BAB II
TINJAUAN TEORI
Perawatan pada pasien yang mengalami injuri oleh tim trauma agak berbeda
dengan pengobatan secara tradisional, di mana penegakan diagnosa, pengkajian dan
manajemen penatalaksanaan sering terjadi secara bersamaan dan dilakukan oleh dokter
yang lebih dari satu. Seorang leader tim harus langsung memberikan pengarahan secara
keseluruhan mengenai penatalaksanaan terhadap pasien yang mengalami injuri, yang
meliputi (Fulde, 2009) :
1. Primary survey
2. Resuscitation
3. History
4. Secondary survey
5. Definitive care
A. Primary Survey
Primary survey menyediakan evaluasi yang sistematis, pendeteksian dan
manajemen segera terhadap komplikasi akibat trauma parah yang mengancam
kehidupan. Tujuan dari Primary survey adalah untuk mengidentifikasi dan memperbaiki
dengan segera masalah yang mengancam kehidupan. Prioritas yang dilakukan pada
primary survey antara lain (Fulde, 2009) :
Airway maintenance dengan cervical spine protection
Breathing dan oxygenation
Circulation dan kontrol perdarahan eksternal
Disability-pemeriksaan neurologis singkat
Exposure dengan kontrol lingkungan
Sangat penting untuk ditekankan pada waktu melakukan primary survey bahwa
setiap langkah harus dilakukan dalam urutan yang benar dan langkah berikutnya hanya
dilakukan jika langkah sebelumnya telah sepenuhnya dinilai dan berhasil. Setiap anggota
tim dapat melaksanakan tugas sesuai urutan sebagai sebuah tim dan anggota yang telah
dialokasikan peran tertentu seperti airway, circulation, dll, sehingga akan sepenuhnya
menyadari mengenai pembagian waktu dalam keterlibatan mereka (American College of
Surgeons, 1997). Primary survey perlu terus dilakukan berulang-ulang pada seluruh
tahapan awal manajemen. Kunci untuk perawatan trauma yang baik adalah penilaian
yang terarah, kemudian diikuti oleh pemberian intervensi yang tepat dan sesuai serta
pengkajian ulang melalui pendekatan AIR (assessment, intervention, reassessment).
1
a) General Impressions
Memeriksa kondisi yang mengancam nyawa secara umum.
Menentukan keluhan utama atau mekanisme cedera
Menentukan status mental dan orientasi (waktu, tempat, orang)
b) Pengkajian Airway
Tindakan pertama kali yang harus dilakukan adalah memeriksa responsivitas
pasien dengan mengajak pasien berbicara untuk memastikan ada atau tidaknya
sumbatan jalan nafas. Seorang pasien yang dapat berbicara dengan jelas maka jalan
nafas pasien terbuka (Thygerson, 2011). Pasien yang tidak sadar mungkin
memerlukan bantuan airway dan ventilasi. Tulang belakang leher harus dilindungi
selama intubasi endotrakeal jika dicurigai terjadi cedera pada kepala, leher atau dada.
Obstruksi jalan nafas paling sering disebabkan oleh obstruksi lidah pada kondisi pasien
tidak sadar (Wilkinson & Skinner, 2000).
Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian airway pada pasien antara lain :
Kaji kepatenan jalan nafas pasien. Apakah pasien dapat berbicara atau bernafas
dengan bebas?
Tanda-tanda terjadinya obstruksi jalan nafas pada pasien antara lain:
Adanya snoring atau gurgling
Stridor atau suara napas tidak normal
Agitasi (hipoksia)
Penggunaan otot bantu pernafasan / paradoxical chest movements
Sianosis
Look dan listen bukti adanya masalah pada saluran napas bagian atas dan
potensial penyebab obstruksi :
Muntahan
Perdarahan
Gigi lepas atau hilang
Gigi palsu
Trauma wajah
Jika terjadi obstruksi jalan nafas, maka pastikan jalan nafas pasien terbuka.
Lindungi tulang belakang dari gerakan yang tidak perlu pada pasien yang berisiko
untuk mengalami cedera tulang belakang.
