Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH HUKUM ISLAM

IJTIHAD DALAM KONSEP HUKUM ISLAM

Dosen Pengampu :
Drs. A. Muhid, M.Pd.

DISUSUN OLEH
NAMA : VIRA TANIA SANABILA
NIM : 2000874201101
KELAS : A3

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS BATANGHARI JAMBI
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah Subhanahu Wata’ala karena atas berkah

rahmatNya lah penulis dapat menyelesaikan makalah sebagai bentuk tugas yang

berjudul “Ijtihad Dalam Konsep Hukum Islam” dapat terselesaikan dengan lancar.

Penulis juga berterima kasih kepada kedua orang-tua yang senantiasa

mendukung, membimbing, dan menyemangati penulis untuk menyelesaikan tugas

ini. Kepada bapak dosen yang selalu memberikan petunjuk dan menuntun kami

dengan sabar agar makalah ini dapat terselesaikan dengan baik.

Walaupun makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, maka dari itu

dengan tangan terbuka saya menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar

saya dapat memperbaiki makalah ini kedepannya.

Sebagai penyusun saya berharap bahwa makalah ini bisa bermanfaat bagi

kita semua. Akhirnya kata saya ucapkan terima kasih atas perhatian dari semua

pihak.

Jambi, Juni 2021

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................... i

DAFTAR ISI................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN............................................................................... 1

A. Latar Belakang...................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah................................................................................. 1
C. Tujuan Penulisan.................................................................................. 2

BAB II PEMBAHASAN................................................................................. 3

A. Pengertian Ijtihad Dalam Islam ........................................................... 3


B. Fungsi Ijtihad Dalam Islam ................................................................. 4
C. Syarat-Syarat Dalam Istihad ................................................................ 5
D. Dasar Dan Kedudukan Ijtihad Dalam Islam ........................................ 6
E. Macam-Macam Ijtihad Dalam Hukum Islam ..................................... 8
F. Metodologi Pelaksanaan Istihad Dalam Islam .................................... 12

BAB III PENUTUP......................................................................................... 15

A. Kesimpulan........................................................................................... 15
B. Saran .................................................................................................... 15

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 16

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hukum dalam masyarakat manapun adalah bertujuan untuk
mengendalikan masyarakat. Ia adalah sebuah sistem yang ditegakkan terutama
untuk melindungi hak-hak individu maupun hak-hak masyarakat. Sistem
hukum di setiap masyarakat memiliki sifat, karakter dan ruang lingkup sendiri.
Sama halnya Islam memiliki sistem hukum sendiri yang dikenal dengan fiqh.
Hukum Islam bukanlah hukum murni dalam pengertiannya yang sempit; ia
mencakup seluruh bidang kehidupan-etika, keagamaan, politik dan ekonomi.
Ia bersumber dari wahyu Illahi. Wahyu menentukkan norma dan konsep dasar
hukum Islam serta dalam banyak hal merintis dobrakan terhada adat dan
sistem hukum kesukuan Arab pra-Islam.
Seiring dengan waktu dan berkembangnya zaman, banyak bermunculan
masalah, terutama masalah-masalah dalam agama. Sedangkan sebagian besar
dari masalah tersebut belum mendapatkan kejelasan hukum dalam Al-Quran
dan As-Sunnah. Maka manusia berusaha untuk mencari cara untuk
memutuskan masalah tersebut tentang baik buruknya.
Dan dalam bentuknya yang telah mengalami kemajuan, teori hukum
Islam (Islamic Legal Theory) mengenal berbagai sumber dan metode yang
darinya dan melaluinya hukum (Islam) diambil. Sumber-sumber yang darinya
hukum diambil adalah Al-Quran dan As-Sunnah Nabi, yang keduanya
memberikan materi hukum. Sedangkan, sumber-sumber yang melaluinya
hukum berasal adalah metode-metode ijtihad dan interpretasi, atau pencapaian
sebuah konsensus ( Ijma’, kesepakatan). Oleh karena itu, penulis membuat
makalah bertemakan ijtihad sebagai solusi dari pengambilan keputusan
hukum-hukum yang tidak terdapat dalam Al-Quran dan As-Sunnah.
Sekarang, dalam melakukan ijtihad, ruang lingkup qiyas haruslah
diperluas untuk menjadikannya lebih praktis dan mujarrab untuk
menyelesaikan persoalan-persoalan. Untuk membuka pintu ijtihad, yang

