Anda di halaman 1dari 6

A.

PENGERTIAN DAN LATAR BELAKANG GOOD GOVERNANCE

Pemerintahan atau “governance” dalam bahasa inggris diartikan sebagai "The


authoritative direction and administration of the affairs of men/women in a nation, state,
city, etc" (pengarahan dan administrasi yang berwenang atas kegiatan orang-orang dalam
sebuah negara, negara bagian, kota, dan sebagainya). Ditinjau dari sisi semantik,
kebahasaan governance berarti tata kepemerintahan dan good governance bermakna tata
kepemerintahan yang baik. Di satu sisi istilah good governance dapat dimaknai secara
berlainan, sedangkan sisi yang lain dapat diartikan sebagai kinerja suatu lembaga,
misalnya kinerja pemerintahan, perusahaan atau organisasi kemasyarakatan, Apabila
istilah ini dirujuk Pada asli kata dalam bahasa Inggris: governing maka artinya adalah
mengarahkan atau mengendalikan, Karena itu good governance dapat diartikan sebagai
tindakan untuk mengarahkan, mengendalikan, atau memengaruhi masalah publik. Oleh
karena itu ranah good governance tidak terbatas pada negara atau birokrasi pemerintahan,
tetapi juga pada ranah masyarakat sipil yang dipresentasikan oleh organisasi non-
pemerintah dan sektor swasta. Singkatnya, tuntutan terhadap good governance tidak
hanya ditujukkan kepada penyelenggara negara atau pemerintah, melainkan juga pada
masyarakat di luar struktur birokrasi pemerintahan. Dari berbagai pengertian di atas dapat
disimpulkan bahwa pemerintahan yang baik adalah baik dalam proses maupun hasilnya.
Semua unsur dalam pemerintahan bisa bergerak secara sinergis, tidak saling berbenturan,
memperoleh dukungan dari rakyat, serta terbebas dari gerakan-gerakan anarkis yang bisa
menghambat proses dan laju pembangunan.

Pemerintahan juga bisa dikatakan baik jika produktif dan memperlihatkan hasil dengan
indikator kemampuan ekonomi rakyat meningkat, baik dalam aspek produktivitas
maupun dalam daya belinya; kesejahteraan spiritualnya meningkal dengan indikator rasa
aman, bahagia, dan memiliki rasa kebangsaan yang tinggi. Secara umum istilah good
governance memiliki pengertian akan segala hal yang terkait dengan tindakan atau
tingkah laku yang bersifat mengarahkan, mengendalikan, atau mempengaruhi urusan
publik untuk mewujudkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Jika ditarik lebih jauh, lahirnya wacana good governance berakar dari penyimpangan-
penyimpangan yang terjadi pada praktik pemerintahan, seperti Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme (KKN). Penyelenggaraan urusan publik yang bersifat sentralistis, non-
partisipatif serta tidak akomodatif terhadap kepentingan publik, telah menumbuhkan rasa
tidak percaya dan bahkan antipati kepada rezim pemerintahan yang ada. Masyarakat tidak
puas dengan kinerja pemerintah yng selama ini dipercaya sebagai penyelenggara urusan
publik. Beragam kekecewaan terhadap penyelenggaraan pemerintahan tersebut pada
akhirnya melahirkan tuntutan untuk mengembalikan fungsi-fungsi pemerintahan yang
ideal. Good governance tampil sebagai upaya untuk memuaskan dahaga publik atas
kinerja birokrasi yang sesungguhnya.

