Anda di halaman 1dari 17

Hubungan Harta Bersama dengan Harta Warisan

Menurut Pandangan Adat, Agama dan UUD

A. Pembagian Harta Bersama Dalam Hukum Adat, Agama dan UUD


1. Pembagian Harta Bersama Dalam Hukum Adat

notarisdanppat.com – Sebagaimana diketahui bahwa dalam tata hukum Indonesia


berlaku pluralisme hukum, salah satunya adalah hukum adat. Terkait dengan Pembagian
Harta Besama bagaimanakah aturan hukum adat terhadap pembagian harta bersama
tersebut?
Menurut hukum adat yang di maksud dengan harta perkawinan adalah : “Semua harta
yang dikuasai suami istri selama mereka terikat dalam ikatan perkawinan, baik harta
kerabat yang dikuasai, maupun harta perorangan yang berasal dari harta warisan, harta
hibah, harta penghasilan sendiri, harta pencaharian hasil bersama suami istri, dan barang-
barang hadiah. Kesemuanya itu di pengaruhi oleh prinsip kekerabatan yang dianut
setempat dan bentuk perkawinan yang berlaku terhadap suami istri yang bersangkutan”.
Berdasarkan hal tersebut, maka dalam perspektif hukum adat, harta perkawinan terbagi
atas:

1. Harta Bawaan
Harta bawaan merupakan jenis harta yang dibawa oleh suami atau istri yang diperoleh
sebelum mereka melangsungkan pernikahan. Harta jenis ini menurut subyeknya
terbagi atas harta bawaan suami dan harta bawaan istri. Sedangkan berdasarkan asal
perolehannya harta bawaan terbagi atas harta warisan, harta hibah/wasiat, harta
pemberian.
2. Harta Penghasilan
Merupakan jenis harta yang diperoleh dari penghasilan secara pribadi tanpa ada
campur tangan dari kerbat.
3. Harta Pencaharian
Yaitu jenis harta yang diperoleh atas hasil usaha dari suami dan istri setelah
melangsungkan pernikahan. Dalam kehidupan berkeluarga meskipun yang aktif
dalam mencari penghasilan hanyalah suami dan istri mengurus anak, maka tetap saja
harta itu menjadi “ harta suami dan sitri”. Dalam hukum adat jika masyarakat
setempat menganut asa kekerabatan yang kuat, maka hal itu tidak dibedakan.
4. Hadiah Perkawinan
Hadiah perkawinan merupakan jenis harta yang diberikan kepada suami-istri ketika
berlangsungnya acara resepsi pernikahan. Harta perkawinan ini dapat dibedakan
menjadi harta yang diterima oleh mempelai wanita (harta bawaan istri) dan harta yang
diterima oleh mempelai berdua menjadi harta bersama.

Dalam masyarakat hukum adat apabila terjadi sebuah perceraian, maka harta bersama
antara suami-istri harus dibagi. Adapun tata cara pembagian harta bersama menurut
hukum adat adalah sebagai berikut:

1) Harta bawaan asal dan harta bersama


Berkaitan dengan harta bawaan asal dari suami atau istri, jika terjadi perceraian maka
menurut hukum adat kembali menjadi milik suami atau istri sebagai pihak yang
membawa harta asal. Akan tetapi, menurut hukum adat juga ada ketentuan bahwa jika
harta bawaan asal tersebut telah lebih dari 5 (lima) tahun bercampur dengan harta
bersama yang tidak bisa dibedakan lagi, maka masing-masing pihak mendapatkan ½
dari harta yang tercampur tersebut.
2) Harta Besama
Mengenai harta bersama, menurut hukum adat pembagian masing-masing suami-istri
adalah ½ dari harta bersama.
Namun seringkali dalam masyarakat dalam proses pembagian banyak terjadi berbagai
hambatan, adapun hambatan-hambatan dalam pembagian harta bersama dalam hukum
adat antara lain:
 Kurangnya kesadaran hukum para pihak sehingga dalam proses pembagian
harta bersama seringkali terjadi pertengkaran dan perebutan harta bersama.
Demikian itu, disebabkan kurangnya pengetahuan dan kesadaran terhadap tata
hukum yang berlaku.
 Dalam hal harta bersama berwujud sebuah rumah yang dibangun di atas
rumah mertua, maka penyelesaian yang dilakukan umumnya adalah harus
adanya musyawarah antara anak, mertua dan menantunya.

