Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

SYURUTH AL-MUNFASIR

Tentang

‘PERSYARATAN DARI SEGI AKIDAH DAN IBADAH’

DISUSUN OLEH:

HENDRIAL, S.ThI
NIM: 2120080007

DOSEN PEMBIMBING:

Prof. Dr. Rusydi AM, Lc.,M.Ag


Zulbadri, M.Ag.,Ph.D

JURUSAN ILMU ALQURAN DAN TAFSIR

PASCA SARJANA UIN IMAM BONJOL PADANG


2021
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Setiap muslim dan mukmin pasti selalu terkait dengan akidah dan
ibadah. Karena perbuatan meyakini, menyembah dan beribadah kepada Allah
SWT menjadi kewajiban baginya. Dan itu menjadi ciri-ciri dari muslim dan
mukmin sejati.
Pada hakikatnya manusia dan jin diciptakan oleh Allah dimuka bumi
ini adalah untuk beribadah kepada Allah SWT. Sesuai dengan firman Allah
SWT dalam Quran Surat Adzariyat:56. yang artinya: “Dan Aku tidak
ciptakan jin dan manusia melainkan supaya menyembah kepada-Ku”.1 Jelas
dan terang bahwa manusia dalam menjalani semua sisi kehidupannya tidak
terlepas dari perbuatan menyembah dan beribadah hanya kepada Allah SWT.
Muffasir sebagai seorang muslim dan mukmin tentunya juga tidak
bisa terlepas dari aqidah dan ibadah tersebut. Sebagaimana yang dikatakan
oleh Bapak Prof. Dr. Rusydi AM, Lc.,M.Ag bahwa persyaratan bagi muffasir
dari segi aqidah dan ibadah dan juga akhlak tergolong kedalam syarat-syarat
kepribadian yang mesti dipenuhi oleh seorang muffasir disamping ketentuan
lain seperti syarat lughaiyah dan syarat pemikiran atau keilmiahan.2
Dalam kesempatan ini penulis mendapatkan bagian melakukan
pembahasan tentang syuruth muffasir dari segi aqidah dan ibadah

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas penulis merumuskan permasalahan
sebagai berikut:
1. Apa pengertian Aqidah dan Ibadah dalam Islam?
2. Bagaimana aqidah dan ibadah yang dimiliki oleh seorang muffasir?

1
Kementrian Agama RI.2018. Qur’an Asy-Syifaa’. hafalan terjemah dan Tajwid Berwarna Metoda
Tikrar. Bandung: PT. Sygma Examedia Arkanleema.

2
Prof Dr. Rusydi. AM, Lc, M.Ag. 2021. Perkuliahan Syuruth Muffasir.

1
C. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui:
1. Pengertian aqidah dan ibadah dalam Islam
2. Aqidah dan ibadah yang dimiliki oleh seorang muffasir

2
PEMBAHASAN

A. Pengertian Aqidah dan Ibadah dalam Islam


1. Pengertian, ruang lingkup dan sumber Aqidah Islam
a. Pengertian aqidah
Secara etimologi (bahasa) akidah berasal dari kata “aqada-
ya’qidu-aqdan”, berarti ikatan perjanjian, sangkutan dan kokoh.3 Disebut
demikian, karena ia mengikat dan menjadi sangkutan atau gantungan
segala sesuatu. Dalam pengertian teknis artinya adalah iman atau
keyakinan.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia(KBBI) akidah adalah
kepercayaan dasar, keyakinan pokok.4 sedangkan menurut istilah
(terminologi) akidah ialah dasar-dasar pokok kepercayaan atau
keyakinan hati seorang muslim yang bersumber ajaran Islam yang wajib
dipegang oleh setiap muslim sebagai sumber keyakinan yang mengikat.
Syaikh Abu Bakar Al-Jaziri menyatakan bahwa akidah adalah
kumpulan dari hukum-hukum kebenaran yang jelas yang dapat diterima
oleh akal, pendengaran dan perasaan yang diyakini oleh hati manusia dan
dipujinya, dipastikan kebenarannya, ditetapkan keshalehannya dan tidak
melihat ada yang menyalahinya dan bahwa itu benar serta berlaku
selamanya. Seperti keyakinan manusia akan adanya Sang Pencipta,
keyakinan akan ilmu kekuasaan-Nya, keyakinan manusia akan
kewajiban ketaatan kepada-Nya dan menyempurnakan akhlak-yang
dimaksud aqidah dalam bahasa Arab (dalam bahasa Indonesia ditulis
akidah).5

3
1 H. Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: PT Hidakarya Agung, 1972),
hlm. 274.

