Dosen Pengampu :
Drs. A. Muhid, M.Pd.
DISUSUN OLEH
NAMA : VIRA TANIA SANABILA
NIM : 2000874201101
KELAS : A3
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS BATANGHARI JAMBI
2021
KATA PENGANTAR
rahmatNya lah penulis dapat menyelesaikan makalah sebagai bentuk tugas yang
berjudul “Ijtihad Dalam Konsep Hukum Islam” dapat terselesaikan dengan lancar.
ini. Kepada bapak dosen yang selalu memberikan petunjuk dan menuntun kami
Walaupun makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, maka dari itu
dengan tangan terbuka saya menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar
Sebagai penyusun saya berharap bahwa makalah ini bisa bermanfaat bagi
kita semua. Akhirnya kata saya ucapkan terima kasih atas perhatian dari semua
pihak.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................... 1
A. Latar Belakang...................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah................................................................................. 1
C. Tujuan Penulisan.................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN................................................................................. 3
A. Kesimpulan........................................................................................... 15
B. Saran .................................................................................................... 15
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum dalam masyarakat manapun adalah bertujuan untuk
mengendalikan masyarakat. Ia adalah sebuah sistem yang ditegakkan terutama
untuk melindungi hak-hak individu maupun hak-hak masyarakat. Sistem
hukum di setiap masyarakat memiliki sifat, karakter dan ruang lingkup sendiri.
Sama halnya Islam memiliki sistem hukum sendiri yang dikenal dengan fiqh.
Hukum Islam bukanlah hukum murni dalam pengertiannya yang sempit; ia
mencakup seluruh bidang kehidupan-etika, keagamaan, politik dan ekonomi.
Ia bersumber dari wahyu Illahi. Wahyu menentukkan norma dan konsep dasar
hukum Islam serta dalam banyak hal merintis dobrakan terhada adat dan
sistem hukum kesukuan Arab pra-Islam.
Seiring dengan waktu dan berkembangnya zaman, banyak bermunculan
masalah, terutama masalah-masalah dalam agama. Sedangkan sebagian besar
dari masalah tersebut belum mendapatkan kejelasan hukum dalam Al-Quran
dan As-Sunnah. Maka manusia berusaha untuk mencari cara untuk
memutuskan masalah tersebut tentang baik buruknya.
Dan dalam bentuknya yang telah mengalami kemajuan, teori hukum
Islam (Islamic Legal Theory) mengenal berbagai sumber dan metode yang
darinya dan melaluinya hukum (Islam) diambil. Sumber-sumber yang darinya
hukum diambil adalah Al-Quran dan As-Sunnah Nabi, yang keduanya
memberikan materi hukum. Sedangkan, sumber-sumber yang melaluinya
hukum berasal adalah metode-metode ijtihad dan interpretasi, atau pencapaian
sebuah konsensus ( Ijma’, kesepakatan). Oleh karena itu, penulis membuat
makalah bertemakan ijtihad sebagai solusi dari pengambilan keputusan
hukum-hukum yang tidak terdapat dalam Al-Quran dan As-Sunnah.
Sekarang, dalam melakukan ijtihad, ruang lingkup qiyas haruslah
diperluas untuk menjadikannya lebih praktis dan mujarrab untuk
menyelesaikan persoalan-persoalan. Untuk membuka pintu ijtihad, yang
1
merupakan kebutuhan yang mendesak saat ini, ijtihad harus dilaksanakan oleh
para ahli yang berkompeten dengan bekerja sama dengan pemerintah (yang
Islamis) sehingga ia dapat diberlakukan menjadi perundang- undangan; kalau
tidak ia akan tetap tinggal bersifat teoritis semata-mata dan perbenturan antara
para ahli dan pemerintah akan terus berlangsung. Karena ijma’ memantapkan
dirinya hanya secara bertahap dan hampir secara tak terasa bersamaan dengan
jalannya waktu. Oleh karena itu, dalam makalah ini kami akan menyajikan
mengenai ijtihad dalam hukum Islam.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis merumuskan masalah sebagai
berikut:
1. Apa pengertian ijtihad dalam Islam ?
2. Apa fungsi ijtihad dalam Islam ?
3. Apa saja syarat-syarat dalam Istihad ?
4. Bagaimana dasar dan kedudukan ijtihad dalam Islam ?
5. Apa saja macam-macam ijtihad dalam hukum islam ?
6. Bagaimana metodologi pelaksanaan istihad dalam Islam ?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian ijtihad dalam Islam
2. Untuk mengetahui fungsi ijtihad dalam Islam
3. Untuk mengetahui apa saja syarat-syarat dalam Istihad
4. Untuk mengetahui bagaimana dasar dan kedudukan ijtihad dalam Islam
5. Untuk mengetahui apa saja macam-macam ijtihad dalam hukum islam
6. Untuk mengetahui bagaimana metodologi pelaksanaan istihad dalam
Islam
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
faqih) dalam mencari tahu tentang hukum-hukum syariat. Jadi dengan
demikian, ijtihad itu ialah perbuatan-perbuatan istimbath hukum syar’iyyah
dari segi dalil-dalilnya yang terperinci di dalam syari’at. (Dr. Wahbah
Az-Zuhailiy, h. 529)
Imam Al-Ghozaliy, yang diikuti juga oleh Khudloriy (Dr. Wahbah
591) mendefinisikan ijtihad itu dengan “usaha sungguh-sungguh dari
seorang mujtahid dengan sungguh-sungguh didalam rangka
mengetahui/ menetapkan tentang hukum-hukum syari’ah. Adapula yang
mengatakan, ijtihad itu ialah qiyas, tetapi oleh al-Ghozaliy di dalam al-
mustashfa (II/4 pendapat itu tidak disetujui menurutnya itu adalah keliru,
sebab ijtihad itu lebih umu daripada qiyas, sebab kadang-kadang ijtihad itu
memandang di dalam keumuan dan lafadz-lafadz yang pelik dan semua
jalan asillah (berdalil) selain daripada qiyas. Imam Syafi’i sendiri
menyebutkan bahwa dalam arti sempit qiyas itu juga adalah ijtihad.
4
persoalannya merupakan perkara yang tidak jelas atau tidak ada ketentuannya
dalam Al-Quran dan Hadits maka umat Islam memerlukan ijtihad, tapi yang
berhak membuat ijtihad adalah mereka yang paham Al-Quran dan Hadits
yang disebut dengan mujtahid.
5
2. Mengetahui persoalan-persoalan hukum yang menjadi objek
perbedaan pendapat ulama’ ( ma’rifah mawadhi’ al-khilaf)
3. Memiliki sifat takwa dan kesolehan ( shalah al-mujtahid wa ta’wa) [4].
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya),
dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan
Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya”. (QS.An-nisa:59)
dan firman-Nya yang lain :
“...Maka ambillah ibarat, wahai orang-orang yang mempunyai
pandangan”. (QS.Al-Hasyr : 2)
Menurut Firman Allah SWT pertama, yang dimaksud dengan
dikembalikan kepada Allah dan Rasul ialah bahwa bagi orang-orang yang
mempelajari Qur’an dan Hadits supaya meneliti hukum-hukum yang ada
alsannya, agar bisa diterapkan kepada peristiwa-peristiwa hukum yang
lain, dan hal ini adalah ijtihad. Pada firman kedua, orang-orang yang ahli
memahami dan merenungkan diperintahkan untuk mengambil ibarat, dan
hal ini berarti mengharuskan mereka untuk berijtihad. Oleh karena itu,
maka harus selalu ada ulama-ulama yang harus melakukan ijtihad.
(Jalaluddin Rahmat, Dasar Hukum Islam, hlm 163).
firman-Nya yang lain :
6
“Dan orang-orang yang berjihad untuk ( mencari keridlaan ) Kami,
benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.
Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat
baik”.( Q.S. Al-‘Ankabut:69 )
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan
membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan
apa yang telah Allah wahyukan kepadamu”. (Q.S.An-nisa:105)
2. Al-Hadits
- Sabda Nabi SAW. : “Ijtihadlah kamu, karena tiap-tiap orang akan
mudah mencapai apa yang diperuntukkan kepadanya” (Jalaluddin
Rahmat, Dasar Hukum Islam, hlm 163)
) (بخارى و مسلم.ٌاب فَلَهُ اَ ْج َرا ِن َواِ ِن ْجتَ َه َد فَا َ ْخطَأ َ فَلَهُ اَ ْج ٌر َوا ِحد
َ ص ْ اَ ْل َحا ِك ُم اِ َذا
َ َ اجتَ َه َد فَا
“Hakim apabila berijtihad kemudian dapat mencapai kebenaran maka
ia mendapat dua pahala (pahala melakukan ijtihad dan pahala
kebenaran hasilnya). Apabila ia berijtihad kemudian tidak mencapai
kebenaran, maka ia mendapat satu pahala (pahala melakukan
ijtihad)”.(Hadits riwayat Bukhari dan Muslim)
- Hadits yang menerangkan dialog Rasulullah SAW dengan Mu’adz bin
Jabal, ketika Muadz diutus menjadi hakim di Yaman berikut ini:
س ْو ُل هللاِ لَ َّما أَ َرا َد أَنْ يَ ْب َع َث ُم َعا ًذاُ ب ُم َعاذ ْب ِن َجبَ ِل إِنَّ َر ْ َس ِّمنْ اَ ْه ِل َح َمص ِمنْ أ
ِ ص َحا ٍ َ عَنْ أُنا
فَإِنْ لَ ْم ت َِج ْد فِي: قَا َل.ِب هللا ِ ضى بِ ِكتَا ِ أَ ْق:ضا ٌء؟ قَا َل َ ض إِ َذا َع َر
َ َض لَ َك ق ِ َكيْفَ تَ ْق:الِ َي ا ْليَ َم ِن قَا َل
ب هللاِ؟ِ س ْو ِل هللاِ َواَل ِفي ِكتَا ُ سنَّ ِة َر ُ فَإِنْ لَ ْم تَ ِج ْد ِفي: قَا َل.ِس ْو ِل هللا ُ ِ فَب:ب هللا؟ قَا َل
ُ سنَّ ِة َر ِ ِكتَا
س ْو ِل
ُ س ْو َل َر َ َّي َوف
ُ ق َر ْ اَ ْل َح ْم ُدهَّلِل ِ الَّ ِذ:ص ْد َرهُ َوقَا َل
َ ِس ْو ُل هللا
ُ ض َر َب َر َ َ ف. اَ ْجتَ ِه ُد َرا ْي ِئ َواَل آلُ ْو:قَا َل
.) (رواه ابوداود ِس ْو ُل هللا َ هللاِ لَ َّما يَ ْر
ُ ضي َر
“Diriwayatkan dari penduduk homs, sahabat Muadz ibn Jabal, bahwa
Rasulullah saw. Ketika bermaksud untuk mengutus Muadz ke Yaman,
beliau bertanya: apabila dihadapkan kepadamu satu kasus hukum,
bagaimana kamu memutuskannya?, Muadz menjawab:, Saya akan
memutuskan berdasarkan Al-Qur’an. Nabi bertanya lagi:, Jika kasus
itu tidak kamu temukan dalam Al-Qur’an?, Muadz menjawab:,Saya
akan memutuskannya berdasarkan Sunnah Rasulullah. Lebih lanjut
7
Nabi bertanya:, Jika kasusnya tidak terdapat dalam Sunnah Rasul dan
Al-Qur’an?,Muadz menjawab:, Saya akan berijtihad dengan seksama.
Kemudian Rasulullah menepuk-nepuk dada Muadz dengan tangan
beliau, seraya berkata:, Segala puji bagi Allah yang telah memberi
petunjuk kepada utusan Rasulullah terhadap jalan yang diridloi-
Nya.”(HR.Abu Dawud)
Berbeda dengan Al-Quran dan As-Sunnah, ijtihad terikat dengan
ketentuan-ketentuan berikut:
a. Pada dasarnya yang ditetapkan oleh ijtihad tidak dapat melahirkan
keputusan yang mutlak absolut. Sebab ijtihad merupakan aktifitas akal
pikiran manusia yang relatif. Sebagai produk pikiran manusia yang relatif,
maka keputusan daripada suatu ijtihad pun adalah relatif,
b. Sesuatu keputusan yang ditetapkan oleh ijtihad, mungkin berlaku bagi
seseorang tapi tidak berlaku bagi orang lain. Berlaku untuk satu
masa/tempat tapi tidak berlaku pada masa/tempat yang lain,
c. Ijtihad tidak berlaku dalam urusan penambahan ibadah mahdhah
(murni). Sebab urusan ibadah mahdhah hanya oleh Allah SWT dan
Rasulullah,
d. Keputusan ijtihad tidak boleh bertentangan dengan Al-Quran dan As-
Sunnah, dan
e. Dalam proses berijtihad hendaknya dipertimbangkan faktor-faktor
motivasi, akibat, kemaslahatan umum, kemanfaatan bersama, dan nilai-
nilai yang menjadi ciri dan jiwa daripada ajaran Islam.