1
merupakan kebutuhan yang mendesak saat ini, ijtihad harus dilaksanakan oleh
para ahli yang berkompeten dengan bekerja sama dengan pemerintah (yang
Islamis) sehingga ia dapat diberlakukan menjadi perundang- undangan; kalau
tidak ia akan tetap tinggal bersifat teoritis semata-mata dan perbenturan antara
para ahli dan pemerintah akan terus berlangsung. Karena ijma’ memantapkan
dirinya hanya secara bertahap dan hampir secara tak terasa bersamaan dengan
jalannya waktu. Oleh karena itu, dalam makalah ini kami akan menyajikan
mengenai ijtihad dalam hukum Islam.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis merumuskan masalah sebagai
berikut:
1. Apa pengertian ijtihad dalam Islam ?
2. Apa fungsi ijtihad dalam Islam ?
3. Apa saja syarat-syarat dalam Istihad ?
4. Bagaimana dasar dan kedudukan ijtihad dalam Islam ?
5. Apa saja macam-macam ijtihad dalam hukum islam ?
6. Bagaimana metodologi pelaksanaan istihad dalam Islam ?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian ijtihad dalam Islam
2. Untuk mengetahui fungsi ijtihad dalam Islam
3. Untuk mengetahui apa saja syarat-syarat dalam Istihad
4. Untuk mengetahui bagaimana dasar dan kedudukan ijtihad dalam Islam
5. Untuk mengetahui apa saja macam-macam ijtihad dalam hukum islam
6. Untuk mengetahui bagaimana metodologi pelaksanaan istihad dalam
Islam

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Ijtihad dalam Hukum Islam


Ijtihad ialah:

‫يعرش مكح ليصحتل دهجال لذب‬


“...Memberi segala daya kemampuan dalam usaha mengetahui
sesuatu hukum syara’ atau:

‫نظال قريطب يعرش مكح ليصحتل عسوال غارفتسا‬


“Menggunakaan segala kesanggupan untuk mencari sesuatu hukum
syara’ dengan jalan dhan”
Ijtihad dalam bidang putusan hakim (pengadilan) ialah jalan yang diikuti
hakim dalam menetapkan hukum, baik yang berhubungan dengan nash
undang-undang ataupun dengan mengistinbathkan hukum yang wajib
diterapkan di waktu tak ada nash
Ijtihad yang berasal dari kata (asal mulanya) ijtihada (‫ )دهتجا‬artinya
ialah: bersungguh-sungguh, rajin, giat. Sedang apabila kita meneliti ma’na
ja-ha-da, artinya ialah mencurahkan segala kemampuan. Jadi dengan
demikian, menurut bahasa ijtihad itu ialah berusaha atau berupaya yang
sungguh-sungguh. Perkataan ini tentu saja tidak akan dipergunakan di dalam
sesuatu yang tidak mengandung kesulitan dan keberatan. Saiyid Muhammad
al-Khudloriy di dalam kitabnya Ushulufiqh (h. 367), demikian pula
Dr. Wahbah Az-Zuhailiy di dalam kitabnya al-Wasith fi Ushulil fiqhil
Isalmiy (h.590) memberikan contoh : َ‫( احرال رجح لمح ىف دهتجا‬Dia berusaha
keras membawa batu giling), dan tidak akan dikatakan ‫ةل درخ لمح ىف دهتجا‬
: (berusaha sungguh-sungguh membawa sebiji bijian).
Kemudian di kalangan para ulama perkataan ini khusus digunakan
dalam pengertian usaha yang sungguh-sungguh dari seorang ahli hukum (al-

3
faqih) dalam mencari tahu tentang hukum-hukum syariat. Jadi dengan
demikian, ijtihad itu ialah perbuatan-perbuatan istimbath hukum syar’iyyah
dari segi dalil-dalilnya yang terperinci di dalam syari’at. (Dr. Wahbah
Az-Zuhailiy, h. 529)
Imam Al-Ghozaliy, yang diikuti juga oleh Khudloriy (Dr. Wahbah
591) mendefinisikan ijtihad itu dengan “usaha sungguh-sungguh dari
seorang mujtahid dengan sungguh-sungguh didalam rangka
mengetahui/ menetapkan tentang hukum-hukum syari’ah. Adapula yang
mengatakan, ijtihad itu ialah qiyas, tetapi oleh al-Ghozaliy di dalam al-
mustashfa (II/4 pendapat itu tidak disetujui menurutnya itu adalah keliru,
sebab ijtihad itu lebih umu daripada qiyas, sebab kadang-kadang ijtihad itu
memandang di dalam keumuan dan lafadz-lafadz yang pelik dan semua
jalan asillah (berdalil) selain daripada qiyas. Imam Syafi’i sendiri
menyebutkan bahwa dalam arti sempit qiyas itu juga adalah ijtihad.

