Anda di halaman 1dari 84

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Umum

Komponen pelat dengan seluruh beban yang didukung langsung dilimpahkan

ke kolom dan selanjutnya ke pondasi bangunan, bentangan struktur pelat tidak dapat

panjang karena pada ketebalan tertentu (berarti berat sendiri) menghasilkan struktur

yang tidak hemat dan praktis. Oleh karena itu telah banyak dikembangkan jenis

system struktur pelat yang bertujuan untuk memperoleh bentangan sepanjang

mungkin dengan masalah beban mati sekecil mungkin. Salah satu diantaranya

dinamakan sistem balok anak dan induk, terdiri dari pelat yang bertumpu pada balok

anak yang membentuk rangka dengan balok induk sertra kolom sebagai penopang

struktur keseluruhannya. Pada sistem ini pada umumnya dicetak monolit menjadi

kesatuan dengan pelat lantai atau atap

2.1.1 Hubungan Balok dan Pelat

Didasarkan pada adanya anggapan bahwa antara pelat dan balok terjadi

interaksi saat menahan momen lentur positif yang bekerja pada balok. Interaksi pada

pelat dan balok yang menjadi kesatuan pada penampangnya membentuk huruf T

tipikal, dan oleh karena itulah balok balok tersebut dinamakan balok T. Pelat akan

berlaku sebagai lapisan sayap (flens) tekan dan balok sebagai badan. Dalam hal ini,

pelat yang berfungsi sebagai flens dari balok T juga harus direncana dan

diperhitungkan tersendiri terhadap lenturan pada arah melintang terhadap balok

pendukungnya.
2.1.2 Perencanaan Dimensi Balok dan Pelat

Berdasarkan standar SK SNI T-15-1991-03 Pasal 3.1.10 memberikan

pembatasan lebar flens efektif balok T sebagai berikut :

a. Lebar flens efektif yang diperhitungkan tidak lebih besar dan diambil

nilai terkecil dari nilai-nilai berikut :

 Seperempat panjang bentang balok ( ¼ L)

 Bw + 16 hf

 Jarak dari pusat kepusat antar -balok

b. Untuk balok yang hanya mempuyai flens pada satu sisi, lebar flens efektif

yang diperhitungkan tidak lebih besar dan diambil nilai terkecil dari

nilai-nilai berikut :

 Seperduabelas panjang bentang balok ( 1/12 L)

 6 hf

 ½ jarak bersih dengan balok disebelahnya

c. Untuk balok yang khusus dibentuk sebagai balok T dengan maksud

untuk mendapatkan tambahan luas daerah tekan, ketebalan flens tidak

boleh lebih besar dari setengah lebar balok dan lebar flens total tidak

boleh lebih dari empat kali lebar balok

Pada SKSNI T15 – 1991 – 03 tabel 2.1 tercantum tebal minimum sebagai

fungsi terhadap bentang. Nilai – nilai pada tabel tersebut berlaku struktur yang tidak

mendukung serta sulit berdeformasi atau berpengaruh terhadap struktur yang mudah

rusak akibat lendutan yang besar.


Nilai kelangsingan yang diberikan itu berlaku untuk beton normal dan

tulangan dengan fy = 400 Mpa ( 4000 kg/cm²). Untuk fy yang lain dapat

𝑓𝑦
digunakan faktor pengali �0,4 + 700� yang akan menghasilkan nilai apapun. Bila

240
memakai baja fy = 240 Mpa maka nilainya adalah 0,4 + 700 = 0,74

Tumpuan Sederhana Satu menerus Dua menerus Kantilever


Komponen fy fy fy fy
400 240 400 240 400 240 400 240
Pelat 1 1 1 1 1 1 1 1
mendukung 20 27 24 32 28 37 10 13

satu arah
Balok 1 1 1 1 1 1 1 1
mendukung 16 21 18,5 24,5 21 28 8 11

satu arah

Tabel 2.1 Tebal minimum h


Penentuan lebar balok sangat tergantung dari besarnya gaya lintang.

Seringkali dengan mengambil bw = 1/2 h sampai 2/3 h ternyata cukup memadai.

2.1.3 Syarat Lendutan Pelat dan Balok sebagai Struktur Monolit.

Syarat batas pada tebal pelat adalah h min < h ≤ h max. dimana

fy
0,8 +
h= 1500 .(ln)
  1
36 + 5.β α .m - 0,12 1 +  
  β

Struktur monolit pada pelat dan balok saling berhubungan sehingga dalam

menentukan dimensinya harus bersamaan dimana tebal (h) pelat bergantung dengan

dimensi balok begitu juga sebaliknya.


Langkah-langkah dalam menentukan struktur monolit pelat dan balok adalah

sebagai berikut :

 Menentukan daerah balok dan pelat dimana bentang terpanjang adalah

(Ly) dan bentang terpendek adalah (Lx)

 Menentukan lebar balok (bW)

Lebar balok bW adalah ½ h – 2/3h cukup memadai.

 Bentang bersih balok (ln) = Ly – bW

 Menentukan rasio bentang bersih arah memanjang terhadap arah

𝐿𝑦−𝑏
melebar plat 2 arah (β) = 𝐿𝑥−𝑏𝑤
𝑤

 Menghitung Tebal pelat minimum :


fy
0,8 +
h min ≥ 1500 x ln
36 + 9 β
 Menghitung Tebal pelat maksimum :
fy
0,8 +
h max ≤ 1500 x ln
36

asumsi nilai hf adalah h min < hf ≤ h max

 Menentukan lebar mamfaat / lebar flens efektif (be)

 Menetukan titik pusat berat.

A1 = luas flens efektif

A2 = luas balok efektif

(A1 x Y1) + (A2 x Y2)


Y=
A total
 Momen Inersia terhadap sumbu X

1
I b1 = { (be .hf 3) + A1(Y-Y1)2} Y1 (A1)
12 Y2
Y

1
I b2 = { (be .hf 3) + A1(Y-Y1)2} (A2)
12 X
1
I s1 = (Ly . (h-hf)3 bw

12 be

1
I s2 = (Lx . (h-hf)3
12

 Menentukan nilai rata rata αm

Dimana α adalah rasio kekakuan lentur penampang balok terhadap

kekakuan pelat, dengan lebar yang dibatasi secara lateral oleh garis

sumbu panel yang bersebelahan (bila ada) pada setiap sisi balok, atau

sudut antara sengkang miring dan sumbu longitudinal komponen

struktur.

α1 =
Ib1
α2 =
Ib2
αm =
1
(α1 + α 2)
Is1 Is 2 2

 Kontrol tebal pelat hf

fy
0,8 +
hf = 1500 .(ln)
  1
36 + 5.β α .m - 0,12 1 +  
  β

Jika nilai hf < h min SNI yaitu 120mm, maka dipakai h min SNI. Jika

nilai hf≥ h max analisa maka harus merubah dimensi balok atau

menambah balok anak, sehingga h min SNI < hf ≤ hmax


2.1.4 Persyaratan Kekuatan.

Ketidakpastian berkaitan dengan besar beban mati pada struktur lebih kecil

daripada ketidakpastian dengan beban hidup. Hal demikian dapat menimbulkan

perbedaan dari besar faktor-faktor beban. Pada SKSNI-T15-1991-03 Subbab 3.2.2

menentukan nilai-nilai γQ sebagai berikut :

a. Untuk beban mati γD = 1,2

b. Untuk beban hidup γl = 1,6

Maka rumus yang digunakan adalah U = 1,2 D + 1,6 L

Keterangan :

U= kuat perlu untuk menahan beban yang telah dikalikan dengan faktor

beban atau momen dan gaya dalam yang berhubungan dengannya.

D= beban mati, atau momen dan gaya dalam yang berhubungan dengan

beban tersebut.

L= beban hidup, atau momen dan gaya dalam berhubungan dengan

beban tersebut.

Kekuatan yang tersedia ≥ kekuatan yang dibutuhkan

Untuk beban angin berlaku faktor beban γw = 1,6. Berdasarkan kemungkinan

kecil tentang timbulnya beban hidup maksimal dan beban angin maksimal pada saat

yang bersamaan, maka pada perhitungan di mana beban angin yang menentukan

boleh digunakan suatu faktor reduksi.

Maka rumus yang digunakan adalah U = 0,75 (1,2 D + 1,6 L + 1,6 W)


2.1.5 Faktor reduksi kekuatan ∅

Ketidak pastian kekuatan bahan terhadap pembebanan dianggap sebagai

faktor reduksi kekuatan ∅. Berdasarkan SKSNI 03-2847-2002 pasal 11.3-02 untuk

∅ sebagai berikut:

a. Untuk beban lentur tanpa beban aksial = 0,80

b. Untuk gaya aksial tarik dan aksial tarik dengan lentur = 0,80

c. Untuk gaya aksial tekan dan aksial tekan dengan lentur = 0,65

d. Untuk gaya lintang dan torsi = 0,60

2.1.6 Penutup beton tulangan

Dua besaran yang berperan penting pada analisis penampang beton bertulang

adalah tinggi total h dan tinggi efektif d.

a. untuk sebuah pelat, hubungan antara h dan d ditentukan oleh,

h = d + ½ Ø tul. ut + p

keterangan :

d = tinggi efektif (jarak dari serat tekan ketitik berat tulangan tekan)

p = tebal penutup beton untuk menutup tulangan terluar.

Ø tul. ut = diameter tulangan utama

h d
h d 1/2 Øtul. ut
p
1/2 Øtul. ut
Øsengkang
p

Gambar 2.1 Hubungan antara h, d dan p (penutup beton)


b. untuk sebuah balok, hubungan antara h dan d ditentukan oleh,
h = d + ½ Ø tul. ut +Ø sengkang + p
keterangan :
Ø tul. ut = diameter tulangan utama Ø sengkang = diameter sengkang

c. salah satu faktor yang menentukan perbedaan antara d dan h, baik dalam

pelat maupun balok adalah penutup beton p. Lapisan pelindung yang

digunakan sesuai dengan ketentuan tebal penutup beton akan :

1. Menjamin penanaman tulangan dan lekatannya dengan beton.


2. Menghindari korosi pada tulangan yang mungkin dapat terjadi.
3. Meningkatkan perlindungan struktur terhadap kebakaran.
Penutup beton yang diberikan cukup memenuhi fungsi ini, bergantung pada :
1. Kepadatan dan kekedapan beton.
2. Ketelitian pelaksanaan pekerjaan.
3. Sambungan disekitar konstruksi tersebut.
Berdasarkan SK SNI T15-1991-03 Pasal 3.3.16-7 tebal minimum penutup

beton adalah sebagai berikut :

Bagian konstruksi Yang tidak langsung Yang langsung


berhubungan dengan berhubungan dengan
tanah dan cuaca tanah dan cuaca
Lantai / dinding ØD-36 dan lebih ØD-16 dan lebih
kecil : 20mm kecil : 40mm
> ØD-36 : 40mm > ØD-16 : 50mm
Balok Seluruh diameter : 40mm ØD-16 dan lebih
kecil : 40mm
> ØD-16 : 50mm
Kolom Seluruh diameter : 40mm ØD-16 dan lebih
kecil : 40mm
> ØD-16 : 50mm

Tabel 2.2 Tebal minimum penutup beton pada

tulangan terluar
2.1.7 Persentase tulangan minimum

Berdasarkan SK SNI T15-1991-03 Pasal 3.3.3-5 tulangan minimum

ρ min yang disyaratkan adalah sebagai berikut :

Seluruh mutu beton fy= 250 Mpa (2500 fy= 400 Mpa (4000
kg/cm2) kg/cm2)
Balok dan umumunya 0,0056 0,0035

Alternatif 4/3 ρ an 4/3 ρ an

Pelat 0,0025 0,0018

Tabel 2.3 Tulangan minimum ρ min yang disyaratkan

2.1.8 Perhitungan perencanaan

Apabila momen Mu pada sebuah penampang diketahui kemudian

diperkirakan ukuran beton b dan d. Selanjutnya mutu beton dan mutu baja

ditentukan, maka jumlah tulangan yang diperlukan dapat dihitung.

Untuk menghitung ρ an dapat menggunakan rumus:

𝑀𝑢 𝑓𝑦
= 𝜌 . φ . 𝑓𝑦 (1 − 0,588 𝜌 ′ )
𝑏𝑑² 𝑓𝑐

Pada persamaan ini pada ruas kanan hanya bergantung pada mutu beton dan

mutu baja serta jumlah tulangan. Akan tetapi karena mutu beton dan baja telah

dipilih maka ruas ini telah bernilai tertentu. Jadi yang tidak diketahui hanyalah

jumlah tulangan ρ. Kemudian diselesaikan dengan rumus abc.


2.2 Penyaluran Pembebanan Pelat ke Balok.

5.000 5.000

C
2.500

5.00

2.500
a b
B
2.500
5.00

2.500
2.500 2.500 2.500 2.500

1 2 3 A

Gambar 2.2 Sketsa denah pelat dan balok pada bangunan

A. Beban Merata

 Beban mati merata (merata dalam bentuk segitiga)

a. tinjau daerah B1-B2


2.500
Q = tinggi a . qd . 2 a

b. tinjau daerah B2-B3 2.500 2.500

Q = tinggi b . qd . 2

 Beban hidup merata (merata dalam bentuk segitiga)

a. tinjau daerah B1-B2

Q = tinggi a . ql . 2
2.500

a
b. tinjau daerah B2-B3
2.500 2.500

Q = tinggi b . ql . 2
 Konversi Beban merata segitiga ke merata persegi

Q
q
A B A B
2/3 1/3 1/2 1/2

1/2L 1/2L 1/2L 1/2L

M Q = 1/12 Q L2 M q = 1/8 q L2

a. Konversi Beban Merata Segitiga (M Q) ke Beban Merata Persegi

(M q)

Mq = MQ

1/8 q L2 = 1/12 Q L2

q = (1/12 Q L2) / (1/8 L2)

q = 0,667 . Q

B. Beban Angin
V2
Beban terpusat angin P =
16
Dimana V2 adalah kecepatan angin rata rata (km/jam)

 Angin Datang (Tiup) 2,000


w1 4,000
2,000
4,000
w1’ = 0,9 . luasan w1. P 2,000
w2 4,000
w2’ = 0,9 . luasan w2. P 2,000
4,000

w3’ = 0,9 . luasan w3. P w3


5,000
4,000

MT MT

 Angin pergi (Hisap) 2,000

5,000 5,000

w1’ = -0,4 . luasan w1. P Gambar 2.3 Sketsa titik beban angin

w2’ = -0,4 . luasan w2. P pada bangunan

w3’ = -0,4 . luasan w3. P

 Total beban angin (w)

W = angin datang w1’ + angin pergi w1”


2.500

C. Bebab Terpusat 2.500


a
2.500

 Beban Pada Daerah D1 D

2.500 2.500
b
P1= [berat pelat daerah a+b) + [berat balok di titik 1]
1

P1= [(luasan a+b) . (hf) . (Bj Beton)] + [ L. bw . (h-hf) . Bj beton]

2.3 Pelat

2.3.1 Pengertian pelat

Pelat adalah elemen horizontal struktur yang mendukung beban mati maupun

beban hidup dan menyalurkannya ke rangka vertikal dari sistem struktur. Pelat

merupakan struktur bidang (permukaan) yang lurus, (datar atau melengkung) yang

tebalnya jauh lebih kecil dibandingkan dengan dimensi yang lain. Dari segi statika,

kondisi tepi (boundary condition) pelat dibagi menjadi : tumpuan bebas (free),

bertumpu sederhana (simply supported) dan jepit.

