Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Lesi keganasan merupakan kasus yang jarang terjadi pada rahang, tetapi

kesalahan dalam melakukan diagnosis dapat berakibat sangat fatal. Keganasan

secara bahasa dapat diartikan sebagai suatu kondisi lesi yang memiliki

kecenderungan secara medis menjadi semakin buruk. Keganasan dikenal sebagai

karakter dari sebuah kanker. Sifat umum keganasan sangat berbeda dengan

kondisi jinak, antara lain keganasan memiliki pertumbuhan yang tidak terbatas

pada pertumbuhan dirinya sendiri, mampu menyerang ke jaringan yang

berdekatan, dan dapat menyebar ke jaringan tubuh lain yang posisinya jauh dari

sumber aslinya, sedangkan pada kondisi jinak kesemua sifat tersebut tidak

dimiliki. Keganasan sering juga ditandai dengan kondisi anaplastif, invasif, dan

metastasis, ketidakstabilan gen. Hal ini yang menyebabkan sel kanker mudah

bermutasi dengan cara mengurangi ekspresi enzim untuk perbaikan DNA, karena

pada sel kanker, perbaikan pada DNA digunakan untuk mengekspresikan gennya

yang berbeda dari DNA awal.

Perubahan dari sel normal menjadi sel kanker dipengaruhi oleh multifaktor

seperti yang sudah dipaparkan diatas dan bersifat individual. Sejak terjadinya

kontak dengan karsinogen hingga timbulnya sel kanker memerlukan waktu

induksi yang cukup lama sekitar 15-30 tahun, karsinoma sel skwamosa adalah

jenis yang paling sering du temukan pada karsinoma sinonasal yaitu sekitar 70-80
% , tumor kelenjar liur minor 10- 10 15%, limfoma 5% dan sisanya

undifferentiated karsinoma, kondrosarkoma, osteosarkoma, melanomamaligna

dan esthesioneuroblastoma. Tumor jinak yang sering papikoma inverted yang

dapat bertendensi requren dan menjadi karsinoa sel skwamos pada beberapa

kasus.

Kondrosarkoma merupakan tumor ganas dimana sel-sel tumor

memproduksi kartilage. Kondrosarkoma pada rahang dan tulang wajah jarang

ditemukan, kasus menunjukkan sekitar 5-12% kasus. Beberapa penelitian

melaporkan pada kondisi ini, dan variasi klinis secara luas. Perkembangan

penyakit tergolong lambat yaitu sekitar 0,5-12 bulan, dan gejala terdapat disekitar

lokasi asalnya tumor, daerah yang sering kali terkena adalah area sinonasal,

maksila, dan mandibula. Prognosis dipengaruhi diagnosis awal, subtype

histopatologis, intervensi perawatan awal, dan reseksi. Kondrosarkoma

merupakan neoplasma kartilago ganas yang seringkali berkembang pada tulang

pelvis, femur, dan humerus, tetapi jarang pada sendi temporomandibular.

Kondrosarkoma tercatat sekitar 10-20% malignansi tulang secara primer, kejadian

malignansi pada tulang rahan jarang ditemukan. Juga dilaporkan kondrosarkoma

dapat terjadi pada kepala kondilus. (Fukada, Almoonsari, dan Inomata)

Kondrosarkoma telah tercatat sekitar 10 % dari tumor maligna osteogenik,

tumor ini berkembang dari tulang rahan dan sangat jarang terjadi. Pasien dengan

kondrosarkoma berkembang pada kepala kondil. Pasien berusia 42 tahun,

pemeriksaan menunjukkan pembengkakan keras dan elastis pada kepala kondilus

kiri. Secara radiografis, telah terdeteksi lesi neoplastik pada kepala kondilus

mandibularis sebelah kiri tanpa adanya kerusakan tulang pada basis cranii.
Pemeriksaan histopatologi dilakukan dengan anestesi umum. Berdasarkan

diagnosis pasien suspek kondrosarkoma kepala kondilus, reseksi tumor, diseksi

leher bagian supraomohyoid dan rekonstruksi dengan flap anterolateral dilakukan

dibawah anestesi umum pada bulan berikutnya. Pemeriksaan histopatologi pada

sampel jaringan yang dibuang terkonfirmasi kondrosarkoma. (Fukada,

Almoonsari, dan Inomata)

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa pengertian dari kondrosarkoma?

2. Bagaimana kasus kondrosarrkoma pada daerah oral dan maksilofasial?

3. Bagaimana menetapkan diagnosis kondrosarrkoma pada daerah oral dan

maksilofasial?

