Anda di halaman 1dari 29

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Demam thypoid menjadi masalah kesehatan, yang umumnya terjadi dinegara


yang sedang berkembang karena akibat kemiskinan, kriminalitas dan kekurangan
air bersing yang dapat diminum. tetapi lebih sering bersifat seporadis, terpencar-
pencar di suatu daerah, dan jarang menimbulkan lebih dari satu kasus pada orang-
orang serumah. Demam thypoid dapat di temukan sepanjang tahun. Insiden
tertinggi didapatkan pada anak-anak dan tidak ada perbedaan yang nyata anatra
insidensi demam thypoid pada wanita dan pria.Diagnose dari pelubangan
penyakiit thypoid dapat sangat berbahaya apa bila terjadi selama kehamilan atau
pada periode setelah melahirkan. Kebanyakan penyebaran penyakit demam typoid
ini tertular pada manusia pada daerah-daerah berkembang, ini dikarenakan
pelayanan kesehatan yang belum baik, hygiene personal yang buruk. Salah satu
contoh di negara Nigeria, dimana terdapat 467 kasus dari tahun 1996 sampai
dengan 2000.

Atresia ani adalah tidak lengkapnya perkembangan embrionik pada distal


anus atau tertutupnya anus secara abnormal (Suriadi & Yuliani, R,
2001). Beberapa kelainan kongenital dapat ditemukan bersamaan dengan penyakit
atresia ani, namun hanya 2 kelainan yang memiliki angka yang cukup signifikan
yakni down syndrome (5-10%) dan kelainan urologi (3%). Hanya saja dengan
adanya fekaloma, maka dijumpai gangguan urologi seperti refluks vesikoureter,
hydronephrosis dan gangguan vesica urinaria (mencapai 1/3 kasus) (Swenson dkk,
1990).

Insiden penyakit atresia ani adalah 1 dalam 5000 kelahiran hidup, dengan
jumlah penduduk Indonesia 200 juta dan tingkat kelahiran 35 permil, maka
diprediksikan setiap tahun akan lahir 1400 bayi dengan penyakit atresia ani.
Kartono mencatat 20-40 pasien penyakit atresia ani yang dirujuk setiap tahunnya
ke RSUPN Cipto Mangunkusomo Jakarta dengan rasio laki-laki: perempuan
adalah 4:1. Insidensi ini dipengaruhi oleh group etnik, untuk Afrika dan Amerika
adalah 2,1 dalam 10.000 kelahiran, Caucassian  1,5 dalam 10.000 kelahiran dan

1
Asia 2,8 dalam 10.000 kelahiran (Holschneider dan Ure, 2005; Kartono,1993).
Menurut catatan Swenson, 81,1 % dari 880 kasus yang diteliti adalah laki-laki.
Sedangkan Richardson dan Brown menemukan tendensi faktor keturunan pada
penyakit ini (ditemukan 57 kasus dalam 24 keluarga).  

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana asuhan keperawatan pada anak dengan thypoid ?
2. Bagaiaman asuhan keperawatan pada anak dengan atresia ani ?

C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada anak dengna thypoid.
2. Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada anak dengan atresia ani.

2
BAB II PEMBAHASAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN THYPOID

A. PENGERTIAN
Demam tifoid adalah penyakit menular yang bersifat akut, yang ditandai
dengan bakterimia, perubahan pada sistem retikuloendotelial yang bersifat
difus, pembentukan mikroabses dan ulserasi Nodus peyer di distal ileum.
(Soegeng Soegijanto, 2002)
Tifus abdominalis adalah suatu infeksi sistem yang ditandai demam, sakit
kepala, kelesuan, anoreksia, bradikardi relatif, kadang-kadang pembesaran
dari limpa/hati/kedua-duanya. (Samsuridjal D dan heru S, 2003)

B. ETIOLOGI
Salmonella typhi yang menyebabkan infeksi invasif yang ditandai oleh
demam, toksemia, nyeri perut, konstipasi/diare. Komplikasi yang dapat terjadi
antara lain: perforasi usus, perdarahan, toksemia dan kematian. (Ranuh,
Hariyono, dan dkk. 2001)
Etiologi demam tifoid dan demam paratipoid adalah S.typhi, S.paratyphi
A, S.paratyphi b dan S.paratyphi C. (Arjatmo Tjokronegoro, 1997)

C. PATOFISIOLOGIS
Transmisi terjadi melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi
urin/feses dari penderita tifus akut dan para pembawa kuman/karier.
Empat F (Finger, Files, Fomites dan fluids) dapat menyebarkan kuman ke
makanan, susu, buah dan sayuran yang sering dimakan tanpa dicuci/dimasak
sehingga dapat terjadi penularan penyakit terutama terdapat dinegara-negara
yang sedang berkembang dengan kesulitan pengadaan pembuangan kotoran
(sanitasi) yang andal. (Samsuridjal D dan heru S, 2003)
Masa inkubasi demam tifoid berlangsung selama 7-14 hari (bervariasi
antara 3-60 hari) bergantung jumlah dan strain kuman yang tertelan. Selama

3
masa inkubasi penderita tetap dalam keadaan asimtomatis. (Soegeng
soegijanto, 2002)

PATHWAYS

(Suriadi & Rita Y, 2001)

D. GEJALA KLINIS
Gejala klinis pada anak umumnya lebih ringan dan lebih bervariasi
dibandingkan dengan orang dewasa.Walaupun gejala demam tifoid pada anak
lebih bervariasi, tetapi secara garis besar terdiri dari demam satu
minggu/lebih, terdapat gangguan saluran pencernaan dan gangguan
kesadaran.Dalam minggu pertama, keluhan dan gejala menyerupai penyakit

