Anda di halaman 1dari 7

NAMA : IMAM AHNAFUDIN

NIM : 11201120000113
KLS : 2C

A. Politik Aliran
Konsep aliran pertama kali diciptakan oleh antropolog Clifford Geertz
untuk menggambarkan struktur sosial dan politik desa di daerah Jawa pada awal
zaman kemerdekaan.Geertz tinggal di pare, Jawa Timur selama dua tahun 1952-
1954. Istilah aliran diperkenalkan kepada dunia ilmiah pada 1959 dalam The
Javanese Village, yang diterbitkan dalam sebuah buku, Local ethnic, and National
Loyalties in Village Indonesia

Dalam penelitiannya itu, Geertz mencoba menghubungkan bagaimana


hubungan antara struktur-struktur sosial yang ada dalam suatu masyarakat dengan
pengorganisasian dan perwujudan simbol-simbol, dan bagaimana para anggota
masyarakat mewujudkan integrasi disintegrasi dengan cara mengorganisasi dan
mewujudkan simbol-simbol tertentu. Sehingga, perbedaan-perbedaan yang
nampak antara struktur sosial yang ada dalam masyarakat tersebut hanyalah
bersifat komplementer2

Penemuan utama Geertz adalah bahwa masyarakat Jawa sudah lama


kehilangan kemampuan untuk menyusun kehidupan bersama. Dia
membandingkan citra desa yang romantik-komunal, organis, tata tentrem dengan
kenyataan yang diamatinya : “ketidakmampuan untuk bekerja sama atau untuk
mengorganisasikan segala hal; suatu keengganan yang bermula pada1
ketidakpastian tentang apa yang seharusnya dilakukan untuk menjalani berbagai
usaha yang kompleks dan berjangka panjang, dan suatu kemandekan”.3
Masyarakat Jawa oleh Geertz dilihat sebagai suatu sistem sosial, dengan
1
William Liddle. Revolusi dari Luar: Demokratisasi di indonesia, h. 105. 2

Abudin Nata. Metodologi studi Islam. (Jakarta : Rajawali Pers, 2000), h. 347
kebudayaan Jawanya yang akulturatif dan agama yang sinkretik, yang terdiri atas
sub kebudayaan Jawa yang masing-masing merupakan struktur sosial yang
berlawanan. Struktur-struktur sosial yang dimaksud adalah Abangan (yang intinya
berpusat di pedesaan), Santri (yang intinya berpusat di pedesaan), dan Priyayi