Pembagian harta bersama sebagaimana dijelaskan di atas, merupakan tata cara


pembagian yang secara umum dilakukan pada masyarakat adat. Akan tetapi, ada
beberapa kalangan masyarakat yang membagi harta bersama dengan cara berbeda.
Seperti di Bali, yang disebut Sasuhun Sarembat, yang mempunyai kebiasaan
sedemikian rupa sehingga suami mendapat 2/3 (dua pertiga) dan istri mendapat 1/3
(sepertiga). Akan tetapi setelah perang dunia kedua, asas ini semakin berkurang
karena adanya kesadaran persamaan hak antara suami istri.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam pembagian harta


bersama menurut sistem hukum adat di Indonesia juga bersifat prular, artinya
diserahkan kepada kebiasaan adat setempat. Pertimbangan keadilan pembagian
harta bersama di masing-masing daerah berbeda dan oleh karena itu tata cara
pembagiannya pun juga berbeda.

2. Harta Bersama Dalam Hukum Agama (Islam)

Sebenarnya, Islam  tidak mengenal istilah harta gono-gini sebagaimana yang


dipahami oleh mayoritas masyarkat. Yaitu pemahaman yang menjadikan status
pernikahan sebagai bukti kepemilikan harta pasangannya. Karena yang menjadi hak
istri atas harta hanya sebatas kecukupan nafkah (kesejahteraan) yang diberikan suami
sesuai dengan kemampuan, bukan keseluruhan harta suami.
Ketika terjadi perceraian, maka hak masing-masing pasangan adalah:

1 Masing-masing pasangan berhak membawa dan mengakui harta pribadinya,


apapun itu bentuknya.
2 Masing-masing pasangan berhak mendapatkan harta bersama (gono-gini).
Yaitu harta yang memang jelas itu milik bersama, bukan milik masing-masing
pasangan atau milik salah satu pasangan. Dalam kasus ini harta suami tidah
boleh dianggap sebagai harta gono-gini. Hal ini diatur dalam UU perkawinan :

Pasal 97

“Janda atau duda cerai masing-masing berhak seperdua dari harta bersama
sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan”.

3 Dan yang terkhir, istri mendapatkan mut’ah (harta kesejahteraan pasca


perceraian) dari mantan suaminya sesuai kerelaan dan kemampuannya. Hal ini
tersurat  di dalam firman Allah:

‫ُوف َحقًّا َعلَى ْال ُمتَّقِين‬


ِ ‫ع بِ ْال َم ْعر‬ ِ ‫َولِ ْل ُمطَلَّقَا‬
ٌ ‫ت َمتَا‬
“dan bagi wanita-wanita yang ditalaq (cerai) kendahlah diberi mut’ah menurut
cara yang patut, sebagai suatu kewajibanbagi orang-orang yang
bertaqwa.” (QS. Albaqarah: 241)

Besaran mut’ah sendiri tidak ada batasan tertentu. Maka mantan suami boleh
memberikannya sesuai kerelaan dan kemampuannya.

َ‫ُوف َحقًّا َعلَى ْال ُمحْ ِسنِين‬


ِ ‫َو َمتِّعُوه َُّن َعلَى ْال ُمو ِس ِع قَ َد ُرهُ َو َعلَى ْال ُم ْقتِ ِر قَ َد ُرهُ َمتَاعًا بِ ْال َم ْعر‬

“dan berilah mereka mut’ah, bagi  yang mampu menurut kemampuannya dan
bagi yang tidak mampu menurut kesanggupannya, yaitu pemberiandengan
cara  yang patut, yang merupakankewajiban bagi orang-orang yangberbua
baik” (QS. Albaqarah: 236)

Ayat yang kedua ini, justeru kewajiban mut’ah bagi wanita yang diceraikan
sebelum berhubungan badan dengan suaminya. Maka oleh sebagian ulama hukum
mut’ah tidak wajib bagi pasangan yang sudah melakukan hubungan badan dengan
mahar yang sudah disebutkan.