Berdasarkan aksi strukturalnya, pelat dibedakan menjadi empat, yaitu :

1. Pelat kaku : merupakan pelat tipis yang memilikki ketegaran lentur

(flexural rigidity), dan memikul beban dengan aksi dua dimensi, terutama

dengan momen dalam (lentur dan puntir) dan gaya geser transversal,

yang umumnya sama dengan balok. Pelat yang dimaksud dalam bidang

teknik adalah pelat kaku, kecuali jika dinyatakan lain.

2. Membran : merupakan pelat tipis tanpa ketegaran lentur dan memikul

beban lateral dengan gaya geser aksial dan gaya geser terpusat. Aksi

pemikul beban ini dapat didekati dengan jaringan kabel yang tegang

karena ketebalannya yang sangat tipis membuat daya tahan momennya

dapat diabaikan.
3. Pelat flexibel : merupakan gabungan pelat kaku dan membran dan

memikul beban luar dengan gabungan aksi momen dalam, gaya geser

transversal dan gaya geser terpusat, serta gaya aksial. Struktur ini sering

dipakai dalam industri ruang angkasa karena perbandingan berat dengan

bebannya menguntungkan.

4. Pelat tebal : merupakan pelat yang kondisi tegangan dalamnya

menyerupai kondisi kontinu tiga dimensi.

2.3.2 Pelat Satu Arah

Pelat satu arah adalah apabila perbandingan sisi panjang terhadap sisi pendek

yang saling tegak lurus lebih besar dari 2, pelat dapat dianggap hanya bekerja sebagi

pelat satu arah dengan lenturan utama pada arah sisi yang lebih pendek.

Pada bangunan bangunan beton bertulang, suatu jenis lantai yang umum dan

dasar adalah tipe konstruksi pelat balok-balok induk (gelagar) dimana permukaan

pelat itu dibatasi oleh dua balok yang bersebelahan pada sisi dan dua gelagar pada

kedua ujung. Pelat satu arah adalah pelat yang panjangnya dua kali atau lebih besar

dari pada lebarnya, maka hampir semua beban lantai menuju ke balok-balok dan

sebagian kecil saja yang akan menyalur secara langsung ke gelagar.

Lx
Ly/Lx > 2

Ly Ly

Gambar 2.4 Pelat satu arah

Kondisi pelat ini untuk tulangan utama sejajar dengan gelagar atau sisi

pendek dan tulangan susut atau suhu sejajar dengan balok-balok atau sisi
panjangnya. Permukaan yang melendut dari sistem pelat satu arah mempunyai

kelengkungan tunggal. Sistem pelat satu arah dapat terjadi pada pelat tunggal

maupun menerus, asal perbandingan panjang bentang kedua sisi memenuhi.

A. Langkah-langkah Perhitungan Tulangan Pelat 1 Arah

Tentukan syarat-syarat batas

Tentukan panjang bentang

Tentukan tebal pelat


(dengan bantuan syarat lendutan)

Hitung beban beban

Tentukan momen yang menentukan

Ρ min ≤ ρ ≤ ρ maks Hitung tulangan ρ < ρ maks

Pilih tulangan

s ≤ s maks Periksa lebar retak secara s > s maks


memeriksa lebar jaringan

Tebal pelat dan tulangan memadai

Gambar 2.5 Diagram alir untuk menghitung tulangan pada pelat


1 arah dan 2 arah
1. Menentukan beban pelat.

Setelah menentukan syarat-syarat batas, bentang dan tebal pelat

kemudian beban-beban dihitung. Untuk pelat yang sederhana berlaku

rumus: ket : WU = beban ultimite

WD = beban mati
WU = 1,2 WD + 1,6 WL
WL = beban hidup
2. Menentukan momen pelat 1 arah.

Dalam menentukan momen pada pelat 1 arah adalah sebagai berikut :

- untuk momen tumpuan = 1/8 Wu lx2

- untuk momen lapangan = 1/8 Wu lx2

- untuk momen jepit tak terduga = 1/24 Wu lx2

3. Menentukan rasio tulangan pelat satu arah

Persentase tulangan yang ditentukan, harus diperiksa sesuai dengan

ρmin ≤ ρanl ≤ ρmaks.

 ρ min = 0,0025 (Koefisien CUR pelat).

 ρ max = 0,75ρ balance

 0,85 xf ' c 600 


= 0,75  .β 1.
 fy 600 + fy 

 ρ min < ρ analisa < ρ max Dimana : φ =8,5

Mu fy
ρ anl = 2
= φ . ρ . fy [1- 0,588 ρ. ]
bd f 'c
Mu fy
2
= (φ . ρ . fy ) - (φ . ρ . fy . 0.588 ρ. )
bd f 'c
(c) (b ) (a)

 Kemudian gunakan rumus ABC


− b ± b 2 − 4ac
ρ ,1,2 =
2a
Jika ρ anl < ρmin maka ρ pakai ρ min

Jika ρ anl > ρmaks maka ρ pakai ρ maks


− b + b 2 − 4ac
ρ ,1 =
2a
− b − b 2 − 4ac
ρ ,2 =
2a
Dari persamaan ρ1 dan ρ2 ambil nilai yang terkecil dan gunakan

sebagai ρ analisa

4. Luas tulangan

Setelah tahapan tahap diatas diselesaikan maka dapat dihitung luas

tulangan yaitu : As total = ρ . b . d

Dimana nilai b = panjang bentang per 1 meter pelat.

Tulangan pembagi untuk pelat satu arah yaitu berdasarkan SK SNI T-

511991-03 pasal 3.16.6, jarak maksimum antara tulangan baja adalah =

3.(h) atau 500mm.

2.3.3 Sistem Pelat Dua Arah

Persyaratan jenis pelat lantai dua arah jika perbandingan dari bentang

panjang terhadap bentang pendek kurang dari dua. Beban pelat lantai pada jenis ini

disalurkan ke empat sisi pelat atau ke empat balok pendukung, akibatnya tulangan

utama pelat diperlukan pada kedua arah sisi pelat. Permukaan lendutan pelat

mempunyai kelengkungan ganda.

Lx
Ly/Lx ≤ 2

Ly Ly

Gambar 2.6 Pelat dua arah


Pelat dua arah yang ditumpu pada keempat tepinya adalah struktur statis tak

tentu. Seperti pada pelat satu arah yang menerus pada lebih dari dua tumpuan, juga

dapat digunakan tabel untuk mempermudah analisis dan perencanaan pelat dua arah,

yaitu Tabel 2.7

Tabel ini menunjukkan momen lentur yang bekerja pada jalur selebar 1

meter, masing-masing pada arah –x dan pada arah –y.

Mlx adalah momen lapangan maksimum per meter lebar diarah –x;

Mly adalah momen lapangan maksimum per meter lebar diarah –y;

Mtx adalah momen tumpuan maksimum per meter lebar diarah –x;

Mty adalah momen tumpuan maksimum per meter lebar diarah –y;

Mtix adalah momen jepit tak terduga (insidentil) per meter lebar diarah –x;

Mtiy adalah momen jepit tak terduga (insidentil) per meter lebar diarah –y;

Skema penyaluran Momen per meter Ly/lx


beban ‘metode lebar 1,0 1,2 1,4 1,6 1,8 2,0 2,5 3,0
amplop’ kali W u lantai lx
I Mlx = 0,001 W u lx2 x 41 54 67 79 87 97 110 117
Mly = 0,001 W u lx2 x 41 35 31 28 26 25 24 23
Mtix = ½ mlx
Mtiy = ½ mly

II Mlx = 0,001 W u lx2 x 25 34 42 49 53 58 62 65


Mly = 0,001 W u lx2 x 25 22 18 15 15 15 14 14
Mtx =- 0,001 W u lx2 x 51 63 72 78 81 82 83 83
Mty = -0,001 W u lx2 x 51 54 55 54 54 53 51 49

III Mlx = 0,001 W u lx2 x 30 41 52 61 67 72 80 83


Mly = 0,001 W u lx2 x 30 27 23 22 20 19 19 19
Mtx =- 0,001 W u lx2 x
68 84 97 106 113 117 122 124
Mty = -0,001 W u lx2 x
68 74 77 77 77 76 73 71
Mtix = ½ mlx
Mtiy = ½ mly

Mlx = 0,001 W u lx2 x 24 36 49 63 74 85 103 113


IVa Mly = 0,001 W u lx2 x 33 33 32 29 27 24 21 20
Mty = -0,001 W u lx2 x 69 85 97 105 110 112 112 112
Mtix = ½ mlx
IVb Mlx = 0,001 W u lx2 x 33 40 47 52 55 58 62 65
Mly = 0,001 W u lx2 x 24 20 18 17 17 17 16 16
Mtx =- 0,001 W u lx2 x 69 76 80 82 83 83 83 83
Mtiy = ½ mly

Mlx = 0,001 W u lx2 x 31 45 58 71 81 91 106 115


Va
Mly = 0,001 W u lx2 x 39 37 34 30 27 25 24 23
Mty = -0,001 W u lx2 x 91 102 108 111 113 114 114 114
Mtix = ½ mlx
Mtiy = ½mly

Vb Mlx = 0,001 W u lx2 x 39 47 57 64 70 75 81 84


Mly = 0,001 W u lx2 x 31 25 23 21 20 19 19 19
Mtx =- 0,001 W u lx2 x 91 98 107 113 118 120 124 124
Mtix = ½ mlx
Mtiy = ½mly

VIa Mlx = 0,001 W u lx2 x 25 36 47 57 64 70 79 63


Mly = 0,001 W u lx2 x 28 27 23 20 18 17 16 16
Mtx =- 0,001 W u lx2 x 54 72 88 100 108 114 121 124
Mty = -0,001 W u lx2 x 60 69 74 76 76 76 73 71
Mtix = ½ mlx

VIIb Mlx = 0,001 W u lx2 x 28 37 45 50 54 58 62 65


Mly = 0,001 W u lx2 x 25 21 19 18 17 17 16 16
Mtx =- 0,001 W u lx2 x 60 70 76 80 82 83 83 83
Mty = -0,001 W u lx2 x 54 55 55 54 53 53 51 49
Mtiy = ½mly

Tabel 2.4 Momen yang menentukan per meter lebar dalam jalur tengah pada
pelat dua arah akibat beban terbagi rata

A. Distribusi gaya-gaya dalam pelat dua arah

Seperti pada pelat satu arah yang menerus, pemakaian tabel ini dibatasi

beberapa syarat:

 Beban terbagi rata.

 Perbedaan yang terbatas antara besarnya beban maksimum dan

minimum pada panel (lekukan) dipelat: W u min ≥ 0,4 wu maks


 Perbedaan yang terbatas antara beban maksimal pada panel yang

berbeda-beda:

• W u min terkecil ≥ 0,8 wu maks terbesar


• 0,5 W u lantai lx
• 0,5 W u lantai lx
 Perbedaan yang terbatas pada panjang bentang yaitu, bentang terpendek

≥ 0,8x bentang terpanjang.

B. Langkah-langkah Perhitungan Tulangan Pelat 2 Arah

1. Menentukan beban pelat.

Setelah menentukan syarat-syarat batas, bentang dan tebal pelat

kemudian beban-beban dihitung. Untuk pelat yang sederhana berlaku rumus:

WU = 1,2 WD + 1,6 WL ket : WU = beban ultimite

WD = beban mati

WL = beban hidup
2. Menentukan momen pelat dua arah.

Dalam menentukan momen pada pelat dua arah adalah sebagai berikut :

 Hitung Wu lx2

 Hitung ly/lx, liat tabel metode Amplop nilai koefisien perbandingan

bentang terpanjang dengan bentang terpendek

 Hitung Mu = (koef tabel metode amplop berdasarkan ly/lx) . (Wu lx2)

3. Menentukan rasio tulangan di momen berdasarkan arah x dan arah y.

 Pada arah x :
Mu/bd2 = (momen arah x) (b.d2 arah x)
 Pada arah y :
Mu/bd2 = (momen arah y) (b.d2 arah y)
Mu fy
2
= φ . ρ . fy [1- 0,588 ρ. ]
bd f 'c
Mu fy
= (φ . ρ . fy ) - (φ . ρ . fy . 0.588 ρ. )
bd 2 f 'c
(c) (b ) (a)
 Kemudian gunakan rumus ABC

− b ± b 2 − 4ac
ρ ,1,2 =
2a
− b + b 2 − 4ac
ρ ,1 =
2a Jika ρ anl < ρmin maka ρ pakai ρ min
− b − b 2 − 4ac Jika ρ anl > ρmaks maka ρ pakai ρ maks
ρ ,2 =
2a
Dari persamaan ρ1 dan ρ2 ambil nilai yang terkecil dan gunakan
sebagai ρ analisa

4. Luas tulangan
As total = ρ . b . d
Pada arah x :
As total = (ρ arah x) (b.d2 arah x)
Pada arah y :
As total = (ρ arah y) (b.d2 arah y

2.4 Balok

2.4.1 Pengertian Balok

Balok merupakan bagian konstruksi yang posisinya mendatar yang

mempunyai penampang tidak banyak variasinya karena kadang-kadang balok tidak

kelihatan atau hanya kelihatan sebagian, sehingga jika ditinjau dari segi artistiknya

kurang berperan jika dibandingkan dengan kolom yang berdiri ditengah ruang.

Fungsi balok dalam rangka struktur adalah sebagai rangka penguat horizontal

bangunan yang akan mendapat tumpuan mati (berat sendiri, berat furniture dan lain-

lain) serta muatan hidup (pergerakan manusia) diatas lantai.


Tulangan utama Tulangan utama Tulangan utama
sengkang sengkang sengkang

Balok persegi Balok T Balok spandrel

Gambar 2.7 Jenis balok berdasarkan bentuk

Berdasarkan pada tugas yang diembannya, balok terbagi menjadi balok induk

dan balok anak.

1. Balok induk : membentang dari satu kolom struktur ke kolom struktur lainnya

dengan bentang terpendek. Fungsi balok induk adalah untuk menghubungkan

antar dua kolom struktur dan menyalurkan beban dari pelat lantai menuju kolom

struktur.

