Anda di halaman 1dari 14

TUGAS PENGGANTI FINAL POLITIK HUKUM

POLITIK HUKUM DALAM PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH

Oleh :

YUSTIKA MAHDANIA

B012192006

Politik Hukum (B)

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2020
DAFTAR ISI

DAFTAR IS...................................................................................................................................1

BAB I PENDAHULUAN............................................................................................................ 3

A. Latar Belakang Masalah ................................................................................................3

B. Rumusan Masalah ......................................................................................................4

BAB II PEMBAHASAN................................................................................................................5

A. Politik Hukum Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia...............................................5

B. Politik Hukum Penyelenggaraan Otonomi Daerah..........................................................

BAB III PENTUP....................................................................................................................... .13

A. Kesimpulan..................................................................................................................... 13

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................14

2
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Dinamika penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia selalu
mengalami perubahan sesuai dengan perubahan politik hukum ketatanegaraan
yang beberapa kali mengalami pergantian, yakni masa orde lama, orde baru dan
yang sekarang ini orde reformasi. Pemilihan Negara kesatuan dengan sistim
desentralisasi yang menjadi dasar berdirinya daerah-derah otonom sudah
menjadi pilihan sejak awal berdirinya Negara Indonesia, hal ini dapat dilihat
dalam UUD 45 yang disahkan pada tanggal 18 Agustus tahun 1945, diatur dalam
Pasal (1) Negara Indonesia ialah negara kesatuan yang berbentuk republik, dan
Pasal 18 Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan
bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan
memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem
pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat
istimewa.
Pada awal era reformasi berkembang dan populer di masyarakat
banyaknya tuntutan reformasi yang didesakan oleh berbagai komponen bangsa,
antara tuntutannya adalah amandemen UUD 1945 dan desentralisasi dan
hubungan yang adil antara pusat dan daerah (daerah otonom). 1 Perubahan UUD
1945 mengakibatkan perubahan politik hukum otonomi daerah sebagaimana
diatur dalam Pasal 18, 18A dan 18B yang antara lain mengandung prinsip-
prinsip:2
a. Prinsip daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
menurut asas otonomi dan tugas pembantuan (Pasal 18 ayat (2)).
1
Panduan Permasyarakatan Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sesuai dengan urutan Bab, Pasal dan Ayat,
Jakarta, 2010, Sekretariat Jendral MPR, hlm. 3-4.
2
Ni’matul Huda, 2014, Hukum Tata Negara Indonesia, Edisi Revisi, Radja Grafindo, Jakarta, hlm. 325.

3
b. Prinsip menjalankan otonomi seluasluasnya (Pasal 18 ayat (5)).
c. Prinsip kekhususan dan keragaman daerah (Pasal 18 A ayat (1)).
d. Prinsip mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum
adatbeserta hak-hak tradisionilnya (Pasal18 B ayat (2)).
e. Prinsip hubungan pusat dan daerah harus dilaksankan secara selaras dan
adil (Pasal 18 A ayat (2)).
Prinsip-prinsip tersebut untuk saat ini dilaksanakan dengan Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, merupakan
babak baru penyelenggraan otonomi daerah sekaligus mencabut berlakunya
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Salah
satu pertimbangan dikeuarkannya Undang-Undang Nomor Tahun 2014 adalah
bahwa efisiensi dan efektifitas penyelenggraan pemerintahan daerah perlu
ditingkatkan dengan lebih memperhatikan aspekaspek hubungan antara pusat
dengan daerah dan antar daerah, potensi dan keanekaragaman daerah, serta
peluang dan tantangan persaingan global dalam kesatuan sistem
penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Dalam asumsi dasar hukum sebagai produk politik, untuk mengetahui
produk hukum itu baik, kita harus melihat juga dari konfigurasi politik tersebut.
Politik determinan atas hukum sehingga hukum merupakan produk politik. Politik
sebagai independent variable secara ektrem dibedakan atas politik yang
demokratis dan politik yang otoriter. Sedangkan hukum sebagai dependent
variable di bedakan atas hukum yang responsif dan hukum yang ortodoks.
Konfigurasi politik yang demokratis akan melahirkan hukum yang responsif
sedangkan konfigurasi politik yang otoriter akan melahirkan hukum yang
ortodoks atau konservatif.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas penulis menguraikan rumusan
masalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah Politik Hukum Penyelenggaraan Otonomi Daerah?