Terakhir, jika memang perceraian benar terjadi, maka kedua pasangan boleh
melakukan cara shulh (perdamaian) sesuai dengan kesepakatan keduanya. Terutama
perdamian yang berhubungan dengan harta. Tentu, perdamaian yang tidak melanggar
aturan-aturan agama serta tidak merugikan satu sama lain dari kedua pasangan.

Rasulullah SAW bersabda:

‫الصُّ ْل ُح َجائِ ٌز بَ ْينَ ْال ُم ْسلِ ِمينَ إِاَّل ص ُْلحًا َح َّر َم َحاَل اًل أَوْ أَ َح َّل َح َرا ًما‬

“Perdamaian  boleh (dilakukan) di antara kaum muslimin, kecuali perdamaian


yang mengharamkan yang halal dan perdamaian yang menghalalkan yang
haram” (HR.  Abu Dawud, Ibnu Majah, dan disahihkan oleh Tirmidzi)

3. Harta Bersama Dalam Hukum UUD

Seorang laki-laki atau perempuan, ketika belum menikah mereka


mempunyai hak dan kewajiban yang utuh. Hak dan kewajiban yang berkaitan dengan
kehidupannya, hak dan kewajiban akan harta miliknya dan sebagainya. Kemudian
setelah mereka mengikatkan diri dalam lembaga perkawinan, maka mulai saat itulah
hak kewajiban mereka menjadi satu. Pengertian menjadi satu tersebut bukan berarti
hak dan kewajiban masing-masing pihak akan meleburkan diri, melainkan hak dan
kewajiban mereka tetap utuh walaupun mereka telah bersatu dalam
kehidupannya. Untuk itulah mereka harus memahami dan menghormati satu sama
lain. Tidak merasa salah satu sebagai penguasa dan lainnya menjadi budak, tidak
merasa salah satu dari mereka paling berjasa dan lainnya menumpang.

Pemahaman tentang hak dan kewajiban ini menjadi sangat penting dan sangat
mendasar, apabila kita akan mengkaji lebih dalam tentang konsekuensi-konsekuensi
dari kehidupan perkawinan, karena dalam kehidupan perkawinan, akan melahirkan
hak dan kewajiban antara lain tentang anak & hak kewajiban tentang harta. Bahkan
kemudian akan kemungkinan pembagian harta bila perkawinan putus baik karena
perceraian atau karena kematian. Untuk kali ini, dalam tulisan ini hanya akan dibahas
tentang hak dan kewajiban yang berkaitan dengan harta perkawinan

Apabila kita melihat peraturan yang mengatur tentang harta perkawinan, kita
dapat mengkaji dari beberapa pasal dalam Undang-undang Perkawinan no 1 tahun
1974.

Bab VII

Harta Benda dalam Perkawinan

Pasal 35

1. Harta benda diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.

2. Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang
diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah
penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.

Penjelasannya; Apabila perkawinan putus, maka harta bersama tersebut diatur


menurut hukumnya masing-masing

Dari peraturan ini kita akan memperoleh pengertian bahwa dalam perkawinan
dikenal dua macam kategori harta yaitu harta bawaan (Pasal 35 ayat 2) misalnya ;
pemberian, warisan. Dan harta bersama (pasal 35 ayat 1) yaitu harta yang diperoleh
selama perkawinan berlangsung.
Terhadap harta bawaan, Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974
mengatakan bahwa masing-masing pihak mempunyai hak dan untuk mengaturnya
sendiri-sendiri. Karena itu harta bawaan tidak dimasukan kedalam harta bersama
dalam perkawinan.

Sedangkan tentang siapakah yang berhak untuk mengatur harta bersama,


undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974, mengatur lebih jelas dalam ketentuan

Pasal 36

1. Mengenai harta bersama suami dan istri dapat bertindak atas persetujuan
kedua belah pihak.

2. Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan istri mempunyai hak


sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.

Dari bunyi aturan tersebut dapat diketahui, bahwa yang berhak mengatur harta
bersama dalam perkawinan adalah suami dan istri. Dengan demikian salah satu pihak
tidak dapat meninggalkan lainnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta
bersama dalam perkawinan, karena kedudukan mereka seimbang yaitu sebagai
pemilik bersama atas harta bersama itu.

Pasal 37

“Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya
masing-masing”.