2. Balok anak : berukuran lebih kecil dibandingkan dengan balok induk. Letaknya

ditengah balok induk. Fungsi balok anak adalah untuk menghubungkan antar dua

balok induk dan membantu kerja pelat lantai untuk menyalurkan beban ke balok

induk dan juga sebagai pengaku pelat.

balok induk tepi


balok anak

balok induk tengah

kolom

Gambar 2.8 Balok induk dan balok anak


Anggapa-anggapan yang digunakan dalam menganalisis beton bertulang

yang diberi beban lentur adalah :

d. Beton tidak dapat menerima gaya tarik karena beton tidak mempunyai

kekuatan tarik.

e. Perubahan bentuk berupa pertambahan panjang dan perpendekan

(regangan tarik dan tekan) pada serat-serat penampang, berbanding lurus

dengan jarak tiap serat ke sumbu netral. Ini merupakan criteria yang kita

kenal, yaitu penampang bidang datar akan tetap berupa bidang datar.

f. Hubungan antara tegangan dan regangan baja (σs dan εs) dapat

dinyatakan secara skematis

g. Hubungan antara tegangan dan regangan beton (σc dan εc) dapat

dinyatakan secara skematis


e'c f 'c

c Daerah Tekan

d h

Daerah Tarik
es
As

es f 'y
b

Gambar 2.9 Diagram regangan dan tegangan

fy
f y = 400MPa (4000kg/cm²
400

f y = 240MPa (2400kg/cm²
240

f 'c

ec Es es
e'c e'c

Gambar 2.10 Diagram regangan Gambar 2.11 Diagram regangan

dan tegangan beton dan tegangan baja


2.4.2 Balok- T

Untuk balok berusuk yang dapat dilihat dibawah lantai dan menyatu dengan

lantai, harus dibuat kesepakatan mengenai lebar efektif flens. Bentuk blok tegangan

tekan harus sesuai dengan luasan daerah beton tekan. Dengan demikian terdapat dua

kemungkinan keadaan yang terjadi, blok tegangan tekan seluruhnya masuk didalam

daerah flens, atau meliputi seluruh daerah flens ditambah sebagian lagi masuk

dibadan balok. Berdasarkan dua kemungkinan tersebut ditetapkan dua terminologi

analisis, ialah balok T persegi dan balok T murni. Perbedaan antara keduanya di

samping perbedaan bentuk blok tegangannya adalah bahwa pada balok T persegi

dengan lebar flens efektif b dilakukan analisis dengan cara sama seperti balok

persegi dengan labar b (lebar flens), dengan mengabaikan daerah balok tertarik,

sementara untuk balok T murni dilaksanakan dengan memperhitungkan balok

tegangan tekan mencakup daerah kerja berbentuk huruf T.

Perencanaan balok T adalah proses menentukan dimensi tebal dan lebar

flens, lebar dan tinggi efektif badan balok , dan luas tulangan baja tarik. Dalam

perencanaan penampang balok T yang mendukung momen lentur positif pada

umumnya sebagian dari kelima bilangan sudah diketahui terlebih dahulu.

Penentuan tebal flens biasanya tidak lepas dari perencanaan struktur plat,

sedangkan dimensi balok terkait dengan kebutuhan menahan gaya geser dan momen

lentur yang timbul pada dukungan dan ditengah bentang struktur balok menerus .

Sedangkan untuk lebar flens efektif (b), seperti sudah dikemukakan didepan,

standar SK SNI T – 15 – 1991 – 03 memberikan batasan mengenai lebar tersebut.

Keharusan untuk mempertimbangkan segi – segi pelaksanaan ataupun hubungan


dengan komponen struktur lainnya mungkin juga mempengaruhi penentuan lebar

badan balok , misalnya ukuran kolom ataupun sistem pelaksanaan pembuatan acuan

(cetakan ) .

2.4.3 Perencanaan Tulangan Longitudinal Balok T.

A. Langkah Analisa Tulangan Longitudinal Balok T

Tentukan syarat-syarat batas

Tentukan panjang bentang

Tentukan ukuran balok

Hitung beban beban

Tentukan momen yang menentukan

Ρ min ≤ ρ ≤ ρ maks Hitung tulangan ρ < ρ maks

Pilih tulangan Hitung tulangan tekan

s ≤ s maks Periksa lebar retak secara s > s maks


memeriksa lebar jaringan

Ukuran balok dan tulangan memadai

Gambar 2.12 Diagram alir untuk menghitung tulangan


longitudinal pada balok
1. Menentukan dimensi balok
b b

hf hf

d
h h

bw bw

Gambar 2.13 Potongan balok T dan L

Direncanakan :

 Tinggi Efektif :

d =h–P
 Lebar Flens :

a. Untuk balok T
b = bw + 1/16 hf < ¼ l

b. Untuk balok L
1
b = bw + 1/8 hf < b1 = 12 l atau 6 h, ataupun ½ L1.

2. Menentukan momen ultimate yang digunakan adalah dari hasil analisis

dengan menggunankan bantuan software SAP 2000.

3. Mementukan momen tahanan ( MR) = φ (0,85. f ' c ).b.h f d − 1 h f


2
( )
4. Momen = Mu/bw d2

5. Menentukan rasio tulangan ( ρ ) :

 0,85 xf ' c 600 


ρ min = 1,4/fy ρ max = 0,75  .β 1.
 fy 600 + fy 
ρ min <ρ analisa <ρ max
𝑀𝑢 fy
ρ anl = = φ . ρ . fy [1- 0,588 ρ. ]
𝑏𝑤 𝑑 f 'c
𝑀𝑢 fy
= (φ . ρ . fy ) - (φ . ρ . fy . 0.588 ρ. )
𝑏𝑤 𝑑 f 'c
(c) (b ) (a)
Kemudian gunakan rumus ABC
− b ± b 2 − 4ac
ρ ,1,2 =
2a
− b + b 2 − 4ac
ρ ,1 =
2a Jika ρ anl < ρmin maka ρ pakai ρ min
− b − b 2 − 4ac Jika ρ anl > ρmaks maka ρ pakai ρ maks
ρ ,2 =
2a
Dari persamaan ρ1 dan ρ2 ambil nilai yang terkecil dan gunakan

sebagai ρ analisa

6. Menentukan apakah balok T berperilaku balok T murni atau balok T persegi.

Apabila MR > MU, balok akan berperilaku sebagai balok T persegi

dengan lebar b, dan apabila MR < MU, balok berperilaku sebagai balok T

murni.

7. Luas tulangan

 Apabila balok berperilaku sebagai balok T persegi

As = ρ . b . d

Dimana b adalah lebar flens efektif

 Apabila balok berperilaku sebagai balok T murni

As = ρ . bw . d

Dimana bw adalah lebar balok.

2.4.4 Perencanaan Tulangan geser Balok T.

Dalam membahas balok terlentur hendaknya mempertimbangkan pula bahwa

pada saat yang sama balok juga menahan gaya geser akibat lenturan. Kondisi kritis

geser akibat lentur ditunjukkan dengan timbulnya tegangan-tegangan tarik tambahan

ditempat-tempat tertentu pada komponen struktur terlentur. Untuk komponen

struktur beton bertulang, apabila gaya geser yang bekerja sedemikian besar hingga
diluar kemampuan beton untuk menahannya, perlu memasang baja tulangan

tambahan untuk menahan geser tersebut.

Suatu balok beton tanpa tulangan mengalami kejadian geser umumnya

terjadi kerusakan di daerah sepanjang kurang lebih tiga kali tinggi efektif balok, dan

dinamakn bentang geser. Retak geser badan juga dapat terjadi disekitar titik balik

lendutan atau pada tempat dimana terjadi penghentian tulangan balok struktur

bentang menerus. Dasar pemikiran perencanaan penulangan geser atau penulangan

geser badan balok adalah usaha menyediakan sejumlah tulangan baja untuk

menahan gaya tarik tegak lurus terhadap retak tarik diagonal sedemikan rupa

sehingga mampu mencegah bukaan retak lebih lanjut.

Bentang geser
(bagian bentang dimana
terjadi geser tinggi)

Retak geser

Gambar 2.14 Kerusakan tipikal akibat


tarik diagonal

Perencanaan geser untuk komponen-komponen struktur terlentur didasarkan

pada anggapan bahwa beton menahan sebagian dari gaya geser, sedangkan

kelebihannya atau kekuatan geser diatas kemampuan beton untuk menahannya

dilimpahkan kepada tulangan baja geser. Cara yang umum dilaksanakan dan lebih

sering dipakai untuk penulangan geser ialah dengan menngunakan sengkang,


A. Langkah Analisa Tulangan Geser Balok T

Tentukan syarat-syarat batas

Tentukan panjang bentang

Tentukan ukuran balok

Hitung beban beban

Tentukan momen yang menentukan

Ρ min ≤ ρ ≤ ρ maks Hitung tulangan ρ < ρ maks

Pilih tulangan Hitung tulangan tekan

Periksa lebar retak dengan


s ≤ s maks s > s maks
memeriksa s maks

Tentukan besarnya gaya lintang

Vu ≤ Vc Hitung Vu Vu > Vc

Vs ≤ Vs maks Hitung Vu Vs > Vs maks

Tentukan tulangan penahan gaya lintang

Pilih tulangan

Ukuran balok dan tulangan memadai

Gambar 2.15 Diagram alir untuk menghitung tulangan


geser pada balok
1. Menentukan gaya lintang yang digunakan adalah dari hasil analisis dengan

menggunankan bantuan software SAP 2000.

Vu
2. Menentukan syarat kekuatan geser > Vc maka diperlukan tulangan geser,
φg

dimana faktor reduksi (φg) =0,6. Didalam peraturan juga dinyatakan bahwa

Vu
meskipun secara teoritis tidak perlu penulangan geser apabila ≤ Vc akan
φg

tetapi peraturan mengharuskan untuk selalu menyediakan penulangan geser

minimum pada semua bagian struktur beton yang mengalami lenturan

(meskipun menurut perhitungan tidak memerlukannya), kecuali untuk :

 Pelat dan pondasi pelat

 Struktur balok beton rusuk

 Balok yang tinggi totalnya tidak lebih 240mm, atau 2,5 kali tebal

flens, atau 1,5 kali lebar badan balok, diambil mana yang terbesar.

 Tempat dimana nilai Vu < ½. φg .Vc

3. Untuk komponen-komponen struktur yang menahan geser dan lentur saja,

SK SNI T-15-1991-03 memberikan kapasitas kemampuan beton (tanpa

penulangan geser) untuk menahan gaya geser.

fc'
Vc = bw d
6

4. Menentukan kuat geser nominal yang dapat disediakan oleh tulangan geser.

Vu
Vs = − Vc
φ
5. Menentukan spasi maksimum sengkang yang dibutuhkan, dengan

pembatasan sebagai berikut :

fc' d
(a) jika Vs > ( )bw .d maka S max = ≤ 600mm
3 4
fc' d
(b) jika Vs ≤ ( )bw .d maka S max = ≤ 600mm
3 2
2 fc'
(c) jika Vs > ( )bw .d maka perbesar penampang balok
3

6. Menentukan spasi sengkang yang dibutuhkan.


2 As. fy.d
S=
Vs
Jika S < Smaks, maka S dapat dipakai, jika S > Smaks, maka Smaks

yang dipakai.

7. Menghitung Jarak pemasangan sengkang yang dipasang pada balok dari

bentang bersih berdasarkan pada kuat geser.

a. kemiringan garis diagram Vs

VuA
Vu . L
( )
VuA + VuB

Maka jarak pemasangan sengkang adalah, dimana Vs=0

Vs.φ
garisdiagramVs

S
S

Gambar 2.16 Penampang isometrik susunan sengkang


BAB IV

ANALISIS STRUKTUR BALOK DAN PELAT

4.1 DATA UMUM

Dalam Perhitungan analisis ini dilampirkan beberapa data umum dalam

perencanaan antara lain :

o Bangunan = 4 lantai

o Fungsi bangunan = Rumah toko

o Mutu beton (f’c) = 25 Mpa

o Mutu baja (fy) = 240 Mpa

o Struktur bangunan = Struktur beton bertulang

o Plafon+penggantung = gypsum board+rangka hollow

o Asumsi kecepatan angin = 100 km/jam


4.2 ANALISA PELAT

4.2.1 Analisa Tebal Pelat Lantai

Syarat-syarat batas (h min < h ≤ h max) berdasarkan syarat lendutan


1.25 1.25 1.25
5.00 5.00 5.00
Data-data yang digunakan adalah:
V
O V V

5.00
Mutu beton f ’c = 25 Mpa I O O
D A B I I C
D D

Mutu Baja f ‘ y = 240 Mpa


5.00
a. Tinjau daerah H D E F

fy
0,8 +
h min ≥ 1500 x ln
36 + 9 β
5.00

G H I

ln = 5000 – 250 = 4750 mm.

5000 − 250
β= = 1,000
5.00

5000 − 250 J K L

240
0,8 +
1.50

M N O
h min ≥ 1500 x 4750
36 + (9 x1,000)
Gambar 4.1 Daerah pelat yang ditinjau
h min ≥ 101.333 mm.

b. Mencari h maximum (h max)

fy
0,8 +
h max ≤ 1500 x ln
36

240
0,8 +
h max ≤ 1500 x 4750
36

h max ≤ 126,667 mm.


Asumsi tebal plat yang diambil adalah 126 mm (syarat SNI dengan tebal

pelat minimum 120 mm sehingga aman).

c. Penentuan lebar mamfaat


126

be = ¼ x lebar bentang yang dituju bw = 250mm 380


be = 1250 mm
254

be = ¼ x 5000 mm = 1250 mm
250
1250
Dengan cara lain be didapat,
Gambar 4.2 lebar mamfaat
be = bw + (16 x tebal bentang yang dituju)
pada balok T
be = 250 mm + (16 x 126 mm) = 2266mm

maka diambil be yang terkecil

be = 1250 mm.

d. Penentuan titik pusat berat

A(1) = 1250 mm x 126 mm = 157500 mm2.

A(2) = 250 mm x 254 mm = 63500 mm2.