B. Fungsi Ijtihad dalam Islam

Fungsi ijtihad adalah untuk memenuhi keperluan umat manusia akan


pegangan hidup dalam beribadah kepada Allah SWT di tempat dan waktu
tertentu. Fungsi ijtihad adalah sebagai metode untuk merumuskan ketetapan-
ketetapan hukum yang belum terumuskan dalam Al-Quran dan Al-Sunnah.
Meski Al-Quran diturunkan secara sempurna dan lengkap, bukan berarti
kehidupan manusia diatur secara detil oleh Al-Quran dan Hadits. Selain itu
ada perbedaan keadaan pada saat turunnya Al-Quran dengan kehidupan
modern, sehingga setiap saat masalah baru akan terus berkembang dan
diperlukan aturan aturan baru dalam melaksanakan ajaran islam dalam
kehidupan sehari-hari.
Jika terjadi persoalan baru bagi kalangan umat Islam di suatu tempat
tertentu atau disuatu masa waktu tertentu, maka persoalan tersebut dikaji
apakah perkara yang dipersoalkan itu sudah ada dan jelas ketentuannya dalam
Al-Quran dan Hadits. Sekiranya sudah ada, maka persoalannya harus
mengikuti ketentuan yang ada berdasarkan Al-Quran dan Hadits. Namun jika

4
persoalannya merupakan perkara yang tidak jelas atau tidak ada ketentuannya
dalam Al-Quran dan Hadits maka umat Islam memerlukan ijtihad, tapi yang
berhak membuat ijtihad adalah mereka yang paham Al-Quran dan Hadits
yang disebut dengan mujtahid.

C. Syarat-Syarat dalam Ijtihad


Ijtihad adalah suatu alat untuk menggali hukum Islam, dan hukum Islam
yang dihasilkan dengan jalan ijtihad statusnya adalah zanni. Zann artinya
pengertian yang berat kepada benar, dengan arti kata mengandung
kemungkinan salah. Ushul fiqh mendefinisikan ijtihad dengan:

‫يعرش مكحب نظ ليصحتل عسوال هيقفال غارفتسا‬


“Pencurahan kemampuan secara maksimal yang dilakukan oleh faqih
(mujtahid) untuk mendapatkan zann (dugaan kuat) tentang hukum
syar’i”
Syarat-syarat menjadi mujtahid itu ada tiga syarat, yakni yang bersifat
umum, utama, maupun pendukung, adapun persyaratan umum yaitu
sebagai berikut:
1. Baligh
2. Berakal
3. Memiliki bakat kemampuan nalar yang tinggi untuk memahami
konsep- konsep yang pelik dan abstak
4. Memiliki keimanan yang baik.
Adapun persyaratan utama yaitu sebagai berikut:
1. Memahami bahasa arab
2. Menguasai ilmu usul fiqih
3. Mamahami Al-Qur’an secara mendalam
4. Memahami sunnah
5. Memahami tujuan-tujuan persyaratan hukum (maqashid asy-syari’ah).
Adapun persyaratan pendukung yaitu sebagai berikut:
1. Mengetahui ada atau tidak adanya dalil al-qath’i yang mengatur
hukum masalah yang sedang dibahas.

5
2. Mengetahui persoalan-persoalan hukum yang menjadi objek
perbedaan pendapat ulama’ ( ma’rifah mawadhi’ al-khilaf)
3. Memiliki sifat takwa dan kesolehan ( shalah al-mujtahid wa ta’wa) [4].

D. Dasar dan Kedudukan Dalam Hukum Islam


Ada 2 dasar hukum diharuskannya ijtihad, yaitu :
1. Al-Qur’an

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya),
dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan
Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya”. (QS.An-nisa:59)
dan firman-Nya yang lain :
“...Maka ambillah ibarat, wahai orang-orang yang mempunyai
pandangan”. (QS.Al-Hasyr : 2)
Menurut Firman Allah SWT pertama, yang dimaksud dengan
dikembalikan kepada Allah dan Rasul ialah bahwa bagi orang-orang yang
mempelajari Qur’an dan Hadits supaya meneliti hukum-hukum yang ada
alsannya, agar bisa diterapkan kepada peristiwa-peristiwa hukum yang
lain, dan hal ini adalah ijtihad. Pada firman kedua, orang-orang yang ahli
memahami dan merenungkan diperintahkan untuk mengambil ibarat, dan
hal ini berarti mengharuskan mereka untuk berijtihad. Oleh karena itu,
maka harus selalu ada ulama-ulama yang harus melakukan ijtihad.
(Jalaluddin Rahmat, Dasar Hukum Islam, hlm 163).
firman-Nya yang lain :