2
Gunakan berbagai alat bantu untuk mempatenkan jalan nafas pasien sesuai
indikasi :
Chin lift/jaw thrust
Lakukan suction (jika tersedia)
Oropharyngeal airway/nasopharyngeal airway, Laryngeal Mask Airway
Lakukan intubasi
d) Pengkajian Circulation
Shock didefinisikan sebagai tidak adekuatnya perfusi organ dan oksigenasi
jaringan. Hipovolemia adalah penyebab syok paling umum pada trauma. Diagnosis
shock didasarkan pada temuan klinis: hipotensi, takikardia, takipnea, hipotermia,
pucat, ekstremitas dingin, penurunan capillary refill, dan penurunan produksi urin.
Oleh karena itu, dengan adanya tanda-tanda hipotensi merupakan salah satu alasan
yang cukup aman untuk mengasumsikan telah terjadi perdarahan dan langsung
mengarahkan tim untuk melakukan upaya menghentikan pendarahan. Penyebab lain
yang mungkin membutuhkan perhatian segera adalah: tension pneumothorax, cardiac
tamponade, cardiac, spinal shock dan anaphylaxis. Semua perdarahan eksternal yang
nyata harus diidentifikasi melalui paparan pada pasien secara memadai dan dikelola
dengan baik (Wilkinson & Skinner, 2000)..
Langkah-langkah dalam pengkajian terhadap status sirkulasi pasien, antara lain :
Cek nadi dan mulai lakukan CPR jika diperlukan.
CPR harus terus dilakukan sampai defibrilasi siap untuk digunakan.
Kontrol perdarahan yang dapat mengancam kehidupan dengan pemberian
penekanan secara langsung.
Palpasi nadi radial jika diperlukan:
Menentukan ada atau tidaknya
Menilai kualitas secara umum (kuat/lemah)
Identifikasi rate (lambat, normal, atau cepat)
Regularity
Kaji kulit untuk melihat adanya tanda-tanda hipoperfusi atau hipoksia (capillary
refill).
Lakukan treatment terhadap hipoperfusi
e) Pengkajian Level of Consciousness dan Disabilities
Pada primary survey, disability dikaji dengan menggunakan skala AVPU :
A - alert, yaitu merespon suara dengan tepat, misalnya mematuhi perintah yang
diberikan
V - vocalises, mungkin tidak sesuai atau mengeluarkan suara yang tidak bisa
dimengerti
P - responds to pain only (harus dinilai semua keempat tungkai jika ekstremitas
awal yang digunakan untuk mengkaji gagal untuk merespon)
U - unresponsive to pain, jika pasien tidak merespon baik stimulus nyeri
maupun stimulus verbal.
4
Alur Primary Survey pada Pasien Medical Dewasa (Pre-Hospital Emergency Care
Council, 2012) :
5
Alur Primary Survey pada Pasien Trauma Dewasa (Pre-Hospital Emergency Care
Council, 2012) :
6
B. Secondary Assessment
Survey sekunder merupakan pemeriksaan secara lengkap yang dilakukan secara
head to toe, dari depan hingga belakang. Secondary survey hanya dilakukan setelah
7
kondisi pasien mulai stabil, dalam artian tidak mengalami syok atau tanda-tanda syok
telah mulai membaik.
1. Anamnesis
Pemeriksaan data subyektif didapatkan dari anamnesis riwayat pasien yang
merupakan bagian penting dari pengkajian pasien. Riwayat pasien meliputi keluhan
utama, riwayat masalah kesehatan sekarang, riwayat medis, riwayat keluarga, sosial,
dan sistem. (Emergency Nursing Association, 2007). Pengkajian riwayat pasien
secara optimal harus diperoleh langsung dari pasien, jika berkaitan dengan bahasa,
budaya, usia, dan cacat atau kondisi pasien yang terganggu, konsultasikan dengan
anggota keluarga, orang terdekat, atau orang yang pertama kali melihat kejadian.
Anamnesis yang dilakukan harus lengkap karena akan memberikan gambaran
mengenai cedera yang mungkin diderita. Beberapa contoh:
a. Tabrakan frontal seorang pengemudi mobil tanpa sabuk pengaman: cedera wajah,
maksilo-fasial, servikal. Toraks, abdomen dan tungkai bawah.
b. Jatuh dari pohon setinggi 6 meter perdarahan intra-kranial, fraktur servikal atau
vertebra lain, fraktur ekstremitas.
c. Terbakar dalam ruangan tertutup: cedera inhalasi, keracunan CO.