Penjelasannya; yang dimaksud dengan “hukumnya” masing-masing ialah


hukum agama, hukum adat dan hukum lainnya.

Dalam kenyataannya jika terjadi pembagian harta bersama karena perceraian,


masing-masing pihak akan mendapatkan separoh dari harta bersama. Tetapi ketentuan
tersebut bukanlah sesuatu yang baku dan keharusan, sebab masing-masing pihak
dapat pula dengan kesepakatan membagi harta bersama tersebut menurut
kehendaknya sendiri. Dengan kesepakatan itulah mereka terikat dan boleh
mengesampingkan peraturan yang ada.

Kemudian bagaimanakah dengan persoalan tentang hutang yang timbul


selama perkawinan berlangsung? Karena prinsip harta perkawinan adalah harta
bersama yang dimiliki oleh suami dan istri, maka hutang pun adalah merupakan
kewajiban mereka bersama untuk melunasinya.

Menyimpang dari ketentuan yang diatur dalam pasal 35 (1) dan pasal 36 (1),
undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 memberikan kelonggaran kepada
suami/istri untuk mengatur tentang harta bersama dalam per-kawinan dalam.
Pengaturan itu dikenal dengan PERJANJIAN PER-KAWINAN yang diatur dalam
UUD Perkawinan No. 1 tahun 1974.

B. Pemabagian Harta Warisan Menurut Adat, Agama, dan UUD


1. Menurut Hukum Adat
a. Tak Terbaginya Harta – Benda
Tidak terbaginya harta peninggalan ini di sementara lingkungan hukum
berhubungan dengan asas bahwa harta - benda yang diterima dari nenek moyang
tidak mungkin dimiliki selain dari pada bersama - sama dengan para ahli waris
lainnya yang secara keseluruhan merupakah kesatuan yang tak terbagi.
Sepanjang seseorang semasa hidupnya memperoleh harta pencarian (harta
hasil usaha pribadi), maka harta tersebut sepeninggalannya berpindah sebagai
kebulatan tak terbagi kepada keturunannya yang berhak atas itu, yang semasa hidup si
pewaris juga sudah berhubungan dengan harta tersebut selaku ahli-waris.[3]
Kemungkinan pertama
Harta kekayaan tetap tak terbagi karena :
a. tidak mungkin dibagi
b. kelompok kerabat mempunyai hak bersama, biasanya dibawah pimpinan mamak
kepada waris (Minangkabau), kepala dari (Ambon) selaku kepala kerabat.
Bila harta kerabat semacam ini terbengkalai : “guntung” (Minangkabau), “linyap”
(Ambon) karena kerabatnya punah, maka harta tersebut dapat jatuh ke tangan kerabat-
kerabat-kerabat yang karib atau bila mereka tidak ada, kepada masyarakat.
Kemungkinan kedua
Harta peninggalan itu mungkin juga tidak terbagi karena yang berhak mewaris
hanyalah satu anak, yaitu anak laki-laki tertua (pada sebagian penduduk asli Lampung,
kebanyakan pula di Bali), anak perempuan tertua sebagian) dan kalau tidak ada, anak
laki-laki bungsu (pada suku Semnedo di Sumatera Selatan, suku Dayak Landak dan
Tayan di Kalimantan-Barat).
Kemungkinan Ketiga
Mungkin harta peninggalan itu tidak terbagi karena sesudah meninggalkan si pemilik,
hartanya dijadikan harta keluarga sebagai kesatuan tak terbagi. Dasarnya ialah pikiran
bahwa yang diperoleh itu memang tersedia untuk mencukupi kebutuhan dan keinginan
materiil keluarga yang bersangkutan.
b. Pembagian Semasa Hidup dan Wasiat
1. Pembagian/pembekalan semasa hidup
Pembagian harta-kekayaan (sekaligus ataupun sebagian demi sebagian)
semasa hidup di pemilik merupakan kebalikan dari tetap tak terbaginya harta
peninggalan, meskipun kedua-keduanya berdasarkan pokok pikiran yang sama
(harta kekayaan sebagai harta keluarga/kerabat, diperuntukkan dasar hidup
materiil bagi para warganya dalam generasi-generasi berikutnya). Di waktu
anak menjadi dewasa meninggalkan rumah orang tuanya, membentuk keluarga
mandiri (mencar, manjai), ia seringkali dibekali tanah pertanian, pekarangan
dengan rumahnya, ternak, benda-benda tersebut sejak semula menjadi dasar
materiil keluarga baru dan merupakan bagiannya di dalam harta keluarga, yang
kelak akan diperhitungkan pada pembagian harta peninggalan, sesudah kedua
orang tuanya meninggal.
2. Wasiat
Pemilih harta-benda semasa hidupnya dapat pula dengan cara lain
melakukan pengaruh atas dan oleh karena itu mendorong ke arah pembagian
harta peninggalan.
1. “Hibah” – “Wasiat”
Cara pertama yang jarang ditempuh ini disebut dengan istilah Islam :
hibah-wasiat. Lembaga tersebut bermanifestasi dalam perbuatan pemilik yang
bertujuan: agar bagian tertentu dari harta kekayaanya diperuntukkan bagi salah
seorang ahli-warisnya sejak saat pewaris yang bersangkutan meninggal dunia.

