Anda di halaman 1dari 37

I.

LANDASAN TEORI

I.1 Definisi Perkerasan Lentur


Yang dimaksud dengan perkerasan lentur (flexible pavement) adalah perkerasan yang
umumnya menggunakan bahan campuran beraspal sebagai lapis permukaan serta bahan
berbutir sebagai lapisan dibawahnya. Bersifat fleksibel (tidak kaku) karena modulus
elastisitasnya (E) tidak terlalu tinggi (+10000 kg/m 2), sehingga penyebaran beban roda
lalulintas ketanah dasar tidak terlalu lebar/luas.
Karakterisrtik-karakteristik perkerasan lentur antara lain :
1. Bersifat elastis jika menerima beban sehingga dapat memberi kenyamanan bagi
pengguna jalan.
2. Pada umumnya menggunakan bahan pengikat aspal.
3. Seluruh lapisan ikut menanggung beban.
4. Penyebaran tegangan ke lapisan tanah dasar sedemikian sehingga tidak merusak lapisan
tanah dasar.

I.2 Susunan Lapisan Perkerasan Lentur


Bagian perkerasan lentur umumnya meliputi : lapisan tanah dasar (sub grade), lapisan
pondasi bawah (sub base), lapisan pondasi atas ( base), lapisan permukaan (surface).
1. Lapisan tanah dasar (sub grade)
Lapisan tanah dasar adalah permukaan tanah semula atau atau permukaan galian
atau permukaan tanah timbunan yang merupakan permukaan dasar sebagai perletakan
dari bagian-bagian perkerasan lainnya. Kekuatan dan keawetan konstruksi perkerasan
jalan sangat tergantung dari sifat-sifat dan daya dukung tanah dasar.
Perkerasan jalan diletakkan diatas tanah dasar dengan demikianh secara
keseluruhan mutu dan daya tahan konstruksi perkerasan rak lepas dari sifat tanah dasar.
Tanah yang baik untuk konstruksi perkerasan jalan adalah tanah dasar yang berasal dari
lokasi itu sendiri atau didekatnya, yang telah dipadatkan sampai tingkat kepadatan
tertentu sehingga mempunyai daya dukung yang baik serta berkemampuan
mempertahankan peruabhahn volume selama masa pelayanan walaupun terdapat
pelayanan kondisi lingkungan dan jenis tanah setempat. Sifat masing-masing jenis tanah
tergantung dari tekstur, kepadatan, kadar air,kondisi lingkungan, dan lain sebagainya.
Umumnya persoalan yang menyangkut tanah dasar adalah sebagai berikut :
a) Perubahan bentuk tetap (deformasi permanen) dari macam tanah tertentu akibat
beban lalulintas.
b) Sifat mengembang dan menyusut dari tanah tertentu akibat perubahan kadar air.
c) Daya dukung tanah yang tidak merata dan sukar ditentukan secara pasti pada daerah
dengan macam tanah yang sangat berbeda sifat dan kedudukannya atau akibat
pelaksanaan.
d) Lendutan dan lendutan balik selama dan sesudah pembebanan lalu lintas dari
macam tanah tertentu.

1
e) Kondisi geologis dari lokasi jalan perlu dipelajari dengan teliti jika ada
kemungkinan lokasi jalan berada pada daerah patahan, dll.

2. Lapisan pondasi bawah (sub base).


Lapisan pondasi bawah adalah lapisan perkerasan yang terletak diantara lapisan
pondasi atas (base) dengan lapisan tanah dasar (sub grade).
Fungsi lapisan pondasi bawah antara lain :
a) Sebagai bagian dari konstruksi perkerasan untuk mendukung dan menyebarkan
beban roda.
b) Mencapai efisiensi penggunaan material yang relatif murah agar lapisan-lapisan
selebihnya dapat dikurangi tebalnya (penghemartan biaya konstruksi).
c) Untuk mencegah tanah dasar masuk kedalam lapisan pondasi.
d) Sebagai lapis pertama agar pelaksanaan dapat berjalan lancar.
Hal ini sehubungan dengan terlalu lemahnya daya dukung tanah dasar terhadap
roda-roda alat – alat besar atau karena kondisi lapangan yang memaksa harus segera
menutup tanah dasar dari pengaruh cuaca.
Bermacam-macam tipe tanah setempat (CBR ≥ 20 %, PI ≤ 10 %) yang relatif
lebih baik dari tanah dasar dapat digunakan sebagai bahan pondasi bawah.Campuran-
campuran tanah setempat dengan kapur atau semen portland dalam beberapa hal sangat
dianjurkan, agar dapat bantuan yang efektif terhadap kestabilan konstruksi perkerasan.

3. Lapisan pondasi atas (base)


Lapisan pondasi atas adalah lapisan perkerasan yang terletak diantara lapisan
pondasi bawah (sub base) dengan lapisan permukaan (surface).
Fungsi lapisan pondasi atas antara lain :
a) Sebagai bagian perkerasan yang menahan beban roda
b) Sebagai perletakan erhadap lapisan permukaan.
Bahan-bahan untuk lapisan pondasi atas umumnya harus cukup kuat dan awet
sehingga dapat menahan beban-beban roda. Sebelum menentukan suatu bahan untuk
digunakan sebagai bahan pondasi hendaknya dilakukan penyelidikan dan pertimbangan
sebaik-baiknya sehubungan dengan persyaratan teknik.
Bermacam-macam bahan alam/bahan setempat (CBR ≥ 50%, PI ≤ 4%) dapat
digunakan sebagai bahan lapisan pondasi atas, antara lain: batu pecah, kerikil pecah dan
stabilisasi tanah dengan semen atau kapur.

4. Lapisan permukaan (surface)


Lapisan permukaan adalah lapisan perkerasan yang paling atas dan langsung
menerima beban lalulintas eerta mendistribusikan beban yang diterimanya ke lapisan
perkerasan dibawahnya.
Fungsi lapisan permukaan antara lain :
a) Sebagai bahan perkerasan untuk menahan beban roda.
b) Sebagai lapisan kedap air untuk melindungi badan jalan dari kerusakan akibat cuaca.
c) Sebagai lapisan aus (wearing course)

2
Bahan untuk lapisan permukaan umumnya adalah sama dengan bahan untuk
lapisan pondasi atas, dengan persyaratan yang lebih tinggi. Penggunaan bahan aspal
diperlukan agar lapisan dapat bersifat kedap air, disamping itu bahan aspal sendiri
memberikan bantuan tegangan tarik yang berarti mempertinggi daya dukung lapisan
terhadap beban roda lalulintas. Pemilihan bahan untuk lapisan permukaan perlu
dipertimbangkan kegunaan, umur rencana, serta pentahapan konstruksi agar dicapai
manfaat yang sebesar-besarnya dari biaya yang dikeluarkan.
Jenis lapisan permukaan yang umum dipergunakan di Indonesia antara lain:
a) Lapisan bersifat Nonstruktursl, yang berfungsi sebagai lapisan aus dan kedap air.
b) Lapisan bersifat Struktural, berfungsi sebagai lapisan yang menahan dan
menyebarkan beban roda.