Anamnesis juga harus meliputi riwayat AMPLE yang bisa didapat dari pasien dan
keluarga (Emergency Nursing Association, 2007):
A : Alergi (adakah alergi pada pasien, seperti obat-obatan, plester, makanan)
M : Medikasi/obat-obatan (obat-obatan yang diminum seperti sedang menjalani
pengobatan hipertensi, kencing manis, jantung, dosis, atau penyalahgunaan
obat
P : Pertinent medical history (riwayat medis pasien seperti penyakit yang pernah
diderita, obatnya apa, berapa dosisnya, penggunaan obat-obatan herbal)
L : Last meal (obat atau makanan yang baru saja dikonsumsi, dikonsumsi berapa
jam sebelum kejadian, selain itu juga periode menstruasi termasuk dalam
komponen ini)
E : Events, hal-hal yang bersangkutan dengan sebab cedera (kejadian yang
menyebabkan adanya keluhan utama)
Ada beberapa cara lain untuk mengkaji riwayat pasien yang disesuaikan dengan
kondisi pasien. Pada pasien dengan kecenderungan konsumsi alkohol, dapat
digunakan beberapa pertanyaan di bawah ini (Emergency Nursing Association,
2007):
C. have you ever felt should Cut down your drinking?
A. have people Annoyed you by criticizing your drinking?
8
Akronim PQRST ini digunakan untuk mengkaji keluhan nyeri pada pasien yang
meliputi :
Provokes/palliates : apa yang menyebabkan nyeri? Apa yang membuat
nyerinya lebih baik? apa yang menyebabkan nyerinya lebih buruk? apa yang
anda lakukan saat nyeri? apakah rasa nyeri itu membuat anda terbangun saat
tidur?
Quality : bisakah anda menggambarkan rasa nyerinya?apakah seperti diiris,
tajam, ditekan, ditusuk tusuk, rasa terbakar, kram, kolik, diremas? (biarkan
pasien mengatakan dengan kata-katanya sendiri.
Radiates: apakah nyerinya menyebar? Menyebar kemana? Apakah nyeri
terlokalisasi di satu titik atau bergerak?
Severity : seberapa parah nyerinya? Dari rentang skala 0-10 dengan 0 tidak
ada nyeri dan 10 adalah nyeri hebat
Time : kapan nyeri itu timbul?, apakah onsetnya cepat atau lambat? Berapa
lama nyeri itu timbul? Apakah terus menerus atau hilang timbul?apakah pernah
merasakan nyeri ini sebelumnya?apakah nyerinya sama dengan nyeri
sebelumnya atau berbeda?
Setelah dilakukan anamnesis, maka langkah berikutnya adalah pemeriksaan
tanda-tanda vital. Tanda tanda vital meliputi suhu, nadi, frekuensi nafas, saturasi
oksigen, tekanan darah, berat badan, dan skala nyeri.
Berikut ini adalah ringkasan tanda-tanda vital untuk pasien dewasa menurut
Emergency Nurses Association,(2007).
9
2. Pemeriksaan fisik
a. Kulit kepala
Seluruh kulit kepala diperiksa. Sering terjadi pada penderita yang datang
dengan cedera ringan, tiba-tiba ada darah di lantai yang berasal dari bagian
belakang kepala penderita. Lakukan inspeksi dan palpasi seluruh kepala dan
wajah untuk adanya pigmentasi, laserasi, massa, kontusio, fraktur dan luka
termal, ruam, perdarahan, nyeri tekan serta adanya sakit kepala (Delp &
Manning. 2004).
b. Wajah
10
simetris pulsasi. Tetap jaga imobilisasi segaris dan proteksi servikal. Jaga airway,
pernafasan, dan oksigenasi. Kontrol perdarahan, cegah kerusakan otak sekunder..
d. Toraks
Inspeksi : Inspeksi dinding dada bagian depan, samping dan belakang
untuk adanya trauma tumpul/tajam,luka, lecet, memar, ruam ,
ekimosiss, bekas luka, frekuensi dan kedalaman pernafsan,
kesimetrisan expansi dinding dada, penggunaan otot pernafasan
tambahan dan ekspansi toraks bilateral, apakah terpasang pace
maker, frekuensi dan irama denyut jantung, (lombardo, 2005)
Palpasi : seluruh dinding dada untuk adanya trauma tajam/tumpul,
emfisema subkutan, nyeri tekan dan krepitasi.
