat bersangkutan, dengan susunan pengurus: Ketua,

Sekretaris, Bendahara dan para anggota. Susunan kepengurusan itu

disesuaikan dengan keadaan masyarakat yang ada di perantauan. Jadi

tidak lagi tersusun sebagaimana susunan asli di daerah asalnya; begitu

pula hukum adat yang diterapkan tidak lagi sempurna sebagaimana di

daerah asalnya.

f. Masyarakat Adat lain

Di dalam kehidupan masyarakat kita dapat menjumpai pula bentuk-

bentuk kumpulan organisasi yang ikatan anggota-anggotanya

didasarkan pada ikatan kekaryaan sejenis yang tidak berdasarkan pada

hukum adat yang sama atau daerah asal yang sama, melainkan pada

rasa kekeluargaan yang sama dan terdiri dari berbagai suku bangsa

dan berbeda agama. Bentuk masyarakat adat ini kita temukan di

16
berbagai instansi pemerintah atau swasta, atau di berbagai lapangan

kehidupan sosial ekonomi yang lain. Kesatuan masyarakat adatnya

tidak lagi terikat pada hukum adat yang lama melainkan dalam bentuk

hukum kebiasaan yang baru.

4. Corak-corak Hukum Adat

Barat yang cenderung individualist dan liberalistis sangat berbeda

dengan hukum adat yang bersendi pada alam pikiran Indonesia karena

mempunyai corak yang khusus yaitu:

a. Komunal (communal)

b. Religio magis (magisch-religius)

c. Konkrit (concreeto)

d. Visual

Corak-corak tersebut di atas nampak dengan jelas implementasinya

dalam kehidupan sehari-hari, yang digambarkan oleh Surojo Wignodipuro

S.H. dalam “pengantar dan asas-asas hukum adat” sebagai berikut:

a. Corak komunal atau kebersamaan terlihat apabila warga desa

melakukan kerja bakti atau gugur gunung, nampak sekali adanya

kebiasaan hidup bergotong royong, solidaritas yang tinggi atau

saling bantu-membantu. Rasa solidaritas yang tinggi

menyebabkan orang selalu lebih mengutamakan kepentingan

umum daripada kepentingan diri sendiri. Bahkan pada suku

17
bangsa jawa terdapat pepatah adat yang dengan tepat

menggambarkan corak komunal yaitu: dudu sanak dudu kadang,

ning yen mati melu kelangan (bukan anggota keluarga bukan

saudara sekandung, tetapi kalau ia meninggal merasa turut

kehilangan)

b. Corak religio magis terlihat jelas sekali pada upacara-upacara

adat dimana lazimnya diadakan sesajen-sesajen yang ditujukan

pada roh-roh leluhur yang ingin diminta restu bantuannya. Juga

acara selamatan pada setiap kali menghadapi peristiwa penting,

seperti: kelahiran, khitanan, perkawinan, mendirikan rumah,

pindah rumah sampai kematian.

c. Corak konkrit, tergambar dalam kehidupan masyarakat bahwa;

pikiran penataan serba konkrit dalam realitas kehidupan sehari-

hari menyebabkan satunya kata dengan perbuatan (perbuatan itu

betul-betul merupakan realisasi dari perkataan nya). Misalnya:

hanya memakai “jual” apabila nyata-nyata terlihat adanya

tindakan-tindakan “pembayaran kontan” dari si pembeli serta

“penyerahan barang” dari si penjual.

d. Corak visual atau kelihatan menyebabkan dalam kehidupan

sehari-hari adanya pemberian tanda-tanda yang kelihatan sebagai

bukti penegasan atau peneguhan dari apa yang telah dilakukan

atau yang dalam waktu dekat akan dilakukan. Misalnya”

pemberian pening set (jawa) atau penyangcang (Sunda)

18
merupakan penegasan dari telah terjadinya pertunangan,

pemberian panjar pada transaksi jual beli merupakan penegasan

adanya kehendak pemberian yang dalam waktu dekat akan

dilakukan. Disamping coraknya yang berbeda, hukum adat juga

mempunyai sifat-sifat berbeda pula dengan hukum barat, karena

adanya perbedaan alam pikiran dan cork yang mendasari hukum

tersebut14.

Hukum adat Indonesia yang normatif pada umumnya menunjukkan

corak yang tradisional, keagamaan, kebersamaan, konkrit dan visual,

terbuka, dan sederhana, dapat berubah dan menyesuaikan, tidak di

kodifikasi, musyawarah dan mufakat15

1. Tradisional

Hukum adat itu pada umumnya bercorak tradisional, artinya

bersifat turun temurun, dari zaman nenek moyang sampai ke anak

cucu sekarang keadaannya masih tetap berlaku dan dipertahankan

oleh masyarakat yang bersangkutan. Misalnya dalam hukum

kekerabatan adat orang batak yang menarik garis keturunan lelaki,

sejak dulu sampai sekarang tetap saja mempertahankan hubungan

kekerabatan yang disebut “dalihan na tolu” (bertungku tiga) yaitu

hubungan antara marga hula-hula, dengan tubu (dongan sebutuha)

dan bolu. Sehingga dengan adanya hubungan kekerabatan

15
Muhammad Bushar, 2004, Pokok-Pokok Hukum Adat, (Jakarta: PT Penebar Swadaya), hlm. 7

19
tersebut tidak terjadi perkawinan antara pria dan wanita yang satu

keturunan (satu marga)

Contoh corak tradisional di lampung bahwa dalam hukum

kewarisan berlaku sistem mayorat lelaki, artinya anak tertua lelaki

menguasai seluruh harta peninggalan dengan kewajiban mengurus

adik-adik nya sampai dewasa dan dapat berdiri sendiri. Harta

peninggalan itu tetap tidak terbagi-bagi, merupakan milik keluarga

bersama, yang kegunaannya untuk kepentingan anggota keluarga.