Kedudukan ijtihad sebagai sumber hukum Islam adalah sebagai sumber
hukum ketiga setelah Al-Quran dan Al-Hadits.
8
Menurut al-Syathibi (w 770 H/1388 M), Tokoh Ulama Ushul Malikiyah
membagi menjadi dua:
1. Ijtihad Istinbathi
Ijtihad istinbathi adalah ijtihad yang dilakukan mendasarkan pada
nash-nash Syara` dalam meneliti dan menyimpulkan ide hukum yang
terkandung di dalamnya. Hasil ijtihad yang diperoleh tersebut selanjutnya
menjadi tolak ukur dan diterapkan dalam suatu permasalahan hukum yang
dihadapi . Oleh karena ijtihad ini berhadapan langsung dengan nash-nash
Syara` maka seorang mujtahid harus memenuhi persyaratan-persyaratan
untuk berijtihad dengan sempurna, karena sulitnya untuk mencapai
persyaratan-persyaratan itu menurut al-Sathibi mujtahid dalam ijtihad
istinbath di zaman modern ini kemungkinan terputus.
2. Ijtihad Tathbiqi
Jika ijtihad isthinbati mendasarkan pada nash-nash, maka ijtihad
tathbiqi mendasarkan pada suatu permasalahan yang terjadi dilapangan.
Dalam hal ini seorang mujtahid berhadapan langsung dengan objek hukum
dimana ide atau subtansi hukum dari produk ijtihad istinbathi akan
diterapkan.
Bagi seorang mujtahid ijtihad ini dituntut untuk memahami
Maqashid as-Syar`i secara mendalam, hal ini dimaaksudkan apakah ide
hukum yang dihasilkan jika diterapkan pada kaus yang dihadapi dapan
mencapai Maqashid as-Syar`i atau tidak.
Ijtihad dari segi relevansinya menurut Yusuf Qordlowi (ahli fiqih
kontemporer dari Mesir) bahwa ijtihad yang perlu kita lakukan untuk masa
kini ada dua macam:
1. Ijtihad Intiqa`i
Ijtihad Intiqa`i ialah memilih dari satu pendapat dari beberapa
pendapat terkuat yang terdapat dalam warisan fiqih islam yang penuh
dengan fatwa dan putusan hukum. Seorang mujtahid dengan upaya yang
cermat bisa memilih pendapat yang lebih kuat dan relevan untuk
diterapkan dewasa ini. Dalam hal ini seorang mujtahid tidak terikat oleh
9
salah satu pendapat ulama tertentu, akan tetapi ia melihat semua pendapat
yang ada, membandingkan dan meneliti dalil-dalil yang mereka
ketengahkan, kemudian secara obyektif memilih salah satu pendapat yang
paling kuat dan lebih cocok untuk diterapkan.
2. Ijtihad Insya’i
Ijtihad Insya’i ialah pengambilan kesimpulan hukum baru dari suatu
persoalan, yang pernah dikemukakan oleh ulama-ulama terdahulu, baik
persoalan baru atau lama. Jika masalah yang sedang dikaji itu baru yang
sama sekali belum pernah ditemukan kasus ataupun hukumnya dalam
khazanah fiqih islam, maka mujtahid Munsyi berupaya untuk menentukan
hukumnya dengan meneliti dan memahami secara menyeluruh kasus yang
dihadapi, sehingga dengan tepat ia akan menentukan hukumnya sesuai
yang dikehendaki tujuan Syari`at yang ada.
Jika masalah yang sedang dikaji oleh mujtahid Munsyi itu kasus dan
hukumnya pernah diketengahkan oleh para ulama sebelumnya, maka
seorang mujtahid Munsyi dapat melakukan ijtihad dengan mengeluarkan
pendapat baru diluar pendapat yang sudah ada.