Perkusi : untuk mengetahui kemungkinan hipersonor dan keredupan
Auskultasi : suara nafas tambahan (apakah ada ronki, wheezing, rales) dan
bunyi jantung (murmur, gallop, friction rub)
e. Abdomen
Cedera intra-abdomen kadang-kadang luput terdiagnosis, misalnya pada
keadaan cedera kepala dengan penurunan kesadaran, fraktur vertebra dengan
kelumpuhan (penderita tidak sadar akan nyeri perutnya dan gejala defans otot dan
nyeri tekan/lepas tidak ada). Inspeksi abdomen bagian depan dan belakang, untuk
adanya trauma tajam, tumpul dan adanya perdarahan internal, adakah distensi
abdomen, asites, luka, lecet, memar, ruam, massa, denyutan, benda tertusuk,
ecchymosis, bekas luka , dan stoma. Auskultasi bising usus, perkusi abdomen,
untuk mendapatkan, nyeri lepas (ringan). Palpasi abdomen untuk mengetahui
adakah kekakuan atau nyeri tekan, hepatomegali,splenomegali,defans muskuler,,
nyeri lepas yang jelas atau uterus yang hamil. Bila ragu akan adanya perdarahan
intra abdominal, dapat dilakukan pemeriksaan DPL (Diagnostic peritoneal lavage,
ataupun USG (Ultra Sonography). Pada perforasi organ berlumen misalnya usus
halus gejala mungkin tidak akan nampak dengan segera karena itu memerlukan
re-evaluasi berulang kali. Pengelolaannya dengan transfer penderita ke ruang
operasi bila diperlukan (Tim YAGD 118, 2010).
f. Pelvis (perineum/rectum/vagina)
Cedera pada pelvis yang berat akan nampak pada pemeriksaan fisik
(pelvis menjadi stabil), pada cedera berat ini kemungkinan penderita akan masuk
12
dalam keadaan syok, yang harus segera diatasi. Bila ada indikasi pasang PASG/
gurita untuk mengontrol perdarahan dari fraktur pelvis (Tim YAGD 118, 2010).
Pelvis dan perineum diperiksa akan adanya luka, laserasi , ruam, lesi,
edema, atau kontusio, hematoma, dan perdarahan uretra. Colok dubur harus
dilakukan sebelum memasang kateter uretra. Harus diteliti akan kemungkinan
adanya darah dari lumen rectum, prostat letak tinggi, adanya fraktur pelvis, utuh
tidaknya rectum dan tonus musculo sfinkter ani. Pada wanita, pemeriksaan colok
vagina dapat menentukan adanya darah dalam vagina atau laserasi, jika terdapat
perdarahan vagina dicatat, karakter dan jumlah kehilangan darah harus dilaporkan
(pada tampon yang penuh memegang 20 sampai 30 mL darah). Juga harus
dilakuakn tes kehamilan pada semua wanita usia subur. Permasalahan yang ada
adalah ketika terjadi kerusakan uretra pada wanita, walaupun jarang dapat terjadi
pada fraktur pelvis dan straddle injury. Bila terjadi, kelainan ini sulit dikenali, jika
pasien hamil, denyut jantung janin (pertama kali mendengar dengan Doppler
ultrasonografi pada sekitar 10 sampai 12 kehamilan minggu) yang dinilai untuk
frekuensi, lokasi, dan tempat. Pasien dengan keluhan kemih harus ditanya tentang
rasa sakit atau terbakar dengan buang air kecil, frekuensi, hematuria, kencing
berkurang, Sebuah sampel urin harus diperoleh untuk analisis.(Diklat RSUP Dr.
M.Djamil, 2006).
g. Ektremitas
Pemeriksaan dilakukan dengan look-feel-move. Pada saat inspeksi, jangan
lupa untuk memriksa adanya luka dekat daerah fraktur (fraktur terbuak), pada saat
pelapasi jangan lupa untuk memeriksa denyut nadi distal dari fraktur pada saat
menggerakan, jangan dipaksakan bila jelas fraktur. Sindroma kompartemen
(tekanan intra kompartemen dalam ekstremitas meninggi sehingga
membahayakan aliran darah), mungkin luput terdiagnosis pada penderita dengan
penurunan kesadaran atau kelumpuhan (Tim YAGD 118, 2010). Inspeksi pula
adanya kemerahan, edema, ruam, lesi, gerakan, dan sensasi harus diperhatikan,
paralisis, atropi/hipertropi otot, kontraktur, sedangkan pada jari-jari periksa adanya
clubbing finger serta catat adanya nyeri tekan, dan hitung berapa detik kapiler
refill (pada pasien hypoxia lambat s/d 5-15 detik.