2. Keagamaan

Hukum adat itu pada umumnya bersifat keagamaan (magis

religius) artinya perilaku hukum atau kaidah-kaidah hukumnya

berkaitan dengan kepercayaan terhadap yang gaib dan atau

berdasarkan pada ajaran ketuhanan yang maha esa.

Oleh karena apabila manusia akan memutuskan sesuatu

atau mau melakukan sesuatu biasanya berdoa memohon

keridhaan tuhan yang ghaib, dengan harapan karya itu akan

berjalan sesuai dengan yang dikehendaki, dan tidak melanggar

pantangan (pamali) yang dapat berakibat timbulnya kutukan dari

yang maha kuasa.

Corak keagamaan dalam hukum adat ini terangkat pula

dalam pembukaan UUD 1945 alenia yang ketiga yang berbunyi

”atas berkat rahmat Allah yang maha kuasa dan dengan didorong

oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang

20
bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini

kemerdekaan nya”.

3. Kebersamaan

Hukum adat mempunyai corak yang bersifat kebersamaan

(komunal), artinya ia lebih mengutamakan kepentingan bersama.

”satu untuk semua dan semua untuk satu” hubungan hukum antara

anggota masyarakat yang satu dan yang lain didasarkan oleh rasa

kebersamaan, tolong menolong, dan gotong-royong.

Oleh karenanya hingga sekarang kita masih melihat rumah

gadang di tanah Minangkabau, ”tanah pusaka” yang tidak terbagi

secara individual melainkan menjadi milk bersama dan untuk

kepentingan bersama .bahkan corak dan sifat kebersamaan ini

terangkat pula dalam pasal 33 ayat 1 UUD 1945 yang

mengatakan”” perekonomian disusun sebagai usaha bersama

berdasar atas kekeluargaan”. Kemakmuran masyarakatlah yang

diutamakan, bukan kemakmuran orang-seorang. Sebab itu

perekonomian disusun atas sebagai usaha bersama berdasar atas

asas kekeluargaan.

4. Konkrit dan visual

Corak hukum adat adalah konkrit artinya jelas, nyata,

berwujud dan visual artinya dapat terlihat, tampak, terbuka, tidak

tersembunyi. Jadi sifat hubungan hukum yang berlaku dalam

hukum adat itu “terang dan tunai”, tidak samar-samar, terang

21
disaksikan, diketahui, dilihat dan di dengar orang lain, dan nampak

terjadi “ijab Qobul” (serat terima)nya. Misalnya dalam jual beli jatuh

bersamaan waktunya antara pembayaran harga dan penyerahan

barangnya. Jika barang diterima pembeli, tetapi harga belum

dibayar maka itu bukan jual beli melainkan hutang piutang.

5. Terbuka dan sederhana

Corak hukum adat itu “terbuka” artinya dapat menerima

masuknya unsur-unsur yang datang dari luar asal saja tidak

bertentangan dengan jiwa hukum adat itu sendiri. Corak dan

sifatnya yang sederhana artinya bersahaja, tidak rumit, tidak

banyak administrasi nya bahkan kebanyakan tidak tertulis, mudah

dimengerti dan dilaksanakan berdasar saling percaya

mempercayai.

Keterbukaan nya misal dapat dilihat dari masuknya pengaruh

hukum hindu, dalam hukum perkawinan adat yang disebut “kawin

anggau”. Jika suami mati maka istri kawin lagi dengan saudara

suami. Atau masuknya pengaruh hukum islam dalam hukum waris

adat yang disebut bagian “sepikul segendong”, bagian warisan bagi

ahli waris pria dan wanita sebanyak 2:1.

Kesederhanaan misalnya dapat dilihat dari terjadinya

transaksi-transaksi yang berlaku tanpa surat-menyurat misalnya

dalam perjanjian bagi hasil antara pemilik tanah dan penggarap,

cukup adanya kesepakatan dua belah pihak tanpa adanya suatu

22
surat menyurat dan kesaksian kepada kepala desa. Begitu pula

dalam transaksi yang lain seperti gadai, sewa-menyewa, hutang

piutang, sangat sederhana karena tidak dengan bukti tertulis.

6. Dapat berubah dan menyesuaikan

Hukum adat itu dapat berubah, menurut keadaan, waktu dan

tempat. Orang Minangkabau berkata “sekali aik gadang sakali

tapian beranja, sakali raja baganti, sakali ada berubah”di bawah

tangan tidak atau belum dimuka notaris. (begitu air besar, begitu

pula tempat pemandian bergeser, begitu pemerintah berganti,

begitu pula adat lalu berubah). Adat yang nampak pada kita

sekarang sudah jauh berbeda dari adat dimasa Hindia Belanda.

Begitu pula apa yang dikatakan di atas kebanyakan transaksi tidak

dibuat dengan bukti tertulis, namun sekarang dikarenakan

kemajuan pendidikan dan banyaknya penipuan yang terjadi dalam

masyarakat, maka sudah banyak pula setiap transaksi itu dibuat

dengan surat menyurat walaupun tidak di kodifikasi.

Hukum adat kebanyakan tidak ditulis, walaupun ada juga

yang dicatat dalam aksara daerah, bahkan ada yang dibukukan

dengan cara yang tidak sistematis, namun hanya sekedar sebagai

pedoman bukan mutlak yang harus dilaksanakan, kecuali yang

bersifat perintah tuhan. Jadi hukum adat pada umumnya tidak di

kodifikasi seperti hukum adat (Eropa), yang disusun secara teratur

dalam kitab yang disebut kitab perundangan. Oleh karenanya maka

23
hukum adat itu mudah berubah, dan dapat disesuaikan dengan

perkembangan masyarakat.

