Anda di halaman 1dari 17

KONSEP HOSPITALISASI DAN KONSEP BERMAIN

OLEH : KELOMPOK 1

1. Veronika Damanik (032019046)


2. Vian Hertamina Hulu (032019065)
3. Nunut Grace L. Lumbantoruan (032019047)
4. Tuti Herlina Halawa (032019076)

ATIKES SANTA ELISABETH MEDAN

T.A 2020/2021
DAFTAR ISI

Daftar Isi………………………………………………………………………… i

Kata Pengantar………………………………………………………………… ii

Bab I Pendahuluan……………………………………………………………… 1

Latar Belakang…………………………………………………………………… 1

Rumusan Masalah………………………………………………………………. 1

Bab II Isi………………………………………………………………………… 2

Konsep Hospitalisasi……………………………………………………………. 2

Definisi Hospitalisasi……………………………………………………………. 2

Efek/Dampak Hospitalisasi pada anak dan keluarga………………………….. 3

Respon Anak terhadap Hospitalisasi…………………………………………… 4

Respon Orang tua terhadap Hospitalisasi………………………………………. 6

Konsep Bermain…………………………………………………………………. 7

Definisi Bermain………………………………………………………………… 7

Berbagai teori bermain menurut para ahli………………………………………. 8

Karakteristik bermain……………………………………………………………. 10

Manfaat bermain bagi anak sesuai tingkat pertumbuhan dan

Perkembangannya………………………………………………………………… 12

Bab III Penutup…………………………………………………………….. 13

Daftar Pustaka……………………………………………………………… 14

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan YME yang telah memberikan rahmat dan kasih-
Nya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul Konsep
Hospitalisasi dan Konsep Bermain ini tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi
tugas presentasi kelompok pada mata kuliah Keperawatan Anak. Selain itu,
makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang Konsep
Hospitalisasi dan Konsep Bermain bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Sr. Auxilia Sinurat, selaku Dosen


Keperawatan Anak yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah
pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni.

Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi
sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.

Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi
kesempurnaan makalah ini.

Medan, 13 Februari 2021

Penulis

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hospitalisasi merupakan suatu proses yang memiliki alasan yang


berencana atau darurat sehingga mengharuskan anak untuk tinggal di rumah
sakit, menjalani terapi dan perawatan sampai pemulangannya kembali ke
rumah. Selama proses tersebut anak dan orangtua dapat mengalami kejadian
yang menurut beberapa penelitian ditunjukan dengan pengalaman traumatic
dan penuh dengan stress. Perasaan yang sering muncul yaitu cemas, marah,
sedih, takut, dan rasa bersalah (Wulandari & Erawati, 2016).

Hospitalisasi pada anak merupakan pengalaman yang penuh dengan


stress, baik bagi anak itu sendiri maupun orang tua. Banyaknya stressor yang
dialami anak ketika menjalani hospitalisasi menimbulkan dampak negatif
yang mengganggu perkembangan anak. Sejalan dengan peningkatan jumlah
anak yang dirawat di rumah sakit akhir-akhir ini, beresiko terjadi peningkatan
populasi anak yang mengalami gangguan perkembangan. Penulisan ini
bertujuan untuk mengetahui dan membahas tentang: (1) Stressor hospitalisasi
(2) Respon anak ketika menjalani hospitalisasi (3) Respon keluarga terhadap
hospitalisasi (4) Dampak hospitalisasi (5) Cara meminimalkan dampak
hospitalisasi. Metode penulisan ini adalah kajian kepustakaan dengan
pendekatan deskriptif eksploratif. Dapat disimpulkan bahwa (1) lingkungan
rumah sakit dapat merupakan penyebab stress dan kecemasan pada anak.
Stressor yang ada di rumah sakit ini, akan dihadapi oleh anak ketika
menjalani hospitalisasi, (2) dengan keterbatasan koping yang dimiliki
menimbulkan beragam respon anak ketika menghadapi stresor yang ada, (3)
keluarga sebagai unit terkecil sangat rentan dan terpengaruh ketika anak
menjalani hospitallisasi, (4) terdapat resiko dampak negatif terhadap
perkembangan anak dan (5) membutuhkan penanganan secara tepat,
terencana dan terorganisir (Wulandari & Erawati, 2016).

B. Rumusan Masalah
1. Apa itu Hospitalisasi ?
2. Jenis efek/dampak Hospitalisasi ?
3. Apa itu konsep bermain ?
4. Apa saja manfaat dan karakteristik bermain ?