1.3 Parameter Perencanaan


1. Perhitungan Klasifikasi Jalan
Perencanaan geometrik jalan adalah suatu perencanaan rute dari suatu jalan
secara lengkap, menyangkut beberapa komponen jalan yang dirancang berdasarkan
kelengkapan data dasar, yang didapat dari hasil survey lapangan, kemudian dianalisis
berdasarkan acuan persaratan yang berlaku (Modul Jalan Raya 1, 2012).
Selain itu, perencanaan geometrik jalan dapat juga diartikan sebagai suatu bagian
dari perencanaan konstrusi jalan dimana geometrik atau dimensi yang nyata dari suatu
jalan beserta bagian-bagian disesuaikan dengan tuntutan serta sifat-sifat lalu lintasnya.
Perencanaan tersebut disesuaikan dengan persyaratan parameter pengendara, kendaraan
dan lalu lintas. Parameter tersebut merupakan penentu tingkat kenyamanan dan
keamanan yang dihasilkan oleh suatu bentuk geometrik jalan (Silvia Sukirman, 1999).
Untuk menentukan klasifikasi jalan, perlu dihitung terlebih dahulu elevasi dari
penampang jalan. Dengan menggunakan interpolasi, dibandingkan elevasiAN, BN, dan
AB (seperti gambar dibawah).

N=91,50 m
B=84,42 m
A=74 m

Selanjutnya, elevasi terbesar dipilih untuk menentukan klasifikasi jalan tersebut sesuai
dengan Tabel 1 dibawah ini.

3
Tabel 1. Standar Geometrik Jalan

2. Perhitungan CBR dan DDT


CBR (California Bearing Ratio) adalah perbandingan antara beban penetrasi
suatu lapisan tanah atau perkerasan terhadap bahan standar dengan kedalaman dan
kecepatan penetrasi yang sama. Jadi untuk menilai kekuatan dasar atau bahan lain yang
hendak dipakai untuk menentukan tebal lapisan perkerasan dipergunakan  percobaan
CBR. Nilai CBR ini digunakan untuk menilai kekuatan yang juga dipakai sebagai dasar
untuk penentuan tebal lapisan dari suatu perkerasan.
Kekuatan tanah dasar tentu banyak tergantung pada kadar airnya. Makin tinggi
kadar airnya, makin kecil kekuatan CBR dari tanah tersebut. Walaupun demikian, hal itu
tidak berarti bahwa sebaiknya tanah dasar di padatkan dengan kadar air rendah untuk
mendapatkan nilai CBR yang tinggi, karena kadar air tidak konstan pada nilai rendah itu.
Setelah pembuatan jalan, maka air akan dapat meresap kedalam tanah dasar sehingga
kekuatan CBR turun sampai kadar air mencapai nilai yang constant. Kadar air yang
constant inilah yang disebut kadar air keseimbangan. Batas-batas kadar air dan berat isi
kering dapat ditentukan dari hasil percobaan laboratorium, yaitu percobaan pemadatan
dan CBR. Percobaan CBR ini dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu percobaan CBR
terendam (Soaked) dan percobaan CBR tak terendam (Unsoaked).
Yang dimaksud dengan harga CBR disini adalah harga CBR lapangan atau CBR
laboratorium. Jika digunakan CBR lapangan maka pengambilan contoh tanah dasar
dilakukan dengan tabung, kemudian direndam dan diperiksa harga CBR-nya. CBR

4
lapangan biasanya digunakan untuk perencanaan lapis tambahan (overlay). Sedangkan
CBR laboratorium biasanya digunakan untuk perencanaan pembangunan jalan baru.
Daya dukung tanah dasar (DDT) adalah suatu skala yang dipakai dalam
nomogram penetapan tebal perkerasan untuk menyatakan kekuatan tanah dasar. DDT
ditetapkan berdasarkan grafik korelasi.
Contoh Perhitungan CBR :
Dari hasil penyelidikan tanah , harga CBR tanah dasar untuk Stasiun A s/d 35
diperoleh :4,5,3,4,6,3,4,5,7,4.5,6,7,4,7,5,6,5,3,8,3,5,4,6,5,3,4,6,3,4. Kemudian data
CBR yang di peroleh diurutkan dan dibuat hasil persentase per nilai CBR. Setelah itu
Dibuat grafik hubungan antara persentase harga CBR dan nilai CBR yang ada, untuk
memperoleh CBR rata-rata.
No Nilai CBR Jumlah yang sama Persentase
1 3
2 3
3 3
6+24 = 30 ( 30 : 30 ) X 100 = 100 %
4 3
5 3
6 3
7 4
8 4
9 4
10 4
8+16 = 24 ( 24 : 30 ) X 100 = 80 %
11 4
12 4
13 4
14 4
15 5
16 5
17 5
18 5 7+9 = 16 ( 16 : 30 ) X 100 = 53 %
19 5
20 5
21 5
22 6
23 6
24 6 5+4 = 9 ( 9 : 30 ) X 100 = 30 %
25 6
26 6
27 7
28 7 3+1 = 4 ( 4 : 30 ) X 100 = 13 %
29 7
30 8 1+0 = 1 ( 1 : 30 ) X 100 = 3 %