7. Musyawarah dan Mufakat

Hukum adat mengutamakan adanya musyawarah dan

mufakat, di dalam keluarga, di dalam hubungan kekerabatan, dan

ketetanggaan, baik untuk memulai suatu pekerjaan maupun dalam

mengakhiri pekerjaan, apalagi yang bersifat “peradilan”. Dalam

menyelesaikan perselisihan antara yang satu dengan yang lain. Di

dalam penyelesaian perselisihan selalu diutamakan jalan

penyelesaian secara rukun dan damai dengan musyawarah dan

mufakat, dengan saling memaafkan, tidaklah tergopoh-gopoh

begitu saja langsung menyampaikan ke pengadilan negara. Jalan

penyelesaian damai itu membutuhkan adanya I‟tikad baik dari para

pihak dan adanya semangat yang adil dan bijaksana dari orang

yang dipercayakan sebagai penengah atau semangat dari Majelis

Permusyawaratan Adat16

5. Sistem Hukum Adat

Hukum adat adalah sistem hukum yang dikenal dalam lingkungan

kehidupan sosial di Indonesia dan negara-negara Asia lainnya seperti

Jepang, India, dan Tiongkok. Sumbernya adalah peraturan-peraturan

hukum tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang dan dipertahankan

16
Djaren Saragih,1996, Pengantar Hukum Adat Indonesia,( Bandung: Tarsito), hlm. 32 11

24
dengan kesadaran hukum masyarakatnya. Karena peraturan-peraturan

ini tidak tertulis dan tumbuh kembang, maka hukum adat memiliki

kemampuan menyesuaikan diri dan elastis. Penegak hukum adat

adalah pemuka adat sebagai pemimpin yang sangat disegani dan

besar pengaruhnya dalam lingkungan masyarakat adat untuk menjaga

keutuhan hidup sejahtera.

Istilah Hukum Adat pertama kali diperkenalkan secara ilmiah oleh

C. Snouck Hurgronje, Kemudian pada tahun 1893, C. Snouck

Hurgronje dalam bukunya yang berjudul “De Atjehers” menyebutkan

istilah hukum adat sebagai “adat recht” (bahasa Belanda) yaitu untuk

memberi nama pada satu sistem pengendalian sosial (social control)

yang hidup dalam Masyarakat Indonesia. Istilah ini kemudian

dikembangkan secara ilmiah oleh Cornelis van Vollenhoven yang

dikenal sebagai pakar Hukum Adat di Hindia Belanda (sebelum menjadi

Indonesia).

Cornelis van Vollenhoven adalah yang pertama mencanangkan

gagasan seperti ini. Menurutnya daerah di Nusantara menurut hukum

adat bisa dibagi menjadi 23 lingkungan adat berikut: Aceh, Gayo dan

Batak, Nias dan sekitarnya, Minangkabau, Mentawai, Sumatra Selatan,

Enggano, Melayu, Bangka dan Belitung, Kalimantan (Dayak), Sangihe-

Talaud, Gorontalo, Toraja, Sulawesi Selatan (Bugis/Makassar), Maluku

Utara, , Maluku Ambon, Maluku Tenggara, Papua, Nusa Tenggara dan

Timor, Bali dan Lombok, Jawa dan Madura (Jawa Pesisiran), Jawa

25
Mataraman, dan Jawa Barat (Sunda) , sedangkan menurut Gezt orang

Amerika menyatakan bahwa masyarakat Indonesia memiliki 350

budaya, 250 bahasa dan seluruh keyakinan dan Agama di dunia ada di

Indonesia.

Hukum adat ini didasarkan pada nilai-nilai yang hidup dalam setiap

masyarakat hukum adat, bila didasarkan pada perwilayahan lingkungan

masyarakat adat, sebagagaimana dikemukakan oleh Cornelis van

Vollenhoven maka akan memiliki nilai-nilai hukum adat pada setiap

masyarakat adat di 23 (dua puluh tiga) lingkungan wilayah adat,

sedangkan menurut Gezt maka akan memiliki nilai-nilai hukum adat

pada setiap masyarakat adat di 350 lingkungan wilayah adat beserta

budayanya.

Hukum adat di Indonesia terdiri dari berbagai macam hukum adat,

menurut Puchta (1798-1846) murid Von Savigny hukum adat yang

semacam ini tidak dapat dijadikan hukum secara nasional hanya

sebagai keyakinan bagi masyarakatnya masing-masing, nilai-nilainya

juga tidak dapat dimasukkan di dalam sistem hukum nasional, kecuali

hukum adat yang dimiliki, diyakini dan diamalkan secara terus menerus

oleh bangsa atau masyarakat nasional dapat dijadikan hukum secara

nasional setelah melalui proses pengesahan di lembaga legislatis dan

atau eksekutif, dan nilai-nilainya dapat dimasukkan ke dalam sistem

hukum nasional.