1
BAB II

ISI

A. Konsep Hospitalisasi
1. Definisi Hospitalisasi
Hospitalisasi merupakan suatu proses yang memiliki alasan yang
berencana atau darurat sehingga mengharuskan anak untuk tinggal di
rumah sakit, menjalani terapi dan perawatan sampai pemulangannya
kembali ke rumah. Selama proses tersebut anak dan orangtua dapat
mengalami kejadian yang menurut beberapa penelitian ditunjukan
dengan pengalaman traumatic dan penuh dengan stress. Perasaan yang
sering muncul yaitu cemas, marah, sedih, takut, dan rasa bersalah
(Wulandari & Erawati, 2016).
Menurut Supartini (2004), hospitalisasi merupakan suatu proses
dimana karena alasan tertentu atau darurat mengharuskan anak untuk
tinggal di RS, menjalani terapi perawatan sampai pemulangannya
kembali ke rumah. Hospitalisasi adalah bentuk stressor individu yang
berlangsung selama individu tersebut dirawat di rumah sakit
(Wong,2003). Menurut WHO, hospitalisasi merupakan pengalaman yang
mengancam ketika anak menjalani hospitalisasi karena stressor yang
dihadapi dapat menimbulkan perasaan tidak aman.
Hospitalisasi adalah suatu keadaan krisis pada anak, saat anak sakit
dan dirawat di rumah sakit. Keadaan ini terjadi karena anak berusaha
untuk beradaptasi dengan lingkungan asing dan baru yaitu rumah sakit,
sehingga kondisi tersebut menjadi faktor stressor bagi anak baik terhadap
anak maupun orang tua dan keluarga (Wong, 2000).
Hospitalisasi merupakan suatu proses karena alasan berencana atau
darurat yang mengharuskan anak untuk tinggal di rumah sakit untuk
menjalani terapi dan perawatan. Meskipun demikian dirawat di rumah
sakit tetap merupakan masalah besar dan menimbulkan ketakutan, cemas,
bagi anak (Supartini, 2004). Hospitalisasi juga dapat diartikan adanya
beberapa perubahan psikis yang dapat menjadi sebab anak dirawat di
rumah sakit (Stevens, 1999).
Berdasarkan pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa
hospitalisasi adalah suatu proses karena alasan berencana maupun darurat
yang mengharuskan anak dirawat atau tinggal di rumah sakit untuk
mendapatkan perawatan yang dapat menyebabkan beberapa perubahan
psikis pada anak.
Perubahan psikis terjadi dikarenakan adanya suatu tekanan atau
krisis pada anak. Jika seorang anak di rawat di rumah sakit, maka anak
tersebut akan mudah mengalami krisis yang disebabkan anak mengalami

2
stres akibat perubahan baik terhadap status kesehatannya maupun
lingkungannya dalam kebiasaan sehari-hari. Selain itu, anak mempunyai
sejumlah keterbatasan dalam mekanisme koping untuk mengatasi
masalah maupun kejadiankejadian yang sifatnya menekan (Nursalam,
Susilaningrum, dan Utami, 2005).

2. Efek/Dampak Hospitalisasi Pada Anak Dan Keluarga


Beberapa faktor yang dapat menimbulkan stres ketika anak
menjalani hospitalisasi seperti:
1. Faktor Lingkungan rumah sakit
Rumah sakit dapat menjadi suatu tempat yang menakutkan
dilihat dari sudut pandang anak-anak. Suasana rumah sakit yang
tidak familiar, wajah-wajah yang asing, berbagai macam bunyi
dari mesin yang digunakan, dan bau yang khas, dapat
menimbulkan kecemasan dan ketakutan baik bagi anak ataupun
orang tua. (Norton-Westwood,2012).
2. Faktor Berpisah dengan orang yang sangat berarti
Berpisah dengan suasana rumah sendiri, benda-benda yang
familiar digunakan sehari-hari, juga rutinitas yang biasa dilakukan
dan juga berpisah dengan anggota keluarga lainnya (Pelander &
Leino-Kilpi,2010).
3. Faktor kurangnya informasi yang didapat anak dan orang tuanya
ketika akan menjalani hospitalisasi. Hal ini dimungkinkan
mengingat proses hospitalisasi merupakan hal yang tidak umum di
alami oleh semua orang. Proses ketika menjalani hospitalisasi juga
merupakan hal yang rumit dengan berbagai prosedur yang
dilakukan (Gordon dkk,2010).
4. Faktor kehilangan kebebasan dan kemandirian
Aturan ataupun rutinitas rumah sakit, prosedur medis yang
dijalani seperti tirah baring, pemasangan infus dan lain
sebagainya sangat mengganggu kebebasan dan kemandirian anak
yang sedang dalam taraf perkembangan (Price & Gwin,2005).
5. Faktor pengalaman yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan
Semakin sering seorang anak berhubungan dengan rumah
sakit, maka semakin kecil bentuk kecemasan atau malah
sebaliknya (Pelander & Leino-Kilpi,2010).
6. Faktor perilaku atau interaksi dengan petugas rumah sakit
khususnya perawat
Mengingat anak masih memiliki keterbatasan dalam
perkembangan kognitif, bahasa dan komunikasi. Perawat juga
merasakan hal yang sama ketika berkomunikasi, berinteraksi