4
infeksi akut pada umumnya seperti demam, nyeri kepala, anoreksia, mual,
muntah, diare, konstipasi, serta suhu badan yang meningkat.
Pada minggu kedua maka gejala/tanda klinis menjadi makin jelas, berupa
demam remiten, lidah tifoid, pembesaran hati dan limpa, perut kembung, bisa
disertai gangguan kesadaran dari ringan sampai berat.Lidah tifoid dan tampak
kering, dilapisi selaput kecoklatan yang tebal, di bagian ujung tepi tampak
lebih kemerahan. (Ranuh, Hariyono, dan dkk. 2001)
Sejalan dengan perkembangan penyakit, suhu tubuh meningkat dengan
gambaran ‘anak tangga’. Menjelang akhir minggu pertama, pasien menjadi
bertambah toksik. (Vanda Joss & Stephen Rose, 1997)
Gambaran klinik tifus abdominalis
Keluhan:
- Nyeri kepala (frontal) 100%
- Kurang enak di perut 50%
- Nyeri tulang, persendian, dan otot 50%
- Berak-berak 50%
- Muntah 50%
Gejala:
- Demam 100%
- Nyeri tekan perut 75%
- Bronkitis 75%
- Toksik 60%
- Letargik 60%
- Lidah tifus (“kotor”) 40%
(Sjamsuhidayat,1998)

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Darah Perifer Lengkap
Dapat ditemukan leukopeni, dapat pula leukositosis atau kadar leukosit
normal. Leukositosis dapat terjadi walaupun tanpa disertai infeksi
sekunder.
2. Pemeriksaan SGOT dan SGPT

5
SGOT dan SGPT sering meningkat, tetapi akan kembali normal setelah
sembuh. Peningkatan SGOT dan SGPT ini tidak memerlukan penanganan
khusus
3. Pemeriksaan Uji Widal
Uji Widal dilakukan untuk mendeteksi adanya antibodi terhadap
bakteri Salmonella typhi.Uji Widal dimaksudkan untuk menentukan
adanya aglutinin dalam serum penderita Demam Tifoid. Akibat adanya
infeksi oleh Salmonella typhi maka penderita membuat antibodi
(aglutinin) yaitu:
a. Aglutinin O: karena rangsangan antigen O yang berasal dari tubuh
bakteri
b. Aglutinin H: karena rangsangan antigen H yang berasal dari flagela
bakteri
c. Aglutinin Vi: karena rangsangan antigen Vi yang berasal dari
simpai bakter.
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglitinin O dan H yang digunakan
untuk diagnosis Demam Tifoid.Semakin tinggi titernya semakin besar
kemungkinan menderita Demam Tifoid. (Widiastuti Samekto, 2001)

F. TERAPI
1. Kloramfenikol. Dosis yang diberikan adalah 4 x 500 mg perhari, dapat
diberikan secara oral atau intravena, sampai 7 hari bebas panas
2. Tiamfenikol. Dosis yang diberikan 4 x 500 mg per hari.
3. Kortimoksazol. Dosis 2 x 2 tablet (satu tablet mengandung 400 mg
sulfametoksazol dan 80 mg trimetoprim)
4. Ampisilin dan amoksilin. Dosis berkisar 50-150 mg/kg BB, selama 2
minggu
5. Sefalosporin Generasi Ketiga. dosis 3-4 gram dalam dekstrosa 100 cc,
diberikan selama ½ jam per-infus sekali sehari, selama 3-5 hari
6. Golongan Fluorokuinolon
a. Norfloksasin : dosis 2 x 400 mg/hari selama 14 hari
b. Siprofloksasin : dosis 2 x 500 mg/hari selama 6 hari

6
c. Ofloksasin : dosis 2 x 400 mg/hari selama 7 hari
d. Pefloksasin : dosis 1 x 400 mg/hari selama 7 hari
e. Fleroksasin : dosis 1 x 400 mg/hari selama 7 hari
7. Kombinasi obat antibiotik. Hanya diindikasikan pada keadaan tertentu
seperti: Tifoid toksik, peritonitis atau perforasi, syok septik, karena telah
terbukti sering ditemukan dua macam organisme dalam kultur darah selain
kuman Salmonella typhi. (Widiastuti S, 2001)

G. KOMPLIKASI
Perdarahan usus, peritonitis, meningitis, kolesistitis, ensefalopati,
bronkopneumonia, hepatitis. (Arif mansjoer & Suprohaitan 2000)

Perforasi usus terjadi pada 0,5-3% dan perdarahan berat pada 1-10%
penderita demam tifoid. Kebanyakan komplikasi terjadi selama stadium ke-2
penyakit dan umumnya didahului oleh penurunan suhu tubuh dan tekanan
darah serta kenaikan denyut jantung.Pneumonia sering ditemukan selama
stadium ke-2 penyakit, tetapi seringkali sebagai akibat superinfeksi oleh
organisme lain selain Salmonella.Pielonefritis, endokarditis, meningitis,
osteomielitis dan arthritis septik jarang terjadi pada hospes normal.Arthritis
septik dan osteomielitis lebih sering terjadi pada penderita hemoglobinopati.

7
ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN THYPOID

A. PENGKAJIAN
1. Identitas klien
Meliputi nama,, umur, jenis kelamin, alamat, pekerjaan, suku/bangsa,
agama, status perkawinan, tanggal masuk rumah sakit, nomor register dan
diagnosa medik.
2. Keluhan utama
Keluhan utama demam tifoid adalah panas atau demam yang tidak turun-
turun, nyeri perut, pusing kepala, mual, muntah, anoreksia, diare serta
penurunan kesadaran.
3. Riwayat penyakit sekarang
Peningkatan suhu tubuh karena masuknya kuman salmonella typhi  ke
dalam tubuh.
4. Riwayat penyakit dahulu
Apakah sebelumnya pernah sakit demam tifoid.
5. Riwayat penyakit keluarga
Apakah keluarga pernah menderita hipertensi, diabetes melitus.
6. Pola-pola fungsi kesehatan
a. Pola nutrisi dan metabolisme
Klien akan mengalami penurunan nafsu makan karena mual dan
muntah  saat makan  sehingga makan hanya sedikit bahkan tidak
makan  sama sekali.
b. Pola eliminasi
Eliminasi alvi.  Klien dapat mengalami konstipasi oleh karena tirah
baring lama.  Sedangkan eliminasi urine tidak mengalami gangguan,
hanya warna urine menjadi kuning kecoklatan.   Klien dengan demam
tifoid terjadi peningkatan suhu tubuh yang berakibat keringat banyak
keluar dan merasa haus, sehingga dapat meningkatkan kebutuhan
cairan tubuh. 
c. Pola aktivitas dan latihan