26
6. Kedudukan Hukum Adat

Dalam Batang Tubuh UUD 1945, tidak satupun pasal yang mengtur

tentang hokum adapt. Oleh karma itu itu, aturan untuk berlakunya

kembali hokum adat ada pada aturan Peraliham UUD1945 Pasal, II

yang berbunyi ,” Segala badan Negara dan peraturan yang ada masih

berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut UUD ini. Aturan

Peralihan Pasal II ini menjadi dasar hokum sah berlakunya hokum

adapt. Dalam UUDS 1950 Pasak 104 disebutkan bahwa segala

keputusan pengadilan harus berisi alasan-alasannya dan dalan perkara

hukuman menyebut aturan-aturan UU dan aturan adatyang dijadikan

dasar hukum.Tetapi UUDS 1950 ini pelaksanaannya belum ada,maka

kembali ke aturan peralihan UUD 1945.Dalam pasal 131 ayat 2 sub.I,S.

menyebutkan bahwa bagi golongan hokum Indonesia asli dan timur

asing berlaku huukum adapt mereka, tetapi bila kepentingan sosisl

mereka membutuhkannya, maka pembuat UU dapat menentukan bagi

mereka;

a. Hukum Eropa

b. Hukum Eropa yang telah diubah

c. Hukum bagi beberapa golongan bersama

d. Hukum baru yaitu hokum yang merupakan sintese antara

adapt dan hukum mereka yaitu hokum Eropa.

Pasal 131 ini ditujukan pada undang-undang, bukan pada hakim

yang menyelesaikan sengketa eropa dan buumi putra. Pasal 131

27
ayat(6) menyebutkan bahwa bila terjadi perrselisihan terjadi kodifikasi

maka yang berlaku adalah hokum adapt mereka, dengan syarat bila

berhubungan dengan eropa maka yang berlaku adalah hokum eropa.

Dalam UU No 19 tahun 1964 pasal 23 ayat 1 menyebutkan bahwa

segala putusan itu juga harus memuat dasar-dasar dan alasan-alasan

putusan itu juga harus memuat pula pasal-pasal tertentu dari peraturan

yang bersangkutan atau ssumber hokum tidak tertulis yang dijadikan

dasar untuk mengadili.UU No 19 tahun 1064 ini direfisi jadi UU No14

tahun 1970 tentang pokok-pokok Kekuasaan kehakimankarena dalam

UU No 19tersebut tersirat adanya campur tangan presiden yang terlalu

besar dalam kekuuasaan yudikattif.Dalam bagian penjelas umum UU

No 14 tahun 1970 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan hokum

yang tidak tertulis itu adalah hokum adat. Dalam UU No 14 tahun 1970

pasal 27 1 ditegaskan bahwa hakim sebagai peneegak hokum dan

keadilan wajib menggali, mengikutti dan mendalami nilai-nilai hokum

yang hidup dalam masyarakat.

Dari uraian diatas dapat kita tarik suatu kesimpulan bahwa yang

menjadi dasar berlakunya hukum adapt di Indonesia adalah:

1. Dekrit Presiden 5 juli 1995 yang menjadi dasar berlakenya

kembali UUD 1945

2. Aturan peralihan pasal II UUD 1945

3. Pasal 24 UUD 1945 tentang kekuasaan kehakiman

4. Pasal 7 (1) UU No 14/1970 tentang Pokok-pokok kekuasaan

28
B. Masyarakat Hukum Adat

Istilah masyarakat hukum adat adalah istilah resmi yang tercantum

dalam berbagai peraturan perundang-undangan, seperti dalam Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok - Pokok

Agraria, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan,

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah,

dan peraturan perundang-undangan lainnya. Istilah masyarakat hukum

adat dilahirkan dan digunakan oleh pakar hukum adat yang lebih banyak

difungsikan untuk keperluan teoritik - akademis. Sedangkan istilah

masyarakat adat adalah istilah yang lazim diungkapkan dalam bahasa

sehari-hari oleh kalangan non-hukum yang mengacu pada sejumlah

kesepakatan internasional17

Istilah masyarakat adat merupakan padanan dari indigeneous

people. Istilah itu sudah dikenal luas dan telah disebutkan dalam sejumlah

kesepakatan internasional, yaitu : Convention of International Labor

Organixation Concerning Indigeneous and Tribal People in Independent

Countries (1989), Deklarasi Cari-Oca tentang Hak-Hak Masyarakat Adat

(1992), Deklarasi Bumi Rio de Janairo (1992), Declaration on the Right of

Asian Indigenous Tribal People Chianmai (1993), De Vienna Declaration

and Programme Action yang dirumuskan oleh United Nations World

Conference on Human Rights (1993).

17
Taqwaddin, “Penguasaan Atas Pengelolaan Hutan Adat oleh Masyarakat Hukum Adat(Mukim)
di Provinsi Aceh”, (Disertasi Doktor Ilmu Hukum, Universitas Sumatera Utara, 2010), hlm. 36.

29
Banyak ahli berpendapat bahwa pengertian masyarakat adat harus

dibedakan dengan masyarakat hukum adat. Konsep masyarakat adat

merupakan pengertian umum untuk menyebut masyarakat tertentu

dengan ciri-ciri tertentu. Sedangkan masyarakat hukum adat merupakan

pengertian teknis yuridis yang menunjuk sekelompok orang yang hidup

dalam suatu wilayah (ulayat) tempat tinggal dan lingkungan kehidupan

tertentu, memiliki kekayaan dan pemimpin yang bertugas menjaga

kepentingan kelompok (keluar dan kedalam), dan memiliki tata aturan

(sistem) hukum dan pemerintahan18 Dalam buku De Commune Trek in bet

Indonesische Rechtsleven, F.D. Hollenmann mengkonstruksikan 4

(empat) sifat umum dari masyarakat adat, yaitu magis religious, komunal,

konkrit dan kontan. Hal ini terungkap dalam uraian singkat sebagai

berikut;19

a. Sifat magis religious diartikan sebagai suatu pola pikir yang

didasarkan pada keyakinan masyarakat tentang adanya sesuatu

yang bersifat sakral. Sebelum masyarakat bersentuhan dengan

sistem hukum agama religiusitas ini diwujudkan dalam cara

berpikir yang prologka, animism, dan kepercayaan pada alam

ghaib. Masyarakat harus menjaga keharmonisan antara alam

nyata dan alam batin (dunia gaib). Setelah masyarakat mengenal

sisitem hukum agama perasaan religious diwujudkan dalam


18
Husen Alting, Dinamika Hukum dalam Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum
Adat Atas Tanah (Yogyakarta: LaksBang PRESSindo, 2010), hlm. 30
19
Husen Alting, Op.Cit., hlm. 46.