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Politik Hukum Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia


Politik hukum suatu negara sebenarnya diformulasikan oleh “tangan-
tangan” pemerintah sebagai pihak yang memiliki legitimasi dalam menjalankan
roda kenegaraan. Dalam istilah lain dapat dinyatakan bahwanegara berwenang
dalam menerbitkan produk hukum yang sesuai dengan corak dan kepentingan
politik yang berlaku saat itu dengan tujuan untuk menciptakan suatu aturan yang
seharusnya mengarah kepada keadilan dan kesejahteraan. Hukum juga dapat
menjadi alat yang dipergunakan untuk menata kehidupan sosial yang penuh
dengan gejolak dan dinamika. Franz Magnis Suseno mengatakan bahwa
karakter manusia sebagai makhluk sosial mempunyai dimensi politik. Dengan
kata lain, manusia adalah makhluk yang mengenal kepentingan individual dan
kolektif. Dalam kerangka demikian, tatanan hukum merupakan lembaga penata
kehidupan bersama secara normatif sedangkan negara dapat dipandang
sebagai lembaga penta kehidupan yang efektif. 3.
Dari pernyataan tersebut dapat dilihat bahwa negara selaku lembaga
politik harus secara dinamis melakukan pengaturan terhadap perilaku warga-
bangsanya supaya tidak terjadi kekacauan dan pertentangan kepentingan
individual dan kelompok satu dengan yang lainnya. Apabila negara tidak mampu
secara fungsional melakukannya maka tidak tertutup kemungkinan akan terjadi
pertentangan dan pertikaian yang sulit diatasi. Secara politis, aturan-aturan
hukum diciptakan untuk meng-cover dan meredam pertentangan yang terjadi
dalam masyarakat. Oleh sebab itu hukum yang diciptakan menjadi produk politik
senantiasa berhubungan dengan perilaku manusia berbasis kebijakan
pemerintah. Menurut Moh. Mahfud MD, politik hukum secara sederhana dapat
dirumuskan sebagai kebijakan hukum (legal policy) yang akan atau telah
dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah, mencakup pula pengertian
3
Magnis Suseno, Etika Politik (Jakarta: Gramedia, 1987), hlm. 15

5
tentang bagaimana politik mengendalikan hukum yang dapat dilihat dari
kongfigurasi kekuatan yang ada di belakang pembuatan atau penegakan hukum
itu.4
Pernyataan itu menunjukkan adanya hubungan kausalitas antara hukum
dan politik. Dalam realitas empiris, hukum hadir sebagai refleksi dari konfigurasi
politik yang melatarbelakanginya. Kalimat-kalimat yang terangkai dalam bentuk
pasal-pasal peraturan perundang-undangan mencerminkan kehendak politik
yang saling bersaing. Dalam kenyataannya memang terlihat bahwa politik sangat
menentukan “terciptanya” hukum. Dalam perspektif ahli hukum, ada dua
pendapat mengenai interrelasi antara hukum dan politik yaitu aliran idealisme
dan aliran realisme. Kaum idealis berpedoman kepada das-sollen berpendirian
bahwa hukum harus mampu mengendalikan dan merekayasa perkembangan
masyarakat, termasuk kehidupan politiknya. Rescue Pound, salah seorang
penganutnya, telah lama berpendirian bahwa “law as a tools of the sosial
engineering” (hukum sebagai alat rekayasa kehidupan sosial). Ungkapan
demikian relatif relevan karena hukum dipandang mampu berfungsi untuk
menjamin ketertiban dalam masyarakat. Sebaliknya, kaum realis seperti Savigny
berpendirian bahwa hukum selalu berkembang sesuai dengan perkembangan
masyarakatnya. Ini berarti bahwa hukum, mau tidak mau, menjadi independent
variable atas keberadaan masyarakatnya, terutama didasari atas keadaan dan
kecenderungan politik yang sedang berlaku pada saat itu.
Apabila diperhatikan kondisi Indonesia mulai jaman Orde Lama sampai
jaman Reformasi sekarang ini, terlihat sekali bahwa kepentingan politik sangat
dominan sehingga mampu mengalahkan aturan-atutan hukum yang berlaku.
Pemerintah dalam mengambil kebijakan kebijakan lebih mengutamakan peran
politiknya dari pada hukum, dengan tujuan untuk kepentingan kelompok tertentu
dan para elit politik pun tampak saling menyalahkan antara satu dengan yang
lainnya. Hal ini menandakan bahwa pihak-pihak yang “bermain” di bidang politik
tanpa harus peduli pada aturan-aturan hukum. Sebenarnya aturan hukum yang
telah dibuat oleh para pendahulu, bertujuan untuk mengatur tatanan hidup, baik