8
Aktivitas klien akan terganggu karena harus tirah baring total, agar
tidak terjadi komplikasi maka segala kebutuhan klien dibantu.
d. Pola tidur dan istirahat
Pola tidur dan istirahat terganggu sehubungan peningkatan suhu tubuh.
Pola persepsi dan konsep diri
Biasanya terjadi kecemasan pada orang tua terhadap keadaan penyakit
anaknya.
e. Pola sensori dan kognitif
Pada penciuman, perabaan, perasaan, pendengaran dan penglihatan
umumnya tidak mengalami kelainan serta tidak terdapat suatu waham
pada klien. 
f. Pola hubungan dan peran
Hubungan dengan orang lain terganggu sehubungan klien di rawat di
rumah sakit dan klien harus bed rest total.
g. Pola penanggulangan stress.
Biasanya orang tua akan nampak cemas
7. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum
Didapatkan  klien   tampak   lemah,   suhu   tubuh   meningkat     38 –
410 C, muka kemerahan.
b. Tingkat kesadaran
Dapat terjadi penurunan kesadaran (apatis).
c. Sistem respirasi
Pernafasan rata-rata ada peningkatan, nafas cepat dan dalam dengan
gambaran seperti bronchitis.
d. Sistem kardiovaskuler
Terjadi penurunan tekanan darah, bradikardi relatif, hemoglobin
rendah.
e. Sistem integumen
Kulit kering, turgor kulit menurun, muka tampak pucat, rambut agak
kusam
f. Sistem gastrointestinal

9
Bibir kering pecah-pecah, mukosa mulut kering, lidah kotor (khas),
mual, muntah, anoreksia, dan konstipasi, nyeri perut, perut terasa tidak
enak, peristaltik usus meningkat.
g. Sistem muskuloskeletal
Klien lemah, terasa lelah tapi tidak didapatkan adanya kelainan.
h. Sistem abdomen
Saat palpasi didapatkan limpa dan hati membesar dengan konsistensi
lunak serta nyeri tekan pada abdomen.  Pada perkusi didapatkan perut
kembung serta pada auskultasi peristaltik usus meningkat.
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Hipertermi berhubungan dengan infeksi Sallmonela Typhi
2. Resiko tinggi ketidakseimbangan volume cairan dan elektrolit
berhubungan dengan hipertermi dan muntah
3. Resiko tinggi gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan intake yang tidak adekuat

C. INTERVENSI
Diagnosa 1
Hipertermi berhubungan dengan infeksi Sallmonela Typhi
Tujuan dan kriteria hasil
NOC : thermoregulasi
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama… pasien menunjukkan : Suhu
tubuh dalam batas normal dengan kriteria hasil :
a. Suhu 36-37C
b. Nadi dan RR dalam rentang normal
c. Tidak ada perubahan warna kulit dan tidak ada pusing, merasa nyaman
NIC :

1. Monitor suhu sesering mungkin


2. Monitor suhu dan warna kulit
3. Monitor tekanan darah, nadi dan RR
4. Monitor penurunan tingkat kesadaran
5. Monitor intake dan output

10
6. Berikan antipiretik
7. Kelola antibiotic
8. Berikan cairan intravena
9. Kompres pasien pada lipat paha dan aksila
10. Monitor hidrasi seperti turgor kulit, kelembaban membran mukosa.

Diagnosa 2

Resiko tinggi ketidakseimbangan volume cairan dan elektrolit berhubungan


dengan hipertermi dan muntah.

Tujuan dan kriteria hasil

NOC : Fluid Balance

Hydration

Nutritional Status : Food and Fluid Intake

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama… defosot volume cairan


teratasi dengan kriteria hasil :

a. Mempertahankan urine output sesuai dengan usia dan BB, BJ, urine
normal
b. Tekanan, nadi, suhu dalam batas normal
c. Tidak ada tanda-tanda dehidrasi, elastisitas turgor kulit baik, membrane
mukosa lembab, tidak ada rasa haus yang berlebihan
d. Elektrolit, Hb dalam batas normal
e. Intake oral dan IV adekuat
NIC :

1. Pertahankan catatan intake dan output yang akurat


2. Monitor status hidrasi ( kelembaban membrane mukosa. Nadi adekuat)
3. Monitor hasil lab yang sesuai dengan retensi cairan (BUN, Hmt,
osmolalitas urin, albumin, total pretein)
4. Kolaborasi pemberian cairan IV dan oral

11
5. Dorong keluarga untuk membantu pasien makan
6. Monitor intake dan output setiap 8 jam
7. Kolaborasi dokter jika tanda cairan memburuk

Diagnosa 3

Resiko tinggi gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh


berhubungan dengan intake yang tidak adekuat

Tujuan dan kriteria hasil


NOC : Nutritional status : adequacy of nutrient
Nutritional status : food and fluid intake
Weight control
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama… nutrisi kurang teratasi
dengan indicator :
a. Albumin serum
b. Pre albumin serum
c. Hematocrit
d. Hemoglobin
e. Jumlah limfosit
NIC :

1. Kaji adanya alergi makanan


2. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan nutrisi
yang dibutuhkan pasien
3. Beri makan sedikit tapi sering
4. Monitor adanya penurunan BB dan gula darah
5. Monitor mual dan muntah
6. Anjurkan banyak minum
7. Pertahankan terapi IV line
8. Monitor pucat, kemerahan, dan kekeringan jaringan konjungtiva

12
D. EVALUASI
Berdasarkan implementasi yang di lakukan, maka evaluasi yang di harapkan
untuk klien dengan gangguan sistem pencernaan typhoid adalah : tanda-tanda
vital stabil, kebutuhan cairan terpenuhi, kebutuhan nutrisi terpenuhi, tidak
terjadi hipertermia, klien dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari secara
mandiri, infeksi tidak terjadi dan keluaga klien mengerti tentang penyakitnya.

ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN ATRESIA ANI

13
A. PENGERTIAN
Atresia Ani merupakan kelainan bawaan (kongenital), tidak adanya lubang
atau saluran anus (Donna L. Wong, 520 : 2003).
Atresia Ani adalah kelainan kongenital yang dikenal sebagai anus
imperforate meliputi anus, rectum atau keduanya (Betz, dkk. 2002).
Menurut Ladd dan Gross (1966) anus imperforata dalam 4 golongan,
yaitu:
1. Stenosis rektum yang lebih rendah atau pada anus
2. Membran anus yang menetap
3. Anus imperforata dan ujung rektum yang buntu terletak pada
bermacam-macam jarak dari peritoneum
4. Lubang anus yang terpisah dengan ujung

 
Jadi, atresia ani adalah kelainan congenital anus dimana anus tidak
mempunyai lubang untuk mengeluarkan feces karena terjadi gangguan
pemisahan kloaka yang terjadi saat kehamilan. Walaupun kelainan lubang
anus akan mudah terbukti saat lahir, tetapi kelainan bisa terlewatkan bila
tidak ada pemeriksaan yang cermat atau pemeriksaan perineum.

B. KLASIFIKASI
Melbourne membagi berdasarkan garis pubocoxigeus dan garis yang
melewati ischii kelainan disebut :
a. Letak tinggi, rectum berakhir di atas M.Levator ani ( m.pubo coxigeus)
b. Letak intermediet, akhiran rectum terletak di M.Levator ani
c. Letak rendah, akhiran rectum berakhir di bawah M.Levator ani

14
C. ETIOLOGI
Penyebab atresia ani belum diketahui secara pasti tetap ini merupakan
penyakit anomaly kongenital (Bets. Ed 3 tahun 2002)
Akan tetapi atresia juga dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:
a. Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan daerah dubur sehingga
bayi lahir tanpa lubang dubur.
b. Kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12
minggu/3 bulan.
c. Adanya gangguan atau berhentinya perkembangan embriologik
didaerah usus, rektum bagian distal serta traktus urogenitalis, yang
terjadi antara minggu keempat sampai keenam usia kehamilan.

D. PATOFISIOLOGI
Atresia ani atau anus imperforate dapat disebabkan karena :
a. Kegagalan pembentukan septum urorektal secara komplit karena
gangguan pertumbuhan, fusi atau pembentukan anus dari tonjolan
embrionik
b. Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan daerah dubur, sehingga
bayi lahir tanpa lubang dubur
c. Gangguan organogenesis dalam kandungan penyebab atresia ani,
karena ada kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia
12 minggu atau tiga bulan
d. Berkaitan dengan sindrom down
e. Atresia ani adalah suatu kelainan bawaan
f. Kegagalan migrasi dapat juga karena kegagalan dalam agenesis sakral
dan abnormalitas pada uretra dan vagina.
g. Tidak ada pembukaan usus besar yang keluar anus menyebabkan fecal
tidak dapat dikeluarkan sehingga intenstinal menyebabkan obstruksi.

E. PATHWAY

15
F. TANDA DAN GEJALA
Menurut Ngastiyah ( 1997 ) gejala yang menunjukan terjadinya atresia ani
atau anus .imperforata terjadi dalam waktu 24-48 jam. Gejala itu dapat
berupa:
1. Perut kembung.
2. Muntah.
3. Tidak bisa buang air besar
4. Pada pemeriksaan radiologis dengan posisi tegak serta terbalik dapat
dilihat sampai dimana terdapat penyumbatan. 

16
5. Tidak dapat atau mengalami kesulitan mengeluarkan mekonium
(mengeluarkan tinja yang menyerupai pita).
6. Perut membuncit.

Tanda dan gejala Menurut Betz, dkk. 2002 :


- Mekonium tidak keluar dalam 24 jam pertama setelah kelahiran.
- Tidak dapat dilakukan pengukuran suhu rectal pada bayi.
- Mekonium keluar melalui sebuah fistula atau anus yang salah letaknya.
- Distensi bertahap dan adanya tanda-tanda obstruksi usus (bila tidak
ada fistula).
- Bayi muntah-muntah pada umur 24-48 jam.
- Pada pemeriksaan rectal touché terdapat adanya membran anal.
- Perut kembung. ( Betz, dkk. 2002)

G. PENATALAKSANAAN
a. Pembedahan
Terapi pembedahan pada bayi baru lahir bervariasi sesuai dengan
keparahan kelainan. Semakin tinggi gangguan, semakin rumit prosedur
pengobatannya. Untuk kelainan dilakukan kolostomi beberapa lahir,
kemudian anoplasti perineal yaitu dibuat anus permanen (prosedur
penarikan perineum abnormal) dilakukan pada bayi berusia 12 bulan.
Pembedahan ini dilakukan pada usia 12 bulan dimaksudkan untuk
memberi waktu pada pelvis untuk membesar dan pada otot-otot untuk
berkembang.
Tindakan ini juga memungkinkan bayi untuk menambah berat badan
dan bertambah baik status nutrisnya. Gangguan ringan diatas dengan
menarik kantong rectal melalui afingter sampai lubang pada kulit anal
fistula, bila ada harus tutup kelainan membranosa hanya memerlukan
tindakan pembedahan yang minimal membran tersebut dilubangi
degan hemostratau skapel.
b. Pengobatan.
1. Aksisi membran anal (membuat anus buatan)

17
2. Fiktusi yaitu dengan melakukan kolostomi sementara dan setelah
3. bulan dilakukan korksi sekaligus (pembuat anus permanen)
c. Keperawatan
Kepada orang tua perlu diberitahukan mengenai kelainan pada
anaknya dan keadaan tersebut dapat diperbaiki dengan jalan operasi.
Operasi akan dilakukan 2 tahap yaitu tahap pertama hanya dibuatkan
anus buatan dan setelah umur 3 bulan dilakukan operasi tahapan ke 2,
selain itu perlu diberitahukan perawatan anus buatan dalam menjaga
kebersihan untuk mencegah infeksi serta memperhatikan kesehatan
bayi. (Staf Pengajar FKUI. 205).

H. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
a.  Pemeriksaan rectal digital dan visual adalah pemeriksaan diagnostik
yang umum dilakukan pada gangguan ini.  Pemeriksaan fisik rectum
kepatenan rectal dapat dilakukan colok dubur dengan menggunakan
selang atau jari.
b.  Jika ada fistula, urin dapat diperiksa untuk memeriksa adanya sel-sel
epitel mekonium.
c.  Pemeriksaan sinyal X lateral infeksi (teknik wangensteen-rice) dapat
menunjukkan adanya kumpulan udara dalam ujung rectum yang buntu
pada mekonium yang mencegah udara sampai keujung kantong rectal.
d.  Ultrasound dapat digunakan untuk menentukan letak rectal kantong. 
Ultrasound    terhadap abdomen Digunakan untuk melihat fungsi organ
internal terutama dalam system pencernaan dan mencari adanya faktor
reversible seperti obstruksi oleh karena massa tumor.
e.  Aspirasi jarum untuk mendeteksi kantong rectal dengan menusukan
jarum tersebut sampai melakukan aspirasi, jika mekonium tidak keluar
pada saat jarum sudah masuk 1,5 cm Derek tersebut dianggap defek
tingkat tinggi.
f.  Pemeriksaan radiologis dapat ditemukan
Udara dalam usus berhenti tiba-tiba yang menandakan obstruksi di
daerah tersebut.Tidak ada bayangan udara dalam rongga pelvis pada

18
bagian baru lahir dan gambaran ini harus dipikirkan kemungkinan
atresia reftil/anus impoefartus, pada bayi dengan anus impoefartus.
Udara berhenti tiba-tiba di daerah sigmoid, kolon/rectum. Dibuat foto
anterpisterior (AP) dan lateral. Bayi diangkat dengan kepala dibawah
dan kaki diatas pada anus benda bang radio-opak, sehingga pada foto
daerah antara benda radio-opak dengan dengan bayangan udara
tertinggi dapat diukur.
g.  Sinar X terhadap abdomen
Dilakukan untuk menentukan kejelasan keseluruhan bowel dan untuk
mengetahui jarak pemanjangan kantung rectum dari sfingternya.
h.  Ultrasound terhadap abdomen
Digunakan untuk melihat fungsi organ internal terutama dalam system
pencernaan dan mencari adanya faktor reversible seperti obstruksi oleh
karena massa tumor.
i.   CT Scan
Digunakan untuk menentukan lesi.
j.  Pyelografi intra vena
Digunakan untuk menilai pelviokalises dan ureter.
k.  Pemeriksaan fisik rectum
Kepatenan rectal dapat dilakukan colok dubur dengan menggunakan
selang atau jari.
l.  Rontgenogram abdomen dan pelvis
Juga bisa digunakan untuk mengkonfirmasi adanya fistula yang
berhubungan dengan traktus urinarius.

I. PROGNOSIS
Sebagian besar prognosis dari atresia ani biasanya baik bila didukung
perawatan yang tepat dan juga tergantung kelainan letak anatomi saat
lahir.
Untuk anak-anak yang memiliki hasil yang buruk untuk kontinensia dan
sembelit dari operasi awal, operasi lebih lanjut untuk lebih membentuk
sudut antara anus dan rektum dapat meningkatkan penahanan dan, bagi

19
mereka dengan rektum besar, operasi untuk mengangkat bahwa segmen
membesar secara signifikan dapat meningkatkan kontrol usus untuk
pasien. Mekanisme enema antegrade dapat dibentuk dengan bergabung
lampiran ke kulit (Malone stoma), namun, mendirikan anatomi lebih
normal adalah prioritas.
Biasanya dokter dapat membuat diagnosis visual yang jelas atesia dubur
setelah lahir. Kadang-kadang, bagaimanapun, atresia anus yang tidak
terjawab sampai bayi makan dan tanda-tanda obstruksi usus muncul. Pada
akhir hari pertama atau kedua, perut membengkak dan ada muntah feces.
Untuk menentukan jenis atresia anal dan posisi yang tepat, sinar x akan
diambil yang meliputi menyuntikkan pewarna ke dalam pembukaan
buram. Magnetic Resonance Imaging (MRI) atau computed tomography
scan (CT), serta USG, adalah teknik pencitraan yang digunakan untuk
menentukan jenis dan ukuran atresia anus. USG menggunakan gelombang
suara, CT scan sinar x lulus melalui tubuh pada sudut yang berbeda, dan
MRI menggunakan medan magnet dan gelombang radio.
J. KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita atresia ani antara lain :
             a. Asidosis hiperkioremia.
b. Infeksi saluran kemih yang bisa berkepanjangan.
c. Kerusakan uretra (akibat prosedur bedah).
Komplikasi jangka panjang :
a. Eversi mukosa anal
b. Stenosis (akibat kontriksi jaringan perut dianastomosis)
c. Masalah atau kelambatan yang berhubungan dengan toilet training.
d. Inkontinensia (akibat stenosis awal atau impaksi)
e. Prolaps mukosa anorektal.
f. Fistula kambuan (karena ketegangan diare pembedahan dan infeksi).
(Ngustiyah, 1997 : 248)

K. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian

20
a.      Biodata klien.
b.      Riwayat keperawatan.
1) Riwayat keperawatan/ kesehatan sekarang.
2) Riwayat kesehatan masa lalu.
c.       Riwayat psikologis.
Koping keluarga dalam menghadapi masalah.
d.      Riwayat tumbuh kembang anak.
1) BB lahir abnormal.
2) Kemampuan motorik halus, motorik kasar, kognitif dan
tumbuh kembang pernah mengalami trauma saat sakit.
3) Sakit kehamilan mengalami infeksi intrapartal.
4) Sakit kehamilan tidak keluar mekonium.
e.       Riwayat sosial.
f.       Pemeriksaan fisik.
g.       Pemeriksaan penunjang
Untuk memperkuat diagnosis sering diperlukan pemeriksaan
penunjang sebagai berikut:
1)      Pemeriksaan radiologis
Dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya obstruksi
intestinal.
2)      Sinar X terhadap abdomen
Dilakukan untuk menentukan kejelasan keseluruhan bowel
dan untuk mengetahui jarak pemanjangan kantung rektum
dari sfingternya.
3)      Ultrasound terhadap abdomen
Digunakan untuk melihat fungsi organ internal terutama
dalam sistem pencernaan dan mencari adanya faktor
reversible seperti obstruksi oleh karena massa tumor.
4)      CT Scan
Digunakan untuk menentukan lesi.
5)      Pyelografi intra vena
Digunakan untuk menilai pelviokalises dan ureter.