6
“Dan orang-orang yang  berjihad untuk ( mencari keridlaan ) Kami,
benar-benar akan Kami tunjukkan  kepada mereka jalan-jalan Kami.
Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat
baik”.( Q.S. Al-‘Ankabut:69 )
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan
membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan
apa yang telah Allah wahyukan kepadamu”. (Q.S.An-nisa:105)
2. Al-Hadits
- Sabda Nabi SAW. : “Ijtihadlah kamu, karena tiap-tiap orang akan
mudah mencapai apa yang diperuntukkan kepadanya” (Jalaluddin
Rahmat, Dasar Hukum Islam, hlm 163)
)‫ (بخارى و مسلم‬.ٌ‫اب فَلَهُ اَ ْج َرا ِن َواِ ِن ْجتَ َه َد فَا َ ْخطَأ َ فَلَهُ اَ ْج ٌر َوا ِحد‬
َ ‫ص‬ ْ ‫اَ ْل َحا ِك ُم اِ َذا‬
َ َ ‫اجتَ َه َد فَا‬
“Hakim apabila berijtihad kemudian dapat mencapai kebenaran maka
ia mendapat dua pahala (pahala melakukan ijtihad dan pahala
kebenaran hasilnya). Apabila ia berijtihad kemudian tidak mencapai
kebenaran, maka ia mendapat satu pahala (pahala melakukan
ijtihad)”.(Hadits riwayat Bukhari dan Muslim)
- Hadits yang menerangkan dialog Rasulullah SAW dengan Mu’adz bin
Jabal, ketika Muadz diutus menjadi hakim di Yaman  berikut ini:
‫س ْو ُل هللاِ لَ َّما أَ َرا َد أَنْ يَ ْب َع َث ُم َعا ًذا‬ُ ‫ب ُم َعاذ ْب ِن َجبَ ِل إِنَّ َر‬ ْ َ‫س ِّمنْ اَ ْه ِل َح َمص ِمنْ أ‬
ِ ‫ص َحا‬ ٍ َ ‫عَنْ أُنا‬
‫ فَإِنْ لَ ْم ت َِج ْد فِي‬:‫ قَا َل‬.ِ‫ب هللا‬ ِ ‫ضى بِ ِكتَا‬ ِ ‫ أَ ْق‬:‫ضا ٌء؟ قَا َل‬ َ ‫ض إِ َذا َع َر‬
َ َ‫ض لَ َك ق‬ ِ ‫ َكيْفَ تَ ْق‬:‫الِ َي ا ْليَ َم ِن قَا َل‬
‫ب هللاِ؟‬ِ ‫س ْو ِل هللاِ َواَل ِفي ِكتَا‬ ُ ‫سنَّ ِة َر‬ ُ ‫ فَإِنْ لَ ْم تَ ِج ْد ِفي‬:‫ قَا َل‬.ِ‫س ْو ِل هللا‬ ُ ِ‫ فَب‬:‫ب هللا؟ قَا َل‬
ُ ‫سنَّ ِة َر‬ ِ ‫ِكتَا‬
‫س ْو ِل‬
ُ ‫س ْو َل َر‬ َ َّ‫ي َوف‬
ُ ‫ق َر‬ ْ ‫ اَ ْل َح ْم ُدهَّلِل ِ الَّ ِذ‬:‫ص ْد َرهُ َوقَا َل‬
َ ِ‫س ْو ُل هللا‬
ُ ‫ض َر َب َر‬ َ َ‫ ف‬.‫ اَ ْجتَ ِه ُد َرا ْي ِئ َواَل آلُ ْو‬:‫قَا َل‬
.)‫ (رواه ابوداود‬ ِ‫س ْو ُل هللا‬ َ ‫هللاِ لَ َّما يَ ْر‬
ُ ‫ضي َر‬
“Diriwayatkan dari penduduk homs, sahabat Muadz ibn Jabal, bahwa
Rasulullah saw. Ketika bermaksud untuk mengutus Muadz ke Yaman,
beliau bertanya: apabila dihadapkan kepadamu satu kasus hukum,
bagaimana kamu memutuskannya?, Muadz menjawab:, Saya akan
memutuskan berdasarkan Al-Qur’an. Nabi bertanya lagi:, Jika kasus
itu tidak kamu temukan dalam Al-Qur’an?, Muadz menjawab:,Saya
akan memutuskannya berdasarkan Sunnah Rasulullah. Lebih lanjut