Departemen Pendidikan Nasional.2008 Kamus Besar Bahasa Indonesia


4

(KBBI).Jakarta:PT.GM Pustaka Utama

Muhammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
5

2000), hlm.199.

3
Ada lagi defenisi aqidah menurut Hasan Al-Banna‘Aqaid (bentuk
plural dari aqidah) adalah beberapa perkara yang wajib diyakini
kebenarannya oleh hati, mendatangkan ketentraman jiwa, menjadi
keyakinan yang tidak bercampur sedikitpun dengan keragu-raguan.
b. Ruang Lingkup Aqidah
Menurut Hasan al-Banna, ruang lingkup aqidah Islam meliputi:
1) Ilahiyyat,Yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang
berhubungan dengan Allah, seperti wujud Allah, sifat Allah, nama
dan perbuatan Allah dan sebagainya.
2) Nubuwwat,Yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang
berhubungan dengan Nabi dan Rasul, pembicaraan mengenai kitab-
kitab Allah yang dibawa para Rasul, mu’jizat, Rasul dan lain
sebagainya.
3) Ruhaniyyat,Yaitu tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan
alam metafisik seperti jin, iblis, syaitan, roh, malaikat dan lain
sebagainya.
4) Sam’iyyat,Yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang hanya
bisa diketahui lewat sam’i, yakni dalil Naqli berupa Al-quran dan
as-Sunnah seperti alam barzah, akhirat, Azab Kubur, tanda-tanda
kiamat, Surga-Neraka dan lainnya.
c. Sumber-Sumber Aqidah
Sumber aqidah Islam adalah Al-Qur’an dan Sunnah artinya
informasi apa saja yang wajib diyakini hanya diperoleh melalui Al-
Qur’an dan Al-Sunnah. Al-Qur’an memberikan penjelasan kepada
manusia tentang segala sesuatu. Firman Allah:
... Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur’an) untuk
menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat, bagi orang-orang
yang berserah diri (QS. Al- Nahl/16: 89).
Sedangkan akal fikiran bukanlah merupakan sumber aqidah, dia hanya
berfungsi untuk memahami nash-nash (teks) yang terdapat dalam kedua
sumber tersebut dan mencoba membuktikan secara ilmiah kebenaran

4
yang disampaikan oleh Al-Qur’an dan Al-Sunnah ( jika diperlukan).
Itupun harus didasari oleh semua kesadaran bahwa kemampuan akal
manusia sangat terbatas. Informasi mengenai pencipta alam ini dan
seisinya adalah dalil Allah yang hanya bisa diketahui melalui Al-Qur’an
dan Al-Sunnah. Manusia dengan akalnya semata tidak dapat mengetahui
siapa yang meciptakan alam. Akal manusia hanya dapat memikirkan
keteraturan dan keseimbangan.
Sumber aqidah Islam adalah al-Qur’an dan as-sunnah. Artinya
apa saja yang disampaikan oleh Allah dalam al-Qur’an dan Rasulullah
dalam sunnah-nya wajib diimani, diyakini, dan diamalkan. Akal fikiran
sama sekali bukan sumber aqidah Islam, tetapi merupakan instrumen
yang berfungsi untuk memahami nash-nash yang terdapat dalam kedua
sumber tersebut dan mencoba –kalau diperlukan– membuktikan secara
ilmiyah kebenaran yang disampaikan oleh al-Qur’an dan Sunnah. Itupun
harus didasari oleh suatu kesadaran penuh bahwa kemampuan akal
sangat terbatas, sesuai dengan terbatasnya kemapuan semua makhluk
Allah.
Akal tidak akan mampu menjangkau masa’il ghaibiyah
(masalah-masalah ghaib), bahkan akal tidak akan sanggup menjangkau
sesuatu yang tidak terikat oleh ruang dan waktu. Misalnya, akal tidak
mampu menunjukan jawaban atas pertanyaan kekekalan itu sampai
kapan? Atau akal tidak sanggup menunjukan tempat yang tidak ada di
darat atau di laut, di udara dan tidak dimana-mana. Karena kedua hal
tersebut tidak terikat oleh ruang dan waktu. Oleh sebab itu akal tidak
boleh dipaksa memahami hal-hal ghaib tersebut dan menjawab
pertanyaan segala sesuatu tentang hal-hal ghaib itu. Akal hanya perlu
membuktikan jujurkah atau bisakah kejujuran si pembawa risalah
tentang hal-hal ghaib itu bisa dibuktikan secara ilmiyah oleh akal
fikiran.Berkenaan dengan peneyelidikan akal untuk menyakini aqidah
Islam, terutama yang berkenaan dengan hal-hal ghaib di atas, manusia
dipersilahkan untuk mengarahkan pandangan dan penelitianya kepada