A (total) = 157500 mm2 + 63500 mm2


63 (1) 126
= 221000 mm2 253
380
(2) 254
X = 1250 / 2 ------karena simetris 500

250
X = 625 mm. 1250

Gambar 4.3 Titik pusat berat


(A1 x Y1) + (A2 x Y2)
Y= pada balok T
A total

(157500 x 63) + (63500 x 253)


Y=
221000

Y = 117,593 mm
e. Momen Inersia terhadap sumbu X

1
I b1 = { (1250x1263) + 157500(117,593-63)2}
12
1
+{ (250x2543) + 63500(254-117,593)2}
12

I b1 = 2.183.458.015 mm4 120

I b1 = I b2 = 2.183.458.015 mm4 Y = 117,593 mm


X = 625 mm
260
380

625

1
(5000 x (254)3 = 6.827.943.333 mm4
250
I s1 = 1250
12
1 Gambar 4.4 Momen inersia
I s2 = (5000 x (254)3= 6.827.943.333 mm4
12 pada balok T

Ecb = Ecs

jadi : Maka :

α1 =
Ib1 2.183.458.015
= = 0,320 αm =
1
(α1 + α 2)
Is1 6.827.943.333 2

α2 =
Ib2 2.183.458.015
= = 0,320 αm =
1
(0,320 + 0,320)
Is 2 6.827.943.333 2

αm = 0,320

f. Kontrol tebal pelat yang diambil

fy
0,8 +
h≥ 1500 (ln )
  1
36 + 5.β α .m - 0,12 1 +  
  β

240
0,8 +
h≥ 1500 (4750)
  1 
36 + 5 . 1,000 0,320 - 0.12 1 + 
  1, 000 

h ≥ 125,273 mm

Syarat = 101.333 mm ≤ h ≤ 126,667 mm


Maka dari hasil di atas diambil tebal pelat lantai dan diambil tebal plat atap

 untuk tebal plat lantai diambil = 126 mm.

 untuk tebal plat atap diambil = 110 mm.

4.2.2 Perhitungan Pembebanan Pelat

4.2.2.a Data

1. Pada pelat atap :

- Tebal pelat atap = 0,110 m

- Tebal finishing = 0,030 m

- Tebal volume hujan = 0,030 m

- Berat/volume beton bertulang = 2400 kg/m³

- Berat/volume beton = 2100 kg/m³

- Berat /volume air hujan = 1000 kg/m³

- Berat beban bergerak lantai atap = 100 kg/m²

- Berat plafond+penggantung = 18 kg/m²

2. Pada pelat lantai :

- Tebal pelat lantai = 0,126 m

- Tebal finishing = 0,030 m

- Berat/volume beton bertulang = 2400 kg/m³

- Berat/volume beton = 2100 kg/m³

- Berat beban bergerak lantai 2 dan 3 = 250 kg/m²

- Berat keramik = 60 kg/m²

- Berat plafond+penggantung = 18 kg/m²


4.2.2.b Pembebanan Pelat Atap

1. Beban Mati ( WD )

- Berat sendiri pelat (0,110 x 2400 Kg/m3 ) = 264 Kg/m2

- Berat lapisan kedap air ( 2 x 21 Kg/m2 ) = 42 Kg/m2

- Berat Plafon + penggantung = (11 + 7) kg/m2 = 18 Kg/m2 +

324 Kg/m2

2. Beban Hidup ( WL )

- Beban atap menurut SNI (sesuai kegunaan bangunan) = 100 kg/m2

- Berat air hujan 30 mm( 0,03 x1000 kg/m3) = 30 Kg/m2 +

130 Kg/m2

4.2.2.c Pembebanan Pelat Lantai 3 dan 2

1. Beban Mati ( WD )

- Berat sendiri plat t = 126 mm ( 0,126x 2400 ) = 302.4 Kg/m2

- Berat finishing plat 30mm ( 0,030 x 2100 ) = 63 Kg/m2

- Berat keramik = 60 Kg/m2

- Berat Plafon + penggantung = (11 + 7) kg/m2 = 18 Kg/m2+

443.4 Kg/m2

2. Beban Hidup ( WL )

- Beban lantai menurut SNI (sesuai kegunaan bangunan) = 250 kg/m2


4.3 PENYALURAN PEMBEBANAN PELAT KE BALOK

4.3.1 Data Gambar Penyaluran Pembebanan


1.250 1.250 1.250
5.000 5.000 5.000 5.000 5.000 5.000

F F
V 1.875
2.500
O V V
5.00

5.00
I O O 1.250
1.875 1.875
D I I
2.500 D D 1.875

E E
2.500 2.500

5.00
5.00

2.500 2.500
a b c a b c
D D
2.500 5.00 2.500
5.00

2.500 2.500

C C
2.500 2.500
5.00
5.00

2.500 2.500 2.500 2.500 2.500 2.500 2.500 2.500 2.500 2.500 2.500 2.500

2.500 2.500

B B
1.50
1.50

1.500 1.500
A A
1 2 3 4 1 2 3 4
1.500 2.000 1.500 1.500 2.000 1.500 1.500 2.000 1.500 1.500 2.000 1.500 1.500 2.000 1.500 1.500 2.000 1.500

Gambar 4.5 Skesta Penyebaran Beban Gambar 4.6 Skesta Penyebaran Beban
pada Balok Atap pada Balok Lantai 3 dan 2

4.3.2 Penyaluran Beban Mati (WD)

a. Balok Atap

 Balok D1-D2 = D2-D3 = D3-D4


Q = 2 x 2,500m x qd atap
2.500

= 5,000m x 324 Kg/m2 a

= 1620 kg/m 2.500 2.500


b. Balok lantai 3 dan 2

 Balok D1-D2 = D2-D3 = D3-D4


Q = 2 x 2,500m x qd lantai 3

2.500
=5,000m x 443,4 Kg/m2 a

2.500 2.500
= 2217 kg/m

4.3.3 Penyaluran Beban Hidup (WL)

a. Balok Atap

 Balok D1-D2 = D2-D3 = D3-D4


Q = 2 x 2,500m x ql atap

2.500
= 5,000m x 130 Kg/m2 a

= 650 kg/m 2.500 2.500

b. Balok lantai 3 dan 2

 Balok D1-D2 = D2-D3 = D3-D4


Q = 2 x 2,500m x ql lantai 3

2.500
= 5,000m x 250 Kg/m2 a

= 1250 kg/m 2.500 2.500

4.3.4 Konversi Beban Merata Segitiga ke Beban Merata Persegi pada Portal.

a. Total Beban Mati Merata persegi dan Total Beban Hidup Merata persegi
pada Pelat Atap

 Pada Balok D1 – D2 = D2-D3 = D3-D4


 DL = 1,620 ton/m x 0,667 = 1,081 ton/m
 LL = 0,650 ton/m x 0,667 = 0,434 ton/m
b. Total Beban Mati Merata persegi dan Total Beban Hidup Merata persegi
pada Pelat lantai 2 dan 3

 Pada Balok D1 – D2 = D2-D3 = D3-D4

 DL = 2,217 ton/m x 0,667 = 1,479 ton/m

 LL = 1,250 ton/m x 0,667 = 0,834 ton/m


4.3.5 Perhitungan Beban Angin

Berdasarkan asumsi kecepatan angin V = 100 km/jam = 28 m/jam

V 2 282
P= = = 49kg / m 2
16 16

2,000
w1 4,000
2,000
4,000
2,000
w2 4,000
2,000
4,000

w3 4,000
5,000
MT MT

2,000

5,000 5,000 5,000 5,000

Gambar 4.7 Skesta Penyebaran Beban Angin

 Angin Datang (Tiup)

w1’ = 0,9 (2,000m x 5,000m ) 49 kg/m² = 441 kg

w2’ = 0,9 (4,000m x 5,000m ) 49 kg/m² = 882 kg

w3’ = 0,9 (4,000m x 5,000m ) 49 kg/m² = 882 kg

 Angin pergi (Hisap)

w1”= -0,4 (2,000m x 5,000m ) 49 kg/m² = 196 kg

w2”= -0,4 (4,000m x 5,000m ) 49 kg/m² = 392 kg

w3”= -0,4 (4,000m x 5,000m ) 49 kg/m² = 392 kg


4.3.6 Total Beban Angin

w1 = w1’+w1” = 441kg + 196 kg = 637 kg

w2 = w2’+w2” = 882kg + 392 kg = 1274 kg

w3 = w3’+w3” = 882kg + 392 kg = 1274 kg

4.3.7 Perhitungan Beban Terpusat

a. Beban Pada Daerah D1 = D4


 Pada plat atap: balok 1 2.500

D1 = [½ x 2,500m x 2,500m]
2.500 2.500
= 3,125 m²
D
 Pada plat lantai 2 & 3: balok 1 2.500 2.500

D1 = [½ x 2,500m x 2,500m]
1
= 3,125 m²

 Beban Balok 1: Atap dan Lantai

W Balok atap = [0,250m x 0,270m] x 5,000m x 2400 kg/m3

= 810 kg = 0,810 ton

W Balok lantai = [0,250m x 0,254m] x 5,000m x 2400 kg/m3

= 762 kg = 0,762 ton

b. Beban Pada Daerah D2 = D3


2.500 2.500
 Pada plat atap: balok 2
2.500
D2 = [½ x 2,500m x 2,500m] x 2
D
= 6,250m²
2.500
 Pada plat lantai 2 & 3: balok 2
2
D2 = [½ x 2,500m x 2,500m] x 2

= 6,250m²
 Beban Balok 2: Atap dan Lantai

W Balok atap = [0,250m x 0,270m] x 5,000m x 2400 kg/m3

= 810 kg = 0,810 ton

W Balok lantai = [0,250m x 0,254m] x 5,000m x 2400 kg/m3

= 762 kg = 0,762 ton

4.3.8 Total Beban Terpusat

 Beban Eqivalent Dari Atap (Balok 1,2,3,4) + Berat Balok Pada Plat

o P1 = P4 = [2 x (3,125m2) x 0,110m x 2,400t/m3 ] + 0,810 ton = 2,460 ton


o P2 = P3 = [2 x (6,250m2) x 0,110m x 2,400t/m3 ] + 0,810 ton = 4,110 ton
 Beban Eqivalent Dari Lantai 2 & 3 (Balok 1,2,3,4) + Berat Balok Pada Plat

o P1 = P4 = [2 x (3,125m2) x 0,126m x 2,400t/m3 ] + 0,762 ton = 2,652 ton


o P2 = P3 = [2 x (6,250m)2 x 0,126m x 2,400t/m3 ] + 0,762 ton = 4,542`ton

4.3.9 Penyebaran Beban Merata dan Beban Terpusat Kedalam Bentuk Portal

P1 = 2,460 T P2 = 4,110 T P3 = 4,110 T P4 = 2,460 T


DL = 1,081 T/m DL = 1,081 T/m DL = 1,081 T/m

W1 = 0,637 T LL = 0,434 T/m LL = 0,434 T/m LL = 0,434 T/m


4

P1 = 2,652 T P2 = 4,542 T P3 = 4,542 T P4 = 2,652 T


DL = 1,479 T/m DL = 1,479 T/m DL = 1,479 T/m

W2 = 1,274 T LL = 0,834 T/m LL = 0,834 T/m LL = 0,834 T/m


3

P1 = 2,652 T P2 = 4,542 T P3 = 4,542 T P4 = 2,652 T


DL = 1,479 T/m DL = 1,479 T/m DL = 1,479 T/m

W3 = 1,274 T LL = 0,834 T/m LL = 0,834 T/m LL = 0,834 T/m


2

1 MT

A B C D

Gambar 4.8 Hasil Penyebaran Beban Merata dan


Beban Terpusat.
4.4 Analisis Struktur Untuk Mendapatkan Hasil Gaya-gaya Dalam M,D,N

Pada Struktur Yang Dituju, Digunakan Alat Bantu Software SAP 2000

(Analisis Terlampir).

N BA MOMEN ULTIMITE GAYA LINTANG


O LOK MOMEN Kombinasi 1 Kombinasi 2 GAYA Kombinasi 1 Kombinasi 2
LANTAI ATAP
1 MA 1,91 1,08 DA 8,64 6,36
2 A4-B4 MAB 4,23 3,23
3 MB kiri 5,76 4,56 DB kiri 12,16 9,24
4 MB kanan 5,60 4,56 DB kanan 6,45 4,74
5 B4-C4 MBC 2,47 1,85
6 MC kiri 5,76 4,44 DC kiri 6,45 4,94
7 MC kanan 5,76 4,09 DC kanan 12,16 9,00
8 C4-D4 MCD 4,23 3,11
9 M kiri 1,91 1,79 DD kanan 8,64 6,60
LANTAI 3
1 A3-B3 MA 1,98 1,19 DA 11,64 8,27
2 MAB 5,52 4,30
3 MB kiri 8,47 7,33 DB kiri 15,73 12,25
4 B3-C3 MB kanan 8,07 7,33 DB kanan 9,36 6,71
5 MBC 3,63 2,72
6 MC kiri 8,47 6,84 DC kiri 9,36 7,34
7 C3-D3 MC kanan 8,47 5,37 DC kanan 15,73 11,34
8 MCD 5,52 3,97
9 M kiri 1,98 1,72 DD kanan 11,64 9,18
LANTAI 2
1 A2-B2 MA 1,99 0,67 DA 11,46 7,69
2 MAB 5,65 4,58
3 MB kiri 8,76 8,49 DB kiri 15,90 12,83
4 B2-C2 MB kanan 8,28 8,49 DB kanan 9,36 6,48
5 MBC 3,42 2,57
6 MC kiri 8,76 7,56 DC kiri 9,36 7,56
7 C2-D2 MC kanan 8,76 7,56 DC kanan 15,90 11,02
8 MCD 5,65 3,90
9 M kiri 1,99 5,09 DD kanan 11,46 9,50

Tabel 4.1 Hasil momen dan gaya lintang


4.5 Perencanaan Tulangan

4.5.1. Perencanaan Tulangan Pelat

4.5.1.a Perencanaan Tulangan Pelat Lantai atap

A. Pembebanan Pelat Lantai Atap

Data ;  Tebal Pelat = 110 mm = 0,110m 78 86


h 110
ØD
p
 Beban Mati = 324 kg/m2.
Gambar 4.9 Potongan Pelat atap
 Beban Hidup = 130 kg/m2.

Direncanakan :  Diameter Tulangan : ∅ D = 8 mm = 0,008m

 Selimut Beton : P = 20 mm = 0,020m


(lihat Tabel 3 pada buku Gideon Kusuma halaman 44)

 Syarat – syarat Bentang : ly = Bentang terpanjang.


lx = Bentang terpendek.
 Tinggi Efektif ;

dx = h – P – ½ ∅ Dx.
= 110 – 20 – 4 = 86 mm = 0,086m. (arah X)
dy = h – P – ∅ Dx – ½ ∅ Dy.
= 110 – 20 – 8 – 4 = 78 mm = 0,078m. (arah Y)

B. Perhitungan Tulangan Pelat Atap

1. Kasus 1 Pelat 1 arah

 Wu = 1,2 WD + 1,6 WL.