30
bentuk kepercayaan kepada keyakinan masyarakat tentang

adanya sesuatu yang bersifat sakral. Sebelum masyarakat

bersentuhan dengan sistem hukum agama religiusitas ini

diwujudkan dalam cara berpikir yang prologka, animism, dan

kepercayaan pada alam ghaib. Masyarakat harus menjaga

keharmonisan antara alam nyata dan alam batin (dunia gaib).

Setelah masyarakat mengenal sisitem hukum agama perasaan

religious diwujudkan dalam bentuk kepercayaan kepada Tuhan.

Masyarakat percaya bahwa setiap perbuatan apapun bentuknya

akan selalu mendapat imbalan dan hukuman tuhan sesuai

dengan derajat perubahan.

b. Sifat komunal (commuun), masyarakat memiliki asumsi bahwa

setiap individu, anggota masyarakat merupakan bagian integral

dari masyarakat secara keseluruhan. Diyakini bahwa

kepentingan individu harus sewajarnya disesuaikan dengan

kepentingan-kepentingan masyarakat karena tidak ada individu

yang terlepas dari masyarakat.

c. Sifat konkrit diartikan sebagai corak yang serba jelas atau nyata

menunjukkan bahwa setiap hubungan hukum yang terjadi dalam

masyarakat tidak dilakukan secara diam-diam atau samar.

d. Sifat kontan (kontane handeling) mengandung arti sebagai

kesertamertaan terutama dalam pemenuhan prestasi. Setiap

31
pemenuhan prestasi selalu dengan kontra prestasi yang

diberikan secara sertamerta/seketika.

Pengertian masyarakat adat secara konkrit dituangkan dalam Pasal

1 ayat (3) Peraturan Menteri Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman

Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Adat yang diterbitkan oleh

Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional diatur

bahwa masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang yang terikat

oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan

hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan 20.

Ditinjau dari latar belakang sejarah, masyarakat hukum adat di kepulauan

Indonesia mempunyai latar belakang sejarah serta kebudayaan yang

sudah sangat tua dan jauh lebih tua dari terbentuknya kerajaan ataupun

negara. Secara historis, warga masyarakat hukum adat di Indonesia serta

etnik yang melingkupinya, sesungguhnya merupakan migran dari

kawasan lainnya di Asia Tenggara. Secara kultural mereka termasuk

dalam kawasan budaya Austronesia, yaitu budaya petani sawah, dengan

tatanan masyarakat serta hak kepemilikan yang ditata secara kolektif,

khususnya hak kepemilikan atas tanah ulayat. Dalam kehidupan politik,

beberapa etnik berhasil mendominasi etnik lain beserta wilayahnya, d di

Jawa dan Bali, nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang

20
Husen Alting, Op.Cit., hlm. 14.

32
dan sebagainya. Persekutuan hukum adat di Aceh disebut dengan

gampongan.21

Keberadaan wilayah masyarakat hukum adat di Indonesia

dinyatakan dalam beberapa pustaka antara lain : Menurut hasil penelitian

yang dilakukan oleh van Vollenhoven yang dilakukan antara tahun 1906

sampai dengan tahun 1918. Dalam karyanya Adatrecht van

Nederlandsch-Indie, van Vollenhoven menyimpulkan bahwa di wilayah

nusantara terdapat 19 wilayah hukum adat, yaitu daerah

1. Aceh meliputi; Aceh Besar, Pantai Barat, Singkel, Siemelu.

2. Gayo, Alas, Batak, meliputi; Gayo luwes, Tanah Alas, Tanah

Batak; Tapanuli Utara (Batak Pak-pak/Barus, Batak Karo,

Batak Simalungun, dan Batak Toba), Tapanuli Selatan

(Padang Lawas, Angkola, Mandailing) dan Nias.

3. Minangkabau (Padang Agam, Tanah Datar, Lima Puluh Kota,

Tanah Kampar, dan Korintji, dan Mentawai.

4. Sumatera Selatan meliputi; Bengkulu (Redjang), Lampung

(Abung, Paminggir, Pubian, Rebang, Gedongtataan, Tulang

Bawang), Palembang (Anak Lakitan, Djelma Daja, Kubu,

Pasemah, Samendo), Djambi (Batin dan Penghulu).

5. Melayu, meliputi; Lingga Riau, Indragiri, Sumatera Timur.

6. Bangka, Belitung,

21
Ter Haar, Asas – Asas dan Susunan Hukum Adat, (Jakarta : Pradya Paramita, 1960), hlm. 17.

33
7. Kalimantan, meliputi; Dayak, Kapuas Hulu, Mahakam Hulu,

Pasir, Dayak Kenya, Dayak Klemanten, Dayak Landak, Dayak

Tajan, Dayak Lawangan, Lepo-Alim, Lepo-Timai, Long Glat,

Dayak Maanjai Patai, Dayak Maanjai Siung, Dayak Ngaju,

Dayak Ot-Danum, Dayak Penyabung Punan.

8. Minahasa, Manado.

9. Gorontalo, meliputi; Bolaang, Mongondow, Boalemo.

10. Tana Toraja, meliputi; Toraja, Toraja Baree. Toraja Barat, Sigi,

Kaili, Tawaili, Toraja Sadan, To Mori, To Lainang, Kepulauan

Banggai

11. Sulawesi Selatan, meliputi; Bugis, Bone, Gowa, Laikang,

Ponre, Mandar, Makassar, Salaisar, Muna.