4. Bagaimana pemeriksaan kondrosarrkoma pada daerah oral dan

maksilofasial?

5.

1.3 Tujuan

2.3 Kondrosarkoma

2.3.1. Definisi Kondrosarkoma

Kondrosarkoma merupakan tumor tulang ganas yang terdiri atas kondrosit

anaplastik yang dapat tumbuh sebagai tumor tulang perifer atau sentral.

Kondrosarkoma berasal dari kartilago primitif yang membentuk mesenkim,


memproduksi kartilago hialin dan menghasilkan pertumbuhan yang abnormal dari

tulang atau kartilago (Kundu, 2011).

Kondrosarkoma dapat dibagi menjadi kondrosarkoma primer dan

sekunder. Untuk keganasan yang berasal dari kartilago itu sendiri (de novo)

disebut kondrosarkoma primer. Sedangkan apabila merupakan bentuk degenerasi

keganasan dari penyakit lain seperti enkondroma, osteokondroma dan

kondroblastoma disebut kondrosarkoma sekunder. Kondrosarkoma sekunder

kurang ganas dibandingkan kondrosarkoma primer. Berdasar lokasi

kondrosarkoma dapat diklasifikasi menjadi tumor sentral atau perifer

(Mavrogenis, 2012).

2.3.2. Epidemiologi Kondrosarkoma

Menurut Spjut dkk. serta Lichtenstein, kondrosarkoma lebih sering ditemukan

pada pria daripada wanita, sedangkan Jaffe mengatakan, tidak ada perbedaan

insidens. Dari segi ras penyakit ini tidak ada perbedaan. Meskipun tumor ini dapat

terjadi pada seluruh lapisan usia, namun terbanyak pada orang dewasa (20-40

tahun). Tujuh puluh enam persen, kondrosarkoma primer berasal dari dalam

tulang (sentral) sedangkan kondrosarkoma sekunder banyak ditemukan berasal

dari tumor jinak seperti osteokondroma atau enkondroma yang mengalami

transformasi.

2.3.3. Klasifikasi Kondrosarkoma

Kondrosarkoma di klasifikasikan menjadi kondrosarkoma primer (90%)

jika lesi denovo dan kondrosarkoma sekunder (10%) jika berasal dari defek
kartilago jinak, seperti osteokondroma atau enkondroma. Selanjutnya

diklasifikasikan sebagai kondrosarkoma sentral (jika letak lesi di kanal

intramedular), kondrosarkoma perifer (jika letak lesi di permukaan tulang) dan

kondrosarkoma jukstakortikal atau periosteal dengan kejadian jarang (2%). Secara

patologi kondrosarkoma diklasifikasikan menjadi kondrosarkoma konvensional

(80-85%), dan kondrosarkoma dengan subtipe tergantung lokasi, tampilan, terapi

dan prognosis. Subtipe tersebut antara lain kondrosarkoma clear cell (1%-2%),

kondrosarkoma miksoid (8%-10%), kondrosarkoma mesenkimal (3%-10%) dan

kondrosarkoma dedifferentiated (5%- 10%) (Mavrogenis, 2012).

Secara histologi berdasar ukuran lesi dan staining inti (hiperkromasia) dan

seluleritasnya derajat kondrosarkoma dibagi dalam skala 1-3 (gambar 3). Derajat

kondrosarkoma tersebut mencerminkan agresifitas lesi, derajat 1 merupakan

tumor derajat rendah, derajat 2 merupakan derajat sedang dan derajat 3

merupakan derajat tinggi. Tumor derajat 1 mempunyai kondrosit dengan inti

tebal, meskipun beberapa inti membesar (ukuran > 8 mikro) dan sedikit sel

dengan multinucleated (kebanyakan binucleated). Stroma lebih dominan dengan

area miksoid sedikit atau bahkan tidak ada. Kondrosarkoma derajat 1 ini sulit

dibedakan dengan enkondroma. Kondrosarkoma derajat 2 mempunyai matriks

kondroid yang sedikit dan lebih banyak mengandung sel. Peningkatan sel lebih

dominan di tumor perifer dengan matriks kondroit yang hampir tidak ada dan

jarang ditemukan gambaran mitosis. Kondrosarkoma derajat 3, menampilkan sel-

sel yang lebih besar dan inti lebih pleomorfisme dibandingkan derajat 2. Matriks

kondroit jarang bahkan hampir tidak ada dengan material interseluler sedikit dan

sering berupa mixoid. Selnya umumya bentuk stellat atau ireguler. Fokus nekrosis
sering tampak dan sering meluas. Inti sel sering berbentuk spindle dengan ukuran

bisa lebih besar 5-10 kali dibandingkan dengan ukuran normal (Mavrogenis,

2012).