= 1,2 (324) + 1,6 (130)

= 596,80 kg/m2 = 0,5968 ton/m2

 Mu = 1/8 Wu lx2

= 1/8 (0,5968 ton/m2) . (1,5 m)2


= 0,168 ton m

1.25 1.25 1.25


5.00 5.00 5.00

V
O Kasus 3 Kasus 3 V V Kasus 4
5.00 I Pelat 2 Pelat 2 O O Pelat 2
D arah arah I I arah
D D

Kasus 5 Kasus 2 Kasus 5


5.00

Pelat 2 Pelat 2 Pelat 2


arah arah arah

Kasus 5 Kasus 2 Kasus 5


5.00

Pelat 2 Pelat 2 Pelat 2


arah arah arah

Kasus 5 Kasus 2 Kasus 5


5.00

Pelat 2 Pelat 2 Pelat 2


arah arah arah

Kasus 1 Kasus 1 Kasus 1


1.50

Pelat 1 arah Pelat 1 arah Pelat 1 arah

Gambar 4.10 Analisis tulangan atap


berdasarkan kasus

 Rasio Tulangan ( ρ ) :

ρ min = 0,0025 (Koefisien CUR pelat).

 0,85 xf ' c 600 


ρ max = 0,75  .β 1.
 fy 600 + fy 

 0,85 x 25 600 
= 0,75  .0,85.
 240 600 + 240 

= 0,75 [0,0885 x0,85 x0.7142]

= 0,04298

ρ min < ρ analisa < ρ max Dimana : φ =8,5

Jika ρ anl < ρmin maka ρ pakai ρ min

Jika ρ anl > ρmaks maka ρ pakai ρ maks


Mu fy
ρ anl = 2
= φ . ρ . fy [1- 0,588 ρ. ]
bd f 'c
Mu fy
2
= (φ . ρ . fy ) - (φ . ρ . fy . 0.588 ρ. )
bd f 'c

0,168
= (0,85.ρ .24000) − (0,85.ρ .24000.0,588.ρ . 24000 .)
1.(0,078) 2 2500

27,613 = 20400 ρ – 115153,92 ρ 2

115153,92 ρ 2 – 20400 ρ = 27,615


(a) (b ) (c)

Kemudian gunakan rumus ABC


− b ± b 2 − 4ac
ρ1,2 =
2a
− (−20400) ± − 20400 2 − 4 x 27,613x115153,92
ρ1,2 =
2 x115153,92
20400 ± 20086,119
ρ1,2 =
2 x115153,92

20400 + 20086,119 20400 − 20086,119


ρ1 = ρ2 =
2 x115153,92 2 x115153,92
ρ1 = 0,1758 ρ 2 = 0,0014

Kemudian ambil nilai terkecil dari ρ1 atau ρ2, yaitu nilai ρ2 yaitu

0,0014. Tetapi karena nilai ρ analisa < ρ min maka dipakai ρ min =

0,0025

 As total = ρ . b . dy

= 0,0025 . (1m) . (0,078m)

= 2,75 x 10-4 m2

= 275 mm2

Maka tulangan yang dipakai adalah Ø8 – 160mm


 Perhitungan momen serta tulangan dilanjutkan dalam bentuk tabel

Mu Mu/bd2 ρ anl ρ min As (mm2) Tulangan


Tumpuan
⅛ Wu Lx² 0,168 27,29 0,0014 0,0025 275 Ø8-160
dan lapangan
1/24 Wu
Jepit 0,168 27,29 0,0014 0,0025 275 Ø8-160
Lx²

Tabel 4.2 Hasil analisis tulangan akhir pada kasus 1

 Perhitungan tulangan pembagi

Berdasarkan SK SNI T-511991-03 pasal 3.16.6, jarak maksimum

antara tulangan baja adalah = 3.(h) atau 500mm

Maka jarak tulangan pembagi = (3) . (110mm)

= 330 mm ≈ 250mm

Penulis menggunakan tulangan pembagi = Ø8 – 250mm

2. Perhitungan Kasus 2 Skema II Pelat 2 Arah

 Wu lx2 = 0,5968 T/m2 . (5m)2

= 14,92 T

 ly/lx = 5,000m/5,000m

= 1,000

 Mu = (koef tabel metode amplop berdasarkan ly/lx) . (Wu lx2)

Mlx = 0,025 x 14,92 = 0,37 T m

Mly = 0,025 x 14,92 = 0,37 T m

 Mu/bd2 = (momen arah x atau y) (b.d2 arah x atau y)

Mu/bd2 = (Mlx) / (b . dx2) = (0,37) / (1. 0,0862) = 50,43 T/m2

Mu/bd2 = (Mly) / (b . dy2) = (0,37) / (1. 0,0782) = 61,31 T/m2


 Rasi tulangan di momen Mlx

Mu fy
ρ anl = 2
= φ . ρ . fy [1- 0,588 ρ. ]
bd f 'c
Mu fy
2
= (φ . ρ . fy ) - (φ . ρ . fy . 0.588 ρ. )
bd f 'c

0,37
= (0,85.ρ .24000) − (0,85.ρ .24000.0,588.ρ . 24000 .)
1.(0,086) 2 2500

50,43 = 20400 ρ – 115153,92 ρ2

115153,92 ρ 2 – 20400 ρ = 50,43


(a) (b ) (c)

Kemudian gunakan rumus ABC


− b ± b 2 − 4ac
ρ ,1,2 =
2a
− 20400 ± 20400 2 − 4 x50,43x115153,92
ρ ,1,2 =
2 x115153,92
20400 ± 19822,461
ρ1,2 =
2 x115153,92
20400 + 19822,461 20400 − 19822,461
ρ1 = ρ2 =
2 x115153,92 2 x115153,92
ρ1 = 0,1746 ρ 2 = 0,0025

Kemudian ambil nilai terkecil dari ρ1 atau ρ2, yaitu nilai ρ2 yaitu

0,0025. Tetapi karena nilai ρ analisa = ρ min maka dipakai ρ anl = 0,0025

 As total = ρ . b . d

= 0,0025 . (1m) . (0,086m)

= 2,16 x 10-4 m2

= 216 mm2

Maka tulangan yang dipakai adalah Ø8 – 200mm


 Perhitungan momen momen serta tulangan dilanjutkan dalam tabel

m koef Mu Mu/bd2 ρ anl ρ min As (mm2) Tulangan


Hasil analisis tulangan akhir pada kasus 2 skema II
mlx 0,025 0,373 50,433 0,0025 0,0025 216 Ø8-160
mly 0,025 0,373 61,318 0,0031 0,0025 239 Ø8-160
mtx 0,051 0,761 102,883 0,0052 0,0025 447 Ø8-80
mty 0,051 0,761 125,079 0,0064 0,0025 496 Ø8-80
Hasil analisis tulangan akhir pada kasus 3 skema III
mlx 0,0465 0,390 52,765 0,0027 0,0025 226 Ø8-160
mly 0,025 0,210 34,486 0,0017 0,0025 195 Ø8-160
mtx 0,0905 0,760 102,694 0,0052 0,0025 446 Ø8-80
mty 0,0755 0,634 104,148 0,0053 0,0025 410 Ø8-80
mtix 0,0225 0,195 26,383 0,0013 0,0025 215 Ø8-200
mtiy 0,0125 0,105 17,243 0,0008 0,0025 195 Ø8-200
Hasil analisis tulangan akhir pada kasus 4 skema Va
mlx 0,0515 0,432 58,439 0,0029 0,0025 250 Ø8-200
mly 0,0355 0,298 48,970 0,0024 0,0025 195 Ø8-240
mty 0,105 0,881 144,841 0,0074 0,0025 578 Ø8-80
mtix 0,026 0,216 29,219 0,0014 0,0025 215 Ø8-240
mtiy 0,018 0,149 24,485 0,0012 0,0025 195 Ø8-240
Hasil analisis tulangan akhir pada kasus 5 skema Via
mlx 0,025 0,373 50,433 0,0025 0,0025 216 Ø8-160
mly 0,028 0,418 68,665 0,0034 0,0025 268 Ø8-160
mtx 0,054 0,806 132,426 0,0067 0,0025 580 Ø8- 80
mty 0,060 0,895 147,140 0,0075 0,0025 588 Ø8- 80
mtix 0,0125 0,187 25,216 0,0012 0,0025 215 Ø8-200

Tabel 4.3 Hasil analisis tulangan akhir pada kasus 2 skema II


4.5.1.b Perencanaan Tulangan Pelat Lantai 3 dan 2

A. Pembebanan Pelat Lantai 3 dan 2


94102
126
 Tebal Pelat = 126 mm = 0,126m h
ØD
p
2
 Beban Mati = 443,4 kg/m .
Gambar 4.11 Potongan Pelat
 Beban Hidup = 250 kg/m2. Lantai 3

 Tinggi Efektif ; 1.25 1.25 1.25


5.00 5.00 5.00

dx = h – P – ½ ∅ Dx. V
O Kasus 3 Kasus 3 V V Kasus 4

5.00
= 126 – 20 – 4 = 102 mm I
D
Pelat 2
arah
Pelat 2
arah
O
I
O
I
Pelat 2
arah
D D
dy = h – P – ∅ Dx – ½ ∅ Dy.
= 126 – 20 – 8 – 4 = 94 mm
Kasus 5 Kasus 2 Kasus 5

5.00
Pelat 2 Pelat 2 Pelat 2
arah arah arah
B. Perhitungan Tulangan Pelat Lantai 3 dan 2

1. Kasus 1 Pelat 1 arah Kasus 5 Kasus 2 Kasus 5


5.00

Pelat 2 Pelat 2 Pelat 2


arah arah arah

Kasus 5 Kasus 2 Kasus 5


5.00

Pelat 2 Pelat 2 Pelat 2


arah arah arah

Kasus 1 Kasus 1 Kasus 1


1.50

Pelat 1 arah Pelat 1 arah Pelat 1 arah

Gambar 4.12 Analisis tulangan lantai 3


berdasarkan kasus

 Perhitungan momen serta tulangan dilanjutkan dalam bentuk tabel

Mu Mu/bd2 ρ anl ρ min As (mm2) Tulangan


Tumpuan &
⅛ Wu Lx² 0,262 29,67 0,0015 0,0025 275 Ø8-120
Lapangan
1/24 Wu
Jepit 0,262 29,67 0,0015 0,0025 275 Ø8-120
Lx²

Tabel 4.4 Hasil analisis tulangan akhir pada kasus 1


2. Perhitungan Pelat 2 Arah

m koef Mu Mu/bd2 ρ anl ρ min As (mm2) Tulangan


Hasil analisis tulangan akhir pada kasus 2 skema II
mlx 0,025 0,583 55,993 0,0028 0,0025 284 Ø8-120
mly 0,025 0,583 65,929 0,0033 0,0025 310 Ø8-120
mtx 0,051 1,188 114,225 0,0058 0,0025 590 Ø8 – 60
mty 0,051 1,188 134,495 0,0069 0,0025 645 Ø8 - 60
Hasil analisis tulangan akhir pada kasus 3 skema III
mlx 0,0465 0,609 58,583 0,0029 0,0025 298 Ø8-120
mly 0,025 0,328 37,085 0,0018 0,0025 235 Ø8-120
mtx 0,0905 1,186 114,016 0,0058 0,0025 589 Ø8-60
mty 0,0755 0,990 111,997 0,0057 0,0025 533 Ø8-60
mtix 0,0225 0,305 29,291 0,0014 0,0025 215 Ø8-180
mtiy 0,0125 0,164 18,543 0,0009 0,0025 235 Ø8-180
Hasil analisis tulangan akhir pada kasus 4 skema Va
mlx 0,0515 0,675 64,882 0,0032 0,0025 330 Ø8-120
mly 0,0355 0,465 52,661 0,0026 0,0025 235 Ø8-180
mty 0,105 1,376 155,758 0,0080 0,0025 752 Ø8-60
mtix 0,026 0,338 32,441 0,0016 0,0025 255 Ø8-180
mtiy 0,018 0,233 26,330 0,0013 0,0025 235 Ø8-180
Hasil analisis tulangan akhir pada kasus 5 skema Via
mlx 0,025 0,583 55,993 0,0028 0,0025 284 Ø8-120
mly 0,028 0,652 73,841 0,0037 0,0025 347 Ø8-120
mtx 0,054 1,258 142,407 0,0073 0,0025 743 Ø8- 60
mty 0,060 1,398 158,230 0,0081 0,0025 764 Ø8- 60
mtix 0,0125 0,291 27,996 0,0014 0,0025 255 Ø8-180

Tabel 4.5 Hasil analisis tulangan akhir pada kasus 2 skema II


4.5.2 Perencanaan Tulangan Longitudinal Balok

4.5.2.a Perencanaan Tulangan Longitudinal Balok Lantai Atap

417
1250

110
110

340
340 bw = 250mm 380
bw = 250mm 380 d = 340 mm
d = 340 mm 270
270 hf = 110 mm
hf = 110 mm h = 380 mm
h = 380 mm b = 850 mm
b = 1250 mm
250
250

Gambar 4.13 Potongan balok T dan balok L pada atap

-5,76 -5,60 -5,76

1,91 1,91
Balok lt atap A B C D
1,91
4,23 4,23
Gambar 4.14 Bidang momen lantai atap

 Momen Ultimate yang digunakan adalah momen dikombinasi 1 karena

momen yang terjadi lebih besar.

 Momen Tahanan ( MR) = φ (0,85. f ' c ).b.h f d − 1 h f


2
( )
Dititik balok A4-B4 = 0,80(0,85.25 * 10 2 ).0,417.0,110 0,340 − 1 0,110
2
( )
= 22,206 ton m

 Momen dititik A4-B4 = Mu/b. d2

= 1,91ton m / (0,417m . 0,3402 m)

= 22,206 T/m2

 Rasio Tulangan ( ρ ) :

ρ min = 1,4/fy = 1,4/ 240 = 0,0058

 0,85 xf ' c 600 


ρ max = 0,75  .β 1.
 fy 600 + fy 
 0,85 x 25 600 
= 0,75  .0,85.
 240 600 + 240 
= 0,75 [0,0885 x0,85 x0.7142]
= 0,04298
ρ min <ρ analisa <ρ max

𝑀𝑢 fy
ρ anl = = φ . ρ . fy [1- 0,588 ρ. ]
𝑏𝑤 𝑑 f 'c
𝑀𝑢 fy
= (φ . ρ . fy ) - (φ . ρ . fy . 0.588 ρ. )
𝑏𝑤 𝑑 f 'c

1,91
= (0,85.ρ .24000) − (0,85.ρ .24000.0,588.ρ . 24000 .)
0,417.(0,340) 2 2500

22,206 = 20400 ρ – 115153,92 ρ 2

115153,92 ρ 2 – 20400 ρ = 22,206


(a) (b ) (c)
Kemudian gunakan rumus ABC

− b ± b 2 − 4ac
ρ1,2 =
2a
− (−20400) ± − 20400 2 − 22,206 x115153,92
ρ1,2 =
2 x115153,92
20400 ± 19947,3
ρ1,2 =
2 x115153,92

20400 + 19947,3 20400 − 19947,3


ρ1 = ρ2 =
2 x115153,92 2 x115153,92
ρ1 = 0,1752 ρ 2 = 0,0020

Kemudian ambil nilai terkecil dari ρ1 atau ρ2, yaitu nilai ρ2 yaitu 0,0020.