12. Kepulauan Ternate, meliputi; Ternate, Tidore, Halmahera,

Tobelo, Kepulauan Sula.

13. Maluku Saparna, Buru, Seram, Kepulauan Kei, Kepulauan

Aru, Kisar.

14. Irian Barat,

15. Kepulauan Timor, meliputi; Kepulauan Timor, Timor, Timor

Tengah, Mollo, Sumba, Sumba Tengah, Sumba Timor, Kodi,

Flores, Ngada, Rote, Savu, Bima.

16. Bali dan Lombok, meliputi; Tanganan Pagringsingan, Kastala,

Karangasem, Buleleng. Djembrana, Lombok, Sumbawa.

34
17. Jawa Tengah, Jawa Timur, Madura, meliputi; Jawa Tengah,

Kedu, Purwokerto, Tulungagung, Jawa Timur, Surabaya,

Madura. (18) Daerah kerajaan (Solo dan Yogyakarta).

18. Jawa Barat, meliputi; Priangan Sunda, Jakarta dan Banten,

Ambon.22

Berdasarkan pendapat pakar hukum adat tersebut maka akan

dapat dirumuskan kriteria masyarakat hukum adat sebagai berikut23

1. Terdapat masyarakat yang teratur;

2. Menempati suatu tempat tertentu;

3. Ada kelembagaan;

4. Memiliki kekayaan bersama;

5. Susunan masyarakat berdasarkan pertalian suatu

keturunan atau berdasarkan lingkungan daerah;

6. Hidup secara komunal dan gotong royong.

Pada masyarakat hukum adat, untuk mewujudkan kesejahteraan itu

maka dalam masyarakat hukum tersebut harus memiliki struktur

pemerintahan atau kepemimpinan. Dalam hal ini mempunyai kedaulatan

penuh (soverign) atas wilayah kekuasaannya (tanah ulayat) dan melalui

ketua adat juga mempunyai kewenangan (authority) penuh untuk


22
Bushar Muhammad, Pengantar Hukum Adat, Rangkaian Publikasi Hukum Adat dan Etnografi,
(Jakarta: Balai Buku Ichtiar, 1961). Hlm. 89-91.
23
Syarifah M, “Eksistensi Hak Ulayat atas Tanah dalam Era Otonomi Daerah pada Masyarakat
Sakai di Kabupaten Bengkalis Propinsi Riau”(Tesis, Ilmu Hukum, Program Studi Magister
Kenotariatan,USU, 2010), hlm. 21.

35
mengelola, mengatur dan menata hubungan- hubungan antara warga

dengan alam sekitar, hal ini tentunya bertujuan untuk mencari

keseimbangan hubungan sehingga kedamaian dan kesejahteraan yang

menjadi tujuan tersebut terwujud24 Di Indonesia, menurut Sandra

Moniaga, kita seharusnya merasa beruntung dengan adanya masyarakat

–masyarakat adat yang jumlahnya lebih dari seribu komunitas.

Keberadaan mereka merupakan suatu kekayaan bangsa, karena ada

lebih dari seribu ragam ilmu pengetahuan yang telah mereka

kembangkan. Dan, ada lebih dari seribu bahasa yang telah dimanfaatkan

dan dapat membantu pengembangan khasanah Bahasa Indonesia dan

masih banyak lagi hal – hak lain yang mereka sumbangkan25

C. Lembaga Adat

1. Lembaga Adat Secara Umum

Pengertian Lembaga Adat Lembaga Adat merupakan kata yang

berasal dari gabungan antara kata lembaga dan kata adat. Kata Lembaga

dalam bahasa inggris disebut dengan institution yang berarti pendirian,

lembaga, adat dan kebiasaan. Dari pengertian literatur tersebut, lembaga

dapat diartikan sebagai sebuah istilah yang menunjukkan kepada pola

perilaku manusia yang mapan terdiri dari interaksi sosial yang memiliki

struktur dalam suatu kerangka nilai yang relevan. Sehingga Lembaga

Adat adalah pola perilaku masyarakat adat yang mapan yang terdiri dari
24
Ibid, hlm. 22
25
Sandra Moniaga, Hak – Hak Masyarakat Hukum Adat dan Masalah Kelestarian Lingkungan
Hidup, Wacana HAM, Jakarta, No, 10/Tahun II/12 Juni 2002.

36
interaksi sosial yang memiliki struktur dalam suatu kerangka nilai adat

yang relevan. Menurut ilmu budaya, Lembaga Adat diartikan sebagai

suatu bentuk organisasi adat yang tersusun relatif tetap atas pola-pola

kelakuan, peranan-peranan, dan relasi-relasi yang terarah dan mengikat

individu, mempunyai otoritas formal dan sanksi hukum adat guna

tercapainya kebutuhan-kebutuhan dasar. Sedangkan menurut pengertian

lainnya, Lembaga Adat adalah suatu organisasi kemasyarakatan adat

yang dibentuk oleh suatu masyarakat hukum adat yang dibentuk oleh

suatu masyarakat hukum adat tertentu, mempunyai wilayah tertentu dan

harta kekayaan sendiri serta berhak dan berwenang untuk mengatur dan

mengurus serta menyelesaikan hal-hal yang berkaitan dengan adat.

Kemudian adapun pendapat yang menyatakan Lembaga Adat ialah

lembaga kemasyarakatan yang dibentuk untuk membantu Pemerintah

Daerah dan merupakan mitra dalam memberdayakan, melestarikan dan

mengembangkan adat istiadat yang dapat mendukung pembangunan.