5
100 100
90 90
80 80
70

PERSENTASE (%)
60
50
53.33

40
30 30
20
10
13.33

0
0 1 2 3 4 5 6 7 8
NILAI CBR

Gambar 1. Korelasi DDT dan CBR

6
3. Perhitungan LER
a) Menentukan EMP
Ekr untuk kendaraan Berat Menengah (KBM), Bus Besar (BB), Truk Besar (TB,
termasuk Truk kombinasi) dan Sepeda Motor (SM) diberikan dalam Tabel dibawah,
sebagai fungsi tipe jalan, tipe alinemen dan arus lalu lintas (kendaraan/jam). Ekr SM
tergantung kepada lebar jalur lalu lintas. Untuk Kendaraan Ringan (KR), ekr selalu
1,0. Arus kendaraan tak bermotor (KTB) dicatat sebagai komponen hambatan
(kendaraan lambat). Tentukan ekr masing-masing tipe kendaraan dari daftar yaitu
dengan interpolasi arus lalu lintasnya. Masukkan hasilnya kedalam perhitungan.
Daftar II. Ekr untuk jalan 2/2TT
Ekr
Arus total SM
Tipe
(kend./jam
alinemen KBM BB TB Lebar jalur lalu lintas
)
<6m 6-8m >8m
Datar 0 1,2 1,2 1,8 0,8 0,6 0,4
800 1,8 1,8 2,7 1,2 0,9 0,6
1350 1,5 1,6 2,5 0,9 0,7 0,5
≥1900 1,3 1,5 2,5 0,6 0,5 0,4
Bukit 0 1,8 1,6 5,2 0,7 0,5 0,3
650 2,4 2,5 5,0 1,0 0,8 0,5
1100 2,0 2,0 4,0 0,8 0,6 0,4
≥1600 1,7 1,7 3,2 0,5 0,4 0,3
Gunung 0 3,5 2,5 6,0 0,6 0,4 0,2
450 3,0 3,2 5,5 0,9 0,7 0,4
900 2,5 2,5 5,0 0,7 0,5 0,3
≥1350 1,9 2,2 4,0 0,5 0,4 0,3

b) Menentukan LHR pada Awal Umur Rencana


Sebelum menghitung LHR awal umur rencana, perlu dihitung terlebih dahulu umur
perkembangan lalu lintas dengan rumus:
n
Umur Perkembangan Lalu Lintas= (1+i )
Dimana,
i = perkembangan lalu lintas
n = pertumbuhan lalu lintas
Setelah diperoleh umur perkembangan lalu lintas, LHR pada awal umur rencana
dapat dihitung dengan rumus:
LHR awal umur rencana= perkembangan lalin ×banyak kendaraan

c) Menentukan LHR pada Akhir Umur Rencana

7
Sebelum menghitung LHR akhir umur rencana, perlu dihitung terlebih dahulu umur
perkembangan lalu lintas dengan rumus:
n
Umur Perkembangan Lalu Lintas= (1+i )

Dimana,
i = perkembangan lalu lintas
n = umur rencana
Setelah diperoleh umur perkembangan lalu lintas, LHR pada awal umur rencana
dapat dihitung dengan rumus:
LHR akhir umur rencana= perkembangan lalin ×banyak kendaraan

d) Menentukan Koefisien Distribusi Kendaraan


Koefisien distribusi kendaraan (C) untuk kendaraan berat dan ringan yang lewat pada
jalur rencana ditentukan menurut daftar dibawah ini :

e) Menentukan Angka Ekivalen Kendaraan


Angka ekivalen (E) dari suatu beban sumbu kendaraan adalah angka yang
menyatakan perbandingan tingkat kerusakan yang ditimbulkan oleh suatu lintasan
beban sumbu tunggal kendaraan terhadap tingkat kerusakan yang ditimbulkan oleh
suatu lintasan beban standar sumbu tunggal seberat 8,16 ton (18000 lb).
Angka ekivalen (E) masing-masing golongan beban sumbu (setiap kendaraan)
ditentukan menurut daftar dibawah ini :

8
f) Menghitung Lintas Ekivalen Permulaan (LEP)
Untuk menghitung Lintas Ekivalen Permulaan digunakan rumus:
LEP=LHR awal ×C × E
Dimana,
C = koefisien distribusi kendaraan (Daftar II)
E = angka ekivalen beban sumbu kendaraan (Daftar III)

g) Menghitung Lintas Ekivalen Akhir (LEA)


Untuk menghitung Lintas Ekivalen Akhir digunakan rumus:
LEA=LHR akhir × C × E
Dimana,
C = koefisien distribusi kendaraan (Daftar II)
E = angka ekivalen beban sumbu kendaraan (Daftar III)

h) Menghitung Lintas Ekivalen Tengah (LET)


Untuk menghitung Lintas Ekivalen Tengah digunakan rumus:
LET =0,5 ( LEP+ LEA )
Dimana,
LEP = Lintas Ekivalen Permulaan
LEA = Lintas Ekivalen Akhir

9
i) Menghitung Lintas Ekivalen Rencana (LER)
Untuk menghitung Lintas Ekivalen Rencana digunakan rumus:
LER=LET × FP
Dimana,
LET = Lintas Ekivalen Tengah
FP = Umur Rencana dibagi dengan 10

j) Faktor Regional
Faktor regional (FR) adalah faktor setempat, menyangkut keadaan lapangan dan
iklim yang dapat mempengaruhi keadaan pembebanan daya dukung tanah dasar dan
perkerasan. Keadaan lapangan mencakup permeabilitas tanah dasar dan perkerasan.
Keadaan lapangan mencakup permeabilitas tanah, perlengkapan drainase, bentuk
alinyemen serta persentase kendaraan dengan berat ≥ 13 ton dan kendaraan yang
berhenti, sedangkan iklim mencakup curah hujan rata-rata per tahun. Dengan
demikian dalam mnentukan tebal perkerasan ini faktor regional hanya dipengaruhi
oleh bentuk alinyemen (kelandaian dan tikungan ), persentase kendaraan berat dan
yang berhenti serta iklim atau curah hujan sebagai berikut :

k) Menentukan Indeks Permukaan (IP)


Indeks Permukaan (IP) adalah suatu angka yang dipergunakan untuk menyatakan
kerataan atau kehalusan serta kekokohan permukaan jalan yang bertalian dengan
tingkart pelayanan bagi lalulintas yang lewat.
Adapun beberapa nilai IP beserta artinya adalah seperti yang tersebut di bawah ini:
IP =1,0 : adalah menyatakan permukaan jalan dalam keadaan rusak berat
sehinggasangat mengganggu lalu lintas kendaraan.
IP = 1,5: adalah tingkat pelayanan terendah yang masih mungkin (jalan
tidakterputus).
IP = 2,0: adalah tingkat pelayanan rendah bagi jalan yang masih mantap
IP = 2,5: adalah menyatakan permukaan jalan yang masih cukup stabil dan baik.
Dalam menentukan Indeks Permukaan (IP) pada akhir umur rencana perlu
dipertimbangkan faktor-faktor klasifikasi fungsional jalan dan jumlah lalulintas
ekivalen rencana (LER) menurut daftar dibawah ini :

10
Setelah mendapat nilai DDT dari grafik korelasi DDT dan CBR, nilai LER dari
´ bisa
langkah-langkah diatas, serta nilai FR yang telah diketahui, maka nilai ITP
diperoleh dengan nomogram 3 dibawah ini.