Penilaian pulsasi dapat menetukan adanya gangguan vaskular. Perlukaan
berat pada ekstremitas dapat terjadi tanpa disertai fraktur.kerusakn ligament dapat
menyebabakan sendi menjadi tidak stabil, keruskan otot-tendonakan mengganggu
pergerakan. Gangguan sensasi dan/atau hilangnya kemampuan kontraksi otot
dapat disebabkan oleh syaraf perifer atau iskemia. Adanya fraktur torako lumbal
13
dapat dikenal pada pemeriksaan fisik dan riwayat trauma. Perlukaan bagian lain
mungkin menghilangkan gejala fraktur torako lumbal, dan dalam keadaan ini
hanya dapat didiagnosa dengan foto rongent. Pemeriksaan muskuloskletal tidak
lengkap bila belum dilakukan pemeriksaan punggung penderita. Permasalahan
yang muncul adalah
1) Perdarahan dari fraktur pelvis dapat berat dan sulit dikontrol, sehingga terjadi
syok yang dpat berakibat fatal
2) Fraktur pada tangan dan kaki sering tidak dikenal apa lagi penderita dalam
keadaan tidak sada. Apabila kemudian kesadaran pulih kembali barulah
kelainan ini dikenali.
3) Kerusakan jaringan lunak sekitar sendi seringkali baru dikenal setelah
penderita mulai sadar kembali (Diklat RSUP Dr. M.Djamil, 2006).
h. Bagian punggung
Memeriksa punggung dilakukan dilakukan dengan log roll, memiringkan
penderita dengan tetap menjaga kesegarisan tubuh). Pada saat ini dapat
dilakukan pemeriksaan punggung (Tim YAGD 118, 2010). Periksa`adanya
perdarahan, lecet, luka, hematoma, ecchymosis, ruam, lesi, dan edema serta
nyeri, begitu pula pada kolumna vertebra periksa adanya deformitas.
i. Neurologis
Pemeriksaan neurologis yang diteliti meliputi pemeriksaan tingkat
kesadaran, ukuran dan reaksi pupil, oemeriksaan motorik dan sendorik. Peubahan
dalam status neirologis dapat dikenal dengan pemakaian GCS. Adanya paralisis
dapat disebabakan oleh kerusakan kolumna vertebralis atau saraf perifer.
Imobilisasi penderita dengan short atau long spine board, kolar servikal, dan alat
imobilisasi dilakukan samapai terbukti tidak ada fraktur servikal. Kesalahan yang
sering dilakukan adalah untuk melakukan fiksasai terbatas kepada kepala dan
leher saja, sehingga penderita masih dapat bergerak dengan leher sebagai
sumbu. Jelsalah bahwa seluruh tubuh penderita memerlukan imobilisasi. Bila ada
trauma kepala, diperlukan konsultasi neurologis. Harus dipantau tingkat kesadaran
penderita, karena merupakan gambaran perlukaan intra cranial. Bila terjadi
penurunan kesadaran akibat gangguan neurologis, harus diteliti ulang perfusi
oksigenasi, dan ventilasi (ABC). Perlu adanya tindakan bila ada perdarahan
epidural subdural atau fraktur kompresi ditentukan ahli bedah syaraf (Diklat RSUP
Dr. M.Djamil, 2006).
14
C. Focused Assessment
Focused assessment atau pengakajian terfokus adalah tahap pengkajian pada
area keperawatan gawat darurat yang dilakukan setelah primary survey, secondary
survey, anamnesis riwayat pasien (pemeriksaan subyektif) dan pemeriksaan obyektif
(Head to toe). Di beberapa negara bagian Australia mengembangkan focused
assessment ini dalam pelayanan di Emergency Department, tetapi di beberapa
Negara seperti USA dan beberapa Negara Eropa tidak menggunakan istilah Focused
Assessment tetapi dengan istilah Definitive Assessment (O’keefe et.al, 1998).
Focused assessment untuk melengkapi data secondary assessment bisa
dilakukan sesuai masalah yang ditemukan atau tempat dimana injury ditemukan.
Yang paling banyak dilakukan dalam tahap ini adalah beberapa pemeriksaan
penunjang diagnostik atau bahkan dilakukan pemeriksaan ulangan dengan tujuan
segera dapat dilakukan tindakan definitif.