4
Moh. Mahfud. MD, Pergulatan politik dan Hukum di Indonesia (Yogyakarta:Gama Media, 1999), hlm.71

6
bermasyarakat maupun bernegara. Walaupun demikian, karena faktor politis
masing-masing lembaga ingin menonjolkan kekuasaannya tanpa memperhatikan
substansi hukum dan pada keadaan seperti ini yang dirugikan juga masyarakat
karena tidak lagi mendapat perlindungan hukum. Pembicaraan mengenai hukum
dan politik tidak dapat terlepas dari kaitan wacana antara politik dan negara
karena hukum merupakan produk dari politik negara. Sepanjang sejarah
pemikiran manusia mengenai hukum dan politik sebagaimana yang diungkap di
muka, terlihat bahwa negara akan mewujudkan harapan para warga negara
akan kehidupan yang tertib, adil dan sejahtera. Hal ini baru dapat tercapai jika
negara itu diselenggarakan berdasarkan hukum sebagai aturan main. Dari
sejarah pemikiran manusia mengenai negara, sudah dapat disimak bahwa untuk
menghindarkan kehidupan bersama dari kekacauan dan peperangan di antara
semua melawan semua, orang telah berusaha untuk mengkristalisasikan
kekuatan individual ke dalam kekuasaan mutlak. 5
Namun usaha yang dilakukan itu banyak yang salah tafsir sehingga tidak
lagi memperhatikan kepentingan rakyat, namun memunculkan tirani baru
sebagai akibat dari kekuasaan mutlak yang dijalankan oleh pemimpin negara
dengan dalih untuk mengatur kehidupan masyarakat. Untuk meredam kebijakan
tersebut maka hukum sebagai alat kontrol harus dipergunakan sebagai acuan,
baik oleh rakyat maupun oleh pemerintah dalam melaksanakan jalinan hubungan
pergaulan antar satu sama lain. Dalam hal ini kepastian hukum merupakan
syarat bagi suatu negara yang demokratis, dengan mengacu kepada prinsip-
prinsip akal sehat dan sekaligus melibatkan aspirasi rakyat atau masyarakat.
Pemerintah selaku lembaga politis yang melaksanakan roda kenegaraan harus
melakukan kebijakan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, dan hukum
yang diciptakan itu harus senantiasa memperhatikan kondisi dan perkembangan
yang terjadi dalam masyarakat, dalam hal ini suara-suara masyarakat senatiasa
menjadi pedoman dalam penciptaan hukum. Apabila merujuk kepada negara
Indonesia, maka dalam pembukaan UUD 1945 telah dijelaskan bahwa Indonesia
adalah negara yang berdasarkan atas hukum dan tidak berdasarkan atas
5
Eriyanto (2006), Interelasi Pembangunan Hukum dan Politik Menuju Tatanan Kehidupan Masyarakat Modern dan
Demokratis, Jurnal Hukum dan Pranta Sosial, Vol.1 No.1, hal 101