2. “Wekas”, “welking”, “umnat”   


Pembagian harta secara lain yang lebih umum dikenal dan
dipraktekkan diseluruh Nusantara terjadi kalau seorang pemilik pada akhir
hayatnya menjumlah dan menilai harta-kekayaannya serta mengemukakan
keinginan dan harapannya berkenaan dengannya kelak.
c. Ahli Waris
1. Waris Utama :
Pada umumnya yang menjadi ahli-waris ialah para warga yang
paling karib di dalam generasi berikutnya, ialah anak-anak yang
didasarkan di dalam keluarga/barayan si pewaris, yang pertama-pertama
mewaris ialah anak-anak kandung. Namun pertalian dan solidaritas
keluarga itu di semnetara lingkungan hukum diterobos oleh ikatan dan
pertaubatan kelompok kerabat yang tersusun unilineal. Pada kerabat-
kerabat yang merupakan bagian clan (patrilineal ataupun matrilineal),
maka dalam hal ini terasalah adanya ketegangan antara tuntutan hak dari
kesatuan kelaurga dengan tuntutan hak dari kerabat tersebut.
Lembaga Hidup waris
Titik pangkal : harta keluarga sejak semula diperuntukkan dasar
hidup materiil bagi mereka yang lahir dari keluarga yang bersangkutan
mendapatkan realisasinya di dalam asas penggantian tempat, lembaga
hidup waris. Keturunan dari anak (waris) yang meninggal mendahului
pewarisnya, menerima porsi orang tuanya dari harta peninggalan
kakeknya. Hanya peradilan agama (Islam) – lah yang kadang-kadang
menyebabkan penerobosan asas tersebut.
Posisi janda 
Mengenai posisi janda di dalam harta peninggalan, hukum adat
bertitik tolak dari asas bahwa wanita sebagai orang asing tidak berhak
mewaris, namun selaku isteri turut memiiki harta yang diperoleh selama,
karena dan untuk ikatan perkawinan (harta kebersamaan), disamping itu
di semua wilayah ia berhak atas nafkah seumur hidup dari harta
peninggalan suaminya, kecuali di wilayah yang tidak memerlukan aturan
demikian itu berhubung dengan tata susunan sanak yang matrilineal.
Kebersamaan harta Perkawinan
Dalam hal ada kebersamaan harta perkawinan dan tidak ada
keturunan, maka sipeninggal jodoh yang satu, yang tinggal hidup
mewaris seluruh harta kekayaan/peninggalan, jika jodoh terakhir inipun
meninggal pula, maka harta tersebut dibagi sama rata di antara para
warga kerabat kedua pihak, atau dua pertiga untuk kerabat suami dan
sepertiga bagi kerabat pihak isteri.
Anak Angkat
Anak angkat berhak mewaris selaku anak, sedangkan sebagai
unsur asing ia tidak berhak. Sepanjang adopsi itu melenyapkan sifat
unsur asing dan menimbulkan sifat anak, maka anak angkat yang
bersangkutan berhak mewaris sebagai anak. Itulah titik pangkal hukum
adat.
Perbuatan Tunai
Selaku perbuatan tunai, adopsi selalu menimbulkan hak mewaris
sepenuhnya. Pendorong ke arah pengangkatan anak ialah biasanya hasrat
meneruskan.mengoperkan harta-kekayaan kepada anak angkatnya, yang
pada hakekatnya bermakna : mempertahankan garis hidup sendiri
didalam proses umum kontinuasi generasi.
Pewarisan tanpa anak
Pewarisan harta-benda dalam hal tiada anak telepas dari tuntutan
hak jodoh yang hidup terlama dan anak angkat adalah mudah.

