Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN PRAKTIKUM

IMUNOLOGI
CROSS MATCHING (RUTIN)

NAMA : HERLIN WINDASARI


NIM : 1801055
GRUP : B (S1-4B)
KELOMPOK : 7 (TUJUH)
TANGGAL PRAKTIKUM : KAMIS, 9 APRIL 2020

DOSEN PENGAMPU :

RAHMAYATI RUSNEDY, S.Farm, M.Si., Apt

ASISTEN :

1. DHEA ANANDA
2. YULINDA ANGGRAINI

PROGRAM STUDI S1 FARMASI


SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI RIAU
YAYASAN UNIV RIAU
2020

Objek IV
Cross Matching (Rutin)

1. Tujuan
1) Untuk dapat melakukan pemeriksaan uji silang serasi (crossmatching) pada lebih dari
satu donor.
2) Untuk menentukan kecocokan antara darah resipien dengan darah donor.

2. Tinjauan Pustaka
Transfusi darah adalah proses menyalurkan darah atau produk berbasis darah dari
satu orang ke sistem peredaran orang lainnya. Transfusi darah berhubungan dengan
kondisi medis seperti kehilangan darah dalam jumlah besar disebabkan trauma, operasi,
syok dan tidak berfungsinya organ pembentuk sel darah merah. Komponen darah yang
biasa ditransfusikan ke dalam tubuh seseorang adalah sel darah merah, trombosit, plasma,
sel darah putih. Transfusi darah adalah suatu pengobatan yang bertujuan untuk
menggantikan atau menambah komponen darah yang hilang. Akan tetapi, tindakan
transfusi darah atau komponennya bukanlah tindakan tanpa risiko, sebaliknya tindakan
ini merupakan tindakan yang mengandung risiko yang dapat berakibat fatal, seperti dapat
menimbulkan reaksi imunologis, reaksi non imunologis dan penularan penyakit.
Sebelum melakukan proses transfusi darah, untuk menghindari berbagai resiko
fatal, dapat dilakukan pemeriksaan cross matching terlebih dahulu. Reaksi silang (Cross
matching) adalah reaksi silang in vitro antara darah pasien dengan darah donor yang
akan ditransfusikan. Reaksi ini dimaksudkan untuk mencari tahu apakah darah donor
yang akan ditransfusikan itu nantinya akan dilawan oleh serum pasien di dalam tubuhnya
atau apakah plasma donor yang turut ditransfusikan akan melawan sel pasien di dalam
tubuhnya hingga akan memperberat anemia, disamping kemungkinan adanya
reaksi hemolitik transfusi yang bisa membahayakan pasien.
Cross-matching darah, dalam transfusi kedokteran, mengacu pada
pengujian kompleks yang dilakukan sebelum transfusi darah, untuk menentukan apakah
darah donor kompatibel dengan darah dari penerima yang dimaksud, atau
untuk mengidentifikasi pertandingan untuk transplantasi organ. Cross-matching
biasanya dilakukan hanya setelah lain, tes kurang kompleks belum dikecualikan
kompatibilitas. Kompatibilitas darah memiliki banyak aspek, dan tidak hanya ditentukan
oleh golongan darah (O, A, B, AB), tetapi juga oleh faktor-faktor darah, ( Rh , Kell , dll).
Pada prinsipnya cross match dibagi menjadi dua prosedur, yaitu sebagai berikut :
1) Mayor Crossmatch
Merupakan bagian yang utama (terpenting) dalam cross match, yaitu mereaksikan
serum pasien dengan sel donor. Maksudnya adalah untuk melihat apakah sel donor
akan bereaksi atau dihancurkan oleh antibody dalam serum pasien.
2) Minor Crossmatch
Merupakan bagian dalam crossmatch, yaitu mereaksikan sel pasien dengan serum
donor, dengan alasan antibody dalam serum atau plasma donor akan mengalami
reaksi atau pengenceran di dalam tubuh pasien.