7
kekuasaan. Ini menunjukkan bahwa segala sesuatunya dilaksanakan
berdasarkan hukum, baik dalam pelaksanaan hubungan selaku warga negara
maupun pelaksanaan tugas-tugas selaku penyelenggara negara.
Dari penjelasan tersebut jelas bahwa hubungan antara hukum dan negara
itu tercermin dari proses penyelenggaraan negara itu, baik terhadap warga
negaranya maupun terhadap negara lain yang senatiasa harus berpedoman
kepada hukum karena hukum itu dibuat oleh negara dengan tujuan untuk
menjamin perlindungan terhadap rakyat secara menyeluruh. Stabilitas Politik dan
Kepastian Hukum Fungsi hukum adalah memelihara kepentingan umum dalam
masyarakat, menjaga hak-hak manusia dan mewujudkan keadilan dalam hidup
bersama. Ketiga fungsi ini tidak saling saling bertentangan tetapi saling mengisi
menjadi satu konsep dasar, yakni bahwa manusia harus hidup dalam suatu
masyarakat dan bahwamasyarakat itu harus diatur dengan baik. Selanjutnya
dapat direnungkan bahwa tiap-tiap manusia menginginkan ketenteraman di
tengah pergolakan-pergolakan hidup. Karenanya orang-orang selalu berusaha
untuk mengamankan dirinya terhadap bahaya yang mungkin timbul. Salah satu
upaya ke arah itu adalah mengatur kehidupan bersama sedemikian rupa
sehingga tidak terjadi sesuatu yang tidak diharapkan. Untuk itu hukum yang
ditentukan oleh pemerintah harus mempunyai kepastian berlaku (legalitas).
Pernyataan itu menunjukkan bahwa perlu adanya stabilitas politik oleh
pemerintah untuk menuju pada kepastian hukum. Apabila kebijakan atau politik
yang dijalankan oleh pemerintah tidak menggambarkan kondisi yang kondusif
maka produk hukum yang dihasilkan juga tidak akan dapat diterima oleh semua
pihak. Dengan demikian sudah dapat dipastikan bahwa hukum yang akan
diterapkan tersebut tidak akan memberikan kepastian hukum kepada semua
pihak. Sebagaimana dikemukakan bahwa melalui hukum manusia hendak
mencapai ketertiban umum dan keadilan. Namun harus disadari bahwa
ketertiban umum dan keadilan yang hendak dicapai melalui hukum itu hanya
dapat dicapai dan dipertahankan secara dinamis melalui penyelenggaraan
hukum dalam suatu proses sosial yang diterima oleh masyarakat.
Konsekuensinya hukum itu harus mempunyai kredibilitas sehingga dalam

8
penyelenggaraannya mampu memperhatikan suatu alur konsistensi.
Penyelenggaraan hukum yang tidak konsisten tidak akan membuat masyarakat
mau mengandalkannya sebagai perangkat kaidah yang mengatur kehidupan
bersama.

B. Politik Hukum Penyelenggaraan Otonomi Daerah

Otonomi yang luas sebenarnya merupakan penjabaran dari desentralisasi


secara utuh. Idealnya pelaksanaan otonomi yang luas harus disertai pula dengan
prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, pemerataan, pemberdayaan dan partisipasi
masyarakat, penggalian potensi dan keanekaragaman  daerah yang difokuskan
pada peningkatan ekonomi di tingkat kabupaten dan kotamadia

Implementasi otonomi daerah dapat dilihat dari bebagai segi yaitu pertama,
dilihat dari segi wilayah (teritorial) harus berorientasi pada pemberdayaan dan
penggalian potensi daerah. Kedua, dari segi struktur tata pemerintahan
berorientasi pada pemberdayaan pemerintah daerah dalam mengelola sumber-
sumber daya yang dimilikinya secara bertanggung jawab dan memegang prinsip-
prinsip kesatuan negara dan bangsa. Ketiga, dari segi kemasyarakatan
berorientasi pada pemberdayaan dan pelibatan  masyarakat dalam
pembangunan di berbagai daerah sesuai dengan kemampuan masing-masing.