3
dengan pasien anak yang menjadi sebuah tantangan, dan
dibutuhkan sensitifitas yang tinggi serta lebih kompleks
dibandingkan dengan pasien dewasa. Selain itu berkomunikasi
dengan anak juga sangat dipengaruhi oleh usia anak, kemampuan
kognitif, tingkah laku, kondisi fisik dan psikologis tahapan
penyakit dan respon pengobatan (Pena & Juan,2011).

3. Respon Anak Terhadap Hospitalisasi


Menurut Alimul (2005) anak akan memberikan reaksi saat sakit dan
mengalami proses hospitalisasi. Reaksi tersebut dipengaruhi oleh tingkat
perkembangan, pengalaman sebelumnya, support system dalam keluarga,
ketrampilan koping dan berat ringannya penyakit.
Menurut Wong (2003) berbagai perasaan merupakan respons
emosional seperti:
1. Cemas akibat Perpisahan
Kecemasan yang timbul merupakan respon emosional terhadap
penilaian sesuatu yang berbahaya, berkaitan dengan perasaan tidak
pasti dan tidak berdaya (Stuart & Sundeen, 1998). Menurut Wong
(2003), Stres utama dari masa bayi pertengahan sampai usia
prasekolah, terutama untuk anak-anak yang berusia 6 bulan sampai
30 bulan adalah kecemasan akibat perpisahan yang disebut sebagai
depresi anaklitik. Pada kondisi cemas akibat perpisahan anak akan
memberikan respon berupa perubahan perilaku.
Manifestasi kecemasan yang timbul terbagi menjadi tiga fase
yaitu:
(a) fase protes (phase of protest) : anak-anak bereaksi secara
agresif dengan menangis dan berteriak memanggil orang tua,
menarik perhatian agar orang lain tahu bahwa ia tidak ingin
ditinggalkan orang tuanya serta menolak perhatian orang asing
atau orang lain dan sulit ditenangkan.
(b) fase putus asa (phase of despair); dimana tangisan akan
berhenti dan muncul depresi yang terlihat adalah anak kurang
begitu aktif, tidak tertarik untuk bermain atau terhadap makanan
dan menarik diri dari orang lain.dan
(c) fase menolak (phase of denial); merupakan fase terakhir
yaitu fase pelepasan atau penyangkalan, dimana anak tampak
mulai mampu menyesuaikan diri terhadap kehilangan, tertarik
pada lingkungan sekitar, bermain dengan orang lain dan tampak
membentuk hubungan baru, meskipun perilaku tersebut
dilakukan merupakan hasil dari kepasrahan dan bukan
merupakan kesenangan.
2. Kehilangan Kendali
Kurangnya kendali akan mengakibatkan persepsi ancaman dan
dapat mempengaruhi ketrampilan koping anak-anak. Kehilangan
kendali pada anak sangat beragam dan tergantung usia serta tingkat
perkembangannya seperti: 4
(a) Kehilangan kendali pada bayi; bayi sedang mengembangkan ciri
kepribadian sehat yang paling penting yaitu rasa percaya yang
dibangun melalui pemberian kasih sayang secara terus menerus
dari orang yang mengasuhnya. Bayi berusaha mengendalikan
lingkungannya dengan ungkapan emosional seperti menangis dan
tersenyum. Asuhan yang tidak konsisten dan penyimpangan dari
rutinitas harian bayi tersebut dapat menyebabkan rasa tidak
percaya dan menurunkan rasa kendali (Wells dkk,1994 dikutip
oleh Wong,2003)
(b) Kehilangan kendali pada Toddler; sesuai dengan teori Ericson
dalam Price & Gwin (2005), bahwa pada fase ini anak sedang
mengembangkan kemampuan otonominya. Akibat sakit dan
dirawat di rumah sakit, anak akan kehilangan kebebasan dalam
mengembangkan otonominya. Keterbatasan aktifitas, kurangnya
kemampuan untuk memilih dan perubahan rutinitas dan ritual
akan menyebabkan anak merasa tidak berdaya. Toddler
bergantung pada konsistensi dan familiaritas ritual harian guna
memberikan stabilitas dan kendali selama masa pertumbuhan dan
perkembangan. Area toddler dalam hal ritual mencakup makan,
tidur, mandi, toileting dan bermain. Jika rutinitas tersebut
terganggu, maka dapat terjadi kemunduran terhadap kemampuan
yang sudah dicapai atau disebut dengan regresi (Wong,2003)
(c) Kehilangan kendali pada anak prasekolah; anak usia prasekolah
menerima keadaan masuk rumah sakit dengan rasa ketakutan. Jika
anak sangat ketakutan, ia dapat menampilkan perilaku agresif,
dari menggigit, menendang-nendang, bahkan berlari keluar
ruangan. Selain itu ada sebagian anak yang menganggapnya
sebagai hukuman sehingga timbul perasaan malu dan bersalah,
dipisahkan, merasa tidak aman dan kemandiriannya terhambat
(Wong, 2003). Beberapa di antaranya akan menolak masuk rumah
sakit dan secara terbuka menangis tidak mau dirawat. Ekspresi
verbal yang ditampilkan seperti mengucapkan kata-kata marah,
tidak mau bekerja sama dengan perawat, dan ketergantungan pada
orang tua. Biasanya anak akan bertanya karena bingung dan tidak
mengetahui keadaan di sekelilingnya. Selain itu, anak juga akan
menangis, bingung, khususnya bila keluar darah atau mengalami
nyeri pada anggota tubuhnya. Ditambah lagi, beberapa prosedur
medis dapat membuat anak semakin takut, cemas, dan stres,
(d) Kehilangan kendali pada anak sekolah; banyak rutinitas di rumah
sakit seperti tirah baring yang dipaksakan, penggunaan pispot,
ketidakmampuan memilih menu, kurangnya privasi, kegiatan
mandi di tempat tidur, penggunaan
5 kursi roda atau brankar dapat
menyebabkan ancaman dan kehilangan kendali pada anak sekolah
(Wong,2003). Akan tetapi jika anak-anak tersebut diizinkan
memegang kendali dengan cara melibatkannya dalam setiap
prosedur yang memungkinkan, mereka akan berespon dengan
sangat baik terhadap prosedur apa pun. Hal ini biasanya terjadi
akibat perasaan berguna dan produktif untuk anak-anak yang
sedang belajar "bertindak dewasa".
(e) Kehilangan kendali pada remaja; segala sesuatu yang
mempengaruhi kemandirian, pengakuan diri, dan kebebasan
dalam pencarian identitas diri pada remaja akan menimbulkan
ancaman dan kehilangan kendali. Penyakit yang membatasi
kemampuan fisik seseorang dan hospitalisasi yang memisahkan
seseorang dari sistem pendukungnya merupakan krisis situasional
yang utama. Remaja dapat bereaksi terhadap ketergantungan
dengan penolakan, tidak mau bekerjasama atau menarik diri.
Mereka dapat berespon terhadap depersonalisasi dengan
pengkuan diri, marah atau frustasi sehingga staf rumah sakit
sering menganggap remaja sebagai pasien yang sulit dan tidak
dapat diatur.