11
4. Batas-batas minimum tebal lapisan perkerasan
Batas-batas minimum tebal lapisan perkerasan ini terdapat dalam Daftar VI dan Daftar
VII seperti terdapat dibawah ini.
a) Lapis permukaan :
Daftar VI

b) Lapis pondasi atas


Daftar VII

c) Lapis pondasi bawah


Untuk tiap nilai ITP bila digunakan pondasi bawah, tebal minimum adalah 10.

5. Koefisien Kekuatan Relatif (a)


Koefisien Kekuatan Relatif (a) masing-masing bahan dan keguanaannya sebagai
lapis permukaan, pondasi atas, pondasi bawah, ditentukasn secara korelasi sesuai dengan
nilai Marshall Test (untuk bahan dengan aspal) , kuat tekan (untuk bahan yang
distabilisasi dengan semen atau kapur), atau CBR (untuk bahan lapis pondasi bawah).
Jika alat Marshall tidak tersedia maka kekuatan (stabilitas) bahan beraspal bisa
diukur dengan cara lain

12
Daftar VIII

Perhitungan perencanaan dengan metode ini didasarkan pada kekuatan relatif


masing-masing lapisan perkerasan jangka panjang, dimana penentuan tabel perkerasan
dinyatakan oleh ITP (indeks tebal perkerasan), dengan rumus sebagai berikut :
ITP=a1 D 1+ a2 D2 +a 3 3
a1, a2, a3 = koefisien kekuatan relatif bahan perkerasan

D1,D2,D3 = tebal masing-masing lapis perkerasan (cm)

Angka 1,2,3 : masing-masing untuk lapis permukaan, lapis pondasi atas, dan lapis
pondasi bawah.

13
II. PENENTUAN KLASIFIKASI JALAN DAN
PERHITUNGAN CBR

II.1 Penentuan Klasifikasi Jalan

418 M
9,33 %
390 M

7,56 %
6,11 %

176 M

A B
C = 128

Lereng melintang A-128 = 418 - 176 = 7.56 %


3200

Lereng melintang B-128 = 418 - 390 = 9.33 %


3500 - 3200

Lereng melintang A-B = 390 - 176 = 6.11 %


3500

Jadi Lereng Melintang yang paling makimum adalah 9.33%


Berdasarkan tabel klasifikasi jalan pada lampiran 1, lereng maksimum 9.33%
adalah

Kendaraan ringan 2 ton bua


= 1601
(1+1) h
bua
Bus 8 ton (3+5) = 573
h
bua
Truck 2 as 10 ton (4+6) = 312 +
h
bua
Total = 2486
h

14
Dari Tabel 1. Standar Geometrik Jalan diperoleh jalan ini adalah jalan raya
sekunder II B daerah pegunungan dengan data-data sebagai berikut:

Kecepatan rencana = 40 km/jam


Lebar daerah penguasaan minimum = 30 m
Lebar perkerasan minimum = 2 x 3,5 m
Lebar bahu = 2.5 m
Lereng melintang perkerasan = 2 %
Lereng melintang bahu = 6 %
Miring tikungan maksimum = 10 %
Jari-jari lengkung minimum = 50 m
Landai maksimum = 8 %

15
2.2 Perhitungan CBR

1. Stasiun A-30
3,4,5,6,7,3,4,5,5,6,4,7,3,3,4,5,6,7,3,5,4,3,7,5,4
No. Nilai CBR Jumlah yang sama Persentase
1 3
2 3
3 3 2 2 100.0
6 + 19 = 25 ( : ) x 100 = %
4 3 5 5 0
5 3
6 3
7 4
8 4
9 4 1 2
6 + 13 = 19 ( : ) x 100 = 76.00 %
10 4 9 5
11 4
12 4
13 5
14 5
1 2
15 5 6 + 7 = 13 ( : ) x 100 = 52.00 %
3 5
16 5
17 5
19 6
2
20 6 3 + 4 = 7 ( 7 : ) x 100 = 28.00 %
5
21 6
22 7                              
23 7 2
4 + 0 = 4 ( 4 : ) x 100 = 16.00 %
24 7 5
25 7                              

120.00

100.00 100.00

80.00
Persentase (%)

76.00

60.00
52.00
40.00
28.00
20.00
16.00

0.00
2 3 4
Nilai CBR 5 6 7 8
Nilai CBR rata-rata = 3.42

16
2. Stasiun 31-60
4,5,6,6,3,5,4,3,5,4,6,7,7,3,5,6,3,4,7,5,4,3,4,7
,7
No Nilai Jumlah yang
Presentase
. CBR sama
2 2 2 2 10 100.0
1 3 5 + = ( : ) x = %
0 5 5 5 0 0
2 3      
3 3      
4 3      
5 3                              
1 2 2 2 10
6 4 6 + = ( : ) x = 80.00 %
4 0 0 5 0
7 4        
8 4        
9 4        
10 4        
11 4                              
12 5
13 5
1 1 1 10
14 5 5 + 9 = ( : ) x = 73.68 %
4 4 9 0
15 5
16 5
17 6
18 6 1 10
4 + 5 = 9 ( 9 : ) x = 47.37 %
19 6 9 0
20 6
21 7
22 7
1 10
23 7 1 + 0 = 5 ( 5 : ) x = 26.32 %
9 0
24 7
25 7

17
120.00

100.00 100.00

Persentase (%)
80.00 80.00
73.68
60.00
47.37
40.00
26.32
20.00

0.00
2 3 4 5 6 7 8
Nilai CBR
Nilai CBR rata-rata = 3.5

3 Stasiun 61-
. 90
5,6,7,8,4,3,5,3,4,3,7,8,5,6,4,5,4,3,3,4,5,6,5,
4,3
No Nilai Jumlah yang Persentas
             
. CBR sama     e
1 3
2 3
3 3 1 2 2 2 10 100.0
6 + = ( : ) x = %
4 3 9 5 5 5 0 0
5 3
6 3
7 4
8 4
9 4 1 1 1 2 10
6 + = ( : ) x = 76.00 %
10 4 3 9 9 5 0
11 4
12 4
13 5
14 5
15 5 1 1 2 10
6 + 7 = ( : ) x = 52.00 %
16 5 3 3 5 0
17 5
18 5
19 6
2 10
20 6 3 + 4 = 7 ( 7 : ) x = 28.00 %
5 0
21 6
22 7 2 10
2 + 2 = 4 ( 4 : ) x = 16.00 %
23 7 5 0
24 8 2 10
1 + 1 = 2 ( 2 : ) x = 8.00 %
25 8 5 0

18
120.00

100.00 100.00
Persentase (%)
80.00 76.00
60.00
52.00
40.00
28.00
20.00 16.00
8.00
0.00
2 3 4 5 6 7 8 9
Nilai CBR
Nilai CBR rata-rata = 3.42