          Undang-undang dan peraturan tentang otonomi daerah sudah disusun


sejak Indonesia merdeka .Hal ini menunjukkan bahwa para pemimpin negara
dari jaman Orde Lama, Orde Baru sampai pemimpin negara  saat ini sudah
memikirkan betapa penting otonomi daerah mengingat wilayah Indonesia yang
demikian luas yang menjadi tanggung jawab pemerintah. Pemberian otonomi
kepada daerah pada dasarnya merupakan upaya pemberdayaan dalam rangka
mengelola pembangunan di daerahnya. Daerah diharapkan sedikit demi sedikit
mampu melepaskan ketergantungannya terhadap bantuan pemerintah pusat
dengan cara  meningkatkan kreativitas,  meningkatkan inovasi dan
meningkatkan kemandiriannya. Bila  pelaksaan otonomi daerah sesuai dengan

9
peraturan dan perundang-undangan yang telah disusun, maka harapan indah
untuk mewujudkan “daerah membangun“ (bukan   “membangun daerah”), dapat
segera tercapai. Otonomi daerah memberikan harapan cerah kepada daerah 
untuk lebih meningkatkan dayaguna dan hasilguna penyelenggaraan
pemerintahan dalam rangka memberikan efektifitas pelayanan kepada
masyarakat .Hal  lain yang tidak kalah penting adalah daerah dapat
melaksnakan fungsi-fungsi pembangunan serta mengembangkan prakarsa
masyarakat secara demokratis , sehingga sasaran pembangunan diarahkan dan
disesuaikan dengan kondisi dan permasalahan yang ada di daerah.

Politik hukum penyelenggaraan pemerintahan daerah sekarang ini diatur


dengan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Dalam penjelasan umumnya dikatakan antara lain bahwa Pemberian otonomi
yang seluas-seluasnya kepada Daerah dilaksanakan berdasarkan:
a. Prinsip negara kesatuan. Dalam negara kesatuan kedaulatan hanya
ada pada pemerintahan negara atau pemerintahan nasional dan tidak ada
kedaulatan pada Daerah. Oleh karena itu, seluas apa pun otonomi yang
diberikan kepada Daerah, tanggung jawab akhir penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah akan tetap ada di tangan Pemerintah Pusat. Untuk itu Pemerintahan
Daerah pada negara kesatuan merupakan satu kesatuan dengan Pemerintahan
Nasional.
b. Kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan oleh Daerah merupakan
bagian integral dari kebijakan nasional. Pembedanya adalah terletak pada
bagaimana memanfaatkan kearifan, potensi, inovasi, daya saing, dan kreativitas
Daerah untuk mencapai tujuan nasional tersebut di tingkat lokal yang pada
gilirannya akan mendukung pencapaian tujuan nasional secara keseluruhan.
c. Daerah sebagai satu kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai
otonomi berwenang mengatur dan mengurus daerahnya sesuai aspirasi dan
kepentingan masyarakatnya sepanjang tidak bertentangan dengan tatanan
hukum nasional dan kepentingan umum.
10
d. Dalam rangka memberikan ruang yang lebih luas kepada daerah untuk
mengatur dan mengurus kehidupan warganya, maka Pemerintah Pusat dalam
membentuk kebijakan harus memperhatikan kearifan lokal dan sebaliknya
Daerah ketika membentuk kebijakan daerah baik dalam bentuk Perda maupun
kebijakan lainnya hendaknya juga memperhatikan kepentingan nasional. Dengan
demikian akan tercipta keseimbangan antara kepentingan nasional yang sinergis
dan tetap memperhatikan kondisi, kekhasan, dan kearifan lokal dalam
penyelenggaraan pemerintahan secara keseluruhan.
e. Urusan Pemerintahan yang diserahkan ke Daerah berasal dari
kekuasaan pemerintahan yang ada di tangan Presiden.
Konsekuensi dari negara kesatuan adalah tanggung jawab akhir
pemerintahan ada di tangan Presiden. Agar pelaksanaan Urusan Pemerintahan
yang diserahkan ke daerah berjalan sesuai dengan kebijakan nasional maka
Presiden berkewajiban untuk melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
Melalui undang-undang ini dilakukan pengaturan yang bersifat afirmatif
yang dimulai dari pemetaan urusan pemerintahan yang akan menjadi prioritas
daerah dalam pelaksanakan otonomi yang seluas-luasnya. Melalui pemetaan
tersebut akan tercipta sinergi kementerian/ lembaga pemerintahan non
kementerian yang urusan pemerintahannya didesentralisasikan ke daerah.
Sinergi urusan pemerintahan akan melahirkan sinergi kelembagaan antara
pemerintah pusat dan daerah, karena setiap kementerian/ lembaga
pemerintahan non kementerian akan tahu siapa pemangku kepentingan
(stakeholder) dari kementerian/ lembaga non kementerian tersebut di tingkat
provinsi dan kabupaten/ kota secara nasional. Sinergi urusan pemerintahan dan
kelembagaan tersebut akan menciptakan sinergi dalam perencanaan
pembangunan antara kementerian/ kelembagaan pemerintahan non kementerian
dengan daerah untuk mencapai nasional. Pemetaan atau klasifikasi Urusan
Pemerintahan yakni dengan memetakan antara urusan pemerintahan pusat dan
daerah diatur dalam Pasal 9 sampai dengan Pasal 26.