2.3.4. Predileksi Kondrosarkoma

Berdasarkan bentuk tulang, kondrosarkoma dapat mengenai tulang pipih

dan bagian epifisis tulang panjang. Kondrosarkoma dapat terkena pada berbagai

lokasi namun predileksi terbanyak pada lokasi proksimal seperti femur, pelvis,

danhumerus. Selain itu dapat pula mengenai rusuk, tulang kraniofasial, sternum,

skapula dan vertebra. Tumor ini jarang mengenai tangan dan biasanya merupakan

bentuk keganasan atau komplikasi dari sindrom enkondromatosis multipel.

2.3.5. Patofisiologi Kondrosarkoma

Patogenesis kondrosarkoma primer maupun sekunder adalah terbentuknya

kartilago oleh sel-sel tumor tanpa disertai osteogenesis. Sel tumor hanya

memproduksi kartilago hialin yang mengakibatkan abnormalitas pertumbuhan

tulang dan kartilago. Secara fisiologis, kondrosit yang mati dibersihkan oleh

osteoklas kemudian daerah yang kosong itu, diinvasi oleh osteoblas-osteoblas

yang melakukan proses osifikasi. Proses osifikasi ini menyebabkan diafisis

bertambah panjang dan lempeng epifisis kembali ke ketebalan semula.

Seharusnya kartilago yang diganti oleh tulang di ujung diafisis lempeng memiliki

ketebalan yang setara dengan pertumbuhan kartilago baru di ujung epifisis

lempeng. Namun pada kondrosarkoma proses osteogenesis tidak terjadi, sel-sel


kartilago menjadi ganas dan menyebabkan abnormalitas penonjolan tulang,

dengan berbagai variasi ukuran dan lokasi (Ollivier, 2003).

Proses keganasan kondrosit dapat berasal dari perifer atau sentral. Apabila

lesi awal dari kanalis intramedular, di dalam tulang itu sendiri dinamakan

kondrosarkoma sentral sedangkan kondrosarkoma perifer apabila lesi dari

permukaan tulang seperti kortikal dan periosteal. Tumor kemudian tumbuh

membesar dan mengikis korteks sehingga menimbulkan reaksi periosteal pada

formasi tulang baru dan soft tissue. Penelitian baru-baru ini berkesimpulan

patogenesis dari kondrosarkoma bisa melibatkan inaktifasi mutasional dari gen

supresor tumor terdahulu. Telah dilaporkan terjadinya inaktifasi mutasional tumor

supresor p16, Rb, dan p53 pada contoh kondrosarkoma. Lebih lanjut lagi,

inaktifasi p53 berhubungan dengan tumor tingkat yang lebih tinggi dan prognosis

yang lebih jelek (Ollivier, 2003).

2.3.6. Pemeriksaan Radiologi Kondrosarkoma

Pemeriksaan radiologi merupakan pemeriksaan penting dalam usaha

penegakan diagnosis tumor. Pada kondrosarkoma, pemeriksaan radiologi yang

dapat dilakukan meliputi foto konvensional, CT scan, dan MRI. Selain itu,

kondrosarkoma juga dapat diperiksa dengan USG dan Nuklear Medicine.

A. Foto konvensional

Foto konvensional merupakan pemeriksaan penting yang dilakukan untuk

diagnosis awal kondrosarkoma. Baik kondrosarkoma primer atau sentral

memberikan gambaran radiolusen pada area dekstruksi korteks. Bentuk

destruksi biasanya berupa pengikisan dan reaksi eksternal periosteal pada


formasi tulang baru. Karena ekspansi tumor, terjadi penipisan korteks di

sekitar tumor yang dapat mengakibatkan fraktur patologis. Scallop erosion

pada endosteal cortex terjadi akibat pertumbuhan tumor yang lambat dan

permukaan tumor yang licin. Pada kondrosarkoma, endosteal scalloping

kedalamannya lebih dari 2/3 korteks, maka hal ini dapat membedakan

kondrosarkoma dengan enkondroma. Gambaran kondrosarkoma lebih agresif

disertai destruksi tulang, erosi korteks dan reaksi periosteal, jika dibandingkan

dengan enkondroma. Tidak ada kriteria absolut untuk penentuan malignansi.