Pengertian Lembaga Adat menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri

Nomor 5 Tahun 2007 tentang Pedoman Penataan Lembaga

Kemasyarakatan, Lembaga Adat adalah Lembaga Kemasyarakatan baik

yang sengaja dibentuk maupun yang secara wajar telah tumbuh dan

berkembang di dalam sejarah masyarakat atau dalam suatu masyarakat

hukum adat tersebut, serta berhak dan berwenang untuk mengatur,

mengurus dan menyelesaikan berbagai permasalahan kehidupan yang

berkaitan dengan dan mengacu pada adat istiadat dan hukum adat yang

37
berlaku. Dari beberapa pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa

Lembaga Adat adalah suatu organisasi atau lembaga masyarakat yang

dibentuk oleh suatu masyarakat hukum adat tertentu yang dimaksudkan

untuk membantu pemerintah daerah dan menjadi mitra pemerintah daerah

dalam memberdayakan, melestarikan dan membangun adat istiadat yang

dapat membangun pembangunan suatu daerah tersebut.

2. Peran dan Wewenang Lembaga Adat

Lembaga Adat mempunyai peran yang sangat penting, dimana

Lembaga Adat bersama pemerintah merencanakan, mengarahkan,

mensinergikan program pembangunan agar sesuai dengan tata nilai adat

istiadat dan kebiasaan-kebiasaan yang berkembang dalam masyarakat

demi terwujudnya keselarasan, keserasian, keseimbangan, keadilan dan

kesejahteraan masyarakat. Selain itu, Peran Lembaga Adat sebagai alat

kontrol keamanan, ketentraman, kerukunan, dan ketertiban masyarakat,

baik preventif maupun represif, antara lain :

1. Menyelesaikan masalah sosial kemasyarakatan.

2. Penengah (Hakim Perdamaian) mendamaikan sengketa

yang timbul dimasyarakat.

Kemudian, Lembaga Adat juga memiliki peran lain yaitu :

38
1. Membantu pemerintah dalam kelancaran dan pelaksanaan

pembangunan di segala bidang terutama dalam bidang

keagamaan, kubudayaan dan kemasyarakatan.

2. Melaksanakan hukum adat dan istiadat dalam desa adatnya.

3. Melaksanakan hukum adat dan istiadat dalam desa adatnya.

4. Memberikan kedudukan hukum menurut adat terhadap hal-

hal yang berhubungan dengan kepentingan hubungan sosial

dan keagamaan.

5. Membina dan mengembangkan nilai-nilai adat dalam rangka

memperkaya melestarikan dan mengembangkan

kebudayaan nasional pada umumnya dan kebudayaan adat

khususnya.

6. Menjaga, memelihara dan memanfaatkan kekayaan desa

adat untuk kesejahteraan masyarakat desa adat.

Selain dari pada peran yang dimiliki oleh Lembaga Adat, Lembaga

Adat juga memiliki wewenang yang meliputi;

1. Mewakili masyarakat adat dalam pengurusan kepentingan

masyarakat adat tersebut.

2. Mengelola hak-hak dan/atau harta kekayaan adat untuk

meningkatkan kemajuan dan taraf hidup masyarakat kearah

yang lebih baik.

3. Menyelesaikan perselisihan yang menyangkut perkara adat

istiadat dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat sepanjang

39
penyelesaiannya tidak bertentangan dengan peraturan-

peraturan.

4. Memusyawarahkan berbagai hal yang menyangkut

masalahmasalah adat dan agama untuk kepentingan desa

adat.

5. Sebagai penengah dalam kasus-kasus adat yang tidak dapat

diselesaikan pada tingkat desa.

3. Tongkonan Sebagai Lembaga Adat

Dalam masyarakat adat Tana Toraja pada umumnya ada 2 (dua)

pranata yang dapat menggambarkan perwujudan suatu kekerabatan

masyarakat adat Toraja, yaitu Banua Tongkonan (rumah adat) dan Liang

(kuburan keluarga). Banua Tongkonan adalah rumah adat masyarakat

Toraja yang menjadi simbol kekerabatan yang mempunyai peranan dalam

menjaga dan melestarikan aturan adat-istiadat. Tongkonan berasal dari

kata Tongkon adalah tempat duduk mendengarkan perintah dan

penjelasan serta duduk menyelesaikan masalah. Tongkonan ini mula-

mula didirikan oleh penguasa dalam wilayah tertentu untuk menjalankan

suatu aturan yang berlaku dalam masyarakat adat26 oleh To‟ Parenge‟

dalam mengatur dan menata kehidupan bermasyarakat agar tercipta

masyarakat yang menghormati satu sama lain yang dilandaskan pada

aturan adat yang ada sejak dahulu kala. Fungsi Tongkonan dalam

26
Peter Pata Sumbung, 2010, Toraja Tallu Lembangna, Keluarga Besar Tallu Lembangna
Jabodetabek, Jakarta, hlm. 51.

40
menjaga keharmonisan dalam kehidupan masyarakat adat yang ada di

dalam wilayahnya nampak ketika terjadi perselisihan dalam masyarakat

adat. Tongkonan yang dikepalai oleh To‟ Parenge‟ hadir sebagai hakim

pendamai dalam menyelesaikan masalah yang terjadi dalam masyarakat

adat serta memperbaiki hubungan keluarga yang renggang sebagai akibat

dari perselisihan tersebut27

Tongkonan pada awalnya ialah tempat penguasa dan sumber

perintah dalam mengatur segala proses kehidupan dimasyarakat adat.