4. Stasiun 91-120
6,7,8,4,3,5,6,4,3,4,5,6,7,8,3,5,6,4,5,3,4,6
No Nilai
Jumlah yang sama Persentase
. CBR
1 3
2 3
2 2 2
3 3 5 + = 25 ( : ) x 100 = 100.00 %
0 5 5
4 3
5 3
6 4
7 4
8 4 1 2 2
6 + = 20 ( : ) x 100 = 80.00 %
9 4 4 0 5
10 4
11 4
12 5
13 5
1 2
14 5 5 + 9 = 14 ( : ) x 100 = 56.00 %
4 5
15 5
16 5
17 6
18 6
2
19 6 5 + 4 = 9 ( 9 : ) x 100 = 36.00 %
5
20 6
21 6
22 7 2
2 + 2 = 4 ( 4 : ) x 100 = 16.00 %
23 7 5
24 8 2
2 + 0 = 2 ( 2 : ) x 100 = 8.00 %
25 8 5

19
120.00

Persentase (%) 100.00 100.00

80.00 80.00

60.00 56.00
40.00 36.00
20.00 16.00
8.00
0.00
2 3 4 5 6 7 8 9
Nilai CBR
Nilai CBR rata-rata = 3.5

5. Stasiun 121-B
7,4,3,5,6,5,4,3,3,5,4,5,4,8,7,6,5,4,3,8,5,3,3,4,
5
Nilai Jumlah yang
No. Persentase
CBR sama
1 3
2 3
3 3 2 100.0
6 + 19 = 25 ( 25 : ) x 100 = %
4 3 5 0
5 3
6 3
7 4
8 4
9 4 2
6 + 13 = 19 ( 19 : ) x 100 = 76.00 %
10 4 5
11 4
12 4
13 5
14 5
15 5
16 2
5 7 + 6 = 13 ( 13 : ) x 100 = 52.00 %
5
17 5
18 5
19 5
20 6 2
2 + 4 = 6 ( 6 : ) x 100 = 24.00 %
21 6 5
22 7 4 + 0 = 4 ( 4 : 2 ) x 100 = 16.00 %
23 7 5
24 7

20
25 7

120.00

100.00 100.00

80.00
Persentase (%)

76.00

60.00
52.00
40.00

24.00
20.00
16.00

0.00
2 3 Nilai4CBR 5 6 7 8
Nilai CBR rata-rata = 3.42

21
III. PERHITUNGAN LINTASAN EKUIVALEN RATA-RATA
3.1 Perhitungan Lintasan Harian Rata-Rata dengan Metode Bina Marga

Data-data :

- Ruas jalan baru yaitu : Jalan A – B


- Jalan raya sekunder kelas : II B / Pegunungan
- Umur rencana : 5 Tahun
- Peningkatan jalan tahun : Tahun 2019
- Survey lalu lintas : Tahun 2017
- Kendaraan ringan 2 ton (1 + 1) : 1601 buah
- Bus 8 ton (3 + 5) : 573 buah
- Truck 2 as 10 ton (4 + 6) : 312 buah
- Faktor regional : 1,5
- Perkembangan lalulintas : 3%

3.2 Data Kendaraan dalam Satuan Mobil Penumpang (EMP) : (sesuai Tabel 2)
- Kendaraan ringan 2 ton (1 + 1) = 1,0 x 1601 = 1601,0000 EMP
- Bus 8 ton (3 + 5) = 3,0 x 573 = 1723,9660 EMP
- Truck 2 as 10 ton (4 + 6) = 5,7 x 312 = 1763,8400 EMP
Total = 5088,8060 EMP

3.3 Perhitungan LHR pada Awal Umur Rencana :

Tingkat perkembangan lalulintas = (1 + i)n


Perkembangan lalulintas ( i ) = 3%
Tingkat pertumbuhan lalulintas ( n ) = 2019 – 2017 = 2 Tahun
Maka perkembangan lalulintas = ( 1 + 0,03 )3 = 1,0927
Jadi LHR pada awal rencana = Banyak kendaraan x Perkembangan lalulintas
- Kendaraan ringan 2 ton (1 + 1) = 1601,0000 x 1,0927 = 1749,4559 EMP
- Bus 8 ton (3 + 5) = 1723,9660 x 1,0927 = 1883,8242 EMP
- Truck 2 as 10 ton (4 + 6) = 1763.8400 x 1,0927 = 1927,3956 EMP
Total = 5560,6757 EMP

22
3.4 Perhitungan Lintas Harian Rata-rata (LHR) pada Akhir Umur Rencana :

Umur perkembangan lalulintas = (1 + i)n


Perkembangan lalu lintas ( i ) = 3%
Umur rencana ( n ) = 5 Tahun
Maka perkembangan lalulintas = ( 1 + 0,03 )5 = 1,1593
Jadi LHR pada awal rencana = Banyak kendaraan x Perkembangan lalulintas
- Kendaraan ringan 2 ton (1 + 1) = 1749,46 x 1,1593 = 2028,0989 EMP
- Bus 8 ton (3 + 5) = 1883,82 x 1,1593 = 2183,8686 EMP
- Truck 2 as 10 ton (4 + 6) = 1927,40 x 1,1593 = 2234,3797 EMP
Total = 6446,3472 EMP

3.5 Menentukan Koefisien Distribusi Kendaraan (C) :

Berdasarkan Koefisien Distribusi Kendaraan (Daftar 2) diperoleh :


Kendaraan ringan ( 2 jalur – 2 arah ) ; C = 0,50
Kendaraan berat ( 2 jalur – 2 arah ) ; C = 0,50

3.6 Menentukan Angka Ekuivalen Kendaraan (E) :

Berdasarkan Angka Ekivalen (E) Beban Sumbu Kendaraan (Daftar 3) diperoleh :

- Kendaraan ringan 2 ton (1 + 1) = 1000 Kg + 1000 Kg


As depan 1 ton = 1000 Kg = 0,0002
As belakang 1 ton = 1000 Kg = 0,0002
Total E = 0,0004

- Bus 8 ton (3 + 5) = 3000 Kg + 5000 Kg


As depan 3 ton = 3000 Kg = 0,0183
As belakang 5 ton = 5000 Kg = 0,1410
Total E = 0,1593

- Truck 2 as 10 ton (4 + 6) = 4000 Kg + 6000 Kg


As depan 4 ton = 4000 Kg = 0,0577
As belakang 6 ton = 6000 Kg = 0,2923
Total E = 0,3500

23
3.7 Menghitung Lintas Ekuivalen Permulaan (LEP) :