Dalam Cross Match ini, sesuai dengan maksudnya, kita berusaha untuk
mencari semua kemungkinan adanya semua jenis antibody complete maupun incomplete
terutama yang mempunyai arti klinis yang bisa menyebabkan Cross Match invitro tidak
cocok atau incompatible. Maka Cross Match harus dijalankan dalam medium dan
temperatur yang berbeda, yang dalam praktiknya dikenal dengan fase 1, fase 2, dan fase
3. Untuk fase dalam cross matching terdiri atas :

1) Test fase I Cross Match yaitu fase suhu kamar


Pada fase ini antibody complete yang akan mengaglutinasikan sel dalam saline
medium atau bovine albumin yang kebanyakan kelas Ig M bisa terdeteksi
misalnya : tidak cocok golongan ABO ; adanya allo antibody : M,N, Lea, I, IH, E ;
serta adanya auto cold antibody.
2) Tes fase II Cross Match yaitu fase inkubasi 37oC
Pada fese ini bila mediumnya bovine albumin, beberapa antibody dalam sistem
Rhesus bisa terdeteksi aglutinasi,(misalnya anti D, anti E, anti c) anti Le a dan anti Leb.
Bila mediumnya saline bisa terdeteksi aglutinasi anti E, anti Le a. Antibody yang
bersifat incomplete, dan antibodi yang belum terdeteksi aglutinasi atau hemolisisnya
pada fase II ini bisa bereaksi coated (sensitized) :anti D, E, c, K, Fy a,Fyb, Jka, S, Lea,
Leb. Jadi penting sekali peranan fase inkubasi 37 oC ini, dimana setidak-tidaknya
memberi kesempatan kepada antibody untuk mengcoatedkan sel
3) Tes fase III Cross Match yaitu fase anti globulin
Pada fase ini setelah melalui fase II, akan terdeteksi aglutinasi
incompelete antibodi yang tadi di fase II sudah mengcoated sel.

Melihat bagaimana pentingnya permintaan darah bagi seorang pasien,maka


Cross Match dibagi menjadi 3 kategori :

1) Cross Match Rutin


Teknik cross matching rutin dilakukan melalui teknik sentrifugasi (3000
rpm selama 15 detik) serta inkubasi dalam incubator pada suhu 37 oC selama 15 menit.
Eritosit dicuci dengan saline 3-4 kali untuk membuang sisa – sisa globulin yang
bebas. Kemudian dilakukan penambahan 2 tetes Coomb’s serum dan sentrifugasi
dengan kecepatan 3000 rpm selama 15 detik, lalu dibaca reaksinya secara
mikroskopis dimana bila terjadi aglutinasi menunjukkan incompatible (tidak
cocok) sedangkan tidak terjadi aglutinasi menunjukkan compatible (cocok).
2) Cross Match Emergency
Dalam cross match emergency disiapkan 4 buah tabung reaksi, dimana tabung 2
dan 4 disentrifuge 1000 rpm selama 1 menit sedangkan tabung 1dan 3 diinkubasi 37
o
C selama 15 menit. Reaksi hemolisa dan aglutinasi pada tabung 2 dan 4 dibaca
secara makroskopis dan mikroskopis, dimana bila terlihat adanya hemolisis dan atau
aglutinasi menunjukkan darah donor tidak cocok (incompatible), sedangkan bila tidak
ada hemolisis atau aglutinasi menunjukkan darah donor cocok (compatible). Untuk
tabung 1dan 3 setelah diinkubasi, lalu disentrifuge 1000 rpm selama 1 menit. Bila
hasilnya negative, dicuci selnya 3 – 4 kali dengan saline. Sedimen sel pada masing-
masing tabung ditambahakan 2 tetes Coomb’s serum dan dikocok-kocok. Kemudian
diputar kembali 1000 rpm selama 1 menit dan dibaca reaksinya secara makroskopis
dan mikroskopis. Jika hasil Coomb’s testpositive segera hubungi RS memberitahukan
darah yang tadi jangan dipakai. Jadi dalam Cross Matching Emergency, darah sudah
boleh dikirimkan ke RS kalau dalam fase 1 (medium saline) negative terhadap
hemolisa maupun aglutinasi. Penyelesaian sampai fase 3 dari tabung 1 dan 3 harus
dilanjutkan.
3) Cross Match Persiapan Operasi
Teknik dalam metode ini kedua tabung diinkubasi pada suhu 37 oC selama 60
menit lalu dibaca reaksinya terhadap hemolisa dan aglutinasi, bila hasilnya negative
diteruskan. Sedimen sel dalam masing-masing tabung dicuci 3-4 kali dengan saline,
kemudian ditambahkan 2 tetes Coomb’s serum dan disentrifuge 3000 rpm
selama 15 detik. Bila terjadi aglutinasi menunjukkan incompatible (tidak cocok)
sedangkan tidak terjadi aglutinasi menunjukkan compatible (cocok). Cross match
persiapan operasi ini dilakukan bila ada permintaan darah yang diajukan 2-3 hari
sebelum operasi dijalankan.