Pembentukan aliran pada zaman kemerdekaan, menurut R. William


Liddle5
, terjadi dalam konteks Cultuur Stelsel, sistem pertanian tanam paksa.
Ketika sejak awal abad ke-19 Belanda memaksa para petani di Jawa menanam
tebu, tembakau dan kopi yang akan di ekspor ke luar Hindia Belanda. Namun,
penjajah itu berusaha sekaligus melindungi atau melestarikan struktur dan politik
tradisional orang Jawa, atau dalam bahasa Geertz “Hasil pertanian Jawa, tetapi
bukan rakyatnya, mau dimasukkan ke dunia modern”.
Clifford Geertz membagi masyarakat Jawa, yang ditarik dari
mikrokosmosnya di Mojokuto, kedalam tiga varian sosiokultural : abangan, santri
dan priyayi. Ketika memaparkan perbedaan-perbedaan umum antara ketiga varian
tersebut dalam bukunya Religion of Java, ia menulis :
“Abangan mewakili suatu penekanan kepada aspek-aspek animistis
dari seluruh sinkretisme Jawa dan secara luas berkaitan dengan unsur
petani di kalangan penduduk; santri mewakili suatu penekanan kepada
aspek-aspek Islam dari sinkretisme diatas dan pada umumnya berkaitan
dengan unsur dagang (juga unsur-unsur tertentu dalam kelompok).
Dengan demikian penyebab terjadi tipologi yang berbeda tersebut salah
satunya berkaitan dengan lingkungan yang berbeda (yaitu pedesaan, pasar dan
kantor pemerintahan) dibarengi dengan latar belakang sejarah kebudayaan yang
berbeda (yang berkaitan dengan masuknya agama serta peradaban Hindu dan
Islam di Jawa) telah mewujudkan adanya ketiga varian sosial keagamaan tersebut.
Disamping itu menurut Daniel S. Lev7
, pengelompokkan tersebut makin diperkuat
oleh perbedaan-perbedaan ekonomis. Kelompok santri lebih cenderung pada
aktivitas perdagangan daripada kelompok abangan yang tipikal ideal sebagai
petani, dan kelompok priyayi urban sebagai birokrat.
Hasil penelitian Geertz ini bukan tanpa kekurangan, telah banyak kritik
dikemukakan ahli dan pengamat khususnya Harsja W. Bahtiar dan
Koentjaraningrat, terhadap tipologi atau varian “keagamaan” masyarakat Jawa.8
Harsja W. Bachtiar9
, misalkan, mengatakan bahwa yang disebut kaum abangan
tidaklah harus mengacu kepada tradisi rakyat yang pokok yang terdiri dari tradisi
kebudayaan rakyat biasa, wong cilik (orang kecil). Dengan kata lain kelirulah
untuk menganggap tradisi kebudayaan kaum tani sebagai tradisi abangan.
Demikian pula, mengenai varian kaum santri bisa saja berasal dari golongan
rendahan dan karena banyak priyayi telah diasuh oleh pelayan-pelayan dari

golongan rendahan yang berada dalam kedudukan uuntuk mempengaruhi mereka,


maka apa yang disini disebut “kepercayaan rakyat” atau kepercayaan animistik,
merupakan suatu yang lazim di kalangan orang-orang yang oleh Geertz disebut
sebagai santri dan priyayi, meskipun wajarlah apabila mereka tidak mengakuinya
Dengan kata lain Bachtiar ingin mengatakan, bahwa penggunaan istilah
abangan, santri dan priyayi untuk mengklasifikasikan masyarakat Jawa dalam
golongan-golongan agama tidaklah tepat, karena ketiga golongan yang disebutkan
tadi tidak bersumber dari satu sistem klasifikasi yang sama.

Beberapa ahli berpendapat bahwa istilah santri-abangan sudah ada jauh


sebelum Geertz mengemukakan hasil penelitiannya. Bahkan Azyumardi Azra10
menyatakan bahwa pada dasarnya Geertz hanyalah merumuskan dan
menteorisasikan kategori yang telah ada; bukan menciptakan. Yang diciptakan
Geertz adalah kerumitan tambahan, dengan memasukkan kategori “priyayi”
sehingga menciptakan “trikotomi” santri-abangan-priyayi. Padahal jelas, priyayi
adalah kategori sosiologis, bukan kategori keagamaan. Karena itu kategorisasi
“santri-abangan” sebenarnya tidak kedap air (watertight) dan, karena itu terdapat
banyak persilangan dan tumpang tindih.
2

Terlepas dari semua ini, yang jelas “trikotomi” Geertz, atau lebih tepat lagi
“dikhotomi” santri-abangan terlanjur populer, bukan hanya dalam dunia keilmuan,
khususnya antropologi, tetapi juga digunakan untuk menjelaskan pemilahan
politik dalam masyarakat Jawa khususnya. Demikian, pertarungan dan pergulatan
politik Indonesia, khususnya tahun-tahun 1950-an (menjelang dan pasca-pemilu tahun 1955)
di antara Masyumi, PNI dan PKI dijelaskan banyak pihak dalam kerangka
Geertz, yang populer sebagai “politik aliran”, persisnya pertarungan antara santri
pada satu pihak dan abangan pada pihak lain.