Menurut Andi Faisal Bakti, istilah good governance memiliki pengertian


pengejawantahan nilai-nilai luhur dalam mengarakan warga Negara kepada masyarakat
dan pemerintahan yang berkeadaban melalui wujud pemerintahan yang suci dan damai.
Senada dengan Bakti, Santosa menjelaskan bahwa good governance adalah pelaksanaan
politik, ekonomi, dan administrasi dalam mengelola masalah-masalah bangsa.
Pelaksanaan kewenangan tersebut bisa dikatakan baik jika dilakukan dengan efektif dan
efisien, responsif terhadap kebutuhan rakyat, dalam suasana demokratis, akuntabel serta
transparan. Sebagai sebuah paradigma pengelolaan lembaga Negara, clean and good
governance dapat terwujud secara maksimal jika ditopang oleh dua unsur yang saling
terkait yaitu negara dan masyarakat madani yang di dalamnya terdapat sektor swasta.
Penerapan good governance di Indonesia dilatarbelakangi oleh dua hal yang sangat
mendasar :

1. Tuntutan eksternal
Pengaruh globalisasi telah memaksa kita untuk menerapkan Good governance. Good
Govermence telah menjadi ideologi baru negara dan lembaga donor internasional
dalam mendorong negara-negara anggotanya menghormati prinsip-prinsip ekonomi
pasar dan demokrasi sebagai prasyarat dalam pergaulan internasional. Istilah good
governance mulai mengemuka di Indonesia pada akhir tahun 1990-an, seiring dengan
interaksi antara pemerintah Indonesia dengan negara-negara luar dan lembaga-
lembaga donor yang menyoroti kondisi objektif situasi perkembangan ekonomi dan
politik dalam negeri Indonesia.

2. Tuntutan internal
Masyarakat melihat dan merasakan bahwa salah satu penyebab terjadinya krisis
multidimensional saat ini adalah terjadinya juse of power yang terwujud dalam
bentuk KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) dan sudah sedemikian rupa mewabah
dalam segala aspek kehidupan. Proses check and balance tidak terwujud dan
dampaknya menyeret bangsa Indonesia pada keterpurukan ekonomi dan ancaman
isintegrasi. Berbagai kajian ihwal korupsi di Indonesia memperlihatkan korupsi
berdampak negatif terhadap pembangunan melalui kebocoran,mark up yang
menyebabkan produk high cost dan tidak kompetitif di asar global (high cost
economy), merusakkan tatanan masyarakat dan hidupan bernegara. Masyarakat
menilai praktik KKN yang paling mencolok kualitas dan kuantitasnya adalah justru
yang dilakukan oleh cabang-cabang pemerintahan, eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Hal selengarahkan pada wacana bagaimana menggagas reformasi birokrasi
pemerintahan (governance reform). Realitas sejarah ini menggiring kita pada wacana
bagaimana mendorong menerapkan nilai-nilai transparansi, akuntabilitas, partisipasi,
dan tralisasi penyelenggaraan pemerintahan. Good governance ini dapat stabil bila
pelaksanaannya dilakukan dengan efektif, efisien, responsif terhadap kebutuhan
rakyat, serta dalam suasana demokratis, akuntabel, dan transparan.

B. PRINSIP DAN KONSEPSI GOOD GOVERNANCE

Kunci utama memahami good governance adalah pemahaman atas prinsip-prinsip di


dalamnya. Bertolak dari prinsip-prinsip ini akan didapatkan tolak ukur kinerja suatu
pemerintahan. Baik-buruknya pemerintahan bisa dinilai bila ia telah bersinggungan
dengan semua unsur prinsip-prinsip good governance. Lembaga Administrasi Negara
(LAN) merumuskan Sembilan aspek fundamental dalam good governance yang harus
diperhatikan. Prinsip-prinsip itu di antaranya adalah;

1. Partisipasi (Participation)

Sebagai pemilik kedaulatan, setiap warga negara mempunyai hak dan kewajiban
untuk mengambil bagian dalam proses bernegara, berpemerintah, serta
bermasyarakat. Partisipasi tersebut dapat dilakukan secara langsung ataupun melalui
institusi intermediasi, seperti DPRD, LSM, dan lainnya. Partisipasi yang diberikan
dapat berbentuk buah pikiran, dana, tenaga, ataupun bentuk-bentuk lainnya yang
bermanfaat. Semua warga masyarakat mempunyai suara dalam pengambilan
keputusan, baik langsung maupun melalui lembaga perwakilan sah yang mewakili
kepentingan mereka. Partisipasi menyeluruh tersebut dibangun berdasarkan prinsip
demokrasi yaitu kebebasan berkumpul dan mengungkapkan pendapat secara
konstruktif.
Syarat utama warga negara disebut berpartisipasi dalam kegiatan berbangsa,
bernegara, dan berpemerintahan, yaitu: Pertama, ada rasa kesukarelaan. Kedua, Ada
keterlibatan secara emosional. Ketiga, Memperoleh manfaat secara langsung maupun
tidak langsung dari keterlibatannya.