11
Dalam konteks bentuk negara, meskipun negara Indonesia memilih
bentuk negara kesatuan, tetapi di dalamnya terselenggara suatu mekanisme
yang memungkinkan tumbuh berkembangnya keragaman antar daerah di
seluruh tanah air. Kekayaan alam dan budaya antar daerah tidak boleh
diseragamkan dalam struktur NKRI. Dengan perkataan lain, bentuk NKRI
diselenggarakan dengan jaminan otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah-
daerah untuk berkembang sesuai dengan potensi dan kekayaan yang dimilikinya
masing-masing, tentunya dengan dorongan, dukungan, dan bantuan yang
diberikan oleh Pemerintah Pusat.

12
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Politik Hukum Penyelenggaraan Otonomi Daerah menurut Undang- Undang
Nomor 23 Tahun 2014 mendasarkan pada prinsip-prinsip prinsip negara kesatuan.
Dalam negara kesatuan kedaulatan hanya ada pada pemerintahan negara atau
pemerintahan nasional dan tidak ada kedaulatan pada Daerah. Oleh karena itu, seluas
apa pun otonomi yang diberikan kepada Daerah, tanggung jawab akhir
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah akan tetap ada ditangan Pemerintah Pusat.
Untuk itu Pemerintahan Daerah pada negara kesatuan merupakan satu kesatuan
dengan Pemerintahan Nasional. Kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan oleh Daerah
merupakan bagian integral dari kebijakan nasional. Pembedanya adalah terletak pada
bagaimana memanfaatkan kearifan, potensi, inovasi, daya saing, dan kreativitas
Daerah untuk mencapai tujuan nasionaltersebut di tingkat lokal yang pada gilirannya
akan mendukung pencapaian tujuan nasional secara keseluruhan. Salah satu cara
untuk mewujudkan tujuan tersebut politik hukum otonomi daerah berdasarkan UU No
23 tahun 2014 dengan cara memetakan urusan yang menjadi urusan pemerintah pusat
dan daerah, yang terdiri atas urusan absolut, urusan konkuren dan urusan
pemerintahan umum.

13
DAFTAR PUSTAKA

Eriyanto (2006), Interelasi Pembangunan Hukum dan Politik Menuju Tatanan


Kehidupan Masyarakat Modern dan Demokratis, Jurnal Hukum dan Pranta Sosial, Vol.1
No.1, hal 101

Magnis Suseno, Etika Politik (Jakarta: Gramedia, 1987), hlm. 15

Moh. Mahfud. MD, Pergulatan politik dan Hukum di Indonesia (Yogyakarta:Gama


Media, 1999), hlm.71
Ni’matul Huda, 2014, Hukum Tata Negara Indonesia, Edisi Revisi, Radja Grafindo,
Jakarta, hlm. 325
Panduan Permasyarakatan Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
sesuai dengan urutan Bab, Pasal dan Ayat, Jakarta, 2010, Sekretariat Jendral MPR,
hlm. 3-4.

14

Anda mungkin juga menyukai