3. Alat dan Bahan


 Alat
- Objek glass
- Tabung reaksi
- Pipet tetes
- Rak tabung reaksi
- Sentrifuge
- Incubator
 Bahan
- Bovin albumin
- Reagen comb
- Darah resipien
- Darah donor
- Larutan NaCl fisiologis

4. Cara Kerja
1) Tahap Mayor
2 tetes serum resipien albumin ditambah 1 tetes eritrosit 5% donor, kemudian
ditambahkan lagi 2 tetes bovin albumin.
2) Tahap Minor
2 tetes serum donor ditambah 1 tetes eritrosit 5% resipien, kemudian ditambahkan
lagi 2 tetes bovin albumin.
3) Aduk masing-masing tahap, tahap mayor dan tahap minor, lalu disentrifugasi pada
kecepatan 1000 rpm selama 1 menit.
4) Amati hasilnya (bila terjadi aglutinasi maka darah tersebut incompatible, pengujian
tidak perlu dilanjutkan dan bila reaksi negative reaksi dilanjutkan).
5) Inkubasi pada suhu 37oC selama 15 menit, lalu disentrifugasi lagi pada kecepatan
1000 rpm selama 1 menit.
6) Amati hasilnya (bila terjadi aglutinasi maka darah tersebut incompatible, pengujian
tidak perlu dilanjutkan dan bila reaksi negative reaksi dilanjutkan).
7) Uji Coombs
Cuci dengan larutan NaCl fisiologis sebanyak 3-4 kali. Tambahkan 2 tetes reagen
comb, sentrifugasi lagi dengan kecepatan 1000 rpm selama 1 menit. Amati hasilnya
(bila terjadi aglutinasi maka darah tersebut incompatible artinya tidak dapat dilakukan
transfuse darah).

5. Hasil dan Pembahasan


a. Hasil Pengamatan
Tabel 1. Pemeriksaan mayor dan minor menggunakan serum dan eritrosit

Kel Tahap mayor Hasil Kel Tahap minor HASIL


serum eritrosit serum eritrosit

1 A B + 1 B A +
2 A C - 2 C A +
3 A D + 3 D A -
4 B C - 4 C B +
5 B D + 5 D B -
6 C D + 6 D C -
7 B A + 7 A B +
8 D C - 8 C D +

Tabel 2. Rekapitulasi Pemeriksaan cross matching serum dan eritrosit


Serum A B C D

eritrosit
A - + + -
B + - + -
C - - - -
D + + + -

KETERANGAN (+) : terjadi aglutinasi

(-) : tidak terjadi aglutinasi

Kesimpulan data hasil pemeriksaan yang diperoleh


A = golongan darah A
B = golongan darah B
C = golongan darah O
D = golongan darah AB