2. Penegakan Hukum (Rule of Law)

Partisipasi masyarakat dalam proses politik dan perumusan-perumusan kebijakan


publik memerlukan sistem dan aturan-aturan hukum. Tanpa ditopang oleh sebuah
aturan hukum dan penegakannya secara konsekuen, partisipasi publik dapat berubah
menjadi tindakan publik yang anarkis. Santoso menegaskan bahwa proses
mewujudkan cita-cita good governance, harus diimbangi dengan komitmen untuk
menegakkan rule of law dengan karakter-karakter sebagai berikut :
a. Supremasi hukum, yaitu setiap tindakan unsur-unsur kekuasaan negara didasarkan
pada hukum dan peraturan yang jelas dan tegas dan dijamin pelaksanaannya secara
benar dan independen.
b. Kepastian hukum, bahwa setiap kehidupan berbangsa dan bernegara diatur oleh
hukum yang jelas dan pasti, tidak duplikasi dan tidak bertentangan antara satu dengan
lainnya.
c. Hukum yang responsitif, yakni aturan-aturan hukum disusun berdasarkan aspirasi
masyarakat luas, dan mampu mengakomodasi berbagai kebutuhan publik secara adil.
d. Penegakan hukum yang konsisten dan nondiskriminatif, yakni penegakan hukum
yang berlaku untuk semua orang tanpa pandang bulu jabatan maupun status sosialnya.
e. Indipenden peradilan, yakni peradilan yang indipenden bebas dari pengaruh penguasa
atau pengaruh lainnya. Sayangnya di negara independensi peradilan belum begitu
baik dan dinodai oleh aparat penegak hukum sendiri.

3. Transparansi (Transparancy)

Transparansi (keterbukaan umum) adalah unsur lain yang menopang terwujudnya


good governance. Akibat tidak adanya prinsip transparansi ini, banyak ahli Indonesia
telah terjerembah dalam kubangan korupsi yang berkepanjangan dan parah. Untuk
itu, pemerintah harus menerapkan transparansi dalam proses kebijakan publik.
Menurut Gaffar, terdapat 8 (delapan) aspek mekanisme pengelolaan negara yang
harus dilakukan secara transparan, yaitu :
a. Penetapan posisi, jabatan dan kedudukan
b. Kekayaan pejabat public
c.Pemberian penghargaan.
d.Penetapan kebijakan yang terkait dengan pencerahan kehidupan
e. Kesehatan
f. Moralitas para pejabat dan aparatur pelayanan public
g. Keamanan dan ketertiban
h. Kebijakan strategis untuk pencerahan kehidupan masyarakat

4. Daya Tanggap (Responsivenes)

Sebagai konsekuensi logis dari keterbukaan, setiap komponen yang terlibat dalam
proses pembangunan good governance harus memiliki daya tanggap terhadap
keinginan atau keluhan para pemegang saham (stake holder). Upaya peningkatan
daya tanggap tersebut, terutama ditujukan pada sector publik yang selama ini
cenderung tertutup, arogan, serta berorientasi pada kekuasaan.
Affan menegaskan bahwa pemerintah harus memahami kebutuhan masyarakat-
masyarakatnya, jangan menunggu mereka menyampaikan keinginannya,tetapi mereka
secara proaktif mempelajari dan menganalisa kebutuhan-kebutuhan masyarakat,
untuk kemudian melahirkan berbagai kebijakan strategis guna memenuhi kepentingan
umum.