4. Respon Orangtua Terhadap Proses Hospitalisasi


1. Respon Orang Tua
Beberapa penelitian menunjukkan, orang tua merasakan
kecemasan yang tinggi terutama ketika pertama kali anaknya dirawat
di RS, orang tua yang kurang mendapat dukungan emosi dan sosial
keluarga, kerabat dan petugas kesehatan dan saat orang tua
mendengar keputusan dokter tentang diagnosa penyakit anaknya
(Frieddman,1997).
Reaksi orang tua terhadap penyakit anak sangat bergantung
kepada keberagaman faktor-faktor yang mempengaruhinya antara
lain:
(1) keseriusan ancaman terhadap anak,
(2) pengalaman sebelumya dengan sakit atau hospitalisasi,
(3) prosedur medis yang terlibat dalam diagnosis dan pengobatan,
(4) sistem pendukung yang ada,
(5) kekuatan ego pribadi,
(6) kemampuan koping sebelumnya,
(7) stres tambahan pada sistem keluarga,
(8) keyakinan budaya dan agama, serta
(9) pola komunikasi di antara anggota keluarga (Wong, 2003).
2. Respon Sibling
6
Sibling sangat terpengaruh dalam menghadapi anggota keluarga
yang sedang di rawat dirumah sakit. Sibling akan merasa cemburu,
marah, benci, iri dan merasa bersalah. Hal tersebut dikarenakan
secara tiba-tiba perhatian keluarga sedang tertuju kepada saudaranya
yang sakit sehingga sibling akan merasa terabaikan. Menurut
pendapat Simon, (1993) yang di kutip oleh Wong, (2003),
berdasarkan pengalaman 45 sibling yang dikaji persepsinya, mereka
mengalami stres yang sama tingkatannya dengan stres pada anak
yang menjalani hospitalisasi. Untuk mengatasi hal ini, perawat dapat
membantu orang tua mengidentifikasi dan memenuhi kebutuhan
sibling antara lain:

(1) memberikan informasi tentang kondisi penyakit saudara


kandung dan sejauh mana perkembangannya,

(2) membiarkan sibling untuk mengunjungi saudaranya yang


dirawat,

(3) anjuran untuk memberikan perhatian seperti membuatkan


gambar atau kartu serta

(4) menelpon saudaranya yang dirawat, membiarkan sibling


untuk terlibat dalam perawatan saudara kandung semampunya
(Price & Gwin,2005).

B. Konsep Bermain
1. Definisi Bermain
Bermain adalah suatu aktivitas yang menyenangkan serta dapat menjadi
sarana belajar bagi anak yang sekaligus menjadi suatu proses yang terjadi
secara terus menerus dalam kehidupan dan mempunyai manfaat untuk
merangsang perkembangan anak secara umum, membantu anak dalam
bersosialisasi dengan teman sebayanya (Sekartini, 2011). Sedangkan
menurut Adriana (2011), Bermain adalah salah satu stimulasi yang tepat
bagi anak untuk merangsang daya pikir anak untuk mendayagunakan
aspek emosional, sosial, dan fisiknya.
Dewasa ini ada banyak ragam alat permainan yang berkembang dari
waktu ke waktu. Mulai dari permainan tradisional hingga modern. Ada
beberapa jenis permainan yang bersifat membentuk ketrampilan dan
kreatifitas anak seperti permainan menyusun puzzel, membuat origami.
Semua itu memerlukan kontrol dan seleksi orang tua ataupun guru agar
jenis dan alat permainan tersebut dapat berfungsi optimal dan tidak
membahayakan anak.
Perkembangan personal sosial adalah bertambahnya kemampuan dalam
aspek-aspek yang berhubungan dengan kemampuan mandiri, bersosialisasi
dan berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Perkembangan personal sosial
anak dapat distimulasi dengan kegiatan bermain karena anak dapat
berinteraksi dengan teman-teman sebayanya (Marimbi, 2010).
Bermain, menurut Smith and Pellegrini
7 (2008), berbeda dengan
eksplorasi dan bekerja. Di dalam eksplorasi, penyelidikan difokuskan oleh
anak demi mendapatkan keakraban lebih dengan mainan barunya atau
lebih mengenal lingkungannya. Eksplorasi inilah yang mengantarkan anak
ke dalam “alam” bermain. Dalam pengertian ini, eksplorasi dimaknai
sebagai aktivitas prabermain karena bermain bersifat aktif, sementara
eksplorasi baru pada tahap menuju aktif. Bermain juga berbeda dengan
permainan karena permainan lebih bersifat teratur dengan berbagai tujuan,
antara lain memenangkan permainan. Tahapan perkembangan bermain
anak menuju ke permainan dengan aturan umumnya muncul setelah usia 6
tahun (lihat juga Smith and Pellegrini, 2008).
Apakah bermain dalam pengertian ini hanya difokuskan pada anak?
Tidak! Pengertian bermain ini tidak hanya terbatas pada anak sebagai
subjek. Bagaimana pun kita mengenal kegiatan bermain yang dilakukan
oleh orang dewasa. Orang dewasa menyebut bermain sebagai kegiatan
selingan, charge (pengisian) energi, menghilangkan kepenatan dan
kebosanan, sebagai hiburan. Orang dewasa kadang bermain dengan anak-
anak, bahkan dengan bayi. Anda mungkin sering melihat orang melakukan
“cilukba” dan “tepuk ame-ame” dengan bayi, bukan? Mungkin Anda juga
sering melihat orang dewasa bermain layang-layang dengan anak-anak di
lapangan, sementara orang dewasa lain bermain kartu. Masa sekarang,
orang dewasa juga bermain game di media komunikasi, seperti handphone
dan komputer.