7
Nabi bertanya:, Jika kasusnya tidak terdapat dalam Sunnah Rasul dan
Al-Qur’an?,Muadz menjawab:, Saya akan berijtihad dengan seksama.
Kemudian Rasulullah menepuk-nepuk dada Muadz dengan tangan
beliau, seraya berkata:, Segala puji bagi Allah yang telah memberi
petunjuk kepada utusan Rasulullah terhadap jalan yang diridloi-
Nya.”(HR.Abu Dawud)
Berbeda dengan Al-Quran dan As-Sunnah, ijtihad terikat dengan
ketentuan-ketentuan berikut:
a. Pada dasarnya yang ditetapkan oleh ijtihad tidak dapat melahirkan
keputusan yang mutlak absolut. Sebab ijtihad merupakan aktifitas akal
pikiran manusia yang relatif. Sebagai produk pikiran manusia yang relatif,
maka keputusan daripada suatu ijtihad pun adalah relatif,
b. Sesuatu keputusan yang ditetapkan oleh ijtihad, mungkin berlaku bagi
seseorang tapi tidak berlaku bagi orang lain. Berlaku untuk satu
masa/tempat tapi tidak berlaku pada masa/tempat yang lain,
c. Ijtihad tidak berlaku dalam urusan penambahan ibadah mahdhah
(murni). Sebab urusan ibadah mahdhah hanya oleh Allah SWT dan
Rasulullah,
d. Keputusan ijtihad tidak boleh bertentangan dengan Al-Quran dan As-
Sunnah, dan
e. Dalam proses berijtihad hendaknya dipertimbangkan faktor-faktor
motivasi, akibat, kemaslahatan umum, kemanfaatan bersama, dan nilai-
nilai yang menjadi ciri dan jiwa daripada ajaran Islam.
Kedudukan ijtihad sebagai sumber hukum Islam adalah sebagai sumber
hukum ketiga setelah Al-Quran dan Al-Hadits.

E. Macam – Macam Pembagian Ijtihad


Bila kita telusuri ushul fiqh, maka pembahasan tentang pembagian dan
macam-macam ijtihad terdapat bentuk pembahasan yang berbeda. Ijtihad
dilihat dari segi objek kajianya dan relevansinya dengan masalah-masalah
kontemporer.

8
Menurut al-Syathibi (w 770 H/1388 M), Tokoh Ulama Ushul Malikiyah
membagi menjadi dua:
1. Ijtihad Istinbathi
Ijtihad istinbathi adalah ijtihad yang dilakukan mendasarkan pada
nash-nash Syara` dalam meneliti dan menyimpulkan ide hukum yang
terkandung di dalamnya. Hasil ijtihad yang diperoleh tersebut selanjutnya
menjadi tolak ukur dan diterapkan dalam suatu permasalahan hukum yang
dihadapi . Oleh karena ijtihad ini berhadapan langsung dengan nash-nash
Syara` maka seorang mujtahid harus memenuhi persyaratan-persyaratan
untuk berijtihad dengan sempurna, karena sulitnya untuk mencapai
persyaratan-persyaratan itu menurut al-Sathibi mujtahid dalam ijtihad
istinbath di zaman modern ini kemungkinan terputus.
2. Ijtihad Tathbiqi
Jika ijtihad isthinbati mendasarkan pada nash-nash, maka ijtihad
tathbiqi mendasarkan pada suatu permasalahan yang terjadi dilapangan.
Dalam hal ini seorang mujtahid berhadapan langsung dengan objek hukum
dimana ide atau subtansi hukum dari produk ijtihad istinbathi akan
diterapkan.
Bagi seorang mujtahid ijtihad ini dituntut untuk memahami
Maqashid as-Syar`i secara mendalam, hal ini dimaaksudkan apakah ide
hukum yang dihasilkan jika diterapkan pada kaus yang dihadapi dapan
mencapai Maqashid as-Syar`i atau tidak.
Ijtihad dari segi relevansinya menurut Yusuf Qordlowi (ahli fiqih
kontemporer dari Mesir) bahwa ijtihad yang perlu kita lakukan untuk masa
kini ada dua macam:
1. Ijtihad Intiqa`i
Ijtihad Intiqa`i ialah memilih dari satu pendapat dari beberapa
pendapat terkuat yang terdapat dalam warisan fiqih islam yang penuh
dengan fatwa dan putusan hukum. Seorang mujtahid dengan upaya yang
cermat bisa memilih pendapat yang lebih kuat dan relevan untuk
diterapkan dewasa ini. Dalam hal ini seorang mujtahid tidak terikat oleh