b. Pembahasan
Pada percobaan kali ini, dilakukan uji cross matching yang bertujuan agar
praktikan dapat mengetahui prosedur pemeriksaan cross matching dan dapat
menentukan kecocokan antara darah donor dan resipien. Pemeriksaan uji silang (cross
match) ini merupakan bagian penting dalam proses transfuse darah untuk memastikan
keamanan pasien. Secara alamiah, uji cross match merupakan pemeriksaan yang
dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya antibody donor atau pasien yang bersifat
IgM dan IgG yang dapat bereaksi dengan antigen donor atau pasien. Oleh sebab itu,
pemeriksaan cross match ini wajib dilakukan sebelum proses transfuse darah agar
darah yang ditransfusikan kepada pasien bermanfaat dan berfungsi secara klinis serta
tidak menimbulkan resiko-resiko fatal.
Metode yang digunakan pada pemeriksaan cross match percobaan ini adalah
metode tabung. Metode ini memiliki beberapa kelemahan dibandingkan metode gel
yang kebanyakan digunakan saat ini, yaitu metode tabung lebih sulit dan memerlukan
banyak peralatan. Akan tetapi, metode tabung juga memiliki beberapa kelebihan,
yaitu menggunakan teknik yang lebih ketat dengan menggunakan beberapa fase
pemeriksaan dan medium pemeriksaan yang lebih banyak, missal menggunakan
larutan saline, bovin albumin, serum Coombs dan inkubasi pada suhu 37 oC yang akan
menambah sensitivitas pemeriksaan.
Pada praktikum ini, dilakukan 2 tahap pengerjaan yaitu tahap mayor dan minor.
Perbedaan antara kedua tahap ini adalah, tahap mayor mereaksikan serum pasien
dengan sel donor, sementara tahap minor mereaksikan sel pasien dengan serum
donor. Kedua tahap ini diperlukan untuk membuktikan bahwa serum pasien dengan
sel donor / sel pasien dengan serum donor compatible (cocok) sehingga tidak terjadi
resiko-resiko yang tidak diharapkan seperti terjadinya reaksi imunologis, reaksi non
imunologis maupun penularan penyakit.
Berdasarkan hasil pengamatan, untuk tahap mayor (serum pasien dengan sel
donor), terdapat beberapa cross match golongan darah yang menunjukkan hasil
positif aglutinasi (incompatible/tidak cocok) yaitu antara serum A dengan sel B,
serum A dengan sel AB, serum B dengan sel AB, serum O dengan sel AB serta serum
B dengan sel A. Aglutinasi terjadi karena adanya reaksi antara antibody pada serum
pasien dengan antigen pada membrane eritrosit donor. Sebagai contoh, incompatible
antara serum A dengan sel B disebabkan karena serum A memiliki antibody B yang
dapat bereaksi dengan antigen B pada sel B. Begitu juga incompatibilitas antara
serum O dan AB, dimana serum O memiliki antibody A dan B yang dapat bereaksi
dengan antigen AB dari sel AB.
Akan tetapi, didapat juga hasil negative aglutinasi pada tahap mayor ini, yaitu
antara serum pasien A dengan sel donor O, serum B dengan sel O dan serum AB
dengan sel O. Serum golongan darah A, B dan AB tidak menimbulkan aglutinasi
dengan sel O karena sel O tidak memiliki antigen meskipun serum A, B dan AB
memiliki antibody, sehingga tidak ada reaksi antigen-antibody (aglutinasi tidak
terjadi)
Sementara pada tahap minor (serum donor dengan sel pasien), hasil pengamatan
menunjukkan terjadinya aglutinasi antara serum B dengan sel A, serum O dengan sel
A, serum O dengan sel B, serum A dengan sel B serta serum O dengan sel AB.
Dengan prinsip terjadinya aglutinasi sama seperti dengan yang sudah dijelaskan di
atas. Untuk hasil negative aglutinasi, yaitu pada serum donor AB dengan sel pasien
A, serum AB dengan antigen B dan serum AB dengan antigen O. Aglutinasi tidak
terjadi antara cross match tersebut karena serum donor AB tidak memiliki antibody
yang bisa bereaksi dengan antigen pada sel A, B maupun O.
Pada proses pemeriksaan cross match percobaan ini, dilakukan pemeriksaan
dengan 2 fase, yaitu fase 2 dengan medium bovin albumin dan fase 3 dengan reagen
Coombs. Pada pemeriksaan fase 2 digunakan medium bovin albumin yang fungsinya
yaitu untuk menekan zat potensial dengan menguraikan ion-ion positif dan negatif
sehingga aglutinogen dan antibodi lebih cepat meningkat untuk memudahkan
proses sensititasi (aglutinasi). Pada pengerjaan fase 2 ini juga dilakukan proses
inkubasi pada suhu 37oC. Inkubasi dilakukan pada suhu 37oC penting dilakukan
karena dianggap suhu ini sama dengan suhu tubuh manusia dan karena Rh hanya
bereaksi pada suhu 37oC. Selain itu fungsi inkubasi ini yaitu untuk memberi
kesempatan antibody melekat pada permukaan sel, karena jika dilakukan pemeriksaan
tidak pada suhu sebagaimana suhu tubuh manusia, dikhawatirkan hasil negative
aglutinasi terjadi karena adanya pengaruh suhu. Sementara jika hasil negative ini
diperbolehkan ditransfusikan, dikhawatirkan akan terjadi aglutinasi pada suhu tubuh
(37oC)
Pada uji fase 3, ini merupakan fase lanjutan dari fase 2 yang bertujuan untuk
memastikan apakah golongan darah yang compatible (cocok) di fase 2 benar-benar
bisa ditansfusikan atau tidak. Pada fase ini, digunakan reagen Coomb (juga dikenal
sebagai Coombs antiglobulin atau antihuman globulin), yang langsung mendeteksi
antibody yang menempel pada permukaan sel darah merah. Serum Coombs ini
berfungsi sebagai jembatan coatednya antibody yang satu dengan yang lainnya. Jika
sel-sel darah menggumpal setelah diberi reagen Coombs ini, diindikasikan bahwa
antibody atau protein pelengkap terikat pada permukaan sel darah merah dan dapat
meenyebabkan kerusakan sel-sel tersebut. Transfusi darah baru boleh dan bisa
dilakukan ketika pemeriksaan pada fase 3 (dengan reagen Coombs) menunjukkan
hasil negative (tidak terjadi aglutinasi).
Berdasarkan tabel rekapitulasi hasil pengamatan, didapat bahwa serum A
compatible dengan eritrosit A dan O, serum B compatible dengan eritrosit B dan O,
serum O hanya compatible dengan eritrosit O dan serum AB compatible dengan
seluruh eritrosit golongan darah baik A, B, O dan AB.
Uji silang (cross match) dapat memberikan hasil positif (incompatible) selain
karena adanya antibody inkomplit juga terdapat terjadi karena auto antibody dalam
serum pasien dan adanya antibody yang tidak termasuk dalam system golongan
darah.