5. Berorientasi pada Konsensus (Consensus Orientation)

Dalam good governance, pengambilan keputusan ataupun pemecahan masalah lebih


diutamakan berdasarkan konsensus, yang dilanjutkan dengan kesediaan untuk
konsisten melaksanakan konsensus yang telah diputuskan bersama. Konsensus bagi
bangsa Indonesia sebenarnya bukanlah hal yang baru, karna nilai dasar kita dalam
memecahkan persoalan bangsa adalah melalui musyawarah untuk mufakat.
Prinsip ini menyatakan bahwa keputusan apapun harus dilakukan melaluiproses
musyawarah melalui konsesus. Model pengambilan keputusan tersebut, selain dapat
memuaskan sebagian besar pihak, juga akan menjadi keputusan yang mengikat dan
milik bersama, sehingga akan memiliki kekuatan memaksa bagi semua komponen
yang terlibat untuk melaksanakan keputusan tersebut. Paradigma ini perlu dilakukan
dalam konteks pelaksanaan pemerintahan, karna urusan yang mereka kelola adalah
persoalan-persoalan public yang harus di pertanggung jawabkan kepada masyarakat.

6. Keadilan (Equity)

Melalui prinsip good governance, setiap warga negara memiliki kesempatan yang
sama untuk memperoleh kesejahteraan. Akan tetapi, karena kemampuan masing
masing warga negara berbeda-beda, sector public harus memainkan peranan agar
kesejahteraan dan keadilan dapat berjalan seiring sejalan.
Clean vand good governance juga harus didukung dengan rasa kesetaraan, yakni
kesamaan dalam perlakuan dan pelayanan. Asas ini harus diperhatikan secara
sungguh-sungguh oleh semua penyelenggara pemerintahan di Indonesia karena
kenyatan sosiologis bangsa kita sebagai bangsa yang majemuk, baik etnis, agama, dan
budaya.

7. Efektif dan Efisien (Efectivenes dan Efficiency)

Agar mampu berkompetisi secara sehat dalam percaturan dunia, kegiatan ketiga
domain dan governance harus mengutamakan efektivitas dan efisiensi dalam setiap
kegiatan. Tekanan perlunya efektivitas dan efesiensi terutama ditunjukan pada sector
publik karena sector ini menjalankan aktivitasnya secara monopolistic.
Konsep efektivitas dalam sektor kegiatan-kegiatan publik memiliki makna ganda,
yakni efektivitas dalam pelaksanan proses-proses pekerjaan, baik oleh pejabat public
maupun partisipasi masyarakat, dan kedua efektivitas dalam konteks hasil, yakni
mampu memberikan kesejahteraan pada sebesar-besarnya kelompok dan lapisan
social.
8. Akuntabilitas (Accountability)

Setiap aktivitas yang berkaitan dengan kepentingan public perlu mempertanggung


jawabkan kepada public. Tanggung gugat dan tanggung jawab tidak hanya diberikan
kepada atasan saja, tetapi juga pada para pemegang saham yaitu masyarakat luas.
Asas Akuntabilitas adalah pertanggung jawaban pejabat public terhadap masyarakat
yang memberinya kewenangan untuk mengurusi kepentingan mereka. Secara teoritis,
akuntabilitas menyangkut dua dimensi yaitu akuntabilitas vertical yang memiliki
pengertian bahwa setiap pejabat harus mempertanggung jawabkan berbagai kebijakan
dan pelaksanaan tugas-tugasnya terhadap atasan yang lebih tinggi, dan yang kedua
akuntabilitas horizontal yaitu pertanggung jawaban pemegang jabatan public pada
lembaga yang setara.

9. Visi Strategis (Strategic Vision)

Dalam era yang berubah secara dinamis, setiap domain dalam good governance harus
memiliki visi yang strategis. Tanpa visi semacam itu, suatu bangsa dan negara akan
mengalami ketinggalan. Visi itu, dapat dibedakan antara visi jangka panjang antara
20 sampai 25 tahun serta visi jangka pendek sekitar 5 tahun.

Anda mungkin juga menyukai