D. Reassessment
Balance cairan
Pemasangan kateter urin
E. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan lanjutan hanya dilakukan setelah ventilasi dan hemodinamika
penderita dalam keadaan stabil (Diklat RSUP Dr. M.Djamil, 2006). Dalam melakukan
secondary survey, mungkin akan dilakukan pemeriksaan diagnostik yang lebih
spesifik seperti :
1) Endoskopi
Pemeriksaan penunjang endoskopi bisa dilakukan pada pasien dengan
perdarahan dalam. Dengan melakukan pemeriksaan endoskopi kita bisa mngethaui
perdarahan yang terjadi organ dalam. Pemeriksaan endoskopi dapat mendeteksi
lebih dari 95% pasien dengan hemetemesis, melena atau hematemesis melena
dapat ditentukan lokasi perdarahan dan penyebab perdarahannya. Lokasi dan
sumber perdarahan yaitu:
a. Esofagus :Varises,erosi,ulkus,tumor
b. Gaster :Erosi, ulkus, tumor, polip,
angio displasia, Dilafeuy, varises
gastropati kongestif
c. Duodenum :Ulkus, erosi,
Untuk kepentingan klinik biasanya dibedakan perdarahan karena ruptur
varises dan perdarahan bukan karena ruptur varises (variceal bleeding dan non
variceal bleeding) (Djumhana, 2011).
2) Bronkoskopi
Bronkoskopi adalah tindakan yang dilakukan untuk melihat keadaan intra bronkus
dengan menggunakan alat bronkoskop. Prosedur diagnostik dengan bronkoskop ini
dapat menilai lebih baik pada mukosa saluran napas normal, hiperemis atau lesi
infiltrat yang memperlihatkan mukosa yang compang-camping. Teknik ini juga dapat
menilai penyempitan atau obstruksi akibat kompresi dari luar atau massa
intrabronkial, tumor intra bronkus. Prosedur ini juga dapat menilai ada tidaknya
16
pembesaran kelenjar getah bening, yaitu dengan menilai karina yang terlihat tumpul
akibat pembesaran kelenjar getah bening subkarina atau intra bronkus (Parhusip,
2004).
3) CT Scan
CT-scan merupakan alat pencitraan yang di pakai pada kasus-kasus emergensi
seperti emboli paru, diseksi aorta, akut abdomen, semua jenis trauma dan
menentukan tingkatan dalam stroke. Pada kasus stroke, CT-scan dapat menentukan
dan memisahkan antara jaringan otak yang infark dan daerah penumbra. Selain itu,
alat ini bagus juga untuk menilai kalsifikasi jaringan. Berdasarkan beberapa studi
terakhir, CT-scan dapat mendeteksi lebih dari 90 % kasus stroke iskemik, dan
menjadi baku emas dalam diagnosis stroke (Widjaya, 2002). Pemeriksaaan CT.
scan juga dapat mendeteksi kelainan-kelainan seerti perdarahan diotak, tumor otak,
kelainan-kelainan tulang dan kelainan dirongga dada dan rongga perur dan
khususnya kelainan pembuluh darah, jantung (koroner), dan pembuluh darah
umumnya (seperti penyempitan darah dan ginjal (ishak, 2012).
4) USG
Ultrasonografi (USG) adalah alat diagnostik non invasif menggunakan gelombang
suara dengan frekuensi tinggi diatas 20.000 hertz ( >20 kilohertz) untuk
menghasilkan gambaran struktur organ di dalam tubuh.Manusia dapat mendengar
gelombang suara 20-20.000 hertz .Gelombang suara antara 2,5 sampai dengan 14
kilohertz digunakan untuk diagnostik. Gelombang suara dikirim melalui suatu alat
yang disebut transducer atau probe. Obyek didalam tubuh akan memantulkan
kembali gelombang suara yang kemudian akan ditangkap oleh suatu sensor,
gelombang pantul tersebut akan direkam, dianalisis dan ditayangkan di layar. Daerah
yang tercakup tergantung dari rancangan alatnya. Ultrasonografi yang terbaru dapat
menayangkan suatu obyek dengan gambaran tiga dimensi, empat dimensi dan
berwarna. USG bisa dilakukan pada abdomen, thorak (Lyandra, Antariksa,
Syaharudin, 2011)
5) Radiologi
Radiologi merupakan salah satu pemeriksaan penunjang yang dilakukan di ruang
gawat darurat. Radiologi merupakan bagian dari spectrum elektromagnetik yang
dipancarkan akibat pengeboman anoda wolfram oleh electron-elektron bebas dari
suatu katoda. Film polos dihasilkan oleh pergerakan electron-elektron tersebut
melintasi pasien dan menampilkan film radiologi. Tulang dapat menyerap sebagian
besar radiasi menyebabkan pajanan pada film paling sedikit, sehingga film yang
17
BAB III
PEMBAHASAN
orang dewasa (18-64 tahun) di Amerika Serikat menggunakan unit gawat darurat (UGD)
dan 12 bulan terakhir sekitar 66,0% orang dewasa memiliki alasan mengunjungi UGD
karena mengalami masalah medis yang serius (Gindhi, Cohen, dan Kirzinger, 2012).
