UU PM No. 25 Tahun 2007 tidak memberikan batas waktu lamanya berdiri sebuah
perusahaan patungan.
Sampai tahun 1994 Indonesia menerapkan kebijakan modal minimum bagi perusahaan
penanaman modal asing (termasuk joint venture). Jumlah minimum modal bagi PMA
ditetapkan sebesar USD 1.000.000,- (satu juta dolar AS).
PP No. 20 Tahun 1994 tentang Pemilikan Saham dalam Perusahaan yang Didirikan
dalam Rangka Penanaman Modal Asing yang berlaku sampai saat ini, menghapuskan
ketentuan kewajiban modal minimum bagi PMA. Namun tidak berarti bahwa tidak ada
aturan tentang pemasukan modal.
Pasal 2 ayat (1) PP No. 20 Tahun 1994 memberikan hak kepada pemerintah (BKPM)
untuk menetapkan jumlah modal yang sesuai dengan kelayakan ekonomi kegiatan usaha
PMA yang bersangkutan.
Ketentuan ini tidak berlaku untuk usaha perbankan. Untuk usaha perbankan jumlah
modal ditentukan melalui UU Perbankan atau ketentuan pelaksananya.
Sampai tahun 1994 Pemerintah RI menetapkan komposisi pemilikan
saham yang wajib dimiliki oleh warga negara atau badan hukum Indonesia
dalam usaha joint venture adalah sebesar minimum 20 % saham. Dengan
kata lain perbandingan minimum pemilikan saham pada saat usaha joint
venture didirikan adalah 80 % asing : 20 % domestik.
PP No. 20 Tahun 1994 tidak lagi menentukan jangka waktu divestasi saham
asing. Masalah terkait dengan divestasi saham asing diserahkan kepada para
pihak. Oleh karena itulah peran kontrak joint venture sangat penting dalam
mengatur hal-hal terkait dengan divestasi.
Hal yang penting diperhatikan, antara lain : tata cara divestasi, penilaian harga
saham pada saat divestasi.
Kontrak joint venture melibatkan lebih dari satu pihak yang berjanji untuk
mendirikan sebuah perusahaan. Dengan demikian akan muncul sejumlah hak
dan kewajiban para pihak.
Alih teknologi terkait erat dengan masalah joint venture. Dan untuk sebagian
kontrak joint venture ada yang mengatur tentang proses alih teknologi yang
dimiliki oleh peserta asing kepada peserta Indonesia (ic. Tenaga kerja
Indonesia).
Ada baiknya diatur tentang tata cara pengalihan teknologiatau know how yang
dibawa oleh mitra asing kepada tenaga Indonesia dalam kontrak joint venture.
Namun umumnya mitra asing kurang tertarik dengan klausula alih teknologi.
Yang sering terjadi adalah masalah alih teknologi disusun dalam kontrak
tersendiri, karena hal ini lebih menguntungkan bagi mitra asing. Kontrak seperti
ini umumnya mengatur tentang tata cara alih teknologi, kerahasiaan, biaya alih
teknologi, cara pembayaran, dan perlindungan atas hak kekayaan intelektual
bagi pemiliki teknologi.
Alih teknologi secara nasional umum gagal terjadi di Indonesia, karena banyak
faktor antara lain :
Klausula seperti ini sangat dikehendaki oleh perserta asing, karena umumnya
mereka membawa sejumlah informasi yang bernilai komersial pada saat
pendirian perusahaan. Misalnya business plan yang mereka susun dengan
mempergunakan tenaga konsultan bisnis, hasil studi kelayakan usaha, cara
produksi, sistem manajemen, dll. Mereka mengingkan informasi seperti itu
dirahasiakan dari pihak lain.
Jika perusahaan gagal dibentuk umumnya diatur bahwa mitra Indonesia tidak
diperkenankan mempergunakan informasi yang mereka miliki, kecuali jika ada
kompensasi tertentu bagi mitra asing.
Harus diatur secara tegas bagaimana cara pemutusan kontrak, dan apakah
dimungkinkan pemutusan secara sepihak, dan apa konsekuensinya jika ada
pihak yang memutuskan secara sepihak.
Oleh karena itu selain mekanisme atau proses yang jelas tentang pemutusan
kontrak, harus pula diatur konsekuensinya, atau kompensasi tertentu jika
terjadipemutusan sepihak.
Dalam kontrak joint venture juga selalu diatur tentang pembubabaran perusahaan.
Klausula ini berisikan tentang tata cara pembubaran, likuidasi, dan konsekuensi
hukumnya bagi para pihak, juga konsekuensi terhadap pihak ketiga, termasuk karyawan,
yang harus dipenuhi oleh para pihak atau perusahaan joint venture yang terbentuk.
Sebenarnya masalah ini juga akan diatur dalam AD perusahaan joint venture, tetapi lebih
baik jika dalam kontrak joint venture pun diatur secara lebih lengkap. Mungkin ada
keadaan-keadaan yang tidak tercover oleh AD, sehingga penyelesaiannya dapat dilihat
ke dalam kontrak joint venture.
Umumnya penyelesaian sengketa dalam perusahaan patungan menggunakan
jasa lembaga arbitrase internasional. Tentang lembaga tersebut diserahkan
kepada kesepakatan para pihak. Misalnya arbitrase yang ada di Inggris,
Singapura dll.
Technical
• bagaimana ketentuan tentang tehnical assistence dan know how
Assistance dan • lisensi, paten, merek, dan lain sebagainya
Know How
PERUSAHAAN PATUNGAN (JOINT ENTERPRISE)
Pendirian
•Mekanisme pengakhiran
Joint Pengakhiran perjanjian secara sepihak
Venture Perjanjian • konsekuensi
Agreement