9
salah satu pendapat ulama tertentu, akan tetapi ia melihat semua pendapat
yang ada, membandingkan dan meneliti dalil-dalil yang mereka
ketengahkan, kemudian secara obyektif memilih salah satu pendapat yang
paling kuat dan lebih cocok untuk diterapkan.
2. Ijtihad Insya’i
Ijtihad Insya’i ialah pengambilan kesimpulan hukum baru dari suatu
persoalan, yang pernah dikemukakan oleh ulama-ulama terdahulu, baik
persoalan baru atau lama. Jika masalah yang sedang dikaji itu baru yang
sama sekali belum pernah ditemukan kasus ataupun hukumnya dalam
khazanah fiqih islam, maka mujtahid Munsyi berupaya untuk menentukan
hukumnya dengan meneliti dan memahami secara menyeluruh kasus yang
dihadapi, sehingga dengan tepat ia akan menentukan hukumnya sesuai
yang dikehendaki tujuan Syari`at yang ada.
Jika masalah yang sedang dikaji oleh mujtahid Munsyi itu kasus dan
hukumnya pernah diketengahkan oleh para ulama sebelumnya, maka
seorang mujtahid Munsyi dapat melakukan ijtihad dengan mengeluarkan
pendapat baru diluar pendapat yang sudah ada.
Pembagian ijtihad, sebagaimana yang dijelaskan al-Syāthibi, terbagi
kepada tiga bagian dilihat dari segi dalil yang dijadikan pedoman, yaitu:

a. Ijtihad bayānī, yaitu ijtihad untuk menjelaskan hukum-hukum syara’ dari


nash-nash syāri’ (Al-Qur’an dan al-Sunnah). Ijtihad ini untuk menemukan
hukum yang terkandung dalam nash, namun sifatnya zhannī, baik dari segi
ketetapannya maupun dari segi penunjukannya. Lapangan ijtihād bayāni
ini hanya dalam batas pemahaman terhadap nash dan menguatkan salah
satu diantara beberapa pemahaman yang berbeda.
b. Ijtihad qiyāsī, yang artinya ijtihad yang dilakukan untuk menggali dan
menemukan hukum terhadap permasalahan atau suatu kejadian yang tidak
ditemukan dalilnya secara tersurat dalam nash –baik qat'i ataupun zhanni-
juga tidak ada ijma' yang telah menetapkan hukumnya. Ijtihad dalam hal
ini untuk menetapkan hukum suatu kejadian dengan merujuk pada kejadian

10
yang telah ada hukumnya, karena antara dua peristiwa itu ada kesamaan
dalam 'illat hukumnya, atau biasa disebut qiyās.
c. Ijtihad Istishlāhī, yaitu ijtihad yang dilakukan untuk menggali,
menemukan, dan merumuskan hukum syar'i dengan cara menetapkan
kaidah kulli untuk kejadian yang ketentuan hukumnya tidak terdapat dalam
nash –baik qath'i maupun zhanni-, dan tidak memungkinkan mencari
kaitannya dengan nash yang ada, juga belum diputuskan dalam ijma'.
Dasar pegangan dalam ijtihad macam ketiga ini hanyalah jiwa hukum
syara' yang bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan umat, baik dalam
bentuk mendatangkan manfaat.