Unit gawat darurat harus selalu dalam keadaan siap siaga. Perawat gawat darurat
harus siap mengenali adanya abnormalitas pada sistem dan berpartisipasi dalam
penatalaksanaan pasien dengan tepat. Berbagai kondisi bisa saja terjadi, sehingga tidak
ada alasan bagi perawat yang tidak dapat mengkaji pasiennya dengan tepat. Mengikuti
pendekatan pengkajian terorganisasi merupakan hal yang sangat penting, tetapi yang
paling penting adalah gagasan bahwa setiap perawat harus membuat dan menggunakan
secara konsisten pendekatan yang bermakna bagi setiap individu.
Area pengkajian pertama harus selalu pengkajian sistem kardiovaskuler dan
respirasi. Pengkajian tersebut merupakan pengkajian utama yang dimandatkan pada
semua perawat gawat darurat untuk dilakukan pada semua pasien. Tanda vital
merupakan indikator yang signifikan dari kondisi saat ini dan kondisi berikutnya. Tubuh
memiliki mekanisme luar biasa, dan tanda vital berperan sebagai indikator yang
menunjukkan fungsi nmekanisme kompensasi tersebut. Pengukuran tanda vital menjadi
tren (diulang dari waktu ke waktu) dan sering direkomendasikan di lingkungan gawat
darurat sehingga dapat menggambarkan status pasien secara akurat dan dapat
memperkirakan hasil secara efektif (Lyer, P.W., Camp, N.H.,2005). Pada pasien injury
diperlukan penatalaksanaan yang agak berbeda dimana pengkajian, diagnose, dan
tindakan dilakukan secara bersamaan (Fulde, 2009). Pada pengkajian awal pada pasien
dengan trauma, apabila terdapat multiple injury maka dilakukan pemeriksaan head to toe
secara cepat, akan tetapi jika jika tidak multiple maka segera lakukan focused assesment,
Pemeriksaan umum dapat dilakukan secara bersamaan dengan pemeriksaan
utama, seperti tingkat kesadaran, kualitas bicara, organisasi pikiran, dan tampilan umum.
Satu aspek yang penting dari pengkajian adalah pembentukan hubungan terapeutik.
Perawat harus memberikan privasi ketika berbicara dengan pasien, dan ia harus
menggunakan sentuhan dan penjelasan verbal untuk meyakinkan pasien sebelum
melakukan pemeriksaan dan prosedur.
Perawat Triase atau staf EMS mengirim pasien ke area pengobatan perawat
utama yang bertanggung jawab untuk perawatan individu selama berada di UGD. Yang
harus dimasukkan dalam perawatan dan harus dilakukan oleh perawat utama adalah
pengkajian pasien yang tepat waktu dan penetapan bukti tertulis pengkajian fisik lengkap
pada setiap pasien. Tetapi, hal ini tidak berarti bahwa perawat harus melakukan
pengkajian fisik lengkap pada pasien. Eksplorasi patofisiologi terkait dan riwayat
sebelumnya, selanjutnya dokumentasikan juga keluhan utama dan pengkajian tanda vital.
19
No. Rekam Medis ... ... ... Diagnosa Medis ... ... ...
IDENTITAS
TRIAGE P1 P2 P3 P4
GENERAL IMPRESSION
Keluhan Utama :
Mekanisme Cedera :
Orientasi (Tempat, Waktu, dan Orang) : Baik Tidak Baik, ... ... ...
