Pemerintahan juga bisa dikatakan baik jika produktif dan memperlihatkan hasil dengan
indikator kemampuan ekonomi rakyat meningkat, baik dalam aspek produktivitas
maupun dalam daya belinya; kesejahteraan spiritualnya meningkal dengan indikator rasa
aman, bahagia, dan memiliki rasa kebangsaan yang tinggi. Secara umum istilah good
governance memiliki pengertian akan segala hal yang terkait dengan tindakan atau
tingkah laku yang bersifat mengarahkan, mengendalikan, atau mempengaruhi urusan
publik untuk mewujudkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Jika ditarik lebih jauh, lahirnya wacana good governance berakar dari penyimpangan-
penyimpangan yang terjadi pada praktik pemerintahan, seperti Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme (KKN). Penyelenggaraan urusan publik yang bersifat sentralistis, non-
partisipatif serta tidak akomodatif terhadap kepentingan publik, telah menumbuhkan rasa
tidak percaya dan bahkan antipati kepada rezim pemerintahan yang ada. Masyarakat tidak
puas dengan kinerja pemerintah yng selama ini dipercaya sebagai penyelenggara urusan
publik. Beragam kekecewaan terhadap penyelenggaraan pemerintahan tersebut pada
akhirnya melahirkan tuntutan untuk mengembalikan fungsi-fungsi pemerintahan yang
ideal. Good governance tampil sebagai upaya untuk memuaskan dahaga publik atas
kinerja birokrasi yang sesungguhnya.
1. Tuntutan eksternal
Pengaruh globalisasi telah memaksa kita untuk menerapkan Good governance. Good
Govermence telah menjadi ideologi baru negara dan lembaga donor internasional
dalam mendorong negara-negara anggotanya menghormati prinsip-prinsip ekonomi
pasar dan demokrasi sebagai prasyarat dalam pergaulan internasional. Istilah good
governance mulai mengemuka di Indonesia pada akhir tahun 1990-an, seiring dengan
interaksi antara pemerintah Indonesia dengan negara-negara luar dan lembaga-
lembaga donor yang menyoroti kondisi objektif situasi perkembangan ekonomi dan
politik dalam negeri Indonesia.
2. Tuntutan internal
Masyarakat melihat dan merasakan bahwa salah satu penyebab terjadinya krisis
multidimensional saat ini adalah terjadinya juse of power yang terwujud dalam
bentuk KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) dan sudah sedemikian rupa mewabah
dalam segala aspek kehidupan. Proses check and balance tidak terwujud dan
dampaknya menyeret bangsa Indonesia pada keterpurukan ekonomi dan ancaman
isintegrasi. Berbagai kajian ihwal korupsi di Indonesia memperlihatkan korupsi
berdampak negatif terhadap pembangunan melalui kebocoran,mark up yang
menyebabkan produk high cost dan tidak kompetitif di asar global (high cost
economy), merusakkan tatanan masyarakat dan hidupan bernegara. Masyarakat
menilai praktik KKN yang paling mencolok kualitas dan kuantitasnya adalah justru
yang dilakukan oleh cabang-cabang pemerintahan, eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Hal selengarahkan pada wacana bagaimana menggagas reformasi birokrasi
pemerintahan (governance reform). Realitas sejarah ini menggiring kita pada wacana
bagaimana mendorong menerapkan nilai-nilai transparansi, akuntabilitas, partisipasi,
dan tralisasi penyelenggaraan pemerintahan. Good governance ini dapat stabil bila
pelaksanaannya dilakukan dengan efektif, efisien, responsif terhadap kebutuhan
rakyat, serta dalam suasana demokratis, akuntabel, dan transparan.
1. Partisipasi (Participation)
Sebagai pemilik kedaulatan, setiap warga negara mempunyai hak dan kewajiban
untuk mengambil bagian dalam proses bernegara, berpemerintah, serta
bermasyarakat. Partisipasi tersebut dapat dilakukan secara langsung ataupun melalui
institusi intermediasi, seperti DPRD, LSM, dan lainnya. Partisipasi yang diberikan
dapat berbentuk buah pikiran, dana, tenaga, ataupun bentuk-bentuk lainnya yang
bermanfaat. Semua warga masyarakat mempunyai suara dalam pengambilan
keputusan, baik langsung maupun melalui lembaga perwakilan sah yang mewakili
kepentingan mereka. Partisipasi menyeluruh tersebut dibangun berdasarkan prinsip
demokrasi yaitu kebebasan berkumpul dan mengungkapkan pendapat secara
konstruktif.
Syarat utama warga negara disebut berpartisipasi dalam kegiatan berbangsa,
bernegara, dan berpemerintahan, yaitu: Pertama, ada rasa kesukarelaan. Kedua, Ada
keterlibatan secara emosional. Ketiga, Memperoleh manfaat secara langsung maupun
tidak langsung dari keterlibatannya.
3. Transparansi (Transparancy)
Sebagai konsekuensi logis dari keterbukaan, setiap komponen yang terlibat dalam
proses pembangunan good governance harus memiliki daya tanggap terhadap
keinginan atau keluhan para pemegang saham (stake holder). Upaya peningkatan
daya tanggap tersebut, terutama ditujukan pada sector publik yang selama ini
cenderung tertutup, arogan, serta berorientasi pada kekuasaan.
Affan menegaskan bahwa pemerintah harus memahami kebutuhan masyarakat-
masyarakatnya, jangan menunggu mereka menyampaikan keinginannya,tetapi mereka
secara proaktif mempelajari dan menganalisa kebutuhan-kebutuhan masyarakat,
untuk kemudian melahirkan berbagai kebijakan strategis guna memenuhi kepentingan
umum.
6. Keadilan (Equity)
Melalui prinsip good governance, setiap warga negara memiliki kesempatan yang
sama untuk memperoleh kesejahteraan. Akan tetapi, karena kemampuan masing
masing warga negara berbeda-beda, sector public harus memainkan peranan agar
kesejahteraan dan keadilan dapat berjalan seiring sejalan.
Clean vand good governance juga harus didukung dengan rasa kesetaraan, yakni
kesamaan dalam perlakuan dan pelayanan. Asas ini harus diperhatikan secara
sungguh-sungguh oleh semua penyelenggara pemerintahan di Indonesia karena
kenyatan sosiologis bangsa kita sebagai bangsa yang majemuk, baik etnis, agama, dan
budaya.
Agar mampu berkompetisi secara sehat dalam percaturan dunia, kegiatan ketiga
domain dan governance harus mengutamakan efektivitas dan efisiensi dalam setiap
kegiatan. Tekanan perlunya efektivitas dan efesiensi terutama ditunjukan pada sector
publik karena sector ini menjalankan aktivitasnya secara monopolistic.
Konsep efektivitas dalam sektor kegiatan-kegiatan publik memiliki makna ganda,
yakni efektivitas dalam pelaksanan proses-proses pekerjaan, baik oleh pejabat public
maupun partisipasi masyarakat, dan kedua efektivitas dalam konteks hasil, yakni
mampu memberikan kesejahteraan pada sebesar-besarnya kelompok dan lapisan
social.
8. Akuntabilitas (Accountability)
Dalam era yang berubah secara dinamis, setiap domain dalam good governance harus
memiliki visi yang strategis. Tanpa visi semacam itu, suatu bangsa dan negara akan
mengalami ketinggalan. Visi itu, dapat dibedakan antara visi jangka panjang antara
20 sampai 25 tahun serta visi jangka pendek sekitar 5 tahun.