Sedangkan melihat bentuk ijtihad dari sisi mungkin atau tidak mungkin
terhenti kegiatannya, al-Syatibi membaginya menjadi dua macam:
a. Pertama, ijtihad yang tidak mungkin terhenti kegiatannya. Ijtihad dalam
bentuk ini adalah yang disebut dengan tahqīq al-manāth atau ijtihad dalam
menjelaskan hukum.
b. Kedua, ijtihad yang mungkin terhenti kegiatannya. Pada bentuk kedua ini
terbagi menjadi dua bagian, yaitu (1) tanqīh al-manāth yang artinya upaya
mujtahid untuk memilih berbagai ‘illat yang ditemukan untuk ditetapkan
sebagai ide hukum suatu ayat, dan (2) takhrīj al-manāth yang artinya upaya
mujtahid untuk menggali berbagai ‘illat dari suatu hukum.
Kemudian ijtihad dilihat dari sisi hasil yang dicapai terbagi kepada dua
bentuk, yaitu:
a. Ijtihad mu’tabar, yaitu ijtihad yang secara hukum dapat dipandang sebagai
penemuan hukum, yakni ijtihad yang dihasilkan oleh pakar yang
mempunyai kemampuan untuk berijtihad berdasarkan syarat-syarat yang
ditetapkan.
b. Ijtihad ghairu mu’tabar, yaitu ijtihad yang secara hukum tidak dapat
dipandang sebagai cara dalam menemukan hukum. Ijtihad dalam bentuk
ini adalah ijtihad yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak mempunyai
kemampuan untuk berijtihad berdasarkan syarat-syarat yang telah
ditentukan.

11
F. Metodologi Pelaksanaan Ijtihad

Dalam melaksanakan ijtihad, para ulama telah membuat metode-metode,


antara lain sebagai berikut:
1. Qiyas, yaitu menetapkan sesuatu hukum terhadap sesuatu hal
yang belum diterangkan oleh Al-Quran dan As-Sunnah, dengan
dianalogikan kepada hukum sesuatu yang sudah diterangkan hukumnya
oleh Al-Quran atau As-Sunnah, karena ada sebab yang sama. Beberapa
definisi qiyas (analogi):
a. Menyimpulkan hukum dari yang asal menuju kepada
cabangnya, berdasarkan titik persmaan diantara keduanya.
b. Membuktikan hukum definitif untuk yang definitif lainnya, melalui
suatu persamaan diantaranya.
c. Tindakan menganalogikan hukum yang sudah ada penjelasan
didalam Al-Quran atau Hadist dengan kasus baru yang memiliki
persamaan sebab (illat).
2. Ijma’, atau yang disebut ijtihad kolektif, yaitu kesepakatan ulama-ulama
Islam dalam menentukan sesuatu masalah ijtihadiyah. Yang menjadi
persoalan untuk saat sekarang ini adalah tentang kemungkinan dapat
dicapai atau tidaknya ijma tersebut, karena umat Islam sudah begitu besar
dan berada diseluruh pelosok bumi termasuk para ulamanya.
3. Istihsan, yaitu menetapkan sesuatu hukum terhadap sesuatu persoalan
ijtihadiyah atas dasar prinsip-prinsip umum ajaran Islam seperti keadilan,
kasih sayang, dan lain-lain. Oleh para ulama istihsan disebut sebagai
Qiyas Khofi (analogi samar-samar) atau disebut sebagai pengalihan
hukum yang diperoleh dengan Qiyas kepada hukum lain atas
pertimbangan kemaslahatan umum. Apabila kita dihadapkan dengan
keharusan memilih salah satu diantara dua persoalan yang sama-sama
kurang baik, maka kita harus mengambil yang lebih ringan
keburukannya. Beberapa definisi istisan:

12
a. Fatwa yang dikeliarkan oleh seorang faqih (ahli fiqih), hanya karena
dia merasa hal itu adalah benar,
b. Argumentasi dalam pikiran seorang faqih tanpa bisa diekspresikan
secara lisan olehnya,
c. Mengganti argumen dengan fakta yang dapat diterima untuk
maslahat orang banyak,
d. Tindakan memutuskan suatu perkara untuk mencegah kemudharatan,
dan
e. Tindakan menganalogikan suatu perkara di masyarakat terhadap
perkara yang ada sebelumnya.
4. Mashalihul Mursalah, yaitu menetapkan hukum terhadap
sesuatu persoalan ijtihadiyah atas pertimbangan kegunaan dan
kemanfaatan yang sesuai dengan tujuan syari’at. Perbedaan antara
istihsan dan mashalitul mursalah ialah, istihsan mempertimbangkan dasar
kemaslahatan (kebaikan) itu dengan disertai dalil Al-Quran atau Al-
Hadits yang umum, sedang mashalihul mursalah mempertimbangkan
dasar kepentingan dan kegunaan dengan tanpa adanya dalil yang secara
tertulis dalam Al-Quran atau Al-Hadits.
5. Urf, adalah sesuatu yang telah biasa berlaku, diterima, dan dianggap baik
oleh masyarakat. Juga didefinisikan sebagai tindakan menentukan masih
bolehnya suatu adat istiadat dan kebiasaan masyarakat setempat selama
kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan aturan-aturan prinsipal
dalam Al-Quran dan Al-Hadits.
6. Istishab, adalah menetapkan sesuatu menurut keadaan sebelumnya
sehingga terdapat dalil yang menunjukan perubahan keadaan, atau
menjadikan hukum yang telah ditetapkanpada masa lampau secara kekal
menurut keadaan sehingga teradapat dalil yang menunjukan atas
perubahannya. Jadi, istihab merupakan suatu tindakan menetapkan
berlakunya suatu ketetapan sampai ada alasan yang bisa mengubahnya.
7. Sududz Dzariah, yaitu tindakan memutuskan suatu yang
mubah menjadi makruh atau haram demi kepentingan umat.