2. Berbagai Teori Bermain Menurut Para Ahli


Banyak ahli yang membahas bermain menurut riset dan pandangan
mereka masing-masing. Para ahli sepakat, anak-anak perlu bermain agar
mereka dapat mencapai perkembangan yang optimal. Tanpa bermain, anak
akan bermasalah di kemudian hari. Berikut ini, akan Anda baca pandangan
singkat para ahli tentang bermain. Sambil membaca, Anda catat poin-poin
yang penting.
1. Herbert Spencer Menurut Herbert Spencer (Catron & Allen, 1999)
anak bermain karena mereka punya energi berlebih. Energi ini
mendorong mereka untuk melakukan aktivitas sehingga mereka
terbebas dari perasaan tertekan. Hal ini berarti, tanpa bermain, anak
akan mengalami masalah serius karena energi mereka tidak
tersalurkan.
2. Moritz Lazarus Menurut Moritz Lazarus, anak bermain karena mereka
memerlukan penyegaran kembali atau mengembalikan energi yang
habis digunakan untuk kegiatan rutin sehari-hari. Hal ini mengandung
pengertian bahwa apabila tidak bermain anak akan menderita kelesuan
akibat ketiadaan penyegaran. 8
3. Erikson Menurut Erikson (1963), bermain membantu anak
mengembangkan rasa harga diri. Alasannya adalah karena dengan
bermain anak memperoleh kemampuan untuk menguasai tubuh
mereka, menguasai, dan memahami benda-benda, serta belajar
keterampilan sosial. Anak bermain karena mereka berinteraksi guna
belajar mengkreasikan pengetahuan. Bermain merupakan cara dan
jalan anak berpikir dan menyelesaikan masalah. Anak bermain karena
mereka membutuhkan pengalaman langsung dalam interaksi sosial
agar mereka memperoleh dasar kehidupan sosial.
4. Sigmund Freud Sigmund Freud (1920) melihat bermain dari kaca
mata psikoanalitis. Dengan demikian, teorinya disebut teori bermain
psikoanalisis. Menurutnya, bermain bagi anak merupakan suatu
mekanisme untuk mengulang kembali peristiwa traumatik yang
dialami sebelumnya sebagai upaya untuk memperbaiki atau
menguasai pengalaman tersebut demi kepuasan anak. Dengan
demikian, Freud melihat bermain sebagai sarana melepaskan
kenangan dan perasaan yang menyakitkan. Hal ini berarti anak
bermain karena mereka butuh melepaskan desakan emosi secara tepat
(Freud, 1958; Isenberg & Jalongo, 1993). Para mahasiswa juga perlu
tahu bahwa Freud lah yang mengembangkan teori perspektif
psikoanalisis untuk bermain. Gagasan Freud (1958) ini telah
mempengaruhi perkembangan terapi bermain, dan wilayah ini cukup
diminati sebagai topik-topik penelitian dewasa ini.
5. Froebel Froebel terkenal dengan pendekatan dan ide-idenya yang
berpusat pada anak yang kita kenal sekarang sebagai bermain bebas.
Froebel percaya bahwa anak-anak membutuhkan pengalaman nyata
dan aktif secara fisik. Di sini lah terdapat kaitan antara bermain dan
belajar. Lagu dan ritme diperkenalkan dan menjadi stimulasi lanjutan.
Froebel juga menunjukkan pentingnya permainan out-door dan alat
main natural yang diperoleh dari lingkungan sekitar. Froebel lalu
mendirikan Taman Kanak-kanak yang kemudian banyak berpengaruh
terhadap teori-teorinya di kemudian hari.
6. Tahukah Anda, bahwa Froebel mendirikan TK karena ada maksud
tertentu, bukan dimaksudkan sebagai sekolah untuk anak. Pada tahun
1837, di Keilhau, Froebel membuka sebuah lembaga yang ia
namakan, ”Sekolah Latihan Psikologis bagi Anak-anak melalui
Permainan dan Kegiatan”. (Catatan: Kata “sekolah” sendiri tidak
begitu disukai Froebel karena tersirat kegiatan yang sistematis dan
diatur secara ketat (Downs, 1978). Froebel ingin agar anak-anak
tumbuh lebih leluasa, seperti tanaman bunga. Oleh karena itu, saat
Foebel bersama teman-temannya berjalan kaki di lembah penuh
bunga, ia berhenti sejenak, dan dengan
9 mata berbinar-binar ia berseru,
“Wah, saya menemukannya! Die Kindergarten. Itulah nama yang
sesuai! Taman Kanak-Kanak (Snider, 1900). Sejak itu, Froebel
mempropagandakan gagasan Taman Kanak-kanaknya itu, mulai
Dresden dan Leipzig.
7. Perlu juga Anda ketahui bahwa bermain menurut Froebel adalah “cara
anak untuk belajar” atau “anak belajar dengan berbuat.” Anak didik
bukanlah bejana pasif yang menerima begitu saja apa yang diberikan
kepadanya, melainkan ikut ambil bagian dalam pendidikannya. Peran
itu tampak dalam beberapa hal, antara lain (a) bermain, (b) bernyanyi,
(c) menggambar, dan (d) memelihara tanaman atau binatang kecil.
Dengan demikian, bermain menjadi metode andalan di Taman Kanak-
kanak.