22
Diagnosa Keperawatan:
1. Inefektif pola nafas b/d … … …
BREATHING 2. Kerusakan pertukaran gas b/d … …
…
Diagnosa Keperawatan:
1. Penurunan curah jantung b/d … … …
CIRCULATION 2. Inefektif perfusi jaringan b/d … … …
Diagnosa Keperawatan:
1. Regimen terapiutik inefektif b/d … …
…
ANAMNESA 2. Nyeri Akut b/d … … …
3. … … …
Intervensi :
1. … … …
2. … … …
Alergi :
Medikasi :
Even/Peristiwa Penyebab:
Tanda Vital :
BP : N: S: RR :
PEMERIKSAAN FISIK Diagnosa Keperawatan:
1. … … …
2. … … …
Diagnosa Keperawatan:
PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK 1. … … …
2. … … …
RONTGEN CT-SCAN USG EKG Kriteria Hasil : … … …
ENDOSKOPI Lain-lain, ... ...
Intervensi :
Hasil : 1. … … …
2. … … …
DAFTAR PUSTAKA
American College of Surgeons. (1997). Advanced trauma life support for doctors.
instructor course manual book 1 - sixth edition. Chicago.
Curtis, K., Murphy, M., Hoy, S., dan Lewis, M.J. (2009). The emergency nursing
assessment process: a structured framedwork for a systematic approach.
Australasian Emergency Nursing Journal, 12; 130-136
Diklat RSUP Dr. M. Djamil Padang. (2006). Pelatihan Penanggulangan Penderita Gawat
darurat (PPGD). RSUP. Dr.M.Djamil Padang.
Djumhana, Ali. (2011). Perdarahan Akut Saluran Cerna Bagian Atas. FK. UNPAD.
Diakses dari http://pustaka.unpad.ac.id/ tanggal 28 april 2013.
Emergency Nurses Association (2007). Sheehy`s manual of emergency care 6th edition.
St. Louis Missouri : Elsevier Mosby.
Gilbert, Gregory., D’Souza, Peter., Pletz, Barbara. (2009). Patient assessment routine
medical care primary and secondary survey. San Mateo County EMS Agency.
Gindhi, R.M., Cohen, R.A., dan Kirzinger, W.K. (2012). Emergency room use among aults
aged 18-64: early release of estimates from the national health interview survey,
January-June 2011. Diakses pada tanggal 28 April 2013, dari
http://www.cdc.gov/nchs/data/nhis/earlyrelease/emergency_room_use_january-
june_2011.pdf
Institute for Health Care Improvement. (2011). Nursing assessment form with medical
emergency team (MET) guidelines. Diakses pada tanggal 28 April 2013, dari
http://www.ihi.org/knowledge/Pages/Tools/NursingAssessmentFormwithMETGuidelin
es.aspx.
Ishak, 2012. Pemeriksaan radiologi dan laboratorium untuk fisioterapis. Diakses dari
http://www.slideshare.net/IshakMajid/radiologi-laboratorium-a4 tanggal 5 Mei 2013
Mancini MR, Gale AT.(2011). Emergency care and the law. Maryland: Aspen Publication.
Maryuani, Anik & Yulianingsih. (2009). Asuhan kegawatdaruratan. Jakarta : Trans Info
Media Medis.
O’keefe, M.F.,Limmer D., Grand, H.D., Murray, R.H., Bergebon J.D., (1998). Emergency
Care, eighth Ed., New Yersey, Prentice Hall. Inc. A. Simon & Schuster Co.
Practitioner Emergency Medical Technician. (2012). Clinical practice guidelines for pre-
hospital emergency care. Ireland : Pre-Hospital Emergency Care Council. ISBN
978-0-9571028-2-8.
The National Institue for Health and Clinical Excellence. (2007). Head injury: triage,
assessment, investigation and early management of head injury in infant, children
and adults. London: The National Institue for Health and Clinical Excellence
Thygerson, Alton. (2006). First aid 5th edition. Alih bahasa dr. Huriawati Hartantnto. Ed.
Rina Astikawati. Jakarta : PT. Gelora Aksara Pratama.
Vanderbilt Medical Center. (2011). Viewing and printing adult ED nursing assessment
documentation. Diakses pada tanggal 28 April 2013, dari
http://www.mc.vanderbilt.edu/documents/sss2/files/View_Print_Adult_ED_Nurs_Ass
ess_Doc_2_10_11.doc
Widjaya, Cristina. (2002). Uji Diagnostik pemeriksaan kadar D-dimer plasma pada
diagnosis stroke iskemik. FK. UNPAD. Diakses dari http://eprints.undip.ac.id tanggal
28 april 2013.
Wilkinson, Douglas. A., Skinner, Marcus. W. (2000). Primary trauma care standard
edition. Oxford : Primary Trauma Care Foundation. ISBN 0-95-39411-0-8.