Anda di halaman 1dari 6

TUGAS KELOMPOK PERTEMUAN 11

“Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik di


Indonesia”
HUKUM BISNIS

Disusun Oleh (Kelompok 2) :


Elizabeth Lauren 20196220019
Maria Herni Yohana T.k 20196220018
Shannen Mathilda 20196220015

UNIVERSITAS MATANA
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS PROGRAM STUDI AKUNTANSI
2019
Contoh Kasus: UU ITE Kembali Menelan Korban, Segera Revisi UU ITE
Tidak butuh waktu lama, UU ITE kembali menelan korban saat tahun 2020 baru berjalan dua
minggu. Kali ini aktivis Pusat Studi Antar Komunitas (PUSAKA) Padang, Sudarto Toto, yang
menjadi korban pasal karet dalam UU ITE. Sudarto ditangkap karena mengkritik terkait dugaan
pelarangan ibadah natal di Nagari Sikabau. Bahkan, Kepala Bidang (Kabid) Humas Polda
Sumbar, Kombes Pol Stefanus Satake Bayu Setianto, menyatakan bahwa Sudarto telah
ditetapkan sebagai tersangka.
Sudarto dianggap menyebarkan informasi yang menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan
melalui akun media sosialnya berdasarkan surat Pemberitahuan dari Pemerintahan Nagari
Sikabau yang berisi bahwa pemerintahan Nagari merasa keberatan/tidak memberikan izin
pelaksanaan kegiatan Ibadah Natal Tahun 2020 dan Tahun Baru 2020. Atas tindakannya
tersebut, Sudarto dijerat Pasal 45 A ayat (2) jo. Pasal 28 ayat (2) UU No. 19 Tahun 2016 tentang
perubahan atas UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan/atau
Pasal 14 ayat (1) dan (2) dan Pasal 15 UU No.1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.
Atas penangkapan Sudarto tersebut, ICJR menyatakan hal berikut:
1) Penerapan Pasal 28 ayat (2) terhadap Sudarto adalah tidak tepat. Pasal 28 ayat (2) UU
ITE tidak dirumuskan sesuai dengan tujuan awal perumusan tindak pidana tentang
propaganda kebencian, yaitu guna mencegah terjadinya permusuhan, kerusuhan, atau
bahkan perpecahan yang didasarkan pada SARA akibat informasi negatif yang bersifat
provokatif. Contoh penerapannya adalah apabila seseorang menuliskan status dalam
jejaring sosial informasi yang berisi provokasi terhadap suku/agama tertentu dengan
maksud menghasut masyarakat untuk membenci atau melakukan anarki terhadap
kelompok tertentu.
Dalam hal ini, Sudarto melayangkan kritikan dalam media sosialnya karena
adanya dugaan pelarangan ibadah natal di Nagari Sikabau, bukan menghasut masyarakat
untuk membenci atau melakukan anarki, sehingga penerapan Pasal 28 ayat (2) terhadap
Sudarto tidak tepat karena unsur “untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan”
tidak terpenuhi.
2) Tindakan yang dilakukan kepolisian merupakan upaya pembungkaman kebebasan
berekspresi, khususnya dalam isu kebebasan beragama dan berkeyakinan, serta
merupakan bentuk kriminalisasi atas upaya Sudarto yang membela hak konstitusional
kelompok minoritas untuk beragama dan beribadah secara merdeka, sebagaimana telah
dijamin dalam Pasal 29 ayat (2) dan Pasal 28E ayat (1) dan (2) UUD 1945. Untuk itu,
ICJR meminta agar Polisi segera menghentikan proses hukum terhadap sudarto dan Jaksa
mengevaluasi penyidikan yang dilakukan oleh Polisi dalam tugas Jaksa sebagai dominus
litis.
Komite HAM PBB dalam Komentar Umum No. 34 juga telah menjelaskan
kondisi pembatasan kebebasan berekspresi, namun (pembatasan tersebut) tidak
diperbolehkan untuk mendiskriminasi atau menentang satu atau beberapa agama atau
sistem kepercayaan, atau penganutnya atas yang lain, kecuali dibatasi secara ketat untuk
mencegah hasutan yang mengarah pada diskriminasi, permusuhan dan kekerasan (except
if strictly limited to curtailing incitement to “discrimination, hostility or violence”).
Selain itu, mengingat urgensi revisi UU ITE karena memiliki rumusan tindak pidana yang sangat
“lentur” dan meluas, sehingga menyebabkan penggunaan pasal-pasal di dalamnya menjadi tidak
presisi dan bahkan eksesif oleh aparat penegak hukum, maka ICJR mendorong RUU revisi UU
ITE untuk dapat dimasukan ke dalam Prolegnas Prioritas 2020. Revisi UU ITE tersebut
hendaknya juga memperhatikan hal berikut:
1) Pemerintah harus menghapus seluruh pasal pidana yang duplikasi dan berpotensi
overkriminalisasi. Selain itu agar tidak terjadi duplikasi berkelanjutan, perubahan UU
ITE nanti pun harus sejalan dan memperhatikan ketentuan-ketentuan dalam RKUHP
yang kini sedang dalam tahap pembahasan.
2) Revisi UU ITE harus mengembalikan hal baik yang pernah dirumuskan oleh UU ITE
2008 bahwa mekanisme upaya paksa harus dengan izin dari pengadilan.
3) Revisi UU ITE harus memperjelas mekanisme pengaturan blocking dan filtering konten.
Pada dasarnya ICJR memandang bahwa blocking dan filtering konten adalah kewenangan yang
memang harus dimiliki oleh pemerintah. Namun, batasan konten atau muatan internet yang dapat
dibatasi, bagaimana prosedur pembatasannya, dan bagaimana mekanisme pemulihannya harus
diatur dengan tegas dan jelas karena berhubungan dengan pembatasan hak asasi manusia.
Pertanyaan