Walaupun nilai ρ analisa < ρ min , tetapi ρ analisa masih dapat digunakan

untuk MR > MU.


 As total = ρ . b . d

= 0,0020 . (0,417m) . (0,340m)

= 2,78,46 x 10-4 m2

= 278 mm2

Maka tulangan yang dipakai adalah Ø16mm sebanyak 2 batang (2Ø16)

 Perhitungan momen – momen serta tulangan dilanjutkan dalam bentuk tabel

MOMEN ULTIMITE ANALISA


N MR >
BALOK Kombinasi MR As Tulangan
O MOMEN MU Mu/bd2 ρ anl 2
1 (ton m) (mm ) (mm2)
1 MA 1,91 22.21 Ok 2Ø16 (402,2)
39.65 0.0020 278.46
2 A4-B4 MAB 4,33 66.62 Ok 4Ø16 (804,2)
29.27 0.0014 629.54
3 MB kiri 5,76 66.62 Ok 5Ø16 (1005,2)
39.86 0.0020 839.82
4 MB kanan 5,60 66.62 Ok 5Ø16 (1005,2)
38.75 0.0019 816.23
5 B4-C4 MBC 2,47 66.62 Ok 2Ø16 (402,2)
17.09 0.0008 357.81
6 MC kiri 5,76 66.62 Ok 5Ø16 (1005,2)
39.86 0.0020 839.82
7 MC kanan 5,76 66.62 Ok 5Ø16 (1005,2)
39.86 0.0020 839.82
8 C4-D4 MCD 4,33 66.62 Ok 4Ø16 (804,2)
29.27 0.0014 614.88
9 M kiri 1,91 22.21 Ok 2Ø16 (402,2)
39.65 0.0020 278.46

Tabel 4.6 Hasil analisis tulangan longitudinal pada balok atap

4.5.2.b Perencanaan Tulangan Longitudinal Lantai 3


1250 417

126 126

340 340
bw = 250mm 380 bw = 250mm 380
d = 340 mm d = 340 mm
254 254
hf = 126 mm hf = 110 mm
h = 380 mm h = 380 mm
b = 1250 mm b = 850 mm
250 250

Gambar 4.15 Potongan balok T dan L pada lantai 3


-8,47 -8,07 -8,47

1,98 1,98
Balok lt 3 A B C D
3,63
5,52 5,52
Gambar 4.16 Bidang momen lantai 3
 Perhitungan momen – momen serta tulangan dilanjutkan dalam bentuk tabel

MOMEN ULTIMITE ANALISA


N MR >
BALOK Kombinasi MR As Tulangan
O MOMEN MU Mu/bd2 ρ anl 2
1 (ton m) (mm ) (mm2)
1 MA 1.98 24.72 Ok 41.11 0.0020 288.79 2Ø16 (402,2)
2 A3-B3 MAB 5.52 74.17 Ok 38.20 0.0019 804.44 4Ø16 (804,2)
3 MB kiri 8.47 74.17 Ok 58.62 0.0029 1241.64 7Ø16 (1407,4)
4 MB kanan 8.07 74.17 Ok 55.85 0.0028 1182.05 7Ø16 (1407,4)
5 B3-C3 MBC 3.63 74.17 Ok 25.12 0.0012 527.05 3Ø16 (603,2)
6 MC kiri 8.47 74.17 Ok 58.62 0.0029 1241.64 7Ø16 (1407,4)
7 MC kanan 8.47 74.17 Ok 58.62 0.0029 1241.64 7Ø16 (1407,4)
8 C3-D3 MCD 5.52 74.17 Ok 38.20 0.0019 804.44 4Ø16 (804,2)
9 M kiri 1.98 24.72 Ok 41.11 0.0020 288.79 2Ø16 (402,2)

Tabel 4.7 Hasil analisis tulangan akhir pada balok lantai 3

4.5.2.c Perencanaan Tulangan Longitudinal Lantai 2

1250 417

126 126

340 340
bw = 250mm 380 bw = 250mm 380
d = 340 mm d = 340 mm
254 254
hf = 126 mm hf = 110 mm
h = 380 mm h = 380 mm
b = 1250 mm b = 850 mm
250 250

Gambar 4.17 Potongan balok T dan L pada lantai 2

-8,76 -8,28 -8,76

1,99 1,99
Balok lt 2 A B C D
3,42
5,65 5,65

Gambar 4.18 Bidang momen lantai 2


 Perhitungan momen – momen serta tulangan dilanjutkan dalam bentuk tabel

MOMEN ULTIMITE ANALISA


N MR >
BALOK Kombinasi MR As Tulangan
O MOMEN MU Mu/bd2 ρ anl 2
1 (ton m) (mm ) (mm2)
1 MA 1,99 24.72 Ok 41.31 0.0020 290.27 2Ø16 (402,2)
2 A2-B2 MAB 5,65 74.17 Ok 39.10 0.0019 823.60 5Ø16 (1005,3)
3 MB kiri 8,76 74.17 Ok 60.62 0.0030 1284.90 7Ø16 (1407,4)
4 MB kanan 8,28 74.17 Ok 57.30 0.0029 1213.32 7Ø16 (1407,4)
5 B2-C2 MBC 3,42 74.17 Ok 23.67 0.0012 496.35 3Ø16 (603,2)
6 MC kiri 8,76 74.17 Ok 60.62 0.0030 1284.90 7Ø16 (1407,4)
7 MC kanan 8,76 74.17 Ok 60.62 0.0030 1284.90 7Ø16 (1407,4)
8 C2-D2 MCD 5,65 74.17 Ok 39.10 0.0019 823.60 5Ø16 (1005,3)
9 M kiri 1,99 24.72 Ok 41.31 0.0020 290.27 2Ø16 (402,2)

Tabel 4.8 Hasil analisis tulangan akhir pada balok lantai 2

4.5.3 Perencanaan Tulangan Geser Balok

4.5.3.a Perencanaan Tulangan Geser Balok Atap


12,16 8,64
6,45
Balok lt atap A B C D
-6,45
-8,64
-12,16
Gambar 4.19 Bidang gaya lintang lantai atap

 Menghitung tulangan geser pada balok lantai atap dititik A

Vu
 Syarat kekuatan geser > Vc maka diperlukan tulangan geser
φg

Dimana : φg =0,6

Vu 8,64
Maka : = = 14,40T
φg 0,6
fc' 25
 Vc = bw d = 250.340.10 − 4 = 7,08T
6 6

14,40T > 7,08T (maka perlu tulangan geser.)

Vu
 Vs = − Vc
φ

Vs = 14,40 − 7,08 = 7,32T

fc' 25
Dan : ( )bw .d = ( ) x 250 x340.10 − 4 = 14,167T
3 3
Dengan pembatasan sebagai berikut

fc' d
(1) jika Vs > ( )bw .d maka S max = ≤ 600mm
3 4

fc' d
(2) jika Vs ≤ ( )bw .d maka S max = ≤ 600mm
3 2

2 fc'
(3) jika Vs > ( )bw .d maka perbesar penampang balok
3

fc'
Maka : Vs ≤ ( )bw .d
3
d
 S max = ≤ 600mm
2
0,340
S max = = 0,170m = 170mm
2
2 As. fy.d
 S= Asumsi As = Ø8mm
Vs
2 As. fy.d 2 x50,24 x 240 x340
S= = x10 − 4 = 112,06mm
Vs 7,32

Jika S < Smaks, maka S dapat dipakai, sehingga jarak sengkang adalah

100mm, dan jika S > Smaks, maka Smaks yang dipakai.


 Menghitung Jarak S yang dipasang pada balok dari bentang bersih.

Vu.L 8,64 x5
= = 2,077 m
VuA + VuB 8,64 + 12,16
8,64
kemudian kemiringan garis diagram Vs = = 4,16T / m
2,077
Vs.φ 7,32 x0,6
dimana Vs=0 adalah = = 1,055m
4,16 4,16
 Hasil analisis tulangan geser pada balok atap

N BALOK GAYA LINTANG


Vu fc'
Vu > Vc ( )bw .d S S Maks
O GAYA Kombinasi Vc φg Vs 3
1(ton)(Vu)
φg (mm2) (mm2)
mm
1 A4-B4 DA 8,64 14,40 7.083 perlu 7,32 14.167 110 170
2 DB kiri 12,16 20,27 7.083 perlu 13,18 14.167 60 170
3 B4-C4 DB kanan 6,45 10,75 7.083 perlu 3,67 14.167 220 170
4 DC kiri 6,45 10,75 7.083 perlu 3,67 14.167 220 170
5 C4-D4 DC kanan 12,16 20,27 7.083 perlu 13,18 14.167 60 170
6 DD kanan 8,64 14,4 7.083 perlu 7,32 14.167 110 170

Tabel 4.9 Hasil analisis tulangan geser pada balok atap

N S pakai JARAK S DARI


BALOK
O mm BENTANG BERSIH

1 A4-B4 Ø8 –110 1100mm


2 Ø8 –60 1950mm
3 B4-C4 Ø8 –170 900mm
4 Ø8 –170 900mm
5 C4-D4 Ø8 –60 1950mm
6 Ø8 –110 1100mm

Tabel 4.10 Lanjutan hasil analisis tulangan geser pada balok atap
12,16 8,64
6,45
Balok lt atap A B C D
-6,45
-8,64
-12,16

daerah perlu daerah perlu daerah perlu daerah perlu daerah perlu daerah perlu
tulangan tulangan tulangan tulangan tulangan tulangan
daerah tidak daerah tidak daerah tidak
perlu tulangan perlu tulangan perlu tulangan

1100 1950 900 900 1950 1100

Gambar 4.20 daerah panjang daerah S


4.5.3.b Perencanaan Tulangan Geser Balok Lantai 3
15,73 11,64
9,36
Balok lt 3 A B C D
-9,36
-11,64
-15,73
Gambar 4.21 Bidang gaya lintang lantai lantai 3

 Hasil analisis tulangan geser pada balok lantai 3

N BALOK GAYA LINTANG


Vu fc'
Vu > Vc ( )bw .d S S Maks
O GAYA Kombinasi Vc φg Vs 3
1(ton)(Vu)
φg (mm2) (mm2)
mm
1 A4-B4 DA 11,64 19,40 7.083 perlu 12,32 14.167 60 170
2 DB kiri 15,73 26,22 7.083 perlu 19,13 14.167 50 85
3 B4-C4 DB kanan 9,36 15,60 7.083 perlu 8,52 14.167 90 170
4 DC kiri 9,36 15,60 7.083 perlu 8,52 14.167 90 170
5 C4-D4 DC kanan 15,73 26,22 7.083 perlu 19,13 14.167 50 85
6 DD kanan 11,64 19,40 7.083 perlu 12,32 14.167 60 170

Tabel 4.11 Hasil analisis tulangan geser pada balok lantai 3

N S pakai JARAK S DARI


BALOK
O mm BENTANG BERSIH

1 A4-B4 Ø8 –60 1350mm


2 Ø8 –50 2000mm
3 B4-C4 Ø8 –90 1400mm
4 Ø8 –90 1400mm
5 C4-D4 Ø8 –50 2000mm
6 Ø8 –60 1350mm

Tabel 4.12 Lanjutan hasil analisis tulangan geser pada balok lantai 3
15,73 11,64
9,36
Balok lt atap A B C D
-9,36
-11,64
-15,73

daerah perlu daerah perlu daerah perlu daerah perlu daerah perlu daerah perlu
tulangan tulangan tulangan tulangan tulangan tulangan
daerah tidak daerah tidak daerah tidak
perlu tulangan perlu tulangan perlu tulangan

1350 2000 1400 1400 2000 1350

Gambar 4.22 daerah panjang daerah S


4.5.3.c Perencanaan Tulangan Geser Balok Lantai 2
15,90 11,46
9,36
Balok lt 3 A B C D
-9,36
-11,46
-15,90
Gambar 4.23 Bidang gaya lintang lantai lantai 2
 Hasil analisis tulangan geser pada balok lantai 2

N BALOK GAYA LINTANG


Vu fc'
Vu > Vc ( )bw .d S S Maks
O GAYA Kombinasi Vc φg Vs 3
1(ton)(Vu)
φg (mm2) (mm2)
mm
1 A4-B4 DA 11,46 19,10 7.083 perlu 12,02 14.167 60 170
2 DB kiri 15,90 26,50 7.083 perlu 19,42 14.167 50 85
3 B4-C4 DB kanan 9,36 15,60 7.083 perlu 8,52 14.167 90 170
4 DC kiri 9,36 15,60 7.083 perlu 8,52 14.167 90 170
5 C4-D4 DC kanan 15,90 26,50 7.083 perlu 19,42 14.167 50 85
6 DD kanan 11,46 19,10 7.083 perlu 12,02 14.167 60 170

Tabel 4.13 Hasil analisis tulangan geser pada balok lantai 2

N S pakai JARAK S DARI


BALOK
O mm BENTANG BERSIH

1 A4-B4 Ø8 –60 1350mm


2 Ø8 –50 2100mm
3 B4-C4 Ø8 –90 1400mm
4 Ø8 –90 1400mm
5 C4-D4 Ø8 –50 2100mm
6 Ø8 –60 1350mm

Tabel 4.14 Lanjutan hasil analisis tulangan geser pada balok lantai 2

15,90 11,46
9,36
Balok lt atap A B C D
-9,36
-11,46
-15,90

daerah perlu daerah perlu daerah perlu daerah perlu daerah perlu daerah perlu
tulangan tulangan tulangan tulangan tulangan tulangan
daerah tidak daerah tidak daerah tidak
perlu tulangan perlu tulangan perlu tulangan

1350 2100 1400 1400 2100 1350

Gambar 4.24 daerah panjang daerah S


4.6 Penerapan Hasil Analisa Kedalam Gambar Teknik

4.6.1 Gambar Teknik pada Penulangan Pelat

1 1a 2 2a 3 3a 4
1.25 3.75 3.75 1.25 1.25 3.75

Ø8-240

Ø8-160
3 3 4
Ø8-160

Ø8-200

Ø8-200

Ø8-160
Rencana tangga

Rencana tangga

Rencana tangga
Ø8-160 Ø8-160 Ø8-200
Ø8-160 Ø8-160 Ø8-240 Ø8-240
Ø8-160 Ø8-160
Ø8-200 Ø8-200
5.00