LEP = LHRawal x Koef Distribusi (C) x Angka Ekuivalen (E)

- Kendaraan ringan 2 ton (1 + 1) = 1749,46 x 0,5 x 0,0004 = 0,3499 EMP


- Bus 8 ton (3 + 5) = 1883,82 x 0,5 x 0,1593 = 150,0466 EMP
- Truck 2 as 10 ton (4 + 6) = 1927.40 x 0,5 x 0,3500 = 337,2942 EMP
Total = 487,6907 EMP

3.8 Menghitung Lintas Ekuivalen Akhir (LEA) :

LEP = LHRakhir x Koef Distribusi (C) x Angka Ekuivalen (E)

- Kendaraan ringan 2 ton (1 + 1) = 2028,10 x 0,5 x 0,0004 = 0,4056 EMP


- Bus 8 ton (3 + 5) = 2183,87 x 0,5 x 0,1593 = 173,9451 EMP
- Truck 2 as 10 ton (4 + 6) = 2234,38 x 0,5 x 0,3500 = 391,0165 EMP
Total = 565,3672 EMP

3.9 Menghitung Lintas Ekuivalen Tengah (LET) :

LET = 0,5 x (LEP +LEA)

- Kendaraan ringan 2 ton (1 + 1) = 0,5 x (0,3499 + 0,3843) = 0,3778 EMP


- Bus 8 ton (3 + 5) = 0,5 x (150,0466 + 122,6451) = 161,9959 EMP
- Truck 2 as 10 ton (4 + 6) = 0,5 x (337,2942 + 391,0165) = 364,1553 EMP
Total = 526,5290 EMP

3.10 Menghitung Lintas Ekuivalen Rencana (LER) :

LER = LET x FP , dimana FP = Umur Rencana (n)/10 = 5/10 = 0,50

- Kendaraan ringan 2 ton (1 + 1) = 0,3778 x 0,5 = 0,1790 EMP


- Bus 8 ton (3 + 5) = 161,9959 x 0,5 = 57,1100 EMP
- Truck 2 as 10 ton (4 + 6) = 364,1553 x 0,5 = 170,0680 EMP
Total = 263,2645 EMP

3.11 Menentukan Indeks Permukaan (IP) :

Berdasarkan koefisien Indeks IP (Daftar 5) maka nilai LER untuk Jalan Kolektor adalah:
LER = 263,2645 = 264 EMP
Maka IP = 2

24
IV. MENENTUKAN INDEKS TEBAL PERKERASAN DAN
PERENCANAAN PERKERASAN JALAN

IV.1 Menentukan Indeks Tebal Perkerasan


1. Stasiun A-30
CBR = 3,42
IP = 2,00
FR = 1,50
LER = 264 EMP
DDT didapatkan berdasarkan Grafik korelasi DDT dan CBR serta dengan bantuan
nomogram didapatkan nilai
DDT = 4,2
´
ITP = 8,8

2. Stasiun 31-60
CBR = 3,50
IP = 2,00
FR = 1,50
LER = 264 EMP
DDT didapatkan berdasarkan Grafik korelasi DDT dan CBR serta dengan bantuan
nomogram didapatkan nilai
DDT = 4,2
´
ITP = 8,4

3. Stasiun 61-90
CBR = 3,42
IP = 2,00
FR = 1,50
LER = 264 EMP
DDT didapatkan berdasarkan Grafik korelasi DDT dan CBR serta dengan bantuan
nomogram didapatkan nilai
DDT = 4,0
´
ITP = 8,8

4. Stasiun 91-120
CBR = 3,50
IP = 2,00
FR = 1,50
LER =264 EMP
DDT didapatkan berdasarkan Grafik korelasi DDT dan CBR serta dengan bantuan
nomogram didapatkan nilai
DDT = 4,2
´
ITP = 8,4

25
5. Stasiun 121-B
CBR = 3,42
IP = 2,00
FR = 1,50
LER = 264 EMP
DDT didapatkan berdasarkan Grafik korelasi DDT dan CBR serta dengan bantuan
nomogram didapatkan nilai
DDT = 4,0
´
ITP = 8,8

26
IV.2 Perencanaan Perkerasan Jalan
1. Stasiun A-30
Diketahui ITP = 8,8
Menentukan tebal perkerasan untuk jalan baru (Daftar VII dan Daftar VIII)
Lapisan permukaan (D1) = 7,5 cm (Labustag)
Lapisan pondasi atas (D2) = 20 cm (Batu Pecah)
Koefisien kekuatan relatif (a1) = 0,28 (Labustag)
Koefisien kekuatan relatif (a2) = 0,13 (Batu Pecah Kelas B)
Koefisien kekuatan relatif (a3) = 0,12 (Sirtu Kelas B)
Menentukan lapisan pondasi bawah, D3 (Sirtu Kelas B) ?
´
ITP= ( a 1× D1 ) + ( a 2 × D 2 ) + ( a 3 × D 3 )
8,8=( 0,28 ×7,5 ) + ( 0,13 ×20 )+ ( 0,12× D3 )
8,8=2,1+2,6+ ( 0,12 × D 3 )
8,8−4,7
D 3=
0,12
D 3=¿ 34,16 cm = 35 cm
Maka
´ yang terjadi
ITP
¿ ( a 1 × D 1 )+ ( a 2× D2 ) + ( a 3 × D 3 )
¿ ( 0,28 ×7,5 ) + ( 0,13 × 20 )+ ( 0,12× 35 )
= 8,9
Jadi, ITP yang terjadi lebih besar dari ITP awal atau 8,9> ITP ´
Untuk ruas jalan stasiun A-30

7,5 cm= D1 Lapisan Permukaan


(Labustag)
20 cm= D2 Lapisan Pondasi Atas
(Batu Pecah Kelas B)

35 cm= D3 Lapisan Pondasi Bawah


(Sirtu Kelas B)

Dalam pelaksanaannya lapisan pondasi atas dapat dikurangi terbalnya apabila lapisan
pondasi bawah digunakan material berbutir kasar.