6. Kesimpulan
Adapun beberapa kesimpulan yang dapat diambil dari percobaan ini adalah
sebagai berikut :
1) Pemeriksaan cross matching wajib dilakukan sebelum proses transfusi darah untuk
menjaga keamanan pasien, karena uji silang memiliki sensitifitas yang tinggi untuk
melihat adanya kemungkinan aglutinasi antara serum pasien dengan sel donor
maupun antara sel pasien dengan serum donor.
2) Uji cross match dilakukan dengan 2 tahap yaitu mayor (serum pasien dengan sel
donor) dan tahap minor (sel pasien dengan serum donor)
3) Pada uji ini dilakukan 2 fase, yaitu fase 2 dengan medium bovin albumin dan fase 3
dengan reagen Coombs.
4) Bovin albumin berfungsi untuk menekan zat potensial dengan menguraikan ion-ion
+ dan - sehingga aglutinogen dan antibodi lebih cepat meningkat untuk
memudahkan proses sensititasi (aglutinasi). Sementara reagen Coombs berfungsi
sebagai jembatan coatednya antibody yang satu dengan yang lainnya.
5) Pada uji dilakukan inkubasi pada suhu 37 oC karena suhu ini dianggap sama dengan
suhu atau kondisi tubuh manusia.
6) Didapat hasil serum A compatible dengan eritrosit A dan O, serum B compatible
dengan eritrosit B dan O, serum O hanya compatible dengan eritrosit O dan serum
AB compatible dengan seluruh eritrosit golongan darah baik A, B, O dan AB.