Ø8-240
Ø8-200 Ø8-200
Ø8-160
Ø8-160
Ø8-200

Ø8-160

Ø8-160

Ø8-240

Ø8-160
Ø8-200

B
5 2 5
Ø8-200

Ø8-160

Ø8-160

Ø8-160

Ø8-200
Ø8-160 Ø8-160 Ø8-160 Ø8-160 Ø8-160

Ø8-160 Ø8-160 Ø8-160


5.00

Ø8-160

Ø8-160

Ø8-160
Ø8-160

Ø8-200

Ø8-160

Ø8-200

Ø8-160

C
Ø8-160

5 2 5
Ø8-160

Ø8-200

Ø8-160

Ø8-200

Ø8-160 Ø8-160 Ø8-160 Ø8-160 Ø8-160

Ø8-160 Ø8-160 Ø8-160


5.00

Ø8-160

Ø8-160

Ø8-160
Ø8-200

Ø8-160

Ø8-160

Ø8-200

Ø8-160

D
5 2 5
Ø8-200

Ø8-160

Ø8-160

Ø8-200

Ø8-160

Ø8-160 Ø8-160 Ø8-160 Ø8-160 Ø8-160

Ø8-160 Ø8-160 Ø8-160


5.00

Ø8-160

Ø8-160

Ø8-160
Ø8-200

Ø8-200

Ø8-160
Ø8-160

Ø8-160

Ø8-160

Ø8-160

D
1 1 1
1.50

Ø8-160

Ø8-250 Ø8-250 Ø8-250

Gambar 4.25 Denah Pelat Lantai Atap


B

D
D
D
A

C
1.50 5.00 5.00 5.00 5.00

1
5
5
5
Rencana tangga

1.25

Ø8-120
Ø8-120
Ø8-120
1a

3
Ø8-180 Ø8-180 Ø8-180 Ø8-120 Ø8-120 Ø8-180 Ø8-180
Ø8-120

Ø8-180
Ø8-120
Ø8-120 Ø8-120 Ø8-120 Ø8-120

Ø8-120

Ø8-250
Ø8-120
Ø8-120

Ø8-160
Ø8-180

3.75
Ø8-180

Ø8-120
Ø8-120 Ø8-120 Ø8-120
Ø8-120 Ø8-120
Ø8-180

Ø8-180
Ø8-120

Ø8-120
Ø8-120
Ø8-120
2

1
3

2
2
2
Ø8-180
Ø8-120

Ø8-120
Ø8-120
Ø8-120
Ø8-180
Ø8-180
Ø8-120 Ø8-120 Ø8-120 Ø8-120 Ø8-120 Ø8-120
3.75

Ø8-120

Ø8-250
Ø8-120
Ø8-160 Ø8-120 Ø8-120 Ø8-120
Ø8-120

Ø8-120
Ø8-120
Ø8-120
Ø8-120
Ø8-180
Ø8-120
2a

Rencana tangga
1.25

Ø8-120
Ø8-120
Ø8-120
3

1
5
5
5
Rencana tangga
1.25

Ø8-120
Ø8-120
Ø8-120

Gambar 4.26 Denah Pelat Lantai 3


3a

Ø8-180 Ø8-180 Ø8-180 Ø8-120 Ø8-120


Ø8-180

Ø8-250
Ø8-120 Ø8-120
Ø8-120 Ø8-180 Ø8-180
Ø8-120
Ø8-120 Ø8-120 Ø8-180 Ø8-120

Ø8-120
Ø8-120

Ø8-120
Ø8-120
3.75

Ø8-120 Ø8-120 Ø8-120 Ø8-120


Ø8-120

Ø8-180
Ø8-180
4
B

D
D
D
A

C
1.50 5.00 5.00 5.00 5.00

1
5
5
5
Rencana tangga

1.25

Ø8-120
Ø8-120
Ø8-120
1a

3
Ø8-180 Ø8-180 Ø8-180 Ø8-120 Ø8-120 Ø8-180 Ø8-180
Ø8-120

Ø8-180
Ø8-120
Ø8-120 Ø8-120 Ø8-120 Ø8-120

Ø8-120

Ø8-250
Ø8-120
Ø8-120

Ø8-160
Ø8-180
3.75

Ø8-180

Ø8-120
Ø8-120 Ø8-120 Ø8-120
Ø8-120 Ø8-120
Ø8-180

Ø8-180
Ø8-120

Ø8-120
Ø8-120
Ø8-120
2

1
3

2
2
2
Ø8-180
Ø8-120

Ø8-120
Ø8-120
Ø8-120
Ø8-180
Ø8-180
Ø8-120 Ø8-120 Ø8-120 Ø8-120 Ø8-120 Ø8-120
3.75

Ø8-120

Ø8-250
Ø8-120

Ø8-160 Ø8-120 Ø8-120 Ø8-120


Ø8-120

Ø8-120
Ø8-120
Ø8-120
Ø8-120
Ø8-180
Ø8-120
2a

Rencana tangga
1.25

Ø8-120
Ø8-120
Ø8-120
3

1
5
5
5

Rencana tangga
1.25

Ø8-120
Ø8-120
Ø8-120

Gambar 4.27 Denah Pelat Lantai 2


3a

Ø8-180 Ø8-180 Ø8-180 Ø8-120 Ø8-120


Ø8-180

Ø8-250
Ø8-120 Ø8-120
Ø8-120 Ø8-180 Ø8-180
Ø8-120
Ø8-120 Ø8-120 Ø8-180 Ø8-120

Ø8-120
Ø8-120

Ø8-120
Ø8-120
3.75

Ø8-120 Ø8-120 Ø8-120 Ø8-120 Ø8-120

Ø8-180
Ø8-180
4
4.6.2 Gambar Teknik pada Penulangan Balok

1 1a 2 2a 3 3a 4
1.25 3.75 3.75 1.25 1.25 3.75

A
B1 B2 B3
Rencana tangga

Rencana tangga
5.00

B3

B3

B3

B3

B3

B3

B3
B
B1 B2 B3
5.00

B2

B2

B2

B2
B1 B2 B3
C
5.00

B2

B2

B2

B2

B1 B2 B3
D
5.00

B2

B2

B2

B2

B1 B2 B3
D
1.50

B4

B4

B4

B4

B5 B5 B5
D

Gambar 4.28 Denah Balok Lantai Atap


SKEMA PENULANGAN BALOK LANTAI ATAP

Kode B1 (250x380mm)
posisi tumpuan kiri lapangan tumpuan kanan Keterangan
Panjang sengkang adalah
pemasangan sengkang pada daerah
Lantai 2 yang membutuhkan sengkang dari
POTONGAN bentang bersih balok

tulangan atas 2 Ø 16 2 Ø 16 5 Ø 16
tulangan tengah 2Ø 8 2Ø 8 2Ø 8
tulangan bawah 2 Ø 16 4 Ø 16 2 Ø 16
sengkang Ø8 - 110 Ø8 - 200 Ø8 - 60
panjang sengkang 1100mm - 1950mm

Kode B2 (250x380mm)
posisi tumpuan kiri lapangan tumpuan kanan Keterangan
Panjang sengkang adalah
pemasangan sengkang pada daerah
Lantai 2 yang membutuhkan sengkang dari
POTONGAN bentang bersih balok

tulangan atas 5 Ø 16 2 Ø 16 5 Ø 16
tulangan tengah 2Ø 8 2Ø 8 2Ø 8
tulangan bawah 2 Ø 16 2 Ø 16 2 Ø 16
sengkang Ø8 - 170 Ø8 - 200 Ø8 - 170
panjang sengkang 900mm - 900mm

Kode B3 (250x380mm)
posisi tumpuan kiri lapangan tumpuan kanan Keterangan
Panjang sengkang adalah
pemasangan sengkang pada daerah
Lantai 2 yang membutuhkan sengkang dari
POTONGAN bentang bersih balok

tulangan atas 5 Ø 16 2 Ø 16 2 Ø 16
tulangan tengah 2Ø 8 2Ø 8 2Ø 8
tulangan bawah 2 Ø 16 4 Ø 16 2 Ø 16
sengkang Ø8 - 60 Ø8 - 200 Ø8 - 110
panjang sengkang 1950mm - 1100mm

Kode B4 (250x380mm) B5 (100x550mm)


posisi tumpuan lapangan tumpuan kiri lapangan tumpuan kanan

Lantai 2
POTONGAN

tulangan atas 5 Ø 16 5 Ø 16 2Ø8 5Ø8 2Ø8


tulangan tengah 2Ø 8 2Ø 8 2Ø8 2Ø8 2Ø8
tulangan bawah 2 Ø 16 2 Ø 16 5Ø8 2Ø8 5Ø8
sengkang Ø8 - 100 Ø8 - 200 Ø8 - 80 Ø8 - 200 Ø8 - 80
panjang sengkang 900mm - 1250mm - 1250mm

Gambar 4.29 Skema Penulangan Balok Lantai Atap


1 1a 2 2a 3 3a 4
1.25 3.75 3.75 1.25 1.25 3.75

A
B1 B2 B3
Rencana tangga

Rencana tangga
5.00

B3

B3

B3

B3

B3

B3

B3
B
B1 B2 B3
5.00

B2

B2

B2

B2
B1 B2 B3
C
5.00

B2

B2

B2

B2

B1 B2 B3
D
5.00

B2

B2

B2

B2

B1 B2 B3
D
1.50

B4

B4

B4

B4

B5 B5 B5
D

Gambar 4.30 Denah Balok Lantai 3


SKEMA PENULANGAN BALOK LANTAI 3

Kode B1 (250x380mm)
posisi tumpuan kiri lapangan tumpuan kanan Keterangan
Panjang sengkang adalah
pemasangan sengkang pada daerah
Lantai 2 yang membutuhkan sengkang dari
POTONGAN bentang bersih balok

tulangan atas 2 Ø 16 2 Ø 16 7 Ø 16
tulangan tengah 2Ø 8 2Ø 8 2Ø 8
tulangan bawah 2 Ø 16 4 Ø 16 2 Ø 16
sengkang Ø8 - 60 Ø8 - 200 Ø8 - 50
panjang sengkang 1350mm - 2000mm

Kode B2 (250x380mm)
posisi tumpuan kiri lapangan tumpuan kanan Keterangan
Panjang sengkang adalah
pemasangan sengkang pada daerah
Lantai 2 yang membutuhkan sengkang dari
POTONGAN bentang bersih balok

tulangan atas 7 Ø 16 2 Ø 16 7 Ø 16
tulangan tengah 2Ø 8 2Ø 8 2Ø 8
tulangan bawah 2 Ø 16 3 Ø 16 2 Ø 16
sengkang Ø8 - 90 Ø8 - 200 Ø8 - 90
panjang sengkang 1400mm - 1400mm

Kode B3 (250x380mm)
posisi tumpuan kiri lapangan tumpuan kanan Keterangan
Panjang sengkang adalah
pemasangan sengkang pada daerah
Lantai 2 yang membutuhkan sengkang dari
POTONGAN bentang bersih balok

tulangan atas 7 Ø 16 2 Ø 16 2 Ø 16
tulangan tengah 2Ø 8 2Ø 8 2Ø 8
tulangan bawah 2 Ø 16 4 Ø 16 2 Ø 16
sengkang Ø8 - 50 Ø8 - 200 Ø8 - 60
panjang sengkang 2000mm - 1350mm

Kode B4 (250x380mm) B5 (100x550mm)


posisi tumpuan lapangan tumpuan kiri lapangan tumpuan kanan

Lantai 2
POTONGAN

tulangan atas 7 Ø 16 7 Ø 16 2Ø8 5Ø8 2Ø8


tulangan tengah 2Ø 8 2Ø 8 2Ø8 2Ø8 2Ø8
tulangan bawah 2 Ø 16 2 Ø 16 5Ø8 2Ø8 5Ø8
sengkang Ø8 - 100 Ø8 - 200 Ø8 - 80 Ø8 - 200 Ø8 - 80
panjang sengkang 900mm - 1250mm - 1250mm

Gambar 4.31 Skema Penulangan Balok Lantai 3


1 1a 2 2a 3 3a 4
1.25 3.75 3.75 1.25 1.25 3.75

A
B1 B2 B3
Rencana tangga

Rencana tangga
5.00

B3

B3

B3

B3

B3

B3

B3
B
B1 B2 B3
5.00

B2

B2

B2

B2
B1 B2 B3
C
5.00

B2

B2

B2

B2

B1 B2 B3
D
5.00

B2

B2

B2

B2

B1 B2 B3
D
1.50

B4

B4

B4

B4

B5 B5 B5
D

Gambar 4.32 Denah Balok Lantai 2


SKEMA PENULANGAN BALOK LANTAI 2

Kode B1 (250x380mm)
posisi tumpuan kiri lapangan tumpuan kanan Keterangan
Panjang sengkang adalah
pemasangan sengkang pada daerah
Lantai 2 yang membutuhkan sengkang dari
POTONGAN bentang bersih balok

tulangan atas 2 Ø 16 2 Ø 16 7 Ø 16
tulangan tengah 2Ø 8 2Ø 8 2Ø 8
tulangan bawah 2 Ø 16 5 Ø 16 2 Ø 16
sengkang Ø8 - 60 Ø8 - 200 Ø8 - 50
panjang sengkang 1350mm - 2000mm

Kode B2 (250x380mm)
posisi tumpuan kiri lapangan tumpuan kanan Keterangan
Panjang sengkang adalah
pemasangan sengkang pada daerah
Lantai 2 yang membutuhkan sengkang dari
POTONGAN bentang bersih balok

tulangan atas 7 Ø 16 2 Ø 16 7 Ø 16
tulangan tengah 2Ø 8 2Ø 8 2Ø 8
tulangan bawah 2 Ø 16 3 Ø 16 2 Ø 16
sengkang Ø8 - 90 Ø8 - 200 Ø8 - 90
panjang sengkang 1400mm - 1400mm

Kode B3 (250x380mm)
posisi tumpuan kiri lapangan tumpuan kanan Keterangan
Panjang sengkang adalah
pemasangan sengkang pada daerah
Lantai 2 yang membutuhkan sengkang dari
POTONGAN bentang bersih balok

tulangan atas 7 Ø 16 2 Ø 16 2 Ø 16
tulangan tengah 2Ø 8 2Ø 8 2Ø 8
tulangan bawah 2 Ø 16 5 Ø 16 2 Ø 16
sengkang Ø8 - 50 Ø8 - 200 Ø8 - 60
panjang sengkang 2000mm - 1350mm

Kode B4 (250x380mm) B5 (100x550mm)


posisi tumpuan lapangan tumpuan kiri lapangan tumpuan kanan

Lantai 2
POTONGAN

tulangan atas 7 Ø 16 7 Ø 16 2Ø8 5Ø8 2Ø8


tulangan tengah 2Ø 8 2Ø 8 2Ø8 2Ø8 2Ø8
tulangan bawah 2 Ø 16 2 Ø 16 5Ø8 2Ø8 5Ø8
sengkang Ø8 - 100 Ø8 - 200 Ø8 - 80 Ø8 - 200 Ø8 - 80
panjang sengkang 900mm - 1250mm - 1250mm

Gambar 4.33 Skema Penulangan Balok Lantai 2


BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil rancangan dan analisis struktur balok dan pelat,

penulis dapat memberikan kesimpulan sebagai berikut:

a. Dimensi tebal pelat atap adalah 110mm, tebal pelat lantai 3 adalah 126mm,

dan tebal pelat lantai 2 adalah 126mm

b. Tulangan pelat yang dipakai pada pelat atap adalah Ø8-100mm pada

tumpuan, dan Ø8-200mm pada lapangan. Tulangan pada pelat lantai 2 dan 3

adalah Ø8-60mm pada tumpuan, dan Ø8-120mm pada lapangan

c. Dimensi balok pada lantai atap adalah tinggi balok (h) 380mm, dan lebar

balok (bw) 250mm. Dimensi balok pada lantai 3 adalah tinggi balok (h)

380mm, dan lebar balok (bw) 250mm. Dimensi balok pada lantai 2 adalah

tinggi balok (h) 380mm, dan lebar balok (bw) 250mm

d. Pada lantai atap didapat tulangan longitudinal 5Ø16mm, dan tulangan geser

Ø8-70mm. Pada lantai 3 dan 2 didapat tulangan longitudinal 7Ø16, dan

tulangan geser Ø8-60mm.