21
6)      Pemeriksaan fisik rectum
Kepatenan rektal dapat dilakukan colok dubur dengan
menggunakan selang atau jari.
7)      Rontgenogram abdomen dan pelvis
Juga bisa digunakan untuk mengkonfirmasi adanya fistula
yang berhubungan dengan traktus urinarius.

2. Diagnosa keperawatan
Diagnosa preoperasi:
a. Konstipasi berhubungan dengan aganglion.
b. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan intake
yang tidak adekuat, muntah.
c. Cemas orang tua berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang
penyakit dan prosedur perawatan.

Diagnosa postoperasi:
a. Nyeri berhubungan dengan trauma pembedahan/ insisi luka.
b. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan terdapat stoma
sekunder dari kolostomi.
c. Resiko infeksi berhubungan dengan masuknya mikroorganisme
sekunder terhadap luka kolostomi.
d. Perubahan pola eliminasi berhubungan dengan kolostomi.
e. Kurang pengetahuan berhubungan dengan perawatan di rumah.

3. Intervensi keperawatan
Perencanaan keperawatan pada diagnosa preoperasi:
a. Konstipasi berhubungan dengan aganglion.
Tujuan (NOC) : Klien mampu mempertahankan pola eliminasi
BAB dengan teratur.
Kriteria hasil:
1)      Penurunan distensi abdomen.
2)      Meningkatnya kenyamanan.

22
Intervensi (NIC) :
1)      Lakukan enema atau irigasi rektal.
2)      Kaji bising usus dan abdomen.
3)      Ukur lingkar abdomen.
b. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan intake
yang tidak adekuat, muntah.
Tujuan (NOC) : Klien dapat mempertahankan keseimbangan
cairan.
Kriteria hasil:
1)      Output urin 1-2 ml/ Kg/ Jam.
2)      Capillary refill 3-5 detik.
3)      Turgor kulit baik.
4)      Membran mukosa lembab.
Intervensi (NIC) :
1)      Pantau TTV.
2)      Monitor intake-output cairan.
3)      Lakukan pemasangan infus dan berikan cairan IV.
c. Cemas orang tua berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang
penyakit dan prosedur perawatan.
Tujuan (NOC) : Kecemasan orang tua dapat berkurang.
Kriteria hasil:
1)      Klien tidak lemas.
Intervensi (NIC) :
1) Jelaskan dengan istilah yang dimengerti oleh orang tua tentang
anatomi dan fisiologi saluran pencernaan normal.
2) Beri jadwal studi diagnosa pada orang tua.
3) Beri informasi pada orang tua tentang operasi kolostomi.

Perencanaan keperawatan pada diagnosa postoperasi:


a. Nyeri berhubungan dengan teruma pembedahan/ insisi luka.
Tujuan (NIC) : Rasa nyeri teratasi/ berkurang.
Kriteria hasil:

23
1)      Klien tampak tenang dan merasa nyaman.
2)      Klien tidak meringis kesakitan.
Intervensi (NIC) :
1)      Kaji skala nyeri.
2)      Kaji lokasi, waktu dan intensitas nyeri.
3)      Berikan lingkungan yang tenang.
4)      Atur posisi klien.
5)      Kolaborasi dalam pemberian antibiotik.
b. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan terdapat stoma
sekunder dari kolostomi.
Tujuan (NOC) : Tidak ditemukan tanda-tanda kerusakan kulit
lebih lanjut.
Kriteria hasil:
1)      Penyembuhan luka tepat waktu.
2)      Tidak terjadi kerusakan di daerah sekitar anoplasti.
Intervensi (NIC) :
1)      Kaji area stoma.
2)      Anjurkan pasien untuk menggunakan pakaian lembut dan
longgar pada area stoma.
3)      Tanyakan apakah ada keluhan gatal sekitar stoma.
4)      Kosongkan kantong kolostomi setelah terisi ¼ atau ⅓
kantong.
5)      Lakukan perawatan luka kolostomi.
c. Resiko infeksi berhubungan masuknya mikroorganisme sekunder
terhadap luka kolostomi.
Tujuan (NOC) : Tidak terjadi infeksi.
Kriteria hasil:
1)      Tidak ada tanda-tanda infeksi.
2)      TTV normal.
3)      Leukosit normal.
Intervensi (NIC) :
1)      Kaji adanya tanda-tanda infeksi.

24
2)      Pantau TTV.
3)      Pantau hasil laboratorium.
4)      Kolaborasi dalam pemeriksaan laboratorium.
5)      Kolaborasi dalam pemberian antibiotik.
d. Perubahan eliminasi berhubungan kolostomi.
Tujuan (NOC) : Gangguan pola eliminasi teratasi.
Kriteria hasil:
1)      BAB normal.
2)      Frekuensi buang air besar 1-2x/ hari.
Intervensi:
1)      Kaji pola dan kebiasaan buang air besar.
2)      Kaji faktor penyebab konstipasi/ diare.
3)      Anjurkan orang tua klien untuk memberi minum banyak dan
mengandung tinggi serat jika konstipasi.
4)      Lakukan perawatan kolostomi.
e. Kurang pengetahuan berhubungan dengan perawatan di rumah.
Tujuan (NOC) : Pasien dan keluarga memahami perawatan di
rumah.
Kriteria hasil:
1)      Menunjukkan kemampuan untuk memberikan perawatan
kolostomi dirumah.
Intervensi (NIC) :
1)      Ajarkan perawatan kolostomi dan partisipasi dalam
perawatan sampai mereka dapat melakukan perawatan.
2)      Ajarkan untuk mengenal tanda-tanda dan gejala yang perlu
dilaporkan perawat.
3)      Ajarkan bagaimana memberikan pengamanan pada bayi dan
melakukan dilatasi pada anal secara tepat.
4)      Ajarkan cara perawatan luka yang tepat.
5)      Latih pasien untuk kebiasaan defekasi.
6)      Ajarkan pasien dan keluarga untuk memodifikasi diit
(misalnya serat).