Dengan demikian dalam kasus ini, Geertz menjelaskan, “proses manuver


politik yang digerakkan oleh sistem aliran ini segera membuat persekutuan
orientasi abangan dan priyayi dalam satu kesatuan yang berhadapan dengan
orientasi santri. Proses persekutuan politik antara kedua varian ini, untuk satu hal,
didorong oleh “terlembagakannya politik massa dan hak politik universal yang
mendekatkan kelompok priyayi dengan abangan”. Hal itu juga disebabkan oleh
kenyataan yang kuat diterima bahwa kedua kelompok tersebut “tidak menyukai
eksklusivisme kelompok santri.
Yang dimaksud dengan politik aliran adalah kelompok sosio-budaya yang
menjelma sebagai organisasi politik12. Menurut Bahtiar Effendi13, Geertz
memaparkan aliran sebagai “suatu partai politik yang dikelilingi oleh satuan
organisasi-organisasi sukarela yang formal maupun tidak formal berkaitan
2
Bahtiar Effendi. Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di
Indonesia (Jakarta: Paramadina, 1998), h. 37 7
Daniel S. Lev. Partai-partai Politik di Indonesia pada Masa Demokrasi Parlementer (1950-
1957) Dan Demokrasi Terpimpin (1957-1965). Dalam Ichlasul Amal. Teori-teori Mutakhir partai
Politik, h. 134. 8
Azyumardi Azra. Reposisi Hubungan Agama dan Negara: Merajut Kerukunan Antar Umat
(Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002), h. 185 9
Abudin Nata. Metodologi studi Islam, h. 348
dengannya….[aliran] adalah pengelompokan organisasi secara nasional….yang
menganut arah dan posisi ideologis yang sama.” Terlepas dari penekannya pada
partai politik sebagai unsur pokok dalam konsep ini, penting dicatat bahwa “suatu
aliran lebih dari sekedar partai politik, jelas juga lebih dari sekedar ideologi; ia
adalah suatu pola integrasi sosial yang komprehensif,” dan ia diidentifikasi
kurang-lebih oleh “oposisi suatu kelompok kepada yang lain”

Setidaknya ada dua unsur utama yang inheren dalam konsep aliran.
Pertama, pentingnya pembilahan religio-kultural dalam tradisi masyarakat Jawa.
Kedua, cara dimana pembilahan semacam itu mentransformasikan diri secara
agak mudah kedalam pola pengelompokan-pengelompokan sosial-politik.

Politik aliran terbentuk, untuk pertama kalinya pada pemilu 1955. Ketika
masyarakat Jawa untuk kali pertamanya selama satu setengah abad diberi
kebebasan untuk membuat organisasi-organisasi sosial dan politik baru. Yang
mereka ciptakan kemudian adalah aliran, yaitu partai-partai politik nasional, yang
diimpor dari Jakarta, lengkap dengan ideologi masing-masing dan organisasi-
organisasi sosial untuk petani, buruh, wanita, pemuda dan lain-lain.

Pada pemilu tahun 1950-an pola pembentukan partai politik dipengaruhi


oleh konsep aliran. Kelompok santri cenderung mengarahkan orientasi politik
mereka ke partai-partai politik Islam, misalnya Masyumi dan Nahdlatul Ulama
(NU), dua partai Islam terbesar pada 1950-an. Pada sisi lainnya, kelompok
abangan dan priyayi lebih suka mengekspresikan kedekatan politis mereka dengan
partai “nasionalis” (PNI atau PKI).