5.2 Saran

Ada beberapa hal yang dapat penulis sampaikan sebagai saran yaitu

sebagai berikut:

a. Dalam menentukan pra desain Pelat, harus mengetahui tebal minimum dan

lendutan yang terjadi dimana diakibatkan oleh bentang bangunannya.

b. Apabila ketebalan pelat terlalu tebal dan diameter tulangan terlalu besar, serta

jarak tulangan yang sangat rapat, maka perlu perencanaan ulang dengan

menambahkan struktur balok anak.

c. Sama seperti pada pelat, dalam menentukan pra desain balok, juga harus

mengetahui tebal minimum dan lendutan yang terjadi.

d. Besar-kecilnya dimensi balok sangat mempengarui besar tulangan yang dipakai,

sehingga sangat pentingnya dilakukan analisis yang cermat agar dapat

menggunakan dimensi balok dan tulangan secara efisien.


DAFTAR PUSTAKA

Dipohusodo, Istimawan. 1999. Struktur Beton Bertulang. Jakarta: Gramedia Pustaka


Utama

Metode-metode Pekerjaan Struktur. From


http://www.scribd.com/doc/64462074/25/Metode-Metode-Pekerjaan-
Struktur, 09 Maret 2012

RSNI3, 2002. Tata Cara Perencanaan Struktur Beton untuk Bangunan Gedung

Sagel, R., P.Kole, Gideon H Kusuma. 1997. Pedoman Pengerjaan Beton. Jakarta:
Penerbit ERLANGGA

Sagel, R., P.Kole, Gideon H Kusuma. 1997. Dasar-dasar Perencanaan beton


bertulang. Jakarta: Penerbit ERLANGGA
LAMPIRAN

B
15.00
1.50 3.50 3.50 1.50 1.50 3.50

1.25
2.50

km/wc Up Up km/wc km/wc Up


+0.05 +0.05 +0.05
2.50

A A
5.00
20.00

+0.10 +0.10 +0.10


5.00
5.00

5.00 5.00 5.00


15.00

CONSULTANT PROJECT ADDRESS NOTE TITLE SUBTITLE SCALE TITLE NAME APPR DATE OF
- 1 ST FLOOR PLAN
REVISION
PLAN 1:100 OWNER SEPTIA EDI PRATAMA
DUTA PRATAMA
Perencana & Perancang
ARCHITECT SEPTIA EDI PRATAMA 09 - 01 - 2013
PROJECT
DATE OF COMPLETION CONTRUCTION
9 - 02 - 2012 SEPTIA EDI PRATAMA
HOME STORE CHAPTER 1
SEPTIA EDI PRATAMA
STRUCTURE
SHEET NUMBER 1
B
15.00
1.25 1.50 2.25 2.25 1.50 1.25 1.25 1.50 2.25

1.25
2.50

Up Up Up

1.75
km/wc km/wc km/wc
+ 4.00 + 4.00 + 4.00
2.50

2.00
Down Down Down
A A
5.00
20.00

+4.05 +4.05 +4.05


5.00
5.00
1.50

1.00

1.30 3.70 1.85 1.30 1.85 3.70 1.30


15.00
B

CONSULTANT PROJECT ADDRESS NOTE TITLE SUBTITLE SCALE TITLE NAME APPR DATE OF
- 2 ND FLOOR PLAN
REVISION
PLAN 1:100 OWNER SEPTIA EDI PRATAMA
DUTA PRATAMA
Perencana & Perancang
ARCHITECT SEPTIA EDI PRATAMA 09 - 01 - 2013
PROJECT
DATE OF COMPLETION 9 - 02 - 2012
CONTRUCTION SEPTIA EDI PRATAMA
HOME STORE CHAPTER 1
SEPTIA EDI PRATAMA
STRUCTURE
SHEET NUMBER 2
B
15.00
1.25 1.50 2.25 2.25 1.50 1.25 1.25 1.50 2.25

1.75
km/wc km/wc km/wc
2.50

+ 8.00 + 8.00 + 8.00

1.25
2.50

2.00
Down Down Down
A A
5.00
20.00

+8.05 +8.05 +8.05


5.00
5.00
1.50
0.55

0.55 0.55

0.80 3.90 0.85 3.90 0.85 3.90 0.80


15.00
B

CONSULTANT PROJECT ADDRESS NOTE TITLE SUBTITLE SCALE TITLE NAME APPR DATE OF
- 3 RD FLOOR PLAN
REVISION
PLAN 1:100 OWNER SEPTIA EDI PRATAMA
DUTA PRATAMA
Perencana & Perancang
ARCHITECT SEPTIA EDI PRATAMA 09 - 01 - 2013
PROJECT
DATE OF COMPLETION 9 - 02 - 2012
CONTRUCTION SEPTIA EDI PRATAMA
HOME STORE CHAPTER 1
SEPTIA EDI PRATAMA
STRUCTURE
SHEET NUMBER 3
B
15.00
5.00 5.00 5.00

1.75
2.50

1.25
2.50

2.00
A A
5.00
20.00

+12.05 +12.05 +12.05


5.00
5.00
1.50
0.55

0.55 0.55

0.80 3.90 0.85 3.90 0.85 3.90 0.80


15.00
B

CONSULTANT PROJECT ADDRESS NOTE TITLE SUBTITLE SCALE TITLE NAME APPR DATE OF
- 4 TH FLOOR PLAN
REVISION
PLAN 1:100 OWNER SEPTIA EDI PRATAMA
DUTA PRATAMA
Perencana & Perancang
ARCHITECT SEPTIA EDI PRATAMA 09 - 01 - 2013
PROJECT
DATE OF COMPLETION 9 - 02 - 2012
CONTRUCTION SEPTIA EDI PRATAMA
HOME STORE CHAPTER 1
SEPTIA EDI PRATAMA
STRUCTURE
SHEET NUMBER 3
1 2 3 4
5.00 5.00 5.00

A
5.00

B
5.00

C
5.00

D
5.00

CONSULTANT PROJECT ADDRESS NOTE TITLE SUBTITLE SCALE TITLE NAME APPR DATE OF
- FOUNDATION, SLOOF,
REVISION
STRUCUTRE & 1:100 OWNER SEPTIA EDI PRATAMA
DUTA PRATAMA
Perencana & Perancang DETAILS
& COLUMN PLAN
ARCHITECT SEPTIA EDI PRATAMA 09 - 01 - 2013
PROJECT
DATE OF COMPLETION 9 - 02 - 2012
CONTRUCTION SEPTIA EDI PRATAMA
HOME STORE CHAPTER 2
SEPTIA EDI PRATAMA
STRUCTURE
SHEET NUMBER 5
1 1a 2 2a 3 3a 4
1.25 3.75 3.75 1.25 1.25 3.75

A
Rencana tangga

Rencana tangga

Rencana tangga
5.00

B
5.00

C
5.00

D
5.00

D
1.50

CONSULTANT PROJECT ADDRESS NOTE TITLE SUBTITLE SCALE TITLE NAME APPR DATE OF
- 2ND-4TH PLATE, BEAM,
REVISION
STRUCUTRE & 1:100 OWNER SEPTIA EDI PRATAMA
DUTA PRATAMA
Perencana & Perancang DETAILS
& COLUMN PLAN
ARCHITECT SEPTIA EDI PRATAMA 09 - 01 - 2013
PROJECT
DATE OF COMPLETION 9 - 02 - 2012
CONTRUCTION SEPTIA EDI PRATAMA
HOME STORE CHAPTER 2
SEPTIA EDI PRATAMA
STRUCTURE
SHEET NUMBER 6
+12.00

+8.00
+8.00

+4.00
+4.00

+0.00
±0.00

- 2.00
5.00 5.00 5.00

Section A-A

250mm

380mm

300mm

250mm
Column plan in 2nd-4th floor
Beam plan in 2nd-4th floor
150mm

150mm

Simple beam
380mm

150mm

250mm 150mm

Sloof in 1st floor Simple column


CONSULTANT PROJECT ADDRESS NOTE TITLE SUBTITLE SCALE TITLE NAME APPR DATE OF
- SECTION A-A & PRA
REVISION
STRUCUTRE & 1:100 OWNER SEPTIA EDI PRATAMA
DUTA PRATAMA
Perencana & Perancang DETAILS
DESAIN BEAM AND
COLUMN SEPTIA EDI PRATAMA 09 - 01 - 2013
ARCHITECT
PROJECT
DATE OF COMPLETION CONTRUCTION
9 - 02 - 2012 SEPTIA EDI PRATAMA
HOME STORE CHAPTER 2
SEPTIA EDI PRATAMA
STRUCTURE
SHEET NUMBER 7
5.00
5.00
+8.00

+4.00

+0.00
+13.00

5.00
+12.00

5.00
5.00
+15.00

+12.00

- 2.00
+8.00

+4.00

±0.00

CONSULTANT PROJECT ADDRESS NOTE TITLE SUBTITLE SCALE TITLE NAME APPR DATE OF
- SECTION B-B
REVISION
STRUCUTRE & 1:100 OWNER SEPTIA EDI PRATAMA
DUTA PRATAMA
Perencana & Perancang DETAILS
ARCHITECT SEPTIA EDI PRATAMA 09 - 01 - 2013
PROJECT
DATE OF COMPLETION 9 - 02 - 2012
CONTRUCTION SEPTIA EDI PRATAMA
HOME STORE CHAPTER 2
SEPTIA EDI PRATAMA
STRUCTURE
SHEET NUMBER 8
PROJECT

DWELLING HOUSE
OWNER

CONSULTANT

NOTE

TITLE

VIEW

S U B TITLE

- FRONT
- REAR

FRONT REAR
SCALE 1:100 SCALE 1:100 DATE OF
COMPLETION
SHEET
SCALE NUMBER

1:100 2.1

TITLE NAME APPR


CHECKED
-

ARCHITECT SEPTIA EDI PRATAMA

STRUKTURE/
SEPTIA EDI PRATAMA
CONTRUCTION

APPROVED
PROJECT

DWELLING HOUSE
OWNER

CONSULTANT

NOTE

TITLE

VIEW

SUB TITLE

- FRONT SIDE RIGHT

-0.60

FRONT SIDE RIGHT


SCALE 1:100 DATE OF
COMPLETION
SHEET
SCALE NUMBER

1:100 2.2

TITLE NAME APPR


CHECKED
-

ARCHITECT SEPTIA EDI PRATAMA

STRUKTURE/
CONTRUCTION
SEPTIA EDI PRATAMA

APPROVED
Momen Pada Kombinasi 1

-5,76

-5,60

-5,76
1,91 -1,91

-0.16 0.16

2,47
4,23

4,23

3.00
-8,47
-8,47

-8,07
-1,94 1,94
0.17 -0.17 -1,98
1,98
-0.23 0.23

3,63
5,52

5,52

3.00
-8,76
-8,76

-8,28

-1,99 1,99
0.27 -0.27 -1,35
1,35
-0.21 3,42 0.21
5,65

5,65

3.00
-0.67 0.10 -0.10 0.67

1.50
A B C D

3.75 3.75 3.75

Momen Pada Kombinasi 2


-4,56

-4,44

-4,09

1,08 -1,79

-0.60 -0.36
1,85

4,23
3,23

3.00
-8,47
-7,33

-1,19 1,72
0.64 0.64 -2,52
0,44
-1,50 -1,17
2,72
4,30

3,97

3.00
-7,56
-8,49

-5,09

-0,57
1,49 1,02 -2,68
2,11
0,67
-2,13 -1,81
2,57
4,58

3,90

3.00

1,48 2,15 1,99 2,42


1.50

A B C D

3.75 3.75 3.75


-7,69 -8,27 -6,36 -11,46 -11,64 -8,64

-0,52
-0,25
-0,57
-0,50
-0,99
-0,96

A
A

3.75
3.75
-6,48 -6,71 -4,74 -9,36 -9,36 -6,45

Gaya Lintang Pada Kombinasi 2


Gaya Lintang Pada Kombinasi 1

12,83 12,26 9,24 15,90 15,73 12,16

B
B

-0,07
-0,75
-0,29
-0,08
-0,12
-0,08

3.75
3.75
-11,02 -11,34 -9,00 -15,90 -15,73 -12,16

-0,95
-0,56
-0,17
-0,08
-0,12
-0,08

7,86 7,34 4,94 9,36 9,36 6,45

C
C

3.75
3.75
9,50 9,18 6,60 11,46 11,64 8,64

0,28
0,23
0,88
0,50
0,99
0,96

D
D

1.50 3.00 3.00 3.00 1.50 3.00 3.00 3.00


Gaya Normal Pada Kombinasi 1

-0,96

-0,88

-0,96

3.00
0,01
-9,50 -19,48 -19,48 -9,50
-0,03

-0,03

3.00
0,49

0,44

0,49
-22,00 -45,43 -45,43 -22,00

3.00
-34,33 -71,56 -71,56 -34,33

1.50
A B C D

3.75 3.75 3.75

Gaya Normal Pada Kombinasi 2


-1,33

-1,04

-0,88

3.00

-7,01 -14,63 -14,59 -7,24


-0,75
-1,21

-0,36

3.00

-15,93 -34,24 -39,91 -17,08


-0,75

-0,43

-0,04

3.00

-24,27 -54,20 -53,14 -27,22


1.50

A B C D

3.75 3.75 3.75

Anda mungkin juga menyukai