Pembagian ijtihad, sebagaimana yang dijelaskan al-Syāthibi, terbagi
kepada tiga bagian dilihat dari segi dalil yang dijadikan pedoman, yaitu:
10
yang telah ada hukumnya, karena antara dua peristiwa itu ada kesamaan
dalam 'illat hukumnya, atau biasa disebut qiyās.
c. Ijtihad Istishlāhī, yaitu ijtihad yang dilakukan untuk menggali,
menemukan, dan merumuskan hukum syar'i dengan cara menetapkan
kaidah kulli untuk kejadian yang ketentuan hukumnya tidak terdapat dalam
nash –baik qath'i maupun zhanni-, dan tidak memungkinkan mencari
kaitannya dengan nash yang ada, juga belum diputuskan dalam ijma'.
Dasar pegangan dalam ijtihad macam ketiga ini hanyalah jiwa hukum
syara' yang bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan umat, baik dalam
bentuk mendatangkan manfaat.
Sedangkan melihat bentuk ijtihad dari sisi mungkin atau tidak mungkin
terhenti kegiatannya, al-Syatibi membaginya menjadi dua macam:
a. Pertama, ijtihad yang tidak mungkin terhenti kegiatannya. Ijtihad dalam
bentuk ini adalah yang disebut dengan tahqīq al-manāth atau ijtihad dalam
menjelaskan hukum.
b. Kedua, ijtihad yang mungkin terhenti kegiatannya. Pada bentuk kedua ini
terbagi menjadi dua bagian, yaitu (1) tanqīh al-manāth yang artinya upaya
mujtahid untuk memilih berbagai ‘illat yang ditemukan untuk ditetapkan
sebagai ide hukum suatu ayat, dan (2) takhrīj al-manāth yang artinya upaya
mujtahid untuk menggali berbagai ‘illat dari suatu hukum.
Kemudian ijtihad dilihat dari sisi hasil yang dicapai terbagi kepada dua
bentuk, yaitu:
a. Ijtihad mu’tabar, yaitu ijtihad yang secara hukum dapat dipandang sebagai
penemuan hukum, yakni ijtihad yang dihasilkan oleh pakar yang
mempunyai kemampuan untuk berijtihad berdasarkan syarat-syarat yang
ditetapkan.
b. Ijtihad ghairu mu’tabar, yaitu ijtihad yang secara hukum tidak dapat
dipandang sebagai cara dalam menemukan hukum. Ijtihad dalam bentuk
ini adalah ijtihad yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak mempunyai
kemampuan untuk berijtihad berdasarkan syarat-syarat yang telah
ditentukan.
11
F. Metodologi Pelaksanaan Ijtihad
12
a. Fatwa yang dikeliarkan oleh seorang faqih (ahli fiqih), hanya karena
dia merasa hal itu adalah benar,
b. Argumentasi dalam pikiran seorang faqih tanpa bisa diekspresikan
secara lisan olehnya,
c. Mengganti argumen dengan fakta yang dapat diterima untuk
maslahat orang banyak,
d. Tindakan memutuskan suatu perkara untuk mencegah kemudharatan,
dan
e. Tindakan menganalogikan suatu perkara di masyarakat terhadap
perkara yang ada sebelumnya.
4. Mashalihul Mursalah, yaitu menetapkan hukum terhadap
sesuatu persoalan ijtihadiyah atas pertimbangan kegunaan dan
kemanfaatan yang sesuai dengan tujuan syari’at. Perbedaan antara
istihsan dan mashalitul mursalah ialah, istihsan mempertimbangkan dasar
kemaslahatan (kebaikan) itu dengan disertai dalil Al-Quran atau Al-
Hadits yang umum, sedang mashalihul mursalah mempertimbangkan
dasar kepentingan dan kegunaan dengan tanpa adanya dalil yang secara
tertulis dalam Al-Quran atau Al-Hadits.
5. Urf, adalah sesuatu yang telah biasa berlaku, diterima, dan dianggap baik
oleh masyarakat. Juga didefinisikan sebagai tindakan menentukan masih
bolehnya suatu adat istiadat dan kebiasaan masyarakat setempat selama
kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan aturan-aturan prinsipal
dalam Al-Quran dan Al-Hadits.