13
8. Madzhab Shahabi, yaitu menetapkan suatu hukum terhadap
suatu persoalan ijtihadiyah atas pertimbangan pendapat para sahabat
tentang suatu kasus, yang tidak dijelaskan nash dan belum ada ijma’ para
sahabat yang menetapkan hukum tersebut.
9. Syar’un man qoblana, berarti syariat sebelum Islam.
10. Ta’arud Ad-Dilalah, artinya pertentangan (secara lahir dalam
pandangan mujtahid) antara satu dalil dengan dalil lainnya pada derajat
yang sama (ayat dengan ayat; atau antara sunah dengan sunah).

14
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Ijtihad yang berasal dari kata (asal mulanya) ijtihada (‫ )دهتجا‬artinya ialah:
bersungguh-sungguh, rajin, giat. Sedang apabila kita meneliti ma’na ja-ha-
da, artinya ialah mencurahkan segala kemampuan. Jadi dengan demikian,
menurut bahasa ijtihad itu ialah berusaha atau berupaya yang sungguh-
sungguh. Syarat-syarat menjadi mujtahid itu ada tiga syarat, yakni yang
bersifat umum, utama, maupun pendukung
Ijtihad dilakukan oleh seorang faqih dengan optimal untuk menyatakan
hukum-hukum Syara` yang bersifat amaliah/praktis pada masalah-masalah
yang bersifat dzanni dan yang belum ada nash-nashnya sama sekali. Ijtihad itu
dibagi menjadi dua jika dilihat dari segi objek yang dikaji dan segi
relevansinya dengan masalah-masalah kontempor yaitu: ijtihad istinbathi dan
ijtihad tathbiqi, dan jika dilihat dari segi relevansinya yaitu: ijtihad intiqa`i dan
ijtihad Insya`i.
Macam-macam ijtihad yaitu: Ijma’, qiyas, istihsan, maslahah mursalah,
sududz zariah, istishab, dan ‘urf

B. Saran
Ijtihad merupakan khazanah keislaman harus terus kita lestarikan karena
jika tidak maka akan terjadi stagnasi. Hendakanya hukum Islam bisa
merealisasikan semboyanIslam rahmatalilalamin, yaitu bisa menyentuh segala
aspekkemanusiaan baik untuk orang Islam sendiri maupunnonmuslim. Hukum
Islam juga harus bisa merespon pesatnyakemajuan zaman dengan semakin
berkembangnya teknologi danilmu pengetahuan, agar hukum Islam bisa
berjalan sejajardengan realita masyarakat modern. Pada permasalahan
jinayahhendaknya tidak terkesan menguntungkan kaum Islam
tanpamemandang keberadaan nonmuslim, harus melihat aspekkeadilan yang

15
universal di hadapan hukum, aspek kemanusiaanyang luhur dan aspek
persamaan hak dimuka hukum

DAFTAR PUSTAKA

16
Al-Syathibi, Abu Ishaq Ibrahim ibn Musa al-Gharnati. al-Muwafaqat fi Ushul al-
Ahkam, Jilid 4. Dar al-Fikr.
Has, Abu Waf. 2013. Ijtihad Sebagai Alat Pemecahan Masalah Umat Isla,
(Sekolah Tinggi Keislaman Al-Hidayah (STIKA) Arjasa), Jurnal
Epistemé, Vol. 8, No. 1, Juni.
Qordlowi, Yusuf. Ijtihad Kontemporer: Kode Etik dan Berbagai Penyimpangan.
Risalah Gusti.
Syafe’i, Rahmat. 1999. Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta: Pustaka Setia.
Syarifuddin, Amir. 1999. Ushul Fiqh, Jilid II Cet. I. Jakarta: PT Logos Wacana
Ilmu.

17

Anda mungkin juga menyukai