Pada lesi malignan, penetrasi korteks tampak jelas dan tampak massa soft

tissue dengan kalsifikasi. Namun derajat bentuk kalsifikasi matriks ini dapat

dijadikan patokan grade tumor. Pada tumor yang agresif, dapat dilihat

gambaran kalsifikasi matriks iregular. Bahkan sering pula tampak area yang

luas tanpa kalsifikasi sama sekali. Destruksi korteks dan soft tissue di

sekitarnya juga menunjukkan tanda malignansi tumor. Jika terjadi destruksi

dari kalsifikasi matriks yang sebelumnya terlihat sebagai enkondroma, hal

tersebut menunjukkan telah terjadi perubahan ke arah keganasan menjadi

kondrosarkoma
Gambar 2.6 Foto AP-Lateral dan proksimal tibia menunjukkan lesi

radiolusent yang mengandung kalsifikasi matrix chondroid tipikal. Tumor low

grade
Gambar 2.7 Frontal radiograph fibula sinistra menunjukkan lesi radiolusent

yang mengandung kalsifikasi matrix chondroid tipikal. Tumor low grade

Gambar 2.8 Frontal radiograph acetabulum kiri menunjukkan lesi dapat

lusen dengan tanpa kalsifikasi internal. Tumor low grade

Gambar 2.9 Frontal radiograph pelvis menunjukkan kalsifikasi pada ilium

sinistra dan lateral jaringan. Tidak tampak destruksi tulang. Tumor perifer

sekunder high-grade
Gambar 2.10 Lateral radiograph femur distal pada pasien dengan tumor

jinak multipel. Tumor perifer sekunder high-grade

B. CT scan

Dari 90% kasus ditemukan gambaran radiolusen yang berisi kalsifikasi

matriks kartilago. Pada pemeriksaan CT scan didapatkan hasil lebih sensitif

untuk penilaian distribusi kalsifikasi matriks dan integritas korteks. Endosteal

cortical scalloping pada tumor intramedullar juga terlihat lebih jelas pada CT

scan dibandingkan dengan foto konvensional. CT scan ini juga dapat

digunakan untuk memandu biopsi perkutan dan menyelidiki adanya proses

metastase di paru-paru
Gambar 2.11 CT scan Bone-window dari acetabulum sinistra menunjukkan

kalsifikasi matriks pada lesi lucent ekspansi di kolum anterior. Tumor low

grade sentral
Gambar 2.12 CT scan pelvis menunjukkan massa soft tissue besar yang

mengandung kalsifikasi berasal dari broad-based sessile osteochondroma pada

aspek posterior ilium. Tumor perifer sekunder high-grade

Gambar 2.13 CT scan sisi kiri abdomen abdomen superior menunujukkan

tumor jinak besar, berhubungan dengan massa soft tissue yang mengandung

kalsifikasi. Tumor central high-grade


Gambar 2.14 CT scan femur distal menunjukkan osteochondroma dengan

tumor jinak yang tebal dengan soft tissue yang mengalami kalsifikasi fokal.

Tumor perifer sekunder high-grade

C. MRI

Merupakan modalitas yang paling mudah digunakan untuk menentukan

perluasan soft tissue


Gambar 2.15 T2-weighted axial MRI pelvis menunjukkan intensitas high

signal pada lesi acetabular. Tumor central low grade

Gambar 2.16 T1-weighted axial MRI pelvis menunjukkan intensitas low

signal lesi acetabular. Tumor central low grade

Gambar 2.17 T2 weighted axial MRI pelvis menunjukkan intensitas lobulated

high-signal soft tissue dengan intensitas local-signal meningkat dari

osteochondroma pada posterior ilium. Tumor perifer sekunder high-grade


Gambar 2.18 Massa dengan kalsifikasi. Pada tanda panah adalah femur

D. USG

Ultrasonografi tidak memiliki peran dalam evaluasi lesi intramedulla yang

terbatas pada tulang. Ini mungkin menunjukkan ekstensi dari soft tissue; oleh

karena itu, mungkin berguna dalam mengarahkan biopsy perkutaneus.

Ultrasonografi berguna sebagai sarana untuk menilai ketebalan cartilago yang

menutupi osteochondroma, meskipun akses lesi mungkin sulit di daerah-

daerah tertentu. Jika menutupi skeletal lebih dari 1,5 cm pada pasien dewasa,

transformasi ke kondrosarkoma mungkin telah terjadi.