25
4. Pelaksanaan keperawatan
Tahap pelaksanaan merupakan tahap ke empat dari proses keperawatan
dengan melaksanakann berbagai strategi keperawatan (tindakan
keperawatan) yang telah direncanakan dalam rencana tindakan
keperrawatan. Dalam tahap ini, perawat harus mengetahui berbagai hal
di antaranya bahaya-bahaya fisik dan perlindungan pada klien, tehnik
komunikasi, kemampuan dalam prosedur tindakan, pemahaman
tentang hak-hak dari pasien serta dalam memahami tingkat
perkembangan pasien. Dalam pelaksanaan rencana tindakan terdapat
dua jenis tindakan, yaitu tindakan jenis mandiri dan tindakan
kolaborasi (Hidayat, A. Aziz Alimul, 2008: 122).

5. Evaluasi keperawatan
Tahap evaluasi adalah perbandingan hasil-hasil yang diamati dengan
kriteria hasil yang dibuat pada tahap perencanaan. Kemampuan yang
harus dimiliki perawat pada tahap ini adalah memahami respon
terhadap intervensi keperawatan, kemampuan mengembalikan
kesimpulan tentang tujuan yang dicapai serta kemampuan dalam
menghubungkan tindakan keperawatan pada kriteria hasil. Pada tahap
evaluasi ini terdiri dari 2 kegiatan yaitu:
a. Evaluasi formatif menyatakan evaluasi yang dilakukan pada saat
memberikan intervensi dengan respon segera.
b. Evaluasi sumatif merupakan rekapitulasi dari hasil observasi dan
analisis status klien pada waktu tertentu berdasarkan tujuan yang
direncanakan pada tahap perencanaan. Di samping itu, evaluasi
juga sebagai alat ukur suatu tujuan yang mempunyai kriteria
tertentu yang membuktikan apakah tujuan tercapai, tidak tercapai
atau tercapai sebagian.
1)      Tujuan tercapai

26
Tujuan dikatakan tercapai bila klien telah menunjukan
perubahan dan kemajuan yang sesuai dengan kriteria yang telah
ditetapkan.
2)      Tujuan tercapai sebagian
Tujuan ini dikatakan tercapai sebagian apabila tujuan tidak
tercapai secara keseluruhan sehingga masih perlu dicari
berbagai masalah atau penyebabnya, seperti klien dapat makan
sendiri tetapi masih merasa mual. Setelah makan bahkan
kadang-kadang muntah.
3)      Tujuan tidak tercapai
Dikatakan tidak tercapai apabila tidak menunjukan adanya
perubahan kearah kemajuan sebagaimana kriteria yang
diharapkan.

Adapun evaluasi akhir yang ingin dicapai dari tiap-tiap diagnosa


adalah:
a.       Klien mampu mempertahankan pola eliminasi BAB dengan
teratur.
b.      Klien dapat mempertahankan keseimbangan cairan.
c.       Kecemasan orang tua dapat berkurang.
d.      Rasa nyeri teratasi/ berkurang.
e.       Tidak ditemukan tanda-tanda kerusakan kulit lebih lanjut.
f.       Tidak terjadi infeksi.
g.       Gangguan pola eliminasi teratasi.
h.      Pasien dan keluarga memahami perawatan di rumah

27
BAB III PENUTUP
KESIMPULAN
Demam tifoid adalah penyakit menular yang bersifat akut, yang ditandai
dengan bakterimia, perubahan pada sistem retikuloendotelial yang bersifat
difus, pembentukan mikroabses dan ulserasi Nodus peyer di distal ileum.
(Soegeng Soegijanto, 2002)
Atresia ani adalah kelainan congenital anus dimana anus tidak mempunyai
lubang untuk mengeluarkan feces karena terjadi gangguan pemisahan kloaka
yang terjadi saat kehamilan. Walaupun kelainan lubang anus akan mudah
terbukti saat lahir, tetapi kelainan bisa terlewatkan bila tidak ada pemeriksaan
yang cermat atau pemeriksaan perineum.

28
DAFTAR PUSTAKA

Arif Mansjoer, Suprohaitan, Wahyu Ika W, Wiwiek S. Kapita Selekta


Kedokteran. Penerbit Media Aesculapius.FKUI Jakarta. 2000.
Arjatmo Tjokronegoro & Hendra Utama.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.Jilid I.
Edisi ke Tiga.FKUI. Jakarta. 1997.
Behrman Richard. Ilmu Kesehatan Anak. Alih bahasa: Moelia Radja Siregar &
Manulang. Editor: Peter Anugrah. EGC. Jakarta. 1992.
Betz, Cealy L. & Linda A. Sowden. (2002). Buku Saku Keperawatan Pediatrik.
Edisike-3. Jakarta : EGC.
http://ilmubedah.wordpress.com/2010/02/23/atresia-ani/
Joss, Vanda dan Rose, Stephan.Penyajian Kasus pada Pediatri.Alih bahasa
Agnes Kartini.Hipokrates. Jakarta. 1997.
Ranuh, Hariyono dan Soeyitno, dkk.Buku Imunisasi Di Indonesia, edisi pertama.
Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta. 2001.
Samsuridjal Djauzi dan Heru Sundaru.Imunisasi Dewasa. FKUI. Jakarta. 2003.
Sjamsuhidayat.Buku Ajar Ilmu Bedah.Edisi revisi.EGC. Jakarta. 1998.
Soegeng Soegijanto. Ilmu Penyakit Anak, Diagnosa dan Penatalaksanaan.
Salemba Medika. Jakarta. 2002.
Suriadi & Rita Yuliani.Buku Pegangan Praktek Klinik Asuhan Keperawatan
pada Anak.Edisi I. CV Sagung Seto. Jakarta. 2001.
Widiastuti Samekto. Belajar Bertolak dari Masalah Demam Typhoid. Badan
Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang. 2001.
Wong, Donna L. (2003). Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik. Sri
Kurnianianingsih (ed), Monica Ester (Alih Bahasa). edisi ke-4. Jakarta : EGC