27
2. Stasiun 31-60
Diketahui ITP = 8,4
Menentukan tebal perkerasan untuk jalan baru
Lapisan permukaan (D1) = 7,5 cm (Labustag)
Lapisan pondasi atas (D2) = 20 cm (Batu Pecah)
Koefisien kekuatan relatif (a1) = 0,28 (Labustag)
Koefisien kekuatan relatif (a2) = 0,13 (Batu Pecah Kelas B)
Koefisien kekuatan relatif (a3) = 0,12 (Sirtu Kelas B)
Menentukan lapisan pondasi bawah, D3 (Sirtu Kelas B) ?
´
ITP= ( a 1× D1 ) + ( a 2 × D 2 ) + ( a 3 × D 3 )
8,4=( 0,28 ×7,5 )+ ( 0,13× 20 ) + ( 0,12 × D 3 )
8,4=2,1+2,6+ ( 0,12× D 3 )
8,4−4,7
D 3=
0,12
D 3=¿ 30,83 cm = 31 cm
Maka
´ yang terjadi
ITP
¿ ( a 1 × D 1 )+ ( a 2× D2 ) + ( a 3 × D 3 )
¿ ( 0,28 ×7,5 ) + ( 0,13 × 20 )+ ( 0,12× 31 )
= 8,42
Jadi, ITP yang terjadi lebih besar dari ITP awal atau 8,42 > ITP ´
Untuk ruas jalan stasiun 31-60

7,5 cm= D1 Lapisan Permukaan


(Labustag)
20 cm= D2 Lapisan Pondasi Atas
(Batu Pecah Kelas B)

31 cm= D3 Lapisan Pondasi Bawah


(Sirtu Kelas B)

Dalam pelaksanaannya lapisan pondasi atas dapat dikurangi terbalnya apabila lapisan
pondasi bawah digunakan material berbutir kasar.

28
3. Stasiun 61-90
Diketahui ITP = 8,8
Menentukan tebal perkerasan untuk jalan baru (Daftar VII dan Daftar VIII)
Lapisan permukaan (D1) = 7,5 cm (Labustag)
Lapisan pondasi atas (D2) = 20 cm (Batu Pecah)
Koefisien kekuatan relatif (a1) = 0,28 (Labustag)
Koefisien kekuatan relatif (a2) = 0,13 (Batu Pecah Kelas B)
Koefisien kekuatan relatif (a3) = 0,12 (Sirtu Kelas B)
Menentukan lapisan pondasi bawah, D3 (Sirtu Kelas B) ?
´
ITP= ( a 1× D1 ) + ( a 2 × D 2 ) + ( a 3 × D 3 )
8,8=( 0,28 ×7,5 ) + ( 0,13 ×20 )+ ( 0,12× D3 )
8,8=2,1+2,6+ ( 0,12 × D 3 )
8,8−4,7
D 3=
0,12
D 3=¿ 34,16 cm = 35 cm
Maka
´ yang terjadi
ITP
¿ ( a 1 × D 1 )+ ( a 2× D2 ) + ( a 3 × D 3 )
¿ ( 0,28 ×7,5 ) + ( 0,13 × 20 )+ ( 0,12× 35 )
= 8,9
Jadi, ITP yang terjadi lebih besar dari ITP awal atau 8,9 > ITP ´
Untuk ruas jalan stasiun 61-90

7,5 cm= D1 Lapisan Permukaan


(Labustag)
20 cm= D2 Lapisan Pondasi Atas
(Batu Pecah Kelas B)

35 cm= D3 Lapisan Pondasi Bawah


(Sirtu Kelas B)

Dalam pelaksanaannya lapisan pondasi atas dapat dikurangi terbalnya apabila lapisan
pondasi bawah digunakan material berbutir kasar.

29
4. Stasiun 91-120
Diketahui ITP = 8,4
Menentukan tebal perkerasan untuk jalan baru (Daftar VII dan Daftar VIII)
Lapisan permukaan (D1) = 7,5 cm (Labustag)
Lapisan pondasi atas (D2) = 20 cm (Batu Pecah)
Koefisien kekuatan relatif (a1) = 0,28 (Labustag)
Koefisien kekuatan relatif (a2) = 0,13 (Batu Pecah Kelas B)
Koefisien kekuatan relatif (a3) = 0,12 (Sirtu Kelas B)
Menentukan lapisan pondasi bawah, D3 (Sirtu Kelas B) ?
´
ITP= ( a 1× D1 ) + ( a 2 × D 2 ) + ( a 3 × D 3 )
8,4=( 0,28 ×7,5 )+ ( 0,13× 20 ) + ( 0,12 × D 3 )
8,4=2,1+2,6+ ( 0,12× D 3 )
8,4−4,7
D 3=
0,12
D 3=¿ 30,83 cm = 31 cm
Maka
´ yang terjadi
ITP
¿ ( a 1 × D 1 )+ ( a 2× D2 ) + ( a 3 × D 3 )
¿ ( 0,28 ×7,5 ) + ( 0,13 × 20 )+ ( 0,12× 31 )
= 8,42
Jadi, ITP yang terjadi lebih besar dari ITP awal atau 8,42 > ITP ´
Untuk ruas jalan stasiun 91-120

7,5 cm= D1 Lapisan Permukaan


(Labustag)
20 cm= D2 Lapisan Pondasi Atas
(Batu Pecah Kelas B)

31 cm= D3 Lapisan Pondasi Bawah


(Sirtu Kelas B)

Dalam pelaksanaannya lapisan pondasi atas dapat dikurangi terbalnya apabila lapisan
pondasi bawah digunakan material berbutir kasar.

30
5. Stasiun 121-B
Diketahui ITP = 8,8
Menentukan tebal perkerasan untuk jalan baru
Lapisan permukaan (D1) = 7,5 cm (Lapen)
Lapisan pondasi atas (D2) = 20 cm (Batu Pecah)
Koefisien kekuatan relatif (a1) = 0,25 (Lapen Mekanis)
Koefisien kekuatan relatif (a2) = 0,13 (Batu Pecah Kelas B)
Koefisien kekuatan relatif (a3) = 0,12 (Sirtu Kelas B)
Menentukan lapisan pondasi bawah, D3 (Sirtu Kelas B) ?
´
ITP= ( a 1× D1 ) + ( a 2 × D 2 ) + ( a 3 × D 3 )
8,8=( 0,25 ×7,5 ) + ( 0,13 ×20 )+ ( 0,12× D 3 )
8,8=1,875+2,6+ ( 0,12 × D 3 )
8,8−4,7
D 3=
0,12
D 3=¿ 34,16 cm = 35 cm
Maka
´ yang terjadi
ITP
¿ ( a 1 × D 1 )+ ( a 2× D2 ) + ( a 3 × D 3 )
¿ ( 0,25 ×7,5 ) + ( 0,13 × 20 )+ ( 0,12× 35 )
= 8,9
Jadi, ITP yang terjadi lebih besar dari ITP awal atau 8,9> ITP ´
Untuk ruas jalan stasiun 31-B

7,5 cm= D1 Lapisan Permukaan


(Labustag)
20 cm= D2 Lapisan Pondasi Atas
(Batu Pecah Kelas B)

35 cm= D3 Lapisan Pondasi Bawah


(Sirtu Kelas B)

Dalam pelaksanaannya lapisan pondasi atas dapat dikurangi terbalnya apabila lapisan
pondasi bawah digunakan material berbutir kasar.