5
alam semesta ini, di bumi, di langit, dan rahasia-rahasia yang
tersimpan pada keduanya. Manusia diperintahkan untuk
memperhatikan bagaimana langit ditegakan tanpa tiang seperti yang
kita lihat, dan bumi dihamparkan dan dibangun dengan suasana yang
teratur dan teguh dalam sebuah sistem yang saling berjalin
berkelindan.Penyelidikan akal yang mendalam pasti akan mengatakan
dan meyakinkan, bahwa alam ini mustahil tercipta dengan sendirinya
dan timbul karena kekuatan-kekuatan yang bertentangan satu sama
lain, seperti keyakinan dalam naturalisme. Penyelidikan akal secara
cermat dapat melahirkan pengakuan mutlak bahwa semua alam
semesta Aqidah Akhlak yang teratur, rapi, dan berjalan menurut
hukum yang tetap dan tak berubah-ubah mensyaratkan ada
penciptanya, pengatur dan pemeliharanya. Oleh karena itu, al-Qur’an
berkali-kali menganjurkan dan memberikan petunjuk ke arah
penyelidikan dalam menetapkan aqidah dengan cara demikian6

2. Pengertian Ibadah

a. Definisi Ibadah, Ibadah secara bahasa (etimologi) berarti merendahkan


diri serta tunduk. Sedangkan menurut syara’ (terminologi), ibadah
mempunyai banyak definisi, tetapi makna dan maksudnya satu. Definisi
itu antara lain adalah:

1. Ibadah adalah taat kepada Allah dengan melaksanakan perintah-Nya


melalui lisan para Rasul-Nya.

2. Ibadah adalah merendahkan diri kepada Allah Azza wa Jalla, yaitu


tingkatan tunduk yang paling tinggi disertai dengan rasa mahabbah
(kecintaan) yang paling tinggi.

6
Dr.H.Muhammad Amri,Lc.M.Ag dkk..2018. Aqidah Akhlak.

6
3. Ibadah adalah sebutan yang mencakup seluruh apa yang dicintai dan
diridhai Allah Azza wa Jalla, baik berupa ucapan atau perbuatan, yang
zhahir maupun yang bathin. Yang ketiga ini adalah definisi yang
paling lengkap. Ibadah terbagi menjadi ibadah hati, lisan, dan anggota
badan. Rasa khauf (takut), raja’ (mengharap), mahabbah (cinta),
tawakkal (ketergantungan), raghbah (senang), dan rahbah (takut)
adalah ibadah qalbiyah (yang berkaitan dengan hati). Sedangkan tasbih,
tahlil, takbir, tahmid dan syukur dengan lisan dan hati adalah ibadah
lisaniyah qalbiyah (lisan dan hati). Sedangkan shalat, zakat, haji, dan
jihad adalah ibadah badaniyah qalbiyah (fisik dan hati). Serta masih
banyak lagi macam-macam ibadah yang berkaitan dengan amalan hati,
lisan dan badan. Ibadah inilah yang menjadi tujuan penciptaan
manusia. Allah berfirman:

‫َّ َإ لّ ل‬
َ‫لو ُ وه‬ ‫ٍ وَ وَا َ ه َُُِه َوّ ُ ط‬
َ ُ‫هْ َِ ه‬ ‫هَّ وَا َ ه َُُِه ََ طْ هُم َ رَن َ رِ طْ ق‬
َ ُ‫نَ َإ لّ ََِو طُِه‬ َ ‫وَ وَا وََو طُْه طِِ َج لن وَ ط‬
‫ِإ و‬