Saya mau tanya soal UU (ITE) ini. Bila saya menulis keluhan suatu keadaan sosial masyarakat
suatu daerah di surat-surat pembaca dengan tujuan mendapat perhatian publik apakah ada UU
yang menjerat saya? Bagaimana Pendapat kelompok anda agar saya tidak terjerat kasus Hukum
dalam menyampaikan ekspresi berpendapat diatas? Silahkan berikan opini hukumnya!
Diskusi Kelompok
Bila saya menulis keluhan suatu keadaan sosial masyarakat suatu daerah di surat-surat
pembaca dengan tujuan mendapat perhatian publik apakah ada UU yang menjerat saya?
Berdasarkan kasus diatas apa bila tulisan tersebut diedarkan pada media elektronik atau media
sosial makan akan dikenakan Pasal 27 ayat (3) jo. Pasal 45 ayat (1) pada UU Nomor 11 tahun
2008 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik dalam kasus pernyataan yang memiliki
materi muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik melalui media sosial yang
menyatakan bahwa:
Pasal 27 ayat (3) UU ITE menyatakan
“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama
baik”. 
Sementara Pasal 45 ayat (1) UU ITE menyebutkan bahwa
“Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1),
ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”.
UU ITE mengatakan barang siapa mentransfer berita melalui dunia maya dan itu menyinggung
perasaan orang, itu bisa diancam hukuman, menurut kami hal tersebut sudah benar.
Selain dalam UU ITE adapun Undang-undang KUHP pada Bab XIV Pasal 310 ayat (1)
mengenai penistaan jo. Pasal 310 ayat (2) KUHP mengenai penistaan.
Pasal 310 ayat (1) KUHP menyatakan
(1) Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan
menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum,
diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau
pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(2) Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan
atau ditempelkan di muka umum, maka diancam karena pencemaran tertulis dengan
pidana penjara paling lama satu tahun
Bagaimana Pendapat kelompok anda agar saya tidak terjerat kasus Hukum dalam
menyampaikan ekspresi berpendapat diatas? Silahkan berikan opini hukumnya!
Tindak pidana pencemaran nama baik melalui media elektronik tidak dapat dilepaskan dari peran
teknologi informasi itu sendiri sebagai sarana dalam melakukan tindak pidana. Teknologi
informasi berbasis internet mempunyai peran sebagai fasilitas untuk mengekspresikan kebebasan
berpendapat dan berekspresi selain memfasilitasi perwujudan hak-hak asasi manusia yang lain.
Sebagian masyarakat menganggap bentuk kebebasan berbicara merupakan bagian dari Hak Asasi
Manusia (HAM), tapi masyarakat yang lainnya justru melihat ini merupakan sebuah bentuk
provokasi atau pencemaran nama baik yang perlu dikenakan sanksi atau hukuman tertentu bagi
pelakunya atau pelanggarnya. Pemanfaatan teknologi informasi menimbulkan konsekueni
adanya perubahan objek tindak pidana yang semula berupa nama baik atau kehormatan
seseorang menjadi dokumen elektronik dan/atau infromasi elektronikyang mempunyai muatan
pencemaran.
Maka dari itu untuk mengurangi terjadinya hal tersebut, kita sebelum mengeluarkan pendapat
harus mengetahui etika berpendapat yang baik dan benar, seperti:
1. Hindari opini provokatif yang berkemunginan akan menimbulkan sebuah
perpecahan antar masyarakat.
Pentingnya opini yang kita sampaikan tetapi kita harus memikirkan apakah yang
disampaikan itu bersifat provokatif atau tidak. Karena opini merupakan sesuatu bagian
yang sangat penting, kita tidak tahu apa yang kita sampaikan belum tentu bisa diterima
semua kalangan.
2. Mengetahui isu tersebut secara detail.
Dalam menyampaikan sebuah pendapat kita perlu mengetahui terlebih dahulu dalam
informasinya agar kita beropini dapat dengan jelas dan terarah. Saat ini sedang marak
oknum yang dengan sengaja memputar balikan isu yang dibuat dan di publish untuk
menimbulkan sebuah perpecahan. Maka dari itu kita harus mengetahui isu tersebut secara
detail agar tidak menimbulkan berita/informasi yang misleading.
3. Memikirkan kembali pendapat/informasi yang akan disampaikan.
Terkadang, ketika mengutarakan pendapatnya, kita tidak mempertimbangkan
kemungkinan dampak dari pendapat yang telah disampaikan. Untuk itu kita perlu
mempertimbangkan kembali sudut pandang yang ingin kita sampaikan. Karena apa yang
menurut kita benar tetapi belum tentu benar bagi mereka, mengingat bahwa media digital
merupakan sebuah platform yang terbuka dimana semua orang dapat bebas berpendapat.
Jadi jika pendapat/informasi yang akan disampaikan bersifat sensitif, maka kita harus
memikirkan lagi sebelum mengeluarkan pendapat/informasi tersebut.
4. Menggunakan bahasa yang sopan dan santun.
Dalam penyampaian pendapat sebaiknya disampaikan dengan cara dan bahasa yang baik
dan sopan. Perlu harus selalu diingat bahwa cara-cara kita di dunia digital juga tentu
punya tata krama yang perlu tercermin. Di dalam media digital juga ditunjukkan nilai-
nilai entitas kita sebagai bangsa.