Tumbangnya pemerintahan orde lama setelah gagalnya pemberontakan


PKI pada 1965 tidak serta merta menghapuskan trikhotomi abangan, santri dan
priyayi. Bahkan perkembangan politik Indonesia umumnya pada masa orde baru
tetap masih bisa dijelaskan banyak pengamat dalam kerangka Geertzian. Bahkan
banyak pemimpin militer Indonesia yang sebagian besar berasal dari etnis Jawa,
dan karena itu abangan menentang Islam dan kaum santri. Militer abangan yang
hostile terhadap Islam dan golongan santri inilah yang kemudian mendukung dan
memenangkan Golkar sejak pemilu 1977, 1982 dan 1987, yang juga didominasi
oleh kaum abangan dan non-muslim. Singkatnya, polarisasi antara santri dan
abangan terus berlanjut dalam masa orde baru.
Pada masa orde baru pola aliran tercermin dalam politik elektoral saat
Soeharto memaksakan semua partai santri bergabung kedalam Partai Persatuan
Pembangunan (PPP), dan semua partai priyayi, abangan, dan non-Islam berdifusi
menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Pasca orde baru realitas politik yang
didasarkan pada aliran bukan berangsur hilang, melainkan sebaliknya kian
menonjol.

PDI-P merupakan kelanjutan secara organisatoris dan ideologis dengan


PNI yang diciptakan Soekarno. Begitu juga dengan PKB, yang merupakan
kelanjutan dari partai politik NU. Kita juga bisa mengaitkan, secara lebih longgar,
antara PAN melalui Muhamadiyah (sebagai santri modernis) dengan Masyumi.
PPP juga tidak bisa dilepaskan dari masa lalunya dengan NU ketika pada 1971
bersama partai-partai santri, berdifusi menjadi PPP.

Pada Pemilu tahun 2004 ternyata tidak ada lompatan ideologis (ideological
leapfrogging) yang ekstrim, namun dua partai Islam, PPP dan PBB, bergerak
lebih jauh ke kanan, sementara PKS lebih mendekat ke tengah. Partai-partai
sekuler, meski tetap dalam posisi semula, menjalankan strategi yang berbeda guna
memperluas jangkauan pada segmen-segmen komunitas Islam tanpa mengubah
sikap dasar ideologinya.

Arti penting teori aliran Geertz adalah bahwa teori ini mencoba
menunjukkan salah satu sumber paling esensial dari pengelompokan-
pengelompokan sosial-politik yang berkembang dalam realitas politik di
Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Amal, Ichlasul (Editor). Teori-teori Politik Mutakhir. Yogyakarta: Tiara Wacana


Yogya, 1996
Ambardi, Kuskridho. Mengungkap Politik Kartel; Studi Tentang Sistem Kepartaian
di Indonesia Era Reformasi. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2009.
Asyari, Suadi. Nalar Politik NU dan Muhammadiyah. Yogyakarta: LKiS, 2009.
Azra, Azyumardi. Menggapai Solidaritas; Tensi antara Demokrasi,
Fundamentalisme dan Humanisme. Jakarta: Pustaka Panjimas, 2002
-------------. Reposisi Hubungan Agama dan Negara: Merajut Kerukunan Antar
Umat. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002
Effendy, Bahtiar. Repolitisasi Islam: Pernahkah islam Berhenti Berpolitik?.
Bandung: Mizan, 2000.
----------------. Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di
Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1998.
Fanani, Ahmad Fuad. Islam Mazhab Kritis; Menganggagas Keberagaman Liberatif.
Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2004.
Fauzi, Ulfi. Konflik Politik Islam; Studi Kasus hubungan Masyumi dan NU pada
Masa Sebelum dan Sesudah Demokrasi Terpimpin (1950-1956). Skripsi S1
Jurusan Pemikiran Politik Islam Fakultas Ushuludin dan Filsafat Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005.
Furkon, Aay Muhammad. Partai Keadilan sejahtera; Ideologi dan Praksis Politik
Kaum Muda Muslim Indonesia Kontemporer. Jakarta: Teraju, 2004.
Karim, M. Rusli. Perjalanan Partai Politik di Indonesi; sebuah Potret Pasang Surut.
Jakarta: Rajawali Pres, 2002.

Anda mungkin juga menyukai