6. Istishab, adalah menetapkan sesuatu menurut keadaan sebelumnya
sehingga terdapat dalil yang menunjukan perubahan keadaan, atau
menjadikan hukum yang telah ditetapkanpada masa lampau secara kekal
menurut keadaan sehingga teradapat dalil yang menunjukan atas
perubahannya. Jadi, istihab merupakan suatu tindakan menetapkan
berlakunya suatu ketetapan sampai ada alasan yang bisa mengubahnya.
7. Sududz Dzariah, yaitu tindakan memutuskan suatu yang
mubah menjadi makruh atau haram demi kepentingan umat.
13
8. Madzhab Shahabi, yaitu menetapkan suatu hukum terhadap
suatu persoalan ijtihadiyah atas pertimbangan pendapat para sahabat
tentang suatu kasus, yang tidak dijelaskan nash dan belum ada ijma’ para
sahabat yang menetapkan hukum tersebut.
9. Syar’un man qoblana, berarti syariat sebelum Islam.
10. Ta’arud Ad-Dilalah, artinya pertentangan (secara lahir dalam
pandangan mujtahid) antara satu dalil dengan dalil lainnya pada derajat
yang sama (ayat dengan ayat; atau antara sunah dengan sunah).
14
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ijtihad yang berasal dari kata (asal mulanya) ijtihada ( )دهتجاartinya ialah:
bersungguh-sungguh, rajin, giat. Sedang apabila kita meneliti ma’na ja-ha-
da, artinya ialah mencurahkan segala kemampuan. Jadi dengan demikian,
menurut bahasa ijtihad itu ialah berusaha atau berupaya yang sungguh-
sungguh. Syarat-syarat menjadi mujtahid itu ada tiga syarat, yakni yang
bersifat umum, utama, maupun pendukung
Ijtihad dilakukan oleh seorang faqih dengan optimal untuk menyatakan
hukum-hukum Syara` yang bersifat amaliah/praktis pada masalah-masalah
yang bersifat dzanni dan yang belum ada nash-nashnya sama sekali. Ijtihad itu
dibagi menjadi dua jika dilihat dari segi objek yang dikaji dan segi
relevansinya dengan masalah-masalah kontempor yaitu: ijtihad istinbathi dan
ijtihad tathbiqi, dan jika dilihat dari segi relevansinya yaitu: ijtihad intiqa`i dan
ijtihad Insya`i.
Macam-macam ijtihad yaitu: Ijma’, qiyas, istihsan, maslahah mursalah,
sududz zariah, istishab, dan ‘urf
B. Saran
Ijtihad merupakan khazanah keislaman harus terus kita lestarikan karena
jika tidak maka akan terjadi stagnasi. Hendakanya hukum Islam bisa
merealisasikan semboyanIslam rahmatalilalamin, yaitu bisa menyentuh segala
aspekkemanusiaan baik untuk orang Islam sendiri maupunnonmuslim. Hukum
Islam juga harus bisa merespon pesatnyakemajuan zaman dengan semakin
berkembangnya teknologi danilmu pengetahuan, agar hukum Islam bisa
berjalan sejajardengan realita masyarakat modern. Pada permasalahan
jinayahhendaknya tidak terkesan menguntungkan kaum Islam
tanpamemandang keberadaan nonmuslim, harus melihat aspekkeadilan yang
15
universal di hadapan hukum, aspek kemanusiaanyang luhur dan aspek
persamaan hak dimuka hukum
DAFTAR PUSTAKA
16
Al-Syathibi, Abu Ishaq Ibrahim ibn Musa al-Gharnati. al-Muwafaqat fi Ushul al-
Ahkam, Jilid 4. Dar al-Fikr.
Has, Abu Waf. 2013. Ijtihad Sebagai Alat Pemecahan Masalah Umat Isla,
(Sekolah Tinggi Keislaman Al-Hidayah (STIKA) Arjasa), Jurnal
Epistemé, Vol. 8, No. 1, Juni.
Qordlowi, Yusuf. Ijtihad Kontemporer: Kode Etik dan Berbagai Penyimpangan.
Risalah Gusti.
Syafe’i, Rahmat. 1999. Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta: Pustaka Setia.
Syarifuddin, Amir. 1999. Ushul Fiqh, Jilid II Cet. I. Jakarta: PT Logos Wacana
Ilmu.
17