29

Anda mungkin juga menyukai

  • Contoh Askep Keluarga Dengan Dewasa Awal
    Contoh Askep Keluarga Dengan Dewasa Awal
    Dokumen20 halaman
    Contoh Askep Keluarga Dengan Dewasa Awal
    Anonymous dZS18S
    Belum ada peringkat
  • Penyakit Eksim
    Penyakit Eksim
    Dokumen13 halaman
    Penyakit Eksim
    Anonymous dZS18S
    Belum ada peringkat
  • PENYULUHAN Dermatitis
    PENYULUHAN Dermatitis
    Dokumen7 halaman
    PENYULUHAN Dermatitis
    Anonymous dZS18S
    Belum ada peringkat
  • HIPOGLIKEMI
    HIPOGLIKEMI
    Dokumen12 halaman
    HIPOGLIKEMI
    Anonymous dZS18S
    Belum ada peringkat
  • Cara Perawatan Tali Pusat
    Cara Perawatan Tali Pusat
    Dokumen3 halaman
    Cara Perawatan Tali Pusat
    Anonymous dZS18S
    Belum ada peringkat
  • Askep Hipoglikemi
    Askep Hipoglikemi
    Dokumen8 halaman
    Askep Hipoglikemi
    YunittaMuassasSari
    Belum ada peringkat
  • LP Hipoglikemi
    LP Hipoglikemi
    Dokumen19 halaman
    LP Hipoglikemi
    Anonymous dZS18S
    Belum ada peringkat
  • Tuna Grahita
    Tuna Grahita
    Dokumen13 halaman
    Tuna Grahita
    Anonymous dZS18S
    Belum ada peringkat
  • Pathway
    Pathway
    Dokumen1 halaman
    Pathway
    Anonymous dZS18S
    Belum ada peringkat
  • Hemodialisa
    Hemodialisa
    Dokumen14 halaman
    Hemodialisa
    YunittaMuassasSari
    Belum ada peringkat
  • Artikel Buletin Litbang
    Artikel Buletin Litbang
    Dokumen1 halaman
    Artikel Buletin Litbang
    YunittaMuassasSari
    Belum ada peringkat
  • Askep Hipoglikemi
    Askep Hipoglikemi
    Dokumen8 halaman
    Askep Hipoglikemi
    YunittaMuassasSari
    Belum ada peringkat
  • Contoh Perumusan Masalah
    Contoh Perumusan Masalah
    Dokumen2 halaman
    Contoh Perumusan Masalah
    Anonymous dZS18S
    Belum ada peringkat
  • Cairan
    Cairan
    Dokumen17 halaman
    Cairan
    Anonymous dZS18S
    Belum ada peringkat
  • Colic Abdomen
    Colic Abdomen
    Dokumen5 halaman
    Colic Abdomen
    Anonymous gzNNsc
    Belum ada peringkat
  • HIPOGLIKEMI
    HIPOGLIKEMI
    Dokumen12 halaman
    HIPOGLIKEMI
    Anonymous dZS18S
    Belum ada peringkat
  • Askep Waham
    Askep Waham
    Dokumen22 halaman
    Askep Waham
    Anonymous dZS18S
    Belum ada peringkat
  • Pathway
    Pathway
    Dokumen1 halaman
    Pathway
    Anonymous dZS18S
    Belum ada peringkat
  • LP Hipoglikemi
    LP Hipoglikemi
    Dokumen19 halaman
    LP Hipoglikemi
    Anonymous dZS18S
    Belum ada peringkat
  • Asfiksi Isi
    Asfiksi Isi
    Dokumen20 halaman
    Asfiksi Isi
    Anonymous dZS18S
    Belum ada peringkat
  • Asfiksi Cover
    Asfiksi Cover
    Dokumen3 halaman
    Asfiksi Cover
    Anonymous dZS18S
    Belum ada peringkat
  • Kolik Abdomen
    Kolik Abdomen
    Dokumen19 halaman
    Kolik Abdomen
    Anonymous dZS18S
    Belum ada peringkat
  • NASOFARING
    NASOFARING
    Dokumen16 halaman
    NASOFARING
    Anonymous dZS18S
    Belum ada peringkat
  • Kolik Abdomen 1
    Kolik Abdomen 1
    Dokumen6 halaman
    Kolik Abdomen 1
    Anonymous dZS18S
    Belum ada peringkat
  • Askep DPD
    Askep DPD
    Dokumen14 halaman
    Askep DPD
    ISNAENI
    Belum ada peringkat
  • Latar Belakang Obstruksi
    Latar Belakang Obstruksi
    Dokumen1 halaman
    Latar Belakang Obstruksi
    Anonymous dZS18S
    Belum ada peringkat
  • BIOLOGI Kehidupan
    BIOLOGI Kehidupan
    Dokumen38 halaman
    BIOLOGI Kehidupan
    Anonymous dZS18S
    Belum ada peringkat
  • Kematian Sel
    Kematian Sel
    Dokumen35 halaman
    Kematian Sel
    Noer Roman
    Belum ada peringkat
  • LP+ASKEP ARDS-revisi OK
    LP+ASKEP ARDS-revisi OK
    Dokumen16 halaman
    LP+ASKEP ARDS-revisi OK
    Anonymous dZS18S
    Belum ada peringkat