3. Karakteristik Bermain
Secara singkat dapat dikatakan bahwa bermain memiliki ciri-ciri khas
yang perlu diketahui oleh guru dan orang tua. Kekhasan itu ditunjukkan
oleh perilaku anak. Kegiatan disebut bermain apabila :
1. menyenangkan dan menggembirakan bagi anak; anak menikmati
kegiatan bermain tersebut; mereka tampak riang dan senang (seperti
pada gambar di atas);
2. dorongan bermain muncul dari anak bukan paksaan orang lain; anak
melakukan kegiatan karena memang mereka ingin. (perhatikan
bagaimana anak yang lebih kecil memilih bermain air, anak yang
mahir memilih menguasai bola, anak yang lain berusaha merebut bola
dari anak lain;
3. anak melakukan karena spontan dan sukarela; anak tidak merasa
diwajibkan; (anak begitu saja berlari, mengejar, mengincar, merebut,
dan menendang bola tanpa ada rencana sebelumnya. Tidak ada
seorang pun yang menskenario perilaku anak dalam bermain, seperti
tampak pada contoh di atas);
4. semua anak ikut serta secara bersama-sama sesuai peran masing-
masing; (tampak pada gambar, anak memiliki peran masing-masing
yang membuat mereka disebut bermain bola, seperti mengejar,
merebut, memberi umpan, berusaha menguasai bola, bahkan ada yang
asyik dengan air karena tidak mendapatkan bola. Anak menciptakan
sendiri “ulah” mereka untuk mendukung kegiatan bermain mereka dan
peran yang diambil);
5. anak berlaku pura-pura, tidak sungguhan, atau memerankan sesuatu;
anak pura-pura marah atau pura-pura menangis;
6. anak menetapkan aturan main sendiri, baik aturan yang diadopsi dari
orang lain maupun aturan yang10baru; aturan main itu dipatuhi oleh
semua peserta bermain; (pada gambar tampak bahwa anak bermain
bola di area berair, dengan luas wilayah semau mereka, dengan bola
seadanya, dengan aturan yang mereka sepakati sendiri);
7. anak berlaku aktif; mereka melompat atau menggerakkan tubuh,
tangan, dan tidak sekedar melihat; (tampak pada gambar tidak ada
seorang anak pun pasif, diam. Semua anak bergerak dengan pose
masing-masing); 8. anak bebas memilih mau bermain apa dan beralih
ke kegiatan bermain lain; bermain bersifat fleksibel. (tampak pada
gambar anak boleh pause sejenak dengan bermain air, boleh sambil
bergurau, boleh sambil bergaya).

Anak-anak
terlibat aktif
bersama-sama Spontan
Menyenangkan
& dan
menggembiraka sukarela
n

Motivasi dari Karakteristik Berpura-


dalam diri Bermain pura, tidak
anak betulan

Aturan sesuai Anak harus aktif


Fleksibel (anak
kebutuhan bergerak/berpiki
bebas memilih
anak r
& beralih
bermain)
4. Manfaat Bermain Bagi Anak Sesuai Tingkat Pertumbuhan Dan
Perkembangannya
Secara umum, bermain memiliki manfaat setidak-tidaknya manfaat fisik
dan release. Secara fisik, bermain dipandang sebagai aktivitas
menggerakkan badan. Sebagian orang dewasa bahkan memanfaatkan
bermain sebagai kegiatan berolah raga, seperti tenis, tenis meja, bulu
tangkis, dan golf.
Bermain juga dapat dimanfaatkan sebagai sarana mendidik anak.
Seperti Anda tahu, banyak orang dewasa yang bermain bersama anak,
bukan karena kelebihan waktu, tetapi lebih karena ingin mendidik anak.
Orang dewasa bermain kartu kata, bermain boneka, bermain ular tangga,
dan bermain lompat tali bersama anak, adalah karena mereka ingin
menanamkan kebersamaan, sportivitas, dan mengajarkan aturan bermain
yang lebih baku.
Bermain, sebagaimana dinyatakan Sigmund Freud (1958), juga
bermanfaat sebagai terapi. Anak-anak atau orang tertentu yang mengalami
trauma atau masalah serius diterapi dengan bermain, seperti bermain
boneka, bermain pasir, bermain air, bermain dengan melumat kertas,
bermain playdough, bermain di titian, memanjat, dan kegiatan bermain
yang telah dirancang. Para psikolog banyak memanfaat kegiatan bermain
sebagai terapi.
Bermain menyediakan ruang untuk memanfaatkan imajinasi (seperti
dalam bermain “pengandaian”, belajar perspektif (seperti dalam bermain
boneka dan bermain peran), memunculkan ide baru (seperti dalam bermain
konstruksi), menemukan solusi (seperti dalam bermain maze), membangun
konstruk kerja sama (seperti dalam bermain sepak bola, gobak sodor), dan
mendapatkan konsep sistem (seperti bermain mobil-mobilan yang dapat
dibongkar-pasang). Hal ini menunjukkan, bahwa bermain mampu
menyegarkan, bahkan mengembangkan, kognisi melalui kreativitas,
berpikir abstrak, memecahkan masalah, menguasai konsep-konsep baru,
dan keterampilan sosial.