d. Bagian –Bagian harta Peninggalan


1. Harta benda Kerabat
Perbedaan dalam pewarisan antara benda-benda yang berasal dari
kerabat (harta warisan), dengan yang diperoleh secara mandiri di dalam
keluarga, sering tampak jelas dalam hal si pewaris tidak mempunyai
anak : barang asalnya kembali kepada kerabatnya sendiri (agar tidak
hilang) sedangkan benda – benda keluarganya jatuh ke tangan jodoh
yang masih hidup.
Telah kita ketahui bahwa di sementara lingkungan hukum, ikatan
kerabat yang kuat dapat pula mempengaruhi pewarisan benda-benda
yang diperoleh didalam keluarga.
2. Harta- Benda Keluarga
Perbedaan dalam pewarisan akibat solidaritas keluarga dapat timbul
berhubung dengan adanya perkawinan kedua.
Jika dua isteri dari satu suami membentuk keluarga sendiri-sendiri
dengan anak-anak mereka masing-masing, maka harta benda keluarga-
keluarga itupun tetap terpisah.
3. Harta-Benda Martabat Tertentu
Benda-benda keramat di dalam suatu kerabat dapat terkait pada
kualitas pemiliknya.

2. Pembagian Harta Warisan Menurut Islam


Pembagian Harta Warisan – Islam adalah agama yang sempurna. Ianya
menjadi sistem kehidupan yang mengatur segala aspek, termasuk dalam hal harta
warisan.
Secara umum warisan adalah harta peninggalan yang ditinggalkan pewaris
kepada ahli waris. Sementara waris sendiri berasal dari bahasa Arab yang berarti
berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain.

Pewaris dan Ahli Waris

Pewaris adalah orang yang meninggalkan harta dan hak-hak yang pernah
diperoleh karena meninggal dunia; laki-laki atau perempuan, baik dengan surat wasiat
maupun tidak.

Sementara ahli waris adalah orang yang berhak menerima harta warisan dari
pewaris karena ada hubungan keluarga, pernikahan, ataupun
karena wala’ (membebaskan hamba sahaya) dengan pembagian-pembagian yang
sudah diatur oleh syariat. (akan dijabarkan di bawah -red)

Dasar Hukum Pembagian Harta Warisan


Seperti yang sudah dituliskan di atas bahwa, Islam itu mengatur semua aspek
kehidupan. Mengenai pembagian harta warisan, ada pengelompokan-pengelompokan
untuk ahli waris.

1. Karena Hubungan Darah


Allah SWT. berfirman di dalam Al Quran An-Nisa ayat 7, 11, 12, 33, dan 176

“Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan untuk)


anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang
anak perempuan. Dan jika anak itu semuanya perempuan yang jumlahnya lebih dari
dua, maka bagian mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika dia (anak
perempuan) itu seorang saja, maka dia memperoleh setengah (harta yang
ditinggalkan). Dan untuk kedua ibu-bapak, bagian masing-masing seperenam dari
harta yang ditinggalkan, jika dia (yang meninggal) mempunyai anak. Jika dia (yang
meninggal) tidak mempunyai anak dan dia diwarisi oleh kedua ibu-bapaknya (saja),
maka ibunya mendapat sepertiga. Jika dia (yang meninggal) mempunyai beberapa
saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di
atas) setelah (dipenuhi) wasiat yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) hutangnya.
(Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara
mereka yang lebih banyak manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan Allah. Sungguh,
Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana.” (QS. An-Nisa: 11)

2. Karena Hubungan Pernikahan


3. Karena Hubungan Persaudaraan
4. Karena Hubungan Kekerabatan (sama-sama orang yang berhijrah pada masa awal
Islam).

Ahli Waris
1. Laki-laki yang Berhak Menerima Warisan

Ada 15 orang laki-laki yang berhak menerima harta peninggalan dari pewaris
yang sudah meninggal, sebagai berikut:

1. Anak laki-laki
2. Cucu laki-laki dari anak laki-laki
3. Bapak
4. Kakek / ayahnya ayah
5. Saudara laki-laki sekandung
6. Saudara laki-laki sebapak
7. Saudara laki-laki seibu
8. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung
9. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak
10. Suami
11. Paman sekandung
12. Paman sebapak
13. Anak dari paman laki-laki sekandung
14. Anak dari paman laki-laki sebapak
15. Laki-laki yang memerdekakan budak
2. Perempuan yang Berhak Menerima Warisan
Adapun perempuan yang berhak menerima harta peninggalan dari pewaris ada 11
orang, sebagai berikut:

1. Anak perempuan
2. Cucu perempuan dari anak laki-laki
3. Ibu
4. Nenek / ibunya ibu
5. Nenek / ibunya bapak
6. Nenek / ibunya kakek
7. Saudari sekandung
8. Saudari sebapak
9. Saudari seibu
10. Isteri
11. Wanita yang memerdekakan budak

3. Pembagian Harta Warisan Menurut UUD

Setelah membicarakan apa yang dianggap perlu yang berhubungan dengan


seorang pewaris terdapat harta-bendanya, maka sekarang akan dibicarakan segala
sesuatunya yang bersangkutan dengan seorang waris terhadap harta peninggalan
seorang pewaris.