‫ٍِ ُهَ طِِْه لََِ طِِ وََُِنه‬


‫ِِر لْ ه‬
‫ل‬

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
beribadah kepada-Ku. Aku tidak menghendaki rizki sedikit pun dari
mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi makan
kepada-Ku. Sesungguhnya Allah Dia-lah Maha Pemberi rizki Yang
mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh.” [Adz-Dzaariyaat: 56-58] Allah
Azza wa Jalla memberitahukan bahwa hikmah penciptaan jin dan
manusia adalah agar mereka melaksanakan ibadah hanya kepada Allah
Azza wa Jalla. Dan Allah Mahakaya, tidak membutuhkan ibadah mereka,
akan tetapi merekalah yang membutuhkan-Nya, karena ketergantungan
mereka kepada Allah, maka barangsiapa yang menolak beribadah kepada
Allah, ia adalah sombong. Siapa yang beribadah kepada-Nya tetapi
dengan selain apa yang disyari’atkan-Nya, maka ia adalah mubtadi’
(pelaku bid’ah). Dan barangsiapa yang beribadah kepada-Nya hanya

7
dengan apa yang disyari’atkan-Nya, maka ia adalah mukmin muwahhid
(yang mengesakan Allah).

b. Pilar-Pilar Ubudiyyah Yang Benar Sesungguhnya ibadah itu


berlandaskan pada tiga pilar pokok, yaitu: hubb (cinta), khauf (takut),
raja’ (harapan). Rasa cinta harus disertai dengan rasa rendah diri,
sedangkan khauf harus dibarengi dengan raja’. Dalam setiap ibadah
harus terkumpul unsur-unsur ini. Allah berfirman tentang sifat hamba-
hamba-Nya yang mukmin: ‫“ ُ َهحُب هُ طم وَُ َهحُبَنوُه‬Dia mencintai mereka dan
merekapun mencintai-Nya.” [Al-Maa-idah: 54] َّ‫شُب هحُبا َ ر ل‬ ‫وَِِلَُِنو آ وَْهَِ َ و و‬
“Adapun orang-orang yang beriman sangat besar cinta-nya kepada
َ ِ‫اُِهَّو َِي طِِ وََ وطر‬
‫ِ وَُو طُ ه‬
Allah.” [Al-Baqarah: 165] ‫َُنوْوا وِ وَُبا وَ وِ وُُبا‬ َ َ‫إَنل هُ طم َوانهَِ ُه و‬
‫“ وََوانهَِ ِوْوا َوا َشََِنو‬Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu
bersegera dalam (mengerjakan) kebaikan dan mereka berdo’a kepada
Kami dengan penuh harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang
yang khusyu’ kepada Kami.” [Al-Anbiya’: 90] Sebagian Salaf berkata ,
“Siapa yang beribadah kepada Allah dengan rasa cinta saja, maka ia
adalah zindiq, siapa yang beribadah kepada-Nya dengan raja’ saja, maka
ia adalah murji’. Dan siapa yang beribadah kepada-Nya hanya dengan
khauf, maka ia adalah haruriy. Barangsiapa yang beribadah kepada-Nya
dengan hubb, khauf, dan raja’, maka ia adalah mukmin muwahhid.”7

B. Aqidah dan Ibadah yang dimiliki oleh seorang mufassir


1. Mufafsir memiliki aqidah yang benar
Akidah mempunyai peranan yang sangat besar terhadap jiwa
pemiliknya. Bila Mufassir memiliki akidah yang benar maka ia akan
menghasilkan penafsiran yang berkualitas. Tapi ketika ia mempunyai
akidah yang melenceng, tentu saja ia akan menafsirkan alQur’an dengan
berbagai penyimpangan, yang nantinya akan merusak pemahaman akan Al-
7
al-‘Ubuudiyyah oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, tahqiq Syaikh ‘Ali bin Hasan bin ‘Ali ‘Abdul Hamid al-
Halaby al-Atsary (hal. 161-162), Maktabah Darul Ashaalah 1416 H

8
Qur’an itu sendiri. Sebagaimana yang disampaikan oleh Mashuri
Sirajuddin Iqbal8: Mufassir disyaratkan mempunyai aqidah yang benar.
Aqidah berpengaruh besar bagi mufassir. Apabila seorang mufassir
beraqidah jelek, maka kemungkinan ia akan mengubah nash-nash dan akan
berkhianat dal;am meriwayatkan berita, ia akan mena’wilkan ayat-ayat
yang bertentangan dengan aqidahnya serta akan menjurus tafsirnya kepada
mazhab yang batal.
Hal yang senada juga disampaikan oleh Ghazali dan Gunawan:
Seseorang yang akan menafsirkan al-Quran bila tidak memiliki aqidah
yang benar. Maka seringkali terdorong untuk mengubah nash-nash dan
berkhianat dalam penyampaian berita. Apabila seseorang menyusun
sebuah kitab tafsir, ditakwilkan ayat-ayat yang bertentangan dengan
akidahnya, dan membawanya pada mazhabnya yang batil guna
memalingkan manusia dari mengikuti golongan salaf dan dari jalan
petunjuk.9
Dari beberapa pendapat di atas, jelaslah seorang mufassir itu harus
mempunyai aqidah yang benar untuk menjamin kualitas penafsirannya.