12
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Terdapat beberapa faktor yang dapat menimbulkan stres ketika anak
menjalani hospitalisasi seperti: (a) Lingkungan Rumah sakit, (b) Berpisah
dengan orang-orang yang berarti, (c),Kehilangan kendali, (d) Cedera
tubuh dan nyeri.
2. Respon anak ketika menjalani hospitalisasi: (a) merasa cemas, marah
sedih, takut dan rasa bersalah, (b) memiliki keterbatasan koping terhadap
stres dan sakit yang dirasakan yang dipengaruhi oleh tingkat
perkembangan, pengalaman sebelumnya, support system dalam
keluarga,ketrampilan koping dan berat ringannya penyakit.
3. Respon keluarga sangat bervariasi bergantung kepada keberagaman
faktor-faktor yang mempengaruhinya. (a) Hospitalisasi bagi keluarga dan
anak dapat dianggap sebagai suatu pengalaman yang mengancam dan
merupakan sebuah stressor (b) dapat menimbulkan krisis bagi anak dan
keluarga.
4. Hospitalisasi merupakan proses yang menimbulkan dampak negatif
terhadap perkembangan anak. Jika tidak di tangani secara serius, tepat
dan terencana akan mengarah kepada disfungsi perkembangan yang
dapat mengancam kehidupan anak.
5. Meminimalkan dampak hospitalisasi melalui membutuhkan penanganan
secara tepat, terencana dan terorganisir.

13
DAFTAR PUSTAKA

Wulandari,D & Erawati, 2016.Buku Ajar Keperawatan Anak.Yogyakarta:Pustaka


Belajar
Supartini. Buku ajar konsep dasar keperawatan anak. Jakarta. EGC
Wong, Donna L. 2003. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik. Alih bahasa
Monica Ester. Editor Sari Kurnianingsih. Edisi 4. Jakarta: EGC.
Supartini, Y. 2004. Buku Ajar Konsep Dasar Keperawatan Anak. Jakarta : EGC.
Nursalam., Susilaningrum, Rekawati., & Sri Utami. 2008. Asuhan Keperawatan
Bayi dan Anak. Jakarta, Salemba Medika
Norton, Westwood D. (2012). The Health-Care Environment Through The Eyes
Of A Child - Does Is Shoothe Or Provoke Anxiety?. International Journal Of
Nursing Practice, 11(5), 470-479
Pelander., & Leino, Kilpi. (2010). Empirical Studies; Children’s Best And Worst
Experiences During Hospitalization. Finland Scand J Caring Sci, 12(4), 347-
356
Gordon B. K., T. Jaaniste , K. Bartlett , M. Perrin, A. Jackson, A. Sandstrom , R.
Charleston, dan S. Sheehan . Child and parental surveys about pre-
hospitalization information provision. Child: care, health and development,
2010.
Price, D.,L, & J.F. Gwin,. Thompson’s Pediatric Nursing, an Introductory Text
(ed., 9th). Elsevier Inc, St Louis. 2005
Pelander, T., & H. Leino-Kilpi. “ Empirical Studies; Children’s best and worst
experiences during hospitalization”. Finland Scand J Caring Sci, 2010
Pena., A., L., N, & Juan, L., C. The experience of hospitalized children regarding
their interactions with nursing professionals. Enfermagem Original Article,
2011
Wong, D., L.. Whaley and Wong’s nursing care of infants and children. (7th ed.).
St. Louis: Mosby. 2003.
Stuart dan Sundeen. (1998). Buku Saku Keperawatan Jiwa Edisi 3 alih bahasa
Achir Yani. S. Jakarta: EGC.

14

Anda mungkin juga menyukai