Pasal 832: pasal ini  mengandung prinsip dalam hukum waris ab intestato yaitu: yang
berhak mewaris ialah:
Keluarga sedarah dan isteri (suami) yang hidup, dan jika ini semua tidak ada,
maka yang berhak mewaris ialah Negara.
Mengenai keluarga sedarah dan isteri (suami) yang hidup paling lama, dapat
diadakan 4 penggolongan yaitu:
1)      Anak, atau keturunannya dan janda atau duda.
2)      Orang tua (bapak dan ibu), saudara-saudara atau keturunannya,
3)      Nenek dan kakek, atau leluhur lainnya di dalam genus ke atas,
4)      Sanak-keluarga di dalam garis ke samping sampai tingkat ke-6.
Kalau semuanya itu tidak ada, maka negara menjadi waris,
Pasal-pasal yang berikut ini menetapkan jumlah bagian warisan bagi tiap-tiap
golongan.
Golongan 1.
Pasal 852: Seorang anak biarpun dari perkawinan yang berlain-lainan, atau waktu
kelahiran, laki atau perempuan, mendapat bagian yang sama (mewaris kepala demi
kepala).
Anak-anak dari seorang anak kalau mewaris sebagai pengganti dari ayah (ibu)
mewaris pancang demi pancang.
Pasal 852 a. : Bagian seorang isteri (suami), kalau ada anak dari perkawinannya
dengan yang meninggal dunia, adalah sama dengan bagiannya dengan seorang anak.
Jika perkawinan itu bukan perkawinan yang pertama, dan dari perkawinan
yang dahulu ada juga anak-anak, maka bagian dari janda (duda) itu tidak boleh lebih
dari bagian terkecil dari anak-anak yang meninggal dunia itu.
Bagaimanapun juga seorang  janda (duda) tidak boleh mendapat lebih dari ½
dari harta warisan.
Pasal 852 b. : Sebagaimana pasal 852 a, pasal ini juga suatu pasal yang disusulkan
pasa tahun 1935, untuk kepentingan seorang janda (duda) supaya jangan terganggu
ketenangannya di rumah, yang berhubungan dengan barang-barang rumah tangga.
Pasal ini menentukan bahwa jika seorang janda (duda) pewaris bersama
dengan orang lain dari pada anak-anak (juga dari perkawinan yang dahulu) atau
keturunannya, maka ia dapat menarik seluruh atau  sebagian perabot rumah tangga di
dalam kekuasaannya.
Hal yang demikkian ini dapat terjadi jika ada waris yang  di angkat dengan
testamen.
Golongan 2.
854 :  Jika golongan 1 tidak ada, maka yang berhak mewaris ialah : bapak,ibu dan
saudara.
ayah dan ibu dapat:
1/3 bagian, kalau hanya ada 1  saudara,
¼ bagian, kalau ada lebih dari 1 saudara.
Bagian dari saudara adalah apa yang terdapat setelah dikurangi dengan bagian
dari orang tua.
855:  Jika yang masih hidup hanya seorang bapak atau seorang ibu, maka bagiannya
ialah:
½ kalau ada 1 saudara
1/3 kalau ada 2 saudara
¼ kalau ada lebih dari 2 orang saudara.
Sisa dari warisan menjadi bagiannya saudara-saudara.
856: Kalau bapak dan ibu telah tidak ada maka seluruh warisan menjadi bagiannya
saudara-saudara.
857: Pembagian antara saudara-saudara adalah sama.
Jika mereka itu berasal dari lain perkawinan (bapak sama tapi lain ibu atau
sebaliknya) maka warisan dibagi dua.
Bagian yang ke satu adalah bagian bagi garis bapak dan bagian yang ke-2
adalah bagian bagi garis ibu
Saudara-saudara yang mempunyai bapak dan ibu yang sama mendapat bagian
dari bagian bagi garis bapak dan bagi garis ibu.
Saudara-saudara yang hanya se-bapak atau se-ibu dapat bagian dari bagian
bagi garis bapak atau garis ibu saja.
Golongan 3.
853: 858 ayat 1. Jika waris golongan 1 dan waris golongan 2 tidak ada, maka warisan
dibelah menjadi dua bagian yang sama.
Yang satu bagian diperuntukkan bagi  keluarga sedarah dalam garis bapak
lurus ke atas, yang lain bagian bagi keluarga sedarah dalam garis ibu lurus ke atas.
Waris yang terdekat derajatnya dalam garis lurus ke-atas mendapat setengah
warisan yang jatuh pada garisnya.
Kalau derajatnya sama, maka waris itu pada tiap garisnya mendapat bagian
yang sama(kepala demi kepala).
Kalau didalam satu garisnya ada keluarga yang terdekat derajatnya, maka
orang itu menyampingkan keluarga dengan derajat yang lebih jauh.
Golongan 4.
858 ayat 2. Kalau waris golongan 3 tidak ada maka bagian yang jatuh pada tiap garis
sebagai tersebut dalam pasal 853 dan pasal 858 ayat 2, warisan jatuh pada seorang
waris yang terdekat pada tiap garis. Kalau ada beberapa orang  yang derajatnya sama
maka warisan ini dibagi-bagi berdasarkan bagian yang sama.
861. Di dalam garis menyimpang keluarga yang pertalian keluargaannya berada
dalam suatu derajat yang lebih tinggi dari derajat ke-6 tidak mewaris.
Kalau hal ini terjadi pada salah satu garis,maka bagian yang jatuh pada garis
itu, menjadi hak nya keluarga  yang ada di dalam garis lain, kalau orang ini
mempunyai hak kekeluargaan dalam derajat yang tidak melebihi derajat ke-6.
873. Kalau semua orang yang berhak mewaris tidak ada lagi maka seluruh warisan
dapat di tuntut oleh anak diluar kawin yang diakui.
832 ayat 2. Kalau semua waris seperti tersebut di atas tidak ada lagi, maka seluruh
warisan jatuh pada Negara.
KESIMPULAN

Jadi Kesimpulan Hubungan Harta Bersama dengan Harta Warisan Menurut


Adat,Agama, dan UUD adalah dalam pembagian harta bersama menurut sistem
hukum adat di Indonesia bersifat prular, artinya diserahkan kepada kebiasaan adat
setempat. Pertimbangan keadilan pembagian harta bersama di masing-masing daerah
berbeda dan oleh karena itu tata cara pembagiannya pun juga berbeda. Sedangkan
menurut Islam dan UUD hubungan harta bersama dengan harta warisan telah diatur
dalam ayat-ayat dan pasal-pasal tertentu sesuai dengan ketentuan yang telah
ditentukan. Hubungan harta bersama dengan harta warisan adalah merupakan harta
yang dimiliki oleh suami dan istri dimana harta tersebut dapat di kataan harta bersama
sesuai kesepakatan.

Anda mungkin juga menyukai