E. Nuclear Medecine

Nuklear medicine adalah pencitraan yang menggunakan material

radioaktif untuk mendiagnosa dan menerapi banyak kelainan tubuh. Termasuk

salah satu diantaranya untuk penderita kanker. Metode ini non invasif dan
biasanya tidak menimbulkan rasa sakit. Zat radioaktif yang digunakan disebut

radiotracers atau pelacak radiologi.

2.3.7. PENATALAKSANAAN RADIOLOGI KONDROSARKOMA

Penatalaksanaan kondrosarkoma merupakan bentuk kerja tim antara dokter

dengan profesional kesehatan lainnya. Para radiologist, diperlukan untuk melihat

faktor- faktor untuk evaluasi kecepatan perkembangan tumor, diagnosis spesifik,

dan pembesaran tumor. Perawat dan ahli gizi, terlibat menjelaskan kepada pasien

efek samping dari penanganan kondrosarkoma dan memberikan dorongan

kesehatan makanan untuk membantu melawan efek samping tersebut.

Jenis terapi yang diberikan kepada pasien tergantung pada beberapa hal

seperti:

- Ukuran dan lokasi dari kanker

- Menyebar tidaknya sel kanker tersebut.

- Grade dari sel kanker tersebut.

- Keadaan kesehatan umum pasien

Pasien dengan kondrosarkoma memerlukan terapi kombinasi pembedahan

(surgery), kemoterapi dan radioterapi.

a. Pembedahan

Langkah utama penatalaksanaan kondrosarkoma pembedahan karena

kondrosarkoma kurang berespon terhadap terapi radiasi dan kemoterapi.

Variasi penatalaksanaan bedah dapat dilakukan dengan kuret intralesi untuk

lesi grade rendah, eksisi radikal, bedah beku hingga amputasi radikal untuk
lesi agresif grade tinggi. Lesi besar yang rekuren penatalaksanaan paling tepat

adalah amputasi

b. Kemoterapi

Kemoterapi, meskipun bukan yang paling utama, namun ini diperlukan jika

kanker telah menyebar ke area tubuh lainnya. Terapi ini menggunakan obat

anti kanker (cytotoxic) untuk menghancurkan sel-sel kanker. Namun

kemoterapi dapat memberikan efek samping yang tidak menyenangkan bagi

tubuh. Efek samping ini dapat dikontrol dengan pemberian obat

c. Radioterapi

Prinsip radioterapi adalah membunuh sel kanker menggunakan sinar berenergi

tinggi. Radioterapi diberikan apabila masih ada residu tumor, baik makro

maupun mikroskopik. Radiasi diberikan dengan dosis per fraksi 2,5 Gy per

hari dan total 50-55 Gy memberikan hasil bebas tumor sebanyak 25% 15

tahun setelah pengobatan. Pada kasus-kasus yang hanya menjalani operasi saja

menunjukkan kekambuhan pada 85%. Efek samping general radioterapi

adalah nausea dan malasea. Efek samping ini dapat diminimalkan dengan

mengatur jarak dan dosis radioterapi

2.3.8. PROGNOSIS KONDROSARKOMA

Prognosis untuk kondrosarkoma ini tergantung pada ukuran, lokasi dan

grade dari tumor tersebut. Usia pasien juga sangat menentukan survival rate dan

prognosis dari penyakit ini. Pasien anak-anak memiliki mortalitas yang lebih

tinggi dibandingkan dengan pasien dewasa


Penanganan pada saat pembedahan sangat menentukan prognosis

kondrosarkoma karena jika pengangkatan tumor tidak utuh maka rekurensi lokal

bisa terjadi. Sebaliknya apabila seluruh tumor diangkat, lebih dari 75% penderita

dapat bertahan hidup. Rekurensi kondrosarkoma biasa terjadi 5–10 tahun setelah

operasi dan tumor rekuren bersifat lebih agresif serta bergrade lebih tinggi

dibanding tumor awalnya. Walaupun bermetastasis, prognosis kondrosarkoma

lebih baik dibandingkan osteosarkoma

DAFTAR PUSTAKA

Wilkins EM. Clinical practice of the dental hygienist. Edisi ke-10. Philadelphia:

Lippincott Williams and Wilkins; 2009.

2. Tuna M, Amos CI. Genomic sequencing in cancer. Cancer Lett 2013; 340 (2):

161-70.

3. SwantonC.Intratumorheterogeneity: evolution through space and time.Cancer

Res 2012;72(19):4875-82

Anda mungkin juga menyukai