Kesimpulan
Menurut kami aktivitas yang terjadi di internet tidak dapat dilepaskan dari faktor manusia dan
akibat hukumnya juga bersinggungan dengan manusia di masyarakat yang berada dalam dunia
fisik, maka kemudian muncul pemikiran tentang perlunya aturan hukum untuk mengatur
aktivitas-aktivitas di dalam ruang maya tersebut.
Maka sebaiknya sebelum menggunakan media sosial aspek yang perlu diperhatikan adalah
memastikan bahwa dalam memberikan pendapat perlu menggali terlebih dahulu informasi yang
diperoleh apakah informasi tersebut benar-benar valid atau tidak.
Saran
1. Saran kami dalam melakukan pengutaraan pendapat kita sebagai masyarakat dalam
pemanfaatan teknologi informasi harus dilakukan secara baik, bijaksana
bertanggungjawab, efektif, dan efisien, agar dapat diperoleh manfaat yang sebesar-
sebesarnya bagi masyarakat.
2. Pemerintah harus memberikan pemahaman dan sosialisasi Undang-Undang No. 11 Tahun
2008 Tentang Informasi dan Teknologi Informasi (UU ITE) kepada masyarakat yang
diakibatkan adanya perubahan sosial yang belum cukup efektif, sebagaimana terlihat dari
masih maraknya pelanggaran-pelanggaran dalam penggunaan teknologi informasi.

Anda mungkin juga menyukai