Tugas dan tanggung jawab ini diwariskan oleh penguasa terdahulu

kepada keturunannya secara turun-temurun, sampai pada saat ini. Oleh

sebab itu, kekuasaan tersebut merupakan hak dan tugas warisan bagi

seseorang yang dipercaya dalam memimpin dan mengatur kehidupan

masyarakat adat, sehingga nyata fungsi Tongkonan sebagai sumber

kekuasaan adat yang menjadi tempat pertalian yang menghubungkan

kehidupan seluruh keluarga/keturunan dari orang yang mendirikan

Tongkonan dengan masyarakat yang hidup dalam wilayah kekuasaan

Tongkonan28

Tongkonan memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan

budaya masyarakat adat Toraja. Selain memiliki kekuasaan yang dipatuhi

dan dihormati oleh masyarakat yang hidup di dalam wilayah adat sebuah

27
Petrus, skripsi Rhony Andrhes Linthin, 2015, Peran Lembaga Adat Tongkonan Dalam
Pelaksanaan Gadai Tanah Pertanian Di Lembang Palipu Kecamatan Mengkendek Kabupaten Tana
Toraja, hal. 14
28
Mohammad Nadsir Sitonda, Toraja Warisan Dunia, (Makassar, Pustaka Refleksi, 2007) hlm. 30

41
Tongkonan, Tongkonan juga sebagi sumber kesatuan keluarga yang

mengikat setiap garis keturunannya29

Adapun Tongkonan sebagai Lembaga Adat memiliki peran

diantaranya sebagai berikut :

1. Menjaga dan melestarikan aturan adat istiadat.

2. Sumber kekuasaan dan peraturan adat

3. Mengelola dan membina warisan keluarga (mana‟) baik

warisan berupa harta pusaka maupun hak dan kekuasaan

atas tanah yang digunakan untuk kesejahteraan masyarakat

adat.

4. Menyelesaikan persoalan yang terjadi dalam lingkup

masyarakat.

5. Mengatur pemanfaatan tanah untuk digunakan dalam

pelaksanaan upacara adat.

6. Berperan dalam pelaksanaan transaksi-tranasaksi tanah

yang dilakukan oleh masyarakat adat dalam lingkup wilayah

adatnya.

7. Merencanakan kegiatan upacara adat Rambu Solo‟ dan

Rambu tuka‟ lingkup keluarga dan masyarakat yang ada di

dalam wilayah adatnya.30

29
Tangdilintin, 1983, Toraja dan Kebudayaannya, (Tana Toraja: Yayasan Lepongan, 1983) hlm. 32
30
Peter Pata Sumbung, 2010, Toraja Tallu Lembangna, Keluarga Besar Tallu Lembangna
Jabodetabek, Jakarta, hlm. 52

42
Dalam merumuskan setiap kebijakan untuk kepentingan bersama,

Tongkonan sebagai Lembaga Adat diwakili pemangku adat (To‟

Parenge‟), beserta pembantu pemangku adat berkumpul

memusyawarahkannya. Demikian pula, jika terjadi pertikaian atau

sengketa antara anggota masyarakat, pemangku adat beserta pembantu

pemangku adat berkumpul untuk memusyawarahkan, memeriksa

sengketa dan menyelesaikannya sesuai dengan peraturan adat yang ada.

Melalui pertemuan khusus dari para pemangku adat beserta pembantu

pemangku adat yang ditunjuk kepada pihak tertentu yang biasa disebut

dikombongan, dalam hal ini mereka yang berselisih diadili dan diperiksa

secara bersama. Adapun Tongkonan pada saat ini, masih digunakan oleh

masyarakat adat untuk menyelesaikan sebuah masalah. Tetapi di sisi lain

Tongkonan tidak lagi mengurusi masalah pemerintahan, hal ini

disebabkan Toraja berada di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik

Indonesia, Sehingga yang mengambil alih pemerintahan dari tingkat pusat

hingga ke pedesaan ialah pemerintah pusat. Pemerintahan ditingkat desa

diatur oleh aparatur desa (Kepala Lembang), namun di sisi lain

Tongkonan sebagai Lembaga Adat memiliki kewenangan untuk

menentukan kepala lembang yang akan menjabat didasarkan pada strata

atau status sosialnya. Dalam hal ini haruslah keturunan asli Tongkonan

yang memiliki kekuasaan adat (Tongkonan Layuk) Sehingga aparatur

pedesaan (Kepala Lembang). dengan Tongkonan (To‟ Parenge‟) bersama

43
mengatur kehidupan masyarakat didasarkan oleh aturan pemerintah yang

digabungkan dengan aturan adat-istiadat31

Dalam upacara adat yang dilakukan oleh masyarakat adat Toraja,

seorang pemangku adat berperan aktif di dalamnya. Upacara adat dalam

masyarakat adat Toraja memiliki arti yang sama dengan sebuah

kepercayaan, dalam hal ini kepercayaan jika tidak dilaksanakan maka

yang bersangkutan akan mengalami kesialan atau adanya akibat buruk

yang akan menimpa mereka. Pertemuan untuk membuat suatu kebijakan

demi kepentingan bersama mutlak dihadiri oleh pemangku adat beserta

para pembantu pemangku adatnya untuk merencanakan pesta ucapan

syukur tahunan, merencanakan pelaksanaan upacara adat kematian baik

yang dialami oleh keluarga maupun masyarakat adat, yang melingkupi

prosesi pelaksanaan sampai berakhirnya upacara kematian, jumlah

hewan yang akan dikorbankan yang menyangkut tentang pembagian

daging korban kepada masyarakat, serta pembuatan irigasi yang

menyangkut kepentingan orang banyak dan sebagainya.

31
Yohanis, Skripsi Rhony Andrhes Linthin, 2015, Peran Lembaga Adat Tongkonan Dalam
Pelaksanaan Gadai Tanah Pertanian Di Lembang Palipu Kecamatan Mengkendek Kabupaten Tana
Toraja, hal. 17

44

Anda mungkin juga menyukai