31
V. TEKNIK PELAKSANAAN

V.1Pekerjaan Lapis Tanah Dasar


1. Material
 Urugan tanah
 Pasir abu batu
2. Peralatan
 Bulldozer
 Parang/pemotong
3. Teknis pelaksanaan
 Pekerjaan ini diawali dengan pemotongan pohon-pohon kecil atau besar
(clearing and grabling) kemudian dilanjutkan dengan pembuangan humus atau
tumbuhan pada lapisan tanah atas (top soil and stripping).
 Sebelum pemadatan dilakukan terlebih dahulu dilakukan penimbunan dan
galian.
 Penimbunan dilakukan lapis demi lapis (layer by layer) setinggi 20 cm dan
dipadatkan dibawah 1 m dari sub grade, pengetesan dapat dilakukan setiap tiga
lapisan dengan alat tes profil rolling.
 Kemudian dilanjutkan dengan pekerjaan pondasi bawah (sub base course).

32
V.2Pengerjaan Pondasi Bawah (Sub Base Course)
1. Material
 Aspal pen 80/100 (ter).
 Air
 Kayu bakar
 Minyak tanah
 Sirtu kelas B
2. Peralatan
 Kereta dorong
 Compressor
 Sapu lidi
 Tandem roller (wals)
 Alat penyemprot aspal
3. Teknis pelaksanaan
 Pengerjaan pondasi bawah diawali dengan pembersihan permukaan dengan
menggunakan sapu lidi atau air compressor.
 Kemudiann dilanjutkan dengan penghamparan sirtu dengan tujuan untuk
memadatkan daerah yang berongga.
 Setelah itu digilas dengan tandem roller sebanyak 6 lintasan dari bagian pinggir
ke bagian tengah permukaan jalan.
 Selanjutnya dilanjutkan dengan penyemprotan aspal pen 80/100 (ter)
 Kemudian dilanjutkan dengan pengerjaan pondasi atas.

33
V.3Pengerjaan Pondasi Atas (Base Course)
1. Material
 Batu pecah kelas B (ukuran 2/3 dan 3/5)
 Kayu bakar
 Minyak tanah
 Aspal pen 80/100 (ter)
 Air
2. Peralatan
 Tandem roller (wals)
 Kereta dorong
 Alat penyemprot aspal
3. Teknis pelaksanaan
 Pekerjaan diawali dengan dengan penghamparan batu pecah 3/5.
 Kemudian dilanjutkan dengan penggilasan dengan menggunakan tandem roller
sebanyak 6 lintasan dari bagian pinggir ke bagian tengah permukaan jalan.
 Untuk mengisi rongga-rongga pada lapisan pondasi atas maka diperlukan
pengisian batu pecah 2/3 untuk menutup rongga tersebut.
 Dilanjutkan penyemprotan batu aspal dengan menggunakan alat penyemprot
aspal, kemudian digilas dengan tandem roller sebanyak 6 lintasan.

34
V.4Pengerjaan Lapis Permukaan
1. Material
 Pasir
 Batu pecah ½
 Kayu bakar
 Minyak tanah
 Aspal murni
 Air
2. Peralatan
 Tandem roller
 Kereta dorong
 Alat penyemprot aspal
3. Teknis pelaksanaan
 Pekerjaan diawali dengan penghamparan batu pecah ½.
 Kemudian dilanjutkan dengan penggilasan menggunakan tandem roller
sebanyak 6 lintasan dari bagian pinggir ke bagian tengah permukaan jalan.
 Setelah itu dilakukan penyiraman aspal dan dilanjutkan dengan penghamparan
pasir.
 Terakhir dilanjutkan dengan penggilasan menggunakan tandem roller sebanyak
6 lintasan dari bagian pinggir ke bagian tengah permukaan jalan.

35
V.5Susunan Lapis Perkerasan
1. Lapisan Permukaan
1) Lapisan penahan beban
2) Lapisan aus
3) Lapisan kedap air
4) Lapiasan yang menyebarkan beban ke lapisan bawah sehingga dapat dipikul oleh
lapisan lain yang mempunyai daya dukung yang lebih jelek
2. Lapisan Pondasi Atas
Terletak diantara lapisan bawah dan lapisan permukaan yang berfungsi:
1) Menahan gaya lintang dari beban
2) Lapisan peresapan
3) Bantalan terhadap lapiasan permukaan
Bahan yang digunakan : batu pecah, kerikul, semen kapur.
3. Lapisan Pondasi Bawah
Terletak diantara tanah dasar dan pondasi atas, yang berfungsi sebagai berikut:
1) Menyebarkan beban roda ke tanah dasar.
2) Sebagai efisiensi penggunaan material.
3) Mengurangi tebal lapisan di atasnya yang lebih mahal.
4) Lapisan peresapan.
5) Lapisan pertama agar pekerjaan menjadi lancar.
6) Mencegah partikel halus dari tanah dasar naik ke lapisan pondasi atas.

36
V.6Susunan Material Perkerasan
1. Untuk patok A-30
 Lapis permukaan (D1) terdiri atas labustag = 7,5 cm
 Lapis pondasi atas (D2) terdiri atas batu pecah kelas B = 20 cm
 Lapis pondasi bawah (D3) terdiri atas sirtu kelas B = 35 cm

2. Untuk patok 31-60


 Lapis permukaan (D1) terdiri atas labustag = 7,5 cm
 Lapis pondasi atas (D2) terdiri atas batu pecah kelas B = 20 cm
 Lapis pondasi bawah (D3) terdiri atas sirtu kelas B = 31 cm

3. Untuk patok 61-90


 Lapis permukaan (D1) terdiri atas labustag = 7,5 cm
 Lapis pondasi atas (D2) terdiri atas batu pecah kelas B = 20 cm
 Lapis pondasi bawah (D3) terdiri atas sirtu kelas B = 35 cm

4. Untuk patok 91-120


 Lapis permukaan (D1) terdiri atas labustag = 7,5 cm
 Lapis pondasi atas (D2) terdiri atas batu pecah kelas B = 20 cm
 Lapis pondasi bawah (D3) terdiri atas sirtu kelas B = 31 cm
5. Untuk patok 121-N
 Lapis permukaan (D1) terdiri atas lapen mekanis = 7,5 cm
 Lapis pondasi atas (D2) terdiri atas batu pecah kelas B = 20 cm
 Lapis pondasi bawah (D3) terdiri atas sirtu kelas B = 35 cm

37

Anda mungkin juga menyukai