7. Pertanyaan dan Jawaban


1) Apa tujuan penambahan bovin albumin pada tahapan uji silang mayor dan minor?
Jelaskanlah!
Jawaban : Bovin albumin berfungsi untuk menekan zat potensial dengan menguraikan
ion-ion positif dan negative sehingga aglutinogen dan antibodi lebih cepat
meningkat untuk memudahkan proses sensititasi (aglutinasi). Albumin sendiri
merupakan salah satu jenis protein globuler yang banyak terdapat di plasma darah.
Penambahan bovin albumin pada uji ini berfungsi untuk mengetahui ada tidaknya
aglutinasi yang terjadi dengan protein albumin.
2) Apa yang menyebabkan terjadinya hasil + / aglutinasi dan atau hemolisis pada hasil
uji silang (cross match)? Jelaskanlah!
Jawaban : Terjadinya hasil positif/aglutinasi adalah karena adanya reaksi antara
antigen dan antibody. Antigen yang merupakan zat asing bagi tubuh akan dilawan
oleh kekebalan tubuh (antibody), reaksi perlawanan ini berupa aglutinasi.
3) Apa yang terdapat reagen coombs? Dan apa tujuan dilakukan uji coombs pada
tindakan uji silang (cross match)? Dan apa tujuan penambahan reagen coombs pada
uji silang?
Jawaban : Yang terdapat pada reagen Coombs adalah antihuman globulin. Uji
Coombs merupakan uji akhir untuk
memastikan kecocokan darah untuk proses
transfusi darah. Tujuan dilakukan uji Coombs
adalah untuk mengetahui adanya antibody
tertentu yang menyerang sel-sel darah merah.
Penambahan reagen Coomb akan menyebabkan
terjadinya aglutinasi pada serum dan sel darah
yang incompatible
4) Kenapa diperlukan tindakan uji silang (crossmatch) sebelum dilakukan transfusi
darah? Dan apa kemungkinan yang terjadi jika tidak dilakukan uji silang terhadap
darah yang akan ditransfusikan?
Jawaban : Secara alamiah, uji cross match merupakan pemeriksaan yang dilakukan
untuk mengetahui ada tidaknya antibody donor atau pasien yang bersifat IgM dan IgG
yang dapat bereaksi dengan antigen donor atau pasien. Oleh sebab itu, pemeriksaan
cross match ini wajib dilakukan sebelum proses transfuse darah agar darah yang
ditransfusikan kepada pasien bermanfaat dan berfungsi secara klinis serta tidak
menimbulkan resiko-resiko fatal. Kemungkinan yang dapat terjadi jika tidak
dilakukan pemeriksaan cross match adalah terjadinya reaksi imunologis
(penggumpalan darah akibat reaksi antigen-antibodi) antara serum dan sel pasien
dengan serum dan sel donor.

8. Daftar Pustaka
Haris, H. 1994. Dasar-Dasar Genetika Biokemis Manusia. Yogyakarta : Gadjah Mada
University Press
Kiswara, Rukman. 2010. Hematologi dan Transfusi. Jakarta : Erlangga
Sadikin, Muhamad. 2002. Biokimia Darah. Jakarta : Widya Medika
Sudjadi, Bagod. 2007. Biologi I. Jakarta : Erlangga
Suryo. 1997. Genetika Manusia Cetakan Kesembilan. Yogyakarta : Gadjah Mada
University Press.

Anda mungkin juga menyukai