2. Mufassir beribadah mengikuti hukum-hukum syariat


Dalam beribadah seorang mufassir mengikuti hukum-hukum syariat.
Ibadah hati, lisan dan anggota tubuhnya harus sesuai dengan Alquran dan
sunah rasul. Hal ini dijelaskan dalam Kitab Ushul Tafsir Waqawa’iduhu,
bahwa seorang mufassir dalam menafsirkan alquran harus mengikuti
hukum-hukum syariat dalam perkara ibadah dan muamalah beserta sunah-
sunah yang berkaitan dengannya agar dapat menempatkan setiap ayat yang
membahas hukum tersebut sesuai pada tempatnya.10

8
Mashuru Siajuddin Iqba, Drs. Dan A.Fudlali, Drs.2009 Pengantar Ilmu Tafsir. Bandung
Angkasa.h.101

9
Ghazali dan Gunawan., Studi Islam Suatu, p.106-107.
10
Khalid Abdurrahman Al-’lk. Ushul At-Tafsir Wa Qawa’iduhu. (Beirut.DarAn-Nafais, t.th) h.189

9
Apabila seorang muffasir tidak melaksanakan ibadah sesuai dengan
syari’at yang terdapat dalam alquran, maka dikhawatirkan penafsiran ayat-
ayat alquran yang membahas masalah ibadah pun tidak sesuai dengan yang
dinyatakan dalam alquran tetsebut.

10
PENUTUP

A. Kesimpulan

Seoarng mufassir yang hendak menafsirkan ayat-ayat alquran mesti


memiliki aqidah yang benar dan beribadah sesuai dengan hukum syariat yang
digaruskan dalam Alquran dan sunah-sunah rasul. Bila ia tidak memiliki
aqidah yang benar dan beribadah tidak sesuai dengan hukum syariat maka
penafsiranya terhadap ayat-ayat alquran dipanndang tidak berkualitas. Dan
terjadilah berbagai bentuk penyimpangan-penyimpangan.

B. Saran

1. Dari Uraian di atas dapat diberikan saran, agar menghasilkan penafsiran


ayat alquran dengan benar maka syarat aqidah dan ibadah mesti menjadi
perhatian yang serius bagi seorang mufassir.

2. Dari segi penulisan penulis menyadari masih jauh dari kekurangan, karena
itu penulis sangat mengharapkan sekali kritikan dan saran demi
kesempurnaan makalah ini

11
DAFTAR PUSTAKA

Dede Ahmad Ghazali dan Heri Gunawan. Studi Islam Suatu Pengantar Dengan
Pendekatan Interdisipliner, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2015

Departemen Pendidikan Nasional.2008 Kamus Besar Bahasa Indonesia


(KBBI).Jakarta:PT.GM Pustaka Utama

Khalid Abdurrahma Al-’Lk. Ushul At-Tafsir Wa Wawa’duhu, Beirut: dar An-


Nafais.

Kementrian Agama RI.2018. Qur’an Asy-Syifaa’. hafalan terjemah dan Tajwid


Berwarna Metoda Tikrar. Bandung: PT. Sygma Examedia Arkanleema

Mahmud Yunus,. H Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: PT Hidakarya Agung,


1972), hlm. 274

Mashuri Sirajoddin Iqbal, Drs. Dan A Fudlali. Drs. 2009. Pengantar Ilmu Tafsir.
Bandung: Angkasa

Muhammad Amri, H. Dr.Lc.M.Ag dkk..2018. Aqidah Akhlak.

Muhammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2000), hlm.199.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyaah. Al-‘Ubuudiyyah.ahqiq Syaikh ‘Ali bin Hasan bin
‘Ali ‘Abdul Hamid al-Halaby al-Atsary (hal. 161-162), Maktabah Darul
Ashaalah 1416 H

Rusydi. Am, Prof. Dr. Lc, M.Ag. 2021. Perkuliahan Syuruth Muffasir.

12

Anda mungkin juga menyukai